pemeliharaan pH saliva, dan remineralisasi gigi. Kapasitas buffer saliva pada dasarnya tergantung pada konsentrasi bikarbonat .hal itu berkorelasi dengan laju aliran saliva, pada saat laju aliran saliva menurun cenderung untuk menurunkan kapasitas buffer dan meningkatkan resiko perkembangan karies11. Dari hasil pengamatan di dapatkan bahwa ratarata volume saliva tertinggi di dapatkan setelah mendapat stimulasi dengan asam sitrun (1,4 ml/menit) sedangkan rata-rata volume saliva terendah terjadi pada saat tanpa stimulasi/ kontrol (0,72 ml/menit) . Hasil yang di dapatkan pada percobaan ini menguatkan teori bahwa stimuli asam dapat meningkatkan sekresi saliva secara signifikan. Selain itu, komposisi dan jumlah saliva yang dihasilkan memang cukup bergantung pada tipe dan intensitas stimulus, pada stimulus asam sitrun volume/ kapasitas sekresi saliva memiliki volume tertinggi dibandingkan yang lain. (tanpa stimulasi: 0,4 ml/menit12; daya pengunyahan: 0,85 ml/menit7; asam sitrun: 1,7 ml/menit7,12). Pada percobaan dengan stimulus berkumur aliran saliva yang dihasilkan memiliki nilai yang sama (1,37 ml/menit). Kemudian, pada stimulus dengan buah pisang (0,9 ml/menit), nilai ini menjadi lebih rendah pada saat stimulus apel (0,75 ml/menit). Pada teori sebelumnya menyebutkan bahwa produksi saliva dapat dirangsang oleh berbagai stimulus, termasuk stimulus mekanik yaitu berkumur dan mengunyah. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan nilai antara aliran saliva yang tanpa stimulasi dengan yang distimulasi secara mekanik pada percobaan kali ini (lihat tabel hasil). Konsistensi dan volume makanan juga berpengaruh terhadap aliran saliva9. Makanan yang membutuhkan daya kunyah besar atau makanan yang rasanya cukup mencolok dapat meningkatkan aliran
saliva dan juga mengubah komposisinya13.
Dalam hal ini, pisang dan apel mengandung rasa yang akan menstimulasi pusat saliva untuk mensekresi saliva lebih banyak dibandinkan kondisi yang tidak distimulasi. Kemudian, karena konsistensi pisang yang lebih lunak dibanding apel, wajar saja jika aliran saliva pemakan pisang lebih rendah dibandingkan dengan pemakan apel. Namun, jika dibandingkan dengan stimulasi asam, aliran saliva dengan stimulasi mekanik tidaklah sebesar nilai stimulasi asam sitrun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa stimuli asam merupakan stimulator kuat dalam sekresi saliva dibanding dengan stimuli sukrosa14. Derajat keasaman (pH) saliva sangatlah bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya. Pada diet yang mengandung karbohidrat akan menyebabkan turunnya pH saliva yang dapat mempercepat terjadinya demineralisasi enamel gigi. Sepuluh menit setelah makan karbohidrat akan dihasilkan asam melalui proses glikolisis dan pH dapat menurun sampai di bawah pH kritis15. Normalnya sekresi harian saliva perhari 1,5 liter dengan pH sedikit basa (7,4)16. Hasil praktikum menunjukkan pH saliva yang tidak distimulasi bernilai 8,35. Nilai ini masih termasuk normal mengingat banyak variable tidak terkedali dalam percobaan ini, misalnya saja ada beberapa probandus yang baru saja makan, sehingga terjadi peningkatan pH sesaat. Kemudian setelah distimulasi, ternyata terjadi peningkatan pH (pH berkumur: 8,42; pH makan apel : 8,6; pH pada stimulasi makan pisang = 7, 13) dan terjadi penurunan pH pada stimulus dengan asam sitrun (8,07). Pada dasarnya, kecepatan sekresi saliva langsung mempengaruhi derajat keasaman saliva dalam mulut. Dari hasil praktikum, hal tersebut dapat dibenarkan (jika aliran saliva meningkat, maka nilai pH juga meningkat). Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada nilai pH saliva yang distimulasi dengan asam sitrun. Meski aliran
