Anda di halaman 1dari 19

Acara I

SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusunoleh:
Kelompok B4
Nama : Kevin Cahyadi
NIM

: 13.70.0096

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kainsaring, pisau, penggiling daging,
danfreezer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah dagingikan, garam, gulapasir, polifosfat,
esbatu.
1.2. Metode

DBID k a a ggn ii annd nggi c diiu kka c aagi nni n dg i g i l i n g


SCTd ieaauf nmricilgnlbeagdatn ah dgak e iiannr n ggb asei unkr ska i rnh o s a 2 , 5 %
phd uae lnt u ghs a dn ie aan mi gr bae nis l
m1(ykp k0ae eenn0 ml gao gmbmr uabpeamaon h kg a an1bl ,iae2r gs) i, bas una kt u r o s a 5 %
ks(g kaa ebir nla omn my ap ko k3 3k , a4 l ,i 5 )
s2 a, 5r i%n g

TMBSP uea e a mnrk si g mub u ka k hk u k r a a n n h a r d n e s s ,


pakiW noa Hnl i f C o ,s fk a u t a 0 l i, 1t a % s s e n s o r i
(dd( kk ai tee l h alk oa me m n y p a o l k a n 1 , ) a, r o m a )
wmw ai n d g a h

RUMUS :
LuasAtas = LA= 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )
LuasBawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )
Luas Area Basah = LA - LB
Mg H2O =

luas area basa h8,0


0,0948

2. HASIL PENGAMATAN
Pada Tabel 1. Dapat dilihat hasil dari uji percobaan tingkat hardness, WHC, dan uji sensori
dari hasil pembuatan surimi.
Tabel 1. Hasil uji hardness, WHC, dan sensori dari surimi
Sensori

WHC

Kel
.

Perlakuan

Hardness
(gf)

(mgH20)

Kekenyalan

Aroma

B1

Daging ikan giling +


sukrosa 2,5% +garam
5% + polifosfat
0,1%.

129,74

280917,72

++

++

B2

Daging ikan giling +


sukrosa 2,5% +garam
5% + polifosfat
0,3%.

292,02

218185,65

+++

+++

B3

Daging ikan giling +


sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat
0,3%.

112,7

318565,40

++

B4

Daging ikan giling +


sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat
0,5%.

151,29

303858,12

+++

B5

Daging ikan giling +


sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat
0,5%.

134,31

301219,49

Keterangan:
Kekenyalan
+
= tidak kenyal
++
= kenyal
+++ = sangat kenyal

Aroma
+
= tidak amis
++
= amis
+++ = sangat amis

Dari hasil data tabel 1. dapat dilihat hasil percobaan terhadapa surimi yang telah dibuat
masing masing kelompok dengan perlakuan yang berbeda-beda. Pada uji hardness
diketahui surimi hasil kelompok B2 dengan pemberian sukrosa 2,5% +garam 5% +
polifosfat 0,3% mendapat hasil tertinggi dengan 292,02 gf dan hasil terkecil didapat pada
laporan B1 dengan pemberian sukrosa 2,5% +garam 5% + polifosfat 0,1% yang hasilnya
129,74 gf. Pada uji WHC diketahui kelompok B3 dengan pemberian sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,3% mendapatkan hasil tertinggi dengan 318565,40 sedangkan kelompok
B2 mendapat hasil terendah dengan 218185,65. Sementara untuk hasil uji sensori tingkat
kekenyalan dan aroma surimi didapat hasil yang beragam. Untuk tingkat kekenyalan hasil
tertinggi didapat kelompok B3 dan B4, sedangkan kelompok B5 mendapatkan hasil
terendah. Pada hasil uji aroma kelompok B2 mendapatkan hasil tertinggi yaitu bau sangat
amis, sementara kelompok B3; B4; dan B5; mendapatkan hasil terendah yaitu bau tidak
amis.

3. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan uji pembuatan surimi dengan menggunakan daging ikan.
Menurut Liptan (2000), dipilihanya ikan sebagai bahan baku dari pembuatan surimi karena
ikan mengandung banyak protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia, selain itu ikan
memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga menyebabkan mudah busuk atau rusak
(high perishable food) dan juga menurut Moeljanto (1994), pada umumnya ikan
mengandung protein hewani yang tinggi, sehingga banyak dikonsumsi masyarakat karena
harganya pun murah dan dapat dengan mudah didapatkan. Maka dari itu pengolahan
menjadi surimi merupakan salah satu langkah untuk mengurangi pembuangan limbah ikan.
Peranginangin, et al. (1999) menambahkan bahwa semua jenis ikan dapat dijadikan sebagai
bahan olahan surimi, akan tetapi lebih diutamakan ikan yang memiliki daging putih, tidak
berbau lumpur, dan tidak terlalu amis, serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang
bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik.

Menurut Sonu (1986), surimi merupakan bentuk olahan daging lumat yang terbuat dari
daging ikan yang telah dipisahkan dari bagian ikan lainnya. Ramirez et al (2002),
berpendapat bahwa surimi merupakan konsentrat dari protein miofibril yang memilki
kemampuan dalam pembentukan gel, pengikatan air, pengikatan lemak dan juga memiliki
sifat-sifat fungsional yang baik. Surimi sendiri menurut Irianto & Giyatmi (2009)
merupakan salah satu produk olahan daging ikan dalam bentuk setengha jadi yang terdiri
dari protein miofibril diakarenakan sebagian besar daging ikan adalah protein miofibril
yang memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan yang larut dalam
larutan garam. Protein miofribil menurut Suzuki (1981), berfungsi sebagai konstraksi otot
ikan dan dapat diesktrak dengan memakai garam netral dengan kekuatan ion sedang.
Protein miofribil akan tampak seperti otot hewan mamalia dimana protein miofrbil lebih
mudah kehilangan aktivitas ATP-ase dan memiliki laju agregasi yang lebih cepat. Protein
dari ikan sendiri teridiri atas miosin, aktin, tropomiosin, dan juga aktomiosin yang
merupakan campuran antar aktin dan miosin. Protein miofribil ini akan sangat berpengaruh
pada daya ikat air dan plastisitas daging, tekstur produk-produk perikanan dan juga sifat
fungsional daging lumat. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan bahwa sebaiknya
dalam menyimpan surimi dalam keadaan beku dengan adanya penambahan bahan anti
denaturasi atau cryoprotectant.
Jenis dari surimi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu mu-en surimi (surimi yang
dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam). Untuk
kandungan surimi secara komersial terdapat 75 persen air, 18 persen protein, lemak kurang
dari 0,5 persen, serta bahan-bahan lainnya 6,5 persen (Park et al. 1996). Proses pembuatan
surimi diantaranya terdiri dari proses pencucian (leaching) secara berulang-ulang,
pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan, dan pembekuan
(Agustiani,et.al, 2008). Tambahan dari Sonu (1986), menyebutkan bahwa bahan pangan
olahan surimi sudah di buat sejak tahun 1980 oleh masyarakat jepang. Produk surumi
termasuk dalam produk antara sehingga dapat digunakan kembali dalam pembuatan produk
pangan lainnya atau sebagai campuran sosis ikan, baso ikan, tempura dan kamaboko.

