Pembimbing :
dr. Fisalma Mansjoer , Sp.KK
Disusun Oleh :
Chicilia Windia Tanu Wijaya - 2010730020
Galuh Ajeng Laraswati 2010730041
Pria Adhi Yaksa - 2010730085
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial dengan judul Infeksi Menular Seksua
sesuai pada waktu yang telah ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari suatu
proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami
dalam kelancaran pembuatan laporan ini, dr. Fisalma Mansjoer,Sp.KK. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar.............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................1
Infeksi Genitalia Nonspesifik .....................................................................1
Gonore.........................................................................................................7
Trikomoniasis .............................................................................................12
Vaginosis Bakterial .....................................................................................17
Sifilis ...........................................................................................................24
Ulkus Mole .................................................................................................43
Herpes Simpleks ........................................................................................51
Kondiloma Akuminata ...............................................................................56
Limfogranuloma Venerium .........................................................................63
Granuloma Inguinale ..................................................................................75
HIV .............................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................114
ii
TINJAUAN PUSTAKA
Chlamydia trachomatis
Telah terbukti bahwa lebih 50% daripada semua kasus UNS disebabkan oleh kuman ini.
Chlamydia trachomatis merupakan parasit intraobligat, menyerupai bakteri negatif-gram.
Dalam perkembangannya Chlamydia trachomatis mengalami 2 fase:
o Fase I: disebut fase noninfeksiosa, terjadi keadaan laten yang dapat ditemukan
pada genitalia maupun konjungtiva. Pada saat ini kuman sifatnya intraselular dan
berada di dalam vakuol yang letaknya melekat pada inti sel hospes, disebut badan
inklusi.
o Fase II: fase penularan, bila vakuol pecah kuman keluar dalam bentuk badan
elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru.
-
Alergi
Ada dugaan bahwa UNS disebabkan oleh reaksi alergi terhadap komponen sekret
alat urogenital pasangan seksualnya. Alasan ini dikemukakan karena pada pemeriksaan
sekret UNS tersebut ternyata steril dan pemberian antihistamin dan kortikosteroid
mengurangi gejala penyakit.
Bakteri
Mikroorganisme penyebab UNS ini adalah Staphylococcus dan difteroid.
Sesungguhnya bakteri ini dapat tumbuh komensal dan menyebabkan uretritis hanya pada
beberapa kasus.
Gejala Klinis
Pria
Gejala baru timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak
seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing,
dan kelurarnya duh tubuh seropurulen. Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit lebih
lama karena masa inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali.
Pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga menyulitkan
diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat di perlukan pemeriksaan laboratorium penunjang.
Wanita
2
Infeksi lebih sering terjadi di serviks dibandingkan dengan di vagina, kelenjar Bartholin,
atau uretra sendiri. Sama seperti pada gonore, umumnya wanita tidak menunjukkan gejala.
Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri
di daerah pelvis, dan disparenia.
Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tanda-tanda servisitis berupamukosa yang
hiperemis dan edema, disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah, dan duh tubuh
serviks yang mukopurulen.
Pada permpuan atau laki-laki yang melakukan kontakseksual secara anogenital dan
orogenital, infeksi dapat juga terjadi secara langsung pada mukosa rektum dan faring. Anamnesis
harus sangat teliti, mengingat tidak ada patokan nilai pemeriksaan laboratorium sederhana yang
dapat dipakai sebagai penapisan cepat infeksi ini. Pemeriksaan klinis harus tetap menjadi standar,
agar pasien cepat mendapatkan tatalaksana.
DIAGNOSIS
Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore.
Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis karena klamidia sebagai penyebab, perlu
pemeriksaan khusus untuk menemukan adanya C.trachomatis.
Pemeriksaan laboratorium sederhana dan relatif mudah, serta cepat adalah dengan
pemeriksaan pewarnaan Gram, kriteria yang dipakai adalah:
A. Tidak ditemukan diplokokus Gram-negatif intrasel maupun ekstrasel PMN.
B. Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa dan trikomonas.
C. Jumlah leukosit PMN> 5/LPB, pada specimen duh uretra atau PMN>30/LPB pada
specimen duh serviks
D. Belum ada panduan untuk infeksi faring dan anal.
Pemeriksaan yang digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitology langsung dan
biakan dari inoculum yang diambil dari specimen urogenital. Pada tahun 1980-an ditemukan
teknologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis.
Pemeriksaan sitology langsung ini dengan pewarnaan Giemsa memiliki sensitivitas tinggi
untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah (laki-laki 15%, perempuan
41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah, yaitu 62%.
Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih dianggap sebagai baku emas pemeriksaan
klamidia. Spesifisitasnya mencapai 100% tetapi sensitivitasnya bervariasi bergantung pada
laboratorium yang digunakan (berkisar antara 75-85%)
Pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada kasus asimtomatik dan infeksi subakut. Prosedur,
tekhnik, dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3-7 hari. Sampai saat ini
pemeriksaan dengan biakan bahkan PCR belum dapat dilakukan secara rutin di Indonesia.
Untuk teknik deteksi antigen klamidia terdapat beberapa cara, yaitu :
1. Direct fluroscent antibody (DFA)
Tes tersebut menggunakan antibodi monoclonal atau poliklonal degan miskroskop
imuno- fluoresen (I.F). tampak badan elementer (BE) atau retikulat (BR), hasil
dinyatakan positif bila ditemukan BE > 10. Waktu pemeriksaan diperlukan kurang lebih
30 menit, perlu tenaga terlatih dan biaya lebih murah. Sensitivitasnya berkisar antara 8090% dan spesifisitasnya 98-99%.
2. Enzyme immune assay/enzyme linked
Pemeriksaan tersebut mulai dikembangkan pada akhir tahun 1980-an, menggunakan
antibodi moonoklonal atau poliklonal dan alat spektrofotometri, lama tes 3 sampai 4 jam.
Metode Elisa Chlamydiazyme sensitivitasnya 92.3% dan spesifisitasnya 99.8% terhadap
biakan. Di samping itu dikenal juga metode ELISA yang membutuhkan waktu 30 menit
atau kurang, yang dikenal dengan istilah rapid test, dan dapat dikerjakan di tempat
praktik. Beberapa rapid test yang dikenal adalah Clearview, Genix, One step CT
test strip (AmeriTek) dan QuickStripe Chlamydia Ag, Sensitivitas pemeriksaan ini
lebih rendah dibandingkan dengan ELISA Chlamydiazyme.
Metode yang terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis.
1. Hibridasi DNA Probe
Dikenal dengan istilah Gen Probe. Metode tersebut mendeteksi DNA CT, lebih sensitive
dibandingkan dengan cara ELISA, karena dapat mendeteksi DNA dalam jumlah kecil
melalui proses hibridasi. Sensitivitasnya tinggi (85%) dan juga spesifisitasnya (98-99%).
2. Amplifikasi asam nukleat
Termasuk dalam kategori tersebut tes Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Ligase
Chain Reaction (LCR). PCR mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99-100%,
sedangkan LCR sensitivitas 94% dan spesifisitasnya 99-100%.
Uretritis yang persisten paksa terapi doksisiklin harus dipikirkan tentang kemungkinan
infeksi oleh U.Urealiticum atau M. Genitalium yang resisten doksisiklin, T vaginalis
4
dapat juga sebagai penyebab infeksi uretra pada laki-laki. Dalam hal ini, diindikaskan
pemeriksaan kultur atau NAAT dan bahan duh genita, swa uretra, first void urine, atau
semen.
Penatalaksanaan
Pedoman tatalaksana pada infeksi genital nonspesifik
Nonmedikamentosa
Bila memungkinkan periksa dan lakukan pengobatan pada pasangan tetapnya (notifikasi
pasangan)
Anjurkan abstinensia sampai infeksi dinyatakan sembuh secara laboratoris, bila tidak
memungkinkan, dapat dianjurkan penggunaan kondom
Lakukan konseling mengenai infeksi, komplikasi yang dapat terjadi, dan pentingnya
keteraturan berobat
Lakukan provider initiated Testing an Conseling (PITC) terhadap infeksi HIV dan
kemungkinan mendapatkan infeksi menular seksual lain.
Azitromisin
Eritromisin
: untuk penderita yang tidak tahan tetrasiklinm, ibu hamil, atau berusia kurang
dari 12 tahun, 4x 500mg sehari selama 1minggu atau 4x 250 mg sehari selama 2 minggu.
5
Komplikasi
Hampir sama dengan gonore. Pada pria dapat terjadi prostatitis, vesikulitis, epididimitis,
dan striktur uretra. Pada wanita dapat terjadi bartolinitis, prokitis, salpingitis, dan sistitis.
Peritonitis dan hepatitis juga pernah dilaporkan.
Prognosis
Kadang-kadang tanpa pengobatan penyakit lambat laun berkurang dan akhirnya sembuh
sendiri (50-70% dalam waktu kurang lebih 3 bulan). Setelah pengobatan, kira-kira 10% penderita
akan mengalami eksaserbasi/rekurens.
B. Gonore
Definisi
Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria
gonorhoeae.
Etiologi
Penyebab gonore adalah gonokok yang ditemukan oleh NEISSER pada tahun
1879 baru diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut termasuk dalam grup Neisseria
dan dikenal ada 4 spesies, yaitu N.gonorrhoeae dan N.meningitidis yang bersifat patogen
serta N.catarrhalis dan N.pharyngis ini sukar dibedakan kecuali dengan tes fermentasi.
Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8 u
dan panjang 1,6 u, bersifat tahan asam. Pada sediaan langsung dengan pewarnaan Gram
bersifat Gram-negatif, terlihat di luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara
bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39 0C, dan tidak tahan
cat desinfektan.
Seacara morfologik gonokok ini terdiri atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang
mempunyai pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili dab
bersifat nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi
radang.
Daerah yang mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau
lapis gepeng yang belum berkembang (immatur), yakni pada vagina wanita sebelum
pubertas.
Gejala klinis
Masa tunas gonore sangat singkat. Pada pria umumnya sekitar2-5 hari. Pada
waktu masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umumnya asimptomatis. Infeksi N.
Gonorhoeae merupakan fase akut yang didahului rasa panas dibagian distal urethra
diikuti rasa nyeri pada penis, keluhan berkemih seperti disuria dan polakisuria. Terdapat
duh tubuh yang
ektropion. Pada beberapa keadaan, duh tubuh baru keluar bila dilakukan pemijatan atau
pengurutan korpus penis kearah distal, tetapi pada keadaan penyakit yang lebih berat
nanah tersebut menetes sendiri keluar.
7
Diagnosis
Diagnosa ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan gejala subjektif berupa : Gatal, panas pada distal
uretra, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen yang kadang disertai
darah, nyeri pada waktu ereksi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Gejala objektif :Orificium uretra
eksternum eritematosa, edematosa, dan ektropion.Tampak pula duh tubuh yang
seropurulen atau mukopurulen dan dapat disertai pembesaran kelenjar getah
bening inguinal unilateral atau bilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a.
Pewarnaan Gram ( Sediaan langsung )
Gram-negatif diplokokus intrasellular terhadap PMN pada pemeriksaan
eksudat. Pada sediaan langsung dengan pengecatan gram akan ditemukan
gonokokus negatif gram, intraseluler dan ekstra seluler, berbentuk biji kopi.
Selain itu dapat ditemukan juga lekosit PMN 5/lpb. Bahan duh tubuh pria
diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari
uretra, muara kelenjar bartholin, serviks, dan rectum.
Pemeriksaan gram dari duh uretra pada pria memiliki sensitivitas tinggi (9095%) dan spesifisitas 95-99%. Sedangkan dari endoserviks, sensitivitasnya
b.
a) Media
Thayer-martin:
selektif
untuk
mengisolasi
gonokok.
Mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman positifgram, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri negatif-gram,
dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.
b) Modifikasi Thayer-martin: isinya ditambah dengan trimetoprim
untuk menekan pertumbuhan kuman Proteus spp.
c) Agar coklat McLeod: berisi agar coklat, agar serum, dan agar
hidrokel. Dapat ditumbuhi kuman selain gonokokus.
c.
Tes Definitif
a) Tes Oksidasi
Reagen oksidasi yang mengandung larutan tetrametil-p-fenilamin
hidroklorida 1% ditambahkan pada koloni gonokok tersangka. Semua
Neisseria memberikan reaksi positif dengan perubahan warna koloni
yang semula bening berubah menjadi merah muda sampai merah
lembayung.
b) Tes Fermentasi
Tes Oksidasi Positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai
glukosa, maltosa, dan sukrosa. Kuman gonokok hanya meragikan
d.
glukosa.
Tes Beta laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc. BBL 96192 yang mengandung
cheomogenic cephalosporin. Apabila kuman mengandung enzim beta-
e.
Gelas II
Arti
Jernih
Jernih
Keruh
Jernih
Infeksi
uretritis
anterior
Keruh
Keruh
Panuretritis
Jernih
Keruh
Tidak mungkin
9
Pengobatan
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan adalah efektivitas, harga, dan sesedikit
mungkin efek toksiknya. Dulu ternyata pilihan utama ialah
penisilin + probenesid,
mg secara oral.
Mengingat pada beberapa tahun terakhir ini resisten terhadap siprofloksasin masih
tinggi, maka golongan kuinolon yang dianjurkan adalah levofloksasin 250 mg per
oral dosis tunggal.
10
C. Trikomoniasis
Definisi
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi saluran urogenital bagian bawah pada
wanita maupun pria, dapat bersifat akut atau kronik, disebabkan Trichomonas vaginalis,
dan penularannya biasanya melalui hubungan seksual.
Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan satusatunya spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai
pada traktus urogenital. Pertama kali ditemukan oleh Donne pada tahun 1836, dan untuk
waktu yang lama sejak ditemukannya dianggap sebagai komensal. Trichomonas
vaginalis merupakan flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai
4 flagela, dan bergerak seperti gelombang.
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup
dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50C akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada
suhu 0C dapat bertahan sampai 5 hari. Cepat mati bila mengering, terkena sinar
matahari, dan terpapar air selama 35-40 menit.
Ada dua spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu Trichomonas
tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup dalam
kolon, yang pada umumnya tidak menimbulkan penyakit.
Insiden
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui
pakaian, handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu trikomoniasis ini terutama
ditemukan pada orang dengan aktivitas seksual yang tinggi, tetapi dapat juga ditemukan
pada bayi dan penderita setelah menopause. Penderita wanita lebih banyak dibandingkan
dengan pria.
Patogenesis
Trichomonas vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Masa tunas
rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan
jarin
gan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar
sampai di permukaan epitel. Di dalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel,
kuman-kuman, dan benda lain yang terdapat dalam sekret.
Gejala klinis
11
Prevalensi (%)
9 56
50 75
30 50
5 12
Gejala :
1. Tidak ada
15
10 37
12
berbusa
4. Inflamasi dinding vagina
20 75
12
5. Strawberry cervix
45
Pengamatan langsung
Pengamatan dengan kolposkop
Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun kronis. Pada
kasus akut terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan, kuning-hijau,
berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Duh tubuh yang banyak sering
menimbulkan keluhan gatal dan perih pada vulva serta kulit sekitarnya. Dinding vagina
dan labium tampak kemerahan dan sembab serta terasa nyeri. Sedangkan pada vulva dan
paha bagian atas kadang-kadang ditemukan abses-abses kecil dan maserasi yang
disebabkan oleh fermen proteolitik dalam duh tubuh. Kadang-kadang juga terbentuk
abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak granulasi berwarna merah dan
dikenal sebagai strawberry appearance, yang menurut Fouts et al, hal ini hanya
ditemukan pada 2% kasus trikomoniasis. Keluhan lain yang mungkin terjadi adalah
dispareunia, perdarahan pascakoitus, dan perdarahan intermenstrual. Bila sekret banyak
yang keluar dapat timbul iritasi pada lipat paha atau di sekitar genitalia eksterna. Selain
vaginitis dapat pula terjadi uretritis, Bartholinitis, skenitis, dan sistitis yang pada
umumnya tanpa keluhan. Pada kasus yang kronik gejalanya lebih ringan dan sekret
vagina biasanya tidak berbusa.
Kadang-kadang reaksi radang sangat minimal sehingga duh tubuh sangat minimal
pula, bahkan dapat tidak tampak sama sekali. Polakisuria dan disuria biasanya merupakan
keluhan pertama pada infeksi traktus urinarius bagian bawah yang simptomatik. Dua
puluh lima persen penderita mengalami infeksi pada uretra.
2. Trikomoniasis Pada Pria
Seperti pada wanita spektrum klinik trikomoniasis pada pria sangat luas, mulai
dari tanpa gejala sampai pada uretritis yang hebat dengan komplikasi prostatitis. Masa
inkubasi biasanya tidak melebihi 10 hari.
13
bertambahnya
pertumbuhan
flora
vagina
bakteri
anaerob
menggantikan
Setelah
terapi
dengan
metronidazole,
Bacteriodes
dan
16
Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada
wanita dibandingkan dengan bakterial vaginosis pada wanita normal.
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine,
satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis.
Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan
vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis.
Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob
termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 1001000 kali lipat.
Manifestasi Klinis
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering
pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau
ikan (fishy odor). Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan
vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin
dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas.
Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar
wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar),
kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau
C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul
kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing
jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina
normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan
gambaran bergerombol.
Patofisiologi
17
20
dapat
menembus
ASI,
oleh
karena
itu
sebaiknya
2,86%,
vaginosis
pada
masa
kehamilan
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang lebih
rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping
(Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil).
Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin
jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita tidak hamil
dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin
tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat
digunakan
metronidazol
oral walaupun
mungkin
lebih
disukai
gel
Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terapi juga diberikan kepada
pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.
22
E. Sifilis
Definisi
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan
bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat
menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke
janin.
Epidemiologi
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara
0,04-0,52 %. Insiden yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika
Selatan. Di Indonesia insidennya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah
stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium
II.
Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaeraceae dan
genus Treponema.
Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas
8-24 lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan
pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap
30 jam.
Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis kongenital
dibagi menjadi : dini (sebelum 2 tahun), lanjut (sesudah 2 tahun), dan stigmata. Sifilis
akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara
pertama sifilis dibagi menjadi 3 stadium: stadium I (S I), stadium II (S II), stadium III (S
III). Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi :
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
stadium rekuren, dan stadium latn dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium
laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis.
STADIUM DINI MENULAR
1 tahun
MENULAR
23
Stadium rekuren
S.t.
SI
S III
II
2-4 minggu
6-8
minggu
3-10 tahun
(menular)
Keterangan :
S.t.
= sanggama tersangka
SI
= sifilis stadium I
S II
= sifilis stadium II
S III
Patogenesis
1. Stadium dini
Pada sifilis yang didapat T.pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut membiak, jaringan
bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel
plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di
kelilingi oleh T.pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak diantara
endotelium kapiler dan jaringan perivaskuler di sekitarnya. Kehilangan pendarahan
akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai SI.
Sebelum SI terlihat, kuman telah mencapi kelenjar getah bening regional secara
limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan
menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.
24
Multifikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi 6-8 minggu
sesudah SI.
SI akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya
berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa
sikatriks, SII juga mangalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi
dengan sifillis kongenita.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T,pallidum
membiak lagi pada tempat SI dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut
menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren SII, yang
terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat
berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun. Sifilis tersebut
terdapat pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah.
2. Sifilis Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada
saat itu muncullah SIII berbentuk gumma. Meskipun pada gumma tersebut tidak
dapat ditemukan T.pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan
berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi gumma
tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Treponema mencapai sistem kardiovaskulerdan sistem syaraf pada waktu dini,
tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan gumma biasanya tidak mendapat
gangguan syaraf dan kardiovaskuler, demikian pula sebaiknya. Kira-kira 2/3 kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.
Gejala Klinis
Sifilis Akuisita (Didapat)
A. Sifilis Dini
II.
Sifilis Primer (SI)
25
lentikuler
yang
Sifilis
sekunder
(SII)
Biasanya
SII
minggu sejak SI dan sejumlah 1/3 kasus masih disertai SI. Lama SII
dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan SI yang tanpa disertai
gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala tersebut yang terjadi
sebelum atau selama SII. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa
anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang
tidak tinggi, dan atralgia.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga
disebut the great imitator. Selain pada kulit SII juga dapat
menyebabkan kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata ,
hepar, tulang, dan syaraf.
Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada SII sangat
menular, kelainan yang kering kurang menular. Kondiloma lata dan
plaque muqueuses ialah bentuk yang sangat menular.
Gejala yang penting untuk membedakan dengan penyakit kulit
yang lain ialah
Kelainan kulit pada SII umumnya tidak gatal, sering disertai
limfadenitis generalisata, pada SII dini kelainan kulit juga terjadi pada
telapak tangan dan kaki.
Antara SII dini dan SII lanjut terdapat perbedaan. Pada SII dini
kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat hilang (beberapa
hari hinggga beberapa minggu ). Pada SII lanjut tidak generalisata lagi,
melainkan setempat-setempat, tidak simetris dan lebih lama bertahan
(beberapa minggu hingga beberapa bulan).
S II pada mukosa
Biasanya timbul bersama-sama dengan eksantema pada kulit,
kelainan pada mukosa disebut enantem, terutama terdapat pada mulut dan
tenggorok.
Umumnya
berupa
makula
eritematosa,
yang
cepat
27
28
V.
