SURIMI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusunoleh:
Kelompok B4
Nama : Kevin Cahyadi
NIM
: 13.70.0096
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kainsaring, pisau, penggiling daging,
danfreezer.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah dagingikan, garam, gulapasir, polifosfat,
esbatu.
1.2. Metode
RUMUS :
LuasAtas = LA= 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )
LuasBawah = LB = 1/3 a (h0 + 4 h1 + 2h2 + 4 h3 + hn )
Luas Area Basah = LA - LB
Mg H2O =
2. HASIL PENGAMATAN
Pada Tabel 1. Dapat dilihat hasil dari uji percobaan tingkat hardness, WHC, dan uji sensori
dari hasil pembuatan surimi.
Tabel 1. Hasil uji hardness, WHC, dan sensori dari surimi
Sensori
WHC
Kel
.
Perlakuan
Hardness
(gf)
(mgH20)
Kekenyalan
Aroma
B1
129,74
280917,72
++
++
B2
292,02
218185,65
+++
+++
B3
112,7
318565,40
++
B4
151,29
303858,12
+++
B5
134,31
301219,49
Keterangan:
Kekenyalan
+
= tidak kenyal
++
= kenyal
+++ = sangat kenyal
Aroma
+
= tidak amis
++
= amis
+++ = sangat amis
Dari hasil data tabel 1. dapat dilihat hasil percobaan terhadapa surimi yang telah dibuat
masing masing kelompok dengan perlakuan yang berbeda-beda. Pada uji hardness
diketahui surimi hasil kelompok B2 dengan pemberian sukrosa 2,5% +garam 5% +
polifosfat 0,3% mendapat hasil tertinggi dengan 292,02 gf dan hasil terkecil didapat pada
laporan B1 dengan pemberian sukrosa 2,5% +garam 5% + polifosfat 0,1% yang hasilnya
129,74 gf. Pada uji WHC diketahui kelompok B3 dengan pemberian sukrosa 5% +garam
5% + polifosfat 0,3% mendapatkan hasil tertinggi dengan 318565,40 sedangkan kelompok
B2 mendapat hasil terendah dengan 218185,65. Sementara untuk hasil uji sensori tingkat
kekenyalan dan aroma surimi didapat hasil yang beragam. Untuk tingkat kekenyalan hasil
tertinggi didapat kelompok B3 dan B4, sedangkan kelompok B5 mendapatkan hasil
terendah. Pada hasil uji aroma kelompok B2 mendapatkan hasil tertinggi yaitu bau sangat
amis, sementara kelompok B3; B4; dan B5; mendapatkan hasil terendah yaitu bau tidak
amis.
3. PEMBAHASAN
Pada percobaan kali ini dilakukan uji pembuatan surimi dengan menggunakan daging ikan.
Menurut Liptan (2000), dipilihanya ikan sebagai bahan baku dari pembuatan surimi karena
ikan mengandung banyak protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia, selain itu ikan
memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga menyebabkan mudah busuk atau rusak
(high perishable food) dan juga menurut Moeljanto (1994), pada umumnya ikan
mengandung protein hewani yang tinggi, sehingga banyak dikonsumsi masyarakat karena
harganya pun murah dan dapat dengan mudah didapatkan. Maka dari itu pengolahan
menjadi surimi merupakan salah satu langkah untuk mengurangi pembuangan limbah ikan.
Peranginangin, et al. (1999) menambahkan bahwa semua jenis ikan dapat dijadikan sebagai
bahan olahan surimi, akan tetapi lebih diutamakan ikan yang memiliki daging putih, tidak
berbau lumpur, dan tidak terlalu amis, serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang
bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik.
Menurut Sonu (1986), surimi merupakan bentuk olahan daging lumat yang terbuat dari
daging ikan yang telah dipisahkan dari bagian ikan lainnya. Ramirez et al (2002),
berpendapat bahwa surimi merupakan konsentrat dari protein miofibril yang memilki
kemampuan dalam pembentukan gel, pengikatan air, pengikatan lemak dan juga memiliki
sifat-sifat fungsional yang baik. Surimi sendiri menurut Irianto & Giyatmi (2009)
merupakan salah satu produk olahan daging ikan dalam bentuk setengha jadi yang terdiri
dari protein miofibril diakarenakan sebagian besar daging ikan adalah protein miofibril
yang memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan yang larut dalam
larutan garam. Protein miofribil menurut Suzuki (1981), berfungsi sebagai konstraksi otot
ikan dan dapat diesktrak dengan memakai garam netral dengan kekuatan ion sedang.
