Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging sapi dan juga menu seafood merupakan bahan makanan yang
sangat digemari oleh masyarakat. Daging sangat digemari oleh banyak
kalangan dikarenakan rasanya yang lezat dan sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh. Ikan juga tidak luput dari perbincangan akan kelezatan dan
khasiatnya

sebagai bahan

makanan

menyehatkan. Namun

sebagian

masyarakat di dunia masih sering mengonsumsi daging atau ikan yang telah
membusuk. Hal ini dapat memperburuk keadaan kesehatan mereka. Daging
segar sangat mudah rusak dan secara biologi masih aktif. Daging juga disukai
oleh organisme lain, yaitu mikroorganisme dan dapat dimasuki oleh
organisme tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu dari penyebab
kerusakan daging segar. Kerusakan daging segar dapat dipengaruhi oleh suhu,
kadar air, oksigen, tingkat keasaman dan pH serta kandungan gizi daging
(Hendrasty, 2013). Invasi mikroorganisme menyebabkan produk daging dan
ikan tidak menarik karena terjadi beberapa perubahan (pembusukan) (Lawrie,
1995). Ciri-ciri daging yang mengalami kerusakan dapat dilihat dari warna,
perubahan bau, terbentuknya lendir, perubahan rasa, dan timbulnya kapang
pada bagian permukaan daging. Sama halnya dengan ikan, ciri-ciri ikan yang
mengalami kerusakan dapat dilihat dari kulit dan warna, sisik, mata, dan
daging ikan. Ikan yang mengalami kebusukan biasanya mengeluarkan lendir
di pemukaan kulit atau insangnya.
Daging dan ikan umumnya diawetkan dengan didinginkan atau dengan
pemberian es. Sehingga sebagian besar mikroba yang sering tumbuh pada
daging biasanya tegolong dalam mikroba psikrofilik, yaitu mikroba yang
dapat hidup pada suhu optimum 5-15C, suhu minimum 0C dan suhu
maksimum sebesar 20C. Bagian dalam daging sapi yang baru disembelih
dari hewan sehat biasanya steril. Kontaminasi dan kebusukan daging atau
ikan biasanya berasal dari mikroorganisme pada permukaannya, yang
kemudian akan masuk ke dalam daging (Fardiaz, 1993). Gejala pembusukan
pada daging dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap-tahapan antara lain

munculnya lendir pada permukaan daging, perubahan pada warna daging,


perubahan bau dan rasa, dekomposisi lemak.
Organisme yang menyebabkan daging membusuk dapat diperoleh melalui
infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi
pascamati (penyakit eksogenous) (Lawrie, 1995). Bakteri kontaminan yang
bersifat patogen dalam daging antara lain Pseudomonas/Achromobacter,
Micrococcus,

Penicilium,

Lactobacillus,

Microbacterium,

Aspergillus,

Alternaria, Monilia (Winarno, 1982). Bakteri pada ikan yang biasanya


menyebabkan

ikan

membusuk

adalah

Streptomyces,

Pseudomonas

flourescens, micrococcus, Sarcina, dan Asporogenous (sejenis khamir).


Dari makalah ini kami menginginkan kepada pembaca atau masyarakat
luas agar lebih mengetahui ciri-ciri daging dan ikan yang mengalami proses
pembusukan sehingga mereka dapat mencegah adanaya dampak buruk dari
pengonsumsian daging atau ikan yang telah rusak.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa saja ciri-ciri dari kerusakan pada daging dan ikan?
1.2.2
Bagaimana tahapan kerusakan pada daging dan ikan?
1.2.3
Apa penyebab dari kerusakan pada daging dan ikan?
1.2.4 Bakteri kontaminan apa yang bersifat patogen pada daging dan
ikan?
1.3 Tujuan
1.3.1
1.3.2
1.3.3
1.3.4

Mendeskripsikan ciri-ciri kerusakan pada daging dan ikan,


Mendeskripsikan tahapan dari kerusakan pada daging dan ikan,
Menjelaskan penyebab dari kerusakan pada daging dan ikan,
Menuliskan bakteri kontaminan patogen yang berada pada daging
dan ikan.

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Ciri dari Kerusakan pada Daging dan Ikan
2.1.1 Daging Sapi

Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi


kebutuhan akan gizi. Daging merupakan salah satu makanan yang sudah dikenal
sejak 750.000 tahun yang lalu dalam bentuk daging panggang (Hendrasty, 2013).
Makanan dikategorikan rusak apabila mengalami penurunan kualitas dari yang
telah ditentukan. Kerusakan daging segar dapat dilihat dari perubahan warna dan
perubahan rasa serta tekstur daging. Kerusakan dalam daging dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu pada kondisi aerob dan pada kondisi anaerob. Berikut adalah
ulasan ciri dari kerusakan pada daging.
a.

Perubahan Warna

Warna daging segar disebabkan oleh protein terkonjugasi, hemoglobin dan


myoglobin yang membentuk kompleks dengan oksigen. Daging mempunyai
warna yang bervariasi, tergantung genetik dan usianya. Warna daging segar
disebabkan oleh protein terkonjugasi, hemoglobin, myoglobin yang membentuk
kompleks dengan oksigen (Hendrasty, 2013). Hemoglobin menstranpor oksigen
dalam darah, mioglobin adalah mekanisme penyimpanan oksigen dalam sel. Pada
kombinasi dengan oksigen, terbentuk oksi-mioglobin dan menghasilkan warna
merah terang (Hendrasty, 2013). Warna daging sapi potong lebih gelap daripada
daging sapi perah. Warna daging sapi yang masih muda lebih pucat daripada
warna daging yang sudah dewasa. Beberapa mikroorganisme menghasilkan
koloni-koloni yang berwarna atau mempunyai pigmen (zat warna) yang memberi
warna pada daging yang tercemar. Perubahan warna pada daging ini merupakan
kategori kerusakan daging pada kondisi aerob, kerusakan pada daging ini
disebabkan oleh Lactobacillus, Leuconostocsebagai penyebab warna hijau pada
daging khususnya pada bahan makanan sosis (Anonim, ___).
Ciri perubahan warna ini erat hubungannya dengan kadar oksigen pada
lingkungan, telah disebutkan di atas penyebab warna merah pada daging salah
satunya adalah mioglobin. Mio globin akan membuat ikatan dengan oksigen
menjadi ikatan kompleks yang dinamakan oksi-mioglobin. Ikatan oksi-mioglobin
yang terlalu banyak dapat mengakibatkan adanya metmioglobin yang berwarna
coklat (Hendrasty, 2013). Pembentukan metmioglobin tergantung pada beberapa

faktor. Penggunaan oksigen oleh daging terjadi pertama kali melalui kelarutan
oksigen pada permukaan dan diikuti proses difusi ke dalam daging.
Mempertahankan kondisi penyimpanan dengan suhu rendah akan meningkatkan
kelarutan oksigen. Pada kondisi kurang bersih, mikroorganisme menggunakan
oksigen yang tersedia dan akan menyebabkan perubahan oksi-miolobin menjadi
metmioglobin. Suatu metmioglobin yang terbentuk akan menyebabkan kerusakan
warna dalam 2-4 hari. Sebab lain dari perubahan warna pada permukaan daging
yaitu dari warna merah menjadi coklat merah kegelapan terjadi karena kehilangan
air. Pada keadaan dehidrasi konsentrasi warna meningkat pada permukaan daging.
Air di bagian dalam mengandung warna terlarut, kemudian migrasi ke permukaan
dan penguapan menyebabkan warna lebih pekat (Hendrasty, 2013).
Soeparno (2005) menyatakan mioglobin mengalami perubahan pada
potongan daging yang berwarna gelap. Warna gelap pada potongan daging
mempunyai pH postmortem dan daya ikat air yang tinggi serta memiliki tekstur
yang lekat. Warna gelap pada daging berhubungan tidak langsung dengan pH dan
berhubungan

erat

dengan

respirasi

mitokondrial,

sehingga

konsentrasi

oksimioglobin merah terang tetap rendah. Perubahan warna daging dipengaruhi


oleh banyak faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan
oksigen dalam daging akan bereaksi membentuk ferrousoxymioglobin (OxyMb)
sehingga daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara
mioglobin dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi
membentuk ferricmetmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan
tidak menarik (Aberle et al., 2001; Jeong et al., 2009).
b. Berlendir Kental
Lendir

pada

permukaan

daging

biasanya

disebabkan

oleh

beberapa

mikroorganisme, misalnya Pseudomonas, Acinetobacter, Alcaligenes, Moraxella,


Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus, Micrococcus. Fenomena lendir ini
dikategorikan kerusakan pada kondisi aerob (Anonim, ___).
c. Perubahan Bau

Menurut Soeparno (1994) senyawa yang paling bertanggung jawab atas timbulnya
bau dan rasa tengik pada daging adalah aldehida yang terbentuk karena proses
oksidasi lemak.
d. Perubahan pH
Soeparno (2011) menyatakan pH normal daging berkisar 5,3-5,9, tergantung dari
laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen dalam otot. Feiner (2006)
menyatakan nilai pH daging dan produk daging secara umum berkisar antara 4,66,4.
Aberle et al. (2001) menyatakan secara umum laju penurunan pH daging dibagi
menjadi 3 yaitu:
1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,65,7 dalam
waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,3-5,7.
Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah
pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8. Sifat
daging yang dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal
dengan daging dark firm dry (DFD).
3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5,4-5,5 pada jam pertama
setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,3-5,6. Sifat daging
yang dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan
daging pale soft excudative (PSE).
d. Pembusukan Bahan Berprotein
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa-senyawa
berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil
pemecahan protein oleh mikroorganisme (Kastanya, 2009).
2.1.2 Ikan
Laju kerusakan dipengaruhi oleh suhu dan untuk setiap kenaikan suhu
5,5oC akan terjadi kerusakan dua kali lipat. Ikan segar mempunyai kandungan air
yang tinggi, sehingga kehilangan air yang berlebihan akan berpengaruh terhadap

tekstur, flavor dan perubahan warna ikan segar tersebut. Kondisi penyimpanan
yang tidak baik atau penggunaan pengemas yang tidak dapat menghalangi
masuknya oksigen akan menyebabkan ikan mengalami kerusakan (Hendrasty,
2013).
Kerusakan ikan dipercepat dengan adanya enzim dan bakteri pada ikan. Oleh
karena itu, setelah ikan mati harus segera dilakukan penghilangan usus dan bagian
pencernaaan lainnya dengan cara membelah badan ikan dan mengeluarkannya,
karena bagian ini merupakan sumber bakteri pembusuk (Hendrasty, 2013).
a. Perubahan Bau
Bau ikan yang menyimpang dari bau ikan segar disebabkan oleh
senyawa trimetilamin, yang dibentuk dengan adanya kerja enzim sekunder
yang diproduksi yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri. Setelah ikan
mati, bakteri dengan cepat tumbuh dan merusak ikan dengan
perkembangan off-flavor, bau dan tekstur yang tidak diinginkan
(Hendrasty, 2013).
Ikan kembung segar mempunyai ciri-ciri yaitu pupil mata hitam
dengan kornea jernih, warna merah cemerlang tanpa adanya lendir, tekstur
ikan yang elastis dan apabila ditekan tetap dalam keadaan padat, keadaan
perut tidak pecah dan jika ikan dibelah daging melekat kuat pada tulang
terutama rusuknya. Selaput lendir dipermukaan tubuh tipis, encer, bening,
mengkilap cerah, tidak lengket, berbau sedikit amis, dan tidak berbau
busuk (Soeseno, 1982).
Ikan yang masih segar memiliki penampilan yang menarik dan
mendekati kondisi ikan baru mati. Ikan tampak cemerlang, mengkilap
sesuai jenisnya. Permukaan tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis
dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat dan
utuh, sedangkan lubang anus tertutup. Mata ikan cembung, cerah dan putih
jernih, tidak berdarah dengan pupil hitam. Ikan masih lentur atau kaku
dengan tekstur daging kenyal, lentur, dan jika ditekan cepat pulih (Buckle,
et al., 1987).
b. Perubahan Warna
Pada umumnya kerusakan warna ikan terjadi karena pada senyawasenyawa pigmen yang ada pada ikan misalnya hemoglobin dan mioglobin

yang disebabkan karena proses oksidasi. Warna cokelat atau abu-abu


disebabkan karena myoglobin berubah menjadi metmioglobin dan
methemoglobin. Zat warna mioglobin dapat memberi warna merah pada
darah (Soewedo, 1983).
c. Pembusukan Bahan Berprotein
Protein pada tubuh ikan sangat mudah sekali mengalami
pembusukan serta ikan sangat mudah mengalami denaturasi (kerusakan)
protein yang terjadi karena daging ikan yang mempunyai sedikit tenunan
pengikat (tendon) (Soewedo, 1983).
Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat (tendon),
sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis (enzim yang terdapat
pada ikan) dan proses pembusukan pada daging ikan lebih cepat
dibandingkan dengan pembusukan pada produk ternak atau hewan lain.
Hasil pencernaan tersebut menyebabkan daging ikan menjadi sangat lunak
sehingga merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Biasanya, pada tubuh ikan yang telah mengalami proses
pembusukan terjadi perubahan, seperti timbulnya bau busuk, daging
menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun
tubuh pada bagian luar (Moeljanto, 1982).
Pada daging ikan menurunnya kadar protein ikan sejalan dengan
menurunnya kadar lemak ikan sebagai akibat dari degradasi lemak dan
protein yang mengakibatkan bau tengik dan citarasa yang tidak enak.
Ketengikan berlangsung oleh adanya kegiatan bakteri dalam daging ikan.
kerusakan oksidasi lemak dan protein dapat menyebabkan perubahan
citarasa. Kerusakan akibat oksidasi lemak dan protein terdiri dari 2 tahap
yaitu tahap pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen
kemudian tahap kedua yaitu proses oksidasi dan non oksidasi (Tranggono
dan Sutardi, 1990).
Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktorfaktor fisikawi, organoleptik, kimiawi maupun faktor mikrobiologi.
Menurut Hadiwiyoto (1993), faktor parameter fisikawi terdiri dari:
1. Penampakan luar
a. Ikan yang masih segar mempunyai penampakan cerah. Keadaan ini
terjadi karena belum banyak perubahan biokimiawi yang terjadi pada
ikan dan metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan dengan baik.

b. Ikan yang masih segar tidak ditemukan tanda - tanda perubahan warna.
2. Kelenturan daging
a. Ikan segar mempunyai daging yang cukup lentur. Apabila daging
ditekan atau dibengkokkan, ikan akan kembali ke bentuk semula
setelah dilepaskan.
b. Kelenturan yang terjadi disebabkan oleh belum terputusnya benang
benang daging. Pada ikan yang busuk benang - benang daging ini
sudah banyak yang putus dan dinding-dinding selnya banyak yang
rusak sehingga ikan kehilangan kelenturannya.
3. Keadaan mata
a. Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata
pada kecerahan mata.
b. Mata tampak kotor dan tidak jernih.
4. Keadaan daging ikan
a. Ikan yang masih segar, jika ditekan dengan jari telunjuk bekasnya akan
segera kembali karena dagingnya kenyal.
b. Daging ikan belum kehilangan cairan sehingga daging ikan masih
terlihat basah.
c. Belum terdapat lendir pada permukaan tubuh ikan.
5. Keadaan insang
a. Ikan yang segar mempunyai insang yang berwarna merah cerah.
b. Sebaliknya pada ikan yang sudah tidak segar, warna insang berubah
menjadi coklat gelap.
Faktor parameter kimiawi yaitu pH daging ikan dan hasil-hasil akhir
penguraian komponen-komponen daging ikan, seperti kadar hipoksantin, kadar
amonia, dan kadar trimetilamin atau kadar dimetilamin. Faktor parameter sensorik
umumnya dikaitkan dengan cita rasa (flavour), warna, dan kenampakan
sedangkan faktor parameter mikrobiologi yang paling umum digunakan adalah
jumlah bakteri (Hadiwiyoto, 1993).
Tabel Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk
Ikan Segar
Ikan Busuk
Daging kenyal
Daging keras
Tidak empuk
Empuk
Badan kaku
Badan tidak kaku
Sisik rapi dan rapat
Sisik mudah lepas
Bau: Segar, pada bagian luar insang
Bau: Busuk atau asam terutama pada
bagian insang
Sedikit lender pada kulit
Kulit berlendir
Insang berwarna merah
Insang tidak lagi berwarna merah
Ikan tenggelam bila dimasukkan dalam Ikan terapung jika sudah sangat busuk
air
Sumber: (Winarno,1993).
2.2 Tahapan Kerusakan pada Daging dan Ikan

2.2.1 Daging
2.2.2 Ikan
2.3 Penyebab Kerusakan pada Daging dan Ikan
2.3.1 Daging Sapi
Kerusakan bakteri juga dipercepat pada kisaran pH yang tinggi, yaitu 5,3
6.0 tergantung pda cara penanganan terutama pada saat penyembelihan
(hendrasty, 2013). Beberapa penelitian menghasilkan hal yang berbeda. Sebagian
penelitian menemukan bahwa sinar ultra-violet akan mempercepat pengeringan
dan mengoksidasi mioglobin, sedangkan lainnya menemukan bahwa sinar tidak
mempengaruhi warna daging.
2.3.2 Ikan
2.4 Daftar Bakteri Kontaminan pada Daging
2.4.1 Daging
2.4.2 Ikan

A. BAKTERI KONTAMINAN YANG BERSIFAT PATOGEN PADA


DAGING SAPI
1. Bacillus antharacis
B. antharacis merupakan bakteri gram positif berbentuk batang,
berukuran besar, hidup secara aerobic, dapat membentuk spora
maupun kapsul dan bersifat non motile. Bakteri ini memiliki suhu
pertumbuhan minimum 15C dan suhu maksimum 40C.
B. antharacis banyak terdapat di dalam dan ditemukan di tanah,
debu, air, dan sampah sayuran. Bakteri ini merupakan penyebab
anthrax. Hewan yang sering terkena infeksi anthrax, yaitu kambing,
sapi, kuda, dan babi. Cara penularan bakteri B. antharacis dapat
melalui memakan daging sapi yang terinfeksi.

2. Leptospira
Leptospira merupakan salah satu jenis spirochetes (family
Spitochaetaceae) yang berbeda dari jenis Treponema dan Borrelia,
karena bentuk spiralnya yang lebih halus. Dalam keadaan istirahat,
ujung spiralnya biasanya membentuk struktur melengkung, sedang bila
dalam keadaan bergerak, spiralnya mungkin berubah bentuk seperti
huruf C, O atau S.
Leptospira mungkin terdapat pada beberapa hewan seperti sapi,
babi, kambing, kuda, anjing, kucing, tikus, dan hewan liar lainnya
kecuali unggas. Manusia dapat ditulari oleh bakteri ini melalui
beberapa cara, misalnya melalui sentuhan dengan hewan yang
terinfeksi, melalui kontak dengan air kencing hewan tersebut, dengan
menggunakan air yang terkontaminasi untuk minum, mencuci,
berenang atau mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi dengan
air kencing.
Beberapa strain L. interrogans yang terdapat menyebabkan
leptospirosis pada manusia misalnya L. comona, yaitu strain strain
yang sering ditemukan pada sapi, L. icterohemorrhagiae yang bersifat
paling virulen terhadap manusia dan sering ditemukan pada sapi.
3. Erysipelothrix
E. rhusiopathiae merupakan suatu bakteri gram positif berbentuk
batang kecil pipih dan membentuk filament, tidak membentuk spora,
tidak membentuk kapsul dan bersifat anaerobic. Bakteri ini pathogen
pada ternak dan sering menimbulkan kerugian pada ternak unggas,
sapi, babi, dan kambing.
4. Listeria
L. monocytogenes adalah suatu bakteri yang dapat menyebabkan gejala
infeksi pada manusia dan berbagai hewan diantaranya ayam, kelinci,
kambing, sapi, kuda, dan sebagainnya. Bakteri ini berbentuk batang
kecil agak bulat, gram positif, bergerak dengan flagella peritrikus.
Infeksi oleh Listeria dapat ditularkan dari hewan kepada manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung terjadi
melalui sentuhan luka, sedangkan secara tidak langsung melalui
konsumsi susu atau daging yang berasal dari hewan yang terinfeksi.

Daging mentah secara alami terkontaminasi dengan berbagai


mikroorganisme,

diantaranya

Lactobacillus,

Enterococcus,

Microoccus, Staphyloccus, Pseudomonas, Acinobacter, Anthrobacter,


Cyanobacterim, Brochotrix, Listeria, Enterobacteriaceae serta kapang
dan khamir (Rose, 1982).
Kualitas daging ditentukan

salah

satunya

oleh

komposisi

mikrobiologis dari berbagai mikroorganisme dalam daging tersebut.


SNI No. 01-6366-2000 memberikan standar batasan maksimum
cemaran mikroba dalam daging sebagaimana yang disajikan dalam
tabel dibawah :
Tabel Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging
No

Jenis Cemaran Mikroba

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Total Plate Count (TPC)


Escherechia coli*
Staphylococcus aureus
Clostridium sp
Salmonella sp**
Coliform
Enterococci
Campylobacter sp
Listeria sp

Batas Maksimum Cemaran Mikroba


Daging segar/beku
Daging tanpa tulang
4
1 10
1 104
1
5 10
1 101
1 101
1 102
0
0
Negatif
Negatif
2
1 10
1 102
2
1 10
1 102
0
0
0
0

Keterangan: (*) dalam satuan MPN/gram


(**) dalam satuan kualitatif
DAPUS
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=68296&val=299 INI
YANG DAGING DOMBA DLL.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Diktat%20Pengetahuan%20Bahan
%20Pangan.pdf dari gak tahu pokoknya yang kedua
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D., J.C. Forrest, D.E. Gerrard and E.W. Mills. 2001. Principles of Meat
Science. 4th edition. Kendal/Hunt Publishing Company.

Buege, D. 2001. Information on sausage and sausages

manufacture.

http://www.uwex.edu/ces/flp/meatscience/sausage.html.
Buckle, K.A., E.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan
Penerjemah H. Purnomo dan A. Adiono. UI-Prees, Jakarta
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Batas maksimum Cemaran Mikroba pada
Daging. SNI 01-6366-2000. Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi
Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta.
Jeong, J.Y. et al. 2009. Discoloration characteristic of 3 major muscle from cattle
during cold storage. J Food Sci. 74(1): 1-5.
Kastanya, Yongki Luthana, 2009. Identifikasi

Sederhana

Makanan.

www.yongkikastanyaluthana.wordpress.com/.../identifikasi-sederhanamakanan/Moeljanto, R., 1982. Penanganan Ikan Segar. Penebar Swadaya, Jakarta.


Rose, A.H. 1982. Fermented Food. USA: Academic Press.
Soeseno, 1982. Dasar Perikanan Umum. Jasa Guna, Jakarta.
Soewedo, H., 1983. Dasar-Dasar Teknologi Ikan. UGM-Press, Yogyakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparno. 2011. Ilmu dan Teknologi daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Taha, Siswatiana Rahim. 2012. Cemaran Mikroba Pada Pangan Asal Hewan Di
Pasar Tradisional Kota Gorontalo. Laporan Penelitian Cemaran Mikroba
Pada Pangan Asal Hewan. Universitas Negeri Gorontalo.
Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai