Anda di halaman 1dari 115

TUTORIAL

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Pembimbing :
dr. Fisalma Mansjoer , Sp.KK
Disusun Oleh :
Chicilia Windia Tanu Wijaya - 2010730020
Galuh Ajeng Laraswati 2010730041
Pria Adhi Yaksa - 2010730085

SMF KULIT DAN KELAMIN RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya pada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial dengan judul Infeksi Menular Seksua
sesuai pada waktu yang telah ditentukan.
Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, serta para
pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar kewajiban dari suatu
proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk praktik
kehidupan sehari-hari.
Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu kami
dalam kelancaran pembuatan laporan ini, dr. Fisalma Mansjoer,Sp.KK. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.

Jakarta, September 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata pengantar.............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................1
Infeksi Genitalia Nonspesifik .....................................................................1
Gonore.........................................................................................................7
Trikomoniasis .............................................................................................12
Vaginosis Bakterial .....................................................................................17
Sifilis ...........................................................................................................24
Ulkus Mole .................................................................................................43
Herpes Simpleks ........................................................................................51
Kondiloma Akuminata ...............................................................................56
Limfogranuloma Venerium .........................................................................63
Granuloma Inguinale ..................................................................................75
HIV .............................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................114

ii

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Genital Nonspesifik


Definisi
Infeksi Genital non spesifik (IGNS) adalah penyakit menular seksual berupa peradangan di
uretra, rektum, atau serviks yang disebabkan oleh kuman nonspesifik. Pada pria sering disebut
sebagai uretritis non spesifik (UNS) oleh karena terutama mengenai uretra. Yang dimaksud
dengan kuman spesifik adalah kuman yang dengan fasilitas laboratorium biasa/sederhana dapat
diketemukan seketika, misalnya gonokok, Candida albicans, Trichomonas vaginalis, dan
Gardnerella vaginalis
Epidemiologi
Di beberapa negeri ternyata insidens IGNS merupakan PMS yang paling tinggi dan angka
perbandingan dengan uretritis gonore kira-kira 2:1. UNS banyak ditemukan pada orang dengan
keadaan social ekonomi lebih tinggi, usia lebih tua, dan aktivitas seksual yang tinggi. Juga
ternyata pria lebih banyak daripada wanita dan golongan heteroseksual lebih banyak daripada
golongan homoseksual.
Etiologi
Penyebab paling sering ialah Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, dan
Mycoplasma hominis. Selain itu ada juga dugaan bahwa penyebab dari UNS adalah alergi dan
bakteri.
Patogenesis
-

Chlamydia trachomatis
Telah terbukti bahwa lebih 50% daripada semua kasus UNS disebabkan oleh kuman ini.
Chlamydia trachomatis merupakan parasit intraobligat, menyerupai bakteri negatif-gram.
Dalam perkembangannya Chlamydia trachomatis mengalami 2 fase:
o Fase I: disebut fase noninfeksiosa, terjadi keadaan laten yang dapat ditemukan
pada genitalia maupun konjungtiva. Pada saat ini kuman sifatnya intraselular dan

berada di dalam vakuol yang letaknya melekat pada inti sel hospes, disebut badan
inklusi.
o Fase II: fase penularan, bila vakuol pecah kuman keluar dalam bentuk badan
elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel hospes yang baru.
-

Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis


Ureaplasma urealyticum merupakan 25% penyebab UNS dan sering bersamaan
dengan Chlamydia trachomatis. Dahulu dikenal dengan nama T-strain Mycoplasma.
Mycoplasma hominis juga sering bersama-sama dengan Ureaplasma urealyticum.
Mycoplasma hominis sebagai penyebab UNS masih diragukan karena kuman ini
bersifat komensal yang dapat menjadi pathogen dalam kondisi-kondisi tertentu.
Ureaplasma urealyticum merupakan mikroorganisme paling kecil, negatif-Gram, dan
sangat pleomorfik karena tidak mempunyai dinding sel yang kaku.

Alergi
Ada dugaan bahwa UNS disebabkan oleh reaksi alergi terhadap komponen sekret
alat urogenital pasangan seksualnya. Alasan ini dikemukakan karena pada pemeriksaan
sekret UNS tersebut ternyata steril dan pemberian antihistamin dan kortikosteroid
mengurangi gejala penyakit.

Bakteri
Mikroorganisme penyebab UNS ini adalah Staphylococcus dan difteroid.
Sesungguhnya bakteri ini dapat tumbuh komensal dan menyebabkan uretritis hanya pada
beberapa kasus.

Gejala Klinis
Pria
Gejala baru timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak
seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing,
dan kelurarnya duh tubuh seropurulen. Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit lebih
lama karena masa inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali.
Pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga menyulitkan
diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat di perlukan pemeriksaan laboratorium penunjang.
Wanita
2

Infeksi lebih sering terjadi di serviks dibandingkan dengan di vagina, kelenjar Bartholin,
atau uretra sendiri. Sama seperti pada gonore, umumnya wanita tidak menunjukkan gejala.
Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri
di daerah pelvis, dan disparenia.
Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tanda-tanda servisitis berupamukosa yang
hiperemis dan edema, disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah, dan duh tubuh
serviks yang mukopurulen.
Pada permpuan atau laki-laki yang melakukan kontakseksual secara anogenital dan
orogenital, infeksi dapat juga terjadi secara langsung pada mukosa rektum dan faring. Anamnesis
harus sangat teliti, mengingat tidak ada patokan nilai pemeriksaan laboratorium sederhana yang
dapat dipakai sebagai penapisan cepat infeksi ini. Pemeriksaan klinis harus tetap menjadi standar,
agar pasien cepat mendapatkan tatalaksana.

DIAGNOSIS
Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore.
Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis karena klamidia sebagai penyebab, perlu
pemeriksaan khusus untuk menemukan adanya C.trachomatis.
Pemeriksaan laboratorium sederhana dan relatif mudah, serta cepat adalah dengan
pemeriksaan pewarnaan Gram, kriteria yang dipakai adalah:
A. Tidak ditemukan diplokokus Gram-negatif intrasel maupun ekstrasel PMN.
B. Tidak ditemukan blastospora, pseudohifa dan trikomonas.
C. Jumlah leukosit PMN> 5/LPB, pada specimen duh uretra atau PMN>30/LPB pada
specimen duh serviks
D. Belum ada panduan untuk infeksi faring dan anal.
Pemeriksaan yang digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitology langsung dan
biakan dari inoculum yang diambil dari specimen urogenital. Pada tahun 1980-an ditemukan
teknologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis.
Pemeriksaan sitology langsung ini dengan pewarnaan Giemsa memiliki sensitivitas tinggi
untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah (laki-laki 15%, perempuan
41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah, yaitu 62%.

Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih dianggap sebagai baku emas pemeriksaan
klamidia. Spesifisitasnya mencapai 100% tetapi sensitivitasnya bervariasi bergantung pada
laboratorium yang digunakan (berkisar antara 75-85%)
Pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada kasus asimtomatik dan infeksi subakut. Prosedur,
tekhnik, dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3-7 hari. Sampai saat ini
pemeriksaan dengan biakan bahkan PCR belum dapat dilakukan secara rutin di Indonesia.
Untuk teknik deteksi antigen klamidia terdapat beberapa cara, yaitu :
1. Direct fluroscent antibody (DFA)
Tes tersebut menggunakan antibodi monoclonal atau poliklonal degan miskroskop
imuno- fluoresen (I.F). tampak badan elementer (BE) atau retikulat (BR), hasil
dinyatakan positif bila ditemukan BE > 10. Waktu pemeriksaan diperlukan kurang lebih
30 menit, perlu tenaga terlatih dan biaya lebih murah. Sensitivitasnya berkisar antara 8090% dan spesifisitasnya 98-99%.
2. Enzyme immune assay/enzyme linked
Pemeriksaan tersebut mulai dikembangkan pada akhir tahun 1980-an, menggunakan
antibodi moonoklonal atau poliklonal dan alat spektrofotometri, lama tes 3 sampai 4 jam.
Metode Elisa Chlamydiazyme sensitivitasnya 92.3% dan spesifisitasnya 99.8% terhadap
biakan. Di samping itu dikenal juga metode ELISA yang membutuhkan waktu 30 menit
atau kurang, yang dikenal dengan istilah rapid test, dan dapat dikerjakan di tempat
praktik. Beberapa rapid test yang dikenal adalah Clearview, Genix, One step CT
test strip (AmeriTek) dan QuickStripe Chlamydia Ag, Sensitivitas pemeriksaan ini
lebih rendah dibandingkan dengan ELISA Chlamydiazyme.
Metode yang terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis.
1. Hibridasi DNA Probe
Dikenal dengan istilah Gen Probe. Metode tersebut mendeteksi DNA CT, lebih sensitive
dibandingkan dengan cara ELISA, karena dapat mendeteksi DNA dalam jumlah kecil
melalui proses hibridasi. Sensitivitasnya tinggi (85%) dan juga spesifisitasnya (98-99%).
2. Amplifikasi asam nukleat
Termasuk dalam kategori tersebut tes Polimerase Chain Reaction (PCR) dan Ligase
Chain Reaction (LCR). PCR mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 99-100%,
sedangkan LCR sensitivitas 94% dan spesifisitasnya 99-100%.
Uretritis yang persisten paksa terapi doksisiklin harus dipikirkan tentang kemungkinan
infeksi oleh U.Urealiticum atau M. Genitalium yang resisten doksisiklin, T vaginalis
4

dapat juga sebagai penyebab infeksi uretra pada laki-laki. Dalam hal ini, diindikaskan
pemeriksaan kultur atau NAAT dan bahan duh genita, swa uretra, first void urine, atau
semen.
Penatalaksanaan
Pedoman tatalaksana pada infeksi genital nonspesifik
Nonmedikamentosa

Bila memungkinkan periksa dan lakukan pengobatan pada pasangan tetapnya (notifikasi
pasangan)

Anjurkan abstinensia sampai infeksi dinyatakan sembuh secara laboratoris, bila tidak
memungkinkan, dapat dianjurkan penggunaan kondom

Kunjungan untuk follow-up di hari ke-7

Lakukan konseling mengenai infeksi, komplikasi yang dapat terjadi, dan pentingnya
keteraturan berobat

Lakukan provider initiated Testing an Conseling (PITC) terhadap infeksi HIV dan
kemungkinan mendapatkan infeksi menular seksual lain.

Indikasi pemeriksaan penampisan untk IMS lainnya.

Obat yang paling efektif adalah golongan makrolide.


Pilihan utama
Doksisiklin

: 2x 100 mg sehari selama 7 hari atau

Azitromisin

: 1 gram dosis tunggal. Atau

Eritromisin

: untuk penderita yang tidak tahan tetrasiklinm, ibu hamil, atau berusia kurang

dari 12 tahun, 4x 500mg sehari selama 1minggu atau 4x 250 mg sehari selama 2 minggu.
5

Komplikasi
Hampir sama dengan gonore. Pada pria dapat terjadi prostatitis, vesikulitis, epididimitis,
dan striktur uretra. Pada wanita dapat terjadi bartolinitis, prokitis, salpingitis, dan sistitis.
Peritonitis dan hepatitis juga pernah dilaporkan.
Prognosis
Kadang-kadang tanpa pengobatan penyakit lambat laun berkurang dan akhirnya sembuh
sendiri (50-70% dalam waktu kurang lebih 3 bulan). Setelah pengobatan, kira-kira 10% penderita
akan mengalami eksaserbasi/rekurens.

B. Gonore
Definisi
Gonore dalam arti luas mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria
gonorhoeae.
Etiologi
Penyebab gonore adalah gonokok yang ditemukan oleh NEISSER pada tahun
1879 baru diumumkan pada tahun 1882. Kuman tersebut termasuk dalam grup Neisseria
dan dikenal ada 4 spesies, yaitu N.gonorrhoeae dan N.meningitidis yang bersifat patogen
serta N.catarrhalis dan N.pharyngis ini sukar dibedakan kecuali dengan tes fermentasi.
Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8 u
dan panjang 1,6 u, bersifat tahan asam. Pada sediaan langsung dengan pewarnaan Gram
bersifat Gram-negatif, terlihat di luar dan di dalam leukosit, tidak tahan lama di udara
bebas, cepat mati dalam keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39 0C, dan tidak tahan
cat desinfektan.
Seacara morfologik gonokok ini terdiri atas 4 tipe, yaitu tipe 1 dan 2 yang
mempunyai pili yang bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai pili dab
bersifat nonvirulen. Pili akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi
radang.
Daerah yang mudah terinfeksi adalah daerah dengan mukosa epitel kuboid atau
lapis gepeng yang belum berkembang (immatur), yakni pada vagina wanita sebelum
pubertas.
Gejala klinis
Masa tunas gonore sangat singkat. Pada pria umumnya sekitar2-5 hari. Pada
waktu masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umumnya asimptomatis. Infeksi N.
Gonorhoeae merupakan fase akut yang didahului rasa panas dibagian distal urethra
diikuti rasa nyeri pada penis, keluhan berkemih seperti disuria dan polakisuria. Terdapat
duh tubuh yang

bersifat purulen atau seropurulen, kadang-kadang juga terdapat

ektropion. Pada beberapa keadaan, duh tubuh baru keluar bila dilakukan pemijatan atau
pengurutan korpus penis kearah distal, tetapi pada keadaan penyakit yang lebih berat
nanah tersebut menetes sendiri keluar.
7

Diagnosis
Diagnosa ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditemukan gejala subjektif berupa : Gatal, panas pada distal
uretra, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen yang kadang disertai
darah, nyeri pada waktu ereksi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Gejala objektif :Orificium uretra
eksternum eritematosa, edematosa, dan ektropion.Tampak pula duh tubuh yang
seropurulen atau mukopurulen dan dapat disertai pembesaran kelenjar getah
bening inguinal unilateral atau bilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a.
Pewarnaan Gram ( Sediaan langsung )
Gram-negatif diplokokus intrasellular terhadap PMN pada pemeriksaan
eksudat. Pada sediaan langsung dengan pengecatan gram akan ditemukan
gonokokus negatif gram, intraseluler dan ekstra seluler, berbentuk biji kopi.
Selain itu dapat ditemukan juga lekosit PMN 5/lpb. Bahan duh tubuh pria
diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan pada wanita diambil dari
uretra, muara kelenjar bartholin, serviks, dan rectum.
Pemeriksaan gram dari duh uretra pada pria memiliki sensitivitas tinggi (9095%) dan spesifisitas 95-99%. Sedangkan dari endoserviks, sensitivitasnya
b.

hanya 45-65%, dengan spesifisitas 90-99%.


Kultur
Isolasi pada media- selektif gonokokkus, contohnya agar darah coklat,
media Martin Lewis, media Thayer Martin. Test kerentanan mikrobial
penting karena adanya strain yang resistensi.
Media Transport
a) Media Stuart: hanya untuk transport saja, sehingga perlu ditanam
kembali pada media pertumbuhan.
b) Media Transgrow: selektif dan nutritive untuk N. gonorrhoeae dan N.
meningitidis, dalam perjalanannya dapat bertahan hingga 96 jam dan
merupakan gabungan dari media transport dan media pertumbuhan.
Media ini merupakan modifikasi media Thayer Martin dengan
menambahkan trimetoprim untuk mematikan Proteus.
Media Pertumbuhan
8

a) Media

Thayer-martin:

selektif

untuk

mengisolasi

gonokok.

Mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman positifgram, kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri negatif-gram,
dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur.
b) Modifikasi Thayer-martin: isinya ditambah dengan trimetoprim
untuk menekan pertumbuhan kuman Proteus spp.
c) Agar coklat McLeod: berisi agar coklat, agar serum, dan agar
hidrokel. Dapat ditumbuhi kuman selain gonokokus.
c.

Tes Definitif
a) Tes Oksidasi
Reagen oksidasi yang mengandung larutan tetrametil-p-fenilamin
hidroklorida 1% ditambahkan pada koloni gonokok tersangka. Semua
Neisseria memberikan reaksi positif dengan perubahan warna koloni
yang semula bening berubah menjadi merah muda sampai merah
lembayung.
b) Tes Fermentasi
Tes Oksidasi Positif dilanjutkan dengan tes fermentasi memakai
glukosa, maltosa, dan sukrosa. Kuman gonokok hanya meragikan

d.

glukosa.
Tes Beta laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc. BBL 96192 yang mengandung
cheomogenic cephalosporin. Apabila kuman mengandung enzim beta-

e.

laktamase, akan menyebabkan perubahan warna dari kuning menjadi merah.


Tes Thomson
Tes Thomson ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah
berlangsung.Dahulu pemeriksaan ini perlu dilakukan karena pengobatan
pada waktu itu ialah pengobatan setempat.
Tabel 2. Hasil pembacaan :
Gelas I

Gelas II

Arti

Jernih

Jernih

Tidak ada infeksi

Keruh

Jernih

Infeksi

uretritis

anterior
Keruh

Keruh

Panuretritis

Jernih

Keruh

Tidak mungkin
9

Pengobatan
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan adalah efektivitas, harga, dan sesedikit
mungkin efek toksiknya. Dulu ternyata pilihan utama ialah

penisilin + probenesid,

kecuali di daerah yang tinggi insidens Neisseria gonorrhoeae. Penghasil Penisilinase


(N.G.P.P). secara epidemiologis pengobatan yang dianjurjan adalah obat yang dapat
dipakai antara lain :
1. Penisilin : yang efektif ialah penisilin G prokain akua. Dosis 4,8 juta unit + 1
gram probenesid.
2. Ampisilin dan amoksisilin : ampisilin dosisnya ialah 3,5 gram + 1 gram
probenesid, dan amoksisilin 3 gram + 1 gram probenesid.
3. Sefalosporin : seftriakson (generasi ke-3) cukup efektif dengan dosis 250 mg i.m.
sefoperazon dengan dosis 0,50 sampai 1,0 g secara intramuskular. Sefiksim 400
mg per oral dosis tunggal memberi angka kesembuhan 95%.
4. Spektinomisin : dosisnya ialah 2 gram i.m baik, untuk penderita yang alergi
penisilin, yang mengalami kegagalan pengobatan penisilin, dan terhadap
penderita yang juga tersangka menderita sefilis karena obat ini tidak menutupi
gejala sifilis.
5. Kanamisin : dosisnya 2 gram i.m.
6. Tiamfenikol : dosisnya 3,5 gram, secara oral.
7. Kuinolon : dari golongan kuinolon, obat yang menjadi pilihan adalah ofloksasin
400 mg, siprofloksasin 250-500 mg, dan norfloksasin 800

mg secara oral.

Mengingat pada beberapa tahun terakhir ini resisten terhadap siprofloksasin masih
tinggi, maka golongan kuinolon yang dianjurkan adalah levofloksasin 250 mg per
oral dosis tunggal.

10

C. Trikomoniasis
Definisi
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi saluran urogenital bagian bawah pada
wanita maupun pria, dapat bersifat akut atau kronik, disebabkan Trichomonas vaginalis,
dan penularannya biasanya melalui hubungan seksual.
Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan satusatunya spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai
pada traktus urogenital. Pertama kali ditemukan oleh Donne pada tahun 1836, dan untuk
waktu yang lama sejak ditemukannya dianggap sebagai komensal. Trichomonas
vaginalis merupakan flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai
4 flagela, dan bergerak seperti gelombang.
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang dan dapat hidup
dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50C akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada
suhu 0C dapat bertahan sampai 5 hari. Cepat mati bila mengering, terkena sinar
matahari, dan terpapar air selama 35-40 menit.
Ada dua spesies lainnya yang dapat ditemukan pada manusia, yaitu Trichomonas
tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentatrichomonas hominis yang hidup dalam
kolon, yang pada umumnya tidak menimbulkan penyakit.
Insiden
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui
pakaian, handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu trikomoniasis ini terutama
ditemukan pada orang dengan aktivitas seksual yang tinggi, tetapi dapat juga ditemukan
pada bayi dan penderita setelah menopause. Penderita wanita lebih banyak dibandingkan
dengan pria.
Patogenesis
Trichomonas vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran
urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Masa tunas
rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan
jarin
gan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar
sampai di permukaan epitel. Di dalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel,
kuman-kuman, dan benda lain yang terdapat dalam sekret.
Gejala klinis
11

1. Trikomoniasis Pada Wanita


Gejala klinis trikomoniasis pada wanita tidak merupakan parameter diagnostik
yang dapat dipercaya. Masa tunas sulit untuk dipastikan, tetapi diperkirakan berkisar
antara 3-28 hari.
Pada wanita sering tidak menunjukkan keluhan maupun gejala sama sekali. Bila
ada keluhan biasanya berupa duh tubuh vaginal yang banyak dan berbau. Biasanya
penderita datang dengan keluhan gatal pada daerah kemaluan dan gejala keputihan.
Dari data-data yang dikumpulkan oleh Wolner-Hanssen (1989) dan Rein (1989) yang
terdapat pada tabel 1, ternyata hanya 50-70% penderita yang mengeluh adanya duh
tubuh vaginal, sehingga pernyataan bahwa trikomoniasis pada wanita harus selalu
disertai duh tubuh vaginal merupakan hal yang tidak benar.
Tabel 3. Prevalensi keluhan dan gejala klinis penderita wanita dengan
trikomoniasis.
Keluhan dan gejala
Keluhan :
1. Tidak ada

Prevalensi (%)
9 56
50 75

2. Duh tubuh (discharge)


10 67
Berbau
23 82
Menimbulkan iritasi/gatal
10 50
3. Dispareunia
4. Disuria

30 50

5. Perasaan tidak enak pada perut bawah

5 12

Gejala :
1. Tidak ada

15
10 37

2. Eritema vulva yang difus


5 42
3. Duh tubuh berlebihan, kuning, hijau
8 50

12

berbusa
4. Inflamasi dinding vagina

20 75
12

5. Strawberry cervix
45
Pengamatan langsung
Pengamatan dengan kolposkop
Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun kronis. Pada
kasus akut terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan, kuning-hijau,
berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Duh tubuh yang banyak sering
menimbulkan keluhan gatal dan perih pada vulva serta kulit sekitarnya. Dinding vagina
dan labium tampak kemerahan dan sembab serta terasa nyeri. Sedangkan pada vulva dan
paha bagian atas kadang-kadang ditemukan abses-abses kecil dan maserasi yang
disebabkan oleh fermen proteolitik dalam duh tubuh. Kadang-kadang juga terbentuk
abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak granulasi berwarna merah dan
dikenal sebagai strawberry appearance, yang menurut Fouts et al, hal ini hanya
ditemukan pada 2% kasus trikomoniasis. Keluhan lain yang mungkin terjadi adalah
dispareunia, perdarahan pascakoitus, dan perdarahan intermenstrual. Bila sekret banyak
yang keluar dapat timbul iritasi pada lipat paha atau di sekitar genitalia eksterna. Selain
vaginitis dapat pula terjadi uretritis, Bartholinitis, skenitis, dan sistitis yang pada
umumnya tanpa keluhan. Pada kasus yang kronik gejalanya lebih ringan dan sekret
vagina biasanya tidak berbusa.
Kadang-kadang reaksi radang sangat minimal sehingga duh tubuh sangat minimal
pula, bahkan dapat tidak tampak sama sekali. Polakisuria dan disuria biasanya merupakan
keluhan pertama pada infeksi traktus urinarius bagian bawah yang simptomatik. Dua
puluh lima persen penderita mengalami infeksi pada uretra.
2. Trikomoniasis Pada Pria
Seperti pada wanita spektrum klinik trikomoniasis pada pria sangat luas, mulai
dari tanpa gejala sampai pada uretritis yang hebat dengan komplikasi prostatitis. Masa
inkubasi biasanya tidak melebihi 10 hari.
13

Pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar prostat, kadang-kadang


preputium, vesikula seminalis, dan epididimis. Pada umumnya gambaran klinis lebih
ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk akut gejalanya mirip uretritis nongonore,
misalnya disuria, poliuria, dan sekret uretra mukoid atau mukopurulen. Urin biasanya
jernih, tetapi kadang-kadang ada benang-benang halus. Pada bentuk kronik gejalanya
tidak khas; gatal pada uretra, disuria, dan urin keruh pada pagi hari.
Diagnosis
Diagnosis kurang tepat bila hanya berdasarkan gambaran klinis, karena
Trichomonas vaginalis dalam saluran urogenital tidak selalu menimbulkan gejala atau
keluhan. Uretritis dan vaginitis dapat disebabkan bermacam-macam sebab, karena itu
perlu diagnosis etiologik untuk menentukan penyebabnya.
Diagnosis trikomoniasis ditegakkan setelah ditemukannya T. vaginalis pada
sediaan langsung (sediaan basah) atau pada biakan duh tubuh penderita.
Diagnosis pada pria menjadi lebih sulit lagi, karena infeksi ditandai oleh jumlah
kuman yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan wanita. Uretritis non gonore (UNG)
yang disebabkan oleh T. vaginalis tidak dapat dibedakan secara klinis dari UNG oleh
penyebab yang lain.
Respon terhadap pengobatan dapat menunjang diagnosis. UNG yang gagal diobati
dengan rejimen yang efektif terhadap C. trachomatis dan U. urealyticum, namun respon
terhadap pengobatan dengan metronidazol, menunjang diagnosis trikomoniasis.
Untuk mendiagnosis trikomoniasis dapat dipakai beberapa cara, misalnya
pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, sediaan hapus, dan pembiakan. Sediaan basah
dicampur dengan garam faal dan dapat dilihat pergerakan aktif parasit. Pada pembiakan
dapat digunakan bermacam-macam pembenihan yang mengandung serum.
Tatalaksana
Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik. Pengobatan
trikomoniasis harus diberikan kepada penderita yang menunjukkan gejala maupun yang
tidak.
1. Topikal
a. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2% dan larutan
asam laktat 4%.
b. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal.
c. Jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal.
2. Sistemik (oral)
Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol seperti:
a. Metronidazol : dosis tunggal 2 gram atau 3 x 500 mg/hari, selama 7 hari.
b. Nimorazol : dosis tunggal 2 gram.
14

c. Tinidazol : dosis tunggal 2 gram.


d. Omidazol : dosis tunggal 1,5 gram.
Penderita dinyatakan sembuh bila keluhan dan gejala telah menghilang, serta
parasit tidak ditemukan lagi pada pemeriksaan sediaan langsung.
Pada waktu pengobatan perlu beberapa anjuran pada penderita:
a.

Pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk mencegah

jangan terjadi infeksi pingpong.


b. Jangan melakukan hubungan seksual selama pengobatan dan sebelum
dinyatakan sembuh.
c. Hindari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan transmisi.
3. Pengobatan Pada Kehamilan
Kehamilan pada trimester pertama merupakan kontra indikasi pemberian
metronidazol. Sehubungan telah banyak bukti-bukti yang menunjukkan adanya
kaitan antara infeksi T. vaginalis dengan pecahnya ketuban sebelum waktunya,
maka metronidazol dapat diberikan dengan dosis efektif yang paling rendah pada
trimester kedua dan ketiga.
4. Infeksi Pada Neonatus
Bayi dengan trikomoniasis simtomatik atau dengan kolonisasi T. vaginalis
melewati umur 4 bulan, harus diobati dengan metronidazol 5 mg/kgBB/oral, 3 x
sehari selama 5 hari.
D. Vaginosis Bakterial
Definisi
Bacterial vaginosis (BV) merupakan gangguan paling umum dijumpai pada organ
genitalia bawah pada wanita usia reproduktif (hamil dan tidak hamil) dan merupakan
prevalensi terbanyak penyebab dari timbulnya secret vagina dan bau tidak sedap.
Vaginosis bakterial adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan
oleh

bertambahnya

pertumbuhan

flora

vagina

bakteri

anaerob

menggantikan

Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina.


Etiologi
Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis dari
data flora vagina memperlihatkan bahwa ada beberapa kategori dari bakteri vagina yang
berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :
1. Gardnerella vaginalis
15

Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi


Gardner dan Dukes bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya
dengan bakterial vaginosis. Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H.
vaginalis kemudian diubah menjadi genus Gardnerella atas dasar penyelidikan
mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul,
tidak bergerak dan berbentuk batang gram negatif atau variabel gram. Tes
katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya negatif. 10
Kuman ini bersifat anaerob fakultatif, dengan produksi akhir utama pada
fermentasi berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam
laktat dan asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Untuk
pertumbuhannya dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin,
purin, dan pirimidin.
2. Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp
Bacteriodes Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak
36% pada wanita dengan bakterial vaginosis. Pada wanita normal kedua tipe
anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob dihubungkan
dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada cairan
vagina.

Setelah

terapi

dengan

metronidazole,

Bacteriodes

dan

Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam


organik yang predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa
bakteri anaerob berinteraksi dengan G.vaginalis untuk menimbulkan
vaginosis. Peneliti lain memperkuat hubungan antara bakteri anaerob dengan
vaginosis bakterial. Mikroorganisme anaerob lain yaitu Mobiluncus Spp,
merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina
bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan bakterial
vaginosis. Mobiluncus Spp hampir tidak pernah ditemukan pada wanita
normal, 85% wanita dengan bakterial vaginosis mengandung organisme ini.
3. Mycoplasma hominis
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus
dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk vaginosis bakterial, bersamasama dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob lainnya. Prevalensi tiap
mikroorganisme ini meningkat pada wanita dengan bakterial vaginosis.

16

Organisme ini terdapat dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada
wanita dibandingkan dengan bakterial vaginosis pada wanita normal.
Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine,
satu dari amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis.
Konsentrasi normal bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan
vagina dan meningkat menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis.
Terjadi peningkatan konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob
termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 1001000 kali lipat.
Manifestasi Klinis
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering
pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau
ikan (fishy odor). Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan
vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin
dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas.
Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar
wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar),
kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau
C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan seperlima timbul
kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, dispareuria, atau nyeri waktu kencing
jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina
normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan
gambaran bergerombol.
Patofisiologi

17

Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan


asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan berlebihan
bakteri-bakteri penghasil basa. Lactobacillus adalah bakteri predominan di vagina dan
membantu mempertahankan sekresi vagina yang bersifat asam. Faktor-faktor yang dapat
mengubah pH melalui efek alkalinisasi antara lain adalah mukus serviks, semen, darah
haid, mencuci vagina (douching), pemakaian antibiotik, dan perubahan hormon saat
hamil dan menopause. Faktor-faktor ini memungkinkan meningkatnya pertumbuhan
Gardnerella vaginalis, Mucoplasma hominis, dan bakteri anaerob. Metabolisme bakteri
anaerob menyebabkan lingkungan menjadi basa yang menghambat pertumbuhan bakteri
lain.
Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria, keputihan,
dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan douching, dilaporkan
terjadi perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi mikroflora normal sehingga
memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri patogen yang oportunistik.
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif.
Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang
keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar
Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh
untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam
kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna
kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel
epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Trichomonas, tanpa clue cell.
Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai
pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina yang
mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina sampai
suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui
menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh
tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai
bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang
dapat diisolasikan dari infeksi genitalia.
18

G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan


deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina.
Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan
dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan
histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual
atau pernah menderita infeksi Trichomonas. Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau
etiologi penyakit ini. Walaupun alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami
namun ada 4 kemungkinan yang dapat menjelaskan, yaitu:
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bakterial
vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G. vaginalis
mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak
menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah
mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat
kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya
dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora
normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada
penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.
Diagnosis
BV merupakan suatu sindrom yang dapat didiagnosis dengan menggunakan baik
secara klinik maupun uji mikrobiologi. Kriteria diagnosis antara wanita hamil dan tidak
hamil adalah sama. Amsel et al (1983), telah mempublikasikan beberapa kriteria
diagnosis BV yang masih digunakan hingga sekarang ini. diagnosis klinis BV ditegakkan
apabila ditemukan tiga dari empat tanda berikut ini.
1. Secret vagina (berwarna keabu-abuan, homogen dan berbau)
2. pH vagina > 4,5
3. Ditemukannya clue cells pada sediaan basah
4. Tes amine (+)
Pewarnaan gram dari cairan vagina merupakan metode diagnostic mikrobiologi yang
paling umum digunakan untuk mendiagnosis BV. Untuk dapat dilakukannya pewarnaan
gram, secret vagina diapus ke atas kaca objek, dikeringkan pada udara terbuka, diwarnai
19

di laboratorium, dan diperiksa dengan menggunakan minyak emersi. Kebanyakan unit


laboratorium menggunakan sebuah skema diagnostic objektif yang menilai banyaknya
jumlah morphotype Lactobacillus dan bakteri pathogen lainnya, hasil diinterpretasikan
melalui skor yang digunakan untuk menentukan apakah terjadi infeksi atau tidak.
Penskoran yang umum digunakan adalah sistem Nugent. Kriteria untuk diagnosis BV
adalah apabila skor yang didapat adalah tujuh atau lebih. Skor 4-6 menandakan hasil
intermedit, dan skor 0-3 menandakan suatu keadaan normal.
Tatalaksana
Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan
dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh
dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus vagina kembali
meningkat ke level normal, dan bakteri lain mengalami penurunan jumlah. Namun pada
beberapa wanita, bila bakterial vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan
keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis
obat yang digunakan hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek sampingnya.
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan, termasuk
wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan wanita
hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk mencari
obat-obat yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya
menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati
bakterialvaginosis.
a. Terapi sistemik
1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang
memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x
400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal,
maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan
kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan sekitar 66%).
- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif
terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi

20

anaerob. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi


gelap.
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin

dapat

menembus

ASI,

oleh

karena

itu

sebaiknya

menggunakan pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.


3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap
metronidazol.
4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.
5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.
6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.
b. Terapi Topikal
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5
hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4. Triple
sulfonamide
cream.(3,6)
(Sulfactamid

2,86%,

Sulfabenzamid 3,7% dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10


hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka penyembuhannya hanya
15 45 %.
c. Pengobatan
bakterial

vaginosis

pada

masa

kehamilan

Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang lebih
rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping
(Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil).
Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan amoksisilin
jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita tidak hamil
dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin
tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat
digunakan

metronidazol

oral walaupun

mungkin

lebih

disukai

gel

metronidazol vaginal atau klindamisin krim.


21

Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual. Terapi juga diberikan kepada
pasangan seksual dan dianjurkan tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.

22

E. Sifilis
Definisi
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum; sangat kronik dan
bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat
menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke
janin.
Epidemiologi
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara
0,04-0,52 %. Insiden yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika
Selatan. Di Indonesia insidennya 0,61%. Di bagian kami penderita yang terbanyak ialah
stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium
II.
Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah
Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaeraceae dan
genus Treponema.
Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas
8-24 lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan
pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap
30 jam.
Klasifikasi
Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis kongenital
dibagi menjadi : dini (sebelum 2 tahun), lanjut (sesudah 2 tahun), dan stigmata. Sifilis
akuisita dapat dibagi menurut dua cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara
pertama sifilis dibagi menjadi 3 stadium: stadium I (S I), stadium II (S II), stadium III (S
III). Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi :
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
stadium rekuren, dan stadium latn dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium
laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis.
STADIUM DINI MENULAR

1 tahun

STADIUM LANJUT TIDAK

MENULAR
23

Stadium rekuren
S.t.

SI

S III

II
2-4 minggu

6-8

minggu

Sifilis laten dini

3-10 tahun

(menular)

Sifilis laten lanjut


(tidak menular)

Keterangan :
S.t.

= sanggama tersangka

SI

= sifilis stadium I

S II

= sifilis stadium II

S III

= sifilis stadium III

Patogenesis
1. Stadium dini
Pada sifilis yang didapat T.pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut membiak, jaringan
bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel
plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di
kelilingi oleh T.pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak diantara
endotelium kapiler dan jaringan perivaskuler di sekitarnya. Kehilangan pendarahan
akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai SI.
Sebelum SI terlihat, kuman telah mencapi kelenjar getah bening regional secara
limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan
menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.

24

Multifikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi 6-8 minggu
sesudah SI.
SI akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya
berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa
sikatriks, SII juga mangalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif
masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi
dengan sifillis kongenita.
Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga T,pallidum
membiak lagi pada tempat SI dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut
menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren SII, yang
terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat
berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi dua tahun. Sifilis tersebut
terdapat pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah.
2. Sifilis Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam
keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.
Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,
sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada
saat itu muncullah SIII berbentuk gumma. Meskipun pada gumma tersebut tidak
dapat ditemukan T.pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan
berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang bervariasi gumma
tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Treponema mencapai sistem kardiovaskulerdan sistem syaraf pada waktu dini,
tetapi kerusakan terjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan gumma biasanya tidak mendapat
gangguan syaraf dan kardiovaskuler, demikian pula sebaiknya. Kira-kira 2/3 kasus
dengan stadium laten tidak memberi gejala.
Gejala Klinis
Sifilis Akuisita (Didapat)
A. Sifilis Dini
II.
Sifilis Primer (SI)

25

Masa tunas biasanya dua sampai empat minggu (2-4 minggu).


T.pallidum masuk ke dalam selaput lendir atau kulit yang telah
mengalami lesi/mikrolesi secara langsung, biasanya melalui senggama.
Treponema tersebut akan berkembang biak kemudian terjadi
penyebaran secara limfogen dan hematogen.
Kelainan kulit di mulai sebagai papul

lentikuler

yang

permukaannya segera menjadi erosi, umumnya kemudian menjadi


ulkus. Ulkus tersebut biasanya bulat, soliter, dasarnya ialah jaringan
granulasi berwarna merah dan bersih , diatasnya hanya tampak serum.
Dindingnya tak bergaung, kulit di sekitarnya tidak menunjukkan
tanda-tanda radang akut. Yang khas ialah ulkus tersebut indolen dan
teraba indurasi karena itu disebut ulkus durum. Kelainan tersebut
dinamakan afek primer dan umumnya berlokasi pada genitalia
eksterna. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronius,
sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain juga dapat di
ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.
Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh
minggu. Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran
kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya
disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut soliter, indolen tidak lunak,
besarnya biasanya lentikuler, tidak supuratif. Kulit diatasnya tidak
menandakan tanda-tanda radang akut.
Istilah sifilis demblee dipakai, jika tidak terdapat efek primer.
Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transffusi
darah atau suntikan.

Gambar.1.Ulkus durum pada lidah &


gambar.2. Ulkus durum sulcus coronarius
III.

Sifilis

sekunder

(SII)
Biasanya

SII

timbul setelah 6-8


26

minggu sejak SI dan sejumlah 1/3 kasus masih disertai SI. Lama SII
dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan SI yang tanpa disertai
gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala tersebut yang terjadi
sebelum atau selama SII. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa
anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang
tidak tinggi, dan atralgia.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga
disebut the great imitator. Selain pada kulit SII juga dapat
menyebabkan kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata ,
hepar, tulang, dan syaraf.
Kelainan kulit yang membasah (eksudatif) pada SII sangat
menular, kelainan yang kering kurang menular. Kondiloma lata dan
plaque muqueuses ialah bentuk yang sangat menular.
Gejala yang penting untuk membedakan dengan penyakit kulit
yang lain ialah
Kelainan kulit pada SII umumnya tidak gatal, sering disertai
limfadenitis generalisata, pada SII dini kelainan kulit juga terjadi pada
telapak tangan dan kaki.
Antara SII dini dan SII lanjut terdapat perbedaan. Pada SII dini
kelainan kulit generalisata, simetrik, dan lebih cepat hilang (beberapa
hari hinggga beberapa minggu ). Pada SII lanjut tidak generalisata lagi,
melainkan setempat-setempat, tidak simetris dan lebih lama bertahan
(beberapa minggu hingga beberapa bulan).
S II pada mukosa
Biasanya timbul bersama-sama dengan eksantema pada kulit,
kelainan pada mukosa disebut enantem, terutama terdapat pada mulut dan
tenggorok.

Umumnya

berupa

makula

eritematosa,

yang

cepat

berkonfluensi sehingga membentuk eritem yang difus, berbatas tegas dan


disebut angina sifilitika eritematosa.

27

Keluhannya nyeri pada tenggorok, terutama pada waktu menelan.


Sering faring juga diserang, sehingga memberi keluhan suara parau. Pada
eritema tersebut kadang-kadang terbentuk bercak putih keabu-abuan,
dapat erosif dan nyeri.
Kelainan lain ialah yang disebut plaque muqueuses (mucous
patch), berupa papul eritematosa, permukaannya datar, biasanya miliar
atau lentikuler, timbulnya bersama-sama dengan SII bentuk papul pada
kulit. Plaque muqueuses tersebut dapat juga terletak di selaput lendir alat
genital dan biasanya erosif. Umumnya kelainan pada selaput lendir tidak
nyeri, lamanya beberapa minggu.

Gambar.3. Plaque muqueuses (mucous patch)

Kelainan selaput lendir


Mucous patch - banyak mengandung T pallidum,
Bentuk bulat, kemerahan ulkus
Kelainan mukosa bibir, pipi, laring, tonsil dan genital

28

Gambar.4. Interstitial glossitis


IV.

Sifilis Laten dini


Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alatalat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah
positif, sedangkan tes likuor cerebrospinalis negatif.

V.

Sifilis stadium rekuren


Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip
SII, maupun serologikyang telah negatif menjadi positif. Hal ini terjadi
terutama pada sifilis yang tidak diobati atau yang mendapat
pengobatan tidak cukup. Umumnya bentuk relaps ialah SII, kadangkadang SI. Relaps dapat memberi kelainan pada mata, tulang, alat

dalam, dan susunan saraf.


B. Sifilis Lanjut
I.
Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun,
II.

bahkan dapat seumur hidup.


Sifilis Tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara 3-10 tahun setelah S I.
Kelainan yang khas adalah gumma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis,
biasanya melunak dan destruktif.
Besar gumma bervariasi dari lentikuler sampai sebesar telur ayam.
Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang
akut dan dapat digerakkan.setelah beberapa bulan mulai melunak,
biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit
menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap gumma tersebut.
Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadangkadang sanguinolen, pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya
lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong
ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggir
yang polisiklik. Jika telah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat
di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar.

29

Tanpa pengobatan gumma tersebut akan bertahan beberapa bulan


hingga beberapa tahun. Biasanya gumma soliter, tetapi dapat pula
multiple, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat,
tetapi jika gumma multiple dan perlunakannya cepat, dapat disertai
demam.
Selain gumma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mulamuladi kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni
beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang
hipotrofi.
Nodus

tersebut

dalam

perkembangannya

mirip

gumma.,

mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa


nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan gumma, nodus
lebih superficial dan lebih kecil (miliar hingga lentikuler), lebih
banyak,

mempunyai

kecenderungan

untuk

bergerombol

atau

berkonfluensi, selain itu tersebar. Warnanya merah kecoklatan.


Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terus. Bagian yang
belum sembuh dapat tertutup skuama seperti llin dan disebut
psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar.
Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis
berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen,
biasanya pada sendi besar.
S III pada mukosa
Gumma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar.
Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. seperti
biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapt
merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi.
Pada lidah yang tersering ialah gumma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur
serta leukoplakia.

Gambar.5. Sifilis Stadium III, Large gumma


30

Gambar.6. Nasal perforation ec nasal gumma

gambar.7 Sifilis III, Gumma on lower lip

S III pada tulang


Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, dan humerus.
Gejala nyeri biasanya pada malam hari. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis
gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosa dengan sinar-x.
S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang.
Gumma bersifat multiple, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami
retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Gumma dapat
menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, gumma soliter dapat terjadi di
dalam atau di luar bronkus, jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan
bronkiektasis. Gumma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat,
meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa
gumma atau fibrosis interstitial, tidak nyeri, permukaanya rata dan unilateral,
kadang-kadang memecah ke bagian anterior scrotum.
Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini
sebab banyak T.palidum beredar dalam darah. Treponema masuk secra hematogen ke
janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu.
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang
tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis
laten dini, kemungkinan bayi sakit 80 % , bila sifilis lanjut 30%.
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian
menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan ke
lima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis
31

kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga
bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi
yang sehat. Keadaan ini disebut hukum kossowitz.
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis
kongenital lanjut (tarda), dan stigmata. Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang
dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan yang lanjut berbentuk gumma dan
tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua
stadium tersebut.
1. Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol,
simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan.
Cairan bula mngandung banyak T.pallidum. Bayi tampak sakit, bentuk ini adakalanya
disebut pemfigus sifilitika.
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan
mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papula-skuamosa yang
simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang
lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondiloma lata. Ragades merupakan
kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus, bentuknya
memancar (radiating).
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit
keriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku
dapat terlepas akibat papul di bawahny, disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku
yang baru akan kabur dan bentuknya berubah.
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses seperti
pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam
kavum nasi yang menyebabkan rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan
tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan
menyebabkan sumbatan. Pernafasan dengan hidung suka. Jika plaques muqueuses
terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat membesar,
generalisata, tetapi tidak sejelas pada S II.

32

Gambar.8. Sifilis Kongenital Snuffle nose


Hepar dan lien membesar akibat invavasi T.pallidum sehingga terjadi fibrosis
yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal
dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada
umumnya kalainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang
disebut pneumonia putih.

Gambar.9. Sifilis Kongenital Hepato-splenomegali


Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondrosis pada tulang panjang umumnya terjadi sebelum berumur enam bulan
dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-x. Ujung tulang
terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakan, seolah-olah terjadi paralisis
dan disebut psuedo paralisis parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa
terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan arthritis supurativa. Pada pemeriksaan
dengan sinar-x terjadi gambaran yanng khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah
12 bulan, tetapi periostitis menetap. Umunya tedapat anemia berat sehingga rentan
terhadap infeksi.

33

Gamabar.10. Sifilis kongenital periostitis


Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T.pallidum pada otak
waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Menyebabkan pada
bayi terjadi konvulsi dan defisiensi mental.
2. Sifilis Kongenital Lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahu. Gumma dapat
menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan alat dalam. Yang khas ialah gumma pada
hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila
meluas menjadi dekstruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan
deformitas. Gumma pada palatum mole dan durum juga sering terjadi sehingga
menyebabkan perforasi pada palatum.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai 1/3tengah tulang dan
menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiotiitis setempat pada
tengkorak berupa tumor bulat yang disebut parrots nodus, umumnya terjadi pada
daerah frontal dan parietal.
Keratitis merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga
sampai tiga puluh tahun, insidensinya 25% dari penderita dengan sifiis kongenital dan
dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang
biasanya bilateral.
Stigmata
1. Stigmata pada lesi dini
Fasies
Akibat rinitis yang parah dan terus-menerus pada bayi, akan menyababkan
gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang lain pada kavum nasi. Kemudian
terjadi depresi pada jembatan hidung dan disebut saddle nose. Maksilla tumbuh

34

secara abnormal yakni lebih kecil daripada mandibula yang tumbuh normal dan
disebut buldogjaw.
Gigi
Gigi hutchinson merupakan kelainan yang khas, hanya terdapat pada gigi
insisiv permanen. Gigi tersebut lebih kecil daripada normal, sisi gigi konveks,
sedangkan daerah untuk menggigit konkaf.
Kelainan lain yang khas ialah pada gigi molar pertama, biasanya yang di bawah.
Pertama kali dilukiskan oleh moon dan disebut moon:s molar.
Permokaannya berbintil-bintil (tuberkula) sehingga mirip murbai, karena
itu dinamai pula mulbery molar. Kelainan ini lebih sering terdapat daripada gigi
hutchinson. Enamel di tempat itu tipis, hingga mudah teradi karies dan cepat
tanggal.

Gambar.11. Hutchinsons teeth

Hutchinsons teeth

Ragades
Ragades terdapat terutama pada sudut mulut, jarang pada lubang hidung
dan anus. Terbentuknya dari papul-papul yang berkonfluensi, akibat pergerakan
mulut terjadi fisur yang kemudian mengalami infeksi sekunder, jika sembuh
meninggalkan jaringan parut linear yang memancar dari sudut mulut.
2. Stigmata pada lesi lanjut
Kornea
Keratitis interstitsial dapat meninggalkan keruhan pada lapisan dalam
kornea.

Gambar 12.Keratitis interstisial


35

Sikatriks gumatosa
Gumma pada kulit meninggalkan sikatriks yang hipotrofi seperti kertas
perkamen. Pada palatum dan septum nasi meninggalkan perforasi.
Tulang
Osteoporosis gumatosa meninggalkan deformitas sebagai sabre tibia.
Nodus periosteal yang menyembuh sering memberi prominen yang abnormal dan
pelebaran regio frontalis yang disebut frontal bossing. Kalianan ini bersama
dengan saddle nose dan bulldog jaw disebut buldog facies.
Trias hutchinson
Trias hutchinson ialah sindrom yang terdiri dari keratitis intertisisal, gigi
hutchinson, dan ketulian nervus VIII.
Pemeriksaan untuk Diagnosa
1. Pemeriksaan Treponema pallidum

Pemeriksaan - mikroskop lapangan gelap melihat pergerakkan

Treponema
Pewarnaan Burri (tinta hitam) tidak adanya pergerakan Treponema,
- T. pallidum telah mati kuman berwarna jernih dikelilingi oleh

lapangan yang berwarna hitam.


2. Serologi Tes sifilis (STS)
STS penting u diagnosis dan pengamatan hasil pengobatan.
Prinsip pemeriksaan STS - mendeteksi bermacam antibodi yang
berlainan akibat infeksi T. pallidum
Klasifikasi STS
Tes Non Treponema
: kardiolipin, lesitin dan kolesterol
Tes Treponema : Treponema pallidum hidup / mati / fraksi

Treponema pallidum
Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan :
Sensitivitas : % individu yang terinfeksi yang memberi

hasil positif
Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi yang
memberikan hasil negatif .

Tes Non Treponema


36

Hasil STS non Treponema menjadi negatif (-) dalam 3 8 bln setelah

pengobatan adekuat.
Penilaian -`kualitatif & kuantitatif
Hasilnya menjadi positif (+) dalam 2 minggu I setelah ulkus durum positif
(+)

Titer pada berbagai stadium :

SI
S II
S III
S kardiovaskular
Neurosifilis

: Negatif / positif rendah sampai tinggi


: Positif tinggi
: Positif tinggi
: Dapat non reaktif
: Dapat non reaktif

Pengaruh pengobatan terhadap kuantitas STS antara lain :


SI

: Bila Therapi sudah mulai pd saat hasil STS non reaktif,


tetap non reaktif
: Bila Therapi mulai pd saat hasil STS reaktif non
reaktif setelah 1 tahun

S II

: Hasil STS akan (-) dalam waktu 2 tahun

Laten dini

: Hasil STS akan (-) dalam waktu 2 tahun

Laten lanjut

: 20 30 % kasus akan (-) dalam 5 tahun

Sifilis lanjut

: < 20 30 % kasus akan (-) dalam 5 tahun

False

: Bs (+) 1 2 % S II, disebut Prozone reaction

negative
False positive : (+) akibat salah teknik, ps penyakit Treponema lain
Tes Treponema
Tes Treponema digolong 4 kelompok, yaitu :
37

1. Tes Imobilisasi
Treponema Pallidum Immobilization (TPI)
Tes Treponema yang paling spesifik
Hasil positif pada Treponematosis
Kekurangannya
Rx lambat, baru (+) pd akhir stadium I,
Tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan,
Teknik sulit dan
Biayanya mahal
2. Tes imunofluoresensi
a. Fluorecent Treponemal Antibody Absorption Test (FTA-Abs)
Tes ini paling sensitif (90 %), bisa untuk mendeteksi Ig G
False (+) pada :
Keganasan
Anemia hemolitik
Lupus eritematosus
Sirosis hepatik
Rheumatoid arthritis
Kehamilan
Skleroderma
Infeksi virus, vaksinia
Drug induced LE
Orang normal
Pengobatan
Obat pilihan untuk Therapi sifilis adalah Penisilin

Tidak dianjurkan pemberian penisilin oral


Prinsip Therapi sifilis adalah kadar obat harus dapat bertahan dalam serum selama 10 14

sifilis dini & lanjut, 21 hari u neurosifilis dan sifilis kardiovaskular.


Kadar penisilin yg diperlukan cukup 0,03 unit/ml selama 10 14 hari
Cara & dosis pemberian penisilin dalam kepustakaan masih berbeda.

Dosis total yang dianjurkan :

SI
S II
S III

: 4,8 juta unit


: 6 juta unit
: 9 juta unit

Dosis yang dianjurkan oleh WHO (1982 yaitu :


Stadium dini (menular)

: dosis total 30 gram/15 hari


38

Stadium lanjut (tidak menular)

: dosis total 60 gram/30 hari

Sebelum Therapi diberikan, harus pemeriksaan STS


Pemeriksaan STS ini diulang kembali setelah Therapi selesai
Pemeriksaan STS pasca Therapi dilakukan secara cermat 1, 3, 6, & 12
bulan sampai 2 tahun setelah Therapi selesai
Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai hasil Therapi & kemungkinan
Therapi tidak adekuat atau adanya relaps penyakit.

39

F. Ulkus Mole
Definisi
Ulkus

mole

adalah

penyakit

infeksi

pada

alat

kelamin

yang

akut,

setempat,disebabkan oleh Streptobacillus ducrey (Haemophilus ducreyi) dengan gejala


klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri pada tempat inokulasi, dan sering
disertai pernanahan kelenjar getah bening regional.
Epidemiologi
Penyakit ini bersifat endemik dan tersebar di daerah topik dan subtropik, terutama
di kota dan pelabuhan. Selain penularan melalui hubungan seksual, secara kebetulan juga
dapat mengenai jari dokter atau perawat.
Frekuensi pada wanita dilaporkan lebih rendah, mungkin karena kesukaran membuat
diagnosis. Penyakit ini lebih banyak mengenai golongan kulit berwarna. Beberapa faktor
menunjukkan bahwa terdapat pembawa kuman (carier) basil Ducreyi, tanpa gejala klinis,
biasanya wanita tuna susila.
Etiologi
Basil H.ducreyi berbentuk batang pendek, ramping dengan ujung membulat, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora, Gram-negatif, anaerob fakultatif yang
membutuhkan hemin (faktor X) untuk pertumbuhan, mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan
mempunyai DNA berisi guanosine plus-cytosine fraksi 0,38 mole.
Basil sering kali berkelompok, berderet membentuk rantai, terutama dapat dilihat pada
biakan sehingga disebut juga Steptobacillus. Basil ini pada lesi terbuka di daerah genital
sukar ditemukan karena tertutup oleh infeksi sekunder, lebih mudah dicari bila bahan
pemeriksaan berupa nanah yang diambil dengan cara aspirasi abses kelenjar inguinal.
Kuman ini sukar dibiak.
Patogenesis dan Imunokimia
Belum diselidiki secara mendalam. Adanya trauma atau abrasi, penting untuk
organisme melakukan penetrasi epidermis. Jumlah inokulum untuk menimbulkan infeksi
tidak diketahui. Pada lesi, organisme terdapat dalam makrofag dan neutrofil atau bebas
berkelompok (mengumpul) dalam jaringan interstitial.
Pada manusia, beberapa galur H.ducreyi diketahui virulen, sedangkan yang lain
kelihatannya avirulen. Beberapa penyelidik menyatakan bahwa virulensi dapat hilang
dengan kulvitasi serial sehingga kuman kehilangan kemampuan untuk menimbulkan lesi
pada kulit. Organisme yang avirulen dilaporkan lebih rentan terhadap antimikroba
terutama polimiksin. Limfadenitis yang terjadi pada infeksi H.ducreyi diikuti dengan
40

respons inflamasi sehingga terjadi supurasi. Kemungkinan terdapat sifat-sifat H.ducreyi


yang tidak diketahui dan unik menimbulkan bubo supuratif. Respon imun yang
berhubungan dengan patogenesis dan kerentanan penyakit yang tidak diketahui. Antibodi
ditemukan dengan cara fiksasi komplemen, aglutinasi, presipitasi, dan tes fluoresens
antibodi indirek. Reaktivitas silang antara antisera yang dihasilkan terhadap antigen
H.ducreyi murni dan ekstrak antigen dari spesies Haemophilus lain telah ditemukan.
Gejala klinis
Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari 7 hari. Lesi
kebanyakan multipel, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang pada daerah
ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, kemudian menjadi vesiko-pustul
pada tempat inokulasi, cepat pecah menjadi ulkus.
Ulkus; kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak
rata, sering bergaung dan di kelilingi halo yang eritematosa dan mengalami ulserasi
dalam 24 jam. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan
granulasi yang mudah berdarah, ditutupi oleh eksudat abu-abu kuning berserat yang
pirulen dan limpodenopati, dan pada perabaan terasa nyeri, biasanya lebih nyeri pada
laki-laki daripada perempuan.
Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa preputium, sulkus
koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat juga timbul lesi di dalam uretra,
scrotum, perineum,atau anus. Pada wanita ialah labia, klitoris, Fourchette, vestivuli, anus,
dan serviks.
Jenis-Jenis Bentuk Klinis
1. Ulkus Mole Folikularis
Timbul pada folikel rambut, pada permukaannya menyerupai folikulitis yang
disebabkan oleh kokus, tetapi cepat menjadi ulkus. Lesi seperti ini dapat timbul
pada vulva dan pada daerah berambut di sekitar genitalia dan sangat superfisial.

2. Dwarf chancroid
Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi dasarnya tidak
teratur dan tepi berdarah.
41

3. Transient chancroid (Chancre mou valant)


Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3 minggu kemudian diikuti
timbulnya bubo yang meradang pada daerah inguinal. Gambaran ini menyerupai
limfogranuloma venerum.
4. Papular Chancroid (ulkus mole elevatum)
Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutama pada tepinya.
Gambarannya menyerupai kondilomata lata pada sifilis stadium II.
5. Giant Chancroid
Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan menutupi satu
daerah, sering mengikuti abses inguinal yang pecah, dan dapat meluas ke daerah
suprapubis bahkan daerah paha dengan cara autoinokulasi.
6. Phagedenic chancroid
Lesi kecil menjadi besar dan destruktif dengan jaringan nekrotik yang luas.
Genitalia eksterna dapat hancur, pada beberapa kasus disertai infeksi organisme
Vincent.
7. Tipe serpiginosa
Lesi membesar karena perluasan atau autoinokulasi dari lesi pertama ke daerah
lipat paha atau paha. Ulkus jarang menyembuh, dapat menetap berbulan-bulan
atau bertahun-tahun.
Bubo adalah Adenitas daerah inguinal timbul pada tengah kasus ulkus
mole.Sifatnya unilateral, eritematosa, membesar, dan nyeri.Timbul beberapa hari
sampai 2 minggu setelah lesi primer.lebih daripada setengah kasus adenitis
sembuh tanpa supurasi.
Komplikasi
1. Mixed chancre

42

Kalau disertai sfilis stadium 1.Mula-mula lesi khas ulkus mole, tetapi setelah 1520 hari menjadi manifes, terutama jika di obati dengan sulfonamide. 1Dapat
terjadipada bagian ataspenis dan kelenjar inguinal kanan.
2. Abses kelenjar inguinal
Bila tidak diobati dapat memecah menimbulkan sinus yang kemudian menjadi
ulkus. Ulkus kemudian membesar membentuk giant chancroid.
3. Fimosis parafimosis
Kalau lesi mengenai preputium.
4. Fistula uretra
Timbulnya karena ulkus pada glans penis yang bersifat dekstruktif. Dapat
mengakibatkan nyeri pada waktu buang air kecil dan pada keadaan lanjut dapat
menjadi stiktura uretra.
5. Infeksi campuran
Dapat disertai infeksi organisme Vincent sehingga ulkus makin parah dan bersifat
destruktif. Di samping itu juga dapat disertai penyakit limfogranuloma venereum
atau granuloma inguinale.
Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin yang lain.
Harus dipikirkan juga kemungkinan infeksi campuran.Pemeriksaan serelogik untuk
menyingkirkan sifilis juga harus dikerjakan. Sebagai penyokong diagnosis adalah:
1. Pemeriksaan sediaan hapus
Diambil bahan pemeriksaan (spesimen) dari tepi ulkus yang tergaung dengan
menggunakan apusan kapas, di buat hapusan pada gelas alas, Pemeriksaan langsung
ini

dapat

dilakukan

dengan

pewarnaan

gram,

giemsa

atau

mikroskop

elektron.Identifikasi yang cepat dapat dengan pewarnaan methylgreenpyronine


pappenheim dan Unna, juga dapat dilaksanakan dengan pewarnaan blue dan wright.
Namun pemeriksaan langsung tersebut dapat menyesatkan oleh karena banyaknya
43

flora polimikrobial ulkus genital.Hanya pada 30-50% kasus ditemukan basil


berkelompok atau berderet seperti rantai.
2. Biakan kuman
Bahan diambil dari pus bubo atau lesi kemudian ditanam pada perbenihan atau pelat
agar khusus( Chocolate Agar) yang ditambahkan darah kelinci yang sudah
didefibrinasi. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa perbenihan yang mengandung
serum darah penderita sendiri yang sudah diinaktifkan memberikan hasil yang
memuaskan.Inkubasi membutuhkan waktu 48 jam. Medium yang mengandung
gonococcal madium base, ditambah dengan hemoglobin 1%, iso-witalex 1 %, dan
vankomisin 3 mcg/ml akan mengurangi kontaminasi yang timbul. Pada biakan
nampak koloni kecil, non mukoid, abu-abu kuning, semi opak atau translusen dapat
digeser pada permukaan agar dalam keadaan utuh, nampak 2-4 hari, tetapi biasa 7
hari setelah inokulasi.
3. Teknik imunofluoresens untuk menemukan antibody.
4. Biopsi
Biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pada gambaran
histopatologik ditemukan:
a. Daerah superfisial pada dasar ulkus : neutrophil, fibrin, eritrosit, dan jaringan
nekrotik.
b. Daerah tengah : pembuluh-pembuluh darah kapiler baru dengan proliferasi selsel endotel sehingga lumen tersumbat dan menimbulkan thrombosis. Terjadi
perubahan degeneratif pada dinding pembuluh-pembuluh darah.
c. Daerah sebelah dalam : infiltrat padat terdiri atas sel-sel plasma dan sel-sel
limfoid.
5. Tes kulit ito-reenstierna
Sekarang

tidak

dipakai

lagi

karena

tidak

spesifik.

Vaksin

yang

dipakai

(Dmelcos)terdiri atas 225 juta kuman mati/ml. Disuntikkan intradermal 0,1 ml pada
lengan bawah bagian fleksor, sebagai control disuntikkan cairan pelarut intradermal
pada sisi lain. Tes dinilai positif kalau timbul infiltrate berdiameter minimal 0,5 cm
setelah 48 jam, sedangkan kontrol negatif. Tes ini menjadi positif 6-11 setelah hari
timbul ulkus mole, dan tetap positif sampai beberapa tahun bahkan seumur hidup.
6. Autoinokulasi

44

Bahan diambil dari lesi yang tersangka, diinokulasi pada kulit sehat daerah lengan
bawah atau paha penderita yang digores lebih dahulu. Pada tempat tersebut akan timbul
ulkus mole. Sekarang cara ini tidak dipakai lagi.
Diagnosis Banding
1. Herpes Genitalis
Pada herpes genitalis kelainan kulitnya ialah vesikel yang berkelompok dan jika
memecah menjadi erosi, jadi bukan ulkus seperti pada ulkus mole.Tanda-tanda radang
akut lebih mencolok pada ulkus mole. Kecuali itu pada ulkus mole, pada sediaan
hapus berupa bahan yang diambil dari dasar ulkus tidak ditemukan sel raksasa berinti
banyak.
2. Sifilis stadium I
Pada sifilis stadium I (ulkus durum), ulkus bersih, indolen, terdapat indurasi, dan
tanda-tanda radang akut tidak terdapat. Jika terjadi pembesaran kelenjar getah bening
regional juga tidak disertai tanda-tanda radang akut kecuali tumor, tanpa disertai
periadenitis dan perlunakan.
Pada ulkus mole, hasil pemeriksaan sediaan hapus dengan mikroskop lapangan gelap
sebanyak tiga kali berturut-turut negatif. T.S.S. yang diperiksa tiap minggu sampai satu
bulan, kemudian tiap bulan sampai tiga bulan , tetap negatif.
3. Limfogranuloma venerium (L.G.V)
Pada L.G.V. afek primer tidak spesifik dan cepat hilang.Terjadi pembesaran kelenjar
getah bening ingunal, perlunakannya tidak serentak. Titer tes ikatan komplemen untuk
L.G.V. kurang dari 1/16 dan tes ulangan untuk meninggi.
4. Granuloma inguinale
Yang khas pada penyakit ini ialah ulkus dengan granuloma. Pada sediaan jaringan
tidak tampak badan Donovan.1
Pengobatan
45

1. Sistemik
a. Sulfonamida
Misalnya sulfatiazol, sulfadiazine, atau sulfadimidin, diberikan dengan
dosis pertama 2-4 gram dilanjutkan dengan 1 gram tiap 4 jam sampai sembuh
sempurna (kurang lebih 10-14 hari). Tablet kotrimoksazol, ialah kombinasi
sulfametoksazol 400 mg dengan trimetroprim 80 mg, diberikan dengan dosis 2 x
2 tablet selama 10 hari.Bila pengobatan berhasil, perlu dilakukan drainase,
dorsmsisi pada preputium.Pada bubo yang mengalami supurasi dilakukan aspirasi
melalui kulit yang sehat. MEHEUS dkk.(1981) menyatakan bahwa pemberian
kontrikmosazol 2 x 4 tablet selama 2 hari, sangat efektif untuk ulkus mole.
b. Penisilin
Sedikit efektif, terutama diberikan kalau terdapat organisme Vincent.
c. Kanamisin
Disuntikkan 1.m. 2 x 500 mg selama 6-14 hari. Obat ini tidak mempunyai
efek terhadap T.pallidum.
d. Tetrasiklin dan oksitetrasiklin
Efektif kalau diberikan dengan dosis 4 x 500 mg/ hari selama 10-20 hari,
antibiotik golongan ini menutupi gejala-gejala sifilis stadium I. Di beberapa
negara

H.

ducreyi

sudah

resisten

terhadap

antibiotika

golongan

ini.

STAMPS(1974) mengobati 32 penderita ulkus mole dengan doksisiklin 300 mg


dosis tunggal dan hanya menemukan kegagalan pada 1 orang.
e. Kloramfenikol
Efektif terhadap H.ducreyi, tetapi karena mempunyai efek toksis tidak
digunakan lagi.
f. Eritromisin
Diberikan 4 x 500 mg sehari, selama seminggu.(KK).Eritromisin
diekskresi terutama melalui hati.Hanya 2-5% obat ini dieksresi dalam bentuk aktif
46

melalui urin.Efek samping yang berat akibat pemakaian eritromisin jarang


terjadi.Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentk demam, eosinofilia, dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan.
g. Kuinolon
Ofloksasin : cukup dosis tunggal 400 mg.
2. Lokal
Jangan diberikan antiseptik karena akan mengganggu pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap untuk kemungkinan diagnosis sifilis stadium I . Lesi dini yang kecil
dapat sembuh setelah diberi NaCl fisiologik.

47

G. Herpes Simpleks
Definisi
Herpes Genitalis merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus Herpes
Simplex (virus herpes hominis) terutama tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok atau erosi atau ulkus diatas kulit yang eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.

Gambar . Lokasi lesi herpes genital pada laki-laki dan perempuan


Epidemiologi
Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda, infeksi primer oleh Herpes simplex virus (HSV) tipe 1
biasanya dimulai pada usia anak-anak, akan tetapi infeksi HSV-1 genital semakin
meningkat dan HSV-1 genital didapatkan pada sebagian besar pasien dengan herpes
genitalis primer di beberapa negara. Sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade 2 dan 3 juga berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.
Etiologi
HSV I dan II merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA.
Pembagian tipe I dan II berdasarkan karateristik pertumbuhan pada media kultur,
antigenic marker, dan lokasi klinis (tempat predileksi).

48

Sebagian besar penyebab herpes genitalis adalah HSV-2 tetapi walaupun


demikian dapat juga disebabkan oleh HSV-1 (16,1%) akibat hubungan kelamin secara
orogenital atau penularan melalui tangan.
Patogenesis
Infeksi herpes genitaklus dimulai bila sel epitel saluran genital pejamu yang
rentan terpajan oleh virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang
terinfeksi. HSV segera menjadi inaktif pada keadaan suhu kamar dan suasana kering,s
ehingga tidak dapat ditularkan melali udara atau bahan-bahan lain. Virus juga dapat
menginfeksi kulit berkeratin namun harus melalui perlukaan mikro agar dapat mencapai
sel epitel di bawah lapisan keratin. Virus akan melekat pada sel epitel, kemudian masuk
dengan cara meleburkan diri dengan membran sel. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi
yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel. Pada waktu
bersamaan, virus memasuki ujung saraf sensporik yang mempersarafi saluran genital.
Virion kemudian ditransportasikan ke inti sel neuron di ganglia sensorik yaitu ganglia
dorsalis sakralis.
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode I infeksi
primer (inisial), episode I non infeksi primer, infeksi rekuren, herpes genitalis atipikal,
asimptomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali.
Gejala klinis
Infeksi VHS ini berlangsung dalam 3 tingkat.
1. Infeksi primer
2. Fase laten
3. Infeksi rekurens
1. Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di
daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Virus ini
juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe II
mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama daerah
genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Daerah ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti
oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang
49

disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut
dapat disebabkan oleh VHS tipe II.
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3
minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malese dan
anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakkan kelenjar getah bening
regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di
atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian
menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang sembuh tanpa
psikatriks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi
VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.
2. Fase laten
Fase laten ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis,
tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
3. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma
fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya),
trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat
jenis makanan dan minuman yang merangsang.
Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan
berlangsung kira-kira 7 sampai 10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal
lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat disekitarnya (non loco).
Pemeriksaan pembantu diagnosis
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak. Pada keadaan
tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi VHS. Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan
Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.
Diagnosis Banding

50

Herpes simpleks disekitar mulut dan hidung harus dibedakan dengan impetigo
vesiko bulosa. Pada daerah genitalia dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole dan
ulkus mukstum, maupun ulkus yang mendahului penyakit limfogranuloma venereum.
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal, artinya
tidak ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas. Pada lesi
yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung preparat
idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan
interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topikal
tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara kerjanya
mengganggu replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif.
Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil yang lebih baik,
penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih panjang. Dosisnya 5x200
mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan asiklovir terutama ditunjukkan
kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu
pula dengan preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat
glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara
parenteral.
Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan tujuan
meningkatkan imunitas selular, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe
I) dan lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol
dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala menurut beberapa penyelidik memberikan
hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian
vaksinasi cacar sekarang tidak dianut lagi.
Herpes Genitalis pada Kehamilan
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian serius,
karena plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan
atau kematian pada janin. Risiko untuk tranmisi ke neonatus dari ibu yang terinfeksi
adalah tinggi (30% hingga 50%) sedang pada perempuan yang mendapatkan herpes
genital saat mendekati kelahiran lebih rendah transmisi infeksi (<1%). Infeksi nanonatal
mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup menderita cacat neurologis
51

atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis,
mikrosefali, hidrosefali,koroidoretinitis, keratokonjungtivis atau hepatitis. Disamping itu
dapat juga timbul lesi pada kulit. Di Amerika Serikat, frekuensi herpes nenonatal adalah 1
per 7500 kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi trimester i cenderung terjadi abortus,
sedangkan bila pada trimester II terjadi prematuritas. Selain itu, dapat terjadi tranmisi
pada intrapartum atau pasca partum.
Prognosis
Selama pencegahan rekurens msih merupakan problem, hal tersebut secara
psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberi
prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens
lebih jarang.

52

H. Kondiloma Akuminatum
Definisi
Kondiloma akuminata merupakan salah satu penyakit menular seksual selain Gonore
(GO), Sifilis, Chlamydia, Herpes Genitalis, kutu kemaluan (pubic lice), Vaginitis. Penularan
penyakit menular seksual umumnya adalah melalui hubungan seksual, sedangkan cara lainnya
yaitu melalui transfusi darah, jarum suntik, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan lainlain. Di Amerika Serikat cenderung meningkat 4-5 kali lipat dalam dua dekade terakhir, insidensi
tertinggi pada wanita usia 20-30 tahun. Setiap tahun ada 500.000-1.000.000 kasus baru yang
ditemukan di Amerika Serikat. Laporan dari klinik penyakit menular seksual (PMS) di Inggris,
bahwa jumlah kasus baru meningkat dua kali lipat dalam dekade terakhir ini. Di negara
Hongkong penyakit ini menduduki peringkat kedua PMS, dan akhir-akhir ini insidensi penyakit
ini meningkat terus. Data rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki
peringkat ketiga diantara penyakit penular seksual, sesudah uretritis gonore dan non gonore.
Kondiloma akuminata juga dikenal sebagai kutil kelamin, kutil kemaluan, kutil genital
(kutil genitalia), genital warts, veruka akuminata, venereal wart dan jengger ayam.
Kondiloma akuminatum (KA) adalah penyakit vegetasi akibat hubungan seksual, yang
disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu, dengan lesi bertangkai dan
permukaannya berjonjot.
Epidemiologi
Penyakit ini termasuk penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Tersebar secara
kosmopolit dan akibat adanya transmisi melalui kontak langsung. Frekuensinya pada pria dan
wanita adalah sama.
Etiologi
Penyebab kondiloma akuminata adalah Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini adalah
virus DNA yang tergolong dalam keluarga virus Papova. Terdapat sekitar 70 tipe HPV, namun
tidak seluruhnya dapat menyebabkan kondiloma akuminata. Tipe yag pernah ditemukan pada
kondiloma akuminata adalah tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 41, 42, 44, 51, 52 dan 56.
53

Beberapa tipe HPV tertentu memiliki sifat onkologik yg tinggi, yaitu tipe 16 dan 18. Tipe
ini sering dijumpai pada kanker serviks. Sedangkan tipe 6 dan 11 lebih sering dijumpai pada
kondiloma akuminata & neoplasia intraepitelial serviks derajat ringan.

Patogenesis
HPV merupakan kelompok virus DNA double-strand. Infeksi HPV terjadi melalui
kontak langsung yaitu hubungan seksual. Faktor pencetus terjadinya kondiloma akuminata
adalah higiene buruk, fluor albus, kelembaban, banyak keringat dan pria yang tidak sirkumsisi.
Sel dari lapisan basal epidermis diinvasi oleh HPV. Hal ini berpenetrasi melalui kulit dan
menyebabkan mikro abrasi mukosa. Fase virus laten dimulai dengan tidak ada tanda atau gejala
dan dapat berakhir hingga bulan dan tahun. Mengikut fase laten, produksi DNA virus, kapsid dan
partikel dimulai. Sel host menjadi terinfeksi dan timbul atipikal morfologis koilocytosis dari
kondiloma akuminata. Area yang paling sering terkena adalah penis, vulva, vagina, serviks,
perineum dan perineal. Lesi mukosa yang tidak biasa adalah di oropharynx, larynx, dan trachea
telah dilaporkan. HPV-6 bahkan telah dilaporkan di area lain yang tidak biasa (ekstremitas). Lesi
simultan multiple juga sering dan melibatkan keadaan subklinis sebagaimana anatomi yang
berdifferensiasi dengan baik. Infeksi subklinis telah ditegakkan dalam membawa keadaan infeksi
dan potensi akan onkogenik.
Kondiloma akuminata dibagi dalam 3 bentuk:
1. Bentuk akuminata
Terutama dijumpai pada daerah lipatan dan lembab. Terlihat vegetasi bertangkai dengan
permukaan berjonjot seperti jari. Beberapa kutil dapat bersatu membentuk lesi yang lebih
besar sehingga tampak seperti kembang kol. Lesi yang besar ini sering dijumpai pada
wanita yang mengalami fluor albus dan pada wanita hamil, atau pada keadaan imunitas
terganggu.
2. Bentuk papul
Lesi bentuk papul biasanya didapati di daerah dengan keratinisasi sempurna, seperti
batang penis, vulva bagian lateral, daerah perianal dan perineum. Kelainan berupa papul
dengan permukaan yang halus dan licin, multipel dan tersebar secara diskret.
3. Bentuk datar
54

Secara klinis, lesi bentuk ini terlihat sebagai makula atau bahkan sama sekali tidak
tampak dengan mata telanjang, dan baru terlihat setelah dilakukan tes asam asetat. Dalam
hal ini penggunaan kolposkopi sangat menolong.

Gejala Klinis
a. Terdapat papul atau tumor (benjolan), dapat soliter (tunggal) atau multipel (banyak)
dengan permukaan yang verukous atau mirip jengger ayam.
b. Terkadang penderita mengeluh nyeri. Jika timbul infeksi sekunder berwarna
kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak sedap.
c. Umumnya di daerah lipatan yang lembab pada genitalia eksterna. Pada pria, misalnya
di: perineum dan sekitar anus, sulkus koronarius, gland penis, muara uretra eksterna,
prepusium, korpus dan pangkal penis. Pada wanita, misalnya di vulva dan sekitarnya,
introitus vagina, labia mayor, labia minor, terkadang pada porsio uteri.

Gambar 1: Pada wanita misalnya di vulva dan sekitarnya, introitus vagina, labia
mayor, labia minor, terkadang pada porsio uteri.

Gambar 2: Pada pria, misalnya di perineum dan sekitar anus, sulcus coronaries, gland
penis, muara uretra eksterna, preputium, corpus dan pangkal penis.

55

Gambaran Hisopatologi
Histopatologi lesi kondiloma akuminata:

Stratum korneum

: sedikit menebal dan terdiri dari sel-sel parakeratosis

Stratum malphigi : papilomatosis & akantosis disertai dengan penebalan dan


perpanjangan rete ridge

Gambaran paling khas untuk penegakan diagnosis adalah adanya daerah-daerah sel
epitelnya mengalami vakuolisasi jelas

Dermis : edematus dengan kapiler-kapiler melebar dan adanya infiltrat peradangan padat

Diagnosis
Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan:
1. Tes asam asetat
Bubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas pada lesi yang dicurigai. Dalam beberapa
menit lesi akan berubah warna menjadi putih (acetowhite). Perubahan warna pada lesi di
daerah perianal perlu waktu lebih lama (sekitar 15 menit).

2. Kolposkopi
Merupakan tindakan yang rutin dilakukan di bagian kebidanan. Pemeriksaan ini terutama
berguna untuk melihat lesi kondiloma akuminata subklinis, dan kadang-kadang dilakukan
bersama dengan tes asam asetat.
3. Histopatologi

56

Pada kondiloma akuminata yang eksofitik, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya akan
memperlihatkan gambaran papilomatosis, akantosis, rete ridges yang memanjang dan
menebal, parakeratosis dan vakuolisasi pada sitoplasma.

Diagnosis Banding

Veruka vulgaris : vegetasinya tidak bertangkai, kering dan berwarna keabu-abuan atau
berwarna kulit

Kondiloma latum : Lesi sifilis stadium II. Lesi berupa plakat erosif dan banyak kuman
Treponema pallidum

Karsinoma sel skuamosa : Lesi vegetasi menyerupai kembang kol, mudah berdarah dan
berbau.

Komplikasi

Infeksi sekunder

Degenerasi maligna

Pengobatan
1. Kemoterapi - sitostatika topikal
a. Tingtura podofilin 25 %.
Sebelum pengolesan dilakukan, oleskan salep vaselin atau pasta untuk melindungi kulit
daerah sekitar lesi agar tidak terjadi reaksi iritasi. Pengolesan tingtura podofilin 25 % pada
lesi vegetatif, biarkan 4 - 6 jam setelah itu dicuci bersih. Bila belum sembuh, pengolesan
diulang 3 hari kemudian. Setiap kali pengolesan tingtura podofilin 25 % jangan melebihi
0,3ml karena obat ini akan diserap dan bersifat toksik.
Gejala toksik akibat tingtura podofilin adalah mual, muntah, nyeri abdomen, gangguan
saluran pernafasan, berkeringat banyak disertai dengan kulit dingin, supresi sumsum tulang
disertai dengan trombositopenia dan leukopenia.
57

Pengobatan podofilin sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil karena dapat
menyebabkan kematian fetus atau anak lahir mati akibat adanya severe neuropathy
b. 5 fluorourasil (5 FU)
Konsentrasi 5 FU antara 1 5 % dalam bentuk krim. Obat ini teruatama untuk lesi di meatus
uretra. Terapi 1 kali sehari, setiap hari sampai lesi hilang. Setelah pengolesan 5 FU, pasien
dianjurkan tidak miksi selama 2 jam. Terapi ini tidak dianjurkan diberikan kepada wanita
hamil.
c.Asam triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsentrasi 50 %, dioleskan 1 kali seminggu. Terapi ini harus hatihati, karena dapat menimbulkan ulkus dalam. Dapat diberikan kepada wanita hamil.
2. Bedah listrik (elektrokauterisasi)
3. Bedah beku (Cryosurgery) dengan N2 dan N2O cair.
Terapi ini dapat diberikan pada lesi besar dan wanita hamil.
4. Bedah skalpel untuk mengeksisi lesi
5. Bedah laser

Laser karbondioksida

Kelebihan terapi laser adalah kesembuhan luka lebih cepat dan lebih sedikit jaringan
parut bila dibandingkan dengan elektrokauterisasi.

6. Interferon

Terapi interferon dilakukan suntikan yaitu i.m atau intralesi dan topikal yaitu dalam
bentuk krim

Dosis interferon alfa adalah 4 6 mU i.m.3 kali seminggu selama 6 minggu / 1 5 mU


i.m. selama 6 minggu

Dosis interferon beta adalah 2 x 106 unit i.m. selama 10 hari berturut-turut.

58

7. Imunoterapi

Untuk lesi luas dan resisten terhadap pengobatan, dapat diberikan terapi bersama dengan
imunostimulator.

Prognosis
Lesi ini sering mengalami residif, namun pada umumnya prognosisnya baik. Penyakit ini
dapat disembuhkan total, namun kadang kadang dapat kambuh setelah pengobatan karena
adanya infeksi ulang atau timbulnya penyakit yang masih laten. Mengingat virus ini juga
meningkatkan resiko terjadinya penyakit kanker serviks [kanker mulut rahim], maka jika
memang seseorang sudah positif terkena kondiloma akuminata sebaiknya dilakukan test pap
smear juga. Test ini juga dianjurkan bagi wanita paling tidak setiap 1 tahun setelah aktif secara
seksual.

59

I. Limfogranuloma Venerium
Definisi Limfogranuloma Venereum
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah infeksi menular seksual yang mengenai system
saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada daerah genital, inguinal, anus dan
rektum. LGV termasuk dalam subtipe penyakit ulkus pada genital dengan karakteristik dari
penyakit ini berupa papul atau ulkus self-limited diikuti nyeri limfadenopati inguinal dan/atau
femoral.
Limfogranuloma venereum (LGV) penyakit venerik yang disebabkan oleh Clamydia
trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang, bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal.
Sindrom tersebut berupa limfadenitis dan peridenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal
medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala konstitusi, dan kemudian mengalami
perluinakan yang tak serentak
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C. trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3.
Bentuk yang tersering adalah sindrom inguinal, sindrom tersebut berupa limfadenitis dan
periadenitis beberapa kelenjar getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut
dan disertai gejala konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang serentak.
Limfogranuloma venereum disebut juga limfopatia venereum atau limfogranuloma
inguinale yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan Favre pada tahun 1913, karena
itu juga disebut penyakit Durand-Nicholas-Favre.

Epidemiologi Limfogranuloma Venereum


Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan sub tropik. LGV endemik pada pada
beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Carribean. Secara
epidemiologis angka kejadian LGV sangat rendah pada negara-negara industri sejak pertengahan
tahun 1960. Sejak tahun 2003 terjadi wabah LGV pada beberapa kota di Eropa, terutama diantara
60

kaum laki-laki dengan HIV positif yang berhubungan seksual dengan sesama jenis (kaum
homoseksual). Sejak tahun 2003 hingga 2008, total sebanyak 849 kasus LGV terjadi di Negara
Inggris, mayoritas terjadi pada kaum homoseksual, dan hanya lima kasus yang terjadi pada kaum
heteroseksual. Rata-rata usia pasien yang terdiagnosis LGV adalah 37 tahun, berkisar antara 19
sampai 67 tahun dan sebagian besar dari mereka adalah etnis kulit putih (89%). Mayoritas pasien
memiliki coinfeksi HIV (75%) dan sebanyak 45% terdiagnosis dengan penyakit menular seksual
yang lain. Hampir seluruh kasus menunjukkan gejala proktitis sebanyak 90%.
Penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh
perbedaan patogenesis yang akan disebutkan kemudian.
Etiopatogenesis Limfogranuloma Venereum
Etiologi LGV adalah C.trachomatis sub tipe L1, L2 (L2a/L2b), dan L3. C.trachomatis
merupakan famili dari Chlamydiaceae, yang diklasifikasikan menjadi tiga, yakni C.trachomatis,
C.pneumoniae, dan C.psittaci. C.trachomatis dibagi menjadi 15 sub tipe berdasarkan gen Omp 1
yang mengkode MOMP (major outer membrane protein). Setiap sub tipe menyababkan penyakit
yang berbeda satu sama lain, sub tipe A-C menyebabkan penyakit trachoma atau kebutaan, sub
tipe D-K menyebabkan infeksi pada mukosa saluran genitalia dan mata, sedangkan sub tipe L
(L1, L2, dan L3) berproliferasi di jaringan limfoid yang menyebabkan penyakit LGV, sub tipe ini
lebih invasif dibanding sub tipe yang lain.
Chlamydia tidak dapat menembus kulit, tapi dapat masuk melalui laserasi atau abrasi pada kulit.
Proses patofisiologis melalui trombolimfangitis dan perilimfangitis dengan penyebaran proses
inflamasi dari limfe nodus yang terinfeksi ke jaringan sekitar. Limfangitis ditandai dengan
adanya proliferasi sel endotel pada pembuluh limfe dan saluran limfe di dalam limfe nodus.
Proses inflamasi berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Proses penyembuhan
melalui fibrosis, dimana struktur normal dari nodus limfe akan dirusak terjadi obstruksi
pembuluh limfe. Edema kronik dan fibrosis menyebabkan indurasi dan pembesaran daerah yang
terkena.Fibrosis juga mengganggu suplai darah ke kulit dan mukosa didaerah tersebut sehingga
terjadi ulkus.
LGV dapat mengenai satu atau dua limfe nodes, organisme menyebar secara hematogen.
Tapi penyebaran bergantung dari imunitas hospes.
61

Gejala Klinis Limfogranuloma Venereum


Gejala klinis LGV dibagi menjadi 3 stadium. Stadium primer terjadi pada tempat
inokulasi bakteri, stadium sekunder terjadi pada limfo nodi dan kadang pada anorektal, dan
stadium tersier merupakan manifestasi lanjut yang terjadi pada genital dan rektal.
1.

Stadium primer

Setelah masa inkubasi selama 3-30 hari, infeksi primer LGV memberikan gejala klinis berupa
erosi yang dangkal, vesikel, pustul, papul yang kecil atau ulkus yang tidak nyeri, muncul pada
tempat inokulasi bakteri (biasanya pada prepusium atau glans penis, uretra, vulva, vagina,
rektum, perineum, dan pada serviks). Lesi ekstra genital bisa terjadi pada kavum oris (tonsil) dan
ekstra genital limfo nodi. Lesi biasanya soliter dan cepat hilang tanpa meninggalkan jaringan
parut. Karena itu penderita biasanya tidak datang pada waktu timbul stadium primer.
LGV: Lymfogranuloma venereum (klik op foto voor vergroting)

Gambar . Ulkus pada Prepusium Penis


2.

Stadium sekunder

Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer. Stadium ini berlangsung sistemik
dan menyerang limfo nodi inguinal, anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis, vulva,
atau perianal, maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral. Limfadenopati ingunal
lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna. Sedangkan pada
wanita terjadi, jika lesi primernya terletak pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah
sebabnya limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada umumnya
lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam, yakni di vagina 2/3 atas dan serviks.
62

Jika lesi primernya pada tempat tersebut, maka yang mengalami peradangan adalah kelenjar
Gerota.
Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening inguinal medial, karena kelenjar
tersebut merupakan kelenjar regional bagi genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal adalah
beberapa dan dapat diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan tampak kelima tanda
radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula
periadenitis yang menyebabkan perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi
perlunakan yang tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacam-macam,
yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di tengah, dan dapat terjadi abses
dan fistel yang multipel. Terbentuknya abses di dalam limfo nodi yang meradang, disebut
Bubo, yang dapat ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo yang ruptur akan
mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo nodi yang tidak ruptur
akan membentuk massa yang mengalami indurasi dan akan menyembuh dalam satu bulan. Pada
stadium lanjut terjadi penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa iliaka yang disebut Bubo
bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke kelenjar femoralis.
Pada 2/3 kasus kelenjar yang diserang umumnya unilateral dan sangat nyeri. Jika tejadi
pembesaran kelenjar limfo nodi inguinal dan femoral secara bersamaan, keduanya akan
dipisahkan oleh ligamentum inguinale, sehingga tampak adenopati di atas dan di bawah
ligamentum inguinale. Keadaan ini disebut Groove Sign yang merupakan gambaran
patognomonik pada LGV (tampak pada 10-20% kasus).
Inokulasi ekstragenital menyebabkan limfadenopati di luar regio inguinal. Sebagai contoh,
adenopati servikal akibat LGV terjadi akibat inokulasi pada hubungan seksual secara oral.
Proktitis akibat LGV yang terjadi pada pria ataupun wanita yang melakukan hubungan
seksual secara anal, dan mungkin disebabkan oleh inokulasi secara langsung. Keterlibatan
anorektal lebih sering terjadi pada kaum homoseksual, yang memberikan gejala klinis berupa
proktitis hemoragik akut. Pada wanita dapat terjadi secara dua cara, pertama jika hubungan
seksual dilakukan secara genito-anal dan kedua jika lesi primer terjadi pada vagina 2/3 atas atau
serviks, sehingga terjadi penjalaran ke ke kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak
antara uterus dan rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan palpasi
63

secara bimanual. Proses selanjutnya hampir sama dengan sindrom inguinal, yakni limfadenitis
dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan hingga terbentuk abses. Kemudian abses akan pecah
sehingga menyebabkan gejala keluarnya pus pada waktu defekasi, kemudian terbentuk fistel.
Abses dan fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal. Kelainan tersebut umumnya mengenai
seluruh lingkaran rektum sepanjang 4-10 cm dan berlokasi 3-8 cm atau lebih di atas anus.
Keluhannya ialah obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan saat defekasi. Akibat lain adalah
tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari rektum. Pasien juga sering disertai gejala sistemik
berupa demam, menggigil, dan penurunan berat badan. Pada proktoskopi tampak proktitis
granular atau ulseratif, menyerupai kolitis ulseratif, yang terbatas pada 10 cm di bagian distal
kanal anorektal.(1) Gejala yang terjadi hampir sama dengan Inflammatory Bowel Disease dan
sering salah diagnosis dengan Crohn disease.
Pada stadium sekunder ini, gejala sistemik biasanya terjadi, seperti demam, menggigil,
berkeringat di malam hari, sakit kepala, malaise, dan mialgia. Leukositosis sedang biasanya
terjadi.
3.

Stadium tersier

Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan mengalami fibrosis sehingga
aliran limfe terbendung yang menyebabkan terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia.
Elefantiasis tersebut dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada
pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada wanita di labia dan klitoris,
yang disebut Sindrom Esthiomen dengan genitalia eksterna yang mengalami destruksi luas.
Jika meluas akan terbentuk elefantiasis genito-anorektalis yang disebut Sindrom Jersild.
Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel selanjutnya akan meluas
menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi yang
menyebabkan striktura rekti.
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi abses, lalu memecah dan
menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur hingga orifisium uretra eksternum berubah
bentuk seperti mulut ikan yang disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti
pedang turki.

64

Kelainan Lain pada Limfogranuloma Venereum


Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada manifestasi lanjut, dan
jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantema, berupa eritema nidosum dan eritema
multiformis. Fotosensitivitas dapat terjadipada 10-30% kasus pada bentuk dini dan 50% pada
bentuk lanjut.
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral disertai edema dan ulkus
pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan pembesaran kelenjar getah bening regional dan
demam. Sindrom tersebut disebut Sindrom Okuloglandular PARINAUD. Selain itu dapat pula
menimbulkan kelainan pada fundus, berupa pelebaran pembuluh darah yang berliku-liku dan
disertai edema periapilar.
Susunan saraf pusat dapat pula mengalami kelainan berupa meningoensefalitis. Kelainan lain
ialah hepatosplenomegali, peritonitis, dan uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus-ulkus
pada mukosa, dapat pula bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis.

Penegakan Diagnosis Limfogranuloma Venereum


Diagnosis LGV ditegakkan baik melalui gejala klinis ataupun melalui pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan penunjang berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding dan
membedakan sub tipe C.trachomatis pada LGV dengan sub tipe lain diluar LGV. Terdapat
beberapa macam pemeriksaan penunjang, diantaranya adalah :
1.

Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan LED meningkat. Peningkatan
ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi tidak khas untuk LGV, namun lebih berati untuk
menilai proses penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin, sedangkan albumin normal atau
menurun, sehingga perbandingan albimin-globulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang
meningkat adalah IgA dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama
dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.
65

2.

Tes Frei

Pada tahun 1930-1970, LGV didiagnosis melalui tes kulit dengan tes Frei, sebuah tes yang
menunjukkan hipersensitifitas tipe lambat untuk antigen Chlamydia, mirip dengan tes tuberkulin.
Tes ini tidak sesensitif seperti tes serologi, dan kadang menunjukkan hasil false positive karena
infeksi bakteri Chlamydia sub tipe D-K. Saat ini antigen untuk tes Frei sudah tidak tersedia lagi.
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari pus penderita LGV yang
mengalami abses yang belum pecah, kemudian dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan
pasteurisasi. Untuk mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat diperoleh
dari otak tikus yang telah ditulari.
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc disuntikkan intrakutan pada bagian
anterior lengan bawah dan dibaca setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau
lebih berati positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga memberikan
hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru memberi hasil positif setelah 5-8
minggu dan jika positif hanya berati sedang atau pernah menderita LGV.
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga menderita LGV, kemudian
disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif berati penderita yang diduga menderita LGV.
3.

Swab Speciment

Pada pasien yang diduga menderita LGV, spesimen yang diambil dapat berasal dari swab rektum
(pada proktitis) atau ulkus kemudian dilakukan tes laboratorium. Spesimen swab dari lesi rektum
yang divisualisasikan dengan anoskopi memberikan hasil mikorobiologi yang lebih baik
dibanding swab rektum saja (blind). Pada pasien yang menderita proktitis berat, harus
dipertimbangkan adanya HSV, terutama pada pasien dengan HIV positif, swab rektum untul
kultur HSV atau tes PCR harus dilakukan.
4.

Tes serologis

Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu tes ikatan komplemen
(Complement Fixation (CF)) dan tes microimmunofluorescence (micro-IF). Tes CF mengukur
adanya antibodi yang melawan antigen LPS spesifik dari bakteri. Tes ini spesifik untuk genus
Chlamydia, oleh karena itu tidak mampu membedakan antara infeksi C.trachomatis, C.psittaci,
66

dan C.pnuemoniae. Karena C.trachomatis lebih invasif, maka pada LGV titer antibodi dalam
serum lebih tinggi dibanding C.trachomatis sub tipe D-K. Berdasarkan CDC, kriteria diagnosis
tes serologis untuk pasien LGV dengan gejala klinis yang konsisten meliputi hasil positif tes
serologis untuk C.trachomatis dengan titer antibodi yang tinggi, yakni pada tes CF titer antibodi
1:64 dan pada tes micro-IF titer antibodi 1:256.
Tes micro-IF awalnya adalah tes untuk menentukan sub tipe dari spesies C.trachomatis,
kemudian berkembang untuk mengukur respon antibodi pada pasien yang terinfeksi
C.trachomatis. Tes micro-IF lebih bermanfaat dibandingkan tes CF, karena mampu mendeteksi
antibodi yang spesifik terhadap sub tipe C.trachomatis dan mampu mendeteksi kelas
imunoglobulin yang berbeda, serta lebih sensitif dibanding tes CF pada mayoritas pasien.
5.

Kultur dan Metode Molekuler

Kultur Chlamydia menunjukkan bukti langsung adanya infeksi C.trachomatis. C.trachomatis


dapat diidentifikasi dari cairan bubo yang diaspirasi atau pada bahan-bahan ulkus. Berbeda
dengan ulkus mole, bubo ulkus mole terdiri atas pus yang berjumlah banyak, bubo LGV terdiri
atas sejumlah kecil cairan seperti susu yang encer, sehingga harus dilakukan injeksi 2-5 ml saline
steril untuk mendapatkan sejumlah cairan dari aspirasi. C.trachomatis dapat diisolasi pada kultur
jaringan, menggunakan HeLa-229 atau sel McCoy, namun teknik ini jarang tersedia. Alternatif
lain C.trachomatis dapat diidentifikasi dengan fluorescent microscopy

secara langsung

menggunakan antibodi monoklonal konjugasi yang tersedia pada material bubo atau ulkus.
Secara komersial tersedia EIA (Enzyme Immunoassay), yang mampu mendeteksi antigen
Chlamydia (LPS), biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi uretra dan serviks akibat
C.trachomatis sub tipe D-K, namun tidak digunakan pada LGV.
DNA amplification assay (NAAT), seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) atau Ligase Chain
Reaction (LCR), mampu mendeteksi genom yang spesifik Chlamydia dan plasmid DNA,
sehingga merupakan tes yang paling sensitif untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia, namun
belum digunakan untuk mendiagnosis LGV.
6.

Pemeriksaan Khusus

Pasien dengan proktitis yang berat perlu dirujuk untuk mengevaluasi gastroenterologi, yakni
endoskopi bagian bawah. Temuan klinis LGV pada sigmoideskopi dan kolonoskopi diantaranya
67

adalah eksudat mukopurulen, eritema difus, mukosa rektal yang rapuh, ulkus yang khas, dan
massa yang mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan merupakan temuan spesifik pada LGV.

Diagnosis Banding Limfogranuloma Venereum


Diagnosis banding LGV sangat bervariasi tergantung pada stadiumnya.
a)

Stadium Primer

1.

Ulkus durum

Lesi primer yang khas pada LGV berbeda dengan ulkus pada sifilis primer (ulkus durum). Pada
ulkus durum, ulkus bersih, indolen, tidak terdapat tanda radang akut, lesi lebih besar, dengan
tepinya yang mengalami indurasi, dan biasanya muncul dengan ulkus yang multiple. Lesi pada
LGV dan ulkus sifilis primer biasanya tidak nyeri, dan dapat diikuti oleh adenopati unilateral
atau bilateral.
2.

Ulkus Mole

Ulkus pada ulkus mole sangat khas, yakni ulkus kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat
indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung, dan dikelilingi haloyang
eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi yang
mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.
Pada LGV lesi primer tidak spesifik dan cepat hilang. Terjadi pembesaran kelejar getah bening
inguinal, yang perlunakannya tidak serentak.
b)

Stadium Sekunder

1.

Skrofuloderma

Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah inguinal terdapat persamaan, yakni
keduanya terdapat limfadenitis pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak
akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan abses dan fistel yang
multipel. Kecuali itu, LED meningkat pada keduanya, sedangkan leukosit biasanya normal.

68

Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang akut, sedangkan pada
skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor. Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal
medial, sedangkan pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral.
2.

Limfadenitis piogenik

Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya dermatitis atau skabies pada genitalia
eksterna yang mengalami infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut juga terdapat, tetapi
perlunakannya serentak, sehingga tidak membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada
LGV. Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit.
3.

Limfadenitis karena ulkus mole

Ulkus mole kini jarang terdapat, jika menyebabkan limfadenitis, maka lesi primer masih tampak.
Kelima tanda radang juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak.
4.

Limfoma maligna

Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda radang, kecuali tumor, biasanya tidak
melunak. Pada gambaran darah tepi terdapat kelainan dan gambaran histopatologisnya meberi
kelainan yang khas.
5.

Hernia inguinalis

Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV dan sebaliknya. Pada hernia tandatanda radang tidak ada kecuali tumor, dan saat pasien mengejan tumor akan membesar.

Penatalaksanaan Limfogranuloma Venereum


Pengobatan LGV dengan antibiotik dilakukan selama 21 hari. Antibiotik yang
direkomendasikan adalah doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari selama 21 hari, atau eritromisin
oral 500 mg 4 kali sehari selama 21 hari, atau alternatif lain adalah azitromisin oral 1 gr 1 kali
(single dose ) selama 21 hari. Doksiksiklin adalah pengobatan lini pertama pada LGV, sedangkan
eritromisin adalah pengobatan lini kedua. Eritromisin diberikan pada wanita yang sedang hamil
69

dan menyusui, karena doksisiklin dikontraindikasikan untuk wanita hamil. Eritromisin efektif
untuk mengobati baik LGV maupun ulkus mole, namun penggunaan eritromisin yang lama tidak
direkomendasika untuk LGV. Pasien LGV yang juga menderita HIV positif mendapat
pengobatan dengan regimen yang sama dengan pasien LGV yang lain yang tidak terinfeksi HIV.
Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV menyembuh. Hal ini
mungkin berlangsung selama 3-6 minggu. Bubo yang fluktuatif harus diaspirasi karena tidak
akan pulih hanya dengan pengobatan antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau eksisi
pada bubo tidak akan membantu dan akan meperlambat proses penyembuhan. Komplikasi lanjut
LGV, seperti striktur pada rektum akan membaik dengan terapi antibiotik, namun tidak dapat
mengoreksi kerusakan akibat fibrosis. Fistula rekto-vagina, obstruksi usus, dan esthiomene
membutuhkan tindakan bedah dan pengobatan antibiotik.
Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, tetapi juga pada partner
hubungan seksual. Jika pasien telah didiagnosis LGV, maka partner hubungan seksual selama 30
hari terakhir juga harus dievaluasi, jika menunjukkan gejala klinis, maka harus diobati seperti
pasien yang telah didiagnosis LGV. Namun, jika partner hubungan seksual tidak menunjukkan
gejala atau asimtomatik, maka harus diobati dengan doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari selama
7 hari, atau dosis tunggal 1 gr azitromisin.

Komplikasi
Komplikasi dari LGV berupa stadium lanjut yang terdiri atas:

Sindrom anorektal

Sindrom anorektal merupakan manifestasi lanjut GV terutama pada wanita, karena penyebaran
langsung dari lesi primer di vagina ke kelenjar limfe perirectal.Gejala awal berupa perdarahan
anus yang diikuti duh anal yang purulent disertai febris, nyeri saat defekasi, sakit perut bawah,
konstipasi dan diare. Bila tidak diobati akan terjadi proktokolitis berat yang gejalanya
menyerupai colitis ulserosa, dengan tanda tanda fistel anal, abses perirectal dan fistel
rektovaginal atau rektovesikal. Gejala striktura rekti yang progresif sering ditandai dengan secret

70

dan perdarahan rectum, kolik dan obstipasi oleh karena obstruksi total (pada pria gejala proktitis
menunjukan kebiasaan melakukan hubungan seksual anogenital).

Sindrom genital (Eschiomene)

Sindrom genital berupa edem vulva yang terjadi sepanjang klitoris sampai anus (elephantiasis
labia) akibat peradangan kronis sehingga terjadi kerusakan kelenjar dan saluran limfe sehingga
timbul edem di daerah vulva.
Pada permukaan elephantiasis dapat terjadi tumor polipoid dan verukosa, dan karena tekanan
dari paha dapat menjadi pipih, disebut buchblatt condyloma.Dapat pula terjadi fistel kibat
ulserasi yang destruktif dan pecah ke vagina dan vesika urinaria.
Pada pria dapat terjadi proses yang sama tetapi jarang ditemukan. Klinisnya berupa elephantiasis
skrotum.Bila derajat kerusakan kelenjar dan pembuluh limfe berat atau luas, dapat terjadi
elephantiasis sati atau kedua tungkai.
Prognosis Limfogranuloma Venereum
Prognosis pasien dengan LGV adalah baik, jika infeksi dikenali secara tepat dan diterapi
secara cepat sebelum terbentuk inflamasi yang berat, seperti bubo dan pembentukan fistula.
Disamping terapi yang tepat, pasien dengan bubo juga harus di-follow up untuk melakukan
tindakan aspirasi. Secara umum, adanya jaringan parut yang terjadi akibat gejala klinis yang
lanjut, membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh.

71

J. Granuloma Inguinale
Definisi
Granuloma inguinale merupakan penyakit yang mengenai daerah genitalia, perianal, dan
inguinal dengan gambaran klinis berupa ulkus yang granulomatosa, progresif, tidak nyeri,
disebabkan oleh Calymmatobacterium granulomatis.
Epidemiologi
Granuloma inguinale termasuk salah satu ari lima penyakit kelamin klasik (bersama
dengan sifilis, gonorea, limfagranuloma venereum, dan ulkus mole). Saat ini granuloma
inguinale sudah sangat jarang ditemukan, termasuk daerah yang sebelumnya endemis, yaitu di
Papua New Guinea, Australia tengah, Brazilia, Karibia, dan beberapa bagian india.
Etiopatogenesis
Organisme penyebab granuloma inguinale, yaitu Calymmatobacterium granulomatis atau
disebut juga Klebsiella granulomatis, merupakan batang, tekadang kokobasil, Gram negatif.
Penularan melalui kontak seksual, namun sebagian pasangan seksual tidak terinfeksi.
Kemungkinan penularan terjadi melalui jalur non-seksual dikemukakan karena ditemukan
penyakit pada anak yang tidak aktif seksual, sera jarang timbul infeksi pada kelompok penjaja
seks di daerah endemis. Beberapa kasus dapat tertular melalui kontak antara fese dengan kulit
yang tidak utuh.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi sulit ditentukan, berkisar antara 2 minggu sampai 3 bilan, dapat pula
sampai 1 tahun. Umumnya tidak dijumpai demam atau gejala sistemik lain. Penyakit diawali
dengan nodus subkutan tunggal atau multipel, kemudian mengalami erosi, menimbulkan ulkus
berbatas tegas, berkembang lambat dan mudah berdarah.ulkus dapat dijumpai di daerah penis
(glans, preputium, batang penis, pertemuan penis-skrotum), vulva, labia mayora, serviks, mons
pubis, kadang-kadang perianal, jarang dapat dijumpai diluar genitalia.
Ulkus di daerah mukokutan yang progresif lambat dan dapat meluas. Ulkus tanpa rasa
nyeri, tunggal, kadang-kadang multipel. Tepi ulkus dapat meninggi, tidak teratur, batas tegas dan
72

berindurasi. Dasar ulkus yang masih dipenuhi oleh cairan cairan berwarna darah. Pada ulkus
yang sudah lama, dasar ulkus berupa jaringan granulasi, berwarna merah daging, mudah
berdarah, dengan cairan seropurulen yang berbau busuk, sedikit atau tidak ada eksudat purulen;
pus menandakan terjadi infeksi sekunder. Ulkus yang luas dapat menetap dan bertambah luas
selama beberapa tahun, menyerupai kanker.
Tidak terdapat limfadenopati. Kadang-kadang pembengkakan subkutan terlihat di daerah
inguinal membentuk massa yang disebut pseudobubo, akibat perluasan inflamasi subkutan.
Dapat terjadi penyebaran sistemik walaupun jarang, berupa lesi-lesi di hepar maupun tulang.
Terdapat empat varian klinis :

Ulsero granulomatosa atau nodular : jaringan granulasi merah dan hipertrofik yang

mudah berdarah
Hipertrofik: lesi-lesi eksofitik mempunyai veruka (verruciformis) dalam jumlah banyak
Nekrotik: ulkus dalam dengan destruksi jaringan yang luas
Sklerotik: terutama fibrosis, kadang-kadang disertai dengan striktura uretra

Pemeriksaan Penunjang
Apusan jaringan (tissue smear) yang diperoleh dari kerokan tepi jaringan ulkus dan
diwarnai dengan Giemsa, Wright, atau pewarnaan Leihsman. Identifikasi organisme secara
histologis dalam vakuol di dalam sitoplasma makrofag (badan Donovan). Organisme berbentuk
seperti peniti (safety pin)atau pegangan telpon

73

Kadang kadang diperlukan biopsi (biopsi plong) bila terdapat kasus dengan dugaan kuat
granuloma inguinale secara klinis. Namun sediaan jaringan secara brulang selalu negatif; atau
untuk menyingkirkan kemungkinan keganasan.
(A)

(B)

Gambar. (A). Safety pin appearance. (B). Donovan body

Diagnosis
Diagnosis di tegakan berdasarkan gambaran klinis dan menyingkirkan diagnosis banding
lainnya. Pada apusan jaroingan atau biopsi menunjukan gambaran badan donovan yang khas.
Diagnosis Banding
Pada tahap awal granuloma inguinale dapat didiagnosis banding dengan ulkus sifilis
primer, dan ulkus mole. Pada tahap lanjut, dapat didiagnosis banding dengan limfogranuloma
venereum.
Tata Laksana
Prinsi pengobatan:

Lama pengobatan antara 3 minggu sampai 3 bulan, hingga sembuh


Bila bersamaan dengan infeksi HIV, diperlukan waktu pengobatan yang lebih panjang

Pengobatan Spesifik berupa :

Doksisiklin 2 x 100 mg/hari, per oral


Azitromisisn 1 gram per oral setiap minggu
Eritromisin base 4x 500 mg/hari per oral

74

Komplikasi

Terjadi ulkus yang sangat besar


Destruksi dan dformitas genitalia
Jarang terjadi perubahan menjadi ganas

Prognosis
Pada kasus dini, prognosis baik untuk kesembuhan total. Pada kasus yang sudah lanjut
dapat terjadi destruksi jaringan yang memerlukan pembedahan radikal.

75

K. Human Immunodeficiency Virus (HIV dan Acquired immune deficiency


syndrome (AIDS)

DEFINISI
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang system kekebalan
tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akubat infeksi HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2005, jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sekitar 40,3 juta orang dan yang
terinfeksi HIV sebesar 4,9 juta orang. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000
pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sendiri diperkirakan
berjumlah sekitar 7,4 juta pada tahun 2005. Menurut catatan Departemen Kesehatan, pada tahun
2005 terdapat 4.186 kasus AIDS. dengan 305 di antaranya berasal dari Jawa Barat. Saat ini,
dilaporkan adanya pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien
meninggal karena AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di
setiap propinsi ditemukan adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS
Gol. umur
AIDS
<1
185
1-4
824
5-14
362
15-19
1441
20-29
15747
30-39
13116
40-49
4822
50-59
1469
>60
455
Tidak diketahui
7229
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 6 Agutstus 2011
ETIOLOGI
76

Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus diketemukan oleh Luc
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (national Institute of Health, USA 1984)
menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS.
Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil
pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO member nama resmi
HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS,
disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic. HIV-2 dianggap
kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut
sebagai HIV saja.
PATOGENESIS HIV

Gambar : pathogenesis virus hiv


HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke dalam
sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya, virus ini
hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya. Karena biasanya
yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun tubuh), maka sel
yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di permukaannya (CD4+ T
cell).
77

Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian
melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse transcription,
yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim reverse
transcriptase. Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang
menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan
DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses ini
dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang terintegrasi
ke dalam genom sel dinamakan provirus.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi
sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi secara
otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi diri dari
serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus seumur hidup
(a life long infection).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai vektor
untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV
yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi
oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai

afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut


menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat
dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus ( SIV ). SIV dapat
menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina.

78

GAMBAR: Penyebaran virus ke organ seluruh tubuh.


Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model
ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di
kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di deteksi dengan hibridisasi in situ
dalam 7- 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi . Puncak
jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan dengan puncak
antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian
menurun secara cepat dan di hubungkan sementara dengan pembentukan respon imun spesifik.
Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun
demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal
terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan steady-state beberapa bulan
setelah infeksi . Kondisi ini bertahan relatif stabil selam beberapa tahun, namun lamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga
perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan
heterogeneitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum
dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level steady state.
Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus,
namun ternyata tidak dapat mematikan virus.
79

PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi
HIV sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang juga
bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk. Setelah infeksi akut, di mulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang
yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-pogresor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh,
odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur,
herpes, dll.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhirnya
pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut
laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV.
Manifetasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur
folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat
dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang
cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan

80

replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bias
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular
dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia
dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntik , makin mudah terkena
pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk.
Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di
dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena seringkali mirip penyakit ringan
sehari-hari seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam 6
minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa letih,
sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di bawah telinga, ketiak dan
selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul
gejala.
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing penderita, mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan di daerah
kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut akan terjadi penurunan berat badan secara
cepat (> 10%), diare terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang hilang timbul
atau terus menerus.
Tanda-tanda seorang tertular HIV Sebenarnya tidak ada tanda-tanda khusus yang bisa
menandai apakah seseorang telah tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri
membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun hingga mencapai masa yang
disebut fullblown AIDS). Adanya HIV di dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan
gejala penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila seseorang terinfeksi HIV untuk
81

pertama kali dan kemudian memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes
pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV di dalam darah. Hal ini
disebabkan karena tubuh kita membutuhkan waktu sekitar 3 6 bulan untuk membentuk antibodi
yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut. Masa ini disebut window period (periode
jendela) . Dalam masa ini , bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di dalam
tubuhnya (walau pun belum bisa di deteksi melalui tes darah), ia sudah bisa menularkan HIV
melalui perilaku yang disebutkan di atas tadi.
Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang sudah sampai pada
tahapan AIDS adalah:
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa :

Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan)


Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher,
ketiak dan lipatan paha.

Perbedaan antara HIV dan AIDS, yaitu:


A. HIV adalah Human Immuno Deficiency Virus, suatu virus yang menyerang sel darah putih
manusia dan menyebabkan menurunnya kekebalan/ daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang
infeksi/penyakit.
B. AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu timbulnya sekumpulan gejala
penyakit yang terjadi karena kekebalan tubuh menurun,oleh karena adanya virus HIV di dalam
darah
Infeksi HIV/AIDS berbahaya, karena telah banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal
Gejala muncul setelah 2 - 10 tahun terinfeksi HIV.
Pada masa tanpa gejala sangat mungkin menularkan kepada orang lain.
Setiap orang dapat tertular HIV/AIDS.
82

Belum ada vaksin dan obat penyembuhnya.


Perjalanan Penyakit dan Gejala yang Timbul

Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum membentuk antibodi secara
sempurna, sehingga tes darah tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah

tertular HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa jendela
Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes darah sudah menunjukkan
adanya anti bodi HIV dalam darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak
timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita AIDS, atau dia tampak

sehat.
Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai penderita AIDS. Gejala AIDS
sudah timbul dan biasanya penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan
kemudian meninggal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes darah
Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes dapat
diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut. Umumnya,
orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara sukarela dan mereka
yang mengusulkan tes wajib. Gagasan wajib melakukan tes ditolak oleh sebagian besar negara
akibat biaya dan masalah logistik yang terkait.3 Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba
(75 persen warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen).
Karena HIV tidak ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang
diangkut udara) tetapi melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat
mahal, secara ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil. Di
negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran, sering kali tanpa persetujuan dari yang
bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba dalam
tempat pemulihan, dan wanita hamil.
Penolakan terhadap tes HIV berarti program harus mengembangkan strategi untuk
membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan bermanfaat
untuk mereka.
83

Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang
mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsure penting dalam mendorong
terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan narkoba atau
hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang memakai
narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIV-negatif, akan mendorong perubahan perilaku agar
meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang. Sebaliknya, ada yang
menganggap bahwa setiap orang yang menggunakan narkoba dengan jarum suntik dan
melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya, terlepas apakah mereka HIVpositif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan dan dapat meningkatkan
perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada melakukan tes secara massal, mereka
mengusulkan program pendidikan massal sebagai gantinya. Banyak negara di Asia melakukan
gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan surveilans sentinel.

Bagaimanakah tes HIV dipakai?


Umumnya tes HIV dipakai dalam dua cara: untuk surveilans masyarakat (surveilans
sentinel) dan untuk diagnosis perorangan. Surveilans masyarakat biasanya dilakukan dengan
melakukan tes intensif (skrining) terhadap kelompok kunci dalam masyarakat agar mengetahui
luasnya penyebaran infeksi HIV. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan skrining HIV pada
perempuan hamil atau pasien IMS, agar mengetahui berapa yang terinfeksi HIV pada waktu
tertentu: skrining ulangan di kemudian hari dapat menunjukkan cepatnya HIV menyebar dalam
masyarakat tertentu itu. Orang yang dites dengan cara ini tidak diberitahukan hasil tesnya dan
hasilnya juga anonim (tanpa nama).
Tes perorangan adalah untuk mereka yang merasa mungkin telah terpajan oleh HIV melalui
praktek penyuntikan, seks yang berisiko, atau dari transfusi darah. Tes seperti ini harus mencakup
konseling prates dan pascates (untuk informasi lebih lanjut lihat ini). Melakukan tes
memungkinkan orang untuk mengubah perilakunya sehingga mereka tidak menularkan virus itu
(jika hasil tesnya positif) atau, jika hasil tes mereka negatif, untuk meyakinkan mereka supaya
tidak tertular virus ini di masa mendatang. Tes juga bisa berarti bahwa orang mungkin
mendapatkan saran-saran berkaitan dengan kesehatan mereka, pengobatan untuk infeksi

84

oportunistik seperti TB, dan informasi tentang bagaimana mengurangi kemungkinan menularkan
virus pada bayinya yang belum lahir, saat melahirkan atau ketika menyusui.
PENCEGAHAN
- PENULARAN LEWAT SUNTIKAN
- Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan penyuntikan
atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka
Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau
pisau cukur) harus disterilisasi dengan benar
2. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian
dengan orang lain

- PENULARAN LEWAT HUBUNGAN SEKS


- Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang tidak
memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan penularan HIV)
Ada tiga cara:
1. Abstinensi (atau puasa, tidak melakukan hubungan seks)
2. Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada
pasangannya
3. Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan melakukan
seks aman termasuk menggunakan kondom
- PENULARAN LEWAT ASI

85

- Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada sendiri dan bayinya, sehingga keputusan
untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.
- PENULARAN DARI IBU KE BAYI
1. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi
2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif
3. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya.
4. pemberian dukugan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif berserta bayi dan
keluarganya.
Strategi yang digunakan untuk emncegah penularan disaat kehamilan, persalinan dan penyusuan
adalah.
1. penggunaan terapi ARV pada ibu dan bayi.
2. seksio sesaria sebelum terjadinya pecah selaput ketuban.
3. pemberian susu formula.
Pemberian terapi arv pada bayi yang lahir denga ibu HIV.
AZT 2X/hari sejak lahir hingga usia 4-6 minggu dosis 4 mg/kgBB/kali
PEMBERIAN ARV PROFILAKSIS PADA BAYI YANG LAHIR DARI IBU HIV

Status HIV dari wanita


hamil

Sudah didiagnosis HIV


sebelumnya dan sudah
mendapatkan terapi ARV

Tes HIV (+)

Tes HIV (-)

AZT + 3TC + NVP atau


TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Atau AZT + 3TC + EFV atau
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

86

ANTENATAL
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------PERSALINAN

Lanjutkan terapi ARV

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------POSTPARTUM

ASI eksklusif atau susu formula


Ibu:lanjutkan ARV
Bayi: AZT, 2x/hari, dari lahir
hingga usia 4-6 minggu (tidak
melihat cara pemberian makanan
pada bayi)

PENCEGAHAN AIDS PADA PETUGAS KESEHATAN

Jenis pajanan: Perlukaan kulit, pajanan pada selaput mukosa, pajanan melalui kulit yang

luka dan gigitan yang berdarah.


Bahan Pajanan: Darah, cairan bercampur darah yang kasat mata, cairan yang potensial
terinfeksi: semen, cairan vagina, cairan serebrospinal, c. sinovia, c. pleura, c peritoneal, c.
perickardial, c. amnion dan virus yang terkonsentrasi.

Prinsip penanganan: Jangan Panik! tapi selesaikan dalam <4 jam.

SEGERA
luka tusuk: bilas dengan air mengalir dan sabun atau antiseptik.
pajanan mukosa mulut: ludahkan dan kumur.
pajanan mukosa mata: irigasi dengan air atau garam fisiologis.
pajanan mukosa hidung: hembuskan keluar dan bersihkan dengan air.
Jangan dihisap dengan mulut, jangan ditekan.
desinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengan salah satu: (1) betadine (povidone
iodine 2,5%) selama 5 menit atau (2) alkohol 70% selama 3 menit. chlorhexidine
cetrimide bekerja melawan HIV tetapi tidak HBV

LAPORKAN
catat dan laporkan kepada: (1) panitia PIN, (2) panitia K3, (3) atasan langsung, agar
secepat mungkin diberi PPP (profilaksis pasca pajanan).
87

perlakukan sebagai keadaan darurat, dimana obat PPP harus diberikan sesegera mungkin

(dalam 1-2 jam).


PPP setelah 72 jam tidak efektif.
tetap berikan PPP bila pajanan risiko tinggi meski maksimal hingga satu minggu

setelahnya.
pantau sesuai denga protokol pengobatan ART.
hitung sel darah, LFT, kepatuhan dan beri dukungan.
Pertimbangan profilaksis didasarkan pada derajat pajanan, status infeksi dari sumber
pajanan dan ketersediaan obat PPP.

Alur PPP pada pajanan


1. Menentukan kategori pajanan (KP)

88

Kategori Pajanan (KP) HIV


2. Menentukan Kategori / status HIV sumber pajanan (KS-HIV)

Kategori Status (KS) HIV Sumber Pajanan


3. Menentukan Pengobatan Profilaksis Pasca Pajanan

89

PENGOBATAN PROFILAKSIS PASCA PAJANAN


CATAT

Tanggal dan jam kejadian (pajanan)


Uraian kejadian lebih rinci
Sumber pajanan bila diketahui
Pengobatan PPP secara rinci bila mendapatkannya
Tindak lanjut
Hasil pengobatam
Simpan semua data pajanan

Informasi kepada orang yang terpajan

risiko transmisi HIV setelah terpajan darah adalah 0,3% jika sumber pasien adalah HIV

positif
risiko transmisi sesuai dengan jenis kecelakaan.
PPP tergantung pada kegawatan pajanan dan status HIV dari sumber pasien.
PPP tidak 100% efektif.
Minum ARV
efek samping ARV
hindari hubungan seks yang tidak terlindungi sampai konfirmasi setelah 3 bulan.
90

Ingat!

HIV dan virus-virus lebih cenderung ditularkan melalui hubungan seksual atau transfusi

darah yang terkontaminasi


kemungkinan tertular sebagai akibat pajanan pada kecelakaan kerja lebih kecil.

Follow up
Amati tanda-tanda yang menunjukkan serokonversi HIV 50-70% dalam kurun waktu 3 sampai 6
minggu:

demam akut
limfadenopati yang tersebar
erupsi kulit
faringitis
gejala flu non spesifik
ulkus mulut atau area genital

Tindakan yang paling berisiko

pengambilan darah, penutupan kembali jarum suntik.


memasukkan dan menangani cairan IV
operasi
menangani darah atau cairan tubuh yang terinfeksi di laboratorium.
membersihkan, menangani dan menghancurkan sampah dan alat medis yang
terkontaminasi

PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL
Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak dipraktikkan
sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obat-obat ini biasanya
adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti inhibitor reverse
transcriptase dan protease.

91

Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan. Obat yang
merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun 1987. Setelah itu
dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir. Sampai saat ini Food
and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan penggunaan sekitar 20 jenis obatobatan.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya karena
pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten
terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini,
yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian, cara ini juga
masih belum efektif.
LINI PERTAMA
No. Nama generic
1.
Zidovudin
(NRTIs)

2.

3.

4.

Formulasi Data farmakokinetik Dosis menurut umur.


Tablet:
Semua umur
< 4 minggu: 4 mg/kg/dosis,
300mg

Lamivudin

Tablet:

Semua umur

(NRTIs)

150 mg

Kombinasi

Tablet:

Remaja dan dewasa

tetap

300

Zinovudin

(AZT)

plus

plus 150

Lamivudin
Nevirapin

mg (3TC)
Tablet:
Semua umur

(NNRTIs)

200 mg

mg

2x/hari (profilaksis)
minggu 13 tahun: 180

240 mg/m2/dosis, 2x/hari


dosis maksimal: >13 tahun,

300 mg/dosis, 2x/hari.


< 30 hari< 2 mg/kg/dosis,

2x/hari (profilaksis)
> 30 hari atau <60kg: 4

mg/kg/dosis. 2x/hari.
Dosis
maksimal:

150

mg/dosis, 2x/hari.
Dosis maksimal: < 13 tahun atau >
60 kg: 1 tablet/dosis, 2x/hari (tidak
untuk berat badan 30 kg)

< 8 tahun: 200 mg/m2

Dua minggu pertama 1x/hari.


Selanjutnya 2x/hari.
92

> 8 tahun: 120-150 mg/m2,

Dua minggu pertama, 1x/hari


5.

Efavirenz

600mg

(NNRTIs)

Selanjutnya 2x/hari.

Hanya untuk anak


10-15
kg:
>3 tahun dan berat

>10 kg

Stavudin, d4T 30 mg

Semua umur

(NRTIs)

7.

Abacavir

300 mg

Umur > 3 bulan

200

mg

1x/sehari.
15 - <20 kg: 250 mg
1x/sehari.
20 - <25 kg: 300 mg
1x/hari
25 - <33 kg: 350 mg
1x/hari
33 - <40 kg: 400 mg
1x/hari
Dosis maksimal: > 40 kg:
600 mg 1x/hari
< 30 kg: 1 mg/kg/dosis,
2x/hari
30 kg atau lebih : 30

mg/dosis, 2x/hari
< 16 tahun atau < 37.5 kg:

8 mg/kg.dosis, 2x/hari
Dosis maksimal: >16 tahun

(NRTIs)

atau > 37.5 kg


8.

Tenofovir

Tablet:

300 mg/dosis, 2x/hari


Diberikan setiap 24 jam. Interaksi

disoproxil

300 mg

obat

fumarat
9.

(NRTIs)
Tenofovir

dengan

ddl,

tidak

lagi

dipadukan dengan ddl.


+ tablet 200

emtricitabin

mg/

300

mg

LINI KEDUA
No. Nama generic

Formulasi

Data

Dosis
93

farmakokin
1.

Lopinavir/

etik
Tablet tahan suhu 6 bulan

ritonavir (PI)

panas, 200 mg

jam untuk pasien naf baik

Lopinavir + 50

dengan

mg ritonavir

400 mg/100 mg setiap 12


atau

tanpa

kombinasi EFV atau NVP.


600 mg/ 150 mg setiap 12
jam

bila

dikombinasi

dengan EFV atau NVP


untum pasien yag pernah

2.

Tenofovir

mendapat terapi ARV


2 minggu- 6 bulan: 16

mg/4 mg/kg BB, 2x/hari


6 bulan 18 bulan: 10

mg/lgBB/dosis lopinavir
Diberikan setiap 24 jam interaksi

Tablet: 300 mg

disoproxil

obat

dengan

ddl,

fumarat

dipadukan dengan ddl.

tidak

lagi

(NRTIs)

REGIMEN ARV KOMBINASI UNTUK ANAK-ANAK


Singkatan

FDC Stavudinr (D4T)

Lamivudine(3TC)

Nevirapine

(NVP)

menurut WHO
Dosis/tablet (mg)
Paediatric FDC 12 12

Dosis/tablet (mg)
60

Dosis/tablet (mg)
-

dual
Paediatric FDC 12 12

60

100

tripel

DOSIS KOMBINASI TERAPI ARV UNTUK ANAK

BB

REGIMEN d4T 3TC NVP


Pengobatan
inisial Dosis
hari ke 1-14

setelah

REGIMEN d4T 3TC EFV


rumatan D4T 3TC
EFV
2

minggu

pengobatan inisial
94

Tab

Tab dual Tab tripel Tab tripel Tabl dual Tab dual Kapsul

tripel am

pm

am

pm

am

pm

efavirens
pm

68.9 kg
9-12 kg
12-13.9

0.5
1
1

0.5
0.5
1

0.5
1
1

0.5
0.5
1

1
1

0.5
1

200 mg
200 mg

kg
14-16.9

1.5

1.5

1.5

200

mg

kg

plus

50

17-19,9

mg
200

mg

kg

plu

50

20-24.9

mg
200

mg

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

1.5

kg

plus 2x50

25-29.9

mg
200

kg

mg

plus 3x50
mg

REGIMEN KOMBINASI UNTUK DEWASA


2NRTI + 1NNRTI atau

AZT + 3TC +EFV


AZT + 3TC + NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

Tidak dianjurkan regiman berbasis Protease Inhibitor (PI)


REKOMENDASI WAKTU MEMULAI ARV
Target pasien
Asimtomatik
Simtomatik

Klinis
WHO stadium 1
WHO stadium 2

Rekomendasi
CD4 < 350
CD4 < 350
95

TB dan Hepatitis B

WHO stadium 3 atau 4


TB aktif

CD4 berapa pun


CD4 berapa pun diberikan
secepatnya setelah OAT 2

Ibu hamil

bulan
CD4 berapa pun

WHO stadium apa pun

Pemilihan obat yang berdasarkan pada kondisi pasien diantaranya adalah.


1. Kombinasi awal yang digunakan bagi pasien HIV dengan hasil lab normal adalah
AZT+3TC (Duviral) + NVP (Neviral).
2. Bila pasien tersebut sedang dalam pengobatab TB maka yang digunakan adalah EFV.
Setelah selesai pengobatan TB maka yang digunakan adalah EFV. Setelah selsai
pengobatan TB, EFV diganti dengan NVP.
3. Bila pasien tersebut memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan adalah TDF=3TC.
Jika TDF belum tersedia, d4T_3TC selama 6-12 bulan kemudian regimen diganti
menjadi AZT+3TC atau TDF+3TC.
4. Lopanavir/ritonavir digunakan sebagai lini kedua.

REGIMEN LINI PERTAMA YANG DIREKOMENDASIKAN PADA DEWASA YANG


BELUM PERNAH TERAPI ARV (treatment naive)
Populasi target

Pilihan

Dewasa remaja

direkomendasikan
AZT atau TDF + 3TC atau Piliha regimen yang sesuai

Perempuan hamil

yang Catatan

FTC + EFV atau NVP

untuk mayoritas odha

AZT+ 3TC _ EFV atau NVP

gunakan FDC
Tidak boleh menggunakan
EFV pada trimester pertaa
TDF bisa merupakan pilihan
Pada perempuan HIV yang
pernah

menjalani

regimen

PMTCT, lihat rekomendasi


Koinfeksi

dibagian lain
AZT atau TDF + 3TC atau Mulailah terapi ARV secepat
FTC + EFV

mungkin (dalam 8 minggu


96

pertama) setelah mulai terapi


TB
Gunakan MVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
Koinfeksi HIV/HBV

digunakan.
TDF + 3TC atau FTC + EFV Pertimbangkan
atau NVP

screening

HBsAg sebelum mulai terapi


ARV
diperlukan

penggunaan

terapi ARV yang memiliki


aktivitas anti- HBV

REKOMENDASI WAKTU MEMULAI ARV PADA ANAK


Jangka waktu
<24 bulan
>24 bulan

Stadium klinis
Status imunologis
Semua diobati
Stadium 4 (setelah stabilisasi
IO)
Stadium 3 (setelah stabilisai
(OI)
Stadium 2
Stadium 1

Yang diobati adalah CD4


kurang dari ambang batas
menurut umur, bila tidak ada
pemeriksaan CD4 tidak usah
diobati.

Selain itu regimen lini pertama yang digunakan pada bayi dan anak adalah sebagai berilut;
Bayi:
1. pada bayi yang belum terpapar terapi ARV, mulai terapi dengan NVP + 2 NRTI
2. Pada bayi sudah terpapar NVP atau NNTRI lain pada saat dikandungan atau pada saat
bayi untuk pengobatan ibu atau PMTCT, mulai ARV dengan LPV/r + 2NRTI.
3. Untuk bayi yang terpapar terhadap terapi ARV tidak diketahui mulai dengan NVP +
2NRTI.
97

Anak :
1. untuk anak yang berumur antara 12-24 bulan yang susah terpapar NVP atau NNRTI lain
pada saat di kandungan atau pada saat bayi untuk pengobatan ibu atau PMCTC.
2. Untuk anak berumur antara 12-24 bulan yang belu terpapar NNRTI, mulai terapi ARV
dengan NVP + 2 NRTI.
3. Untuk anak yang berumur lebih 24 bulan dan kurang 3 tahun mulai terapi ARV dengan
NVP + 2 NRTI.
4. Untuk anak yang berusia 3 tahun atau lebih, mulai terapi ARV dengan regimen NVP atau
EFV + 2 NRTI.
5. Untuk bayi dan anak dasar nukleosida untuk regimen art harus satu diantara berikut ini
(tersusun menurut pilihan yang disarankan) 3TC + AZT atau 3TC + ABC atau 3TC +
d4T.

TERAPI RETROVIRAL UNTUK POPULASI KHUSUS


-

ARV PADA WANITA HAMIL

Terapi arv dimulai pada semua perempuan hamil dengan hiv. Regimen yang digunakan adalah
sama dengan regimen terapi antiretroviral dewasa lainnya, yaitu:
AZT + 3TC + EFV
AZT _ 3TC _ NVP
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Efavirenz sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama

ARV PADA KOINFEKSI HIV/HBV

Semua individu dengan koinfeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBVnya
(kepatitis kronik aktif0 terlepas dari jumlah CD4 atau stadium klinis WHO harus memulai terapi
ARV. Regimen terapi yang mengandungi aktivitas terhadap HBV, yaitu TDF + 3TC atau FTC

98

digunakan untuk peningkatan respoon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang
resistensi obat.

ARV PADA KOINFEKSI HCV

Terapi infeksi hep C pada koinfeksi dengan HIV tidak berbeda dengan monoinfeksi hep C, yaitu
menggunakan kombinasi pegylated interferon alpha dan ribaviri (rbv). Hanya saja pemberian
obat ini harganya masih cukup mahal. Terapi untuk hepatitis C ini sebaiknya diberikan pada saat
CD4+ sudah tinggi, lebih dari 350 sel/mm3 untuk mendapatkan respon pengobatan yang lebih
baik.
Regimen ART pada keadaan koinfeksi HIV/HCV seperti biasa, dengan perhatian khusus pada
interaksi antara obat ARV dan ribaviri atau interferon sebagai berikut.
1. Ribaviri dan AZT
Kombinasi obat ini dapat menyebabkan anemia sehingga dalam penggunaan keduanya
perlu pengawasan ketat.
2. Interferon dan EFV
Kombinasi kedua obat ini dapat menyebabkan depresi berat sehingga dalam
penggunaannya perlu pengawasan ketat.
-

ARV UNTUK KOINFEKSI HIV/TUBERKULOSIS

Semua ODHA dengan tbc aktif merupakan indikasi memulai terapi ARV berapapun jumlah CD4.
Terapi tb dooberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan terapi ARV sesegera setelahnya
(dalam delapan minggu pertama). EFV merupakan NNRTI pilihan pada pasien yang akan
memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.
Lini
Lini
pertama

Regimen
2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP

Pilihan
Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV
Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau

Lini
kedua

2 NRTI + PI

Lanjutkan dengan 2NNRTI + NVP


Ganti kea tau lanjutkan (bila sudah mulai )regimen
yang berisi LPV/r dengan dosis ganda.
99

GAGAL TERAPI ARV

Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria yaitu criteria klinis, imunologis dan
virologist. Viral load yang menetap di atas 5000 kopi/ml mengkonfirmasi gagal terapi. Bila
pemeriksaan VL tidak tersedia, untuk menentukan gagal terap menggunakan criteria imunologis
untuk memastikan gagal klinis.

KRITERIA GAGAL TERAPI


Kegagalan
Gagal klinis

Komentar
Kondisi stadium 4 WHO baru atau Kondisi harus dibedakan dari
berulang

SPI
Kondisi WHO stadium 3
tertentu (TB paru, infeksi
bacteria

berat)

dapat

merupakan tanda kegagalan


Imunologis

pengobatan.
Penurunan CD4 kembali seperti awal Tanpa infeksi penyerta lain
sebelum pengobatan (atau lebih rendah) yang
atau

menyebabkan

penurunan CD4 sementara.

Penurunan sebesar 50% dari nilai tertinggi


CD4

yang

pernah

dicapai

ketika

pengobatan atau
Virologis

Jumlah CD4 tetap < 100 sel/m3


Viral load plasma > 5000 kopi/ml

Ambang batas viral load


optimal
mendefinisikan

untuk
kegagalan

virologist belum ditentukan


VL>5000

kopi/ml

berhubungan

dengan

perkembangan

klinis

dan
100

penurunan CD4

Alur pemindahan lini pertama ke lini kedua


Dicurigai kegagalan klinis atau
imunologis
Pemeriksaan viral load
VL > 5000 kopi/ml

Penatalaksanaan kepatuhan

Pemeriksaan ulang VL

VL <5000 kopi/ml

VL <5000 kopi/ml

Jangan pindah ke
lini kedua

Pindah ke lini
kedua

REGIMEN TERAPI ARV LINI KEDUA

Rekomendasi regimen lini kedua adalah 2NRTI + boosted- PI (Bpi). Regimen lini kedua
direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah dalah TDF/AZT + 3TC +
lopinavir/ritonavir (LPV/RTV). Apabila padalini pertama menggunakan d4T atau AZT maka
gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini
pertama menggunakan TDF makan gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini
kedua.
101

Panduan penggunaan regimen lini-2

Berbasis AZT/d4T
Berbasis TDF

Regimen lini 1
Regimen lini 2
AZT/d4T + 3TC + NVP/EFV TDF +3TC/FTC + LPV/r
TDF
+
3TC/FTV
+ AZT + 3TC + LPV/r

Hepatitis B

NVP/EFV
TDF
+

3TC/FTC

NVP/EFV

+ AZT + TDF + 3TC/FTC +


LPV/r

MONITORING PASIEN

Pasien yang belum memenuhi syarat terapi antiretroviral


Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV perlu dimonitor perjalanan klinis penyakit
dan jumlah CD4 nya setiap 6 bulan seklai. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada
evaluasi awal termausk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis
perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat
perkembangan stadium klinis WHO pada setiap kunjungan dan menentukan apakah pasien mulai
memenuhi syarta untuk terapi profilaksis kotrimoksasol atau terapi ARV. Evaluasi klinis dan
jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekato ambang dan syarta memulai
terapi ARV.
Pasien dalam terapi ARV
Monitoring klinis.
Frekuensi monitoring klinis tergantung dari respons dari terapi ARV. Monitoring klinis
perlu dilakukan pada minggu 2,3,8,12,24 minggu sejak memulai terapi ARV.
Setiap kunjungan dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping obat atau
gagal terapi dan frekunsi ( infeksi bacterial, kandidiansis dan atau infeksi oportunistik lainya)
ditambah konseling untuk membantu pasien memahami terapi ARV dan dukungan
kepatuhannya.
Rekomendasi pemeriksaan laboratoriun untuk memonitor pasien dalam terapi ARV.
Tahap terapi ARV

Tes yang direkomendasikan

Tes yang dianjurkan


102

Pada saat diagnosis HIV


Sebelum memulai ARV
Pada saat memulai ARV

CD4
CD4
CD4

HbsAG
Hb untuk AZT, keratinin
klirens untuk TDF, SGPT

Pada saat menjalani ARV

untuk NVP
Hb untuk AZT, keratinin

CD4

klirens untuk TDF, SGPT


untuk NVP
Viral load

Pada saat kegagalan klinis


CD4
Pada
saat
kegagalan Viral load
imunologis
Wanita
yang

menjalani Viral load enam

bulan

PMTCT dengan NVP dosis setelah memulai terapi ARV


tunggal

dengan

lanjutan

dalam 12 bulan

Monitoring lain
Monitoring jumlah CD4+ secara rutin setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi
klinis. Angka limfosit total (TLC = total lymphocyte count) tidak direkomendasikan untuk
digunakan memonitor terapi karena perubahan nilai TLC tidak dapat digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi.
Enam bulan sejak memulai terapi ARV merupakan masa yang kritis dan penting.
Diharapkan dalam masa tersebut akan terjadi perkembangan klinis dan imonologi kea rah yang
lebih baik, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi dan atau terjadi toksisitas obat. Selain itu bisa
juga terjadi suatu sindrom pulih imun dimana pasien sepertinya mengalami perburukan klinis
yang sebetulnya merupakan suatu keadaan pemulihan respon imunitas (yang kadang sampai
menimbulkan gejala peradangan/inflamasi berlebihan)

EFEK SAMPING TERAPI ARV


Obat
Zidovudin

Efek samping
Supressi sum sum tulang

Substitusi
Jika digunakan pada terapi lini pertama,
103

Anemia

makrositi

atau TDF (atau d4T jika tidka ada pilihan

neutropenia

lain)

Intoleransi gastrointertinal, sakit Jika digunakan pada terapi lini kedua,


kepala, insomnia, asthenia

d4T

Pigmentasi kulit dan kuku


Asidosis laktat dengan steatosis
Stavudin

hepatic
Pancreatitis,

neuropati

perifer, AZT dan TDF

asidosis laktat denga steatosis


Lamivudin

hepatitis (jarang), lipotrofi


Toksisitas renda

Asidosis laktat dengan steatoses


Abacavir

hepatitis (jarang)
Reaksi hipersensitivitas

(dapat AZT atau TDF

fatal),
Demam, ruam kelelahan, mul
muntah, tidak napsu makan
Gangguan

pernapasan

(sakit

tenggorok, batuk)
Asidosis laktat dengan steatosis
Tenofovir

hepatitis (jarang)
Asthenia, sakit kepala, diare, mual Jika digunakan pada lini pertama AZR
muntah,

sering

insufisiensi

buang

ginjal,

angin, (atau d4t jika tiada pilihan)

sindroma Jika digunakan pada lini kedua,

fanconi

Secara

pendekatan

kesehatan

Osteomalasia

masyarakat, makan tidak ada pilihan lain

Penurunan densittas tulang

jika pasien telah gagal

Hepatitis eksaserbasi akut berat AZT/d4t pada terapi lini pertama,


pada pasein HIV dengan koinfeksi Jika

kemungkinan

dipertimbangkan

Hepatitis B yang menghentikan merujik ke tingkat perawatan yang lebih


TDF
Emtricitabine Ditoleransi dengan baik
Nevarapin
Reaksi hipersensitivitas
Sindroma steven-johnson

tinggi dimana terapi individual tersedia.


EFV
Bpi jika tidak toleransi terhadap kedua
104

Ruam

NNRTI

Toksisitas hepar

Tiga NNRTI jika tidak ada pilihan lain.

Hyperlipidemia
Hiperlipidemia
Jika digunakan pada lini kedua.
Intoleransi gastrointertinal, mual, Jika digunakna pada lini kedua.

Ritonavir
Lopinavir

pancreatitis,

hiperglikemial,

pemindahan

lemak

dan

abnormalitas lipid
Reaksi hipersensitivitas sindroma NVP

Efavirenz

steven-johnson

Bpi jika tidak toleran terhadap kedia

Ruam

NRTI

Toksisitas hepar

Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain.

Toksisitas sisterm saraf pusat


yang berat dan persisten (depresi
dan pusing)
Hiperlipidemia
Ginekomastia (pada laki-laki)
Kemungkinan
(pada

efek teratogenik

kehamilan

trimester

pertama atau wanita yang tidak


mengganggu

kontrasepsi

yang

adekuat)

TERAPI GEN

Pendekatan lain yang dilakukan adalah terapi gen. Artinya, pengobatan dilakukan dengan
mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa berupa antisense
dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut atau ribozyme yang
berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA target.
Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi menjadi RNA
bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense ini akan
105

berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA sehingga tidak
menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil diproduksi,
otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan antisense,
ribozyme juga menghalangi produksi
suatu protein tapi dengan cara menguraikan mRNA-nya Pendekatan yang dilakukan dengan
fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun
yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan
timbulnya respons imun di dalam tubuh. Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan
sistem pengiriman gen yang efisien yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan
akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu, sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan
(gen asing) dan tidak mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu
sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu sendiri penjadi pilihan utama. HIV sebagai vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen asing ini
diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari Dana-Farber
Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV sebagai vektor untuk
terapi gen berkembang pesat. Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja
sama dengan Julianna Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi
HIV di dalam sel dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial
untuk

replikasi

HIV).

Sementara

itu,

beberapa

grup

juga

berhasil

menghambat

perkembangbiakan HIV dengan menggunakan ribozyme.


Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari hasil
percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vector yang bisa mengekspresikan
gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti otak, retina, hati, dan
otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi vektor HIV untuk terapi gen
bisa diharapkan.
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang berfungsi
menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan ribozyme, tapi
siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga lebih mudah
digunakan.
106

Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA) berhasil
menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap protein
CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan sebagai sistem
pengiriman gen. Semoga metode ini dapat segera digunakan untuk pengobatan AIDS di seluruh
dunia.

PENATALAKSANAAN STADIUM LANJUT

Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak komplikasi
dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa penderita.
Zidovudin (ZDV)
Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan penyakit yang
berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan syaraf pusat (SSP).
Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan
berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000mg, dalam 4-5 kali pemberian.
Pengobatan infeksi oportunistik Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga
memerlukan perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok
pendukung lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi
maka jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi
bersamaan. Keadaan ini memerlukan pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang
demikian maka sebaiknya penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim.

PERAWATAN FASE TERMINAL

Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat disembuhkan.
Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum
datangnya kematian.

107

Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan hanyalah
bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari rasa mual,
sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.
Tabel beberapa jenis infeksi oportunistik dan keganasan serta obat-obatannya.
Infeksi oportunistik dan keganasan
Pneumocystis carinii (PCP)

Obat yang dipakai


Trimethoprim+sulfamethoksasol+dapson

Toxoplasma gondii

Pyrimetamin+sulfadiazine

Candidiasis

Flukonazol atau Amphotericine B IV

Cryptococcus Neoformans

Amphotericine B IV

Histoplasmosis

Amphotericine B

Coccidioidomycosis

Amphotericine B

Mycobacterium tuberculosis

Triple drug sekurangnya 9 bulan. Bila


dengan double drug (tanpa isoniazid atau
rifampisin) pengobatan harus diberikan
minimal 18 bulan.

Herpes virus

Aksiklovir

Cytomegalo virus

Ganciclovir, Foscarnet

Cryptoccocc sporidiosis

Somastitatin analogues

Isosporiasis

Trimethoprim+Sulfamethoksazol.

Multifocl leukoenselopati progresif

Aksiklovir, Sitarabin

Kanker oportunistik:

Sitostatik sistemik/lokal, radio terapi

Kaposi

Sitostatik dalam regimen CHOP

Limfoma Non Hodgkin

108

109

DAFTAR PUSTAKA

1. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
2. M. Leng see. Penanganan pajanan hiv bagi petugas kesehatan. Kesehatan kedokteran. 2
disember 2010. Available at: http://mlengsee.wordpress.com/2010/12/02/penangananpajanan-hiv-bagi-petugas-kesehatan/.
3. Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
4. HIV
Discussion.
HIVwebstudy.

Available

at:

http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html.
5. Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and Aids. 2009 Current
Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal. 1176-1205.
6. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N and others. Hiv. Scribd. Available at:
http://www.scribd.com/doc/40951928/Hiv.
7. Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti Kuspuji,
editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000.
Hal162-163
8. Lan, Virginia

M.

Human

Immunodeficiency

Virus

(HIV)

and

Acquired

Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi: Konsep


Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG 2006. Hal . 224.
9. Sularsito,Sri Adi & Djuanda Suria. Dalam : Djuanda Adhi,editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam. Dermatitis. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan ; 2010. Hal. 138-147.
10. Garcia AL, Madkan VK, Tyring SK. Gonorrheae and Other Venereal Disease. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al, eds. Fitzpatricks Dermatology In General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill. 2008: 1993-2000.
11. Daili FS, Indriatmi W, dkk. Editor. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
Seksual. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2011.
12. Daill SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi keempat. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.
13. Schwebke, JR. Vaginitis . In :Zenilman JM, Shahmanesh M, editors. Sexually
Transmitted Disease: Diagnosis, Management and Treatment. United State of
America:LLC;201
110

14. Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar ilmu
penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: 2006. Hal 545-6

111

Anda mungkin juga menyukai