Protein miofribil akan tampak seperti otot hewan mamalia dimana protein miofrbil lebih
mudah kehilangan aktivitas ATP-ase dan memiliki laju agregasi yang lebih cepat. Protein
dari ikan sendiri teridiri atas miosin, aktin, tropomiosin, dan juga aktomiosin yang
merupakan campuran antar aktin dan miosin. Protein miofribil ini akan sangat berpengaruh
pada daya ikat air dan plastisitas daging, tekstur produk-produk perikanan dan juga sifat
fungsional daging lumat. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan bahwa sebaiknya
dalam menyimpan surimi dalam keadaan beku dengan adanya penambahan bahan anti
denaturasi atau cryoprotectant.
Jenis dari surimi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu mu-en surimi (surimi yang
dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam). Untuk
kandungan surimi secara komersial terdapat 75 persen air, 18 persen protein, lemak kurang
dari 0,5 persen, serta bahan-bahan lainnya 6,5 persen (Park et al. 1996). Proses pembuatan
surimi diantaranya terdiri dari proses pencucian (leaching) secara berulang-ulang,
pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan, dan pembekuan
(Agustiani,et.al, 2008). Tambahan dari Sonu (1986), menyebutkan bahwa bahan pangan
olahan surimi sudah di buat sejak tahun 1980 oleh masyarakat jepang. Produk surumi
termasuk dalam produk antara sehingga dapat digunakan kembali dalam pembuatan produk
pangan lainnya atau sebagai campuran sosis ikan, baso ikan, tempura dan kamaboko.
Setelah diberi penambahan polifosfat dan diaduk hingga homogen, bahan daging lumat
surimi diletakan pada wadah plastik tertutup dan dibekukan pada suhu -10 oC dan -20oC
selama 24 jam. Proses pembekuan menurut Murniyati (2005), berfungsi untuk
mempertahankan sifat-sifat dan kualitas mutu daging lumat dengan metode penarikan panas
secara efektif sehingga suhu daging ikan menurun dan stabil selama proses pembekuan,
penyimpanan, dan distribusi agar tetap terjaga hingga ke tangan konsumen. Jika suhu yang
digunakan pada pembekuan tidak tepat dapat menyebabkan cairan pada dagin keluar dari
sel akibat pecahnya sel-sel pada daging ikan. Hal tersebut nantinya akan menyebabkan
daging surimi menjadi berwarna gelap, membusuk, dan melunak selama proses
pembekuan. Suhu -20oC merupakan suhu yang tepat untuk pembekuan surimi sehingga
dapat bertahan setidaknya selama 1 tahun tanpa banyak mengalami perubahan sifat
fungsional. Selama proses pembekuan sebisa mungkin dihindari terjadinya fluktuasi suhu
karena dapat menyababkan penurunan kemampuan pembetukan gel pada surimi
(Matsumoto & Noguchi, 1992). Setelah proses pembekuan selanjutnya daging surimi di
thawing selama 15 menit dengan cara megalirkan air ke daging lumat yang terbungkus
plastik (Lee, 1984).