29
tersebut
dalam
perkembangannya
mirip
gumma.,
mempunyai
kecenderungan
untuk
bergerombol
atau
kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga
bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi
yang sehat. Keadaan ini disebut hukum kossowitz.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang
dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk gumma dan
tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua
stadium tersebut.
1. Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol,
simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan.
Cairan bula mngandung banyak T.pallidum. Bayi tampak sakit, bentuk ini adakalanya
disebut pemfigus sifilitika.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan
mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papula-skuamosa yang
simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang
lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondiloma lata. Ragades merupakan
kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus, bentuknya
memancar (radiating).
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit
keriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku
dapat terlepas akibat papul di bawahny, disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku
yang baru akan kabur dan bentuknya berubah.
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses seperti
pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam
kavum nasi yang menyebabkan rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan
tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan
menyebabkan sumbatan. Pernafasan dengan hidung suka. Jika plaques muqueuses
terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat membesar,
generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II.
32
33
34
secara abnormal yakni lebih kecil daripada mandibula yang tumbuh normal dan
disebut buldogjaw.
Gigi
Gigi hutchinson merupakan kelainan yang khas, hanya terdapat pada gigi
insisiv permanen. Gigi tersebut lebih kecil daripada normal, sisi gigi konveks,
sedangkan daerah untuk menggigit konkaf.
Kelainan lain yang khas ialah pada gigi molar pertama, biasanya yang di bawah.
Pertama kali dilukiskan oleh moon dan disebut moon:s molar.
Permokaannya berbintil-bintil (tuberkula) sehingga mirip murbai, karena
itu dinamai pula mulbery molar. Kelainan ini lebih sering terdapat daripada gigi
hutchinson. Enamel di tempat itu tipis, hingga mudah teradi karies dan cepat
tanggal.
Hutchinsons teeth
Ragades
Ragades terdapat terutama pada sudut mulut, jarang pada lubang hidung
dan anus. Terbentuknya dari papul-papul yang berkonfluensi, akibat pergerakan
mulut terjadi fisur yang kemudian mengalami infeksi sekunder, jika sembuh
meninggalkan jaringan parut linear yang memancar dari sudut mulut.
2. Stigmata pada lesi lanjut
Kornea
Keratitis interstitsial dapat meninggalkan keruhan pada lapisan dalam
kornea.
Sikatriks gumatosa
Gumma pada kulit meninggalkan sikatriks yang hipotrofi seperti kertas
perkamen. Pada palatum dan septum nasi meninggalkan perforasi.
Tulang
Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre tibia.
Nodus periosteal yang menyembuh sering memberi prominen yang abnormal dan
pelebaran regio frontalis yang disebut frontal bossing. Kalianan ini bersama
dengan saddle nose dan bulldog jaw disebut buldog facies.
Trias hutchinson
Trias hutchinson ialah sindrom yang terdiri dari keratitis intertisisal, gigi
hutchinson, dan ketulian nervus VIII.
Pemeriksaan untuk Diagnosa
1. Pemeriksaan Treponema pallidum
Treponema
Pewarnaan Burri (tinta hitam) tidak adanya pergerakan Treponema,
- T. pallidum telah mati kuman berwarna jernih dikelilingi oleh
Treponema pallidum
Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan :
Sensitivitas : % individu yang terinfeksi yang memberi
hasil positif
Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi yang
memberikan hasil negatif .
Hasil STS non Treponema menjadi negatif (-) dalam 3 8 bln setelah
pengobatan adekuat.
Penilaian -`kualitatif & kuantitatif
Hasilnya menjadi positif (+) dalam 2 minggu I setelah ulkus durum positif
(+)
SI
S II
S III
S kardiovaskular
Neurosifilis
S II
Laten dini
Laten lanjut
Sifilis lanjut
False
negative
False positive : (+) akibat salah teknik, ps penyakit Treponema lain
Tes Treponema
Tes Treponema digolong 4 kelompok, yaitu :
37
1. Tes Imobilisasi
Treponema Pallidum Immobilization (TPI)
Tes Treponema yang paling spesifik
Hasil positif pada Treponematosis
Kekurangannya
Rx lambat, baru (+) pd akhir stadium I,
Tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan,
Teknik sulit dan
Biayanya mahal
2. Tes imunofluoresensi
a. Fluorecent Treponemal Antibody Absorption Test (FTA-Abs)
Tes ini paling sensitif (90 %), bisa untuk mendeteksi Ig G
False (+) pada :
Keganasan
Anemia hemolitik
Lupus eritematosus
Sirosis hepatik
Rheumatoid arthritis
Kehamilan
Skleroderma
Infeksi virus, vaksinia
Drug induced LE
Orang normal
Pengobatan
Obat pilihan untuk Therapi sifilis adalah Penisilin
SI
S II
S III
39
F. Ulkus Mole
Definisi
Ulkus
mole
adalah
penyakit
infeksi
pada
alat
kelamin
yang
akut,
2. Dwarf chancroid
Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi dasarnya tidak
teratur dan tepi berdarah.
41
42
Kalau disertai sfilis stadium 1.Mula-mula lesi khas ulkus mole, tetapi setelah 1520 hari menjadi manifes, terutama jika di obati dengan sulfonamide. 1Dapat
terjadipada bagian ataspenis dan kelenjar inguinal kanan.
2. Abses kelenjar inguinal
Bila tidak diobati dapat memecah menimbulkan sinus yang kemudian menjadi
ulkus. Ulkus kemudian membesar membentuk giant chancroid.
3. Fimosis parafimosis
Kalau lesi mengenai preputium.
4. Fistula uretra
Timbulnya karena ulkus pada glans penis yang bersifat dekstruktif. Dapat
mengakibatkan nyeri pada waktu buang air kecil dan pada keadaan lanjut dapat
menjadi stiktura uretra.
5. Infeksi campuran
Dapat disertai infeksi organisme Vincent sehingga ulkus makin parah dan bersifat
destruktif. Di samping itu juga dapat disertai penyakit limfogranuloma venereum
atau granuloma inguinale.
Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin yang lain.
Harus dipikirkan juga kemungkinan infeksi campuran.Pemeriksaan serelogik untuk
menyingkirkan sifilis juga harus dikerjakan. Sebagai penyokong diagnosis adalah:
1. Pemeriksaan sediaan hapus
Diambil bahan pemeriksaan (spesimen) dari tepi ulkus yang tergaung dengan
menggunakan apusan kapas, di buat hapusan pada gelas alas, Pemeriksaan langsung
ini
dapat
dilakukan
dengan
pewarnaan
gram,
giemsa
atau
mikroskop
tidak
dipakai
lagi
karena
tidak
spesifik.
Vaksin
yang
dipakai
(Dmelcos)terdiri atas 225 juta kuman mati/ml. Disuntikkan intradermal 0,1 ml pada
lengan bawah bagian fleksor, sebagai control disuntikkan cairan pelarut intradermal
pada sisi lain. Tes dinilai positif kalau timbul infiltrate berdiameter minimal 0,5 cm
setelah 48 jam, sedangkan kontrol negatif. Tes ini menjadi positif 6-11 setelah hari
timbul ulkus mole, dan tetap positif sampai beberapa tahun bahkan seumur hidup.
6. Autoinokulasi
44
Bahan diambil dari lesi yang tersangka, diinokulasi pada kulit sehat daerah lengan
bawah atau paha penderita yang digores lebih dahulu. Pada tempat tersebut akan timbul
ulkus mole. Sekarang cara ini tidak dipakai lagi.
Diagnosis Banding
1. Herpes Genitalis
Pada herpes genitalis kelainan kulitnya ialah vesikel yang berkelompok dan jika
memecah menjadi erosi, jadi bukan ulkus seperti pada ulkus mole.Tanda-tanda radang
akut lebih mencolok pada ulkus mole. Kecuali itu pada ulkus mole, pada sediaan
hapus berupa bahan yang diambil dari dasar ulkus tidak ditemukan sel raksasa berinti
banyak.
2. Sifilis stadium I
Pada sifilis stadium I (ulkus durum), ulkus bersih, indolen, terdapat indurasi, dan
tanda-tanda radang akut tidak terdapat. Jika terjadi pembesaran kelenjar getah bening
regional juga tidak disertai tanda-tanda radang akut kecuali tumor, tanpa disertai
periadenitis dan perlunakan.
Pada ulkus mole, hasil pemeriksaan sediaan hapus dengan mikroskop lapangan gelap
sebanyak tiga kali berturut-turut negatif. T.S.S. yang diperiksa tiap minggu sampai satu
bulan, kemudian tiap bulan sampai tiga bulan , tetap negatif.
3. Limfogranuloma venerium (L.G.V)
Pada L.G.V. afek primer tidak spesifik dan cepat hilang.Terjadi pembesaran kelenjar
getah bening ingunal, perlunakannya tidak serentak. Titer tes ikatan komplemen untuk
L.G.V. kurang dari 1/16 dan tes ulangan untuk meninggi.
4. Granuloma inguinale
Yang khas pada penyakit ini ialah ulkus dengan granuloma. Pada sediaan jaringan
tidak tampak badan Donovan.1
Pengobatan
45
1. Sistemik
a. Sulfonamida
Misalnya sulfatiazol, sulfadiazine, atau sulfadimidin, diberikan dengan
dosis pertama 2-4 gram dilanjutkan dengan 1 gram tiap 4 jam sampai sembuh
sempurna (kurang lebih 10-14 hari). Tablet kotrimoksazol, ialah kombinasi
sulfametoksazol 400 mg dengan trimetroprim 80 mg, diberikan dengan dosis 2 x
2 tablet selama 10 hari.Bila pengobatan berhasil, perlu dilakukan drainase,
dorsmsisi pada preputium.Pada bubo yang mengalami supurasi dilakukan aspirasi
melalui kulit yang sehat. MEHEUS dkk.(1981) menyatakan bahwa pemberian
kontrikmosazol 2 x 4 tablet selama 2 hari, sangat efektif untuk ulkus mole.
b. Penisilin
Sedikit efektif, terutama diberikan kalau terdapat organisme Vincent.
c. Kanamisin
Disuntikkan 1.m. 2 x 500 mg selama 6-14 hari. Obat ini tidak mempunyai
efek terhadap T.pallidum.
d. Tetrasiklin dan oksitetrasiklin
Efektif kalau diberikan dengan dosis 4 x 500 mg/ hari selama 10-20 hari,
antibiotik golongan ini menutupi gejala-gejala sifilis stadium I. Di beberapa
negara
H.
ducreyi
sudah
resisten
terhadap
antibiotika
golongan
ini.
47
G. Herpes Simpleks
Definisi
Herpes Genitalis merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus Herpes
Simplex (virus herpes hominis) terutama tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok atau erosi atau ulkus diatas kulit yang eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.
48
disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut
dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3
minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese dan
anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakkan kelenjar getah bening
regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di
atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian
menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang sembuh tanpa
psikatriks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi
VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.
2. Fase laten
Fase laten ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis,
tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma
fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya),
trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat
jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat disekitarnya (non loco).
Pemeriksaan pembantu diagnosis
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan
tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi VHS. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan
Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.
Diagnosis Banding
50
Herpes simpleks disekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo
vesiko bulosa. Pada daerah genitalia dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan
ulkus mukstum, maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal, artinya
tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas. Pada lesi
yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung preparat
idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan
interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topikal
tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara kerjanya
mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif.
Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil yang lebih baik,
penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih panjang. Dosisnya 5x200
mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditunjukkan
kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu
pula dengan preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat
glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara
parenteral.
Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan tujuan
meningkatkan imunitas selular, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe
I) dan lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol
dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala menurut beberapa penyelidik memberikan
hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian
vaksinasi cacar sekarang tidak dianut lagi.
Herpes Genitalis pada Kehamilan
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian serius,
karena plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan
atau kematian pada janin. Risiko untuk tranmisi ke neonatus dari ibu yang terinfeksi
adalah tinggi (30% hingga 50%) sedang pada perempuan yang mendapatkan herpes
genital saat mendekati kelahiran lebih rendah transmisi infeksi (<1%). Infeksi nanonatal
mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita cacat neurologis
51
atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis,
mikrosefali, hidrosefali,koroidoretinitis, keratokonjungtivis atau hepatitis. Disamping itu
dapat juga timbul lesi pada kulit. Di Amerika Serikat, frekuensi herpes nenonatal adalah 1
per 7500 kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi trimester i cenderung terjadi abortus,
sedangkan bila pada trimester II terjadi prematuritas. Selain itu, dapat terjadi tranmisi
pada intrapartum atau pasca partum.
Prognosis
Selama pencegahan rekurens msih merupakan problem, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens
lebih jarang.
52
H. Kondiloma Akuminatum
Definisi
Kondiloma akuminata merupakan salah satu penyakit menular seksual selain Gonore
(GO), Sifilis, Chlamydia, Herpes Genitalis, kutu kemaluan (pubic lice), Vaginitis. Penularan
penyakit menular seksual umumnya adalah melalui hubungan seksual, sedangkan cara lainnya
yaitu melalui transfusi darah, jarum suntik, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan lainlain. Di Amerika Serikat cenderung meningkat 4-5 kali lipat dalam dua dekade terakhir, insidensi
tertinggi pada wanita usia 20-30 tahun. Setiap tahun ada 500.000-1.000.000 kasus baru yang
ditemukan di Amerika Serikat. Laporan dari klinik penyakit menular seksual (PMS) di Inggris,
bahwa jumlah kasus baru meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir ini. Di negara
Hongkong penyakit ini menduduki peringkat kedua PMS, dan akhir-akhir ini insidensi penyakit
ini meningkat terus. Data rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki
peringkat ketiga diantara penyakit penular seksual, sesudah uretritis gonore dan non gonore.
Kondiloma akuminata juga dikenal sebagai kutil kelamin, kutil kemaluan, kutil genital
(kutil genitalia), genital warts, veruka akuminata, venereal wart dan jengger ayam.
Kondiloma akuminatum (KA) adalah penyakit vegetasi akibat hubungan seksual, yang
disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu, dengan lesi bertangkai dan
permukaannya berjonjot.
Epidemiologi
Penyakit ini termasuk penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Tersebar secara
kosmopolit dan akibat adanya transmisi melalui kontak langsung. Frekuensinya pada pria dan
wanita adalah sama.
Etiologi
Penyebab kondiloma akuminata adalah Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini adalah
virus DNA yang tergolong dalam keluarga virus Papova. Terdapat sekitar 70 tipe HPV, namun
tidak seluruhnya dapat menyebabkan kondiloma akuminata. Tipe yag pernah ditemukan pada
kondiloma akuminata adalah tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 41, 42, 44, 51, 52 dan 56.
53
Beberapa tipe HPV tertentu memiliki sifat onkologik yg tinggi, yaitu tipe 16 dan 18. Tipe
ini sering dijumpai pada kanker serviks. Sedangkan tipe 6 dan 11 lebih sering dijumpai pada
kondiloma akuminata & neoplasia intraepitelial serviks derajat ringan.
Patogenesis
HPV merupakan kelompok virus DNA double-strand. Infeksi HPV terjadi melalui
kontak langsung yaitu hubungan seksual. Faktor pencetus terjadinya kondiloma akuminata
adalah higiene buruk, fluor albus, kelembaban, banyak keringat dan pria yang tidak sirkumsisi.
Sel dari lapisan basal epidermis diinvasi oleh HPV. Hal ini berpenetrasi melalui kulit dan
menyebabkan mikro abrasi mukosa. Fase virus laten dimulai dengan tidak ada tanda atau gejala
dan dapat berakhir hingga bulan dan tahun. Mengikut fase laten, produksi DNA virus, kapsid dan
partikel dimulai. Sel host menjadi terinfeksi dan timbul atipikal morfologis koilocytosis dari
kondiloma akuminata. Area yang paling sering terkena adalah penis, vulva, vagina, serviks,
perineum dan perineal. Lesi mukosa yang tidak biasa adalah di oropharynx, larynx, dan trachea
telah dilaporkan. HPV-6 bahkan telah dilaporkan di area lain yang tidak biasa (ekstremitas). Lesi
simultan multiple juga sering dan melibatkan keadaan subklinis sebagaimana anatomi yang
berdifferensiasi dengan baik. Infeksi subklinis telah ditegakkan dalam membawa keadaan infeksi
dan potensi akan onkogenik.
Kondiloma akuminata dibagi dalam 3 bentuk:
1. Bentuk akuminata
Terutama dijumpai pada daerah lipatan dan lembab. Terlihat vegetasi bertangkai dengan
permukaan berjonjot seperti jari. Beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi yang lebih
besar sehingga tampak seperti kembang kol. Lesi yang besar ini sering dijumpai pada
wanita yang mengalami fluor albus dan pada wanita hamil, atau pada keadaan imunitas
terganggu.
2. Bentuk papul
Lesi bentuk papul biasanya didapati di daerah dengan keratinisasi sempurna, seperti
batang penis, vulva bagian lateral, daerah perianal dan perineum. Kelainan berupa papul
dengan permukaan yang halus dan licin, multipel dan tersebar secara diskret.
3. Bentuk datar
54
Secara klinis, lesi bentuk ini terlihat sebagai makula atau bahkan sama sekali tidak
tampak dengan mata telanjang, dan baru terlihat setelah dilakukan tes asam asetat. Dalam
hal ini penggunaan kolposkopi sangat menolong.
Gejala Klinis
a. Terdapat papul atau tumor (benjolan), dapat soliter (tunggal) atau multipel (banyak)
dengan permukaan yang verukous atau mirip jengger ayam.
b. Terkadang penderita mengeluh nyeri. Jika timbul infeksi sekunder berwarna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak sedap.
c. Umumnya di daerah lipatan yang lembab pada genitalia eksterna. Pada pria, misalnya
di: perineum dan sekitar anus, sulkus koronarius, gland penis, muara uretra eksterna,
prepusium, korpus dan pangkal penis. Pada wanita, misalnya di vulva dan sekitarnya,
introitus vagina, labia mayor, labia minor, terkadang pada porsio uteri.
Gambar 1: Pada wanita misalnya di vulva dan sekitarnya, introitus vagina, labia
mayor, labia minor, terkadang pada porsio uteri.
Gambar 2: Pada pria, misalnya di perineum dan sekitar anus, sulcus coronaries, gland
penis, muara uretra eksterna, preputium, corpus dan pangkal penis.
55
Gambaran Hisopatologi
Histopatologi lesi kondiloma akuminata:
Stratum korneum
Gambaran paling khas untuk penegakan diagnosis adalah adanya daerah-daerah sel
epitelnya mengalami vakuolisasi jelas
Dermis : edematus dengan kapiler-kapiler melebar dan adanya infiltrat peradangan padat
Diagnosis
Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan:
1. Tes asam asetat
Bubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas pada lesi yang dicurigai. Dalam beberapa
menit lesi akan berubah warna menjadi putih (acetowhite). Perubahan warna pada lesi di
daerah perianal perlu waktu lebih lama (sekitar 15 menit).
2. Kolposkopi
Merupakan tindakan yang rutin dilakukan di bagian kebidanan. Pemeriksaan ini terutama
berguna untuk melihat lesi kondiloma akuminata subklinis, dan kadang-kadang dilakukan
bersama dengan tes asam asetat.
3. Histopatologi
56
Pada kondiloma akuminata yang eksofitik, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya akan
memperlihatkan gambaran papilomatosis, akantosis, rete ridges yang memanjang dan
menebal, parakeratosis dan vakuolisasi pada sitoplasma.
Diagnosis Banding
Veruka vulgaris : vegetasinya tidak bertangkai, kering dan berwarna keabu-abuan atau
berwarna kulit
Kondiloma latum : Lesi sifilis stadium II. Lesi berupa plakat erosif dan banyak kuman
Treponema pallidum
Karsinoma sel skuamosa : Lesi vegetasi menyerupai kembang kol, mudah berdarah dan
berbau.
Komplikasi
Infeksi sekunder
Degenerasi maligna
Pengobatan
1. Kemoterapi - sitostatika topikal
a. Tingtura podofilin 25 %.
Sebelum pengolesan dilakukan, oleskan salep vaselin atau pasta untuk melindungi kulit
daerah sekitar lesi agar tidak terjadi reaksi iritasi. Pengolesan tingtura podofilin 25 % pada
lesi vegetatif, biarkan 4 - 6 jam setelah itu dicuci bersih. Bila belum sembuh, pengolesan
diulang 3 hari kemudian. Setiap kali pengolesan tingtura podofilin 25 % jangan melebihi
0,3ml karena obat ini akan diserap dan bersifat toksik.
Gejala toksik akibat tingtura podofilin adalah mual, muntah, nyeri abdomen, gangguan
saluran pernafasan, berkeringat banyak disertai dengan kulit dingin, supresi sumsum tulang
disertai dengan trombositopenia dan leukopenia.
57
Pengobatan podofilin sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil karena dapat
menyebabkan kematian fetus atau anak lahir mati akibat adanya severe neuropathy
b. 5 fluorourasil (5 FU)
Konsentrasi 5 FU antara 1 5 % dalam bentuk krim. Obat ini teruatama untuk lesi di meatus
uretra. Terapi 1 kali sehari, setiap hari sampai lesi hilang. Setelah pengolesan 5 FU, pasien
dianjurkan tidak miksi selama 2 jam. Terapi ini tidak dianjurkan diberikan kepada wanita
hamil.
c.Asam triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50 %, dioleskan 1 kali seminggu. Terapi ini harus hatihati, karena dapat menimbulkan ulkus dalam. Dapat diberikan kepada wanita hamil.
2. Bedah listrik (elektrokauterisasi)
3. Bedah beku (Cryosurgery) dengan N2 dan N2O cair.
Terapi ini dapat diberikan pada lesi besar dan wanita hamil.
4. Bedah skalpel untuk mengeksisi lesi
5. Bedah laser
Laser karbondioksida
Kelebihan terapi laser adalah kesembuhan luka lebih cepat dan lebih sedikit jaringan
parut bila dibandingkan dengan elektrokauterisasi.
6. Interferon
Terapi interferon dilakukan suntikan yaitu i.m atau intralesi dan topikal yaitu dalam
bentuk krim
Dosis interferon beta adalah 2 x 106 unit i.m. selama 10 hari berturut-turut.
58
7. Imunoterapi
Untuk lesi luas dan resisten terhadap pengobatan, dapat diberikan terapi bersama dengan
imunostimulator.
Prognosis
Lesi ini sering mengalami residif, namun pada umumnya prognosisnya baik. Penyakit ini
dapat disembuhkan total, namun kadang kadang dapat kambuh setelah pengobatan karena
adanya infeksi ulang atau timbulnya penyakit yang masih laten. Mengingat virus ini juga
meningkatkan resiko terjadinya penyakit kanker serviks [kanker mulut rahim], maka jika
memang seseorang sudah positif terkena kondiloma akuminata sebaiknya dilakukan test pap
smear juga. Test ini juga dianjurkan bagi wanita paling tidak setiap 1 tahun setelah aktif secara
seksual.
59
I. Limfogranuloma Venerium
Definisi Limfogranuloma Venereum
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang mengenai system
saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan
rektum. LGV termasuk dalam subtipe penyakit ulkus pada genital dengan karakteristik dari
penyakit ini berupa papul atau ulkus self-limited diikuti nyeri limfadenopati inguinal dan/atau
femoral.
Limfogranuloma venereum (LGV) penyakit venerik yang disebabkan oleh Clamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal.
Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan peridenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal
medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, dan kemudian mengalami
perluinakan yang tak serentak
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3.
Bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal, sindrom tersebut berupa limfadenitis dan
periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut
dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang serentak.
Limfogranuloma venereum disebut juga limfopatia venereum atau limfogranuloma
inguinale yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan Favre pada tahun 1913, karena
itu juga disebut penyakit Durand-Nicholas-Favre.
kaum laki-laki dengan HIV positif yang berhubungan seksual dengan sesama jenis (kaum
homoseksual). Sejak tahun 2003 hingga 2008, total sebanyak 849 kasus LGV terjadi di Negara
Inggris, mayoritas terjadi pada kaum homoseksual, dan hanya lima kasus yang terjadi pada kaum
heteroseksual. Rata-rata usia pasien yang terdiagnosis LGV adalah 37 tahun, berkisar antara 19
sampai 67 tahun dan sebagian besar dari mereka adalah etnis kulit putih (89%). Mayoritas pasien
memiliki coinfeksi HIV (75%) dan sebanyak 45% terdiagnosis dengan penyakit menular seksual
yang lain. Hampir seluruh kasus menunjukkan gejala proktitis sebanyak 90%.
Penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh
perbedaan patogenesis yang akan disebutkan kemudian.
Etiopatogenesis Limfogranuloma Venereum
Etiologi LGV adalah C.trachomatis sub tipe L1, L2 (L2a/L2b), dan L3. C.trachomatis
merupakan famili dari Chlamydiaceae, yang diklasifikasikan menjadi tiga, yakni C.trachomatis,
C.pneumoniae, dan C.psittaci. C.trachomatis dibagi menjadi 15 sub tipe berdasarkan gen Omp 1
yang mengkode MOMP (major outer membrane protein). Setiap sub tipe menyababkan penyakit
yang berbeda satu sama lain, sub tipe A-C menyebabkan penyakit trachoma atau kebutaan, sub
tipe D-K menyebabkan infeksi pada mukosa saluran genitalia dan mata, sedangkan sub tipe L
(L1, L2, dan L3) berproliferasi di jaringan limfoid yang menyebabkan penyakit LGV, sub tipe ini
lebih invasif dibanding sub tipe yang lain.
Chlamydia tidak dapat menembus kulit, tapi dapat masuk melalui laserasi atau abrasi pada kulit.
Proses patofisiologis melalui trombolimfangitis dan perilimfangitis dengan penyebaran proses
inflamasi dari limfe nodus yang terinfeksi ke jaringan sekitar. Limfangitis ditandai dengan
adanya proliferasi sel endotel pada pembuluh limfe dan saluran limfe di dalam limfe nodus.
Proses inflamasi berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Proses penyembuhan
melalui fibrosis, dimana struktur normal dari nodus limfe akan dirusak terjadi obstruksi
pembuluh limfe. Edema kronik dan fibrosis menyebabkan indurasi dan pembesaran daerah yang
terkena.Fibrosis juga mengganggu suplai darah ke kulit dan mukosa didaerah tersebut sehingga
terjadi ulkus.
LGV dapat mengenai satu atau dua limfe nodes, organisme menyebar secara hematogen.
Tapi penyebaran bergantung dari imunitas hospes.
61
Stadium primer
Setelah masa inkubasi selama 3-30 hari, infeksi primer LGV memberikan gejala klinis berupa
erosi yang dangkal, vesikel, pustul, papul yang kecil atau ulkus yang tidak nyeri, muncul pada
tempat inokulasi bakteri (biasanya pada prepusium atau glans penis, uretra, vulva, vagina,
rektum, perineum, dan pada serviks). Lesi ekstra genital bisa terjadi pada kavum oris (tonsil) dan
ekstra genital limfo nodi. Lesi biasanya soliter dan cepat hilang tanpa meninggalkan jaringan
parut. Karena itu penderita biasanya tidak datang pada waktu timbul stadium primer.
LGV: Lymfogranuloma venereum (klik op foto voor vergroting)
Stadium sekunder
Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer. Stadium ini berlangsung sistemik
dan menyerang limfo nodi inguinal, anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis, vulva,
atau perianal, maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral. Limfadenopati ingunal
lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna. Sedangkan pada
wanita terjadi, jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah
sebabnya limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada umumnya
lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks.
62
Jika lesi primernya pada tempat tersebut, maka yang mengalami peradangan adalah kelenjar
Gerota.
Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar
tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal adalah
beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan tampak kelima tanda
radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula
periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi
perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam,
yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dan dapat terjadi abses
dan fistel yang multipel. Terbentuknya abses di dalam limfo nodi yang meradang, disebut
Bubo, yang dapat ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo yang ruptur akan
mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo nodi yang tidak ruptur
akan membentuk massa yang mengalami indurasi dan akan menyembuh dalam satu bulan. Pada
stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa iliaka yang disebut Bubo
bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke kelenjar femoralis.
Pada 2/3 kasus kelenjar yang diserang umumnya unilateral dan sangat nyeri. Jika tejadi
pembesaran kelenjar limfo nodi inguinal dan femoral secara bersamaan, keduanya akan
dipisahkan oleh ligamentum inguinale, sehingga tampak adenopati di atas dan di bawah
ligamentum inguinale. Keadaan ini disebut Groove Sign yang merupakan gambaran
patognomonik pada LGV (tampak pada 10-20% kasus).
Inokulasi ekstragenital menyebabkan limfadenopati di luar regio inguinal. Sebagai contoh,
adenopati servikal akibat LGV terjadi akibat inokulasi pada hubungan seksual secara oral.
Proktitis akibat LGV yang terjadi pada pria ataupun wanita yang melakukan hubungan
seksual secara anal, dan mungkin disebabkan oleh inokulasi secara langsung. Keterlibatan
anorektal lebih sering terjadi pada kaum homoseksual, yang memberikan gejala klinis berupa
proktitis hemoragik akut. Pada wanita dapat terjadi secara dua cara, pertama jika hubungan
seksual dilakukan secara genito-anal dan kedua jika lesi primer terjadi pada vagina 2/3 atas atau
serviks, sehingga terjadi penjalaran ke ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak
antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan palpasi
63
secara bimanual. Proses selanjutnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni limfadenitis
dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses akan pecah
sehingga menyebabkan gejala keluarnya pus pada waktu defekasi, kemudian terbentuk fistel.
Abses dan fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal. Kelainan tersebut umumnya mengenai
seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10 cm dan berlokasi 3-8 cm atau lebih di atas anus.
Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan saat defekasi. Akibat lain adalah
tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari rektum. Pasien juga sering disertai gejala sistemik
berupa demam, menggigil, dan penurunan berat badan. Pada proktoskopi tampak proktitis
granular atau ulseratif, menyerupai kolitis ulseratif, yang terbatas pada 10 cm di bagian distal
kanal anorektal.(1) Gejala yang terjadi hampir sama dengan Inflammatory Bowel Disease dan
sering salah diagnosis dengan Crohn disease.
Pada stadium sekunder ini, gejala sistemik biasanya terjadi, seperti demam, menggigil,
berkeringat di malam hari, sakit kepala, malaise, dan mialgia. Leukositosis sedang biasanya
terjadi.
3.
Stadium tersier
Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan mengalami fibrosis sehingga
aliran limfe terbendung yang menyebabkan terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia.
Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada
pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan klitoris,
yang disebut Sindrom Esthiomen dengan genitalia eksterna yang mengalami destruksi luas.
Jika meluas akan terbentuk elefantiasis genito-anorektalis yang disebut Sindrom Jersild.
Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel selanjutnya akan meluas
menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi yang
menyebabkan striktura rekti.
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan
menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah
bentuk seperti mulut ikan yang disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti
pedang turki.
64
Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meningkat. Peningkatan
ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tidak khas untuk LGV, namun lebih berati untuk
menilai proses penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin, sedangkan albumin normal atau
menurun, sehingga perbandingan albimin-globulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang
meningkat adalah IgA dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama
dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.
65
2.
Tes Frei
Pada tahun 1930-1970, LGV didiagnosis melalui tes kulit dengan tes Frei, sebuah tes yang
menunjukkan hipersensitifitas tipe lambat untuk antigen Chlamydia, mirip dengan tes tuberkulin.
Tes ini tidak sesensitif seperti tes serologi, dan kadang menunjukkan hasil false positive karena
infeksi bakteri Chlamydia sub tipe D-K. Saat ini antigen untuk tes Frei sudah tidak tersedia lagi.
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari pus penderita LGV yang
mengalami abses yang belum pecah, kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan
pasteurisasi. Untuk mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat diperoleh
dari otak tikus yang telah ditulari.
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada bagian
anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau
lebih berati positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga memberikan
hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru memberi hasil positif setelah 5-8
minggu dan jika positif hanya berati sedang atau pernah menderita LGV.
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga menderita LGV, kemudian
disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif berati penderita yang diduga menderita LGV.
3.
Swab Speciment
Pada pasien yang diduga menderita LGV, spesimen yang diambil dapat berasal dari swab rektum
(pada proktitis) atau ulkus kemudian dilakukan tes laboratorium. Spesimen swab dari lesi rektum
yang divisualisasikan dengan anoskopi memberikan hasil mikorobiologi yang lebih baik
dibanding swab rektum saja (blind). Pada pasien yang menderita proktitis berat, harus
dipertimbangkan adanya HSV, terutama pada pasien dengan HIV positif, swab rektum untul
kultur HSV atau tes PCR harus dilakukan.
4.
Tes serologis
Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu tes ikatan komplemen
(Complement Fixation (CF)) dan tes microimmunofluorescence (micro-IF). Tes CF mengukur
adanya antibodi yang melawan antigen LPS spesifik dari bakteri. Tes ini spesifik untuk genus
Chlamydia, oleh karena itu tidak mampu membedakan antara infeksi C.trachomatis, C.psittaci,
66
dan C.pnuemoniae. Karena C.trachomatis lebih invasif, maka pada LGV titer antibodi dalam
serum lebih tinggi dibanding C.trachomatis sub tipe D-K. Berdasarkan CDC, kriteria diagnosis
tes serologis untuk pasien LGV dengan gejala klinis yang konsisten meliputi hasil positif tes
serologis untuk C.trachomatis dengan titer antibodi yang tinggi, yakni pada tes CF titer antibodi
1:64 dan pada tes micro-IF titer antibodi 1:256.
Tes micro-IF awalnya adalah tes untuk menentukan sub tipe dari spesies C.trachomatis,
kemudian berkembang untuk mengukur respon antibodi pada pasien yang terinfeksi
C.trachomatis. Tes micro-IF lebih bermanfaat dibandingkan tes CF, karena mampu mendeteksi
antibodi yang spesifik terhadap sub tipe C.trachomatis dan mampu mendeteksi kelas
imunoglobulin yang berbeda, serta lebih sensitif dibanding tes CF pada mayoritas pasien.
5.
secara langsung
menggunakan antibodi monoklonal konjugasi yang tersedia pada material bubo atau ulkus.
Secara komersial tersedia EIA (Enzyme Immunoassay), yang mampu mendeteksi antigen
Chlamydia (LPS), biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi uretra dan serviks akibat
C.trachomatis sub tipe D-K, namun tidak digunakan pada LGV.
DNA amplification assay (NAAT), seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Ligase Chain
Reaction (LCR), mampu mendeteksi genom yang spesifik Chlamydia dan plasmid DNA,
sehingga merupakan tes yang paling sensitif untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia, namun
belum digunakan untuk mendiagnosis LGV.
6.
Pemeriksaan Khusus
Pasien dengan proktitis yang berat perlu dirujuk untuk mengevaluasi gastroenterologi, yakni
endoskopi bagian bawah. Temuan klinis LGV pada sigmoideskopi dan kolonoskopi diantaranya
67
adalah eksudat mukopurulen, eritema difus, mukosa rektal yang rapuh, ulkus yang khas, dan
massa yang mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan merupakan temuan spesifik pada LGV.
Stadium Primer
1.
Ulkus durum
Lesi primer yang khas pada LGV berbeda dengan ulkus pada sifilis primer (ulkus durum). Pada
ulkus durum, ulkus bersih, indolen, tidak terdapat tanda radang akut, lesi lebih besar, dengan
tepinya yang mengalami indurasi, dan biasanya muncul dengan ulkus yang multiple. Lesi pada
LGV dan ulkus sifilis primer biasanya tidak nyeri, dan dapat diikuti oleh adenopati unilateral
atau bilateral.
2.
Ulkus Mole
Ulkus pada ulkus mole sangat khas, yakni ulkus kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat
indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung, dan dikelilingi haloyang
eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi yang
mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.
Pada LGV lesi primer tidak spesifik dan cepat hilang. Terjadi pembesaran kelejar getah bening
inguinal, yang perlunakannya tidak serentak.
b)
Stadium Sekunder
1.
Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni
keduanya terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak
akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang
multipel. Kecuali itu, LED meningkat pada keduanya, sedangkan leukosit biasanya normal.
68
Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada
skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal
medial, sedangkan pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.
2.
Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia
eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi
perlunakannya serentak, sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada
LGV. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit.
3.
Ulkus mole kini jarang terdapat, jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih tampak.
Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak.
4.
Limfoma maligna
Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, biasanya tidak
melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dan gambaran histopatologisnya meberi
kelainan yang khas.
5.
Hernia inguinalis
Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada hernia tandatanda radang tidak ada kecuali tumor, dan saat pasien mengejan tumor akan membesar.
dan menyusui, karena doksisiklin dikontraindikasikan untuk wanita hamil. Eritromisin efektif
untuk mengobati baik LGV maupun ulkus mole, namun penggunaan eritromisin yang lama tidak
direkomendasika untuk LGV. Pasien LGV yang juga menderita HIV positif mendapat
pengobatan dengan regimen yang sama dengan pasien LGV yang lain yang tidak terinfeksi HIV.
Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV menyembuh. Hal ini
mungkin berlangsung selama 3-6 minggu. Bubo yang fluktuatif harus diaspirasi karena tidak
akan pulih hanya dengan pengobatan antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau eksisi
pada bubo tidak akan membantu dan akan meperlambat proses penyembuhan. Komplikasi lanjut
LGV, seperti striktur pada rektum akan membaik dengan terapi antibiotik, namun tidak dapat
mengoreksi kerusakan akibat fibrosis. Fistula rekto-vagina, obstruksi usus, dan esthiomene
membutuhkan tindakan bedah dan pengobatan antibiotik.
Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, tetapi juga pada partner
hubungan seksual. Jika pasien telah didiagnosis LGV, maka partner hubungan seksual selama 30
hari terakhir juga harus dievaluasi, jika menunjukkan gejala klinis, maka harus diobati seperti
pasien yang telah didiagnosis LGV. Namun, jika partner hubungan seksual tidak menunjukkan
gejala atau asimtomatik, maka harus diobati dengan doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari selama
7 hari, atau dosis tunggal 1 gr azitromisin.
Komplikasi
Komplikasi dari LGV berupa stadium lanjut yang terdiri atas:
Sindrom anorektal
Sindrom anorektal merupakan manifestasi lanjut GV terutama pada wanita, karena penyebaran
langsung dari lesi primer di vagina ke kelenjar limfe perirectal.Gejala awal berupa perdarahan
anus yang diikuti duh anal yang purulent disertai febris, nyeri saat defekasi, sakit perut bawah,
konstipasi dan diare. Bila tidak diobati akan terjadi proktokolitis berat yang gejalanya
menyerupai colitis ulserosa, dengan tanda tanda fistel anal, abses perirectal dan fistel
rektovaginal atau rektovesikal. Gejala striktura rekti yang progresif sering ditandai dengan secret
70
dan perdarahan rectum, kolik dan obstipasi oleh karena obstruksi total (pada pria gejala proktitis
menunjukan kebiasaan melakukan hubungan seksual anogenital).
Sindrom genital berupa edem vulva yang terjadi sepanjang klitoris sampai anus (elephantiasis
labia) akibat peradangan kronis sehingga terjadi kerusakan kelenjar dan saluran limfe sehingga
timbul edem di daerah vulva.
Pada permukaan elephantiasis dapat terjadi tumor polipoid dan verukosa, dan karena tekanan
dari paha dapat menjadi pipih, disebut buchblatt condyloma.Dapat pula terjadi fistel kibat
ulserasi yang destruktif dan pecah ke vagina dan vesika urinaria.
Pada pria dapat terjadi proses yang sama tetapi jarang ditemukan. Klinisnya berupa elephantiasis
skrotum.Bila derajat kerusakan kelenjar dan pembuluh limfe berat atau luas, dapat terjadi
elephantiasis sati atau kedua tungkai.
Prognosis Limfogranuloma Venereum
Prognosis pasien dengan LGV adalah baik, jika infeksi dikenali secara tepat dan diterapi
secara cepat sebelum terbentuk inflamasi yang berat, seperti bubo dan pembentukan fistula.
Disamping terapi yang tepat, pasien dengan bubo juga harus di-follow up untuk melakukan
tindakan aspirasi. Secara umum, adanya jaringan parut yang terjadi akibat gejala klinis yang
lanjut, membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.
71
J. Granuloma Inguinale
Definisi
Granuloma inguinale merupakan penyakit yang mengenai daerah genitalia, perianal, dan
inguinal dengan gambaran klinis berupa ulkus yang granulomatosa, progresif, tidak nyeri,
disebabkan oleh Calymmatobacterium granulomatis.
Epidemiologi
Granuloma inguinale termasuk salah satu ari lima penyakit kelamin klasik (bersama
dengan sifilis, gonorea, limfagranuloma venereum, dan ulkus mole). Saat ini granuloma
inguinale sudah sangat jarang ditemukan, termasuk daerah yang sebelumnya endemis, yaitu di
Papua New Guinea, Australia tengah, Brazilia, Karibia, dan beberapa bagian india.
Etiopatogenesis
Organisme penyebab granuloma inguinale, yaitu Calymmatobacterium granulomatis atau
disebut juga Klebsiella granulomatis, merupakan batang, tekadang kokobasil, Gram negatif.
Penularan melalui kontak seksual, namun sebagian pasangan seksual tidak terinfeksi.
Kemungkinan penularan terjadi melalui jalur non-seksual dikemukakan karena ditemukan
penyakit pada anak yang tidak aktif seksual, sera jarang timbul infeksi pada kelompok penjaja
seks di daerah endemis. Beberapa kasus dapat tertular melalui kontak antara fese dengan kulit
yang tidak utuh.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi sulit ditentukan, berkisar antara 2 minggu sampai 3 bilan, dapat pula
sampai 1 tahun. Umumnya tidak dijumpai demam atau gejala sistemik lain. Penyakit diawali
dengan nodus subkutan tunggal atau multipel, kemudian mengalami erosi, menimbulkan ulkus
berbatas tegas, berkembang lambat dan mudah berdarah.ulkus dapat dijumpai di daerah penis
(glans, preputium, batang penis, pertemuan penis-skrotum), vulva, labia mayora, serviks, mons
pubis, kadang-kadang perianal, jarang dapat dijumpai diluar genitalia.
Ulkus di daerah mukokutan yang progresif lambat dan dapat meluas. Ulkus tanpa rasa
nyeri, tunggal, kadang-kadang multipel. Tepi ulkus dapat meninggi, tidak teratur, batas tegas dan
72
berindurasi. Dasar ulkus yang masih dipenuhi oleh cairan cairan berwarna darah. Pada ulkus
yang sudah lama, dasar ulkus berupa jaringan granulasi, berwarna merah daging, mudah
berdarah, dengan cairan seropurulen yang berbau busuk, sedikit atau tidak ada eksudat purulen;
pus menandakan terjadi infeksi sekunder. Ulkus yang luas dapat menetap dan bertambah luas
selama beberapa tahun, menyerupai kanker.
Tidak terdapat limfadenopati. Kadang-kadang pembengkakan subkutan terlihat di daerah
inguinal membentuk massa yang disebut pseudobubo, akibat perluasan inflamasi subkutan.
Dapat terjadi penyebaran sistemik walaupun jarang, berupa lesi-lesi di hepar maupun tulang.
Terdapat empat varian klinis :
Ulsero granulomatosa atau nodular : jaringan granulasi merah dan hipertrofik yang
mudah berdarah
Hipertrofik: lesi-lesi eksofitik mempunyai veruka (verruciformis) dalam jumlah banyak
Nekrotik: ulkus dalam dengan destruksi jaringan yang luas
Sklerotik: terutama fibrosis, kadang-kadang disertai dengan striktura uretra
Pemeriksaan Penunjang
Apusan jaringan (tissue smear) yang diperoleh dari kerokan tepi jaringan ulkus dan
diwarnai dengan Giemsa, Wright, atau pewarnaan Leihsman. Identifikasi organisme secara
histologis dalam vakuol di dalam sitoplasma makrofag (badan Donovan). Organisme berbentuk
seperti peniti (safety pin)atau pegangan telpon
73
Kadang kadang diperlukan biopsi (biopsi plong) bila terdapat kasus dengan dugaan kuat
granuloma inguinale secara klinis. Namun sediaan jaringan secara brulang selalu negatif; atau
untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan.
(A)
(B)
Diagnosis
Diagnosis di tegakan berdasarkan gambaran klinis dan menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Pada apusan jaroingan atau biopsi menunjukan gambaran badan donovan yang khas.
Diagnosis Banding
Pada tahap awal granuloma inguinale dapat didiagnosis banding dengan ulkus sifilis
primer, dan ulkus mole. Pada tahap lanjut, dapat didiagnosis banding dengan limfogranuloma
venereum.
Tata Laksana
Prinsi pengobatan:
74
Komplikasi
Prognosis
Pada kasus dini, prognosis baik untuk kesembuhan total. Pada kasus yang sudah lanjut
dapat terjadi destruksi jaringan yang memerlukan pembedahan radikal.
75
DEFINISI
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang system kekebalan
tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akubat infeksi HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang
terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000
pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan
berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun
2005 terdapat 4.186 kasus AIDS. dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini,
dilaporkan adanya pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien
meninggal karena AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di
setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS
Gol. umur
AIDS
<1
185
1-4
824
5-14
362
15-19
1441
20-29
15747
30-39
13116
40-49
4822
50-59
1469
>60
455
Tidak diketahui
7229
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 6 Agutstus 2011
ETIOLOGI
76
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus diketemukan oleh Luc
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (national Institute of Health, USA 1984)
menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS.
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil
pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO member nama resmi
HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS,
disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic. HIV-2 dianggap
kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut
sebagai HIV saja.
PATOGENESIS HIV
Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian
melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse transcription,
yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse
transcriptase. Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang
menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan
DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini
dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi
ke dalam genom sel dinamakan provirus.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi
sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara
otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari
serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup
(a life long infection).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor
untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV
yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi
oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai
78
PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi
HIV sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang juga
bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, di mulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-pogresor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh,
odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur,
herpes, dll.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya
pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut
laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV.
Manifetasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur
folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
80
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bias
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular
dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia
dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntik , makin mudah terkena
pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di
dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan
sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam 6
minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih,
sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan
selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul
gejala.
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah
kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara
cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul
atau terus menerus.
Tanda-tanda seorang tertular HIV Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa
menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri
membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang
disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan
gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk
81
pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes
pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini
disebabkan karena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 6 bulan untuk membentuk antibodi
yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode
jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam
tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV
melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi.
Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada
tahapan AIDS adalah:
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :
Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi secara
sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah
tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa jendela
Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah menunjukkan
adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak
timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak
sehat.
Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS
sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan
kemudian meninggal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes darah
Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes dapat
diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut. Umumnya,
orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara sukarela dan mereka
yang mengusulkan tes wajib. Gagasan wajib melakukan tes ditolak oleh sebagian besar negara
akibat biaya dan masalah logistik yang terkait.3 Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba
(75 persen warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen).
Karena HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang
diangkut udara) tetapi melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat
mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil. Di
negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran, sering kali tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba dalam
tempat pemulihan, dan wanita hamil.
Penolakan terhadap tes HIV berarti program harus mengembangkan strategi untuk
membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan bermanfaat
untuk mereka.
83
Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang
mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsure penting dalam mendorong
terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan narkoba atau
hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang memakai
narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIV-negatif, akan mendorong perubahan perilaku agar
meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang. Sebaliknya, ada yang
menganggap bahwa setiap orang yang menggunakan narkoba dengan jarum suntik dan
melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah mereka HIVpositif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat meningkatkan
perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes secara massal, mereka
mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya. Banyak negara di Asia melakukan
gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans sentinel.
84
oportunistik seperti TB, dan informasi tentang bagaimana mengurangi kemungkinan menularkan
virus pada bayinya yang belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui.
PENCEGAHAN
- PENULARAN LEWAT SUNTIKAN
- Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan
atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka
Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau
pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar
2. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian
dengan orang lain
85
- Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada sendiri dan bayinya, sehingga keputusan
untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.
- PENULARAN DARI IBU KE BAYI
1. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif
3. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya.
4. pemberian dukugan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif berserta bayi dan
keluarganya.
Strategi yang digunakan untuk emncegah penularan disaat kehamilan, persalinan dan penyusuan
adalah.
1. penggunaan terapi ARV pada ibu dan bayi.
2. seksio sesaria sebelum terjadinya pecah selaput ketuban.
3. pemberian susu formula.
Pemberian terapi arv pada bayi yang lahir denga ibu HIV.
AZT 2X/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu dosis 4 mg/kgBB/kali
PEMBERIAN ARV PROFILAKSIS PADA BAYI YANG LAHIR DARI IBU HIV
86
ANTENATAL
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------PERSALINAN
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------POSTPARTUM
Jenis pajanan: Perlukaan kulit, pajanan pada selaput mukosa, pajanan melalui kulit yang
SEGERA
luka tusuk: bilas dengan air mengalir dan sabun atau antiseptik.
pajanan mukosa mulut: ludahkan dan kumur.
pajanan mukosa mata: irigasi dengan air atau garam fisiologis.
pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air.
Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.
desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu: (1) betadine (povidone
iodine 2,5%) selama 5 menit atau (2) alkohol 70% selama 3 menit. chlorhexidine
cetrimide bekerja melawan HIV tetapi tidak HBV
LAPORKAN
catat dan laporkan kepada: (1) panitia PIN, (2) panitia K3, (3) atasan langsung, agar
secepat mungkin diberi PPP (profilaksis pasca pajanan).
87
perlakukan sebagai keadaan darurat, dimana obat PPP harus diberikan sesegera mungkin
setelahnya.
pantau sesuai denga protokol pengobatan ART.
hitung sel darah, LFT, kepatuhan dan beri dukungan.
Pertimbangan profilaksis didasarkan pada derajat pajanan, status infeksi dari sumber
pajanan dan ketersediaan obat PPP.
88
89
risiko transmisi HIV setelah terpajan darah adalah 0,3% jika sumber pasien adalah HIV
positif
risiko transmisi sesuai dengan jenis kecelakaan.
PPP tergantung pada kegawatan pajanan dan status HIV dari sumber pasien.
PPP tidak 100% efektif.
Minum ARV
efek samping ARV
hindari hubungan seks yang tidak terlindungi sampai konfirmasi setelah 3 bulan.
90
Ingat!
HIV dan virus-virus lebih cenderung ditularkan melalui hubungan seksual atau transfusi
Follow up
Amati tanda-tanda yang menunjukkan serokonversi HIV 50-70% dalam kurun waktu 3 sampai 6
minggu:
demam akut
limfadenopati yang tersebar
erupsi kulit
faringitis
gejala flu non spesifik
ulkus mulut atau area genital
PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL
Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan
sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obat-obat ini biasanya
adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse
transcriptase dan protease.
91
Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang
merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu
dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir. Sampai saat ini Food
and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obatobatan.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena
pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten
terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini,
yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga
masih belum efektif.
LINI PERTAMA
No. Nama generic
1.
Zidovudin
(NRTIs)
2.
3.
4.
Lamivudin
Tablet:
Semua umur
(NRTIs)
150 mg
Kombinasi
Tablet:
tetap
300
Zinovudin
(AZT)
plus
plus 150
Lamivudin
Nevirapin
mg (3TC)
Tablet:
Semua umur
(NNRTIs)
200 mg
mg
2x/hari (profilaksis)
minggu 13 tahun: 180
2x/hari (profilaksis)
> 30 hari atau <60kg: 4
mg/kg/dosis. 2x/hari.
Dosis
maksimal:
150
mg/dosis, 2x/hari.
Dosis maksimal: < 13 tahun atau >
60 kg: 1 tablet/dosis, 2x/hari (tidak
untuk berat badan 30 kg)
Efavirenz
600mg
(NNRTIs)
Selanjutnya 2x/hari.
>10 kg
Stavudin, d4T 30 mg
Semua umur
(NRTIs)
7.
Abacavir
300 mg
200
mg
1x/sehari.
15 - <20 kg: 250 mg
1x/sehari.
20 - <25 kg: 300 mg
1x/hari
25 - <33 kg: 350 mg
1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg
1x/hari
Dosis maksimal: > 40 kg:
600 mg 1x/hari
< 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30 kg atau lebih : 30
mg/dosis, 2x/hari
< 16 tahun atau < 37.5 kg:
8 mg/kg.dosis, 2x/hari
Dosis maksimal: >16 tahun
(NRTIs)
Tenofovir
Tablet:
disoproxil
300 mg
obat
fumarat
9.
(NRTIs)
Tenofovir
dengan
ddl,
tidak
lagi
emtricitabin
mg/
300
mg
LINI KEDUA
No. Nama generic
Formulasi
Data
Dosis
93
farmakokin
1.
Lopinavir/
etik
Tablet tahan suhu 6 bulan
ritonavir (PI)
panas, 200 mg
Lopinavir + 50
dengan
mg ritonavir
tanpa
bila
dikombinasi
2.
Tenofovir
mg/lgBB/dosis lopinavir
Diberikan setiap 24 jam interaksi
Tablet: 300 mg
disoproxil
obat
dengan
ddl,
fumarat
tidak
lagi
(NRTIs)
Lamivudine(3TC)
Nevirapine
(NVP)
menurut WHO
Dosis/tablet (mg)
Paediatric FDC 12 12
Dosis/tablet (mg)
60
Dosis/tablet (mg)
-
dual
Paediatric FDC 12 12
60
100
tripel
BB
setelah
minggu
pengobatan inisial
94
Tab
Tab dual Tab tripel Tab tripel Tabl dual Tab dual Kapsul
tripel am
pm
am
pm
am
pm
efavirens
pm
68.9 kg
9-12 kg
12-13.9
0.5
1
1
0.5
0.5
1
0.5
1
1
0.5
0.5
1
1
1
0.5
1
200 mg
200 mg
kg
14-16.9
1.5
1.5
1.5
200
mg
kg
plus
50
17-19,9
mg
200
mg
kg
plu
50
20-24.9
mg
200
mg
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
kg
plus 2x50
25-29.9
mg
200
kg
mg
plus 3x50
mg
Klinis
WHO stadium 1
WHO stadium 2
Rekomendasi
CD4 < 350
CD4 < 350
95
TB dan Hepatitis B
Ibu hamil
bulan
CD4 berapa pun
Pilihan
Dewasa remaja
direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC atau Piliha regimen yang sesuai
Perempuan hamil
yang Catatan
gunakan FDC
Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertaa
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang
pernah
menjalani
regimen
dibagian lain
AZT atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat
FTC + EFV
digunakan.
TDF + 3TC atau FTC + EFV Pertimbangkan
atau NVP
screening
penggunaan
Stadium klinis
Status imunologis
Semua diobati
Stadium 4 (setelah stabilisasi
IO)
Stadium 3 (setelah stabilisai
(OI)
Stadium 2
Stadium 1
Selain itu regimen lini pertama yang digunakan pada bayi dan anak adalah sebagai berilut;
Bayi:
1. pada bayi yang belum terpapar terapi ARV, mulai terapi dengan NVP + 2 NRTI
2. Pada bayi sudah terpapar NVP atau NNTRI lain pada saat dikandungan atau pada saat
bayi untuk pengobatan ibu atau PMTCT, mulai ARV dengan LPV/r + 2NRTI.
3. Untuk bayi yang terpapar terhadap terapi ARV tidak diketahui mulai dengan NVP +
2NRTI.
97
Anak :
1. untuk anak yang berumur antara 12-24 bulan yang susah terpapar NVP atau NNRTI lain
pada saat di kandungan atau pada saat bayi untuk pengobatan ibu atau PMCTC.
2. Untuk anak berumur antara 12-24 bulan yang belu terpapar NNRTI, mulai terapi ARV
dengan NVP + 2 NRTI.
3. Untuk anak yang berumur lebih 24 bulan dan kurang 3 tahun mulai terapi ARV dengan
NVP + 2 NRTI.
4. Untuk anak yang berusia 3 tahun atau lebih, mulai terapi ARV dengan regimen NVP atau
EFV + 2 NRTI.
5. Untuk bayi dan anak dasar nukleosida untuk regimen art harus satu diantara berikut ini
(tersusun menurut pilihan yang disarankan) 3TC + AZT atau 3TC + ABC atau 3TC +
d4T.
Terapi arv dimulai pada semua perempuan hamil dengan hiv. Regimen yang digunakan adalah
sama dengan regimen terapi antiretroviral dewasa lainnya, yaitu:
AZT + 3TC + EFV
AZT _ 3TC _ NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Efavirenz sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama
Semua individu dengan koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBVnya
(kepatitis kronik aktif0 terlepas dari jumlah CD4 atau stadium klinis WHO harus memulai terapi
ARV. Regimen terapi yang mengandungi aktivitas terhadap HBV, yaitu TDF + 3TC atau FTC
98
digunakan untuk peningkatan respoon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang
resistensi obat.
Terapi infeksi hep C pada koinfeksi dengan HIV tidak berbeda dengan monoinfeksi hep C, yaitu
menggunakan kombinasi pegylated interferon alpha dan ribaviri (rbv). Hanya saja pemberian
obat ini harganya masih cukup mahal. Terapi untuk hepatitis C ini sebaiknya diberikan pada saat
CD4+ sudah tinggi, lebih dari 350 sel/mm3 untuk mendapatkan respon pengobatan yang lebih
baik.
Regimen ART pada keadaan koinfeksi HIV/HCV seperti biasa, dengan perhatian khusus pada
interaksi antara obat ARV dan ribaviri atau interferon sebagai berikut.
1. Ribaviri dan AZT
Kombinasi obat ini dapat menyebabkan anemia sehingga dalam penggunaan keduanya
perlu pengawasan ketat.
2. Interferon dan EFV
Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan depresi berat sehingga dalam
penggunaannya perlu pengawasan ketat.
-
Semua ODHA dengan tbc aktif merupakan indikasi memulai terapi ARV berapapun jumlah CD4.
Terapi tb dooberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan terapi ARV sesegera setelahnya
(dalam delapan minggu pertama). EFV merupakan NNRTI pilihan pada pasien yang akan
memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.
Lini
Lini
pertama
Regimen
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP
Pilihan
Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV
Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau
Lini
kedua
2 NRTI + PI
Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria yaitu criteria klinis, imunologis dan
virologist. Viral load yang menetap di atas 5000 kopi/ml mengkonfirmasi gagal terapi. Bila
pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan gagal terap menggunakan criteria imunologis
untuk memastikan gagal klinis.
Komentar
Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari
berulang
SPI
Kondisi WHO stadium 3
tertentu (TB paru, infeksi
bacteria
berat)
dapat
pengobatan.
Penurunan CD4 kembali seperti awal Tanpa infeksi penyerta lain
sebelum pengobatan (atau lebih rendah) yang
atau
menyebabkan
yang
pernah
dicapai
ketika
pengobatan atau
Virologis
untuk
kegagalan
kopi/ml
berhubungan
dengan
perkembangan
klinis
dan
100
penurunan CD4
Penatalaksanaan kepatuhan
Pemeriksaan ulang VL
VL <5000 kopi/ml
VL <5000 kopi/ml
Jangan pindah ke
lini kedua
Pindah ke lini
kedua
Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI (Bpi). Regimen lini kedua
direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah dalah TDF/AZT + 3TC +
lopinavir/ritonavir (LPV/RTV). Apabila padalini pertama menggunakan d4T atau AZT maka
gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF makan gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini
kedua.
101
Berbasis AZT/d4T
Berbasis TDF
Regimen lini 1
Regimen lini 2
AZT/d4T + 3TC + NVP/EFV TDF +3TC/FTC + LPV/r
TDF
+
3TC/FTV
+ AZT + 3TC + LPV/r
Hepatitis B
NVP/EFV
TDF
+
3TC/FTC
NVP/EFV
MONITORING PASIEN
CD4
CD4
CD4
HbsAG
Hb untuk AZT, keratinin
klirens untuk TDF, SGPT
untuk NVP
Hb untuk AZT, keratinin
CD4
bulan
dengan
lanjutan
dalam 12 bulan
Monitoring lain
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi
klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk
digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan penting.
Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan imonologi kea rah yang
lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa
juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana pasien sepertinya mengalami perburukan klinis
yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai
menimbulkan gejala peradangan/inflamasi berlebihan)
Efek samping
Supressi sum sum tulang
Substitusi
Jika digunakan pada terapi lini pertama,
103
Anemia
makrositi
neutropenia
lain)
d4T
hepatic
Pancreatitis,
neuropati
hepatitis (jarang)
Reaksi hipersensitivitas
fatal),
Demam, ruam kelelahan, mul
muntah, tidak napsu makan
Gangguan
pernapasan
(sakit
tenggorok, batuk)
Asidosis laktat dengan steatosis
Tenofovir
hepatitis (jarang)
Asthenia, sakit kepala, diare, mual Jika digunakan pada lini pertama AZR
muntah,
sering
insufisiensi
buang
ginjal,
fanconi
Secara
pendekatan
kesehatan
Osteomalasia
kemungkinan
dipertimbangkan
Ruam
NNRTI
Toksisitas hepar
Hyperlipidemia
Hiperlipidemia
Jika digunakan pada lini kedua.
Intoleransi gastrointertinal, mual, Jika digunakna pada lini kedua.
Ritonavir
Lopinavir
pancreatitis,
hiperglikemial,
pemindahan
lemak
dan
abnormalitas lipid
Reaksi hipersensitivitas sindroma NVP
Efavirenz
steven-johnson
Ruam
NRTI
Toksisitas hepar
efek teratogenik
kehamilan
trimester
kontrasepsi
yang
adekuat)
TERAPI GEN
Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan dengan
mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense
dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang
berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi RNA
bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan
105
berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak
menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi,
otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense,
ribozyme juga menghalangi produksi
suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang dilakukan dengan
fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun
yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan
timbulnya respons imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan
sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan
akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan
(gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu
sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV sebagai vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen asing ini
diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber
Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk
terapi gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja
sama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi
HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial
untuk
replikasi
HIV).
Sementara
itu,
beberapa
grup
juga
berhasil
menghambat
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA) berhasil
menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein
CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem
pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di seluruh
dunia.
Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak komplikasi
dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa penderita.
Zidovudin (ZDV)
Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan penyakit yang
berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan syaraf pusat (SSP).
Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan
berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000mg, dalam 4-5 kali pemberian.
Pengobatan infeksi oportunistik Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga
memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok
pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi
maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi
bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang
demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim.
Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat disembuhkan.
Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum
datangnya kematian.
107
Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah
bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual,
sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.
Tabel beberapa jenis infeksi oportunistik dan keganasan serta obat-obatannya.
Infeksi oportunistik dan keganasan
Pneumocystis carinii (PCP)
Toxoplasma gondii
Pyrimetamin+sulfadiazine
Candidiasis
Cryptococcus Neoformans
Amphotericine B IV
Histoplasmosis
Amphotericine B
Coccidioidomycosis
Amphotericine B
Mycobacterium tuberculosis
Herpes virus
Aksiklovir
Cytomegalo virus
Ganciclovir, Foscarnet
Cryptoccocc sporidiosis
Somastitatin analogues
Isosporiasis
Trimethoprim+Sulfamethoksazol.
Aksiklovir, Sitarabin
Kanker oportunistik:
Kaposi
108
109
DAFTAR PUSTAKA
1. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
2. M. Leng see. Penanganan pajanan hiv bagi petugas kesehatan. Kesehatan kedokteran. 2
disember 2010. Available at: http://mlengsee.wordpress.com/2010/12/02/penangananpajanan-hiv-bagi-petugas-kesehatan/.
3. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
4. HIV
Discussion.
HIVwebstudy.
Available
at:
http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html.
5. Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and Aids. 2009 Current
Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal. 1176-1205.
6. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N and others. Hiv. Scribd. Available at:
http://www.scribd.com/doc/40951928/Hiv.
7. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti Kuspuji,
editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.
Hal162-163
8. Lan, Virginia
M.
Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
and
Acquired
14. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar ilmu
penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2006. Hal 545-6
111