3.1. Cara Kerja


Dalam proses pembuatan surimi pertama dilakukan dulu pencucian ikan hingga bersih
dengan air mengalir dan dilanjutkan dengan pemisahan bagian daging ikan dengan bagian
yang tidak terpakai seperti bagian isi perut, kepala, insang, sisik, sirip, ekor, dan kulit ikan
sehingga didpatkan daging ikan fillet (Peranginangin, et al. 1999). Pemisahan dilakukan
menurut Fortina (1996), berguna untuk mencegah reaksi hidrolisis pada hasil olahan surimi
karena pada bagian kepada dan isi perut dari ikan mengandung banyak lemak dan minyak.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Miyake, et al. (1985), bahwa isi perut ikan terkandung
banyak enzim protease yang akan menyebabkan penurunan kemampuan surimi dalam
membentuk gel. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan pendapata Amalia (2002), yang
mengungkapkan bahwa pencucian ikan berguna untuk menghilangkan bagian larut air,
bagian lemak, dan darah ikan yang dapat mengganggu kekuatan gel produk surimi serta
membuat produk olahan surimi lebih baik. Selain itu proses pencucia juga menentukan
dalam mecegah terjadinya denaturasi protein miofribil selama penyimpanan pada suhu
beku. Efektifitas dalam pencucian dapat ditentukan pada kandungan ion garam organik,
komponen non protein, dan komponen protein larut air yang hilang dari jaringan otot
daging pembuatan surimi (Matsumoto, 1992).
Setelah dilakukan pencucian dan pemisahan selanjutnya daging ikan ditimbang hingga 100
gram dan digiling menggunakan foodblender yang diikuti dengan penambahan sedikit es
batu. Berdasarkan pernyataan Buckle et al. (1978), dilakukannya penggilingan bertujuan
untuk memudahkan proses pengolahan kedepannya serta meningkatnya luas permukaan
daging akan memudahkan kontak antara bahan tambahan lain yang ditambahkan selama
proses menjadi optimal. Untuk penambahan es batu sendiri bertujuan menjaga kesegaran
daging ikan dan mempercepat pengurangan pengurangan air dari daging lumat. Gaman &
Sherrington (1994), menambahkan bahwa penggunaan es batu juga bertujua untuk
meminimalkan atau bahkan mencegah pertumbuhan mikroorganisme pembusuk karena
pada suhu rendah enzim-enzim penyebab kerusakan akan terinaktivasi. Setelah itu daging

di saring menggunakan kain saring untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak


diharapkan selama proses pembuatan surimi (Kimball, 1992).
Proses selanjutnya adalah pemberian sukrosa sebesar 2,5% untuk kelompok B1 dan B2;
pada kelompok B3, B4, dan B5 diberi penambahan sukrosa sebanyak 5%. Ditambahkan
pula garam sebesar 2,5% untuk semua kelompok. Terakhir ditambahkan polifosfat 0,1%
pada kelompok B1; 0,3% pada kelompok B2 dan B3; 0,5% pada kelompok B4 dan B5.
Berdasarkan pernyataan Suzuki (1981), tujuan dari penambahan sukrosa diantaranya adalah
sebagai bahan anti denaturasi protein (cryoproctetant) pada daging surimi. Shimizu &
Toyohara (1992), menambahkan bahwa cryoprotectant berguna untuk meningkatkan
tegangan permukaan air maupun pengikatan energi sehingga protein pada surim dapat stabil
dan terlindungi dari denaturasi protein selama penyimpanan. Sementara menurut Winarno
(2004), penambahan sukrosa berperan sebagai gula pereduksi yang nantinya akan bereaksi
dengan gugus amino dari protein dan nantinya akan membentuk senyawa melanoidin yang
memiliki warna coklat. Untuk penambahan garam sendiri menurut Suzuki (1981), bertujuan
untuk melarutkan protein miofribil yang terkandung pada surimi. Dengan terlarutnya
protein miofribil akan menyebabkan miosin mudah berikatan dengan aktin sehingga
membentuk aktomiosin yang berandil besar dalam pembentukan gel. Tan et al. (1988),
menambahkan bahwa kandungan garam pada kisaran 2-3% paling umum digunakan pada
pembuatan surimi sehingga percobaan kali ini sudah tepat karena kandungan garam yang
digunakan adalah 2,5%. Sementara penambahan polifosfat pada surimi bertujuan untuk
memperbaiki sifat elastis dan kelembutan surimi (Shimizu & Toyohara, 1992). Penambahan
polifosfat juga berguna untuk meningkatkan WHC (water holding capacity) dari surimi
serta menjadikan surimi memiliki bentuk yang lembut (Suzuki ,1981). Shaviklo et al.
(2010), menambahkan efek lain pemberian polifosfat pada produk surimi adalah
meningkatkan kerja cryoprotectant karen polifosfat memberikan efek buffer terhadap
keasaman daging ikan juga berguna sebagai agen pengkelat ion logam. Tan et al. (1988),
menyatakan bahwa jumlah penggunaan polifosfat dalam proses surimi pada kisaran 0,20,3% dalam bentuk rupa garam natrium tripolifosfat maupun natrium pirofosfat.

