Mikosis Paru PDPI
Mikosis Paru PDPI
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi masih menjadi masalah utama kesehatan di
Indonesia. Infeksi jamur paru atau mikosis paru dalam beberapa
tahun terakhir semakin mendapat perhatian karena frekuensinya
semakin meningkat. Hal itu seiring dengan meningkatnya faktor
risiko, di antaranya: penggunaan jangka panjang antibiotika
berspektrum luas, kortikosteroid, alat-alat kesehatan invasif
(ventilator mekanik, kateter vena sentral, dll), obat- obat sitostatika,
penyakit kronik, keganasan, transplantasi organ, maupun gangguan
sistem imun lain.
Secara umum mikosis paru terjadi pada dua keadaan yaitu
menyertai kelainan paru kronik yang sudah ada dan keadaan
imunokompromis. Penyakit paru yang berisiko menimbulkan mikosis
paru adalah keganasan rongga toraks, TB paru dengan kerusakan
paru luas misalnya kavitas, bronkiektasis, penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) dan asma serta keadaan imunokompromis
pascakemoterapi atau penggunaan kortikosteroid jangka panjang.
Mikosis paru yang paling sering dilaporkan adalah aspergilosis,
pneumonia pneumositis (PCP), kandidosis, kriptokokosis dan
histoplasmosis. Epidemi AIDS merupakan salah satu faktor penting
yang berperan pada peningkatan kejadian mikosis paru.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 2 Jamur Paru di Indonesia
BAB II
PROSEDUR DIAGNOSIS
4
5
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 3 Jamur Paru di Indonesia
1
2
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 5 Jamur Paru di Indonesia
1.
Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik spesimen klinik secara langsung
maupun dengan pewarnaan harus selalu dilakukan karena
dapat mendiagnosis kemungkinan terdapatnya infeksi jamur
secara cepat, mudah dan murah, meskipun nilai diagnostiknya
sangat bervariasi (10 sampai >90%) bergantung pada spesies
jamur yang ditemukan. Pemeriksaan mikroskopik langsung
dilakukan dengan menambahkan larutan garam fisiologis, KOH
10% atau tinta India. Teknik pewarnaan dapat dilakukan dengan
Giemsa, gomori methenamin silver (GMS), calcofluor, maupun
deteksi
antibodi
monoklonal
dengan
pewarnaan
imunofluoresens. Pemeriksaan langsung sputum, bilasan
bronkus, BAL atau spesimen lain dapat mendeteksi elemen
jamur secara umum berupa spora maupun hifa. Pemeriksaan
langsung cairan serebrospinal, bilasan bronkus atau BAL
dengan tinta India sangat bermanfaat dalam mendiagnosis
kriptokokosis. Pemeriksaan sputum pasien terinfeksi HIV
dengan pewarnaan Giemsa atau GMS menunjukkan sensitivitas
35-60%, sedangkan pemeriksaan BAL menunjukkan sensitivitas
85-95% dalam mendiagnosis PCP. Induksi sputum dilaporkan
memiliki kesetaraan yang baik dengan BAL. Pewarnaan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 6 Jamur Paru di Indonesia
imunofluorensens
antibodi
monoklonal
meningkatkan
sensitivitas yang lebih baik dibandingkan pewarnaan biasa.
2.
Biakan
Pemeriksaan biakan jamur yang berasal dari berbagai spesimen
respirasi memiliki nilai diagnostik bervariasi, tergantung pada
spesies jamur, asal spesimen serta derajat penyakit yang
dialami pasien. Pemeriksaan biakan memiliki nilai diagnostik
tinggi bahkan menjadi baku emas diagnosis infeksi jamur
tertentu, misalnya biakan darah merupakan baku emas
diagnosis infeksi Candida dalam darah (kandidemia), tetapi
pemeriksaan biakan tidak bermakna untuk diagnosis PCP
karena P. jiroveci belum dapat dibiak sampai saat ini. Pada
histoplasmosis akut, sensitivitas biakan hanya 15%, sedangkan
pada histoplasmosis diseminata sensitivitasnya >85%. Hasil
pemeriksaan biakan membutuhkan waktu beberapa hari sampai
minggu, tetapi penting dilakukan untuk identifikasi spesies
secara konvensional maupun uji kepekaan jamur terhadap obatobat antijamur.