3.2. Hasil Pengamatan
Pada percobaan kali ini yang diamati dari hasil pembuatan surimi adalah WHC (water
holding capacity) pada surimi, uji hardness, dan uji sensoris yang meliput kekenyalan serta
aroma. Pada hasil uji hardness dan WHC diketahui hasil yang didapat adalah saling
kebalikannya. Kelompok B2 mendapatkan hasil hardness tertinggi dengan 292,02 gf tetapi
mendapat nilai WHC terendah dengan 218185,65. Hal serupa juga didapat B3 dimana hasil
hardness yang didapatkan adalah 112,70 gf dan hasil WHC yang didapat 318565,40. Hasil
terbalik yang didapatkan jika dikaitkan dengan teori Suzuki (1981), benar adanya karena
penambahan polifosfat berguna untuk meningkatkan WHC (water holding capacity) dari
surimi serta menjadikan surimi memiliki bentuk yang lembut. Hal tersebut menyebabkan
kandungan air yang terdapat pada daging surimi tetap bertahan sehingga semakin tinggi
nilai WHC semakin tinggi kandungan air pada surimi yang menyebabkan tingkat hardness
dari surimi berkurang. Berdasarkan hasil pengamatan yang didapat jika dibandingkan teori
10
Lilis & Rudy (2011), masih belum tepat karena seharusnya nilai WHC yang tertinggi
didapat kelompok B4 dan B5 dengan pemberian sukrosa 5% dan polfosfat 0,3%. Menurut
Winarno et al. (1980), semakin banyak sukrosa yang diberikan pada daging surimi makan
daya WHC pada daging ikan akan semakin tinggi karena peran sukrosa sebagai
penghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengikat air. Hal serupa juga
dinyatakan oleh Shaviko et al. (2010) yang mengungkapkan bahwa pemberian sukrosa dan
polifosfat akan meningkatkan daya WHC daging surimi karena pemberian polifosfat akan
meningkatkan pH dari surimi, dimana semakin tinggi pH daging maka daya WHC akan
semakin besar pula.
Pada hasil pengamatan uji sensoris diketahui hasil uji tingkat kekenyalan dan aroma dari
surimi masing masing kelompok. Faktor faktor yang diamati telah sesuai prosedur yang
diungkapkan oleh Heruwati, et al. (1995), dimana tingkat kekenyalan surimi merupakan
salah satu faktor penentuan kualitas surimi, dimana semakain kenyal dan elastis surimi
makan produk surimi memiliki kualitas yang baik. Berdasarkan teori Nopianti et al, (2011),
surimi dengan kandungan fosfat 0,3% akan memiliki tingkat kekenyalan yang tinggi karena
fosfat pada takaran tersebut dapat meningkatkan pH yang berdampak membaiknya
pembentukan gel, sementara penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan
mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang tinggi sehingga kekenyalan dari surimi
akan berkurang. Jika dilihat dari hasil pengamatan Tabel 1. Menunjukan bahwa kelompok
B2 dan B3 mendapatkan tingkat kekenyalan yang tinggi dan susah sesuai dengan teori yang
ada. Ketidaksesuaian terjadi pada kelompok B2 dimana kekenyalan yang didapat tidak
maksimal. Menurut Chen, et al. (1997), hal tersebut dapat terjadi karena oksidasi yang
terjadi selama proses sensori berlangsung sehingga oksigen disekitar ruangan mempercepat
perubahan ikatan kimia, termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi
protein sehingga tingkat kekenyalan surimi mengalami perubahan.
Pada uji sensori aroma menurut data pada tabel 1. Menunjukan bahwa kelompok B2
menadapat hasil bau yang sangat tidak amis, sementara kelompok lainnya sebagian besar
mendapat bau tidak amis. Berdasarkan teori dari Peranginangin, et al, (1999), bau amis
11
yang muncul dari surimi dapat disebabkan karena terjadi reaksi oksidasi pada daging surimi
sehingga asam lemak yang terdapat pada daging menjadi off-flavor. Munculnya bau amis
pada kelompok B2 juga dapat disebabkan proses pencucian awal yang tidak tepat sehingga
senyawa trimetilamin masih terkandung didalam surimi. Menurut teori Irianto & Giyatmi
(2009), proses pencucian daging ikan di awal proses pembuatan seharusnya dapat
menghilangkan aroma bau amis pada daging. Menurut jurnal yang ditulis oleh Fabiola et al.
(2013) yang berjudul Optimization of The Surimi Production From Mechanicallu
Recovered Fish Meat (MRFM) Using Response Surface Methodology hal yang dapat
mempengaruhi hilangnya bau pada olahan surimi adalah rasio penggunaan air, jumlah
pencucian, jenis ikan, dan terutama waktu pencucian.