saliva maksimal dicapai oleh stimulasi dengan
asam sitrun dan sebaliknya minimum dengan stimulus manis17. Namun pH saliva mengalami penurunan, hal ini sesuai dengan sebuah penelitian yang mengatakan bahwa secara umum asupan makanan dapat menurunkan level Ph. pada penelitian ini mencoba membandingkan pengaruh rasa asin dan asam terhadap produksi saliva. Hasilnya menunjukkan bahwa intake makanan yang mengandung asam terbukti menurunkan level pH. Saat nilai pH turun, muco-protein akan didenaturasi dan fungsi lubrikasi hilang karena tidak adanya asam sialin. Sedangkan bahan pemanis mempunyai kemampuan untuk meningkatkan aliran saliva sehingga dapat meningkatkan pH saliva18. Kemudian yang perlu diperhatikan lagi adalah perbedaan pH saliva pemakan pisang dan pemakan apel. Karena rasa pisang yang lebih manis dibandingkan apel, maka seharusnya terjadi peningkatan aliran saliva yang diikuti dengan kenaikan nilai pH nya. Hal ini berarti hasil praktikum tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa makanan yang membutuhkan daya kunyah besar atau makanan yang rasanya cukup mencolok akan meningkatkan aliran saliva dan juga mengubah komposisinya4. Kesalahan ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti pembacaan phindicator yang salah, posisi probandus pemakan pisang tidak berdiri sewaktu akan mengeluarkan saliva (aliran saliva tidak maksimal), probandus baru saja makan (terjadi peningkatan pH sementara), ataupun variable lain yang tidak bisa dikendalikan. KESIMPULAN Stimulasi berkumur, makanan, dan sasam sitrun dapat meningkatkan volume sekresi saliva, sehingga aliran saliva yang distimulasipun meningkat dengan signifikan dibandingkan aliran saliva yang tidak distimulasi. Peningkatan
aliran saliva diikuti dengan adanya kenaikan
nilai pH nya. Aliran saliva maksimal dicapai saat saliva dirangsang dengan asam sitrun dan minimum pada rangsangan manis. 2.3 Pengaruh Rokok Terhadap pH Saliva Merokok dewasa ini menjadi suatu aktivitas yang sangat umum di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan mahasiswa. Indonesia menempati urutan kelima di antara negara-negara dengan tingkat konsumsi tembakau tertinggi di dunia (USDA, 2002). Begitu juga data dari survei WHO tahun 2002, Indonesia menempati urutan ke lima negara pengkonsumsi rokok terbanyak di dunia. Urutan pertama hingga keempatnya adalah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Prevalensi perokok di Indonesia usia 15 tahun ke atas adalah 31,5 % (Susenas, 2001). Berdasarkan data survei kesehatan rumah tangga tahun 2004, sebanyak 59,04% laki-laki dan 4,83% perempuan merokok. Bila dilihat dari jumlah penduduk (laki-laki dan perempuan), total perokok di Indonesia sebanyak 31,4%. Artinya, sebanyak 62,8 juta orang merokok. Data ini juga berhasil dikumpulkan oleh Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3). Menurut Nagler (2000) dalam Weiner (2008), rokok mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia dan 400 diantaranya terbukti karsinogenik. Menurut Salaspuro (2006) dalam Weiner (2008), rokok merupakan penyebab utama dari kanker, bronkitis kronik, emfisema, penyakit kardiovaskular, dan merupakan penyebab utama kematian di