3.
Serologi
Uji serologi secara tradisional digunakan untuk mendeteksi
reaktivitas antibodi pejamu terhadap elemen-elemen jamur. Nilai
diagnostiknya sangat terbatas, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan interpretasi hasil. Dewasa ini telah
dikembangkan deteksi antigen yang memiliki nilai diagnostik
lebih tinggi. Uji ini didasarkan atas deteksi komponen dinding
jamur yang dilepaskan ke dalam aliran darah atau cairan tubuh
lain pada saat jamur berproliferasi. Uji antigen Cryptococcus spp
dari serum atau cairan serebrospinal sangat bermanfaat dalam
diagnosis
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan 7 Jamur Paru di Indonesia
4.
PCR
Pemeriksaan PCR maupun real-time PCR juga sedang
dikembangkan, tetapi masih digunakan secara terbatas
karena belum terdapatnya standarisasi dan validasi.
radiologi) serta hasil pemeriksaan mikologi. Hal itu dapat dilihat pada
tabel berikut :
Diagnosis Mikosis Paru
Faktor
pejamu
Kriteria
+
Faktor
pejamu
Kriteria
+
Faktor
pejamu
klinis
klinis
Kriteria
+
klinis
Biopsi
Mikologi
Negatif
atau
tidak
dilakuka
= Probabl
e
= Possibbl
e
Mikologi
= Proven
Gambar 1. Skema
diagnosis mikosis paru
(sistemik/invasif)
Definisi diagnosis
mikosis invasif proven
1- Pemeriksaan
histologi
atau
sitokimia
menunjukkan elemen
jamur positif dari
hasil
biopsi atau
TTNA dengan bukti
disertai
kerusakan
jaringan
(secara
mikroskopik
atau
radiologi).
2- ATAU
biakan
positif dari spesimen
ya
ng
be
ra
sa
l
da
ri
te
m
pa
t
st
eri
l
se
rt
a
se
ca
ra
kli
ni
s
TAU
pemeriksaan
dan
mikroskopik/antigen
radi
Cryptococcus
dari
olo
LCS
gi
me Kriteria diagnosis
nun proven
jukk
an 1. Faktor pejamu:
1 Netropenia
kel
(netrofil
ain
<500/mm3
an
selama >10 hari).
lesi
2 Menerima
transplantasi
yan
sum-sum tulang
g
alogenik
ses
uai ______________________
______________________
den ________________
gan Pedoman Diagnosis dan
infe Penatalaksanaan 9 Jamur
ksi. Paru di Indonesia
3- A
1
2
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CTscan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada
dalam area konsolidasi.
Minor:
1- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri
dada, sesak napas, hemoptisis, dll).
2- Pemeriksaan fisis pleural rub.
3- Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan kriteria
mayor.
3.
Kriteria mikologi:
1 Pemeriksaan
langsung
positif
(ditemukannya
elemen jamur pada pemeriksaan mikroskopik
langsung maupun sediaan pewarnaan) atau biakan
jamur positif.
2 Pemeriksaan tidak langsung:
sampel
darah
untuk
mendiagnosis
aspergilosis
menunjukkan hasil positif.
o deteksi -d- glucan dalam serum untuk mendiagnosis
infeksi jamur invasif (selain
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
10
Jamur Paru di Indonesia
2. Kriteria klinis:
Mayor:
Terdapat infiltrat baru atau gambaran kelainan berikut pada CTscan: halo sign, air-crescent sign atau kavitas yang berada dalam
area konsolidasi.
Minor:
1- Gejala infeksi saluran napas bawah (misalnya batuk, nyeri
dada, sesak napas, hemoptisis, dll).
2- Pemeriksaan fisis pleural rub.
Gambaran infiltrat baru yang tidak sesuai dengan
kriteria mayor.
3.
Kriteri mikologi:
1 Pemeriksaan langsung positif (ditemukannya elemen jamur
pada pemeriksaan mikroskopik langsung maupun sediaan
pewarnaan) atau biakan jamur positif.
2 Pemeriksaan tidak langsung:
1- deteksi antigen galaktomanan dari BAL, LCS atau >2
sampel
darah
untuk
mendiagnosis
aspergilosis
menunjukkan hasil positif.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
12
Jamur Paru di Indonesia
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
13
Jamur Paru di Indonesia
BAB III
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan mikosis paru berkaitan erat dengan: jenis
jamur, status imun pejamu, lokasi infeksi, kepekaan jamur terhadap
obat, terapi antijamur sebelumnya, penanganan sumber infeksi dan
faktor risiko. Penatalaksanaan ini terdiri atas medikamentosa dan
bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan memberikan obat
antijamur (OAJ), yang terdiri atas beberapa golongan obat:
1
2
3
4
5
golongan polien
golongan alilamin
golongan flusitosin
golongan azol
golongan ekinokandin
Kriteria
respons
Sukses
Respons
komplit
Respons
parsial
Gagal
Respons
menetap
(stable)
Progresif
Kematian
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
15
Jamur Paru di Indonesia
BAB IV
OBAT ANTIJAMUR
Harus diperhatikan pemberian obat antijamur (OAJ) yang
adekuat, dalam waktu dan dosis tepat sehingga dapat mencegah
toksisitas. Selama bertahun-tahun, satu-satunya obat antijamur yang
tersedia adalah amfoterisin-B dan golongan azol. Dalam beberapa
dekade terakhir telah ditemukan obat antijamur baru dengan
mekanisme aksi lebih baik, spektrum lebih luas, dan efek samping
lebih sedikit. Gambar berikut menunjukkan sejarah penemuan obat
antijamur.
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
16
Jamur Paru di Indonesia
14
12
L-Am
ABCD
10
8
6
4
ABLC
Mikonazol
Terb
Itrakonaz
Flukonazol
Ketokonazol
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
17
Jamur Paru di Indonesia
1.
Golongan Polien
Golongan polien termasuk amfoterisin-B (AmB), nistatin dan
natamisin. Cara kerjanya adalah membuat kerusakan pada
membran sel jamur dengan cara berikatan dengan ergosterol
(komponen penting dinding sel), sehingga permeabilitas seluler
meningkat dan terjadi kebocoran isi sel yang berakibat kematian
jamur (efek fungisidal). Saat ini golongan polien yang tersedia di
Indonesia adalah amfoterisin-B deoksikolat (fungizone) dan
nistatin.
Amfoterisin-B diperkenalkan pada tahun 1950an, merupakan
terapi standar berbagai infeksi jamur sistemik sebelum azol
berspektrum luas dan ekinokandin diperkenalkan. Amfoterisin-B
memiliki
aktivitas terhadap hampir semua infeksi jamur invasif, termasuk
Candida spp, Aspergillus spp, Cryptococcus, Histoplasma, dan
Zygomyces. Perlu diperhatikan bahwa
Candida
lusitaniae, Scedosporium prolificans dan
Aspergillus terreus memiliki resistensi primer terhadap Am-B.
Dosis standar Am-B deoksikolat adalah 0,7-1 mg/kgBB/hari.
Selanjutnya diperkenalkan Am-B dalam formulasi lain yang
memiliki spektrum aktivitas luas dan toksisitas lebih kecil, yaitu:
amfoterisin-B liposomal (Ambisome) dan kompleks lipid
amfoterisin-B (Abelcet). Dosis standar Am-B formula lipid adalah
3-6 mg/kgBB/hari.
Toksisitas yang dapat terjadi pada pemberian Am-B meliputi
nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal akut, toksisitas hematologi,
reaksi terkait infus (misalnya demam, menggigil, sakit kepala,
mual, muntah) dan gangguan elektrolit (misalnya hipokalemia,
hipomagnesemia,
hipernatremia,
asidosis
metabolik).
Pemberian infus lambat (biasanya lebih dari 4 jam) dan
premedikasi dengan antipiretik, antihistamin dapat dilakukan
untuk mencegah reaksi terkait-infus. Pemberian infus garam
fisiologis sebelum terapi dapat
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
18
Jamur Paru di Indonesia
Sediaan
Amfoterisin B
deoksikolat
(Fungizone)
Indikasi
Dosis
Aspergilosis invasif,
blastomikosis, kandidosis,
koksidioidomikosis,
mukcormikosis, basidiobolus,
0.251 mg/kg/hari
conidiobolus
0.71 mg/kg/hari
Histoplasmosis, sporotrikosis
0.51 mg/kg/hari
Kriptokokus ringan-sedang
0.71 mg/kg/hari
atau non-SSP
0.7 mg/kg/hari
Kriptokokosis berat atau SSP
Kompleks lipid
amfoterisin B
(Abelcet)
Amfoterisin B
liposomal
(Ambisome)
5 mg/kg/hari
3 mg/kg/hari
6 mg/kg/hari
Amfoterisin B
colloidal dispersion
(Amphotec)
Cryptococcus sp.
35 mg/kg/hari
34 mg/kg/hari
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
19
Jamur Paru di Indonesia
Dikutip dari
Proceeding ATS 2010
2.
Golongan allylamines
Terbinafin adalah antijamur allylamine yang memiliki efek
menghambat enzim mono-oksigenase squalene, enzim penting
dalam biosintesis sterol pada jamur. Pemberiannya dapat
dilakukan topikal maupun oral terutama untuk terapi mikosis
superfisialis. Terbinafin yang tersedia di Indonesia adalah dalam
bentuk obat topikal yang biasa digunakan untuk mikosis
superfisial.
3.
Flusitosin
Turunan pirimidin ini aktif terhadap infeksi
Cryptococcus. Cara kerjanya dengan mengganggu
Candida,
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
20
Jamur Paru di Indonesia
4.
Golongan azol
Selama lebih dari dua dekade, antijamur golongan azol telah
digunakan dalam praktek klinis. Golongan azol diklasifikasikan
menjadi dua kelas yang berbeda:
1.
imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol dan
ketokonazol)
2.
triazol (flukonazol,
posakonazol).
itrakonazol,
vorikonazol
dan
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
21
Jamur Paru di Indonesia
a. Imidazol
Klotrimazol dan mikonazol tersedia dalam berbagai sediaan
obat topikal seperti krim, losio, sampo, tablet vagina, tablet isap,
dan solusio yang terutama digunakan untuk terapi kandidosis
vagina dan mukokutan. Ketokonazol merupakan antijamur
golongan azol bentuk oral pertama yang tersedia untuk terapi
infeksi jamur superfisial maupun sistemik. Obat itu mempunyai
aktivitas terhadap berbagai spesies
Candida, dermatofit, Malassezia furfur, dan beberapa jamur
dimorfik (misalnya Blastomyces dermatitidis dan Coccidioides
spp). Penyerapan ketokonazol di saluran cerna akan lebih baik
bila disertai dengan minuman asam seperti soda berkarbonasi.
Perlu diperhatikan efek samping ketokonazol terhadap hati
(hepatotoksik) serta interaksi signifikan dengan obat-obat lain
sehingga penggunaannya sangat dibatasi.
2.
Triazol
Flukonazol, merupakan triazol generasi pertama, memiliki
spektrum aktivitas lebih luas, bioavailability hampir 100 %
karena
tidak
mengalami
first-past
metabolism,
dan
penyerapannya tidak dipengaruhi asam lambung. Flukonazol
aktif terhadap hampir semua
Candida spp (kecuali C. krusei dan C. glabrata),
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
22
Jamur Paru di Indonesia
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
24
Jamur Paru di Indonesia
Indikasi
Dosis
Dosis
penyesuaian
ginjal
Flukonazol
(oral,
Kandidosis
orofarings
Kandidosis
esophagus
Meningitis
kriptokokosis
hari
Terapi induksi,
dilanjutkan dosis
konsolidasi 400 mg/hr,
lalu dosis rumatan 200
intravena)
mg/hr
Dosis
penyesuaian
hati
CCL < 50
Belum
ml/min:
ditentukan
loading dose,
lalu dosis
50%
Hemodialisis:
diberikan dosis
harian 100%
(sesuai
indikasi) setiap
kali selesai HD
Histoplasmosi
s/
blastomikosis/
koksidoidomik
osis
Kandidosis
invasif/kandid
Itrakonazol
(hanya
oral)
emia
Kandidosis
orofarings
400-800 mg/hr
atau esofagus
Histoplasmosi
Vorikonazol
s/
(oral atau
intravena)
blastomikosis
Koksidioidomi
kosis
______________
______________
______________
______________
____
Pedoman
Diagnosis dan
Penatalaksanaa
n
Jamur Paru di
Indonesia
25
CCL < 10
ml/min:
Belum
ditentukan
dosis 50%
Child-Pugh Class A
or B: dosis rumatan
50%
Child-Pugh Class
C: belum
dit
en
tuk
an
Posakonazo
l (oral)
Profilaksis
infeksi jamur
invasif
Kandidosis
orofarings
Kandidosis
orofarings
yang refrakter
thd flukonazol
dan/atau
itrakonazol
jam
200 mg, 3x sehari
Belum
diketahui
Belum
ditentukan
100 mg 2x sehari( x 2
dosis), lalu 100 mg/hr
selama 13 hr
400 mg 2x sehari (lama
pemberian bervariasi
tergantung respons
pasien)
Golongan ekinokandin
Ekinokandin merupakan antijamur golongan baru, cara
kerjanya melalui penghambatan sintesis enzim 1,2-D dan 1,6--D-glucan synthase. Enzim itu penting
dalam produksi glukan (komponen penting dinding
sel jamur) yang mengakibatkan ketidakstabilan
osmotik
sehingga
sel
jamur
tidak
dapat
mempertahankan bentuknya dan berujung pada
kematian jamur. Glukan tidak ditemukan pada
dinding sel mamalia sehingga efek samping
ekinokandin terhadap sel manusia sangat sedikit.
Dinding sel C. neoformans terutama terdiri atas 1,3 atau 1,6--glucan, sehingga jamur itu lebih
resisten terhadap ekinokandin. Terdapat beberapa
kelas ekinokandin yaitu: kaspofungin, mikafungin,
dan anidulafungin. Semua golongan ekinokandin
memiliki keterbatasan bioavailabilitas oral dan
hanya tersedia dalam sediaan intravena.
Kaspofungin disetujui pada tahun 2001 untuk
terapi aspergilosis invasif yang tidak dapat
menolerir atau yang tidak membaik dengan
pengobatan antijamur lainnya. Obat ini juga
disetujui untuk terapi kandidosis
esofagus, abses intra-abdomen, peritonitis, dan
infeksi
_______________________________________________________
_____
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
26
Jamur Paru di Indonesia
Spektru
m
Aktivita
s
Dosis
Adverse
Reactions
Interaksi
Obat
Keterang
an
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
27
Jamur Paru di Indonesia
Kaspofungi
n
Candida
,
Aspergill
us
Gangguan sal.
cerna, , hipotensi,
rash, demam,
menggigil, sakit
kepala,
hipokalemia,
anemia,
peningkatan kadar
Mikafungin
Candida,
Aspergill
us
Anidulafun
Candida,
gin
Aspergill
us
Kandidosis
esofagus
IV:150 mg/hari.
Profilaksis HSCT
IV: 50 mg/hari.
Kandidemia atau
kandidosis
invasif
IV: 100mg/hari
Kandidosis
esofagus IV: 100
sakit kepala,
hipokalemia,
hipomagnesemia,
netropenia
Jarang terjadi
adverse reactions
mg hari ke-1,
peny
esua
dilanjutkan 50
mg/ hari
Kandidemia
IV: 200 mg hari
ke- 1, dilanjutkan
100mg/ hari
____________________________________________________________
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
28
Jamur Paru di Indonesia
ALGORITMA PENATALAKSANAAN
GEJA
LA /
FAKT
OR
Fungus Ball
CT-Scan,
Pemeriksaa
n lain
termasuk
pemeriksaa
RISIK
O
FOTO
TORAKS
Lesi Lain
Operasi
(bila
mungkin) +
OAJ
Proba
da
n mikologi
(konfirmasi
jamur)
asi
Mi
kol
ogi
Evaluasi
Respons
+
)
O
A
J
(-)
Teruskan
OAJ
s
e
s
u
a
i
OAJ
sesu
ai
FR
j
e
n
i
s
Samp
ai
terata
si
j
a
m
u
r
______
______ a
______ n
______
______ D
Pedom i
agn
osi
s
dan
Pe
n
O
AJ
Presa
empti
m
pai
gej
ala
da
n
mi
kol
ogi
(-)
OAJ
sesu
ai
den
gan
jenis
miko
logi
2
min
ggu
s
et
el
a
h
p
er
b
ai
k
a
n
kl
in
is
,
ra
di
ol
o
gi
d
a
n
m
ik
ol
o
gi
naksanaan
a
29
tJamur Paru
a
l di Indonesia