3.3. Hal yang Mempengaruhi Produk Surimi
Kualitas dari produk olahan surimi berdasarkan teori dari Suzuki (1981), dapat dilihat dari
kekuatan gel serta elasitasnya. Kekuatan gel dari surimi sendiri dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti jenis ikan; kematangan; umur; tingkat kesegaran ikan; kadari air; pH; volume,
konsentrasi, dan jenis penambahan cryoprotectant (anti denaturan); dan juga frekuensi
pencucian. Hal tersebut juga sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Arfat & Benjakul
(2012), dimana hanya beberapa jenis ikan tertentu sajah yang dapat dijadikan bahan
pembuatan surimi. Ikan dengan kandungan enzim proteolitik dalam jumlah yang tinggi
merupakan jenis ikan yang tidak bagus untuk digunakan sebagai pembuatan surimi karena
pertumbuhan gelnya tidak sempurna akibat terhambat enzim proteolitik. Hal yang tidak
kalah penting dalam mempengaruhi produk surimi menurut Schwarz & Lee (1988), adalah
pencucian dimana air yang digunakan untuk mencuci harus diperhatikan suhunya. Jika suhu
air yang digunakan untuk mencuci lebih dari 15oC akan menyebabkan protein begitu pula
dengan proses penggilingan harus dijaga suhunya agar tidak terjadi denaturasi protein,
maka dari itu pemberian batu es pada proses penggilingan pada percobaan sudah tepat.
Nopianti et al, (2011), menambahkan bahwa pada proses pembekuan juga harus
diperhatikan agar tidak terjadi penurunan kekuatan gel surimi akibat denauturasi protein
yang disebabkan munculnya kristal es. Maka dari itu dalam proses pembekuan dapat
dilakukan dengan cara pembekuan cepat agar kristal es yang terbentuk tidak terlalu besar,
12
selain itu juga dapat digunakan cryoprotectan dalam bentuk gula alkohol maupun gula
biasa agar dapat mencegah terjadinya proses denaturasi pada surimi. Hal serupa juga
diungkapkan Agustini et al. (2008), dimana cryoproctectan merupakan salah satu aspek
yang menentukan kualitas surimi karena fungsinya sebagai anti-denaturing selama proses
pembekuan. Diamana senyawa cryoproctetant dapat diperoleh dari gula dan dapat
meminimalkan kehilangan air dari sel.
Jika melihat proses lanjutannya, salah satu faktor yang penting dalam pengolahan surimi
adalah suhu pemanasan. Menurut Ali Shabani et al. (2013), dalam jurnal Effect of
Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi form Farmed
Common Carp menyatakan bahwa pemberian panas pada tiga tahap yaitu suhu 4 oC, suhu
25oC, dan suhu 40oC dapat membuat struktur ketiga pada protein terbuka dan membentuk
rantai panjang tanpa memecaha ikatan kovalennya. Hal tersebut nantinya akan
berkontribusi pada pembentukan gel pada surimi dengan elasitisitas dan WHC yang lebih
baik. Hal tersebut juga diungkapkan pada jurnal Effect of Heat Treatment on The
Properties of Surimi Gel from Black Mouth Croaker bahwa protein miofibrilar pada surimi
merupakan komponen terbesar dalam pembentukan gel, dimana pada pemberian panas
tertentu akan menghasilkan berbagai macam karakteristik gel.
4. KESIMPULAN
Ikan sebagai bahan baku dari pembuatan surimi karena ikan mengandung banyak
dibuat tanpa penambahan garam) dan ka-en surimi (surimi yang ditambah garam).
Isi perut ikan terkandung banyak enzim protease yang akan menyebabkan penurunan
kemampuan surimi dalam membentuk gel.
13
Pencucian ikan berguna untuk menghilangkan bagian larut air, bagian lemak, dan darah
ikan bertujuan untuk memudahkan proses pengolahan kedepannya serta meningkatnya
luas permukaan daging akan memudahkan kontak antara bahan tambahan lain.
Cryoprotectant berguna untuk meningkatkan tegangan permukaan air maupun
pengikatan energi sehingga protein pada surim dapat stabil dan terlindungi dari
kelembutan surimi.
Suhu -20oC merupakan suhu yang tepat untuk pembekuan surimi sehingga dapat
daging surimi sehingga asam lemak yang terdapat pada daging menjadi off-flavor.
Semarang, 29 Oktober 2015
Praktikan
Asisten Dosen
Kevin Cahyadi
13.70.0096
Yusdhika Bayu S.
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrat Yasir, A. & Benjakul, S. (2012). Gelling Characteristics of Surimi from Yellow Stripe
Trevally (Selaroides leptolepis).
Agustini, T. W.; Y. S. Darmanto & Danar P. K. P. (2008). Evaluation on Utilization of Small
Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase the
Quality of Surimi. Journal of Coastal Development Vol. 11, Number 3: 131-140.
Agustini, T., W. et al,. (2008). Evaluation of Utilization Of Small Marine Fish To Produce
Surimi Using Different Cryoprotective Agents To Increase The Quality Of Surimi.
Universitas Dipenogor. Semarang.
Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.)
dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
14
Buckle KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. (1978). Ilmu Pangan. Purnomo Hdan
adiono, penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse
Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food
Science. Vol. 62 (5): 985 991.
Fabiola et al,. 2013. OPTIMIZATION OF THE SURIMI PRODUCTION FROM
MECHANICALLY RECOVERED FISH MEAT (MRFM) USING RESPONSE
SURFACE METHODOLOGY. Sao Paulo. Brazil.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan Zat
Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan
Inonesia 1: 12-17.
Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas
Terbuka. Jakarta.
Jafarpour A. et al,. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein
Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus
carpio) Surimi Gel. Tarbiat Modares University. Iran.
Kamali A. et al,. 2014. Effect of heat treatment on the properties of surimi gel from black
mouth croaker (Atrobucca nibe). University of Tehran. Iran.
Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan
Penambahan Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1, p.6-12.
Matsumoto J.J. & Noguchi S. F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. In: Lanier
T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe.(1985). Technology of Surimi Manufacturing.
Info fish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.
15
Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc.
16
1
Luas atas ( LA )= a(h0 + 4 h1 +2 h2 +4 h3 ++h n)
3
1
Luas bawah ( LB ) = a(h 0+ 4 h 1+2 h2 + 4 h3 ++ hn )
3
mg H 2 O=
1
Luas atas ( LA )= .47 (110+ 4 187+ 2 222+ 4 188+110)
3
Luas atas ( LA )=33909,88
1
Luas bawah ( LB ) = 47( 110+ 4 28+2 16+ 4 25+110)
3
Luas bawah ( LB ) =7270,88
mg H 2 O=
266398,0
0,0948
mg H 2 O=280917,72 mg
17
1
Luas atas ( LA )= 42(93+ 4 169+2 180+ 4 169+ 114)
3
Luas atas ( LA )=26866
1
Luas bawah ( LB ) = 42(93+ 4 25+2 17+ 4 25+114 )
3
Luas bawah ( LB ) =6174
mg H 2 O=
206928,0
0,0948
mg H 2 O=218185,65 mg
1
Luas atas ( LA )= 48(91+ 4 203+ 2 209+ 4 204+107)
3
Luas atas ( LA )=35904
1
Luas bawah ( LB ) = 48( 91+ 4 15+2 11+4 19+107)
3
Luas bawah ( LB ) =5696
18
mg H 2 O=
302088,0
0,0948
mg H 2 O=318565,40 mg
1
Luas atas ( LA )= 49(125+ 4 208+2 216 +4 196+117)
3
Luas atas ( LA )=37403,33
1
Luas bawah ( LB ) = 45(125+ 4 26+2 20+ 4 35+117 )
3
Luas bawah ( LB ) =8589,58
mg H 2 O=
28813,758,0
0,0948
mg H 2 O=303858,12 mg
Perhitungan WHC Kelompok B5
1
Luas atas ( LA )= 47,5(160+ 4 220+2 237 +4 225+125)
3
Luas atas ( LA )=40200,83
1
Luas bawah ( L B )= 47,5 (160+4 47+ 2 31+ 4 50+ 125)
3
19
mg H 2 O=
28563,578,0
0,0948
mg H 2 O=301219,49 mg