dunia. Namun, bukan hanya itu saja bahaya rokok terhadap tubuh manusia. Terdapat bagian-bagian lain dalam tubuh manusia yang dipengaruhinya, termasuk mulut. Asap rokok yang masuk ke dalam mulut perokok dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas enzim amilase air liur (Weiner, 2008). Namun, dalam penelitian ini tidak disebutkan peran rokok terhadap perubahan pH air liur yang merupakan faktor penting yang menentukan aktivitas enzim amilase. Asap rokok menyebabkan sekresi bikarbonat air liur menurun sehingga menyebabkan pH pun menurun. Hal ini
dikarenakan efek asap rokok terhadap
berkurangnya penghasilan volume air liur (Trudgill, 1998). Perubahan pH pada air liur tersebut pada akhirnya akan menentukan aktivitas enzim amilase yang terkandung di dalamnya. Aktifitas enzim optimal terlihat di antara nilai-nilai pH 5 dan 9. pH dapat mempengaruhi aktivitas dengan mengubah struktur enzim tersebut (Murray, 2000). Susunan kuantitatif dan kualitatif elektrolit di dalam saliva menentukan pH dan kapasitas bufer. pH saliva tergantung dari perbandingan antara asam dan konjugasi basanya yang bersangkutan. pH dan kapasitas bufer terutama dianggap disebabkan oleh susunan bikarbonat, yang naik dengan kecepatan sekresi. Ini berarti pH dan kapasitas bufer saliva juga naik dengan naiknya kecepatan sekresi. Pada kenaikan kecepatan sekresi, pH juga menjadi lebih tinggi. Sebaliknya pada penurunan kecepatan sekresi pH-nya juga akan turun. Merokok akan menyebabkan peningkatan aliran saliva. pH saliva yang basa dapat mengakibatkan terjadinya plak. 2.4 Dampak Menurunnya Derajat Keasaman Saliva Karies gigi merupakan proses multifaktor, yang terjadi melalui interaksi antara gigi dan saliva sebagai host, bakteri normal di dalam mulut, serta makanan terutama karbohidrat yang mudah difermentasikan menjadi asam melaui proses glikolisis. Bakteri yang berperan dalam proses glikolisis adalah Streptococcus mutans dan Lactobacillus acidophilus, sedangkan asam organik yang terbentuk antara lain asam piruvat dan asam
laktat yang dapat menurunkan pH saliva, pH
plak dan pH cairan sekitar gigi sehingga terjadi demineralisasi gigi (Kidd and Bechal, 1992). Saliva mempunyai peran sebagai penyangga sehingga naik turunnya derajat keasaman (pH) dapat ditahan, sehingga proses dekalsifikasi dapat dihambat (Amerongen et al, 1992). Senyawa organik yang terkandung di dalam saliva yang mempengaruhi pH terutama gugus bikarbonat, fosfat, asam karbonat, amonia, dan urea. Kapasitas buffer saliva terutama ditentukan oleh kandungan bikarbonat, sedangkan fosfat, protein, ammonia dan urea merupakan tambahan sekunder pada kapasitas buffer (Roth and Calmes, 1981; Amerongen et al, 1992). Bikarbonat merupakan komponen organik utama dalam saliva yang berpengaruh terhadap peningkatan pH, menurut Amerongen (1992) kemampuan buffer saliva ditentukan oleh 85% konsentrasi bikarbonat, 14% ditentukan oleh konsentrasi fosfat dan 1% oleh protein saliva. Menurut penelitian poff et al (1997) yang dikutip oleh Setijanto (1999) menyebutkan bahwa kadar bikarbonat dalam saliva sebesar 3,39 1,49 mM atau 206,97 ppm. Atas dasar uraian diatas dapat diasumsikan bahwa bikarbonat merupakan komponen utama saliva dalam menetralkan asam sehingga menghambat proses karies. Bila dilihat dari peran bikarbonat dalam mempertahankan pH saliva agar tetap normal, kemungkinan ada perbedaan kadar bikarbonat di dalam saliva penderita karies dan bebas karies.