Anda di halaman 1dari 12

RAGAM TEKNOLOGI BUDIDAYA LADA

M. Syakir
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Tanaman lada (Piper nigrum L)
merupakan salah satu tanaman rempah-rempah
dimana negara produsen terbesar di dunia
adalah Indonesia, India, Malaysia dan Brasil.
Secara tradisional tanaman lada diperbanyak
dari sulur panjat, sehingga dalam budidaya
memerlukan tiang panjat yang dapat berupa
tegakan mati atau tegakan hidup. Dari hasil
manipulasi teknologi agronomi tanaman lada
dapat dikembangkan dari cabang buah yang
menghasilkan lada perdu. Tanaman lada yang
dibudidayakan dengan menggunakan tiang
panjat mati ada kecenderungan memperlihatkan
pertumbuhan dan produksi lebih tinggi, namun
umur produktif lebih pendek dan biaya investasi
awal usaha tani lebih mahal, karena tiang panjat
mati yang tahan lama harganya lebih mahal dan
ketersediannya semakin sulit. Budidaya lada
yang menggunakan tiang panjat hidup,
manakala tidak dilakukan pemilihan tiang
panjat hidup yang tepat dan tidak dilakukan
pemangkasan tiang panjat hidup secara teratur
dapat menyebabkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman ladanya lebih rendah akibat
dari terjadinya kompetisi dalam hal sinar
matahari, unsur hara, air, CO2, dan ruang
bahkan dapat menyebabkan efek alelopati tiang
panjat hidup terhadap tanaman ladanya. Dari
pengamatan di lapangan tanaman lada yang
menggunakan tiang panjat hidup memiliki umur
produktif lebih lama dan manakala dilakukan
pemeliharaan yang intensif, maka tanaman lada
yang dibudidayakan dengan tiang panjat hidup
memiliki tingkat produktivitas yang sama
dengan lada yang dibudidayakan dengan
menggunakan tiang panjat mati. Tulisan ini
bertujuan untuk memperlihatkan potensi dari

berbagai
ragam
teknologi
budidaya
tanaman lada sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam memilih jenis teknologi
budidaya yang tepat dalam pengembangan
tanaman lada.
Kata kunci : Piper nigrum L, lada, lada perdu, tiang
panjat mati, tiang panjat hidup, potensi,
budidaya

ABSTRACT
Technology of Black Pepper
Cultivation
Black pepper plant (Piper nigrum L.) is
one of spice plants. The largest producing
countries in the world are Indonesia, India,
Malaysia and Brazil. Black pepper plants are
tradionally multiplied from climbing shoots, so
that in cultivation they require climbing poles in
the form of dead or alive poles. From the results
of agronomy technological manipulation, black
pepper plants can be developed from fruit
branches which produce clump black pepper.
The use of dead climbing poles tend to show the
higher growth and production, however, the
productive age is shorter and the cost is more
expensive. The use of alive climbing poles need
proper selection of plant poles. This is due to
competition in terms of sunshine, nutrients,
water, CO2 and space. Unproper poles will
decrease growth and productivity as well as
side effect of alive climbing poles, moreover can
cause allelopaty effect of alive climbing pole on
black pepper plants. From observation in the
field, black pepper plants use alive climbing
poles have longer productive age. Intensive
maintenance of black pepper plant cultivated
with alive climbing poles have the same
productivity with black pepper plants which are
cultivated by using dead climbing poles. This

13

pepper aims to show the potency of various


kinds of black pepper plant cultivation
technology, so that it will be useful in
selecting the kind of exact cultivation
technology in development of black pepper
plants.
Keywords : Black pepper, clump black pepper,
cultivation, alive climbing poles, dead
climbing poles, Piper nigrum L.,
potency

PENDAHULUAN
Lada merupakan salah satu produk tertua dan terpenting dari produk
rempah-rempah yang diperdagangkan
di dunia. Theophratus yang hidup 372287 SM (sebelum masehi), menyebutkan dua jenis lada yang telah digunakan oleh bangsa Mesir dan Romawi
pada waktu itu yaitu lada hitam (Black
pepper) dan lada panjang (Pepper
longum). Purseglove (1968) menyebutkan bahwa lada merupakan produk
pertama yang diperdagangkan antara
Barat dan Timur. Pada abad pertengahan tahun 1.100 1.500 M,
perda-gangan lada memiliki kedudukan
yang sangat penting. Pada waktu itu
lada digunakan sebagai alat tukar dan
mas kawin, selain untuk keperluan
rempah-rempah.
Tanaman lada (Piper nigrum. L)
merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peluang strategis dalam system usaha perkebunan,
baik secara ekonomi maupun sosial.
Secara ekonomi lada dapat menjadi
salah satu sumber utama pendapatan
petani dan devisa negara sektor non
migas, sedangkan secara sosial merupakan komoditas tradisional yang telah
dibudidayakan sejak lama dan keberadaannya merupakan penyedia lapangan

14

kerja yang cukup luas terutama di


daerah sentra produksi. Usaha tani lada
di Indonesia umumnya diusahakan
dalam bentuk perkebunan rakyat.
Pada dekade terakhir turunnya
harga lada bukan hanya disebabkan
persaingan antar negara-negara produsen, seperti Indonesia, Malaysia, India,
dan Brazil, tetapi juga disebabkan oleh
munculnya negara-negara baru penghasil lada seperti Thailand, Srilanka,
dan Vietnam. Di sisi lain semakin
kritisnya negara-negara konsumen terhadap mutu lada turut memperkuat
terjadinya persaingan untuk merebut
pangsa di pasaran internasional seperti
kekhawatiran konsumen akan adanya
residu pestisida dan kontaminasi mikroba
seperti
Escherichia
coli,
Salmonolla spp. dan jamur yang menghasilkan defatoksin. Untuk mempertahankan produk lada sebagai salah
satu komoditas ekspor non migas andalan, upaya antisipatif yang dilakukan,
tentunya tidak hanya pada peningkatan
produktivitas, melainkan lebih difokuskan pada perbaikan teknologi budidaya
dan mutu lada yang memiliki keunggulan dalam menekan biaya produksi
dan meningkatkan kualitas hasil.
BUDIDAYA LADA DENGAN
TEGAKAN HIDUP
Tegakan hidup pada umumnya
digunakan pada budidaya tanaman lada
secara ekstensif dan semi intensif.
Penggunaan tegakan hidup pada budidaya lada yang intensif saat ini belum
dilakukan dan masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Tidak semua
jenis tanaman dapat dipakai sebagai

tegakan lada. Wahid dan Yufdi (1989)


menyarankan tegakan hidup hendaknya
memiliki sifat :
a) Berumur panjang
b) Memungkinkan akar lada melekat dengan baik
c) Efek negatif terhadap tanaman
lada tidak begitu besar, seperti
adanya kompetisi akan hara, air
dan CO2, efek alelopati
d) Mudah dan cepat tumbuh serta
tahan pangkas
e) Murah dan mudah diperoleh
Zaubin (1992) menambahkan
bahwa lingkar batang jangan terlalu
besar, relatif tahan terhadap hama dan
penyakit, tidak menjadi inang hama
dan penyakit lada, dari famili leguminoseae dan mempunyai perakaran yang
dalam. Tegakan hidup memberikan
naungan sehingga kondisi iklim mikro
dibawahnya ikut terpengaruh yang berakibat pada seluruh aspek agronomis
tanaman dibawahnya. Oleh karena itu,
budidaya lada dengan tegakan hidup
sifatnya sangat kompleks dan memerlukan
pertimbangan-pertimbangan
yang cermat. Pengenalan sifat-sifat dan
kebutuhan tanaman lada perlu dikuasai
untuk dijadikan sebagai acuan dalam
memanipulasi tegakan hidup.
Tegakan hidup yang populer
adalah tanaman glirisidia atau gamal
(Gliricidia maculata) dan dadap cangkring (Erythrina fusca). Kedua jenis
tanaman
ini
termasuk
famili
leguminoseae yang toleran terhadap
hama dan penyakit yang menyerang
tanaman lada. Karena tanaman ini diperbanyak dengan setek, maka perakarannya dangkal sehingga menim-

bulkan kompetisi unsur hara dan air


dengan tanaman lada. Meskipun
biomas yang dihasilkan tanaman dadap
melalui pemangkasan tidak sebanyak
yang dihasilkan oleh tanaman glirisidia,
namun perakaran dadap disukai oleh
jasad renik tanah yang bermanfaat,
seperti rhizobium, mikoriza (Almeida,
et al., 1984; Hasanah et al., 1990).
Selain itu perakaran dadap mengeluarkan senyawa-senyawa yang mempunyai efek nematisida (Koshj et al.,
1977).
Selama ini budidaya tanaman
lada dengan tegakan hidup dinilai kurang baik. Produktivitas tanaman lada
relatif rendah akibat kompetisi akan
hara, air dan CO2, serta efek alelopati
dan naungan yang berlebih.
Berbagai upaya telah dicoba untuk mengurangi efek negatif dari
tegakan hidup melalui manajemen
kebun yang baik. Menurut Wahid
(1987) tanaman lada membutuhkan 5070 % intensitas sinar matahari. Pada
intensitas sinar yang rendah laju
fotosintesisnya akan rendah dan
serapan unsur-unsur hara juga lambat,
yang berakibat poduksi tanaman
rendah. Karena itu disarankan agar
tanaman penegak dipangkas 3 kali/
tahun selama musim penghujan. Pemangkasan ini hendaknya diatur agar
sebaran dan ukuran percabangan dapat
merata sehingga dapat diperoleh
cahaya dengan intensitas yang cukup
untuk fotosintesa. Disarankan agar
tinggi tegakan hidup 1 kali jarak
tanamnya.
Hasil pemangkasan, berupa biomas, dapat bermanfaat untuk menam-

15

bah bahan organik tanah, menghalangi


permukaan tanah dari terpaan air hujan,
mengurangi perkembangan dan penyebaran penyakit, mempengaruhi iklim
mikro dalam kebun dan meningkatkan
efektifitas dan efisiensi penggunaan
pupuk anorganik (Zaubin, 1992). Intensitas pemangkasan tegakan hidup
menunjukkan korelasi yang negatif
dengan pemangkasan sulur lada selama
fase vegetatif sampai umur 2 tahun.
Wahid dan Daras (1988) membuktikan
bahwa apabila tegakan hidup (glirisidia) dipangkas 3 kali/tahun, maka
tanaman lada cukup dipangkas sekali
saja yaitu pada umur 12 bulan setelah
tanam. Apabila tegakan hidup dipangkas 2 kali/tahun, maka sulur tanaman
lada perlu dipangkas secara intensif
sebanyak 6 kali.
Selain itu Zaubin (1992) menyarankan agar pemupukan tanaman lada
dilakukan 2-3 minggu setelah pemangkasaan tegakan hidup, saat tegakan
masih mengalami stress dan tidak
menjadi saingan bagi tanaman lada.
BUDIDAYA LADA DENGAN
TEGAKAN MATI
Ada kecenderungan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman lada
lebih baik apabila menggunakan tegakkan mati dari pada tegakan hidup. Pada
budidaya lada dengan tegakan mati
tidak ada persaingan akan unsur-unsur
hara, air dan CO2, selain itu tanaman
lada mendapat intensitas sinar matahari
yang tinggi sehingga laju fotosintesisnya dipacu.

16

Beberapa persyaratan yang perlu


dipenuhi oleh tegakan mati adalah :
a) Tahan lama
b) Permukaannya agak kasar
c) Diameter tegakan tidak terlalu
besar
d) Relatif tahan terhadap hama dan
penyakit
e) Tidak menyerap panas matahari
terlalu banyak
f) Relatif murah dan mudah
diperoleh
Masalah pada penggunaan tegakkan mati adalah tingginya harga dan
terbatasnya tegakan mati yang baik seperti kayu besi, mendaru dan melangir
yang dapat bertahan sampai 15 tahun.
Tegakan ini diambil dari bagian tengah
pokok tanaman yang cukup tua sehingga kayu yang diperoleh sangat keras
dan cukup tahan terhadap serangan
hama, seperti rayap, ngengat, dan sebagainya. Tegakan yang relatif murah, seperti kayu pelawan, gelam, seru, hanya
bertahan 2-4 tahun. Selain itu adanya
larangan penebangan pohon-pohon dihutan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan hidup makin membatasi
ketersediaan kayu untuk tegakan mati.
Masalah keterbatasan akan tegakan mati ini dapat diatasi, antara lain
dengan menggunakan bahan pengawet
pada kayu yang relatif murah, menggunakan pipa paralon atau beton. Pemilihan jenis pengawet kayu hendaknya
memperhatikan pengaruhnya terhadap
peningkatan daya tahan kayu dan efek
negatif yang mungkin ditimbulkan
terhadap tanaman lada. Sedang tegakan
dari pipa paralon dan beton perlu memperhatikan kekasaran permukaan dan

daya serapnya terhadap suhu yang


dapat mempersulit sulur tanaman lada
untuk memanjat.
Upaya untuk menjawab permasalahan tegakan mati tersebut telah
dimulai di Bangka tahun 1974 dengan
cara membandingkan tegakan kayu,
beton, tanaman dadap dan kapok terhadap pertumbuhan dan produksi beberapa varietas lada. Ternyata tegakan
lada mulai yang terbaik adalah tegakan
kayu yang tidak berbeda nyata dengan
tegakan pohon dadap, tegakan pohon
kapok dan tegakan beton (Zaubin et al.,
1990). Disini diperoleh petunjuk bahwa
pengaruh penggunaan tegakan hidup
pohon dadap sama baiknya seperti
kayu mati. Selanjutnya Wahid dan
Yufdi (1989) melaporkan bahwa untuk
menghemat penggunaan tegakan kayu
dapat dilakukan kombinasi 58 % tegakkan kayu (mendaru) dengan 42 %
tegakan hidup (glirisidia). Selain itu
penggunaan bahan pengawet pada
tegakan kayu yang relatif murah dan
masih dalam taraf penelitian awal.
Hasil sementara menunjukkan adanya
harapan untuk menggunakan bahan
pengawet tertentu asalkan asalkan tidak
mengandung senyawa-senyawa yang
dapat merugikan pertumbuhan tanaman
lada (Dhalimi dan Ray, 1995). Pipa
paralon PVC sebesar tegakan tanaman
lada pernah dicoba di PTP XXIII, tetapi
karena permukaannya yang licin akar
tidak dapat melekat dengan baik
(Wahid dan Yufdi, 1989). Pengunaan
tegakan beton di perkebunan lada yang
dikelola oleh Missie-Bangka sudah
dimulai sejak 1949, namun perkembangannya kurang baik karena mem-

butuhkan waktu dan tenaga yang relatif


banyak. Di Lampung Selatan penggunaan tegakan beton menunjukkan
hasil yang cukup baik apabila disekitar
tegakan ditanami tanaman yang dapat
memberi naungan kepada tegakan
beton. Dengan pola tanam campur lada
dengan pepaya (Carica papaya),
pisang (Musa. sp) dan tanaman hortikultura lainnya tegakan beton tampaknya memberti harapan baik.
BUDIDAYA LADA PERDU
Sebagai alternatif dalam budidaya lada, budidaya lada perdu mampu
menekan biaya produksi sehingga
meningkatkan efisiensi usaha tani lada.
Keunggulan-keunggulan komparatif
budidaya lada perdu terhadap budidaya
lada dengan tiang panjat antara lain :
1) Lebih efisien dalam penggunaan
bahan tanaman untuk perbanyakan
2) Tidak memerlukan tiang panjat
3) Populasi tanaman per satuan luas
(4.000 4.500 tanaman/ha) lebih
banyak, sehingga penggunaan
lahan lebih efisien.
4) Pemeliharaan dan panen lebih
mudah
5) Dapat berproduksi lebih awal
(umur 2 tahun), dan
6) Dapat ditanam dengan pola
tanam campuran atau tumpang
sari dengan tanaman tahunan
lainnya (Syakir dan Zaubin,
1994; Dhalimi et al., 1998).
Syakir et al. (1998) dan Wahid et
al. (1999) melaporkan bahwa berdasarkan analisis keuntungan sosial bersih
pada beberapa komoditas perkebunan,

17

lada perdu menghasilkan manfaat


ekonomi paling besar, dibandingkan
lada tiang panjat mati, kelapa sawit,
kakao, kopi, dan karet. Di samping itu
telah dilakukan pula analisis sumber
daya dalam negeri (BSD) dan keunggulan komparatif lada perdu terhadap
komoditas-komoditas perkebunan tersebut di atas.
Analisis BSD merupakan variabel yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya biaya sumber daya dalam negeri yang harus dikorbankan
(dalam rupiah) untuk memperoleh satu
satuan devisa. Apabila lebih kecil daripada nilai tukar bayangan atau rasio
keduanya kurang dari 1, maka investasi
tersebut dikatakan efisien. Semakin kecil rasionya menunjukkan komoditas
tersebut makin memiliki keunggulan
komparatif.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lada perdu memiliki nilai BSD
dan rasio yang paling kecil dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Dengan demikian dari korbanan
dalam negeri, lada perdu merupakan
usaha tani yang paling efisien dan
memiliki keunggulan komparatif paling
besar.
Hasil penelitian Rosmeilisa et al.
(1999) di Kabupaten Bangka juga
menunjukkan bahwa usaha tani lada
perdu memiliki tingkat keuntungan
yang lebih tinggi dibandingkan lada
tiang panjat mati. Walaupun produksinya lebih rendah, tetapi biaya produksi lada perdu jauh lebih rendah
dibandingkan biaya produksi lada tiang
panjat mati.

18

Secara teknis perbedaan antara


budidaya lada perdu dengan lada tiang
panjat terletak pada aspek agronomi
yang meliputi : penyiapan dan perbanyakan bahan tanaman, pendederan
dan pembibitan, pemeliharaan, dan
panen. Sedangkan untuk aspek pengendalian dan penyakit serta pasca panen
lada perdu, pada dasarnya sama dengan
yang diterapkan pada lada tiang panjat.
Untuk itu penjelasan budidaya lada perdu akan lebih ditekankan pada aspek
agronominya.
Lada perdu diperoleh dari perbanyakan secara vegetatif (setek) cabang
buah tanaman lada. Pengambilan setek
pada kondisi yang cocok untuk akumulasi fotosintat akan menghasilkan setek
dengan perakaran yang baik. Hasil
penelitian Syakir et al. (1994) menunjukkan bahwa pengambilan setek antara pukul 11.00 12.00 merupakan
waktu yang paling baik untuk pertumbuhan akar dan tunas setek lada perdu
mengingat pada saat kandungan karbohidrat tanaman paling tinggi.
Bahan tanaman yang dipilih tersebut sebaiknya tidak terlalu tua. Setek
bahan tanaman dapat disiapkan dengan
dua cara yaitu; setek cabang bertapak
dan setek cabang buah. Pada setek
cabang bertapak bahan tanaman berasal
dari cabang primer dengan 3-4 daun
dengan menyertakan satu buku sulur
panjat haus dibuang agar tidak terbentuk kembali sulur panjat. Sementara itu
setek cabang buah berasal dari cabang
buah primer, sekunder, dan tersier
(Syakir, 1996). Namun demikian untuk
setek cabang buah sebaiknya berasal
dari cabang buah sekunder (2-3 buku)

dengan 2 4 tahun karena menghasilkan persentase tumbuh yang lebih baik


(Suparman dan Sopandi, 1988).
Untuk mamacu pertumbuhan
dan memperkecil tingkat kematian setek lada di pembibitan, perlu dilakukan
perlakuan pendahuluan. Bagian basal
setek ( 5 cm) diberi 3-4 keratan melingkar dan bagian pangkal setek dipotong tepat diatas buku atau bagian
interkalari. Selanjutnya bagian setek
yang dikerat dicelupkan ke dalam larutan H2SO4 2 % selama 30 60 detik,
kemudian setek direndam dalam larutan IBA 2 % - sukrosa 2 % selama 4
jam (Zaubin et al., 1992). Perlakuan
pendahuluan dapat pula dilakukan dengan cara merendam setek dalam larutan air kelapa 25 % selama 12 jam
(Syakir et al., 1993).
Lama setek di pembibitan 6 9
bulan dan bunga/buah yang berbentuk
harus dibuang/dirompes. Selama setek
di pendederan dan pembibitan perlu di
beri naungan/sungkup warna merah
(Syakir, 1996; Zaubin dan Supardijono,
1994).
Sebelum dilakukan penanaman
perlu dibuat lubang tanam dengan jarak
1,5 x 1,5 m. Hasil penelitian Barus
(1998) menunjukkan bahwa ukuran
lubang tanam hanya berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan vegetatif lada perdu, sedangkan terhadap
produksi tidak berpengaruh nyata.
Ukuran lubang tanam yang dianjurkan
yaitu panjang 40 cm, lebar 40 cm,
dalam 40 60 cm, dan bagian atas
tanah dicampur dengan pupuk kandang
5 10 kg/lubang tanam. Untuk menekan tingkat kematian bibit, penanaman

sebaiknya dilakukan saat musim hujan


dan perlu diberikan naungan secukupnya. Naungan dapat dikurangi secara
bertahap sampai tanaman dapat tumbuh
baik.
Pemeliharaan lada perdu meliputi : penyiangan dan peggemburan
tanah, perompesan bunga, pemupukan,
pemberian mulsa, pembuatan parapara, dan pengendalian hama dan
penyakit. Penyiangan dilakukan secara
terbatas, yaitu hanya di sekitar tajuk
tanaman dan dilakukan bersamaan
dengan penggemburan tanah.
Wahid et al. (1999) melaporkan
bahwa budidaya lada perdu pada
intensitas radiasi 100 % (cahaya penuh)
dan/atau jenis tanah dengan kesuburan
sedang dan/atau curah hujan 2.500
3.000 mm/tahun, dianjurkan menggunakan varietas Petaling 1 dengan taraf
pemberian hara 400 gr NPK Mg/
tanaman/tahun. Sedangkan pada intensitas radiasi 50 75 % dan/atau jenis tanah dengan kesuburan sedang dengan taraf pemberian 600 g NPK Mg/
tanaman/tahun. Pada tahun pertama
pupuk diberikan setengah rekomendasi,
sedangkan pada tahun kedua dan selanjutnya pupuk diberikan dengan dosis
penuh. Pemupukan dilakukan selama
musim hujan dan dibagi dalam 3 kali
agihan degnan perbandingan 2:3:5 pada tahun pertama, 5:3:2 pada tahun
kedua dan selanjutnya. Pemupukan untuk setiap agihan dilakukan dengan
selang pemberian 40 hari. Untuk
tanaman muda pupuk diberikan dengan
cara alur (melingkar), sedangkan pada
tanaman berumur lebih dari 2 tahun
diberikan dengan cara larikan sesuai

19

ukuran tajuk tanaman. Selanjutnya


pemberian pupuk kandang 5 10 kg/
tanaaman dan mulsa dapat dilakukan
pada setiap awal musim kemarau.
Pada tanaman lada perdu dewasa
umumnya tajuk sampai ke permukaan
tanah. Kondisi tersebut memudahkan
terjadinya serangan penyakit busuk
pangkal batang yang dapat menyebar
melalui alirang air di permukaan tanah.
Untuk mencegah hal tersebut dapat
dibuatkan penyanhha berupa para-para.
Penggunaan para-para cukup penting
terutama pada daerah yang memiliki
tipe iklim A dan B (curah hujan dan
kelembaban udara cukup tinggi).
Selama 12 bulan setelah tanam
semua bunga/buah yang terbentuk harus dibuang/diromperss. Hal ini dimaksudkan agar pertumbuhan vegetatif tanaman tidak terganggu oleh fase generatif. Mulai tahun ke-2 perompesan
bunga dihentikan dan bunga dipelihara
sampai membentuk buah.
Apabila hasil lada akan dijadikan
lada hitam, buah dianggap masak petik
jika butir-butir buah dalam tandannya
sudah mencapai ukuran normal, cukup
keras (sukar dihancurkan tangan), dan
berwarna hijau sampai hijau kekuningan. Waktu yang dibutuhkan sampai
dengan masak petik tersebut biasanya
mencpai 7 8 bulan setelah pembuangan (Syakir, 1996).
Dari beberapa hasil penelitian
dan pengamatan di lapangan, kisaran
produksi yang dapat dicapai lada perdu
adalah sebagai berikut : umur 1 tahun 0
g/tanaman, umur 2 tahun 80 160 g/
tanaman, umur 3 tahun 160 250 g/
tanaman, dan umur 4 tahun 250 320

20

g/tanaman. Sementara itu Yuhono et al.


(1994) melaporkan bahwa di Kabupaten Ciamis lada perdu umur 15 tahun
masih dapat menghasilkan 500 g/
tanaman.
Berdasarkan karakter morfologi,
fisiologi, dan lingkungan tumbuhnya,
lada perdu sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk
polatanam. Seperti di bawah tegakan
tanaman tahunan atau dikombinasikan
dengan tanaman pangan semusim.
Disamping itu lada perdu dapat pula
dikembangkan sebagai tanaman pekarangan.
Pengembangan lada perdu dalam
bentuk polatanam, khususnya di bawah
tegakan tanaman tahunan memiliki beberapa keuntungan, diantaranya :
1. Dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan lahan.
2. Mampu memberikan nilai tambah yang cukup signifikan
3. Risiko kematian tanaman akibat
cekaman lingkungan relatif kecil
dibandingkan penanaman secara
monokultur (tanpa naungan).
Berdasarkan kebutuhan intensitas radiasi surya, lada perdu sebaiknya
dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan yang dapat meloloskan
radiasi surya 50 - 75 %. Di antara
tanaman tahunan tersebut, kelapa merupakan tanaman yang sangat berpotensi dan sering dipolatanamkan dengan lada perdu.
Pengembangan lada perdu di bawah tegakan tanaman tahunan juga
dapat menekan tingkat kematian tanaman akibat cekaman lingkungan.
Hasil penelitian Wahid et al. (1995)

menunjukkan bahwa akibat cekaman


air tingkat kematian lada perdu yang
ditanam di bawah tegakan kelapa
mencapai 28,9 %, sedangkan secara
monokultur 34,1 %.
Tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman yang potensial untuk
dikembangkan pada tanaman lada.
Struktur tajuk dan kanopi tanaman kelapa memungkinkan masih dapat meloloskan energi radiasi surya ke permukaan tanah. Darwis (1988), mengemukakan bahwa kemampuan melewatkan radiasi matahari 20 50% dapat
terjadi pada tanaman kelapa sampai
umur 45 tahun. Namun, biasanya radiasi yang lolos sampai ke permukaan
tanah tergantung pada jarak tanam,
varietas, pemeliharaan dan tinggi
tanaman serta umur tanaman.
Menurut Nair (1983) perakaran
kelapa efektif terkonsentrasi tertinggi
sampai sejauh 2 m dari pangkal batangnya dengan kedalaman 1,5 m. Tanaman lada memiliki struktur akar yang
dangkal dengan perakaran 63,8% terkonsentrasi pada kedalaman 0-50 cm
dari permukaan tanah (Ippor et al.,
1993).
Tanaman tahunan lainnya yang
cukup berpotensi untuk dipola tanamkan dengan lada perdu yaitu tanaman
sengon (Albazia falcataria). Disamping
tanaman sengon memiliki bintil akar
yang dapat mengikat nitrogen bebas.
Lada perdu selain dipolatanamkan
dengan tanaman tahunan, juga dapat
dikombinasikan dengan tanaman
pangan semusim, seperti jagung dan
kacang tanah. Penanaman dapat
dilakukan dalam bentuk tumpangsari

ataupun sistem jalur (Strip cropping).


Tanaman jagung yang menghendaki
intensitas cahaya penuh dan memiliki
tajuk yang tinggi dapat berfungsi
sebagai naungan bagi lada perdu,
sementara itu kacang tanah dapat
membantu ketersediaan unsur hara
nitrogen. Pada polatanam tersebut
biomass sisa panen jagung dan kacang
tanah dapat dikembalikan sebagai
sumber bahan organik, sehingga
diharapkan pemberian hara dari pupuk
anorganik dapat dikurangi (Syakir et al,
1999).
KESIMPULAN
Pengembangan tanaman lada dapat dilakukan dengan penerapan teknologi budidaya dengan menggunakan
tiang panjat mati, tiang panjat hidup
dan lada perdu. Tanaman lada yang
dibudidayakan dengan menggunakan
tiang panjat mati memperlihatkan
produktivitas lebih tinggi, namun umur
produktif lebih pendek dan biaya
investasi awal usahatani lebih mahal.
Budidaya lada dengan tiang panjat
hidup, manakala dilakukan pemilihan
tiang panjat hidup yang tepat, pemupukan, pemangkasan tiang panjat hidup
dan tanaman ladanya secara teratur
akan menghasilkan pertumbuhan dan
produktivitas yang tinggi. Budidaya
lada perdu memiliki potensi untuk
dikembangkan dengan pola tanam
campuran atau tumpangsari dengan
tanaman tahunan.

21

DAFTAR PUSTAKA
Almeida, R.T. de. I Vasconcelos, V.F.
Freire, 1984. Occurence of V.A.
mycorhizae in soils Ander legume
trees in Ceara. Brazil. Pesquisa
Agropecuaria Brasilieira 19 : 281282.
Barus, J., 1998. Pengaruh usuran
lubang tanam dan komposisi bahan
organik terhadap pertumbuhan dan
produksi lada perdu. Jornal Penelitian Tanaman Industri. Vol. 3 (56). Bogor : Puslitbangbun : 151158.
Darwis, S.N., 1988. Tanaman sela
diantara kelapa. Puslitbangtri Seri
Pengembangan (2) : 117 h.
Dhalimi, A. dan Amrizal Ray, 1995.
Pengaruh tiang panjat dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
lada. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri No. 15 Jakarta : Balitbang
Pertanian : 75-77.
Dhalimi, A., M. Syakir dan E. Surmaini, 1998. Peningkatan efisiensi
pemberian hara lada perdu dibawah
tegakan kelapa melalui aplikasi
ZPT. Prosiding Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung,
21-23 April 1998 : 527 532.
Puslitbangbtri. Bogor.
Hasanah, Y. Pujiharti dan A. Sukawa,
1990. Penelitian pendahuluan minoriza pada tanaman lada (Piper
nigrum L.). Makalah disampaikan
pada seminar bulanan sub Balittro
Natar. 10 h.

22

Ippor, I.B., A.S. Siti Hajijah dan K.


Ahmad, 1993. Preliminary studies
of root architecture of pepper
(Pipper nigrum L.) dalam The
Pepper Industry Problems and
Prospect. Centre for Applied
Sciences. University Agricultura
Malaysia. Bintul.
Koshy, P.K, V.K. Sosamma and P.
Sundaraju, 1977. Screening of
plant used pepper standarts against
rootknot nematode. Indian Phytopathology 30:128-129.
Nair, P.K.R., 1983. Agroforestry with
coconuts and other tropical plantation crops plant research and
Agroforestry. Inst. Coconut for Ris
in Agroforestry. p. 79-102.
Purseglove, J.W. et al., 1968. Spice
Volume 1. London : Longman :
10-99.
Rosmeilisa, P. M. Syakir, dan E.
Surmaini, 1999. Rentabilitas budidaya lada perdu dan lada tiang
panjat mati. Jurnal Penelitian
Tanaman Industri 5 (1): 18-24.
Suparman, U. dan A. Sopandi, 1988.
Pertumbuhan bibit lada dari cabang
buah primer dan sekunder. Pemb.
Littri XIV (1-2):65-68.
Syakir, M., M. H. Bintoro, dan A.Y.
Daulay, 1993. Pengaruh berbagai
zat pengatur tumbuh dan bahan
setek terhadap pertumbuhan setek
cabang buah lada. Pemb. Littri. Vol
XIX (3-4) : 59-65.

Syakir, M. J. Wiroatmodjo, dan E.


Rasnasari, 1994. Pengaruh kondisi
pohon induk dan waktu pengambilan setek terhadap pertumbuhan
setek cabang buah. Tidak dipublikasi.

Wahid, P dan U. Daras, 1988.


Pengaruh pemangkasan tajar dan
tanaman lada terhadap pertumbuhan dan produksinya. Makalah disampaikan pada seminar bulanan
Balitro, 2 Januari 1988. 10 h.

Syakir, M. dan R. Zaubin, 1994.


Pengadaan bahan tanaman lada
perdu. Prosiding Simposium II Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Puslitbang Tanaman Industri. Bogor 21 23
Nopember 1994 : 161 - 171.

Wahid, P. dan P. Yufdi, 1989. Masalah


tiang panjat dalam pembudidayaan
tanaman lada. Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri di Caringin Bogor, 25-27 Juli 1989. hal.
560-568.

Syakir, M., 1996. Budidaya lada perdu,


Monograf Tanaman Lada. Balai
Penelitian Tanaman Rampah dan
Obat. Bogor. (1): 93-104.

Wahid, P., R. Zaubin, M. Syakir, dan P.


Rosmeilisa, 1995. Peningkatan
produktivitas dan efisiensi teknik
budidaya lada. Laporan Hasil
Penelitian
Balai
Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat.
Bogor. (tidak dipublikasikan).

Syakir, M., P. Rosmeilisa, dan P.


Wahid, 1998. Nilai tambah pengembangan lada perdu di antara
tanaman kelapa. Konperensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung,
21-23 April 1998. Puslitbang
Tanaman Industri Bogor. 462
472.
Syakir, M., R. Zaubin, E. R. Pribadi,
dan Hoerudin, 1999. Pengaruh berbagai kombinasi tanaman sela terhadap efisiensi pemberian hara,
pertumbuhan, dan produksi lada
perdu. Laporan Hasil Penelitian
Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat. Bogor. Tidak dipublikasi.
Wahid P., 1987. Pengaruh Pemupukan
dan Pemangkasan Tiang Panjat
Hidup terhadap Produktifitas Tanaman Lada. Pemb. Littro XII (34). 58-66.

Wahid, P., M.H.B. Joefri, M. Syakir, P.


Roesmelia, J. Potono, Hermanto,
dan E. Surmaini, 1999. Tanggap
beberapa varietas lada perdu terhadap serapan hara di bawah ragam
intensitas radiasi surya. Dalam
Manipulasi agronomic dalam
upaya meningkatkan daya saing
dan keunggulan komparatif lada
perdu. Laporan Riset Unggulan
Terpadu IV. Kantor Menteri Riset
dan Tekonologi. Jakarta.
Wahid, P., M.H.B. Joefri, M. Syakir, P.
Rosmelisa, J. Pitono, Hermanto,
dan E. Surmaini, 1999. Analisis
keunggulan komparatif budidaya
lada dalam bentuk perdu. Dalam
manipulasi agronomik dalam
upaya meningkatkan daya saing
dan keunggulan komparatif lada

23

perdu. Laporan Riset Unggulan


Terpadu IV. Kantor Menteri Riset
dan Teknologi. Jakarta.
Yuhono, JT., M. Syakir, S. Kemala dan
R. Zaubin, 1994. Keragaan usahatani lada perdu di Desa Belatang,
Kabupaten Ciamis. (tidak dipublikasikan).
Zaubin, R., Y. Nuryani dan P. Wahid,
1990. Penggunaan berbagai jenis
panjatan untuk tanaman lada di
Bangka. Pemberitaan Penelitian
Tanaman Industri XV (4) : 137141.

24

Zaubin, R., R.T. Sunarti, dan E.


Sudiadi, 1992. Pengaruh perlukaan
dan pemberian H2SO4 serta IBA
terhadap pertumbuhan akar setek
cabang buah lada. Bul. Littro VII
(1): 10-14.
Zaubin, R., 1992. Pemanfaatan pohon
penegak pada usahatani lada (Piper
nigrum L) Media Komunikasi
Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Industri 11:27-33.
Zaubin, R. dan Supardijono, 1994.
Pengaruh warna sungkup plastik
dan konsentrasi perangsang tumbuh atonik terhadap pertumbuhan
lada (Piper nigrum L. var.
Belatung). Buletin LITTRO Vol.
IX No. 2 : 115 120.

Anda mungkin juga menyukai