Anda di halaman 1dari 18

Daging dan Produk Daging

Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi karena kandungan gizi dan kadar
airnya yang tinggi, serta banyak mengandung vitamin dan mineral. Kerusakan pada daging
ditandai dengan perubahan bau dan timbulnya lendir. Biasanya kerusakan ini. terjadi jika jumlah
mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta (106 108) sel atau lebih per 1 cm 2 luas permukaan
daging.
Kerusakan mikrobiologi pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pembusuk
dengan tanda-tanda sebagai berikut:
Pembentukan lendir

Perubahan warna

Perubahan bau menjadi busuk karena pemecahan protein dan terbentuknya senyawasenyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, dan senyawa lain-lain.

Perubahan rasa menjadi asam karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam.

Ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging.


Pada daging yang telah dikeringkan sehingga nilai aw-nya rendah, misalnya daging asap atau
dendeng, kerusakan terutama disebabkan oleh pertumbuhan kapang pada permukaan. Pada
daging yang dikalengkan, kerusakan dapat di.sebabkan oleh bakteri pembentuk spora yang
kadang-kadang membentuk gas sehingga kaleng menjadi kembung.
Ikan dan Produk Ikan
Kerusakan pada ikan dan produk-produk ikan terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri
pembusuk. Tanda-tanda kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri pada ikan yang
belum diolah adalah:

Pembentukan lendir pada permukaan ikan.

Bau busuk karena terbentuknya amonia, H2S dan senyawa-senyawa berbau busuk
lainnya. Perubahan bau busuk (anyir) ini lebih cepat terjadi pada ikan laut dibandingkan
dengan ikan air tawar.

Perubahan warna, yaitu warna kulit dan daging ikan menjadi kusam atau pucat.

Peruhahan tekstur, yaitu daging ikan akan berkurang kekenyalannya.

Ketengikan karena terjadi pemecahan dan oksidasi lemak ikan.


Pada ikan asin yang telah diolah dengan pengeringan dan penggaraman sehingga a wikan menjadi
rendah, kerusakan disebabkan oleh pertumbuhan kapang. Pada ikan asin dan ikan peda yang
mengandung garam sangat tinggi (sekitar 20%), kerusakan dapat disebabkan atau bakteri yang
tahan garam yang disebut bakteri halofilik.

memperpanjang umur simpan daging, perlu kiat khusus untuk menanganinya. Daging pada
dasarnya adalah produk hasil ternak yang kaya akan zat gizi dan air, sehingga sangat disukai
oleh bakteri. Sedikit saja salah dalam mengolah danmenyimpan daging, menyebabkan
kontaminasi bakteri berbahaya, sehingga daging pun cepat rusak.

Titik penting dalam memperpanjang umur simpang daging yang benar adalah dengan menjaga
kebersihan, suhu dingin, dan tidak membiarkan daging berlama-lama pada suhu 5-65 derajat
celcius.
Yang perlu diingat, kerusakan pada daging sejatinya tidak hanya disebabkan oleh kontaminasi
bakteri saja, walau memang bakteri menjadi penyebab utama kerusakan pada daging. Cemaran
lain yang dapat merusak kualitas daging adalah cemaran fisik dan cemaran kimia.
Kalau cemaran fisik dapat berupa tulang, kerikil, perhiasan, dan lain-lain, maka cemaran kimia
dapat berupa residu hormon, residu feed additive, residu antibiotika.
Bagaimana dengan cemaran mikrobiologi? Cemaran ini dapat berupa kontaminasi bakteri yang
sering terjadi karena daging dan ayam kaya nutrisi, pH asam, dan mempunyai kandungan air
yang tinggi. Kondisi seperti itu sangat digemari bakteri.
Prinsip memperpanjang umur simpan daging yang benar adalah dengan menghentikan aktivitas
bakteri perusak, dengan melakukan pendinginan dan pembekuan yang mesti dilakukan
dengan segera.
Hal ini dikarenakan proses pembekuan yang terlalu lama dapat menyebabkan terbentuknya
kristal es berukuran besar dalam sel, yang bisa merusak matriks serat daging. Dalam hal
proses pelelehan daging, juga harus dilakukan dengan cepat.
Untuk daging ayam beku, pelelehan dapat berlangsung cepat dalam hitungan jam. Pelelehan
pada daging sapi biasanya dilakukan dengan digantung, sedangkan pada ayam dilakukan
dengan memasukkan ke chiller atau disiram dengan air panas.
Namun yang patut diingat, pelelehan dengan penyiraman dengan air panas dapat
menyebabkan daging pucat dan kulitnya berpenampilan tidak menarik.

Daging rusak atau menjadi busuk disebabkan oleh sejumlah faktor. Namun,
penyebab paling umum adalah mikroorganisme, seperti jamur dan bakteri lainnya.
Mikroorganisme dalam daging memecah protein dan lemak sehingga membusukkan
daging, membuatnya tidak layak dikonsumsi.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan pembusukan daging.
1. Penguraian
Setelah binatang disembelih, sel-sel dalam daging mulai rusak. Sel yang rusak ini
tidak dapat digantikan oleh sel baru selayaknya binatang yang masih hidup.
Bahan kimia dalam daging perlahan-lahan juga mulai memburuk ke titik di mana
daging tidak layak untuk konsumsi.
Beberapa kondisi, seperti paparan terhadap cahaya dan panas dapat mempercepat
proses penguraian ini.
2. Bakteri
Bakteri mungkin saja terdapat pada daging binatang yang masih hidup. Namun, ada
pula bakteri yang muncul setelah binatang disembelih.
Bau asam seperti sulfur atau busuk menunjukkan terdapat koloni bakteri yang
berkembang biak dan telah mencapai tingkat yang tidak aman untuk dikonsumsi.
Ciri lain akibat kehadiran bakteri adalah daging terasa tengik dan terkstur yang
berkapur.
3. Jamur
Jamur menyukai tempat yang lembab, juga tempat-tempat yang hangat dengan
banyak sumber makanan. Daging merupakan tempat yang nyaman bagi koloni
jamur.
Jamur segera tumbuh dan menyebar di atas permukaan daging dan mengubah rasa
serta tekstur daging.
4. Proses oksidasi

Teknik pengemasan yang tidak benar dapat memicu reaksi kimia dalam daging yang
disebut oksidasi.
Lemak dalam daging bereaksi dengan molekul oksigen sehingga menyebabkan
daging menjadi tengik, berubah warna, serta memproduksi bau busuk dan rasa
asam.[]

Karakteristik mutu daging.


Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan
konsumen untuk memilih produk. Pada daging dan produk olahan daging, mutu daging
ditentukan oleh mutu komposisi gizi (rasio antara daging non lemak dengan lemak) dan
palatabilitasnya yang mencakup penampakan, tekstur (juiciness dan keempukan) dan
flavor.
Secara visual, mutu daging dinilai dari warna, marbling dan daya ikat air (water holding
capacity, WHC)-nya. Daging dinilai bermutu baik jika memiliki warna dan marbling yang
seragam pada keseluruhan potongan daging dan dengan penampakan permukaan yang
kering karena sifat WHC-nya yang baik. Keberadaan marbling tidak saja mempengaruhi
penampakan tetapi juga meningkatkan juiciness, keempukan dan flavor produk olahan
daging. Sementara itu, daya ikat air selain mempengaruhi penampakan juga akan
mempengaruhi juiciness dari produk olahan daging.
Warna
Persepsi terhadap warna daging, mentah atau telah dimasak, mempengaruhi keputusan
konsumen dalam memilih daging dan produk olahannya. Daging dengan warna menyimpang
dianggap sebagai daging berkualitas rendah.
Mioglobin merupakan pigmen utama daging dan konsentrasinya akan mempengaruhi
intensitas warna merah daging. Perbedaan kadar miglobin menyebabkan perbedaan
intensitas warna daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar mioglobin adalah spesies,
jenis kelamin, umur dan aktifitas fisik hewan. Hal ini menjelaskan kenapa daging sapi lebih
merah dari daging babi dan daging babi lebih merah dari daging ayam; atau mengapa
daging hewan jantan, hewan tua dan/atau daging paha lebih merah dari hewan betina,
hewan muda dan/atau daging dada.
Warna daging juga dipengaruhi oleh kondisi penanganan dan penyimpanan. Jenis kemasan,
serta suhu dan lama waktu penyimpanan bisa mempengaruhi warna daging. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang menyebabkan
perubahan warna daging.

Ketika daging segar dipotong, maka warna awal yang terlihat adalah warna merah
keunguan dari mioglobin. Setelah beberapa saat terpapar dengan oksigen diudara, maka
permukaan daging segar tersebut akan berubah warna menjadi merah terang karena
terjadinya oksigenasi mioglobin menjadi oksimioglobin. Permukaan daging yang mengalami
kontak dengan udara untuk waktu lama, akan berwarna coklat, karena oksimioglobin
teroksidasi menjadi metmioglobin. Walaupun perubahan warna ini normal sepanjang bau
daging masih khas daging segar, tetapi mengindikasikan bahwa daging sudah agak lama
terekspos dengan udara sehingga sebaiknya segera dibekukan jika tidak langsung dimasak.
Jika daging berwarna coklat dan baunya tidak lagi khas daging segar, maka kondisi ini
menunjukkan bahwa daging tersebut sudah disimpan di refrigerasi untuk waktu yang lama.
Penyimpangan bau merupakan tanda bahwa daging sudah mulai rusak (busuk) dan
hendaknya tidak dikonsumsi.
Jenis kemasan akan mempengaruhi warna daging segar. Daging tenderloin sapi, yang
dikemas dalam kemasan vakum akan memiliki warna merah keunguan. Penyebabnya adalah
ketiadaan oksigen didalam kemasan vakum. Jika daging dikeluarkan dari kemasan vakum
dan kontak dengan udara, warna permukaan daging akan menjadi merah terang sementara
bagian dalam tetap berwarna merah-keunguan karena oksigen tidak bisa berpenetrasi ke
bagian dalam daging. Disini terlihat bahwa warna merah dan merah-keunguan merupakan
warna alami daging segar.
Daging sapi yang digiling dan dikemas dalam wadah yang ditutup dengan film yang
permeabilitas oksigennya baik, umumnya berwarna merah terang. Daging giling yang
berada dibagian dalam berwarna merah-keunguan. Jika daging dibagian dalam ini
dikontakkan dengan udara, maka warnanya akan berubah menjadi merah terang.
Pemasakan daging pada suhu diatas 80oC menyebabkan pigmen terdenaturasi dan warna
daging berubah menjadi coklat keabuan yang merupakan warna khas daging segar yang
dimasak. Pada pengolahan daging menggunakan garam nitrit (proses kuring), misalnya
pada sosis dan kornet, reaksi nitrit dengan mioglobin menghasilkan nitrosomioglobin yang
ketika dipanaskan (dimasak) pada suhu di atas 65oC akan menghasilkan warna merah
muda yang stabil.
Juiciness
Juiciness atau kesan juicy produk daging dipengaruhi oleh jumlah air yang dapat
dipertahankan untuk tetap berada di dalam daging setelah dimasak; dan produksi saliva (air
ludah) pada saat pengunyahan. Daya ikat air (WHC) daging akan mempengaruhi seberapa
besar air yang dapat dipertahankan didalam produk sementara kadar lemak marbling akan
membantu merangsang pembentukan saliva.

WHC adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air (bebas)nya pada
saat mendapat tekanan dari luar, seperti proses pemanasan, penggilingan atau
pengepressan. Daging dengan karakteristik WHC yang baik biasanya akan menghasilkan
produk dengan karakter juiciness yang baik. Denaturasi protein daging karena penurunan
pH daging beberapa waktu setelah penyembelihan, akan menyebabkan turunnya WHC
daging. Akibatnya, daging tidak mampu mempertahankan air daging selama proses
pemasakan dan produk yang dihasilkan akan terasa kering (airnya hilang selama
pengolahan) dan hambar (komponen flavor larut air terbuang bersama air yang keluar).
Proses pelayuan (aging) daging dapat meningkatkan WHC daging sehingga juicinessnya
dapat ditingkatkan.
WHC dapat berubah karena pemasakan dan menyebabkan pengaruh pada juiciness produk.
Peningkatan suhu pemasakan akan meningkatkan denaturasi protein sehingga WHC
menurun dan karakter juicy produk juga berkurang.
Marbling adalah istilah populer untuk lemak intramuskuler. Secara visual, marbling terlihat
sebagai butiran lemak putih yang tersebar diantara daging. Pada Gambar 1 dapat dilihat
kondisi marbling daging sapi. Juiciness meningkat ketika kadar marbling meningkat.
Marbling yang meleleh pada saat pemasakan dan pelepasannya selama pengunyahan
bersama-sama dengan sebagian air bebas daging akan meningkatkan sensasi jus daging.
Secara tidak langsung, lemak juga berpengaruh pada juiciness dengan menghambat
penguapan air daging selama pemasakan.

Gambar 1. Penampakan marbling daging sapi


Dari penelitian juga disebutkan adanya korelasi antara kadar marbling dengan kelezatan
(palatabilitas) daging secara keseluruhan. Jika kandungan lemak marbling kurang dari 3%,
palatabilitas menurun dan daging tidak diterima konsumen. Kandungan marbling yang
tinggi (lebih dari 7.3%) ternyata juga memberikan persepsi negatif terkait dengan
peningkatan konsumsi lemak dan hubungannya dengan penyakit jantung koroner,
kegemukan dan kanker.
Keempukan

Keempukan daging sangat mempengaruhi persepsi konsumen dalam menilai mutu daging.
Kesan empuk melibatkan tiga aspek berikut: kemudahan penetrasi gigi ke dalam daging,
kemudahan pengunyahan daging menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan jumlah
residu (sisa) yang tertinggal setelah pengunyahan.
Spesies, umur dan jenis kelamin hewan akan menentukan tekstur dagingnya. Daging
dengan tekstur yang halus lebih mudah empuk dibandingkan dengan yang teksturnya kasar.
Inilah sebabnya mengapa daging sapi butuh waktu lebih lama untuk mengempukannya
dibandingkan daging babi, domba atau ayam. Peningkatan ukuran serabut otot dengan
meningkatnya umur menyebabkan tekstur daging dari hewan yang lebih tua akan menjadi
lebih kasar dan keempukan akan menurun. Dari jenis kelamin secara umum diketahui
bahwa daging hewan jantan memiliki tekstur yang lebih kasar dari daging hewan betina.
Daging (otot) yang banyak bergerak, misalnya daging dibagian betis, akan memiliki tekstur
lebih kasar dan menjadi kurang empuk jika dibandingkan dengan daging (otot) yang
terletak pada bagian yang jarang digerakkan, misalnya daging dari bagian punggung.
Peningkatan jumlah jaringan ikat didalam daging akan menurunkan keempukan daging
sementara keberadaan lemak marbling akan meningkatkan keempukannya.
Proses pelayuan (aging) adalah salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengempukan
daging. Pelayuan dilakukan dengan menyimpan daging didalam refrigerator yang suhunya
terkendali, selama 2 4 minggu, yang memberi kesempatan pada enzim yang ada didalam
daging untuk memutus protein daging (miofibril) dan jaringan ikat sehingga daging menjadi
lebih empuk. Di jasa boga, proses pengempukan daging ini dapat dilakukan dengan
menambahkan enzim protease kedalam daging.
Pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan daging, tergantung pada
suhu dan waktu pemasakan. Suhu pemasakan akan mempengaruhi kealotan protein
miofibrilar sementara lama waktu pemasakan akan mempengaruhi proses pelunakan
kolagen (protein didalam jaringan ikat).
Selama pemasakan, denaturasi dan pengkerutan protein miofibrilar yang terjadi pada suhu
40 45oC dan terus meningkat pada suhu 60oC menyebabkan kekerasan daging
meningkat. Sebaliknya, protein kolagen yang ada didalam jaringan ikat akan mengalami
pemecahan menjadi gelatin dan meningkatkan keempukan daging pada pemasakan diatas
suhu 65oC. Oleh karena itu, untuk memperoleh daging yang empuk, perhatikan
karakteristik daging yang akan dimasak. Pemasakan daging sebaiknya dilakukan pada suhu
internal yang tidak terlalu tinggi, dengan waktu singkat jika daging hanya mengandung
sedikit jaringan ikat dan waktu yang lebih lama jika jaringan ikat lebih tinggi.
Flavor

Flavor daging dihasilkan dari kombinasi berbagai komponen yang menstimulasi reseptor
penciuman dan rasa yang ada di saluran mulut dan hidung. Senyawa pembentuk flavor
daging terutama komponen-komponen hasil pemecahan protein (peptida dan asam amino),
komponen aroma yang larut air dan gula pereduksi. Perbedaan jenis dan komposisi lemak
menyebabkan adanya sedikit perbedaan flavor daging dari hewan yang berbeda pada saat
daging dimasak.
Reaksi maillard yang merupakan reaksi antara protein daging terhidrolisa, peptida dan asam
amino dengan gula pereduksi berperan penting dalam menghasilkan flavor daging masak.
Faktor aw, pH, suhu dan waktu pemanasan akan mempengaruhi jenis dan intensitas
komponen flavor daging masak yang dihasilkan. Reaksi ini berlangsung optimum pada
kisaran aw 0.5 0.8, pH tinggi dengan suhu antara 100C (flavor daging rebus) dan 180C
(flavor daging goreng).
Perbedaan cara memasak akan menghasilkan flavor yang berbeda. Sebagai contoh, pada
daging yang dimasak dengan teknik pemasakan kering, flavor hanya terbentuk di bagian
permukaan daging sementara teknik pemasakan basah memungkinkan reaksi pembentukan
flavor berlangsung sampai ke bagian dalam daging. Keberadaan komponen lain selama
proses pengasapan dan kuring daging juga akan menghasilkan produk daging dengan flavor
yang khas.
Lemak marbling juga berpengaruh terhadap flavor. Daging dengan marbling rendah selain
terlihat kering juga memiliki flavor yang lebih lemah daripada daging dengan marbling yang
lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa 8 9% lemak marbling didalam steak akan
menghasilkan flavor yang baik sementara peningkatan lemak diatas 9% akan memberikan
citarasa berminyak.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Daging merupakan salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani dengan
kandungan gizi yang cukup lengkap. Sama halnya dengan bahan pangan hewani lainnya seperti,
susu, telur dan lain-lain, daging bersifat mudah rusak akibat proses mikrobiologis, kimia dan
fisik bila tidak ditangani dengan baik.
Pengolahan daging lebih sulit dilakukan karena daging merupakan bahan pangan yang
mudah rusak. Banyak cara yang dilakukan untuk membuat hasil olahannya itu lebih lezat dan
menarik tanpa merusak tekstur daging itu sendiri. Penyimpanan yang salah akan mengurangi cita

rasa serta nilai gizi yang ada di dalamnya. Sama halnya seperti penyimpanan, proses pengawetan
daging juga harus sesuai dengan prosedur dan dilakukan secara hati-hati agar terhindar dari
kontaminasi bakteri.
Kandungan gizi serta penampilan daging dari masing-masing hewan berbeda-beda,
sehingga berbeda pula cara pengolahannya. Penampilan dan kandungan gizi pada daging sangat
menentukan kualitas dari daging itu sendiri. Kualitas daging bisa dilihat dari warna, tekstur dan
baunya. Sehingga sangat perlu dilakukan uji fisik serta uji organolepik,kimia dan
mikroorganisme untuk mengetahui kualitas dari daging yang akan dikonsumsi.
1.2.

1.3.

Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui metode uji
fisik,kimia dan mikroorganisme pada daging,Untuk menambah wawasan mahasiswa tentang
sifat fisik, kimia dan mikrobiologis daging.
Manfaat
Mengetahui metode yang digunakan dalam pengujian fisik,kimia dan mikroorganisme
pada daging dan mendapatkan informasi tentang ilmu pengetahuan pengujian pada daging
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Defenisi Daging


1. Menurut FDA
Daging adalah urat daging (otot) yang telah dikuliti dengan baik, berasal dari sapi, babi, domba,
kambing, yang telah cukup dewasa dan sehat pada penyembelihan, terdiri dari otot-otot pada
rangka, lidah, diafragma, jantung, dan esofagus, tetapi tidak termasuk otot-otot pada bibir,
hidung atau moncong, dan telinga.
2. Menurut Departemen Perdagangan RI
Urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan
telinga, yang berasal dari hewan yang sehat saat dipotong.
Definisi daging lainnya adalah semua jaringan hewan dan produk olahannya yang sesuai
dan digunakan sebagai makanan. Daging terdiri dari empat jaringan utama, yaitu jaringan otot
(muscle), jaringan ikat, jaringan epitel dan jaringan saraf. Daging dapat diklasifikasikan
berdasarkan: intensitas warna, yaitu daging merah dan daging putih; dan asal daging. Daging
merah misalnya daging sapi, daging kerbau, daging babi, daging domba, daging kambing dan
daging kuda. Daging unggas misalnya daging ayam, itik dan angsa. Daging hasil laut misalnya
ikan, udang, kepiting, kerang. Daging hewan liar misalnya kijang, babi hutan. Daging aneka
ternak misalnya kelinci, burung puyuh, dan merpati (Nurwantoro et al, 2003).
Menurut Astawan, (2007) daging merupakan bahan pangan yang penting dalam
memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula kandungan
asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah

dicerna dibanding protein yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung beberapa
jenis mineral dan vitamin. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250
kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam
serabut-serabut otot, yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 540 persen, tergantung pada jenis dan spesies, makanan dan umur ternak. Daging juga
mengandung kolesterol, walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan
bagian jeroan maupun otak. Kadar kolesterol daging sekitar (500 mg/100g) lebih rendah
daripada kolesterol otak (1.800-2.000 mg/100 g) atau kolesterol kuning telur (1.500 mg/100 g).
Daging adalah salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang sangat dibutuhkan
oleh manusia, karena zat-zat makanan yang dikandungnya sangat diperlukan untuk kehidupan
manusia, terutama bagi anak-anak yang sedang tumbuh.
2.2. Komposisi kimia Daging
Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati (biologicalvalue) yang
tinggi mengandung :

Sumber

Komposisi Daging
Mineral dan
Protein (%)

Lemak (%)

Air (%)
Non-Protein (%)

Forest et al. 1992

19

70

Lawrie 1991

18

3,5

75

3,5

20

70

(jumlah ini akan berubah bila hewan digemukkan, karena akan


menurunkan persentase air dan protein serta meningkatan
persentase lemak)

Romans et al. 1994

Perbedaan persentase komposisi kimia dalam daging berlemak dan tidak berlemak :
Komposisi (%)

Daging Tanpa Lemak

Daging Berlemak

Air

70

62

Protein

20

17

Lemak

20

Abu

Nilai protein yang tinggi di dalam daging disebabkan oleh asam amino esensialnya yang
lengkap. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi, yang ditentukan oleh kandungan
lemak di dalam intraselular di dalam serabut-serabut otot. Daging juga mengandung kolesterol,
walaupun dalam jumlah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bagian jeroan maupun
otak. Daging juga merupakan sumber vitamin dan mineral yang sangat baik. Secara umum,
daging merupakan sumber mineral seperti kalsium, fosfor, dan zat besi serta vitamin B kompleks
tetapi rendah vitamin C (Anonimus, 2004). Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor,
baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong.
Persentase komposisi kimia macam-macam daging :
Macam Daging
Komposisi
Sapi

Domba

Babi

Air (%)

66

66.3

42

Protein (%)

18.8

17.1

11.9

Lemak (%)

14

14.8

45

Ca (mg/gram)

11

10

P (mg/gram)

170

19

117

Fe (mg/gram)

2.8

2.6

1.8

Vitamin A (SI)

30

Vitamin B (mg/gram)

0.08

0.15

0.58

Di dalam daging sapi juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, natrium,
fosfhor, khorl, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Viatamin yang terdapat terutama golongan
vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), viatamin C, A, E, D, dan K. selain itu daging pigmen pemberi
warna merah (mioglobin). Perubahan warna daging dari karkas menjadi merah cerah karena
pembentukan oksimioglobing dan ketika berubah menjadi coklat karena mioglobin menjadi
metmioglobin (Sudarwati, 2007).
2.3. Pengujian Fisik Daging
1) Pemeriksaan Awal Pembusukan

Pemeriksaan awal pembusukan yang dilakukan dengan uji Eber. Jika terjadi pembusukan,
maka pada uji ini ditandai dengan terjadi pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai
asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Pada
daging sapi segar, dingin, dan beku yang diperiksa hasilnya negatif dimana tidak terdapat NH4Cl
setelah diuji dengan mengunakan larutan Eber karena pada daging-daging tersebut belum
terbentuk gas NH3 . Pada daging busuk jelas terlihat gas putih (NH4Cl) pada dinding tabung
karena pada daging busuk gas NH3 sudah terbentuk.
Selain uji Eber, bisa dilakukan uji Postma. Hasil pemeriksaan uji Postma menunjukkan
bahwa sampel daging segar belum mulai terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging
beku juga menunjukkan hasil negatif. Hasil positif hanya ditunjukkan oleh sampel daging busuk,
yaitu dengan adanya perubahan warna kertas lakmus pada cawan petri. Pada prinsipnya, daging
yang sudah mulai membusuk akan mengeluarkan gas NH3. NH3 bebas akan mengikat reagen
MgO dan menghasilkan NH3OH. Pada daging yang segar tidak terbentuk hasil NH3OH karena
belum adanya NH3 yang bebas. Jika tidak terjadinya perubahan warna kertas lakmus karena
MgO merupakan ikatan kovalen rangkap yang sangat kuat sehingga walaupun terdapat unsur
basa pada MgO tersebut, namun basa tersebut tidak lepas dari ikatan rangkapnya. Jika adanya
NH3 maka ikatan tersebut akan terputus sehingga akan terbentuk basa lemah NH3OH yang akan
merubah warna kertas lakmus dari merah menjadi biru.
Dari hasil uji H2S pada sampel daging segar menunjukkan bahwa daging tersebut belum
terjadi pembusukan, sampel daging dingin dan daging beku juga menunjukkan hasil negatif. Uji
H2S pada dasarnya adalah uji untuk melihat H2S yang dibebaskan oleh bakteri yang menginvasi
daging tersebut. H2S yang dilepaskan pada daging membusuk akan berikatan dengan Pb acetat
menjadi Pb sulfit (PbSO3) dan menghasilkan bintik-bintik berwarna coklat pada kertas saring
yang diteteskan Pb acetat tersebut. Hanya kelemahan uji ini, bila bakteri penghasil H2S tidak
tumbuh maka uji ini tidak dapat dijadikan ukuran. Pembusukan dapat terjadi karena dibiarkan di
tempat terbuka dalam waktu relatif lama sehingga aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan
terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.
2) Pemeriksaan Organoleptik
Pada sampel daging segar yang diperiksa sangat jelas menunjukkan bahwa daging tersebut
masih segar kalau dilihat dari pemeriksaan secara organoleptik. Dimana baik penampilan, warna,
tekstur dan konsistensinya masih memenuhi kriteria daging yang masih segar. Pada sampel
daging dingin yang diperiksa setelah 24 jam menunjukkan bahwa daging tersebut belum terjadi
pembusukan, pada daging beku yang diperiksa setelah 7 hari juga menunjukkan belum terjadinya
pembusukan. Sampel daging busuk menunjukkan perubahan yang sangat jelas, dimana bau
sudah menjadi amis, warna merah kehitaman, berlendir dan tekstur licin akibat pengeluaran
lendir.
Warna daging pada daging segar disebabkan oleh adanya pigmen merah keunguan yang
disebut myoglobin yang berikatan dengan oksigen yang struktur kimianya hampir sama dengan
haemoglobin. Tekstur dan konsistensi dari daging sangat ditentukan oleh protein-protein
penyusunnya. Warna daging yang baru diiris biasanya merah ungu gelap. Warna tersebut berubah
menjadi terang (merah ceri) bila daging dibiarkan terkena oksigen, perubahan warna merah ungu
menjadi terang tersebut bersifat reversible (dapat balik). Namun, jika daging tersebut terlalu lama

terkena oksigen maka warna merah terang akan berubah menjadi cokelat. Mioglobin merupakan
pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna daging segar, mioglobin dapat
mengalami perubahan bentuk akibat berbagai reaksi kimia. Bila terkena udara, pigmen
mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan warna merah terang.
Oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin akan menghasilkan pigmen metmioglobin yang
berwarna cokelat. Timbulnya warna coklat menandakan bahwa daging telah terlalu lama terkena
udara bebas, sehingga menjadi rusak. (Astawan, 2004).
2.4.
Pengujian Kimia Pada Daging
1) Malachit Green Test
Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih dengan sempurna atau
tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging tersebut berasal
dari hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran darah yang tidak
sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga O2 dari
H2O2 3% tidak mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan hijau. Sebaliknya,
jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi warna biru. Pengeluaran
darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta mempengaruhi proses
selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50% nya saja dari jumlah
total darah (Lawrie, 1995).
Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta
mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan 50%
nya saja dari jumlah total darah (Lawrie, 1995).
2) Pengukuran pH Ekstrak Daging
Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2
dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH
nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari
seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan ditentukan oleh
jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan akan
terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot
terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat
dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan
pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Hasil perhitungan pH daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal dari
hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator pH daging mengalami penurunan karena
adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam laktat. Begitu
pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk pH meningkat karena penurunan
aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang semakin terbatas dan diikuti
aktivitas mikroba penghasil senyawa basa
2.5. Penujian Mikroorganisme Pada Daging
Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging biasanya
dilakukan untuk beberapa tujuan seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara
mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3) Mengetahui
daya awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk memantau mutu

bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk pada berbagai tahap
pengolahan dan distribusi. Beberapa mikroorganisme indicator pada daging merah dan unggas
dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel Mikroorganisme Indikator pada Produk Daging
Indikator
Mikroorganisme
Keamanan
Salmonella
Staphylococcus aureus
Clostridium perfringens
Clostridia mesofilik
Sanitasi
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 35-37C
Kokiform
Eschericia coli
Enterokoki
Daya tahan simpan
Total hitungan cawan aerobik pada suhu 4-10C dan 20-30C
Kapang dan khamir
Bakteri asam laktat (BAL)
Pseudomonad
Ada beberapa Metoge pegujian mikroorganisme
Sterilisasi
Bahan atau peralatan yang digunakan dalam bidang mikrobiologi harus dalam keadaan
steril. Steril artinya tidak didapatkan mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya, baik yang
mengganggu atau merusak media atau mengganggu kehidupan dan proses yang sedang
dikerjakan. Setiap proses baik fisika, kimia dan mekanik yang membunuh semua bentuk hidup
terutama mikroorganisme disebut sterilisasi.
Ada beberapa metode sterilisasi, yaitu:
a. Sterilisasi secara fisik
Cara membunuh mikroba ini dengan memakai panas (Thermal kill). Panas tersebut akan
mendenaturasi protein, terutama enzim-enzim dan membran sel. Panas kering membunuh bakteri
karena oksidasi komponen-komponen sel. Daya bunuh panas kering tidak sebaik panas basah.
Hal ini dibuktikan dengan memasukkan biakan mikroba dalam air mendidih akan cepat mati
daripada dipanasi secara kering.
1). Pemanasan Basah
- Otoklaf
Alat ini serupa tangki minyak yang dapat diisi dengan uap air. Dalam otoklaf, yang
mensterilkannya adalah panas basah, bukan tekanannya. Oleh karena itu setelah air di dalam
tangki mendidih dan mulai terbentuk uap air, maka uap air ini akan mengalir ke ruang pensteril
guna mendesak keluar semua udara di dalmnya.
- Tyndallisasi
Metode ini berupa mendidihkan medium dengan uap beberapa menit saja. Setelah
didiamkan satu hari, selama itu spora-spora sempat tumbuh menjadi bakteri vegetatif, maka
medium tersebut dididihkan lagi selama beberapa menit. Akhirnya pada hari ketiga, medium

tersebut dididihkan sekali lagi. Dengan jalan demikian diperoleh medium steril, dan zat-zat
organik yang terkandung di dalamnya tidak mengalami perubahan.
- Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatu cara disinfeksi dengan pemanasan yang pertamakalinya
dilakukan oleh Pasteur dengan maksud untuk mengurangi jumlah mikroorganisme pembusuk
(perusak) di dalam anggur tanpa merusak anggur tersebut. Suhu yang dipergunakan pada
pasteurisasi adalah sekitar 69oC, dan waktu yang digunakan adalah 30 menit.
2). Pemanasan Kering
- Oven
Sterilisasi ini menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan ditempatkan dalam
oven di mana suhunya dapat mencapai 160-180 oC. Caranya adalah dengan memanaskan udara
dalam oven tersebut dengan gas atau listrik. Oleh karena daya penetrasi panas kering tidak
sebaik panas basah, maka waktu yang diperlukan pada sterilisasi cara ini lebih lama yakni
selama 1 2 jam. Sterilisasi cara ini baik dipergunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas seperti
cawan petri, pipet, tabung reaksi, labu dan sebagainya.
Metode Hitungan Cawan
Metode hitungan cawan merupakan metode yang paling sensitif untuk menentukan jasad
renik, dengan prinsip jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar
maka sel jasad renik tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dan dihitung tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz, 1992). Keuntungan
menggunakan metode hitungan cawan dalam menghitung jumlah koloni pada medium agar
adalah sebagai berikut:
1.
Hanya sel yang masih hidup yang dihitung
2.
beberapa jenis jasad renik dapat dihitung secara langsung
3.
dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi jasad renik karena koloni yang terbentuk mungkin
berasal dari suatu jasad renik yang mempunyai penampakan pertumbuhan spesifik.
Selain keuntungan yang dimiliki seperti tersebut di atas, metode hitungan cawan juga memiliki
kelemahan seperti yang termuat dalam Fardiaz (1992), yaitu:
1.
Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang sebenarnya karena beberapa sel yang
berdekatan mungkin membentuk satu koloni
2.
medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbed
3.
jasad renik yang ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni
yang nampak dan jelas, tidak menyebar.
4.
memerlukan persiapan dan waktu inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat
dihitung.
Metode hitungan cawan dapat dibedakan dalam dua cara yaitu metode tuang (pour plate)
dan metode permukaan (surface plate) (Fardiaz, 1993).
1. Metode Tuang (Pour Plate)
Dari pengenceran yang dikehendaki, sebanyak 1 ml atau 0,1 ml larutan tersebut dipipet
ke dalam cawan petri menggunakan pipet 1 ml atau 1,1 ml. Sebaiknya waktu antara dimulainya
pengenceran sampai menuangkan ke dalam cawan petri tidak boleh lebih lama dari 30 menit.

Kemudian ke dalam cawan tersebut dimasukkan agar cair steril yang telah didinginkan sampai
47-500C sebanyak 15-20 ml. Selama penuangan medium, tutup cawan jangan dibiarkan dibuka
terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Segera setelah penuangan cawan petri
digerakkan di atas meja secara hati-hati, untuk menyebarkan sel-sel secara merata, yaitu dengan
gerakkan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar memadat, cawan-cawan
tersebut dapat diinkubasikan di dalam incubator dalam posisi terbalik (Fardiaz, 1993).
2. Metoda Permukaan (Surface/Spread Plate)
Pada pemupukan dengan metode permukaan, agar steril terlebih dahulu dituangkan ke
dalam cawan petri dan biarkan membeku. Setelah membeku dengan sempurna, kemudian
sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Sebuah
batang gelas melengkung (hockey stick) dicelupkan ke dalam alcohol 95% dan dipijarkan
sehingga alcohol habis terbakar. Setelah dingin batang gelas tersebut digunakan untuk digunakan
untuk meratakan contoh di atas medium agar dengan cara memutarkan cawan petri di atas meja.
Selanjutnya inkubasi dan perhitungan koloni dilakukan seperti pada metode penuangan. Tetapi
harus diingat bahwa jumlah contoh yang ditumbuhkan adalah 0,1 ml, jadi harus dimasukkan
dalam perhitungan total count (Fardiaz, 1993).
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Dari hasil pemeriksaan mikroba pada daging sapi segar didapat hasil Total Plate Count (TPC)
adalah 1,5 x 105 bakteri/ml, daging sapi yang telah di simpan di dalam refrigerator selama 24
jam diperoleh 9,6 x 105 bakteri/ml, daging yang dibekukan selama 7 hari 2,3 x 106 bakteri/ml,
dan pada daging busuk 1,2 x 107 bakteri/ml. Hasil perhitungan TPC dari daging sapi segar dan
daging sapi yang telah disimpan di dalam refrigerator selama 24 jam masih berada di bawah
angka standar yang diperbolehkan untuk dikonsumsi, yaitu 1 x 106 bakteri/ml. Hasil perhitungan
TPC pada daging yang disimpan di dalam freezer selama 7 hari dan daging busuk didapatkan
hasil di atas angka standar yaitu 2,3 x 106 dan 1,2 x 107 bakteri/ml, berarti daging-daging
tersebut sudah banyak mengandung bakteri sehinga tidak baik lagi untuk dikomsumsi.
Hasil pemeriksaan mikroba yang dilakukan pada kulit ayam lebih tinggi dari angka
maksimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil perhitungan TPC kulit ayam adalah 8 x
107, padahal batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan SK
Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 bakteri/ml dan harus negatif dari Salmonella sp.
Menurut Lawrie (1995) mengatakan bahwa kontaminasi mikroba pada daging dapat
terjadi pada saat hewan tersebut masih hidup sampai sewaktu akan dikonsumsi. Sumber
kontaminasi dapat berasal dari tanah, kulit hewan, alat jeroan, air pencelupan, alat yang dipakai
selama proses persiapan karkas, kotoran hewan, udara dan dari pekerja.
Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging
ada dua macam, yaitu (a). Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi
oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat; (b). Faktor
ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau
kondisi daging (Fardiaz.dkk, 1992).

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengolahan daging lebih sulit dilakukan karena daging merupakan bahan pangan yang
mudah rusak. Banyak cara yang dilakukan untuk membuat hasil olahannya itu lebih lezat dan
menarik tanpa merusak tekstur daging itu sendiri.
Penyimpanan yang salah akan mengurangi cita rasa serta nilai gizi yang ada di dalamnya.
Sama halnya seperti penyimpanan, proses pengawetan daging juga harus sesuai dengan prosedur
dan dilakukan secara hati-hati agar terhindar dari kontaminasi bakteri.
Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan substansi
bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen
terlarut, mineral, dan vitamin. Daging merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula kandungan asam
amino esensial yang lengkap dan seimbang.
pemeriksaan organoleptik merupakan Pada sampel daging segar yang diperiksa sangat
jelas menunjukkan bahwa daging tersebut masih kalau dilihat dari pemeriksaan secara
organoleptik. Dimana baik penampilan, warna, tekstur dan konsistensinya masih memenuhi
kriteria daging yang masih segar.
Pengujian mikroorganisme indicator pada produk daging merah dan daging biasanya
dilakukan untuk beberapa tujuan seperti: 1) Menjamin keamanan produk pangan secara
mikroorganisme biologis, 2) Mengetahui kondisi sanitasi selama pengolahan, dan 3) Mengetahui
daya awet dari produk pangan. Alasan dari pengguanaan indicator adalah untuk memantau mutu
bahan mentah yang digunakan, kondisi pengolahan, dan mutu produk

DAFTAR PUSTAKA
Veteriner. DirektoratKesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan. Departemen Pertanian, http://www.deptan.go.id.

Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/sifat-sifat-daging.html
Http://id.shvoong.com/medicine-and-health/nutrition/2120586-kriteria-kualitasdaging/#ixzz1Z90vvnIM

Soeparno. 1998. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Hal
176 313
http://harfinad24090112.wordpress.com/category/lap-pengolahan-daging/
http://maulidayanti1.blogspot.com/2013/05/pengujin-fisik-dan-kimia-daging.html

Anda mungkin juga menyukai