Anda di halaman 1dari 16

KONSEP PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Tujuan Pembelajaran Psikologi Pendidikan


Proses belajar-mengajar merupakan suatu fenomena yang kompleks. Segala
sesuatunya berarti, setiap kata, pikiran, tindakan, presentasi, rancangan
pembelajaran, dan sampai sejauh mana kita berusaha mengubah lingkungan,
sejauh itu pula proses belajar berlangsung. Proses ini menuntut peran aktif dari
pendidik, di mana keyakinan pendidik mengenai potensi dan kemampuan semua
peserta didik untuk belajar dan berprestasi merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental pendidik akan berdampak besar
terhadap iklim belajar dan pemikiran peserta didik yang diciptakan pendidik.
Pendidik harus mampu memahami bahwa perasaan dan sikap peserta didik akan
terlihat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya.
Proses pendidikan merupakan totalitas kebersamaan antara pendidik dan
peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, mendidik harus
dilandasi dengan unsur tanggung jawab moril, pertimbangan rasional, dan upaya
penuh kearifan. Unsur-unsur tersebut akan membantu pendidik dalam
mentransformasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, membimbing, melatih,
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, yang kesemuanya itu
harus disesuaikan dengan kondisi psikologis peserta didik (Suryabrata, 2004).
Oleh karena inilah, psikologi pendidikan hadir dalam upaya untuk: (1) membantu
pendidik memahami perilaku peserta didik dan berinteraksi secara tepat dengan
peserta didik; (2) membantu pendidik menghadirkan suasana belajar yang
kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik; (3) merumuskan tujuan
pembelajaran secara tepat memilih strategi/metode pembelajaran yang sesuai; (4)
memberikan bimbingan, memfasilitasi dan memotivasi belajar siswa; (5) menilai
hasil pembelajaran yang adil; serta (6) meningkatkan mutu pembelajaran yang
sesuai dengan kompetensi kurikulum (Slameto, 2003).

B. Psikologi Pendidikan
1. Definisi Psikologi Pendidikan

Mustaqim, dkk. (2010): psikologi pendidikan adalah adalah studi ilmiah yang
mempelajari tingkah laku manusia dan perubahannya sebagai proses dari
pendidikan.

Suryabrata (2004): psikologi pendidikan sebagai pengetahuan psikologi


mengenai anak didik dalam situasi pendidikan.

Elliot, dkk. (1999): psikologi pendidikan merupakan penerapan teori-teori


psikologi untuk mempelajari perkembangan, belajar, motivasi, pengajaran
dan permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan atas berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi

pendidikan ialah ilmu yang mempelajari penerapan teori-teori psikologi dalam


bidang pendidikan yang membahas berbagai tingkah laku yang muncul dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.
2. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan
Pada dasarnya psikologi pendidikan mempelajari seluruh tingkah laku
manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Manusia yang terlibat dalam
proses pendidikan ini ialah pendidik dan peserta didik, maka objek yang dibahas
dalam psikologi pendidikan adalah tingkah laku peserta didik yang berkaitan
dengan proses belajar dan tingkah laku pendidik yang berkaitan dengan proses
pembelajaran. Adapun objek utama yang dibahas dalam psikologi pendidikan
adalah masalah belajar dan pembelajaran.
Psikologi Pendidikan sebagai ilmu memberikan sumbangan terhadap
pendidikan secara teoritis maupun praktis. Adapun sumbangan psikologi
pendidikan secara teoritis (Mustaqim, dkk., 2010) yakni: (a) pemahaman
mengenai setiap tingkat perkembangan berbeda karakteristiknya membuat guru
akan menyesuaikan diri; (b) pemahaman aktivitas belajar di ruang kelas; (c)
pemahaman mengenai perbedaan individual; (d) pemahaman tentang metodemetode mengajar yang efektif; (e) Pemahaman penyebab timbulnya problem anak
didik; (f) pemahaman kesehatan mental membantu guru memberi solusi guna
2

mengatasi penyebab timbulnya mental tidak sehat; (g) penyusunan kurikulum


hendaknya menggunakan prinsip-prinsip psikologi (materi yang harus diberikan
akan berbeda begitu pula teknik pengajarannya); (h) Pengukuran tentang hasil
belajar; (i) riset; (j) bimbingan untuk anak-anak luar biasa; serta (k) pemahaman
tentang dinamika kelompok.
Disamping sumbangan-sumbangan tersebut di atas, psikologi pendidikan
memberikan sumbangan terhadap praktik pendidikan (Mustaqim, dkk., 2010)
antara lain: (a) problem disiplin diatasi dengan pendekatan yang manusiawi agar
siswa yang bermasalah berkesempatan untuk berdialog dengan guru; (b)
pengembangan alat audio visual sebagai alat untuk mempermudah proses
pembelajaran; (c) penyusunan jadwal pelajaran dengan mempertimbangkan
tingkat kesukarannya, baik urutannya maupun waktunya; (d) administrasi sekolah
dan kelas harus bekerjasama dengan baik agar masalah administrasi dapat diatasi
dengan terbuka melalui diskusi.

3. Aktivitas Belajar
a. Definisi belajar

Slameto (2003): belajar merupakan suatu proses perubahan


yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Santrock

&

Yussen

(Elliot,

dkk.,

1999):

belajar

ialah

perubahan yang relatif bersifat permanen karena adanya


pengalaman.

Reber (Syah, 2001): belajar sebagai proses memperoleh


pengetahuan dan perubahan kemampuan bereaksi yang
relatif bertahan lama sebagai hasil latihan yang diperkuat.

Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa


belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan
pengalaman

dalam

wujud

perubahan

tingkah

laku

dan

kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap


karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Slameto

(2003)

memaparkan

bahwa

terdapat

faktor-faktor

yang

mempengaruhi belajar yaitu (1) faktor intern yang meliputi: faktor jasmaniah
(faktor kesehatan dan cacat tubuh) dan faktor psikologis (intelegensi, perhatian,
minat, bakat, motif, kematangan, dan kelelahan); serta (2) faktor ekstern yang
meliputi faktor keluarga (cara orangtua mendidik, relasi antar anggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga,

pengertian orangtua, dan

latarbelakang kebudayaan), faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi


guru dengan siswa, relasi antar siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu
sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah),
dan faktor masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul, bentuk
kehidupan dalam masyarakat, dan media massa).
Syah (2001) menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi belajar
termasuk faktor pendekatan belajar yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi
strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari
materi-materi pelajaran. Biggs (Slameto, 2003) menjelaskan bahwa terdapat 3
bentuk dasar pendekatan belajar siswa, yaitu :
1)

Pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah) yaitu kecenderungan


belajar siswa karena adanya dorongan dari luar (ekstrinsik), misalnya belajar
karena takut tidak lulus ujian sehingga dimarahi orangtua, sehingga gaya
belajar santai, dan tidak mementingkan pemahaman yang mendalam.

2)

Pendekatan deep (mendalam) yaitu kecenderungan belajar siswa karena


adanya dorongan dari dalam (intrinsik), misalnya belajar karena memang
tertarik dan membutuhkan materi, sehingga gaya belajar serius, berusaha
memahami materi, dan memikirkan cara penerapannya dalam kehidupan.
4

3)

Pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi) yaitu kecenderungan


belajar siswa karena dorongan untuk mewujudkan ego enhancement (ambisi
pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi harga dirinya dengan cara
meraih prestasi setinggi-tingginya. Gaya belajar lebih serius daripada siswa
yang menggunakan pendekatan belajar lainnya, terdapat keterampilan belajar
yang baik (kemampuan tinggi dalam mengatur ruang kerja), membagi dan
menggunakan waktu secara efisien, berketrampilan tinggi dalam penelaahan
silabus, sangat disiplin, rapi, sistematis, memiliki perencanaan ke depan
(plans ahead), dan memiliki dorongan berkompetisi tinggi secara positif.

c. Hasil belajar
Proses belajar akan menghasilkan sejumlah perubahan pada kemampuan
peserta didik. Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam belajar menurut
Slameto (2003) adalah:
1)

Perubahan terjadi secara sadar: seseorang yang belajar akan menyadari


terjadinya perubahan dalam dirinya, misalnya menyadari pengetahuannya
bertambah.

2)

Perubahan bersifat kontinu dan fungsional: perubahan yang terjadi dalam


diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan dan tidak statis.

3)

Perubahan bersifat positif dan aktif: perubahan senantiasa bertambah dan


tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.

4)

Perubahan bukan bersifat sementara: perubahan yang terjadi karena


belajar bersifat menetap atau permanen bahkan akan makin berkembang jika
dilatih.

5)

Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah: perubahan tingkah laku


terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai.

6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku: perubahan yang diperoleh


seseorang setelah melalui proses belajar meliputi perubahan keseluruhan
tingkah laku (sikap, ketrampilan, pengetahuan, dan sebagainya).
Gagne mengelompokkan hasil-hasil belajar (Djaali, 2009) sebagai berikut:

1)

Keterampilan intelektual: kemampuan seseorang untuk berinteraksi


dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol huruf, angka, kata atau

2)

gambar.
Informasi verbal: seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu
fakta atau suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara

3)

menggambar.
Strategi kognitif: kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya

sendiri, mengingat dan berfikir.


4)
Keterampilan motorik: seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur
dalam urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah otomatisme
yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar dan luwes.
5)
Sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan
pilihan-pilihan dalam bertindak.
Benyamin S. Bloom (Djaali, 2009) mengemukakan bahwa hasil belajar akan
meliputi perubahan pada tiga domain belajar yaitu:
1) Cognitive domain (kawasan kognitif): kawasan yang berkaitan dengan aspekaspek intelektual atau secara logis yang dapat diukur dengan pikiran atau nalar.
Kawasan

ini

tediri

dari:

pengetahuan

(knowledge),

pemahaman

(comprehension)penerapan (aplication), penguraian (analysis), memadukan


(synthesis), dan penilaian (evaluation).
2) Affective domain (kawasan afektif): kawasan yang berkaitan dengan aspekaspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan
sebagainya. Kawasan ini terdiri dari: penerimaan (receiving/attending),
sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization),
dan karakterisasi (characterization).
3) Psychomotor domain (kawasan psikomotorik): kawasan yang berkaitan dengan
aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot
(neuromuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari: kesiapan
(set), meniru (imitation), membiasakan (habitual), dan adaptasi (adaption).

C. Teori dalam Psikologi Pendidikan (Teori Belajar)


Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan polapola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi
prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim
disebut dengan Teori Belajar. Berikut ini akan dipaparkan
beberapa pendekatan dalam teori belajar:
1. Teori Behaviorisme
Behaviorisme didasarkan pada pengaruh lingkungan terhadap perubahan
perilaku dalam pembelajaran melalui pemberian rangsangan (stimulus) dan
pembiasaan (reinforcement) yang akan menghasilkan perubahan perilaku
(respons). Implikasinya terhadap pendidikan (Baharudin & Wahyuni, 2008)
sebagai berikut: (a) Perlakuan terhadap individu didasarkan kepada tugas yang
harus dilakukan sesuai dengan tingkat tahapan dan dalam pelaksanaannya harus
ada ganjaran dan kedisiplinan; (b) Motivasi belajar berasal dari luar (external) dan
harus terus menerus dilakukan agar motivasi tetap terjaga; (c) Metode belajar
dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan disiplin ilmu tertentu; (d) Tujuan
kurikuler berpusat pada pengetahuan dan keterampilan akademis serta tingkah
laku sosial; (e) Pengelolaan kelas berpusat pada guru dengan interaksi sosial
sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan merupakan tujuan utama
yang hendak dicapai; (f) Untuk mengefektifkan belajar maka dilakukan dengan
cara menyusun program secara rinci dan bertingkat sesuai serta mengutamakan
penguasaan bahan atau keterampilan; (g) Peserta didik cenderung pasif; (h)
Kegiatan peserta didik diarahkan pada pemahiran keterampilan melalui
pembiasaan setahap demi setahap demi setahap secara rinci.
Perkembangan teori behaviorisme menghasilkan sejumlah teori (Sukardjo &
Komaruddin, 2009; Djaali, 2009) diantaranya:
a.

Classical Conditioning dari Ivan Petrovich Pavlov


Pembentukan perilaku terdiri atas:

Law of Respondent Conditioning

(pengkondisian perilaku yang intens dengan pemberian stimulus yang mencetus

terjadinya perilaku refleks) dan Law of Respondent Extinction (pengkondisian


perilaku yang intens tanpa pemberian stimulus akan menghilangkan perilaku
refleks).
LAW OF RESPONDENT CONDITIONING
STIMULUS INTENS

TANPA
STIMULUS INTENS

PERILAKU REFLEKS

PERILAKU

PERILAKU

MENGHILANGNYA
PERILAKU REFLEKS

LAW OF RESPONDENT EXTINCTION

b.

Operant Conditioning dari B.F. Skinner


Pembentukan perilaku terdiri atas: Law of operant conditioning (timbulnya

perilaku diiringi dengan stimulus penguat (reward), maka kekuatan perilaku


tersebut akan meningkat) dan Law of operant extinction (perilaku yang diperkuat
melalui proses

operant conditioning

tidak

didukung

stimulus

penguat

(punishment), maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun atau hilang).


LAW OF OPERANT CONDITIONING

c.

REWARD

PERILAKU

PERILAKU MENINGKAT

PUNISHMENT

PERILAKU

PERILAKU MENURUN

Social Learning
dariOPERANT
Albert Bandura
LAW OF
EXTINCTION
Pembentukan perilaku individu dilakukan melalui pengkondisian proses

interaksi, mengamati, mempelajari, meniru perilaku (imitation), dan menyajikan


contoh perilaku (modelling) individu lain dalam lingkungan sosial. Melalui
pemberian reward dan punishment, individu akan berfikir dan memutuskan
perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

INDIVID
U
PERILAKU

LINGKUNGA
N

REWARD ATAU
PUNISHMENT

IMITASI &
MODELING

d.

Connectionism ( S-R Bond) dari Edward Lee Thorndike


Pembentukan perilaku individu dilakukan melalui: Law of Readiness (jika

respon terhadap stimulus didukung kesiapan untuk bertindak, maka reaksi akan
memuaskan); Law of Exercise (semakin sering hubungan stimulus-respon di
praktikkan (trial and error) dan disertai dengan reward, semakin kuat pula
hubungan itu (diingat dan dipelajari sebaik mungkin)); serta Law of Effect
(hubungan antara stimulus dan respons yang memuaskan (cocok dengan tuntutan
situasi) akan membuat hubungan menjadi kuat (diingat dan dipelajari sebaik
mungkin), begitupula sebaliknya).

S
TIM U LU
STIMULU
S
S

HUBUNGAN
STIMULUS &
RESPON

R ES PO N
RESPON

KE
SIA PA
KESIAPA
N
N
BERTIN
D
BERTIND
AK
AK

TRIAL AND
ERROR +
REWARD

HUBUNGAN STIMULUS
& RESPON YANG
MEMUASKAN/TIDAK
MEMUASKAN

H U BU N G AN
HUBUNGAN
M EM UAS KA
MEMUASKA
N
N

HUBUNGAN
SEMAKIN KUAT

HUBUNGAN
KUAT
ATAU
HUBUNGAN
LEMAH

LAW O F
R E AD IN E
SS

LAW OF
EXERCISE

LAW OF
EFFECT

2. Teori Kognitivisme
Kognitivisme menilai bahwa belajar disebabkan oleh kemampuan individu
dalam menafsirkan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam lingkungan.
Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu,
karena belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks (Sukardjo &
Komaruddin, 2009).
Adapun implikasinya terhadap pendidikan (Baharudin & Wahyuni, 2008)
yakni: (a) Perlakuan individu didasarkan pada tingkat perkembangan kognitif
peserta didik; (b) Motivasi berasal dari dalam diri individu (intrinsik) yang timbul
berdasarkan pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik; (c) Tujuan kurikuler
difokuskan untuk mengembangkan keseluruhan kemampuan kognitif, bahasa, dan
motorik dengan interaksi sosial berfungsi sebagai alat untuk mengembangkan
kecerdasan; (d) Bentuk pengelolaan kelas berpusat pada peserta didik dengan guru
sebagai fasillitator; (e) Mengefektifkan mengajar dengan cara mengutamakan
program pendidikan yang berupa pengetahuanpengetahuan terpadu secara
hierarkis; (f) Partisipasi peserta didik sangat dominan guna meningkatkan sisi
kognitif peserta didik; (g) Kegiatan belajar peserta didik mengutamakan belajar
untuk memahami dengan cara insight learning; serta (h) Tujuan umum dalam
pendidikan adalah untuk mengembangkan sisi kognitif secara optimal dan
kemampuan menggunakan kecerdasan secara bijaksana. Perkembangan teori
behaviorisme menghasilkan sejumlah teori (Sukardjo & Komaruddin, 2009;
Djaali, 2009) diantaranya:
a. Perkembangan Kognitif dari Piaget
Piaget menilai bahwa perkembangan kognitif individu terjadi karena interaksi
sosial dengan lingkungan (asimilasi dan akomodasi) yang meliputi: (1) sensory
motor (usia 0-2 tahun), perilaku individu terjadi dari interaksi sosial, dapat
memahami objek, kegiatan, perkembangan afektif (membedakan suka dan tidak
suka); (2) pre operational (usia 2-7 tahun), perkembangan kemampuan bahasa
yang pesat, pikiran egosentris, dan pemikiran mengenai aturan; (3) concrete
operational (usia 7-11 tahun), perkembangan pemecahan masalah yang konkret,

10

dan pemahaman konsep moral; (4) formal operational (usia 11-15 tahun),
kemampuan berikir logis.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah: (1)
Guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak; (2) Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.; (3) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru
tetapi tidak asing; (4) Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya; serta (5) Anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
b. Teori Belajar Gestalt dari Frederich Perls
Gestalt menilai bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai
sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan dalam proses pembelajaran. Aplikasi
teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain: (1) Pengalaman insight
(kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa)
yang berperan dalam proses pembelajaran; (2) Pembelajaran yang bermakna
(meaningful learning) penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya
dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya; (3)
Perilaku bertujuan (pusposive behavior) yakni keterkaitan dengan tujuan belajar
yang ingin dicapai; (4) Prinsip ruang hidup (life space) bahwa materi yang
diajarkan hendaknya terkait dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan
peserta didik; (5) Transfer dalam belajar yaitu pemindahan pola-pola perilaku
dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain.
3. Teori Konstruktivisme
Teori ini dikembangkan oleh konstruktivis seperti Driver dan Bell
berdasarkan teori perkembangan kognitif dari Piaget. Konsep pembelajaran
menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang
mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru
dan memperoleh pengetahuan baru berdasarkan data (student center learning)
(Suparno, 1997). Maka, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola
sedemikian

rupa

sehingga

mampu

mendorong

siswa

mengorganisasi

pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna (Sukardjo &

11

Komarudin, 2009). Adapun implikasi teori belajar konstruktivisme pada


pendidikan (Sukardjo & Komarudin, 2009; Suparno, 1997) antara lain:
a. Tujuan pendidikan adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
b. Kurikulum dirancang sedemikian rupa agar situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik, seperti
latihan memecahkan masalah dengan belajar kelompok dan menganalisis
masalah kehidupan sehari-hari.
c. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanya berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan
teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
d. Peserta didik diharapkan menjadi pembelajar mandiri dan menemukan sendiri
pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam kehidupan.
4. Teori Humanistik
Teori humanistik dalam pendidikan berfokus pada potensi manusia untuk
mencari, menemukan, mengembangkan potensi, dan bertanggung jawab terhadap
pengembangan potensi tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonalsosial dan metode untuk mengembangkan diri secara positif yang ditujukan untuk
memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup, dan sosialisasi di tengah
masyarakat. Implikasinya terhadap pendidikan (Baharudin & Wahyuni, 2008 )
adalah: (a) Perlakuan terhadap individu didasarkan akan kebutuhan individual dan
kepribadian peserta didik; (b) Motivasi belajar berasal dari dalam diri (intrinsik)
karena adanya keinginan untuk mengetahui; (c) Metode belajar menggunakan
metode pendekatan terpadu dengan menekankan kepada ilmu-ilmu sosial; (d)
Tujuan kurikuler mengutamakan pada perkembangan sosial, keterampilan
berkomunikasi, dan kemampuan untuk peka terhadap kebutuhan individu dan
orang lain; (e) Bentuk pengelolaan kelas berpusat pada peserta didik yang
mempunyai kebebasan memilih dan guru hanya berperan untuk membantu; (f)
Untuk mengefektifkan mengajar maka pengajaran disusun dalam bentuk topiktopik terpadu berdasarkan pada kebutuhan peserta didik; (g) Partisipasi peserta
didik sangat dominan; serta (h) Kegiatan belajar peserta didik mengutamakan
belajar melalui pemahaman dan pengertian bukan hanya untuk memperoleh
12

pengetahuan. Perkembangan teori behaviorisme menghasilkan sejumlah teori


(Sukardjo & Komaruddin, 2009; Djaali, 2009) diantaranya:
a.

Teori Person Centered dari Carl Rogers


Teori yang menilai bahwa individu mempunyai kemampuan belajar secara

alami, sehingga merupakan pihak yang paling memahami dan bertanggung jawab
atas pengembangan potensi dan perilakunya sendiri. Adapun tipe belajar
dibedakan atas: (1) Kognitif (kebermaknaan) dan (2) experiential (pengalaman
atau signifikansi) yang mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif,
evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
b.

Teori Hierarki Kebutuhan dari Abraham Maslow


Teori ini menekankan pada pemahaman bahwa individu berperilaku dalam

upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Maslow membagi


kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hierarki, dimana manusia
harus memenuhi kebutuhan pertama yakni kebutuhan fisiologis, barulah
kemudian dapat menginginkan dan memenuhi kebutuhan yang terletak di atasnya
yakni kebutuhan mendapatkan ras aman, kasih sayang, harga diri, hingga
mencapai aktualisasi diri. Hierarki kebutuhan berimplikasi terhadap proses
belajar-mengajar yang harus diperhatikan oleh pendidik pada waktu mendidik
yakni perhatian dan motivasi belajar dapat berkembang jika kebutuhan dasar
siswa sudah terpenuhi.
AKT

Hirarki KebutuhanUALI
dari Abraham Maslow
SASI
DIRI HARGA
KEBUTUHAN
DIRI

KEBUTUHAN KASIH SAYANG


KEBUTUHAN RASA AMAN
KEBUTUHAN FISIOLOGIS

D. Peran dan Kompetensi Guru


Peran seorang guru sangatlah signifikan dalam proses belajar mengajar. Peran
guru yang dianggap paling dominan dalam proses belajar mengajar meliputi
klasifikasi guru sebagai (Djaali, 2009):
1. Guru sebagai demonstrator

13

Guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan
diajarkannya

dan

meningkatkan

kemampuannya

dalam

ilmu

yang

dimilikinya, karena hal ini akan sangat menentukan hasil belajar yang dicapai
oleh siswa. Guru sendiri merupakan pelajar yang harus belajar terus-menerus.
Sehingga, guru akan memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan
sebagai bekal dalam melaksanakan tugasnya sebagai demonstrator sehingga
mampu memperagakan apa yang diajarkannya secara didaktis. Maksudnya
ialah agar apa yang disampaikannya itu betul-betul dimiliki oleh anak didik.
2. Guru sebagai pengelola kelas
Keberhasilan/kesuksesan guru mengajar ditentukan oleh kemampuan siswa
dalam belajar, demikian juga keberhasilan siswa dalam belajar ditentukan
pula oleh peran guru dalam mengajar. mengelola kelas agar terjadi PBM bias
berjalan dengan baik.
3. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang
media pendidikan, karena media pendidikan merupakan alat komunikasi guna
lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar.
4. Guru sebagai evaluator
Guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa
terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan metode mengajar.
Gagne (Sukardjo & Komarudin, 2009) mengemukakan sembilan prinsip yang
dapat dilakukan guru guna meningkatkan kompetensi guru, sebagai berikut:
1. Menarik perhatian (gaining attention) : hal yang menimbulkan minat siswa
dengan mengemukakan sesuatu yang baru, aneh, kontradiksi, atau kompleks.
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran (informing learner of the objectives):
memberitahukan kemampuan yang harus dikuasai siswa setelah pelajaran.
3. Mengingatkan konsep/prinsip yang telah dipelajari (stimulating recall or
prior learning): merangsang ingatan tentang pengetahuan yang telah
dipelajari yang menjadi prasyarat untuk mempelajari materi yang baru.
4. Menyampaikan materi pelajaran (presenting the stimulus): menyampaikan
materi-materi pembelajaran yang telah direncanakan.
5. Memberikan bimbingan belajar (providing learner guidance): memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang membimbing proses berpikir siswa agar
memiliki pemahaman yang lebih baik.

14

6. memperoleh kinerja/penampilan siswa (eliciting performance): siswa diminta


menunjukkan apa yang telah dipelajari atau penguasaannya terhadap materi.
7. memberikan balikan (providing feedback): memberitahukan seberapa jauh
ketepatan performance siswa.
8. Menilai hasil belajar (assessing performance): memberitahukan tes/tugas
untuk mengetahui seberapa jauh siswa menguasai tujuan pembelajaran.
9. Memperkuat retensi dan transfer belajar (enhancing retention and transfer):
merangsang

kamampuan

mengingat-ingat

dan

mentransfer

dengan

memberikan rangkuman, mengadakan review atau mempraktekkan apa yang


telah dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin & Wahyuni, N. E. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media Group.
Djaali. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Elliot, dkk. 1999. Effective Teaching Educational. Singapore: Mc Graw Hill
International Editions.
Mustaqim, dkk. 2010. Psikologi Pendidikan. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sukardjo, M. & Komarudin, U. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Pres.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Suryabrata, S. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawall
Syah, M. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.

15

16

Anda mungkin juga menyukai