Anda di halaman 1dari 20

OSTEOPOROSIS AKIBAT PENGGUNAAN GLUKOKORTIKOID

Wahyuddin*, Mahriani Sylvawani**


*Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala
**Divisi Rheumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

I.

PENDAHULUAN
Osteoporosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang mempengaruhi

ratusan juta orang di dunia. World Health Organization (WHO) memasukkan osteoporosis
dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia. Terdapat 200 juta pasien di seluruh
dunia yang menderita osteoporosis.1 Studi BoneEVA di Jerman melaporkan prevalensi usia
25 - 74 tahun terdapat 1,2% untuk pria dan 7% untuk wanita yang menderita osteoporosis. 2
Studi cross sectional MONICA di Jerman dan EU27 di negara-negara Eropa
mengungkapkan terdapat 31% wanita dan 45,1% pria berusia 25-74 tahun memiliki
setidaknya satu patah tulang.2,3
Prevalensi osteoporosis di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Tes saring
menggunakan ultrasound bone density yang diadakan pada tahun 2002 di 5 kota besar,
menunjukan bahwa dari keseluruhan masyarakat yang dilakukan tes saring, 35%
menunjukkan hasil yang normal, 36% menunjukkan adanya osteopenia, sedangkan 29% telah
terjadi osteoporosis.4
Glukokortikoid sering digunakan dalam pengobatan banyak penyakit dan merupakan
salah satu penyebab utama dari osteoporosis sekunder.5,6 Di Amerika Serikat, glukokortikoid
diresepkan untuk 1 juta pasien per tahun, sedangkan di Inggris sebanyak 1,6 juta resep
dikeluarkan untuk penggunaan steroid dalam waktu 10 tahun, digunakan oleh 0,9% dari
seluruh populasi dan sekitar 2,5% pada kelompok usia 70-79 tahun.7
1

Kejadian osteoporosis akibat glukokortikoid merupakan yang tersering ketiga setelah


pasca menopause dan usia lanjut.6 Insiden patah tulang baru setelah satu tahun terapi
glukokortikoid mencapai 17%, studi observasional menunjukkan bahwa patah tulang yang
timbul sering tanpa gejala, terjadi pada 30-50% pasien yang menggunakan glukokortikoid,
bahkan steroid inhalasi dapat menyebabkan keropos tulang jika digunakan untuk jangka
waktu yang lama.8,9,10 Risiko patah tulang meningkat cepat setelah dimulainya terapi oral
kortikosteroid (dalam waktu 3 sampai 6 bulan) dan menurun setelah terapi dihentikan. Risiko
tetap independen dari penyakit yang mendasari, usia dan jenis kelamin. Pengobatan
kortikosteroid oral dosis rendah 2,5 7,5 mg (prednisolon atau setara) setiap hari
menyebabkan penurunan kepadatan mineral tulang dan meningkatkan risiko patah tulang
selama masa pengobatan.11,6,9,13,13
II.

ETIOLOGI
Osteoporosis

ditandai

dengan

berkurangnya

massa

tulang

dan

gangguan

mikroarsitektur tulang, mengakibatkan peningkatan kerapuhan tulang dan peningkatan risiko


fraktur.3 WHO secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral
Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 Standard deviation
(SD) dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (BMD T-score < -2,5 SD).
Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai dengan -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat. 14
Osteoporosis terbagi dua kelompok, osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis
sekunder. Osteoporosis primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan pada osteoporosis
sekunder yang diketahui penyebabnya. Osteoprosis primer terbagi 2, yakni osteoporosis tipe 1
(osteoporosis pasca menopause) yang disebabkan defisiensi estrogen dan osteoporosis tipe 2
(osteoporosis senelis) yang oleh gangguan absopsi kalsium di usus sehingga menyebabkan
hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.5
Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh
penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian obat yang mempercepat
pengeroposan tulang. 6,15 Penyebab utama dari osteoporosis sekunder adalah penggunaan obat
glukokortikoid.5,6 Keadaan ini berhubungan dengan pemakaian glukortikoid meluas sebagai
obat antiinflamasi dan sebagai obat imunosupresi. Risiko pemberian glukortikoid jangka
lama sangat tergantung dengan dosis perhari, lamanya pemberian, jenis kortikosteroid dan
dosis kumulatif total.5 Pasien yang mendapat glukortikoid jangka lama, 50% mengalami
fraktur traumatik selama periode 1 tahun pertama pemberian glukortikoid. Bone loss lebih
cepat timbul pada bulan pertama setelah pemberian.9
2

III. FAKTOR RISIKO


A. Dapat dikendalikan
1. Aktifitas fisik
Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi kalsium yang tinggi dan pembentukan tulang
tidak maksimum, dengan olah raga otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.
Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan
penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen.15,16
2. Status Gizi
Perawakan kurus cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor
risiko terjadinya kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif terjadi bila berat badan
meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat.14,15
3. Konsumsi Kalsium
Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen mineral utama
pembentuk tulang. Penyimpanan dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone
Mass/PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai
dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia
berikutnya. Pencapaian PBM menjadi rendah jika individu kurang konsumsi Ca.15 ,17,16
4. Kebiasaan merokok
Merokok rentan terkena osteoporosis karena nikotin mempercepat penyerapan tulang dan
juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan
sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pembentukan tulang.14,15,16
5. Penyakit tertentu
Pemakaian insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga
meningkatkan pembentukan kolagen tulang akibatnya orang yang kekurangan insulin atau
resistensi insulin akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol gula yang buruk pada penderita
diabetes juga akan memperberat metabolisme vitamin D dan osteoporosis. Beberapa penyakit
lainnya yaitu gagal ginjal kronik, asidosis metabolik kronik, gagal jantung kronik, lupus,
rhematoid arthritis dan lain sebagainya.14,15
6. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Ini
menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium dalam darah yang dapat
menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.14,15,16
7. Minuman soda dan berkafein
3

Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor akan
mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan
pembuangan kalsium lewat urin.14,15
8. Obat-obatan
Heparin, antikonvulsan, glukokortikoid, obat kemoterapi, lithium dan lain ebagainya
dapat menyebabkan osteoporosis.14,15 Obat yang paling sering menyebabkan osteoporosis
adalah glukokortikoid.5
B. Tidak dapat dikendalikan
1. Riwayat Keluarga
Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita osteoporosis. Faktor
genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang.14,15,18
2. Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon
estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita
pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.14,15
3. Usia
Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah
tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru
meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3 - 6% pertahun terjadi
pada 5-10 tahun pertama pascamenopause.14,15
4. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu,
ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena
osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat
dibanding ras kulit putih Amerika.14,15
Kondisi tertentu, penyakit dan obat-obatan yang berkontribusi terhadap osteoporosis
dapat dilihat di tabel 1.15
Tabel 1. Kondisi, penyakit dan obat-obatan yang menyebabkan dan berkontribusi pada osteoporosis dan
Fraktur
Lifestyle factors
Alcohol abuse
Excessive thinness
Excess Vitamin A
Frequent falling
High salt intake
Immobilization
Inadequate physical activity
Low calcium intake
Smoking (active or passive)
Vitamin D insufficiency
Genetic diseases
Cystic fibrosis
Ehlers-Danlos
Gauchers disease
Glycogen storage diseases
Hemochromatosis
Homocystinuria

Hypophosphatasia
Marfan syndrome
Menkes steely hair syndrome
Osteogenesis imperfecta
Parental history of hip fracture
Porphyria
Riley-Day syndrome
Hypogonadal states
Androgen insensitivity
Anorexia nervosa
Athletic amenorrhea
Hyperprolactinemia
Panhypopituitarism
Premature menopause (<40 yrs)
Turners & Klinefelters syndromes
Endocrine disorders
Central obesity
Cushings syndrome
Diabetes mellitus (Types 1 & 2)
Hyperparathyroidism
Thyrotoxicosis
Gastrointestinal disorders
Celiac disease
Gastric bypass
Gastrointestinal surgery
Inflammatory bowel disease
Malabsorption
Pancreatic disease
Primary biliary cirrhosis
Hematologic disorders
Hemophilia
Leukemia and lymphomas
Monoclonal gammopathies
Multiple myeloma
Sickle cell disease
Systemic mastocytosis
Thalassemia
Rheumatologic and autoimmune diseases
Ankylosing spondylitis
Other rheumatic and autoimmune diseases
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus
Neurological and musculoskeletal risk factors
Epilepsy
Multiple sclerosis
Muscular dystrophy
Parkinsons disease
Spinal cord injury
Stroke
Miscellaneous conditions and diseases
AIDS/HIV
Alcoholism
Amyloidosis
Chronic metabolic acidosis
Chronic obstructive lung disease
Congestive heart failure
Depression
End stage renal disease
Hypercalciuria
Idiopathic scoliosis
Post-transplant bone disease
Sarcoidosis
Weight loss
Medications
Aluminum (in antacids)
Anticoagulants (heparin)
Anticonvulsants
Aromatase inhibitors
Barbiturates
Cancer chemotherapeutic drugs
Depo-medroxyprogesterone
Glucocorticoids ( 5 mg/d
GnRH (Gonadotropin releasing
(premenopausal contraception)
prednisone or equivalent for 3
hormone) agonists
months)
Lithium Cyclosporine A and
Methotrexate
Parental nutrition
tacrolimus
Proton pump inhibitors
Selective serotonin reuptake inhibitors
Tamoxifen (premenopausal
Thiazolidinediones (such as
Thyroid hormones (in excess)
use)
Actos and Avandia)

IV. PATOGENESIS
Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas, sedangkan
osteoklas bertanggung jawab untuk penyerapan tulang.17 Pada osteoporosis akan terjadi
abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption)
lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang (bone formation).1 Peran biphosphonat
sebagai terapi lini pertama osteoporosis yakni pada osteoblas maupun osteoklas. Pada
osteoblas, menghasilkan substansi yang akan menghambat osteoklas dan mempengaruhi
5

rantai aktivitas dan diferensasi perkusor osteoklas menjadi osteoklas matang sehingga
aktivitas osteoklas terbatas dan menurun yang memicu apoptosis osteoklas, sedangkan
aktivitas osteoblas bertambah yang menyebabkan pembentukan massa tulang. 19,20 Penyebab
terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor risiko.17 Terjadinya
osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas
melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas. Keadaan ini mengakikatkan penurunan
massa tulang.5
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan osteoporosis akibat glukokortikoid, langsung
dan tidak langsung. Pengaruh langsung kortikosteroid terjadi karena terdapat reseptor
glukokortikoid pada osteoblas dan osteoklas yang apabila terinduksi akan menyebabkan
penurunan replikasi dan proliferasi osteoblast, memperpendek waktu remodelling,
meningkatkan resorpsi osteoklas, dan menurunkan sintesis IGF-1, prostaglandin E (PGE2),
dan IGF-binding protein.10 Pengaruh tidak langsung adalah mengurangi absorbsi kalsium di
saluran cerna dan meningkatan ekskresi kalsium melalui ginjal, hiperparatiroidisme sekunder,
dan defisiensi hormon anabolik akibat berkurangnya sintesis hormon gonadal dan adrenal,
mengurangi respon sel terhadap hormon dan faktor pertumbuhan, dan mengurangi IGFbinding protein.7 Kadar kalsium darah yang rendah menyebabkan peningkatan efek hormon
paratiroid sekunder sehingga resorpsi tulang meningkat.10
Mekanisme lain adalah kortikosteroid meningkatkan ekspresi Receptor activator of
nuclear factor kappa-B (RANK) dan menurunkan ekspresi osteoprotegerin. Kortikosteroid
juga meningkatkan ekspresi colonystimulating factor-1 (CSF-1) yang bila ada bersama
RANK akan menginduksi osteoklastogenesis. Selain itu kortikosteroid mempengaruhi
aktivitas proliferasi dan metabolik sel tulang dengan inhibisi ekspresi gen bone
morphogenetic protein-2 (BMP-2) sehingga osteoblastogenesis menurun dan meningkatkan
apoptosis sehingga lama hidup osteoblast menurun, dengan kata lain umur osteoklas menjadi
memanjang (dibandingkan dengan memendeknya umur osteoblas).13 Jumlah osteosit yang
menurun menyebabkan penurunan kualitas tulang sehingga lebih mudah mengalami fraktur.
Pada fase awal, kehilangan masa tulang terjadi dengan cepat (10%-15%) akibat resorpsi
tulang masif. Pada fase selanjutnya, kehilangan masa tulang terjadi lebih lambat (2%-5% per
tahun) tetapi progresif akibat gangguan pembentukan tulang. Kortikosteroid menginduksi
osteoporosis hingga delapan kali lebih berat bila dibandingkan dengan osteoporosis akibat
penyakit dasarnya.6,13
Gambar 1: Mekanisme osteoporosis akibat glukokortikoid.21

VII. DIAGNOSIS
Osteoporosis merupakan silent desease, kadang-kadang tidak memberikan tanda atau
gejala sebelum patah tulang terjadi. 22,16 Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 40% baru dapat terdeteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional.22 Untuk itu diperlukan
pemeriksaan yang menyeluruh, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, BMD, pencitraan dan
penilaian risiko patah tulang dalam 10 tahun kedepan.15,23
1. Menilai faktor risiko
Penggunaan BMD saja untuk menentukan risiko patah spesifitasnya tinggi namun kurang
sensitif. Kurang sensitifitas mengacu pada asumsi bahwa sebagian besar fraktur pada
osteoporosis akan terjadi pada individu dengan nilai BMD diatas ambang osteoporosis. 23
Terutama pada osteoporosis akibat glukokortikoid, karena patah tulang pada pasien yang
menerima glukokortikoid dapat terjadi tanpa berhubungan dengan penurunan massa
tulang.6,24,25
Saat ini semua guideline merekomendasikan penggunaan FRAX dalam membantu
menegakkan diagnosis untuk terapi dan pencegahan osteoporois.14,26,6,15,18,24,25,9,10,21
Beberapa faktor risiko telah dimasukkan dalam daftar WHO untuk menilai risiko
terjadinya fraktur kedepan. Penggunaan grafik faktor risiko tersebut dibuat berdasarkan
epidemiologi masing-masing negara.23 Grafik untuk penilaian risiko tiap negara dapat dilihat
di www.shef.ac.uk/FRAX. Menurut FRAX model, Indonesia sendiri merupakan negara
risiko rendah terjadinya osteoporosis (dikelompokkan dalam etnis kulit berwarna/gelap).23,27
Gambar 2: Frax untuk indonesia.27

FRAX tidak hanya menyediakan informasi untuk pencegahan dan pengobatan


osteoporosis, tetapi juga membantu untuk menghindari fraktur berikutnya atau sekuel yang
didapat dari osteoporosis berat. Item terakhir dalam kuesioner diisi bila ada BMD, Jika BMD
tidak tersedia, kemungkinan risiko patah tulang masih dapat dihitung tanpa BMD. National
Osteoporosis Guideline Group (UK) merekomendasikan penggunaan FRAX pada keadaan:23
-

Jika risiko patah tulang rendah, sarankan perubahan gaya hidup, diet dan olahraga yang
diberikan tanpa penggunaan obat-obatan.

Jika risiko tinggi dapat direkomendasikan pengobatan.

Jika risikonya menengah, maka diindikasikan DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry).
Risiko FRAX kemudian dihitung ulang dan dinilai pilihan penggunaan obat-obatan.

Gambar. 3: Penilaian faktor risiko dengan dengan pendekatan FRAX pada wanita pascamenopause dan
laki-laki usia> 50 tahun dengan riwayat penggunaan glukokortikoid.25

Keterangan
1.
Indeks massa tubuh rendah, riwayat orang tua mengalami patah tulang panggul, merokok, mengkonsumsi alkohol >3 gelas
perhari, penggunaan glukokortikoid harian, pengguna kortikosteroid dengan dosis kumulatif yang lebih tinggi, menggunakan
kortikosteroid injeksi dosis maksimum, penurunan signifikan nilai BMD pada tulang sentral.
2.
Penilaian faktor risiko pasien berdasarkan FRAX
3.
Pada pasien risiko rendah sampai sedang, direkomendasikan terapi pada pasien yang menggunakan glukokortikoid >3 bulan
4.
Memiliki risiko fraktur osteoporosis mayor dalam 10 tahun kedepan.

2. Evaluasi klinis
Evaluasi klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang tepat
wajib dilakukan.24 Kepadatan tulang berkurang secara perlahan sehingga pada awalnya
osteoporosis tidak menimbulkan gejala.3,5,28 Pada tahap lanjut, jika kepadatan tulang sangat
berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan
kelainan bentuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang
belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan.
Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang
akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan
terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk
kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan
ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh
tekanan yang ringan atau karena jatuh.5,29
Gambar 4: Perbedaan tulang normal dan osteoporosis.29

Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Tulang lain
yang rentan terjadi fraktur adalah korpus vertebra, pelvis, femur, dan tulang penyangga beban
lainnya.17,30
3. Pemeriksaan Radiologik
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah
trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra.5
4. Penentuan masa tulang
Semakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut dan semakin
besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah tulang. 22 Pengukuran massa tulang
merupakan salah satu alat diagnosis yang sangat penting.,14,26,3,6,5,15 Diagnosis osteoporosis
ditegakkan dengan pengukuran BMD atau terjadinya patah tulang belakang maupun pinggul
dengan tidak adanya trauma berat (seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau riwayat jatuh
lain).5 Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas maasa tulang adalah
single photon absorptiometry (SPA), single energy X-ray absorptiometry (SPX), dual photon
absorptiometry (DPA), dual energy X-ray absorptiometry (DPX), quantitative computed
tomography (QCT)5,15 dan quantitative ultrasound (QUS)31. Saat ini gold standard
pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita
adalah DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry), yang digunakan untuk pemeriksaan
vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh tubuh.1,14,6,15,17,24,32
DXA akan memberi informasi densitas mineral tulang pada area tertentu dalam gram/cm2.
Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas
mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama, yang disebut dengan T score dalam %,
sedangkan perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar
rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan etnis yang sama, disebut Z
Score dalam %.2,15 Ada empat kategori diagnosis tingkat densitas tulang berdasarkan Tscore.5,15,22,24,32
10

1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di
bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau
lebih tinggi (T-score -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari
1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di
bawah rerata orang dewasa, atau 10 - 25% di bawah rata-rata (T-score -1 s/d - 2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah nilai rata-rata
orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score 2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih
pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan
disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score -2,5 SD dengan
adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).
Indikasi untuk pemeriksaan BMD:15,
-

Wanita berusia lebih dari 65 thn dan laki-laki berusia lebih dari 70 thn tanpa
memperhatikan faktor risiko apapun.

Wanita pasca menopause dini, wanita dalam masa transisi menuju menopause, laki-laki
berusia antara 50 69 thn faktor risiko klinis terjadinya fraktur.

Orang dewasa dengan keadaan tertentu (misalnya rhematoid arthritis) atau sedang
mengkonsumsi obat-obatan (misalnya glukokortikoid dengan dosis perhari 5 mg
prednisolon atau ekuivalennya 3 bln) yang mengakibatkan penurunan massa tulang.

5. Vertebral imaging
Patah tulang belakang tanpa riwayat trauma sudah dapat menegakkan diagnosa
osteoporosis, bahkan tanpa BMD dan merupakan indikasi terapi farmakologis. Adanya patah
tulang belakang tunggal meningkatkan risiko patah tulang belakang berikutnya sampai 5 kali
lipat, sedangkan risiko patah tulang pinggul kedepannya 2-3 kali lipat. 25 Indikasi rontgen
tulang belakang pada individu berikut:15
-

Wanita usia 70 thn dan laki-laki berusia 80 thn bila nilai BMD Tscore < -1,0 (bila
BMD tidak ada boleh berpatokan hanya pada usia)

Wanita pasca menopause dan laki-laki berusia 50 thn dengan faktor risiko:
-

Trauma ringan yang menyebabkan fraktur.

Riwayat penurunan tinggi badan 1,5 inchi (4 cm) yang dibandingkan saat pasien
dewasa dengan tinggi badan saat ini.

11

Berpeluang kehilangan tinggi badan 0,8 inchi (2 cm) yang diukur sejak pasien
datang untuk penilaian awal.

Sedang menggunakan glukokortikoid atau pernah menggunakan dalam jangka


panjang.

6. Magnetic Resonance Imaging


MRI mepunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur
trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kelebihan dengan tidak adanya efek radiasi,
namun sedang dalam penelitian.29
Gambar. 5:

Pendekatan pada wanita premenopause dan pria usia < 50 tahun yang menggunakan
glukokortikoid.25

VIII. PENATALAKSANAAN
Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti resorptif)
dan/atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun demikian, saat ini obat
yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti
resoprtif adalah esterogen, anti esterogen, bisfosfat dan kalsitonin, sedangkan yang termasuk
stimulator tulang adalah Na-flurida, paratiroid hormone (PTH) dan lain sebagainya, Kalsium
dan vitamin D tidak mempunyai anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan
12

untuk optimalisasi mineralisasi osteosid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan
kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.19,20
a. Terapi Non farmakologis
Strategi nonfarmakologi mencakup gaya hidup, asupan vitamin D dan kalsium,
menghentikan rokok dan alkohol, penguatan otot dan olah raga, menciptakan lingkungan
yang aman adalah cara-cara untuk mencegah osteoporosis.24
1. Kalsium
Asupan kalsium dapat diperoleh dari makanan sehari hari maupun suplemen.6,24,25
-

Laki-laki dan wanita berusia 19 49 thn disarankan mengkonsumsi kalsium 800-1200


mg/hari.26,25

Laki-laki dan wanita 50 thn disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.14,26,31

Hamil dan menyusui disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.24

2. Vitamin D
Kombinasi kalsium dan vitamin D disarankan hampir disemua guideline manajemen
osteoporosis, dosis yang dianjurkan 600 IU/hari telah dibuktikan mampu mencegah
osteoporosis.26,3,29
3. Olah raga dan berat badan
Imobilisasi merupakan penyebab rapuh tulang. Jumlah latihan yang optimal pasien
dengan osteoporosis tidak diketahui, tetapi latihan beban secara teratur merupakan komponen
integral dari manajemen osteoporosis dan disesuaikan dengan pasien. 18 Latihan yang
dianjurkan meliputi berjalan, jogging, Tai-Chi, memanjat tangga, menari, tenis. yoga,
pilates.15 Berat badan rendah dan diet yang berlebihan berhubungan dengan status mineral
tulang yang rendah dapat meningkatkan risiko patah tulang. Indeks massa tubuh tidak kurang
dari 19 kg/m2 direkomendasikan untuk pencegahan osteoporosis.24
4. Mencegah jatuh
Sebagian besar patah tulang osteoporosis, terutama pada orang tua, karena densitas tulang
yang rendah dan jatuh.24
5. Menghentikan rokok, alkohol dan asupan kafein
Asupan kafein menyebabkan penyerapan kalsium usus menurun dan meningkatkan
ekskresi kalsium urin. Anjuran untuk membatasi kafein kurang dari 1 sampai 2 porsi (240360 ml dalam setiap porsi) minuman berkafein per hari. 24 Asupan alkohol lebih dari dua gelas
per hari untuk wanita atau tiga gelas sehari untuk pria merugikan kesehatan tulang dan
13

meningkatkan risiko jatuh.15 Merokok ternyata juga dapat menurunkan aktifitas estrogen
secara bermakna.5 National Osteoporosis Foundation sangat mendorong menghentikan rokok
sebagai bagian dari intervensi osteoporosis.15
Tabel 2:

Rekomendasi konseling untuk modifikasi gaya hidup dan penilaian pasien yang menggunakan
glukokortikoid 3 bulan.6

b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi diberikan pada penderita:
-

Patah tulang pinggul maupun tulang belakang tanpa memperhatikan nilai T-score.15

T-score -2.5 pada leher tulang femoral, tulang pinggul dan tulang belakang.15

Pasien dengan T-score -1 SD sampai -2,5 SD ditambah dengan nilai FRAX 3% untuk
tulang panggul maupun femur atau 20% untuk osteoporosis mayor.15,24
Tujuan utama penanganan osteoporosis adalah mengurangi risiko terjadinya patah tulang.

Banyak uji klinis skala besar telah membuktikan kemanjuran obat osteoporosis.24 Yang
termasuk obat antiresorpsi dan telah disetujui FDA penggunaannya adalah:
1. Bisphosphonates
Bisphosphonate merupakan terapi lini pertama dan profilaksis pada osteoporosis akibat
glukokortikoid.6,9,13,33

Direkomendasikan

untuk

mempertimbangkan

untuk

memulai
14

pemberian bisphosphonate pada wanita pasca menopause dan pria berusia 50 thn yang
menggunakan prednisolone >7,5 mg selama minimal 3 bulan.13
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel
osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas.5 Biphosphonat menghambat
resorpsi tulang osteoklastik. Biphosphonat atau nonaminobifosfat memetabolisme osteoklas
menjadi bentuk yang tidak aktif dengan secara langsung merusak sel osteoklas dan
menginduksi

terjadinya

apoptosis.34

Selain

itu,

beberapa

bisfosfonat

juga

dapat

mempengaruhi aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi


osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan
akhirnya apoptosis osteoklas. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas
dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas
dan menurunkan kadar stimulator osteoklas.29,34
Gambar 6: Mekanisme kerja biphosphonate.34

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah


dan diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian
bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif pada unit remodeling tulang.29,34
Alendronate, risedronate, etidronate dan zoledronate telah menjadi pilihan utama pada
pasien yang mendapat terapi glukokortikoid.5,33
-

Alendronate
Alendronate 10 mg/hari, diberikan selama 3 tahun dengan pemantauan tiap tahunnya,

dapat diberikan selama 10 thn bila ada indikasi. 24 Alendronate merupakan terapi lini pertama
osteoporosis.20
-

Risedronate
Risedronate 35 mg perminggu.24 Aman dan efektif diberikan pada pasien dengan

gangguan ginjal mederate.20


15

Asam Zoledronic
Asam zoledronic 5 mg intravena pertahun diindikasikan untuk pencegahan patah tulang

klinis baru pada pasien yang baru saja (dalam waktu 90 hari) mengalami patah tulang pinggul
karena trauma ringan.15,24 Diindikasikan juga pada wanita pasca menopause dan
meningkatkan masa tulang pada pria, juga sebagai terapi dan pencegahan pada penderita
yang menggunakan glukokortikoid dalam 1 thn terakhir.15
Tabel 3: Panduan klinis tatalaksana osteoporosis akibat glukokortikoid. 33

2. Recombinant human PTH 1-34 (r-PTH)


Teriparatide diindikasikan untuk osteoporosis berat atau penderita yang tidak respon
dengan anti osteoporosis lainnya.dosis terapi 20 ug/hari. 24,20 Direkomendasikan juga pada
penderita osteoporosis yang diinduksi oleh glukokortikoid.20,9
3. Strontium Ranelate
Direkomendasikan pada osteoporosis berat, osteoporosis risiko tinggi fraktur yang terkait
dengan terapi glukokortikoid sistemik yang lama.15 Dosis terapi 2 g/hari.5
IX.

EVALUASI TERAPI
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pengukuran densitometri setelah 1

2 thn pengobatan. Pengobatan dianggap berhasil bila tidak terjadi penurunan densitas masa
tulang.5 Petanda biokimia tulang dapat menilai hasil pengobatan lebih cepat, yaitu dalam
waktu 3 - 4 bln setelah pengobatan. 5,24 Gambaran radiologi pasca terapi pada patah tulang
vertebra merupakan pilihan monitoring untuk melihat ada tidaknya patah tulang yang baru.29
Tabel 4: Rekomendasi monitoring pada penderita osteoporosis akibat glukokortikoid. 6

16

X.

KESIMPULAN

Prinsip umum
-

Mendapatkan riwayat pasien secara rinci berkaitan dengan faktor risiko klinis patah
tulang karena osteoporosis dan jatuh.

Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan terkait diagnostik untuk mengevaluasi tanda
osteoporosis dan penyebab sekunder.

Merubah gaya hidup, penguatan asupan nutrisi dan faktor risiko lain yang dapat
dimodifikasi untuk pencegahan fraktur.

Penilaian risiko dengan FRAX

Memutuskan bagaimana melakukan terapi berdasarkan semua informasi klinis dengan


menggunakan panduan.

Pertimbangan terapi medis yang bersandar pada:


-

Adanya patah tulang belakang (dengan atau tanpa gejala) dan tulang panggul.

Densitometri leher tulang femur atau tulang panggul dengan T-score -2,5

Osteopenia ditambah dengan nilai FRAX 3% untuk tulang panggul maupun femur
atau 20% untuk osteoporosis mayor.

Evaluasi dan tindak lanjut


-

Pasien yang belum membutuhkan terapi saat ini agar dievalusi berkala.

Penderita yang mengkonsumsi obat-obatan yang direkomendasi agar setiap 2 tahun


melakukan pemeriksaan BMD ulangan ataupun pemeriksaan laboratoium lain bila ada
gejala.

Pencitraan tulang belakang dapat diulang pada pasien yang mengalami penurunan tinggi
badan dan untuk memastikan tidak ada patah tulang yang baru.

17

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

4.

Haussler BGH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D. Epidemiology, treatment and costs of
osteoporosis in Germany-the BoneEVA Study. 2007;7784.
Hadji P, Klein S, Gothe H, Hussler B, Kless T, Schmidt T et al. The Epidemiology of Osteoporosis
Bone Evaluation Study (BEST). An Analysis of Routine Health Insurance Data. Dtsch Arztebl Int
2013; 110(4): 527.
Hernlund E, Svedbom A, Ivergrd M, Compston J, Cooper C, Stenmark J et al. Osteoporosis in the
European Union: medical management, epidemiology and economic burden. A report prepared in
collaboration with the International Osteoporosis Foundation (IOF) and the European Federation of
Pharmaceutical Industry Associations (EFPIA) Arch Osteoporos. 2013;8:136.
Yuliandini T. How to avoid the brittle bone problem. The Jakarta Post [internet]. 2003 April 16. [cited
2015 marc 26]; Available from:
http://www.thejakartapost.com/news/2003/04/16/how-avoid-brittle-bone-problem.html.

18

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

27.
28.
29.
30.
31.

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 6th ed. Jakarta: Interna publishing; 2014. Chapter 37, penyakit skeletal; p. 3423-522.
Sjenifer M, Grossman, Rebecca G, Veena KR, Chad D, Liron C et al. American College of
Rheumatology 2010. Recommendations for the Prevention and Treatment of Glucocorticoid-Induced
Osteoporosis. Arthritis Care Res. 2010 nov 11;62:151526.
Sewerynek E, Stuss M. Steroid-induced Osteoporosis. Aging Health. Medscape. 2012;8(5):471-477.
Civitelli R, Ziambaras K. Epidemiology of glucocorticoid induced osteoporosis. J Endocrinol Invest.
2008 Jul;31;7:2-6.
Pereira RM, Carvalho JF, Paula AP, Zerbini C, Domiciano DS, Gonalves H et al. Guidelines for the
prevention and treatment of glucocorticoid induced osteoporosis. Rev Bras Reumatol. 2012
Aug;52(4):580-93.
Fraser LA, Adachi JD. Glucocorticoid Induced Osteoporosis: Treatment Update and Review. Ther Adv
Musculoskelet Dis. 2009 Apr; 1(2): 7185.
Van ST, Leufkens HG, Cooper C. The epidemiology of corticosteroid induced osteoporosis: a metaanalysis. Osteoporos Int. 2002 Oct; 13(10):777-87.
Klop C, Vries FD, Vinks T, Kooij MJ, Van STP, Bijlsma JWJ et al. Increase in prophylaxis of
glucocorticoid induced osteoporosis by pharmacist feedback: a randomised controlled trial. J
Osteoporos Int 2014;25:38592.
Compston J. Management of GlucocorticoidInduced Osteoporosis: Pathophysiology. Medscape 2010
marc 02; [cited 2015 Jun 15]. Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/715459_3.
Kanis JA, on behalf of World Health Organization Scientific Group. Assessment of osteoporosis at the
primary health care level. Technical report. UK: World Health Organization Collaborating Centre for
Metabolic Bone Diseases, University of Sheffield; 2008.
Cosman F, Lindsay R, LeBoff MS, Jan de Beur S, Tanner B. National Osteoporosis Foundation.
Clinicians Guide to Prevention and Treatment of Osteoporosis; 2014.
Watts NB, Adler RA, Bilezikian JP, Drake MT, Eastell R, Orwoll ES et al. Osteoporois in men: An
Endocrine Society Clinical Practice Guideline.. J Clin Endocrinol Metab. 2012;97(6):1802-22.
Neve A, Corrado A, Cantatore FP. Osteoblast physiology in normal and pathological conditions.
Review. Rheumatology Clinic, Department of Medical and Occupational Sciences, University of
Foggia, Foggia, Italy. 2010.
Compston JE, Cooper AL, Cooper C, Francis R, Kais JA, Marsh D et al. Osteoporosis Clinical
guideline for prevention and treatment. Executive Summary; 2014 Nov.
Whitaker M, Guo J, Kehoe T, Benson G. Bisphosphonates for Osteoporosis Where Do We Go from
Here? N Engl J Med 2012; 366:22; 2048-51.
Black DM, Bauer DC, Schwartz AV, Cummings SR, Rosen SJ. Continuing Bisphosphonate Treatment
for Osteoporosis For Whom and for How Long? N Engl J Med 2012; 366:22; 2051-57.
McIlwain HH. Glucocorticoid-induced osteoporosis: Pathogenesis, diagnosis and management.
Preventive Medicine 2003;36:243-9.
Amin S. Osteoporosis. American College of Rheumatology Reviews 2012.
McCloskey E. Auth. FRAX Identifying people at high risk of fracture in WHO Fracture Risk
Assessment Tool, a new clinical tool for informed treatment decisions. International Osteoporosis
Foundation; 2009.
Malaysian Osteoporosis Society. Clinical Guidance on Management of Osteoporosis; 2012 june.
The Taiwanese Osteoporosis Association. Guidelines for the Prevention and Treatment of Osteoporosis;
2011 Sept.
Strom O, Borgstrom F, Kanis JA, Compston J, Cooper C, Mc-Closkey EV et al. Osteoporosis: burden,
health care provision and opportunities in the EU: a report prepared in collaboration with the
International Osteoporosis Foundation (IOF) and the European Federation of Pharmaceutical Industry
Associations (EFPIA). Arch Osteoporos 2013;6:59155.
http://www.shef.ac.uk/FRAX.
Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson SF et al. The diagnosis and
treatment of postmenopausal osteoporosis; AACE: Endoc Pract. 2010 nov; 16(3)3.
Ensrud EK, Schousboe JT. Vertebral fracture. N Engl J Med 2011;364:1634-42.
Miller PD. Bone Disease in CKD: A Focus on Osteoporosis Diagnosis and Management. The national
kidney fondation. Am J Kidney Dis; 2014.
Kanis JA, McCloskey EV, Johansson H, Cooper C, Rizzoli R, Reginster JY. European guidance for the
diagnosis and management of osteoporosis in postmenopausal women. Position paper. Sprin
Osteoporos Int ;2012.

19

32. Vasikaran S, Eastell R, Bruyre O et al. Markers of bone turnover for the prediction of fracture risk and
monitoring of osteoporosis treatment: a need for international reference standards. Osteoporos Int
2011;22: 391-420.
33. Juliet C. Management of glucocorticoid-induced Osteoporosis. Nat. Rev. Rheumatol. 2010 feb ;6:828.
34. Management of Bone Complications in Cancer [image on the Internet]. 2015 [cited 2015 Jun 15].
Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/520178_5.

20

Anda mungkin juga menyukai