Anda di halaman 1dari 18

PENYELIDIKAN JANTUNG KURA

Penyusun:
Adi Andito Putra

021511133120

Ajeng Hayyuning C 021511133123


Septiana Putrining S 021511133124
Faisal Rifqi A

021511133136

Fakultas Kedokteran Gigi Univesitas Airlangga


2016
I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Teori

Jantung merupakan salah satu dari komponen sistem kardiovaskular


selain pembuluh

darah. Jantung juga merupakan suatu organ yang

berdenyut dengan irama tertentu (kontraksi ritmik). Jantung memiliki


fungsi utama sebagai pemompa darah kearah sirkulasi sistemik maupun
pulmoner dan menerima darah dari sistem vena Jantung terletak dalam
mediastinum di rongga dada, yaitu di antara kedua paru-paru (Guyton,
2006).
Sel otot jantung memiliki beberapa kesamaan seperti sel yang lainnya,
yaitu mampu melakukan potensial aksi (Klabunde, 2005). Otot Jantung
terdiri dari otot atrium, otot ventrikel, dan otot khusus yang merangsang
serta meneruskan rangsangan tersebut (Guyton, 2006).
Ketiga jenis otot tersebut memungkinkan jantung memiliki sifat-sifat
utama yang berbeda dengan otot lurik maupun polos. Sifat-sifat jantung
yang utama tersebut adalah:
1 Inotropik (contractility).
2 Chronotropik (rhytmicity).
3 Bathmotropik (excitability).
4 Dromotropik (conductivity).
Pada percobaan kali ini, kita akan mengamati sifat-sifat jantung
tersebut. Tetapi kita menggunakan kura-kura sebagai bahan percobaan.
Jantung mamalia dan kura-kura hampir sama, hanya saja kura-kura
termasuk

hewan

poikilothermik,

sedangkan

mamalia

termasuk

homoiothermik. Selain itu, anatomi jantung kura-kura hanya memiliki satu


ventrikel dan dua atrium. Itulah sedikit perbedaan yang dimiliki kura-kura
dengan mamalia maupun manusia.

1.2 Masalah
1. Bagaimana frekuensi dan amplitudo kontraksi normal otot jantung
2.

kura?
Bagaimana pengaruh suhu terhadap kinerja kontraksi otot jantung

3.

kura?
Bagaimana

pengaruh

pemberian

obat

terhadap

kinerja

kontraksi otot jantung kura?

4.

Bagaimana kontraksi otot jantung kura setelah diblok parsial dan

5.

total?
Bagaimana kontraksi otot jantung kura setelah diotomasi?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui frekuensi dan amplitudo kontraksi normal otot jantung
2.

kura
mengetahui dan mempelajari pengaruh suhu terhadap kinerja otot

3.

jantung kura
mengetahui dan mempelajari pengaruh

4.

terhadap kinerja kontraksi otot jantung kura


mengetahui dan mempelajari kontraksi otot jantung kura setelah

5.

diblok parsial dan total


mengetahui dan mempelajari kontraksi otot jantung kura setelah

pemberian

obat

diotomasi
II.

METODE KERJA
2.1 Alat
1. Papan fiksasi kura-kura
2. Benang/tali
3. Gunting
4. Pencatat jantung
5. Kimograf
6. Kertas kimograf
7. Jepit Gaskell/arteri klem
8. Stopwatch
2.2 Bahan
1. Kura-kura yang telah dilumpuhkan
2. Larutan ringer 37C dan 5C dengan komposisi:
3. NaCl 6,50 gram
4. NaHCO3
0,20 gram
5. KCl 0,20 gram
6. CaCl2 0,20 gram
7. Larutan adrenalin 1/10.000
8. Larutan acetylcholine 1/10.000
9. Kapas
10. Tinta pencatat
2.3 Tata Kerja
1. Meletakkan kura-kura di atas papan fiksasi kura-kura dan mengikat
ke-empat kakinya pada papan hingga kura-kura tertarik sehingga
secara refleks tidak dapat bergerak lagi.

2. Memotong perikardium yang membungkus jantung dengan irisan


berbentuk huruf Y terbalik.
3. Mengikat frenulum cordis (jaringan ikat yang menghubungan apex
cordis

dengan

perikardium)

dengan

seutas

benang

dan

menghubungkan benang ini dengan pencatat jantung.