Setelah diberi penambahan polifosfat dan diaduk hingga homogen, bahan daging lumat
surimi diletakan pada wadah plastik tertutup dan dibekukan pada suhu -10 oC dan -20oC
selama 24 jam. Proses pembekuan menurut Murniyati (2005), berfungsi untuk
mempertahankan sifat-sifat dan kualitas mutu daging lumat dengan metode penarikan panas
secara efektif sehingga suhu daging ikan menurun dan stabil selama proses pembekuan,
penyimpanan, dan distribusi agar tetap terjaga hingga ke tangan konsumen. Jika suhu yang
digunakan pada pembekuan tidak tepat dapat menyebabkan cairan pada dagin keluar dari
sel akibat pecahnya sel-sel pada daging ikan. Hal tersebut nantinya akan menyebabkan
daging surimi menjadi berwarna gelap, membusuk, dan melunak selama proses
pembekuan. Suhu -20oC merupakan suhu yang tepat untuk pembekuan surimi sehingga
dapat bertahan setidaknya selama 1 tahun tanpa banyak mengalami perubahan sifat
fungsional. Selama proses pembekuan sebisa mungkin dihindari terjadinya fluktuasi suhu
karena dapat menyababkan penurunan kemampuan pembetukan gel pada surimi
(Matsumoto & Noguchi, 1992). Setelah proses pembekuan selanjutnya daging surimi di
thawing selama 15 menit dengan cara megalirkan air ke daging lumat yang terbungkus
plastik (Lee, 1984).
3.2. Hasil Pengamatan
Pada percobaan kali ini yang diamati dari hasil pembuatan surimi adalah WHC (water
holding capacity) pada surimi, uji hardness, dan uji sensoris yang meliput kekenyalan serta
aroma. Pada hasil uji hardness dan WHC diketahui hasil yang didapat adalah saling
kebalikannya. Kelompok B2 mendapatkan hasil hardness tertinggi dengan 292,02 gf tetapi
mendapat nilai WHC terendah dengan 218185,65. Hal serupa juga didapat B3 dimana hasil
hardness yang didapatkan adalah 112,70 gf dan hasil WHC yang didapat 318565,40. Hasil
terbalik yang didapatkan jika dikaitkan dengan teori Suzuki (1981), benar adanya karena
penambahan polifosfat berguna untuk meningkatkan WHC (water holding capacity) dari
surimi serta menjadikan surimi memiliki bentuk yang lembut. Hal tersebut menyebabkan
kandungan air yang terdapat pada daging surimi tetap bertahan sehingga semakin tinggi
nilai WHC semakin tinggi kandungan air pada surimi yang menyebabkan tingkat hardness
dari surimi berkurang. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapat jika dibandingkan teori

10

Lilis & Rudy (2011), masih belum tepat karena seharusnya nilai WHC yang tertinggi
didapat kelompok B4 dan B5 dengan pemberian sukrosa 5% dan polfosfat 0,3%. Menurut
Winarno et al. (1980), semakin banyak sukrosa yang diberikan pada daging surimi makan
daya WHC pada daging ikan akan semakin tinggi karena peran sukrosa sebagai
penghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengikat air. Hal serupa juga
dinyatakan oleh Shaviko et al. (2010) yang mengungkapkan bahwa pemberian sukrosa dan
polifosfat akan meningkatkan daya WHC daging surimi karena pemberian polifosfat akan
meningkatkan pH dari surimi, dimana semakin tinggi pH daging maka daya WHC akan
semakin besar pula.
Pada hasil pengamatan uji sensoris diketahui hasil uji tingkat kekenyalan dan aroma dari
surimi masing masing kelompok. Faktor faktor yang diamati telah sesuai prosedur yang
diungkapkan oleh Heruwati, et al. (1995), dimana tingkat kekenyalan surimi merupakan
salah satu faktor penentuan kualitas surimi, dimana semakain kenyal dan elastis surimi
makan produk surimi memiliki kualitas yang baik. Berdasarkan teori Nopianti et al, (2011),
surimi dengan kandungan fosfat 0,3% akan memiliki tingkat kekenyalan yang tinggi karena
fosfat pada takaran tersebut dapat meningkatkan pH yang berdampak membaiknya
pembentukan gel, sementara penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan
mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang tinggi sehingga kekenyalan dari surimi
akan berkurang. Jika dilihat dari hasil pengamatan Tabel 1. Menunjukan bahwa kelompok
B2 dan B3 mendapatkan tingkat kekenyalan yang tinggi dan susah sesuai dengan teori yang
ada. Ketidaksesuaian terjadi pada kelompok B2 dimana kekenyalan yang didapat tidak
maksimal. Menurut Chen, et al. (1997), hal tersebut dapat terjadi karena oksidasi yang
terjadi selama proses sensori berlangsung sehingga oksigen disekitar ruangan mempercepat
perubahan ikatan kimia, termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi
protein sehingga tingkat kekenyalan surimi mengalami perubahan.
Pada uji sensori aroma menurut data pada tabel 1. Menunjukan bahwa kelompok B2
menadapat hasil bau yang sangat tidak amis, sementara kelompok lainnya sebagian besar
mendapat bau tidak amis. Berdasarkan teori dari Peranginangin, et al, (1999), bau amis

11

yang muncul dari surimi dapat disebabkan karena terjadi reaksi oksidasi pada daging surimi
sehingga asam lemak yang terdapat pada daging menjadi off-flavor. Munculnya bau amis
pada kelompok B2 juga dapat disebabkan proses pencucian awal yang tidak tepat sehingga
senyawa trimetilamin masih terkandung didalam surimi. Menurut teori Irianto & Giyatmi
(2009), proses pencucian daging ikan di awal proses pembuatan seharusnya dapat
menghilangkan aroma bau amis pada daging. Menurut jurnal yang ditulis oleh Fabiola et al.
(2013) yang berjudul Optimization of The Surimi Production From Mechanicallu
Recovered Fish Meat (MRFM) Using Response Surface Methodology hal yang dapat
mempengaruhi hilangnya bau pada olahan surimi adalah rasio penggunaan air, jumlah
pencucian, jenis ikan, dan terutama waktu pencucian.
3.3. Hal yang Mempengaruhi Produk Surimi
Kualitas dari produk olahan surimi berdasarkan teori dari Suzuki (1981), dapat dilihat dari
kekuatan gel serta elasitasnya. Kekuatan gel dari surimi sendiri dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti jenis ikan; kematangan; umur; tingkat kesegaran ikan; kadari air; pH; volume,
konsentrasi, dan jenis penambahan cryoprotectant (anti denaturan); dan juga frekuensi
pencucian. Hal tersebut juga sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Arfat & Benjakul
(2012), dimana hanya beberapa jenis ikan tertentu sajah yang dapat dijadikan bahan
pembuatan surimi. Ikan dengan kandungan enzim proteolitik dalam jumlah yang tinggi
merupakan jenis ikan yang tidak bagus untuk digunakan sebagai pembuatan surimi karena
pertumbuhan gelnya tidak sempurna akibat terhambat enzim proteolitik. Hal yang tidak
kalah penting dalam mempengaruhi produk surimi menurut Schwarz & Lee (1988), adalah
pencucian dimana air yang digunakan untuk mencuci harus diperhatikan suhunya. Jika suhu
air yang digunakan untuk mencuci lebih dari 15oC akan menyebabkan protein begitu pula
dengan proses penggilingan harus dijaga suhunya agar tidak terjadi denaturasi protein,
maka dari itu pemberian batu es pada proses penggilingan pada percobaan sudah tepat.
Nopianti et al, (2011), menambahkan bahwa pada proses pembekuan juga harus
diperhatikan agar tidak terjadi penurunan kekuatan gel surimi akibat denauturasi protein
yang disebabkan munculnya kristal es. Maka dari itu dalam proses pembekuan dapat
dilakukan dengan cara pembekuan cepat agar kristal es yang terbentuk tidak terlalu besar,

12

selain itu juga dapat digunakan cryoprotectan dalam bentuk gula alkohol maupun gula
biasa agar dapat mencegah terjadinya proses denaturasi pada surimi. Hal serupa juga
diungkapkan Agustini et al. (2008), dimana cryoproctectan merupakan salah satu aspek
yang menentukan kualitas surimi karena fungsinya sebagai anti-denaturing selama proses
pembekuan. Diamana senyawa cryoproctetant dapat diperoleh dari gula dan dapat
meminimalkan kehilangan air dari sel.
Jika melihat proses lanjutannya, salah satu faktor yang penting dalam pengolahan surimi
adalah suhu pemanasan. Menurut Ali Shabani et al. (2013), dalam jurnal Effect of
Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi form Farmed
Common Carp menyatakan bahwa pemberian panas pada tiga tahap yaitu suhu 4 oC, suhu
25oC, dan suhu 40oC dapat membuat struktur ketiga pada protein terbuka dan membentuk
rantai panjang tanpa memecaha ikatan kovalennya. Hal tersebut nantinya akan
berkontribusi pada pembentukan gel pada surimi dengan elasitisitas dan WHC yang lebih
baik. Hal tersebut juga diungkapkan pada jurnal Effect of Heat Treatment on The
Properties of Surimi Gel from Black Mouth Croaker bahwa protein miofibrilar pada surimi
merupakan komponen terbesar dalam pembentukan gel, dimana pada pemberian panas
tertentu akan menghasilkan berbagai macam karakteristik gel.
4. KESIMPULAN

Ikan sebagai bahan baku dari pembuatan surimi karena ikan mengandung banyak

protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia.


Surimi merupakan bentuk olahan daging lumat yang terbuat dari daging ikan yang telah

dipisahkan dari bagian ikan lainnya.


Jenis dari surimi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu mu-en surimi (surimi yang

dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam).
Isi perut ikan terkandung banyak enzim protease yang akan menyebabkan penurunan
kemampuan surimi dalam membentuk gel.

13

Pencucian ikan berguna untuk menghilangkan bagian larut air, bagian lemak, dan darah
ikan bertujuan untuk memudahkan proses pengolahan kedepannya serta meningkatnya

luas permukaan daging akan memudahkan kontak antara bahan tambahan lain.
Cryoprotectant berguna untuk meningkatkan tegangan permukaan air maupun
pengikatan energi sehingga protein pada surim dapat stabil dan terlindungi dari

denaturasi protein selama penyimpanan.


Penambahan polifosfat pada surimi bertujuan untuk memperbaiki sifat elastis dan

kelembutan surimi.
Suhu -20oC merupakan suhu yang tepat untuk pembekuan surimi sehingga dapat

bertahan setidaknya selama 1 tahun tanpa banyak mengalami perubahan .


Bau amis yang muncul dari surimi dapat disebabkan karena terjadi reaksi oksidasi pada

daging surimi sehingga asam lemak yang terdapat pada daging menjadi off-flavor.
Semarang, 29 Oktober 2015
Praktikan
Asisten Dosen

Kevin Cahyadi
13.70.0096

Yusdhika Bayu S.

5. DAFTAR PUSTAKA
Afrat Yasir, A. & Benjakul, S. (2012). Gelling Characteristics of Surimi from Yellow Stripe
Trevally (Selaroides leptolepis).
Agustini, T. W.; Y. S. Darmanto & Danar P. K. P. (2008). Evaluation on Utilization of Small
Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase the
Quality of Surimi. Journal of Coastal Development Vol. 11, Number 3: 131-140.
Agustini, T., W. et al,. (2008). Evaluation of Utilization Of Small Marine Fish To Produce
Surimi Using Different Cryoprotective Agents To Increase The Quality Of Surimi.
Universitas Dipenogor. Semarang.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.)
dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

14

Buckle KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. (1978). Ilmu Pangan. Purnomo Hdan
adiono, penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse
Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food
Science. Vol. 62 (5): 985 991.
Fabiola et al,. 2013. OPTIMIZATION OF THE SURIMI PRODUCTION FROM
MECHANICALLY RECOVERED FISH MEAT (MRFM) USING RESPONSE
SURFACE METHODOLOGY. Sao Paulo. Brazil.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan Zat
Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan
Inonesia 1: 12-17.
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Jafarpour A. et al,. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein
Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus
carpio) Surimi Gel. Tarbiat Modares University. Iran.
Kamali A. et al,. 2014. Effect of heat treatment on the properties of surimi gel from black
mouth croaker (Atrobucca nibe). University of Tehran. Iran.
Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan
Penambahan Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1, p.6-12.
Matsumoto J.J. & Noguchi S. F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. In: Lanier
T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe.(1985). Technology of Surimi Manufacturing.
Info fish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

15

Moeljanto. (1994). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya.


Jakarta.
Murniyati, A. S. (2005). Pembekuan Ikan. SUPM Tegal. Tegal.
Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi.
Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
Shabani Ali, et al,. 2013. Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics
of Surimi from Farmed Common Carp (Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758). Gorgan
University. Iran
Shaviklo, G. R., Gudjon T., and Sigurjon Arason.(2010). The Influence of Additives and
Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated
from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences 10: 333-340
Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish
Species. In:

Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc.

Page.425-442. New York.


Sonu S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island.
California.
Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.
Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the
Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine
Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center.
Singapore.
Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan

16

Rumus perhitungan WHC (mg H2O):

1
Luas atas ( LA )= a(h0 + 4 h1 +2 h2 +4 h3 ++h n)
3

1
Luas bawah ( LB ) = a(h 0+ 4 h 1+2 h2 + 4 h3 ++ hn )
3

Luas area basah( LAB)=LALB

mg H 2 O=

Luas area basah8,0


0,0948

Perhitungan WHC Kelompok B1

1
Luas atas ( LA )= .47 (110+ 4 187+ 2 222+ 4 188+110)
3
Luas atas ( LA )=33909,88

1
Luas bawah ( LB ) = 47( 110+ 4 28+2 16+ 4 25+110)
3
Luas bawah ( LB ) =7270,88

Luas area basah( LAB)=33909,887270,88


Luas area basah( LAB )=26639

mg H 2 O=

266398,0
0,0948

mg H 2 O=280917,72 mg

Perhitungan WHC Kelompok B2

17

1
Luas atas ( LA )= 42(93+ 4 169+2 180+ 4 169+ 114)
3
Luas atas ( LA )=26866

1
Luas bawah ( LB ) = 42(93+ 4 25+2 17+ 4 25+114 )
3
Luas bawah ( LB ) =6174

Luas area basah( LAB)=268666174

Luas area basah( LAB)=20692

mg H 2 O=

206928,0
0,0948

mg H 2 O=218185,65 mg

Perhitungan WHC Kelompok B3

1
Luas atas ( LA )= 48(91+ 4 203+ 2 209+ 4 204+107)
3
Luas atas ( LA )=35904

1
Luas bawah ( LB ) = 48( 91+ 4 15+2 11+4 19+107)
3
Luas bawah ( LB ) =5696

Luas area basah( LAB)=359045696

Luas area basah( LAB )=30208

18

mg H 2 O=

302088,0
0,0948

mg H 2 O=318565,40 mg

Perhitungan WHC Kelompok B4

1
Luas atas ( LA )= 49(125+ 4 208+2 216 +4 196+117)
3
Luas atas ( LA )=37403,33

1
Luas bawah ( LB ) = 45(125+ 4 26+2 20+ 4 35+117 )
3
Luas bawah ( LB ) =8589,58

Luas area basah(LAB)=37403,338589,58

Luas area basah( LAB )=28813,75

mg H 2 O=

28813,758,0
0,0948

mg H 2 O=303858,12 mg
Perhitungan WHC Kelompok B5

1
Luas atas ( LA )= 47,5(160+ 4 220+2 237 +4 225+125)
3
Luas atas ( LA )=40200,83

1
Luas bawah ( L B )= 47,5 (160+4 47+ 2 31+ 4 50+ 125)
3

19

Luas bawah ( LB ) =11637,26

Luas area basah( LAB)=40200,8311637,26


Luas area basah( LAB )=28563,57

mg H 2 O=

28563,578,0
0,0948

mg H 2 O=301219,49 mg

6.2. Diagram Alir


6.3. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai