Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi
mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh
mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf
perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang
saraf perifer, kulit dan jaringantubuh lainnya.
Penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Penyakit kusta adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang pada
masyarakat dinegara-negara berkembang dan menimbulkan dampak psikologis,
social dan ekonomi.
2.2 Etiologi dan Klasifikasi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran
nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa
membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari
hingga 40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8
micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu,
hidup dalam sel dan BTA.
Klasifikasi
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita
menjadi:
1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan
kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang
3

satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas,


pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji
lepramin ( + ) kuat.
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering
bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi punched out dengan infiltrat eritematosa batas tegas
pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.Gangguan
sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan
uji lepromin ( - ).
4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + )
banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil,
jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan
jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagimenjadiduakelompok, yaitu :
1. PansiBasiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL,

2.3 Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ketubuh belum diketahui pasti, beberapa
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin
dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae kekulit tergantung factor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu
regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( ParasisObligatIntraseluler ) terutama terdapat pada sel
macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan
saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal
dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuhan system imun seluler tinggi macrofag tidak
mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak
jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan
kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak
bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtianlonghans, bila tidak
4

segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan sekitar.
2.4 Manifestasi Klinik
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
1.

2.

Tipe Tuberkoloid ( TT )
a)

Mengenai kulit dan saraf.

b)

Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas
jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).

c)

Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama


dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer
yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

d)

Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda


adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )


a) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
b) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas
tipe TT.
c) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
d) Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3.

Tipe Mid Borderline ( BB )


a)

Tipe paling tidakstabil, jarangdijumpai.

b)

Lesidapatberbentukmacula infiltrate.

c)

Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi
melebihi tipe BT, cenderung simetris.

d)

Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

e)

4.

Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk


oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas
tipe ini.

Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh


tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf
yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5.

Tipe Lepromatosa ( LL )
A.

Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,


berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.

B.

Distribusi lesi khas :

C.

D.

a)

Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

b)

Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan,


ekstensor tingkat bawah.

Stadium lanjutan :
a)

Penebalan kulit progresif

b)

Cuping telinga menebal

c)

Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine,


dapat disertai madarosis, intisdan keratitis.

Lebih lanjut
a)

Deformitas hidung

b)

Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

c)

Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glousesanestesi.

d)

Penyakit progresif, macula dan popul baru.


6

e)
E.

Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis


menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
6.

Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
a)

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit


sekitar normal.

b)

Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka,


kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan
sedikit penebalan saraf.

c)

Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

d)

Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain


Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
b) Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
a)

c)

Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

d)

Lidah : ulkus, nodus

e)

Larings : suara parau

f)

Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

g)

Kelenjarlimfe : limfadenitis

h)

Rambut : alopesia, madarosis

i)

Ginjal :glomerulonefritis,
interstitial.

amilodosisginjal,

pielonefritis,

nefritis

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinalberikut: 1)Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan
7

sensibilitas.Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi


kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula,
papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran
khas.Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif, Pada beberapa kasus
ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan,
parastesi.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau
karenatersangka kuman resisten terhadap obat
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
Indeks Bakteri (IB) :
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
8

1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang


2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.
2.6 Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981.
Program ini
bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100
mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From
Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah
Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin
300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50
mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum
dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36
bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
9

(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam


12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur, dibawah 10 tahun: /bln Harian 50mg/2kali/minggu, Umur
11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg /3kali/minggu, DDS:12mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai
obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe
MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.7 Komplikasi
1. Impairment, kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang
bersifat patologik, fisiologik atau anatomic misalnya ulkus, claw hand,
absorbs jari
2. Disability, keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk
melakukan aktivitas.
3. Deformity atau kelainan struktur anatomis
4. Osteomielitis
5. Squamous cell
6. Carcinoma
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
a) Kelompok cacat primer
Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung
oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap
M. leprae.
Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf
motorik, misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat
pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas
berkurang, serta gangguan refleks vasodilatasi.
Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis,
ektropion). Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau
10

madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit


kering dan tidak elastik.
Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata.

b) Kelompok cacat sekunder


Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan
memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat
mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Kelumpuhan motorik
menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan
menggenggam atau berjalan juga memudahkan terjadinya luka. Demikian
pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah
timbul keratitis. Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan
elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi
infeksi sekunder.

11

Anda mungkin juga menyukai