4. Mempelajari dengan seksama bagian jantung kura-kura serta
pembuluh darahnya dengan bantuan gambar jantung kura-kura
dalam buku petunjuk praktikum ini. Memperhatikan kontraksi
berbagai bagian jantung ini.
5. Menyesuaikan ujung pencatat ini menyinggung trombol sehingga
akan tergambar garis sinkron (satu garis tegak).
6. Menjalankan kimograf dengan kecepatan optimal (tidak terlalu
cepat ataupun lambat, menyesuaikan kontraksi jantung kura)
sehingga dapat memisahkan kontraksi satu dengan berikutnya.
a
)

b)

c)

d)

Gambar: a)Kura-kura yang sudah terfiksasi. b) Pemotongan


perikardium dengan pola huruf Y terbalik. c) Pengikatan frenulum
cordis dengan benang. d) Benang dihubungkan pada pencatat
jantung. e) Kimograf berjalan dengan kecepatan optimal.
2.3.1

Pencatatan Kontraksi Normal Jantung Kura


1. Mencatat kontraksi normal jantung selama 45 detik.
2. Memperhatikan gambaran kontraksi atrium, ventrikel,
gambaran sistole dan diastole.
3. Memperhatikan lama kontraksi

masing-masing

macam

denyutan tersebut.
e
)

4. Memperhatikan juga frekuensi dan amplitudo denyut jantung.


2.3.2

Pengaruh Suhu
1. Mencatat pada kimograf kontraksi normal jantung kura sebagai
kontrol sebelum perlakuan selama 45 detik, lalu kimograf
dimatikan.
2. Menuangkan larutan ringer suhu 37C, kemudian setelah
terlihat perubahan klinis pada denyut jantung, kimograf
dijalankan selama 45 detik. Meneteskan selalu larutan ringer
dengan suhu 37C agar jantung selalu basah dan suhunya stabil.
3. Mematikan kimograf lalu membilas jantung kura dengan
larutan ringer hingga secara klinis denyut jantung kembali
normal.
4. Mencatat pada kimograf kontraksi normal jantung kura sebagai
kontrol sebelum perlakuan selama 45 detik, lalu kimograf
dimatikan.
5. Menuangkan larutan ringer suhu 5C, kemudian setelah terlihat
perubahan klinis pada denyut jantung, kimograf dijalankan
selama 45 detik. Meneteskan selalu larutan ringer dengan suhu
5C agar jantung selalu basah dan suhunya stabil.
6. Mematikan kimograf lalu membilas jantung kura dengan
larutan ringer hingga secara klinis denyut jantung kembali
normal.
7. Memperhatikan dan mengamati hasil pada kimograf.

2.3.3

Pengaruh Obat-Obatan
1. Mencatat pada kimograf kontraksi normal jantung kura sebagai
kontrol sebelum perlakuan selama 45 detik, lalu kimograf
dimatikan.
2. Meneteskan 3-4 tetes larutan adrenalin 1/10.000, kemudian
setelah terlihat perubahan klinis pada denyut jantung, kimograf
dijalankan selama 45 detik.
3. Mematikan kimograf lalu membilas jantung kura dengan
larutan ringer hingga secara klinis denyut jantung kembali
normal.

4. Mencatat pada kimograf kontraksi normal jantung kura sebagai


kontrol sebelum perlakuan selama 45 detik, lalu kimograf
dimatikan.
5. Meneteskan 2 tetes larutan acetylcholine 1/10.000, kemudian
setelah terlihat perubahan klinis pada denyut jantung, kimograf
dijalankan selama 45 detik.
6. Mematikan kimograf lalu membilas jantung kura dengan
larutan ringer hingga secara klinis denyut jantung kembali
normal.
7. Memperhatikan dan mengamati hasil pada kimograf.
2.3.4

Blok Pada Jantung


1. Mencatat pada kimograf kontraksi normal jantung kura sebagai
kontrol sebelum perlakuan selama 45 detik, lalu kimograf
dimatikan.
2. Memasang dan menjepitkan jepit Gaskell/arteri klem pada
daerah batas antara atrium dan ventrikel, kemudian setelah
terlihat perubahan klinis pada denyut jantung, yaitu ditandai
dengan irama denyut atrium dan ventrikel sudah berlainan
(blok parsial), kimograf dijalankan selama 45 detik.
3. Mematikan kimograf lalu menjepit jepit Gaskell/arteri klem
pada daerah yang sama secara lebih kuat sehingga denyut
atrium tidak lagi diikuti oleh denyut ventrikel (blok total).
4. Menjalankan kembali kimograf selama 45 detik lalu
memperhatikan dan mengamati hasil pada kimograf.
5. Mematikan kimograf lalu melepaskan jepit Gaskell/arteri klem
dari jantung kura.

Gambar: Perlakuan blok pada jantung


2.3.5

Otomasi Jantung
1. Memasang dan menjepitkan jepit Gaskell/arteri klem pada
pembuluh aorta, kemudian memotong dan memisahkan jantung
dari jaringan sekitarnya.
2. Mengangkat jantung dan meletakkan di atas papan fiksasi serta
selalu dibahasi dengan ringer.
3. Memperhatikan sifat otomasi jantung meskipun sudah diisolir.

Gambar: Pengamatan sifat otomasi jantung


III.

HASIL
Hasil Pengamatan Praktikum Jantung Kura
No.
1.
2.

Jenis Perlakuan
Normal
Suhu

37C
5C

Pengamatan Kontraksi Jantung


Frekuensi Amplitudo
Keterangan
1,27 Hz
0,4 cm
K: 1,27 Hz K: 0,4 cm
F: naik
P: 1,5 Hz
P: 0,5 cm
A: naik
K: 1,02 Hz K: 0,3 cm
F: turun
9

Adrenalin
3.

Obat
Acetylcholin
Parsial

4.

Blok
Total

5.

P: 0,95 Hz
K: 0,95 Hz
P: 1,17 Hz
K: 1,15 Hz
P: 0,44 Hz
K: 1,22 Hz
P: 0,42 Hz
K: 1,22 Hz
P: 0,02 Hz

Otomasi

P: 0,3 cm
K: 0,3 cm
P: 0,4 cm
K: 0,3 cm
P: 0,45 cm
K: 0,35 cm
P: 0,5 cm
K: 0,35 cm
P: 0,45 cm

A: tetap
F: naik
A: naik
F: turun
A: naik
F: naik
A:naik
F: turun
A: naik
Atrium
berkontraksi,
ventrikel tidak
berkontraksi

IV.

PEMBAHASAN
Berdasarkan percobaan yang telah kami lakukan, dalam keadaan normal

jantung kura didapatkan frekuensi sebesar 1,27 Hz dan amplitudo 0,4 cm. Pada
kertas kimograf didapatkan hasil bahwa amplitudonya stabil. Amplitudo kontraksi
yang dihasilkan setiap kura di preparat kelompok kami mungkin berbeda-beda
dikarenakan ukuran dan kondisi kura yang juga berbeda.
Peristiwa yang terjadi pada jantung berawal dari permulaan sebuah denyut
jantung sampai permulaan denyut jantung berikutnya disebut siklus jantung.
Setiap siklus diawali oleh pembentukan potensial aksi yang spontan. Siklus
jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang di sebut sistol dan diastol. Sistol
merupakan periode kontraksi ventrikel, saat jantung memompakan darahnya dari
ventrikel ke sirkulasi pulmonal dan ke sirkulasi sistemik. Pada saat sistole katubkatub AV menutup sedangkan katub-katub semilunaris aorta dan pulmonal
membuka sehingga ventrikel berkontraksi memompakan darahnya ke aorta dan
arteri pulmonalis. Sedangkan diastol menunjukkan periode relaksasi ventrikel atau
kontraksi atrium saat ventrikel menerima darah dari atrium yang sebelumnya telah
menerima darah dari paru melalui vena pulmonalis dan dari seluruh tubuh melalui
vena kava. Pada saat distol katub-katub semilunaris aorta dan pulmonal menutup
sedangkan katub-katub AV membuka sehingga atrium yang berkontraksi
memompakan darahnya ke ventrikel (Guyton AC. 2010 . Textbook of Medical
Physiology 12th ed. Philadepia: Elsevier Inc.).
Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi)

10

dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung) bergantian. Atrium dan ventrikel
mengalami siklus sistol dan diastole yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat
penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan

relaksasi timbul setelah

repolarisasi otot jantung. Selama diastol ventrikel awal, atrium juga masih berada
dalam keadaan diastol. Aliran masuk darah yang berlanjut dari sistem vena ke
dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua
bilik tersebut melemas. Perbedaan tekanan ini menyebabkan katup AV terbuka
dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol
ventrikel. Akibatnya, volume ventrikel perlahan-lahan meningkat bahkan sebelum
atrium berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel nodus SA mencapai ambang dan
membentuk potensial aksi. Depolarisasi atrium menimbulkan kontraksi atrium,
yang memeras lebih banyak darah ke dalam ventrikel. Proses penggabungan
eksitasi-kontraksi terjadi selama jeda singkat antara gelombang P dan peningkatan
tekanan atrium. Peningkatan tekanan ventrikel yang menyertai yang berlangsung
bersamaan dengan peningkatan

tekanan atrium disebabkan oleh penambahan

volume darah ke ventrikel oleh kontraksi atrium. (MD Bickley, 2012)


4.1 Pengaruh Suhu
4.1.1

Suhu 370
Pengujian kontraksi jantung pada suhu hangat menggunakan

larutan Ringer dengan suhu 370, diperoleh data sebagai berikut :

Kontrol

Frekuensi
Amplitudo

Perlakuan

Frekuensi
Amplitudo
4.1.2

: 1,27 Hz
: 0,4 cm

: 1,5 Hz
: 0.5 cm

Suhu 50

11

Pengujian kontraksi jantung pada suhu hangat menggunakan


larutan Ringer dengan suhu 50, diperoleh data sebagai berikut :

Kontrol

Frekuensi
Amplitudo

: 1,02 Hz
: 0,3 cm

Perlakuan

Frekuensi
Amplitudo

: 0,95 Hz
: 0.3 cm

Jantung kura memiliki sifat poikilotermik (dapat dengan mudah


menyesuaikan dengan suhu lingkungan). Pada suhu 37 oC terjadi kenaikan
frekuensi dan amplitudo kontraksi jantung. Hal ini dikarenakan
permeabilitas sel otot terhadap ion meningkat sehingga ion inflow
meningkat dan mempercepat self excitation process dari SA node,
terjadilah depolarisasi. Saat potensial membran mencapai nilai ambang,
maka akan terjadi potensial aksi yang kemudian dikonduksikan ke AV
node, lalu ke bundle of his, kemudian ke saraf purkinje dan akhirnya ke
seluruh otot ventrikel berkontraksi secara cepat. Akibatnya frekuensi
denyut jantung meningkat.
Sedangkan pada perlakuan suhu 5 oC terlihat adanya penurunan
frekuensi dan amplitudo setelah pemberian larutan Ringer dengan suhu 5
o

C. Hal ini disebabkan karena penurunan suhu menyebabkan penurunan

permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion, sehingga diperlukan


waktu lama untuk mencapai nilai ambang, jadi self excitation juga akan
menurun. Akibatnya kontraksi otot jantung juga mengalami penurunan.
Namun, pada percobaan yang telah kami lakukan, amplitudo tetap dan
frekuensi naik, data ini tidak valid bisa jadi disebabkan karena
penghitungan yang tidak benar akibat tinta pencatat yang terlalu tipis.

4.2 Pengaruh Obat obatan

12

4.2.1

Adrenalin

Kontrol

Frekuensi

: 0,95 Hz

Amplitudo

: 0,3 cm

Perlakuan

Frekuensi

: 1,17 Hz

Amplitudo

: 0.4 cm

Adrenalin adalah sebuah hormon yang memicu reaksi terhadap


tekanan dan kecepatan gerak tubuh kita. Tidak hanya gerak, hormon ini
pun memicu reaksi terhadap efek lingkungan seperti suara derau tinggi
atau cahaya yang terang. Reaksi yang kita sering rasakan adalah frekuensi
detak jantung meningkat, keringat dingin dan keterkejutan. (Betram, 2004)
Dari pengamatan yang dilakukan, didapatkan bahwa dengan
pemberian adrenalin akan meningkatkan frekuensi dan amplitudo.
Adrenalin mempunyai efek yang sama seperti perangsangan saraf
simpatis. Efek tersebut diantaranya: meningkatkan kecepatan lepasan
nodus sinus; meningkatkan kecepatan konduksi demikian juga dengan
tingkat eksitabilitas dalam semua bagian jantung; dan meningkatkan
kekuatan kontraksi semua otot-otot jantung, baik otot atrium maupun otot
ventrikel.
Selain itu pemberian Adrenalin dapat meningkatkan frekuensi dan
amplitudo denyut jantung. Hal ini terjadi karena adrenalin meningkatkan
permeabilitas membran sel otot terhadap Na dan Ca. Di dalam SA node,
peningkatan permeabilitas membran terhadap Na menyebabkan penurunan
potensial membran sampai nilai ambang. Sementara di dalam AV node
peningkatan permeabilitas membran terhadap Na akan mempermudah tiap
sabut otot jantung untuk mengkonduksi impuls kepada sabut otot
berikutnya. Sehingga mengurangi waktu pengkonduksian impuls dari

13

atrium ke ventrikel. Sedang peningkatan permeabilitas membran terhadap


Ca menyebabkan kontraksi meningkat.
4.2.2

Acetylcholin

Kontrol

Frekuensi

: 1,15 Hz

Amplitudo

: 0,3 cm

Perlakuan

Frekuensi

: 0,44 Hz

Amplitudo

: 0.45 cm

Asetilkolin (ACh), ester kolin dengan asam asetat ini merupakan


neotransmiter di berbagai sinaps dan akhiran saraf sistem saraf simpatis,
parasimpatis, dan somatik. Asetilkolin eksogen memperlihatkan efek yang
sama dengan asetilkolin endogen. Perubahan kardiovaskular yang nyata
hanya dapat dilihat bila ACh disuntikkan secara intravena dengan dosis
besar atau diteteskan pada sediaan organ terpisah (terisolasi). Pada hewan
coba atau pada manusia, ACh memperlihatkan empat efek kardiovaskular
utama, yaitu vasodilatasi, menurunnya laju kontraksi jantung, (efek
kronotropik negatif), menurunnya laju konduksi di jantung (efek
dromotropik negatif), dan menurunnya kekuatan kontraksi jantung (efek
ionotropik negatif). Namun, in vivo, semua efek itu disamarkan oleh
adanya refleks baroreseptor dan baru tampak bila ACh diinfuskan dalam
dosis besar (Sadikin, Z. D., 2007).
Perangsangan serabut saraf parasimpatis di dalam nervus vagus
yang kuat pada jantung dapat menghentikan denyut jantung beberapa detik
tetapi jantung biasanya akan berdenyut 20 sampai 40 kali permenit selama
perangsangan parasimpatis terus berlanjut. Selain itu perangsangan saraf
parasimpatis yang kuat dapat menurunkan kekuatan kontraksi sampai 30
persen. Hal ini karena terjadi peningkatkan permeabilitas membran

14

terhadap

ion

K,

sehingga

menyebabkan

hiperpolarisasi,

yaitu

meningkatnya permeabilitas negative dalam sel otot jantung yang


membuat jaringan menjadi kurang peka terhadap rangsangan. Di dalam
AV node, hiperpolarisasi ini menyebabkan penghambatan jungctional yang
berukuran kecil untuk merangsang AV node, sehingga terjadi perlambatan
kontraksi impuls dan akhirnya terjadi penurunan kontraksi.
Berdasarkan percobaan, diperoleh data bahwa frekuensi menurun
akibat pemberian Ach, namun amplitude yang seharusya ikut menurun
malah terjadi kenaikan. Hal ini mungkin disebabkan karena penetralan
jantung kura dengan larutann Ringer belum sepenuhnya netral, sehingga
masih ada sedikit adrenalin yang menyebabkan amplitude kontraksi
jantung meningkat.
4.3 Blok pada Jantung
4.3.1

Blok Parsial

Frekuensi

: 1,22 Hz

Amplitudo

: 0,35 cm

4.3.2

Kontrol

Perlakuan

Frekuensi

: 0,42 Hz

Amplitudo

: 0,5 cm

Blok Total

Kontrol

Frekuensi

: 1,22 Hz

Amplitudo

: 0,35 cm

Perlakuan

15

Frekuensi

: 0,02 Hz

Amplitudo

: 0,45 cm

Pada perlakuan ini, kami melakukan blok pada jantung dengan cara
menjepit daerah batas antara atrium dan ventrikel, atau disebut juga blok
Atrioventrikel atau Blok A-V.
Jalan satu-satunya yang biasa dilalui oleh impuls dari atrium ke
ventrikel adalah berkas A-V atau berkas His. Terdapat berbagai keadaan
yang dapat menyebabkan turunnya kecepatan konduksi impuls di dalam
berkas ini atau bahkan sama sekali memblok impuls. (Guyton, 2014:154)
Pada percobaan yang kami lakukan, terjadi penurunan frekuensi
denyut jantung. Hal ini terjadi karena perlakuan Blok A-V pada jantung
dengan cara menjepit daerah batas A-V merupakan salah satu keadaan
yang dapat memperlambat atau memblok konduksi impuls dari atrium ke
ventrikel. Konduksi yang tertunda ini lalu menyebabkan turunnya
frekuensi denyut ventrikel.
Penyebab utama konduksi yang lambat adalah hilangnya gap
junction di antara sel-sel yang berderet pada jalur konduksi, sehingga
terdapat tahanan yang besar terhadap konduksi ion-ion yang tereksitasi
dari satu serat ke serat berikutnya. (Guyton, 2014:124)
Pada tahap awal blok parsial, kami mengamati adanya denyut
jantung yang hilang (dropped beats) dari ventrikel, sebagai akibat
kegagalan konduksi dari atrium ke ventrikel, ditandai dengan irama yang
berlainan antara atrium dan ventrikel (dua atau lebih kontraksi atrium
diikuti dengan satu kontraksi ventrikel).
Ada kalanya, satu dari dua denyut ventrikel hilang, sehingga terjadi
irama 2:1, di mana atrium berdenyut dua kali untuk setiap satu denyut
ventrikel. Pada keadaan lain, timbul irama lain, seperti 3:2 atau 3:1.
(Guyton, 2014:155)

16

Pada perlakuan blok total, arteri klem ditekan lebih kuat sehingga
menyebabkan konduksi buruk dalam nodus A-V atau berkas A-V menjadi
sangat berat, sehingga terjadilah blok total terhadap impuls dari atrium ke
ventrikel. (Guyton, 2014:155)
Berdasarkan hasil percobaan, terjadi penurunan frekuensi secara
drastis. Hal tersebut juga kami amati secara langsung ketika sekian denyut
atrium hanya diikuti oleh satu denyut ventrikel.
Pada blok total, ventrikel telah lepas (escape) dari pengendalian
atrium, sehingga secara spontan ventrikel membentuk sinyalnya sendiri,
biasanya berasal dari nodus A-V atau berkas A-V. Sinyal-sinyal ritmis
inilah yang mengendalikan ventrikel berdenyut dengan kecepatan
alamiahnya. (Guyton, 2014:155)
Blok total dapat menyebabkan pingsan bahkan kematian karena
jantung tidak memompa darah selama beberapa detik sampai ventrikel
escape. Akan tetapi, setelah escape, ventrikel yang berdenyut lambat pun
biasanya memompa cukup banyak darah untuk memulihkan keadaan.
Berdasarkan hasil percobaan, hal tersebut ditandai dengan adanya
peningkatan amplitudo baik pada blok parsial maupun blok total.

4.4 Otomasi Jantung


Pada pengamatan otomasi jantung, jantung di bebaskan dari jaringanjaringan sekitarnya dan terus dibasahi dengan larutan ringer suhu kamar.
Pada keadaan ini, kami mengamati jantung masih tetap berdenyut pada
bagian atrium, namun tidak pada ventrikel. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena efek blok total yang terlalu lama memicu terhentinya
kontraksi pada ventrikel.
Sel-sel otot jantung dapat membangkitkan potensial aksinya sendiri,
tanpa suatu input apapun dari sistem saraf. Terbukti dengan dilakukannya
perusakan pada sistem saraf pusat tidak berpengaruh terhadap kontraksi

17

jantung. Potensial aksi yang berulang-ulang terdapat pada serabut purkinje


dan serabut His yang membuat jantung tetap berdenyut secara otomatis
bahkan ketika diisolasi dari jaringan-jaringan di sekitarnya. (Campbell,
2004:262)
V.

Daftar Pustaka
Betram G. Katzung, (2004), Farmakologi Dasar dan Klinik EGC,
Jakarta
Campbell. 2004. Biologi edisi kelima jilid III. Jakarta: Erlangga. Hal
162
Guyton, AC and Hall, JE. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th
Edition. Elsevier Saunders, Philadelphia.
Guyton AC. 2010 . Textbook of Medical Physiology 12th ed. Philadepia:
Elsevier Inc.).
Guyton AC. 2014 . Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 12th
ed. Singapura: Elsevier Pte. Ltd. Hal 124, 154-155.
Klabunde, Richard. 2005. Cardiovascular Physiology Concepts. chapter 2.
Philadhelpia, Lippincots.
MD Bickley. The Cardiac Cycle. ACP Cardiac Exam
Workshop. 2012: pp. 1-2.
Sadikin, Z. D., (2007), Agonis dan Antagonis Muskarinik
dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Fakultas
Kedokteran UI, Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai