Anda di halaman 1dari 61

1.

1.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) adalah ikan air tawar yang terdapat di

sungai-sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya budidaya dalam


keramba telah berkembang dengan pesat. Tetapi pesatnya perkembangan budidaya ikan
ini belum diimbangi dengan tingkat produksi yang tinggi karena tidak didukung oleh
produksi benih dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Hal ini disebabkan antara lain
sulitnya mendapatkan induk matang gonad. Selain itu beberapa peneliti menunjukkan
bahwa daya tetas telur ikan baung masih rendah yaitu sebesar 34.5% (Muflikhah, 1993),
63,63% (Hardiantho et al., 2002), dan 39% (Sukendi, 2005).
Kualitas telur yang berubah-ubah adalah salah satu faktor pembatas produksi
massal benih ikan. Kualitas telur dipengaruhi faktor internal yang meliputi umur dan
ukuran induk, dan genetik; serta faktor eksternal seperti pakan, suhu, kepadatan dan
polusi. Masih banyak sisi budidaya yang perlu diketahui untuk memperbaiki kualitas
telur dan meningkatkan produksi benih ikan baung, diantaranya kebutuhan nutrisi induk
ikan baung yang belum diketahui. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa
kuantitas dan kualitas pakan (protein dan lemak) yang diberikan kepada induk merupakan
faktor penting yang mempunyai hubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur
yang diproduksi dan kualitas telur (Watanabe, 1988). Saat telur menetas, sumber energi
untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung kapada bahan bawaan telur yang telah
disiapkan oleh induk.
Asam lemak esensial linoleat dan linolenat pada induk sangat diperlukan terutama
untuk kebutuhan dalam proses perkembangan embrio. Menurut Izquierdo et al. (2001),
asam lemak tidak jenuh seperti linoleat (18:2n-6) dan linolenat (18:3n-3) dalam pakan
ikan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan reproduksi dan
kelangsungan hidup larva. Oleh karena itu, pengaturan komposisi kedua jenis asam
lemak ini dalam pakan diharapkan dapat memperbaiki kualitas telur.

Peran pakan dalam perkembangan gonad penting untuk fungsi endokrin yang
normal. Tingkatan pakan tampaknya mempengaruhi sintesis maupun pelepasan hormon
dari kelenjar-kelenjar endokrin. Kelambatan perkembangan gonad karena kekurangan
pakan dapat menyebabkan rendahnya kadar gonadotropin hipofisis, kurangnya respon
ovari terhadap stimulus hormon atau mungkin kegagalan ovari untuk menghasilkan
jumlah estrogen yang cukup (Toelihere, 1981). Selain ketersediaan materi baik kualitas
maupun kuantitas untuk mendukung proses reproduksi, diperlukan juga kerja hormon
untuk meningkatkan proses sintesis vitelogenin dan penyerapannya oleh sel telur.
Manipulasi hormonal yang sering dilakukan berupa suntikan dan implantasi hormon,
tidak lain adalah upaya potong kompas mengganti sinyal lingkungan sebagai sinyal
untuk pematangan gonad (Zairin, 2003). Setelah matang gonad, ikan baung masih
memerlukan manipulasi hormonal karena ikan ini tidak dapat memijah secara spontan
dalam wadah budidaya.
Estradiol-17 (E2) merupakan perangsang biosintesis vitelogenin di hati.
Vitelogenin yang disintesis di hati dengan bantuan hormon E2 disekresikan ke dalam
aliran darah dan dibawa menuju ke gonad. Vitelogenin di dalam aliran darah secara
selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit. Penyerapan vitelogenin oleh oosit dibantu
oleh hormon gonadotropin dan tiroksin (T4). T4 merupakan hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar tiroid yang dikenal dengan struktur kimia L-3,5,3,5-tetraiodothyronine (T4).
Selain membantu dalam proses penyerapan vitelogenin oleh oosit, keberadaan hormon
(T4) dalam telur juga sangat membantu dalam menstimulasi perkembangan embrio
(Ayson dan Lam, 1993).
Dengan memberikan perlakuan mengikuti proses fisiologis di atas, maka
diharapkan telur yang dihasilkan akan berkualitas baik sehingga larva yang dihasilkan
juga berkualitas baik dengan memiliki ketahanan yang prima. Selama ini pendekatan
untuk memecahkan masalah kualitas telur sering dilakukan secara parsial dan tidak
bersifat menyeluruh. Pendekatan yang akan menghasilkan pematangan gonad yang cepat
dengan kualitas telur yang baik adalah dengan mengkombinasikan faktor lingkungan,
pakan dan hormonal. Mengingat faktor lingkungan sangat kompleks dan sukar ditiru,
maka pada penelitian ini digunakan kombinasi antara pakan dan hormon dengan
memberikan lingkungan reproduksi yang optimal.

Dari uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peranan
perbandingan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dalam pakan dan dosis kombinasi
hormon E2 dan T4 yang optimal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas telur dan
larva ikan baung.
1.2

Perumusan Masalah
Masalah yang dihadapi dalam budidaya ikan baung adalah kurangnya pengetahuan

mengenai kebutuhan nutrisi induk, khususnya kebutuhan asam lemak esensial untuk
menghasilkan telur dan larva dengan kualitas maupun kuantitas yang tinggi. Rendahnya
kualitas telur diduga karena rendahnya kadar fosfolipid dalam telur sehingga kualitas
telur juga menjadi rendah akibatnya nutrien yang terserap oleh telur tidak dapat
mendukung perkembangan larva.
Selain itu, pemberian pakan yang tidak optimal dapat menyebabkan kurangnya
energi untuk mendukung proses reproduksi, terutama dalam mensintesis hormon E2 yang
terlibat dalam proses vitelogenesis. Hormon E2 adalah hormon steroid yang disintesis
pada lapisan granulosa folikel. Hormon ini disekresikan kedalam darah dan merupakan
perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati.
Di dalam tubuh ikan, lipid terutama di hati terdapat dalam bentuk lipoprotein
plasma kompleks, very low density lipoprotein (VLDL) dan low density lipoprotein
(LDL) serta dengan kombinasi lipoprotein lipase dan lesitin membentuk high density
lipoprotein (HDL). Kurangnya lipid yang diangkut ke hati dari pheripheral diduga akibat
dari kurangnya lipid dalam pakan, juga lipid tersebut digunakan sebagai sumber energi
untuk proses metabolisme. Akibatnya lipid yang disintesis membentuk vitelogenin sangat
rendah sehingga mengakibatkan kadar fosfolipid telur rendah. Dipihak lain asam lemak
essensial tidak dapat disintesis sendiri oleh tubuh sehingga perlu ditambahkan ke dalam
pakan dalam jumlah yang optimal.
Oleh karena pakan buatan masih banyak kekurangan sumber nutrien seperti asam
lemak esensial serta kerja hormon dalam proses vitelogenesis tidak maksimal maka
kuantitas dan kualitas telur menjadi rendah sehingga produksi larva juga menjadi rendah
pula. Untuk mengatasinya perlu manajemen pemberian pakan, terutama jenis dan jumlah
yang optimal serta perlakuan hormon yang dapat mendukung proses reproduksi. Dengan

cara ini diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi, kerja hormon optimal sehingga
diharapkan kualitas vitelogenin dapat meningkat dan akhirnya kualitas telur meningkat
pula, dengan demikian dapat dihasilkan benih dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi.
1.3

Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan :
1.

Mengkaji penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian pakan


buatan yang ditambahkan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3. Serta
keterkaitannya dengan komposisi asam lemak pada hati, telur dan larva.

2.

Mengkaji penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian hormon


E2 dan T4 serta kombinasinya yang diimplantasi pada induk yang diberi
pakan optimal.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dalam manajemen
pemberian pakan, serta perlakuan hormonal yang tepat pada induk ikan sehingga dapat
mempercepat pematangan gonad, meningkatkan kuantitas dan kualitas telur yang pada
akhirnya meningkatkan kualitas larva ikan baung.

II.

KERANGKA TEORI

2.1

Tinjauan Pustaka

2.1.1

Kematangan Gonad Pada Ikan


Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan

gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai
untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan
akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan
berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (2002), pertambahan bobot gonad ikan
betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 25 persen dari bobot tubuh,
dan pada ikan jantan 5 10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin
bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin
besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. (1979) bahwa kematangan gonad pada ikan
dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran
telurnya.
Kematangan gonad ikan baung dimulai apabila telah mencapai panjang 215 mm
dengan bobot 90g (Tang et al., 1999). Secara garis besar, perkembangan gonad ikan
dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan
menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama
berlangsung mulai ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin, dan tahap kedua
dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi
masih tetap berjalan normal (Lagler et al., 1977). Lebih lanjut dikatakan bahwa
kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor luar dan
faktor dalam. Faktor luar antara lain dipengaruhi oleh suhu dan adanya lawan jenis,
faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur serta sifat-sifat fisiologi lainnya.
Ikan baung tergolong ikan yang bertulang sejati (teleostei). Ikan teleostei biasanya
mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ memanjang dan kompak, terdapat
di dalam rongga perut, berisi oogonium, oosit dengan sel-sel folikel yang mengitarinya,
jaringan penunjang atau stroma, jaringan pembuluh darah dan saraf (Nagahama, 1983).

Berdasarkan klasifikasi Wallace dan Selman (1981) pola perkembangan oosit ikan
teleostei dapat dibagi atas tiga tipe, pertama disebut tipe sinkronisme total, yaitu semua
oosit dalam ovarium dibentuk dalam waktu yang relatif sama. Tipe ini ditemukan pada
ikan-ikan yang mengalami migrasi (katadromous dan anadromous). Tipe kedua, tipe
sinkronisme kelompok. Pada tipe ini paling sedikit terdapat dua populasi oosit pada suatu
saat. Ketiga adalah asinkronisme, yaitu oosit terdiri dari semua tingkat perkembangan.
Tipe ini ditemukan pada ikan yang memijah sepanjang tahun, misalnya pada beberapa
jenis ikan tropis.
Setiap oosit selama permulaan perkembangannya dikelilingi oleh selapis folikel.
Dengan tumbuhnya oosit, sel-sel folikel membelah diri dan membentuk suatu lapisan
folikular yang kontinyu (lapisan granulosa). Secara bersamaan dikelilingi bagian jaringan
pengikat yang juga menjadi terorganisir membentuk suatu lapisan luar yang berbeda dari
penutup folikular yang disebut lapisan teka. Dengan demikian oosit dikelilingi oleh dua
lapisan utama, dibagian luar lapisan teka dan dibagian dalam adalah lapisan granulosa
yang masing-masing dipisahkan oleh membran. Sel teka mengandung fibroblas, jaringan
kolagen dan kapiler darah pada beberapa jenis ikan. Sel teka dan granulosa berperan
sebagai penghasil steroid. Sel folikular pada pinggiran memainkan peranan penting
dalam inkoporasi material lipoprotein yang berasal dari hati ke dalam oosit. Pematangan
oosit dicirikan oleh pergerakan awal dari vesikula germinalis (germinal vesicle) dan
diakhiri dengan tahap pembelahan meiosis pertama (Takashima dan Hibiya, 1995).
Tingkat kematangan gonad merupakan pengelompokan kematangan gonad ikan
berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada perkembangan gonad. Pengamatan
perkembangan gonad dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengelompokan berdasarkan
morfologi dan berdasarkan histologi. Dari pengamatan secara histologi akan dapat
diketahui lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologi tidak
akan sedetail dengan cara histologi, namun cara morfologi banyak dilakukan karena
dapat dilakukan di lapangan. Pembagian tingkat kematangan gonad berbeda setiap
peneliti dan bergantung pada jenis ikan yang diteliti. Siregar (1999) membagi tingkat
perkembangan gonad ikan jambal siam kedalam empat kelompok berdasarkan
morfologi dan histologi (Tabel 1).
Ukuran sel telur ada hubungannya dengan fekunditas. Makin banyak telur yang

dipijahkan ukuran telurnya makin kecil, misalnya pada ikan cod yang diameternya 11,7mm produksi telurnya 10 juta butir.

Salmon atlantik diameter telur 5-6 mm

produksi telurnya 2000-3000 (Blaxter, 1969). Sementara itu, untuk ikan baung dengan
berat 2,7 kg produksi telurnya mencapai 1.365 sampai 160.235 butir (Tang et al.,
1999).
Tabel 1. Kriteria perkembangan gonad ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus)
betina secara morfologis dan histologis pada berbagai tingkat kematangan
(Siregar, 1999)
TKG
I

II

Morfologi

Histologi

Ovari kecil dan halus seperti


benang, warna ovari merah
muda, memanjang di rongga
perut.

Didominasi oleh oogonia


berukuran 7.5-12.5m, inti
sel besar.

Ukuran ovari bertambah


besar, warna coklat muda,
butiran telur belum terlihat
dengan mata telanjang.

Oogonia menjadi oosit


ukuran 200-250m,
membentuk kantung kuning
telur, sitoplasma berwarna
ungu.

Ukuran ovari relatif lebih


besar dan mengisi hampir 1/3
rongga perut, butiran-butiran
telur terlihat jelas dan
berwarna kuning muda.

Lumen berisi telur. ukuran


oosit 750-1125m. Inti
mulai tampak.

III

IV

Gonad mengisi penuh rongga


perut, semakin pejal dan
warna butiran telur kuning
tua. Butiran telur besarnya
hampir sama dan mudah
dipisahkan, kantung tubulus
seminifer agak lunak.

Inti terlihat jelas dan


sebaran kuning telur
mendominasi oosit. Ukuran
oosit 1300-1500m.

Cat. jambal siam sinonim dengan patin siam

2.1.2

Kualitas Telur Ikan


Telur merupakan hasil akhir dari proses gametogenesis, setelah oosit mengalami

fase pertumbuhan yang panjang yang sangat bergantung pada gonadotropin.


Perkembangan diameter telur pada oosit teleostei umumnya karena akumulasi kuning
telur selama proses vitelogenesis. Akibat proses ini, telur yang tadinya kecil menjadi
besar.

Ada tiga macam bahan kuning telur yang berbeda 1) butir minyak (oil droplet), 2)
gelembung kuning telur (yolk vesicle), 3) bola kecil kuning telur (yolk globule). Dalam
vitelogenesis yang sedang berlangsung, sitoplasma telur yang matang ruangannya diisi
oleh bola-bola kecil kuning telur saling bersatu dengan yang lainnya membentuk menjadi
masa kuning telur.
Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk
menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik
ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi
proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak
berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah sebagai
berikut.
Pembuahan
Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini
merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan
sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur.
Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi
dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli
melebur, melepaskan cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang
periviteline (Yamamoto, 1961 dalam Kjorsvik et al., 1990). Kortikal alveoli muncul
setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas
telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika
terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et
al., 2001).
Morfologi
Telur yang belum dibuahi bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan
selaput kapsul atau khorion. Di bawah khorion terdapat selaput yang kedua dinamakan
selaput vitelin. Selaput yang mengelilingi plasma telur dinamakan selaput plasma. Ketiga
selaput ini semuanya menempel satu sama lain dan tidak terdapat ruang diantaranya.
Lapisan vitelin pada ikan mas mempunyai ukuran ketebalan 10.0-10.2 m dan
mempunyai struktur yang komplek dan terdiri dari 4 lapisan yang penamaannya berbeda

berdasarkan penemu (Linhart et al., 1995). Lapisan bagian luar terdiri 2 bagian
berdasarkan perbedaan sitokimia. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua lapisan ini kaya
akan protein.
Selama oogenesis kuning telur mengakumulasi sejumlah besar yolk granules dan
lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24m (Linhart et
al., 1995). Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan
diameter 1-1.5m (Linhart et al., 1995). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi
parameter kualitas telur.
Selama oogenesis, salah satu yang paling mencolok adalah pembentukan sebuah
zona tebal yang sangat berdiferensiasi yang terdiri dari membran telur, membran vitelin,
zona radiata, zona pelusida dan terletak diantara lapisan-lapisan granulosa dan oosit.
Bergantung pada spesies dan tahap pertumbuhan oosit, membran telur bervariasi dalam
hal ketebalan. Tebalnya 7-8m pada oosit ikan mas koki dan sekitar 30 m pada rainbow
trout (Kjorsvik et al., 1990) .
Perubahan morfologi yang dialami membran mencerminkan adaptasi terhadap
berbagai kondisi ekologi. Membran telur ini banyak mengandung protein dan
karbohidrat. Belum dapat dipisahkan apakah asal membran ini dari oosit atau dari sel
folikel atau dari kedua-duanya. Pada oosit kuda laut, Hippocampus erectus dan ikan
pipa Syngnathus fuscus, membran dibentuk oleh oosit, sehingga diklasifikasikan sebagai
selubung primer (Nagahama, 1983).
Menurut Kjorsvik et al. (1990), morfologi sel juga sering digunakan untuk meneliti
kualitas telur dan parameter morfologi ini lebih sensitif dibandingkan dengan
kelangsungan hidup. Pada pembelahan awal (blastomer) embrio tidak berdifferensiasi,
dan ini menjadi dasar untuk perkembangan embrio selanjutnya. Kerusakan pada sel ini
akan mempengaruhi perkembangan akhir dari embrio, dan akhirnya akan terjadi
kerusakan pada salah satu sel dalam perkembangannya. Pengamatan juga termasuk
melihat simetri pembelahan awal serta banyaknya embrio dan larva yang cacat.
Ukuran telur
Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa
digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang

telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume
telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran
telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan
jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan.
Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa
pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil.
Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo
salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler,
1992). Keuntungan ukuran awal yang dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat
kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar
keuntungan ini hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus
mykiss keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler, 1992).
Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan
yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi
yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak
dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al., 1990).
Kandungan kimia
Komposisi biokimia telur yang sehat menggambarkan kebutuhan embrio terhadap
nutrisi dan pertumbuhan. Komponen tertentu diketahui essensial untuk organisme yang
tidak dapat mensintesis nutrien tersebut. Komponen ini harus ada dalam jumlah tertentu
untuk kebutuhan fisiologi. Oleh karena itu parameter biokimia kualitas telur dapat
digunakan. Hasil evaluasi biokimia kualitas telur sebelum fertilisasi mungkin dapat
digunakan.
Material yang diperlukan selama perkembangan secara umum dapat dibagi menjadi
1) diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik, dan 2) digunakan untuk
energi metabolisme (Tang dan Affandi, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah total
dan relatif berbagai nutrien yang diperlukan jelas bervariasi bergantung kepada faktor
seperti waktu pengeraman, ukuran ikan pada waktu menetas dan lamanya anak-anak ikan
memerlukan persediaan bahan endogen sebelum menemukan semua keperluan dari
sumber lain.

Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan


hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan
komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler, 1992). Hasil penelitian
dari pemijahkan induk belanak garis (striped mullet) dalam beberapa fasilitas yang
berbeda (air laut dan air payau atau ditempatkan di dalam gedung serta di kolam air
payau), menunjukkan kadar asam oleat, eikosanoat dan arakidonat yang berbeda
kadarnya pada telur induk matang (Tamaru et al., 1991). Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi pematangan induk akan mempengaruhi kandungan kimia telur.
2.1.3

Peranan Asam Lemak Tak Jenuh (n-6 dan n-3) Pada Kualitas Telur
Lemak pakan merupakan sumber energi dan sumber asam lemak esensial bagi

ikan. Sumber dari lemak akan menentukan susunan asam lemak esensialnya. Pada
tubuh ikan, asam lemak tersebut merupakan salah satu senyawa fosfolipid membran
sel. Watanabe (1988) melaporkan bahwa lemak, selain sebagai sumber energi juga
digunakan untuk struktur sel, dan mempertahankan integritas pada biomembran.
Lemak dan komposisi asam lemak dalam pakan induk telah diidentifikasi sebagai
faktor utama dari nutrien yang menentukan keberhasilan reproduksi dan meningkatkan
derajat kelangsungan hidup larva (Izquierdo et al., 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa
pada beberapa spesies, HUFA dalam pakan induk dapat meningkatkan fekunditas,
fertilisasi dan kualitas telur.
Fosfolipid disusun oleh gliserol, fosfat, asam lemak esensial dan non esensial
terutama asam lemak dari kelompok HUFA (High Unsaturated Fatty Acid) dan PUFA
(Poly Unsaturated Fatty Acid) berperan penting untuk kegiatan metabolisme, komponen
membran, senyawa awal prostaglandin seperti tromboksan, prostasiklin dan leukotrin
(BNF, 1992). Lebih lanjut dikatakan kadar lipid telur masak adalah sebasar 2-10% dari
berat telur bergantung kepada spesiesnya. Telur yang mengandung lipid tinggi
mempunyai banyak gelembung minyak berisi lipid netral (tryacyl gliserol dan wax ester).
Hepher (1990) menyatakan bahwa lipid netral berfungsi sebagai energi
metabolisme bagi embrio selama perkembangan; sedangkan fosfolipid berguna untuk
penyediaan asam lemak essensial yang diendapkan menjadi membran sel sebagai
jaringan. Telur dengan kadar lipid tinggi disertai dengan lipid netral yang tinggi kadarnya

merupakan ciri telur yang masa pengeramannya lama sampai beberapa minggu seperti
pada salmon.
Hubungan positif antara kelangsungan hidup dengan konsentrasi lipid total telur
telah ditunjukkan Xu et al. (1993) pada udang cina (Penaeus chinensis). Diyakini
bahwa kadar asam lemak telur dapat meningkatkan daya tetas dan daya hidup larva.
Dilaporkan bahwa induk ikan yang diberi pakan yang kekurangan asam lemak esensial
(EFA) akan menghasilkan telur yang rendah daya tetasnya dan sebagian besar dari
larva yang dihasilkan adalah abnormal (Watanabe et al., 1984). Pengaruh ini jelas
terlihat pada pemberian pakan tanpa asam lemak esensial pada induk ikan red sea
bream yang dilakukan 2-3 bulan sebelum memijah.
Kualitas pemijahan sea bream dapat ditingkatkan dengan penambahan n-3
HUFA sampai sebesar 1,6% (Palacios et al., 1995). Penelitian lain juga menunjukkan
penambahan n-3 HUFA lebih besar dari 1% (1,5-2,0%) dalam pakan induk Japanese
flounder, dapat meningkatkan normalitas dan derajat kelangsungan hidup larva (Furuita
et al., 2000). Proporsi n-3 HUFA diharapkan lebih tinggi dalam pakan induk karena
sangat terkait dengan kualitas telur terutama untuk meningkatkan daya tetasnya.
Namun dari hasil penelitian pada Japanese flounder, Furuita et al. (2002) memperoleh
proporsi n-3 HUFA tidak boleh lebih dari 32% (diantara 20-25% dari total asam
lemak) karena meningkatnya level n-3 HUFA dapat menurunkan level asam amino
dalam telur yang menyebabkan menurunnya kualitas telur.
Leray et al. (1985) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh defisiensi
asam lemak esensial terhadap proses reproduksi ikan trout selama satu tahun. Ternyata
efisiensi fertilisasi sebanding antara telur-telur yang berasal dari induk yang mendapat
pakan tanpa asam lemak esensial dan dari induk yang mendapatkan asam lemak
esensial. Namun kematian embrio tertinggi dapat terjadi pada hari ke 8 dan ke 22 pada
kelompok telur yang induknya tidak mendapatkan asam lemak essensial. Berdasarkan
pengamatan morfologi maka ternyata kegagalan pembelahan sel yang normal (sel tidak
berkelompok) terjadi pada stadia ke 16 dan ke 32 sel, dan juga terjadi suatu hambatan
perkembangan gastrulasi, dan pada akhirnya terjadi berbagai kelainan pada proses
organogenesis. Selain gejala abnormal tersebut, vitelus pada kelompok larva yang
berasal dari induk yang mendapat makanan tanpa asam lemak esensial lebih cepat

habis dibandingkan dengan kelompok larva yang berasal dari induk yang mendapat
makanan yang mengandung asam lemak esensial (50 hari vs 60 hari). Dari hasil ini
ternyata asam lemak mempunyai peranan yang sangat penting sampai ke
perkembangan larva.
Kebutuhan asam lemak essensial pada ikan air tawar di daerah tropik dapat
dipenuhi dari asam lemak linoleat (18:3n-6) atau linolenat (18:3n-3) atau kombinasi
keduanya (Hepher, 1990).

Selanjutnya dikatakan bahwa ikan ini mempunyai

kemampuan untuk mengkonversi asam-asam lemak tadi menjadi asam lemak berantai
karbon panjang C20 dan C22 dengan jalan memperpanjang rantai karbon dan desaturasi.
Kebutuhan asam lemak esensial pada ikan-ikan air tawar dapat dilihat pada Tabel 2.

2.1.4 Peranan Hormon E2 dalam Reproduksi


Saat ini telah banyak yang diketahui tentang keterlibatan hormon dalam proses
vitelogenesis. Selain E2 beberapa hormon diduga terlibat dalam pertumbuhan oosit
adalah GTH, T4, Triiodotironin, insulin dan hormon pertumbuhan (GH) (Tang dan
Affandi, 2000). E2 adalah estrogen utama pada ikan betina. E2 merupakan perangsang
dalam biosintesis vitelogenin di hati. Disamping itu E2 yang terdapat dalam darah
memberikan rangsangan balik terhadap hipofisis dan hipotalamus ikan. Rangsangan
yang diberikan oleh E2 terhadap hipofisis ikan adalah rangsangan dalam proses
pembentukan gonadotropin. Rangsangan terhadap hipotalamus adalah dalam memacu
sintesis GnRH.
Tabel 2. Kebutuhan asam lemak esensial pada benih dan ikan air tawar dewasa
(Sargent et al., 2002)
Spesies ikan

Asam lemak
esensial

% bobot kering

Rainbouw trout (Onchorhynchus mykiss)

8:3n-3

0.7-1.0

n-3 HUFA

0.4-0.5

Chum salmon (Onchorhynchus keta)

18:2n-6 dan 18:3n-3 1.0 untuk masing-masimg

Coho salmon (Onchorhynchus kisutch)

18:2n-6 dan 18:3n-3 1.0 untuk masing-masimg

Cherry salmon (Onchorhynchus masou)

18:3n-3 atau n-3


HUFA

Arctic charr (Salvelinus alpinus)

1.0
1.0-2.0

18:3n-3

1.0

18:2n-6

0.5-1.0

Ikan koan (Ctenopharyngodon idella)

18:3n-3

1.0 dan 0.5

Tilapia :

18:2n-6 dan 18:3n-3

Ikan mas (Cyprinus carpio)

Oreochromis zilli

18:2n-6

1.0

Oreochromis nilotica

18:2n-6

0.5

Sidat (Anguilla japonica)

18:2n-6 dan 18:3n-3 0.5 untuk masing-masimg

Ayu (Plecoglossus altivelis)

18:3n-3 atau 20:5n-3 1.0

Ikan bandeng (Chanos chanos)

18:2n-6 dan 18:3n-3 0.5 untuk masing-masimg

Channel catfish (Ictalurus punctatus)

18:3n-3

1.0-2.0

n-3 HUFA

0.5-0.75

HUFA, highly unsaturated fatty acid.

GnRH yang dihasilkan bekerja untuk merangsang hipofisis dalam melepaskan


gonadotropin. Gonadotropin yang dihasilkan nantinya berperan dalam proses
biosintesis E2 pada lapisan granulosa. Siklus hormon terus berjalan di dalam tubuh
ikan selama terjadinya proses vitelogenesis (Nagahama, 1983; Yaron, 1995).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi E2 akan
meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah dan konsentrasi E2 yang tinggi dijumpai
pada saat vitelogenesis (Hassin et al., 1991). Penelitian untuk melihat hubungan tersebut
telah dilakukan pada ikan trout, Salmo trutta dan rainbouw trout Salmo gairdneri
(Hjartarson et al., 1991), striped bass Morone sexatilis (Sullivan et al., 1991), dan Clarias
macrocepalus (Tan-Fermin et al., 1997). Sintesis vitelogenin di hati sangat dipengaruhi
oleh E2 yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu, dipengaruhi
juga oleh androgen seperti testosteron yang ada dalam tubuh ikan dan mungkin karena
perubahan dari androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase folikel (Yaron, 1995).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan GtH dapat meningkatkan E2, dan
pola kadar E2 seiring dengan perkembangan telur (Yaron, 1995; Tan-Ferming et al.,
1997).
2.1.5 Peranan Hormon T4 dalam Reproduksi
Aktivitas setiap sel-sel tubuh memerlukan oksigen sehingga sebagian besar selsel itu memerlukan hormon tiroid. Dalam status defisiensi T4 pertumbuhan dan

perkembangan kelenjar seks biasanya akan terganggu dan mengalami retardasi.


Defisiensi hormon tiroid menyebabkan ovarium dan testis menunjukkan gejala-gejala
disfungsi akibat terjadinya degenerasi pada sel-selnya sehingga baik ovarium maupun
testes mengalami atropi.
Menurut Griffin (1996), kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon asam
iodoamino yaitu mono dan triiodotirosin, serta 3,5,3-triiodotironin (T3) dan 3,5,3,5tetraiodotironin atau T4. T4 adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang
disimpan dalam folikel serta mengandung unsur iodium (Djojosoebagyo, 1990). Lebih
lanjut dikatakan bahwa T4 merupakan hormon yang berasal dari asam amino tirosin
yang mengalami modifikasi melalui iodinisasi yakni pengikatan iodium pada asam
amino tirosin dan penyatuan dua molekul diiodotironin (DIT) yang merupakan molekul
dari asam amino tirosin. Konsentrasi T4 pada Salmo gaidneri enam kali lebih banyak
dibandingkan triiodotironin (Donaldson et al., 1979).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa hormon T4 juga dapat
meningkatkan kelangsungan hidup larva, misalnya penelitian pada ikan betutu (Banta,
1997). Pada ikan mas yang diteliti oleh Lam dan Sharma (1985), hormon T4 dapat
menstimulasi perkembangan embrionik pada ikan mas. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa konsentrasi T4 sebesar 0,01 ppm memberikan hasil terbaik bagi
pertumbuhan dan perkembangan larva ikan mas. Diketahui beberapa jenis hormon
cenderung ada pada telur-telur dan larva ikan. Keberadaan hormon T4 pada tahap awal
hidup ikan teleostei secara tidak langsung menunjukkan bahwa hormon ini punya
peranan dalam perkembangan ikan (Ayson dan Lam, 1993). Larva ikan beronang
berumur 7 hari dari induk yang disuntik T4 sebesar 10 dan 100 g/g bobot tubuh
menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan induk kontrol
dan induk yang disuntik T4 1 g/g bobot tubuh. Penelitian yang lain menunjukkan
bahwa penambahan hormon T4 dapat mempengaruhi pertumbuhan pada Salmo
gairdneri, Salmo trutta, Salvelinus fontinalis, Onchorhynchus kisutch, Lebistes
reticulatus, Carassius auratus dan Mugil auratus (Donaldson et al., 1979).
2.1.6

Faktor Lain yang Mempengaruhi Kualitas Telur

Lewat matang (over ripe) pada telur dapat terjadi pada induk. Hal ini sangat penting
untuk menentukan waktu pembuahan telur yang tepat setelah ovulasi. Lewat matang
dapat menjadi masalah khususnya pada ikan yang pemijahannya harus diurut dan dibuahi
secara buatan. Hasil dari beberapa penelitian mengenai fertilitas telur setelah ovulasi
dapat dilihat pada Tabel 3.
Perubahan kadar lipid selama pematangan dan lewat matang telah banyak diteliti.
Kjorsvik et al. (1990), mendapatkan bahwa telur-telur yang lewat matang mengandung
lebih banyak lipid dibanding telur biasa. Selanjutnya dikatakan bahwa pada telur yang
lewat matang kadar dari isi telurnya sama seperti gonad-gonad yang belum matang. Craik
dan Harvey (1984) menemukan bahwa perubahan utama yang berhubungan dengan lewat
matang pada telur rainbouw trout adalah hilangnya sejumlah bahan, meningkatnya kadar
air dan menurunnya protein penting.
Tabel 3. Daya hidup telur setelah ovulasi pada berbagai spesies (Kjorsvik et al., 1990).
Spesies
Roccus saxatilis
Salmo gairdneri
Salmo trutta

Salvelinus alpinus
Clarias macrocephalus
Plecoglossus altivelis
Limanda yokohama
Scophthalmus maximus
Hippoglossus hippoglossus
Gadus morhua
Clupea harengus pallasi
Clupea harengu

Daya hidup
setelah ovulasi
1jam
10 hari
5-7 hari
4-6 hari
< 28 jam
> 76 jam
7 hari
10 jam
24 jam
48 jam
10 jam
> 6 jam
9 jam
2 minggu
48 jam
10-13 jam

Temperatur (C)

10-12
10
15
10
6.5
26-31
121
12-14
4
5
8-10
4
0.8

Pertumbuhan gonad, fekunditas dan kemampuan telur diketahui sangat tergantung


pada pengaruh lingkungan, seperti suhu, pakan, faktor-faktor stres dan fotoperiodisitas
(Carrillo et al., 1989; Aida et al., 1991; Campbell et al., 1991; Pankhurst dan Van Der
Kraak, 1997). Selama gametogenesis suhu sangat penting untuk keberhasilan pemijahan
dan daya hidup telur. Pepin et al. (1997) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi

perkembangan telur dan pemijahan dari ikan Atlantik cod (Gadus morhua). Kjorsvik et
al. (1990) menyimpulkan bahwa suhu penting untuk kualitas telur yang baik seperti pada
ikan mas.
2.2

Kerangka Teoritis
Pematangan gonad pada ikan dipengaruhi oleh umur dan ukuran induk, pakan,

hormon dan lingkungan. Pemilihan kualitas induk yang baik dengan umur dewasa
kelamin yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan pematangan gonad. Ukuran
ikan saat pertama kali matang dalam setiap spesies berbeda, bahkan dalam satu speies
pun akan berbeda bergantung kepada kondisi ekologis lingkungan hidupnya (Sjafei et
al., 1992).
Telah diketahui bahwa asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dapat meningkatkan
kualitas telur. Peningkatan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dalam pakan diharapkan
dapat meningkatkan kadar asam lemak dalam vitelogenin sehingga terjadi peningkatan
kadar fosfolipid telur akhirnya dapat meningkatkan derajat penetasan dan derajat
kelangsungan hidup larva.
Vitelogenesis terjadi karena adanya sinyal lingkungan yang mempengaruhi
hipotalamus dalam merangsang hipofisis menghasilkan gonadotropin yang nantinya akan
mempengaruhi sintesis testosteron yang akan diubah menjadi E2. E2 merupakan
perangsang utama dalam biosintesis vitelogenin di hati. T4 berperan dalam menstimulasi
anabolisme (Matty, 1985) dan membantu proses penyerapan vitelogenin oleh oosit. T4
sangat diperlukan dalam proses perkembangan embrio dalam fase perkembangan
selanjutnya. Oleh karena itu T4 diduga dapat meningkatkan daya hidup larva.
2.3

Hipotesis
Apabila pakan dengan penambahan asam lemak n-6 dan n-3 dengan jumlah dan

perbandingan yang tepat dapat meningkatkan kualitas vitelogenin maka kualitas


fosfolipid telur meningkat sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva
meningkat.
Apabila pemberian hormon E2 dan T4 pada kondisi asam lemak n-6 dan n-3 yang
optimal dapat meningkatkan sintesis dan penyerapan vitelogenin

maka kualitas

fosfolipid dan T4 telur meningkat sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva
meningkat.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Percobaan tahap pertama mengkaji
keterkaitan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 yang ditambahkan dalam pakan buatan dari
sumber alami (minyak ikan dan minyak jagung) dengan kualitas telur dan larva ikan
baung. Hasil percobaan tahap pertama ini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji
berapa banyak penambahan asam lemak n-6 dan n-3 serta perbandingannya dalam pakan
buatan sehingga dapat meningkatkan kualitas telur ikan baung. Di samping itu dikaji juga
seberapa besar asam lemak tak n-6 dan n-3 yang diserap oleh telur.
Percobaan tahap kedua adalah mengkaji keterkaitan kombinasi hormon E2 dan T4
pada berbagai dosis yang diimplantasi dan menggunakan pakan yang terbaik hasil
percobaan tahap pertama dengan kualitas telur dan larva ikan baung. Percobaan tahap
kedua ini merupakan percobaan untuk memperoleh dosis yang optimum untuk
mempercepat pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur. Fenomena tersebut
dapat diindikasikan antara lain pada lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur
dan derajat kelangsungan hidup larva.
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
(BRPBAT) Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dimulai sejak Februari 2005
sampai Februari 2006.
3.1

Percobaan Tahap Pertama


Percobaan tahap pertama merupakan percobaan untuk mengetahui dosis

penambahan minyak ikan dan minyak jagung sebagai sumber asam lemak tak jenuh (n-6
dan n-3) pada pakan induk ikan baung dalam meningkatkan kualitas telur.
3.1.1

Rancangan Perlakuan
Pada percobaan tahap pertama digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dengan jumlah ulangan sebanyak jumlah induk (7 induk betina). Sebagai
perlakuan adalah penambahan asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda dalam pakan
percobaan (Tabel 4).

3.1.2

Pakan uji
Pakan uji yang digunakan ada empat jenis pakan yang berbeda dalam kadar asam

lemak n-6 dan n-3. Pakan dibuat dalam bentuk pelet (Lampiran 3) dengan komposisi
pakan berdasarkan komposisi pakan buatan untuk ikan patin dengan kadar protein 37.81 38.09% dan rasio energi protein 8,5 - 9,0 kkal DE/g. Asam lemak tak jenuh n-3
ditambahkan dengan pemberian minyak ikan dan n-6 dengan penambahan minyak
jagung. Komposisi pakan utama yang digunakan didasarkan pada komposisi pakan dari
percobaan Mokoginta et al. (2000) yang digunakan untuk ikan patin.
Selanjutnya pakan tersebut dianalisis proksimat dan kadar asam lemaknya.
Komposisi pakan dan proksimat pakan serta asam lemak pakan disajikan pada Tabel 4
dan 5. Pengukuran kadar protein pakan dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl
dan pengukuran kadar lemak dilakukan dengan metode Folch et al. (1975) (Takeuchi,
1988). Pengujian kadar asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pakan dilakukan dengan
menggunakan Gas Liquid Chromatography (GLC).
Tabel 4. Komposisi pakan setiap perlakuan
Perlakuan/As. lemak n-6;n-3 (%)

Komponen pakan (%)


Tepung ikan
Tepung kedelai
Pollard
Vitamin mixa
Choline chloride
Mineral mixb
Carboxy methyl cellulose
Minyak kelapa
Minyak jagung
Minyak ikan

A(0.87;0.56)
41.63
18.90
20.45
1.60
0.50
5.87
3.00
8.05
0.00
0.00

B(1.66;0.78)
41.63
18.90
20.45
1.60
0.50
5.87
3.00
5.05
2.00
1.00

C(2.00;1.00)
41.63
18.90
20.45
1.60
0.50
5.87
3.00
4.05
2.00
2.00

D(2.23;1.82)
41.63
18.90
20.45
1.60
0.50
5.87
3.00
2.05
2.00
4.00

a. Per kilogram: Vit. A 200.000 IU; vit D3 1.000.000 IU; Vit E 40.2 IU; vit K3 8 g; vit. C 100 g; vit B1 5 g; vit. B2 5 g;
vit B3 5 g; vit B12 0.01 g; Ca pentothenat 11 g; niacin 20 g; biotin 0.06 g; folic acid 1.5 g; choline 230 g.
b. Per kilogram: Ca 210 g; P 168 g; Mg 13 g; Na 30 g; S 12 g; Zn 1.25 g; Cu 0.2 g; Mn 0.3 g; Fe 6.7 g; I 0.15 g; Co 0.1
g; Se 8 mg (Takeuchi, 1988).

Tabel 5. Komposisi proksimat dan asam lemak n-6 dan n-3 pakan percobaan (% bobot
kering)
Perlakuan/As. lemak n-6;n-3 (%)
A(0.87;0.56) B(1.66;0.78) C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)

Komposisi proksimat:
Protein

37.89

38.09

37.94

37.81

Lemak

14.29

12.29

13.44

14.08

Serat kasar

3.47

3.16

4.00

3.80

Abu

15.52

15.83

16.05

15.43

Al. n-6

0.87

1.66

2.00

2.23

Al. n-3

0.56

0.78

1.00

1.82

EPA

0.15

0.21

0.28

0.52

DHA

0.33

0.46

0.59

1.02

Rasio Al. n-6/n-3

2.27

3.50

2.88

1.94

Asam lemak:

3.1.3

Ikan uji
Induk betina dan jantan ikan baung masing-masing sebanyak 28 ekor yang

digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari hasil pembesaran di Instalasi Riset
Budidaya Air Tawar, Cijeruk selama 1,5 tahun dengan bobot tubuh 290-327g. Induk
yang digunakan masih dara atau belum pernah memijah. Ikan uji betina ditebar dengan
kepadatan 7 ekor pada setiap jaring (2x2x2m) sedangkan untuk jantan disatukan dalam
kolam berukuran 10x5m.
3.1.4

Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur


Induk-induk ikan baung diaklimatisasi terhadap lingkungan percobaan selama 4

minggu. Pakan diberikan secara at satiation dua kali dalam sehari pada pagi dan sore
hari. Monitoring dilakukan terhadap kondisi kesehatan dan respon terhadap pakan.
Setelah itu pakan percobaan mulai diberikan.
Wadah pemeliharaan menggunakan jaring apung berukuran 2x2x2m sebanyak 4
buah. Induk-induk diberi pakan uji sesuai dengan perlakuan masing-masing sampai induk
matang gonad. Dua minggu sekali jaring dibersihkan bersamaan dengan sampling
pengecekan perkembangan gonad. Pengukuran bobot induk dilakukan satu bulan sekali.
Air yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari air sungai dengan suhu berkisar
antara 23-29C, oksigen 5.22-6.93 ppm, pH 6.16-6.97 dan NH3 0.060-0.095 ppm.

Evaluasi gonad dari ikan uji yang dipilih secara acak dilakukan secara mikroskopis
dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan. Evaluasi gonad ini
dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Gonad diambil dan ditimbang kemudian
dilakukan pembuatan preparat histologi (Lampiran 2).
Pengambilan contoh telur dilakukan dengan menggunakan metode kanulasi pada
semua induk. Contoh telur diambil minimal 100 butir per ekor kemudian difiksasi dalam
larutan Bouin dan formaldehida 4%. Diameter telur diukur dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40x dan 100x. Induk
yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur 0.9 mm sebanyak 6070%. Selain itu dilihat juga keadaan perut dari induk, dipilih induk yang perutnya lebih
besar dan lembek.
Setelah 98 hari pemeliharaan, pada beberapa perlakuan sudah diperoleh induk
matang gonad. Pemijahan dilakukan dengan cara pemijahan buatan yakni dengan
menyuntikkan ovaprim pada dosis 0,9 ml/kg induk betina dan 0.5 ml/kg induk jantan.
Penyuntikan dilakukan dua kali, penyuntikan pertama bagian dan penyuntikan kedua
bagian yang dilakukan setelah 6-7 jam dari suntikan pertama. 12-14 jam setelah
penyuntikan kedua, induk siap untuk dipijahkan. Untuk induk jantan penyuntikan
dilakukan sekali. Setelah induk betina menunjukkan tanda-tanda akan ovulasi, sperma
terlebih dahulu disiapkan dengan mengurut bagian perut induk jantan dan sperma yang
keluar ditampung dalam spuit kemudian diencerkan dengan larutan fisiologis dan
disimpan pada suhu 10C. Telur dikeluarkan dengan cara pengurutan bagian perut,
selanjutnya dilakukan pembuahan buatan.
Telur hasil ovulasi induk betina ditetaskan dalam akuarium kaca masing-masing
berukuran 15x15x15cm dilengkapi dengan pipa-pipa aerasi. Air diberi biru metilen
dengan dosis 0,05 cc/l untuk mencegah timbulnya jamur. Telur hasil ovulasi dari satu
induk diambil sebanyak 100-150 butir diletakkan pada lempengan kaca 10x10cm dan
ditempatkan pada satu akuarium. Suhu penetasan berkisar antara 28 29 C dan telur
menetas setelah 22 24 jam.
Akuarium tempat penetasan telur juga digunakan untuk pemeliharaan larva. Larva
yang baru menetas diambil sebanyak 100 ekor kemudian dipelihara selama 2 hari (48

jam) lalu dihitung jumlah larva yang hidup. Data ini digunakan untuk memperoleh
derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari.
Pengukuran kadar asam lemak pakan dilakukan di awal percobaan, sementara
pengukuran kadar asam lemak hati dilakukan di akhir percobaan. Setelah telur
diovulasikan dihitung fekunditasnya dengan menggunakan metode sampling berat.
Kurang lebih 20% dari seluruh telur yang diovulasikan dari setiap induk betina yang
tidak dibuahi dan dibuahi dianalisis kadar asam lemaknya dengan metode Gas Liquid
Chromatografi (GLC). Fosfolipid (FL) dan lipid netral (NL) dengan metode yang
digunakan oleh Takeuchi (1988). Sisa telur yang dibuahi dipindahkan ke akuarium untuk
ditetaskan dan dilakukan pengamatan perkembangan larva. Dari sejumlah larva yang
dihasilkan dipisahkan larva yang normal dan yang abnormal dan dihitung jumlahnya
untuk memperoleh nilai persentase larva abnormal. Sebanyak 1000 ekor larva yang baru
ditetaskan umur 0 jam dan 500 ekor larva umur 24 jam diambil untuk analisis kadar asam
lemaknya.
3.1.5

Analisis Data
Peubah yang diamati untuk perkembangan kematangan gonad dan respon ovulasi

adalah:
1. Diameter telur : seratus butir telur diukur diameternya dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40 dan 100
kali kemudian dibuat sebaran diameter telur.
2. Perkembangan gonad : perkembangan

gonad diamati dengan membuat

preparat histologis ovarium dari setiap perlakuan sebanyak satu ekor dan
diambil di awal dan akhir penelitian.
3. Fekunditas : fekunditas atau jumlah total telur ditentukan dengan mengukur
bobot keseluruhan telur hasil ovulasi tiap induk kemudian diambil 1 g sebanyak
tiga kali dan dihitung jumlah telur dalam 1g telur dan dirata-ratakan kemudian
dikalikan dengan bobot keseluruhan telur lalu dibagi dengan bobot tubuh
induk.
4. Derajat tetas telur

Derajat tetas telur =


dengan

n
F

n
100
F

= Jumlah telur yang menetas

= Jumlah total telur yang ditetaskan

5. Lama Waktu Matang


Lama waktu matang = TNKT 60 80 % - T0
TNKT 60 80 % = waktu saat mencapai nilai kematangan telur = 60 80 %
(diameter telur 0.9 mm); T0 = waktu pengamatan TKG awal
6. Gonad somatik indeks (GSI)
Bobot ovarium
GSI =

x 100
Bobot tubuh

7. Hepatosomatik Indeks (HSI)


Bobot hati
HSI =

x 100
Bobot tubuh

Data lama waktu matang, fekunditas, diameter telur, derajat tetas telur, derajat
kelangsungan hidup larva, dan persentase larva abnormal yang diperoleh dianalisis
dengan uji F. Jika terdapat perbedaan antara perlakuan maka dilakukan uji Duncan (Steel
dan Torrie, 1981). Data kadar asam lemak n-6 dan n-3 (hati, telur dan larva), kadar FL
dan NL, GSI dan HSI dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel
dan gambar.
3.2

PercobaanTahap Kedua
Percobaan tahap kedua merupakan percobaan lanjutan. Pakan terbaik yang

diperoleh pada percobaan tahap pertama digunakan pada tahap kedua; dan percobaan
tahap kedua ini bertujuan untuk mengetahui dosis kombinasi hormon E2 dan T4 yang
optimal dalam meningkatkan kualitas telur.
3.2.1

Rancangan Perlakuan

Metode yang digunakan dalam percobaan tahap kedua adalah model eksperimental
dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Percobaan tahap kedua terdiri atas
5 perlakuan dan 3 ulangan. Kelima perlakuan dibedakan atas dosis kombinasi hormon E2
dan T4 yang diimplant. Perlakuan dosis kombinasi hormon tersebut adalah :
Perlakuan A : 0

g E2 + 0 mg T4 per kg induk (kontrol/pelet kolesterol)

Perlakuan B : 600 g E2 + 0 mg T4 per kg induk


Perlakuan C : 400 g E2 + 10 mg T4 per kg induk
Perlakuan D : 200 g E2 + 50 mg T4 per kg induk
Perlakuan E :
3.2.2

g E2 + 100 mg T4 per kg induk

Pakan uji
Pakan uji yang digunakan adalah pakan terbaik yang diperoleh pada percobaan

tahap pertama yakni pakan perlakuan B (n-6 1.56%; n-3 0.78%).


3.2.3

Ikan uji
Induk betina dan jantan ikan baung sebanyak masing-masing 35 ekor digunakan

dalam percobaan tahap kedua. Induk diperoleh dari hasil pembesaran di Instalasi Riset
Budidaya Air Tawar Cijeruk selama 2 tahun dengan bobot tubuh 393-433g. Induk yang
digunakan masih dara atau belum pernah dipijahkan. Ikan uji ditebar dengan kepadatan 7
ekor per jaring.
3.2.4

Implantasi hormon
Hormon yang digunakan adalah E2 dan T4 buatan Sigma Chemical Company,

USA; dan bubuk kolesterol (5-cholesten-3-ol) buatan Argent Laboratories Inc, cocoa
butter, alcohol 50%, 2-phenoxyethanol dan betadin (Lampiran 3).
3.2.5

Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur


Induk ikan baung sebanyak 35 ekor betina dan 35 ekor jantan diaklimatisasi selama

4 minggu. Selama periode aklimatisasi ikan diberi pakan terbaik yang diperoleh pada
percobaan tahap pertama. Pakan diberikan secara at satiation dua kali dalam sehari pada

pagi dan sore hari. Pemantauan dilakukan terhadap kondisi kesehatan dan respon
terhadap pakan.
Wadah pemeliharaan menggunakan jaring apung berukuran 2x2x2m sebanyak 5
buah. Induk diberi pakan yang terbaik dari percobaan tahap pertama. Pakan diberikan
sampai induk-induk matang gonad. Induk yang matang gonad mulai diperoleh pada hari
ke-28 pemeliharaan.
Dua minggu sekali jaring dibersihkan bersamaan dengan sampling pengecekan
perkembangan gonad dan pengambilan sampel darah. Pengukuran bobot insuk dilakukan
satu bulan sekali. Air yang digunakan dalam percobaan tahap kedua ini sama dengan
yang digunakan pada percobaan tahap pertama. Namun suhu air pada percobaan tahap
kedua relatif lebih rendah 21-27C, oksigen 5.14-6.60 ppm, pH 6.90-7 dan NH3 0.0600.070 ppm. Evaluasi gonad dari ikan uji yang dipilih secara acak kemudian dilakukan
secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan.
Evaluasi gonad ini dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Gonad diambil dan
ditimbang, kemudian dibuat preparat histologinya (Lampiran 2).
Penyuntikan hormon dilakukan dengan menggunakan alat khusus yang disebut
implanter. Caranya dengan menusuk bagian punggung kanan ikan dengan pisau kecil.
Setelah itu alat implant yang berisi hormon ditusukkan ke punggung, dan hormon
disuntikkan ke dalam tubuh ikan.
Contoh darah diambil setiap 14 hari sebanyak 1,5 ml dengan menggunakan spuit
2,5 ml yang berheparin. Contoh darah diambil pada bagian pangkal ekor kemudian
dimasukkan ke dalam tabung polietilen 1,5 ml dan diputar selama 15 menit dengan
kecepatan 3000 rpm dan suhu 5C. Selanjutnya plasma darah diambil dan dimasukkan ke
dalam tabung polietilene dan disimpan pada suhu -20C. Kadar hormon E2 plasma
diukur dengan menggunakan kit radioimmunoassay fase padat (Diagnostic Products
Corporation, Los Angeles CA). Pengukuran dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan zat radioaktif 125I (Lampiran 4).
Pengambilan contoh telur pada semua induk dilakukan dengan menggunakan
metode kanulasi. Contoh telur diambil minimal 100 butir per ekor kemudian difiksasi
dalam larutan Bouin dan formaldehid 4%. Diameter telur diukur dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 40x dan 100x.

Induk yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur 0.9 mm
telah mencapai 60-70%. Selain itu dilihat juga keadaan perut dari induk, yaitu dengan
memilih induk yang perutnya lebih besar dan lembek. Induk matang gonad dipijahkan
dengan cara pemijahan buatan yakni dengan menyuntikkan ovaprim pada dosis 0,9 ml/kg
untuk induk betina dan 0,5 ml/kg untuk induk jantan. Penyuntikan dilakukan dua kali,
penyuntikan pertama bagian dan penyuntikan kedua bagian dilakukan setelah 6-7
jam setelah suntikan pertama. Untuk induk jantan penyuntikan dilakukan sekali. Setelah
induk betina menunjukkan tanda-tanda akan ovulasi, sperma terlebih dahulu disiapkan
dengan mengurut bagian perut induk jantan dan sperma yang keluar ditampung dalam
spuit kemudian diencerkan dengan larutan fisiologis dan disimpan pada suhu 10C.
Kemudian telur dikeluarkan dengan cara pengurutan bagian perut selanjutnya dilakukan
pembuahan buatan.
Telur hasil ovulasi induk betina ditetaskan dalam akuarium kaca masing-masing
15x15x15cm dilengkapi dengan pipa-pipa aerasi. Air diberi biru metilen dengan dosis
0,05 cc/l untuk mencegah timbulnya jamur. Telur hasil ovulasi dari satu induk diletakkan
pada lempengan kaca 10x10cm sebanyak 100-150 butir dan ditempatkan pada satu
akuarium. Suhu penetasan berkisar antara 28 - 29C dan telur menetas setelah 22 24
jam.
Akuarium tempat penetasan telur juga digunakan untuk pemeliharaan larva. Larva
yang baru menetas diambil sebanyak 100 ekor kemudian dipelihara selama 2 hari (48
jam), lalu dihitung jumlah larva yang hidup. Data ini digunakan untuk memperoleh
derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari.
Pengukuran kadar asam lemak hati dilakukan di akhir percobaan. Setelah itu telur
diovulasi dan dihitung fekunditasnya dengan menggunakan metode sampling berat.
Kurang lebih 20% dari seluruh telur yang diovulasikan dari setiap induk betina dianalisis
kadar asam lemaknya dengan metode chromatografi. FL dan NL dengan metode yang
digunakan oleh Takeuchi (1988) (Lampiran 5). Sisa telur yang dibuahi dipindahkan ke
akuarium untuk di tetaskan dan selanjutnya dilakukan pengamatan perkembangan larva.
Dari sejumlah larva yang dihasilkan, dipisahkan larva yang normal dan yang abnormal
dan dihitung jumlahnya untuk memperoleh nilai persentase larva abnormal. Sebanyak

1000 ekor larva yang baru ditetaskan umur 0 jam dan 500 ekor larva umur 24 jam
diambil untuk analisis kadar asam lemaknya.
3.2.6

Analisis Data
Peubah yang diamati untuk perkembangan kematangan gonad dan respon ovulasi

adalah:
1. Diameter telur: seratus butir telur diukur diameternya dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 40
dan 100 kali kemudian dibuat sebaran diameter telur.
2. Perkembangan gonad: perkembangan gonad diamati dengan membuat preparat
histologis ovarium dari setiap perlakuan sebanyak satu ekor dan diambil di awal
dan akhir penelitian.
3. Fekunditas: fekunditas atau jumlah total telur ditentukan dengan mengukur
bobot keseluruhan telur hasil ovulasi tiap induk kemudian diambil 1 g sebanyak
tiga kali dan dihitung jumlah telur dalam 1g telur dan dirata-ratakan kemudian
dikalikan dengan bobot keseluruhan telur kemudian dibagi dengan bobot tubuh
induk.
4. Derajat tetas telur
Derajat tetas telur =
dengan

n
100
F

= Jumlah telur yang menetas

F = Jumlah total telur yang ditetaskan


5. Lama Waktu Matang
Lama waktu matang = TNKT 60 80 % - T0
TNKT 60 80 % = waktu saat mencapai nilai kematangan telur = 60 80 %
(diameter telur 0.9 mm); T0 = waktu pengamatan TKG awal
6. Gonad somatik indeks (GSI)
Bobot ovarium
GSI =

x 100
Bobot tubuh

7. Hepatosomatik Indeks (HSI)


Bobot hati
HSI =

x 100
Bobot tubuh

Data kadar E2 plasma, lama waktu matang, fekunditas, diameter telur, derajat tetas
telur, derajat kelangsungan hidup larva dan persentase larva abnormal yang diperoleh
dianalisis dengan uji F. Jika terdapat perbedaan antara perlakuan maka dilakukan uji
Duncan (Steel dan Torrie, 1981). Analisis kontras polinomial ortogonal diaplikasikan
untuk melihat respon setiap variabel terhadap dosis E2 dan T4 yang diimplan. Data kadar
asam lemak n-6 dan n-3 (hati, telur dan larva), kadar FL telur, NL telur, GSI, dan HSI
dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

IV.

4.1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan Tahap I
Pemberian pakan uji yang mengandung asam lemak esensial berbeda terhadap

induk ikan baung yang dipelihara dalam jaring apung, telah menghasilkan data yang
berkaitan dengan perkembangan gonad induk, kuantitas dan kualitas telur dan larva
yang dihasilkannya.
4.1.1 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva
Setelah 160 hari pemeliharaan induk ikan baung dengan pemberian pakan
percobaan dapat diperoleh data kadar asam lemak hati, telur dan larva. Hasil analisis
asam lemak n-6 dan n-3 hati, telur dan larva disajikan dalam Tabel 6. Data hasil
analisis komposisi asam lemak hati, telur dan larva lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 6, 7 dan 8.
Tabel 6 berikut ini menunjukkan bahwa kadar asam lemak jenuh di hati
menurun dengan adanya pemberian asam lemak n-6 dan n-3 pakan, namun adanya
pemberian yang semakin tinggi akan menyebabkan kadar asam lemak jenuh naik
kembali seperti yang ditunjukkan oleh perlakuan D. Sebaliknya asam lemak
monoenoat cenderung meningkat dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3
pakan sampai perlakuan C dan menurun kembali pada perlakuan D.
Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa kadar asam lemak jenuh pada telur ovulasi
menurun sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 pada pakan induk.
Sebaliknya total asam lemak monoenoat naik sejalan dengan naiknya kadar asam
lemak n-6 dan n-3 pakan.
Asam lemak n-6 dan n-3 telur naik sampai kadar asam lemak n-6 2.00%
(perlakuan D) dan asam lemak n-3 1.00% (perlakuan C), namun pada kadar asam
lemak n-3 yang lebih tinggi dalam pakan seperti yang ditunjukkan perlakuan D
dengan kadar asam lemak n-3 1.82% akan menurunkan kadar asam lemak n-3 pada
telur. Kadar lemak telur tertinggi terdapat pada perlakuan C.

Tabel 6. Total kadar asam lemak (% area) hati, telur dan larva ikan baung
(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I
Perlakuan/Asam lemak n-6;n-3(%)
Asam lemak
A
(0.87;0.56)
Hati :
Al. jenuh
monoenoat
Al.n-6
Al.n-3
Rasio Al. n-6/n-3
Telur:
Al. jenuh
monoenoat
Al.n-6
Al.n-3
Rasio Al. n-6/n-3
Lemak(% bbt kering)
Larva:
Al. jenuh
monoenoat
Al.n-6
Al.n-3
Rasio Al. n-6/n-3
Lemak(% bbt kering)

35.49
25.47
7.66
16.20
0.47
48.17
17.11
6.05
14.52
0.42
8.24
0 jam 24 jam
45.14 44.60
18.31 17.74
5.91
5.47
13.56 12.04
0.44
0.45
8.10
6.58

B
(1.66;0.78)

C
(2.00;1.00)

D
(2.23;1.82)

33.98
30.75
8.89
12.44
0.71

35.50
25.38
16.37
11.84
1.38

35.83
19.43
10.65
17.38
0.61
9.24
0 jam 24 jam
35.06 33.94
20.31 18.80
10.33 10.03
14.75 12.04
0.81 0.91
6.68 4.49

35.49
22.63
11.86
14.34
0.83
7.97
0 jam 24 jam
33.04 29.78
21.25 20.79
10.38 9.16
12.67 10.13
0.82 0.90
7.72 6.94

34.00
27.53
7.39
15.34
0.48
39.96
17.25
9.11
15.21
0.60
7.17
0 jam 24 jam
39.85 39.31
18.37 17.56
9.52 8.60
14.43 12.78
0.66 0.67
6.66 3.88

Secara umum terjadi penurunan kadar asam lemak jenuh, asam lemak n-6 dan
n-3 mengalami penurunan dari telur ke larva dan penurunan tertinggi terjadi pada
asam lemak jenuh, sedangkan kadar asam lemak monoenoat mengalami sedikit
peningkatan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 naik cukup tinggi pada perlakuan C,
sedangkan pada tiga perlakuan lainnya relatif sama atau hanya terjadi sedikit
peningkatan kecuali perlakuan D yang mengalami penurunan.
Dari kadar lemak, asam lemak jenuh, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6
dan asam lemak n-3 pada larva umur 0 jam ke umur 24 jam, semua perlakuan
mengalami penurunan. Sebaliknya untuk rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada semua
perlakuan mengalami peningkatan. Persentase penurunan asam lemak esensial dari
larva umur 0 jam ke larva umur 24 jam yang besar terjadi pada asam lemak n-3.

4.1.2

Fosfolipid dan Lipid Netral


Kadar FL dan NL telur dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar FL pada telur ovulasi

lebih tinggi dibandingkan dengan kadar NL. FL mengandung asam lemak esensial
dan kadarnya relatif sama pada keempat perlakuan; sedangkan

nilai NL yang

merupakan cadangan energi, tertinggi diperoleh pada perlakuan B yang diberikan


pakan mengandung asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% pada induk.
Tingginya NL menunjukkan tingginya cadangan energi untuk proses pembelahan sel
sampai pada penetasan.
Tabel 7.

Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada
percobaan tahap I

Perlakuan/ Asam lemak


n-6;n-3 (%)
A(0.87;0.56)
B(1.66;0.78)
C(2.00;1.00)
D(2.23;1.82)

FL

NL

63.86
60.42
62.23
62.64

36.14
39.58
37.77
37.36

Rasio NL/FL
0.57
0.67
0.61
0.60

4.1.3 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik


Indeks
Rata-rata diameter telur matang yang dihasilkan oleh tiap induk pada akhir
percobaan disajikan pada Tabel 8 dan data lengkapnya pada Lampiran 12. Pemberian
pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda tidak memberikan
pengaruh pada diameter telur dari induk ikan baung (P>0.05) (Lampiran 13). Pada
Tabel 8 juga terlihat bahwa pada percobaan tahap I, perlakuan B menghasilkan nilai
GSI dan HSI tertinggi.
Rata-rata diameter telur pada pengamatan setiap 2 minggu sekali disajikan pada
Gambar 1. Secara keseluruhan dari tiap perlakuan terjadi peningkatan diameter telur
dari awal sampai akhir percobaan. Telur dikatakan sudah matang apabila rata-rata
diameter telur 0.9mm.

Tabel 8. Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung
(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I
Perlakuan/Asam lemak

Bobot tubuh
(gram)

n-6;n-3 (%)

Diameter telur
(mm)

GSI

HSI

(%)

(%)

A(0.87;0.56)

42612.02

1.110.15a

9.49

0.97

B(1.66;0.78)

45623.33

1.230.02a

11.06

1.45

41020.82

10.38

1.18

10.23

1.31

C(2.00;1.00)
D(2.23;1.82)

1.190.15

40011.54

1.030.07

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0.05); rata-rata SE

Dari Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa rata-rata diameter telur 0.9mm mulai
diperoleh pada pengamatan hari ke 98 pada semua perlakuan. Pada hampir semua
perlakuan kecuali perlakuan A, induk terakhir dapat dipijahkan pada pengamatan hari
ke-112 dengan rata-rata diameter telur terbesar terdapat pada perlakuan B.
Distribusi diameter telur setiap waktu pengamatan menunjukkan ukuran
diameter telur yang heterogen dimana sejak awal pengamatan diperoleh diameter
telur dengan ukuran 0.1mm sampai dengan ukuran lebih besar dari 1mm (Lampiran
14 dan 15 serta pada Gambar 2). Namun demikian proporsi telur dengan diameter
0.9mm lebih tinggi pada akhir percobaan dibandingkan pada awal percobaan. Pada
awal percobaan ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1-0.3mm.

P ER L AK U AN B
DIAMETER TELUR (mm)

DIAMETER TELUR (mm)

P E R LAK U AN A
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0

14

28

42

56

70

84

98

112

1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00

126

14

28

W AKT U P ENG AM AT AN

DIAMETER TELUR (mm)

DIAMETER TELUR (mm)

1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
14

28

42

56

56

70

84

98

112

84

98

112

PE RLAKUAN D

P E R L AK U A N C
1.20

42

W AKTU PENGAM ATAN

70

W A KT U P ENG AM AT AN

84

98

112

1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0

14

28

42

56

70

W AKTU PENGAMATAN

Gambar 1. Rata-rata diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada
percobaan tahap I

f
n
g

Gambar 2.

Struktur jaringan gonad induk-induk ikan baung (Hemibagrus nemurus


Blkr) pada percobaan tahap I, gonad yang diambil pada awal percobaan
(a), gonad yang diambil pada akhir percobaan (b), granula kuning telur
(g), nukleolus (n) dan folikel (f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE

4.1.4 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Derajat


Kelangsungan Hidup Larva Umur 2 Hari dan Persentase Larva Abnormal
Hasil pengamatan terhadap lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur,
derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal disajikan pada Tabel 9 dan
Lampiran 16. Pemberian pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda
memberikan pengaruh yang sama (P>0.05) terhadap lama waktu matang, derajat
kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal (Tabel 9; Lampiran 17, 19 dan
20).
Namun demikian perbedaan kadar asam lemak n-6 dan n-3 berbeda dalam
pakan induk memberikan pengaruh terhadap fekunditas dan derajat tetas telur.
Fekunditas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan B dan terendah pada perlakuan C
(P<0.10, Lampiran 18). Derajat tetas telur terendah dihasilkan oleh perlakuan D,
diikuti oleh perlakuan A dan yang tertinggi pada perlakuan B dan C (P<0.05,
Lampiran 21).

Tabel 9.

Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan


hidup larva umur 2 hari, dan persentase larva abnormal dari induk ikan
baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I

Perlakuan /
As. lemak

Lama waktu
matang

n-6;n-3 (%)

(hari)

A(0.87;0.56)
B(1.66;0.78)
C(2.00;1.00)
D(2.23;1.82)

Fekunditas
(butir/g
bobot induk)

Derajat
tetas telur
(%)

Derajat
kelangsungan
hidup larva
(%)

Persentase
larva
abnormal
(%)

1129.3
3a

42.449.8
3b

75.901.00

81.1511.0
0a

0.450.05

1074.6
7a

68.704.0
7a

89.881.00

90.334.49

1.02
0.54a

1074.6
7a

40.535.3
6b

89.181.50

88.809.00

0.620.02

1074.6
7a

42.2610.
18b

38.3518.0
5c

87.354.50

2.270.65

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0.05 dan 0.10); rata-rata SE

Dari Gambar 3 dapat dilihat beberapa bentuk abnormalitas yang diperoleh pada
percobaan tahap I. Umumnya keabnormalan terjadi pada bagian punggung dan perut.

c
Gambar 3. Gambaran morfologis larva: normal (a), larva abnormal pada bagian
punggung (b) dan larva abnormal pada bagian perut (c) dari larva ikan
baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I
4.1.5 Pembahasan
Percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian asam lemak n-6 dan n-3 dalam
pakan mutlak diperlukan untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas telur dan
larva ikan baung. Asam lemak n-6 di hati cenderung naik sejalan dengan naiknya
asam lemak n-6 dalam pakan; sebaliknya asam lemak n-3 menurun. Ikan baung
adalah ikan air tawar yang kebutuhan akan asam lemak n-6 umumnya sama atau lebih
tinggi dari asam lemak n-3. Takeuchi (1996) menyatakan bahwa pada umumnya ikan
air tawar membutuhkan asam lemak n-6 atau kombinasinya dengan n-3, namun untuk
setiap spesies ikan membutuhkan kadar asam lemak esensial yang berbeda. Hasil
percobaan ini sejalan dengan yang ditemukan pada jenis ikan lele lainnya seperti ikan
lele lokal dan patin (Mokoginta et al., 1995 dan 2000). Ikan lele lokal dan patin
membutuhkan asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3 berturut-turut 1,85%
dan 2.2% untuk asam lemak n-6 dan 0.56% dan 0.9% untuk asam lemak n-3.
Hal yang berbeda ditunjukkan asam lemak n-6 dan n-3 telur. Kadar asam lemak
n-6 naik sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 pakan, namun asam lemak n-3
telur naik sampai pada kadar 1.00% asam lemak n-3 pakan, kemudian menurun
kembali pada kadar 1.82% asam lemak n-3 pakan. Penyimpanan asam lemak pada
telur merupakan akumulasi vitelogenin dari hasil proses vitelogenesis. Hasil
percobaan ini memperlihatkan bahwa selama proses vitelogenesis, asam lemak
esensial yang disimpan disesuaikan dengan kebutuhan embrio ikan baung. Ternyata
asam lemak n-3 yang disimpan dibatasi sampai batas tertentu (perlakuan C),
mengingat ikan baung adalah ikan air tawar.

Walaupun dalam pakan kadar asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3
untuk semua perlakuan, namun pada telur tidak demikian. Ikan baung adalah ikan air
tawar yang umumnya untuk pertumbuhan membutuhkan asam lemak n-6 lebih tinggi
atau sama dengan asam lemak n-3, namun percobaan ini memperlihatkan bahwa
untuk reproduksi atau perkembangan embrio justru diperlukan asam lemak n-3.
Disamping itu adanya sifat asam lemak n-3 yang mempunyai afinitas lebih tinggi
dibandingkan dengan asam lemak n-6 pada posisi FL maupun trigliserida
menyebabkan asam lemak n-3 pada telur tinggi. Hasil percobaan yang sama diperoleh
oleh Mokoginta et al. (2000) pada ikan patin. Pada percobaan tersebut kadar asam
lemak n-3 pada telur meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar asam lemak n-3
pakan, tetapi kadar asam lemak n-6 pada telur menurun. Mayes (2003) menyatakan
bahwa setiap seri asam lemak berkompetisi untuk sistim enzim yang sama dan
afinitas menurun dari seri asam lemak n-3 ke n-6 hingga n-9.
Peningkatan kadar total asam lemak n-3 telur diduga karena meningkatnya
kadar asam lemak n-3 HUFA (C22:6n-3) dari pakan (minyak ikan) dan juga hasil
konversi dari asam lemak (C18:5n-3), sehingga dapat dikatakan bahwa ikan ini
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendesaturasi dan memperpanjang rantai
karbon asam lemak C18 menjadi C22 (n-3 HUFA). Namun demikian penyimpanan
asam lemak n-3 pada telur dibatasi pada batas tertentu dengan membatasi konversi
asam lemak n-3 seperti yang ditunjukkan oleh perlakuan D. Takeuchi (1996)
menyatakan bahwa sampai batas tertentu konversi asam lemak linolenat (18:3n-3)
menjadi asam lemak DHA (22:6n-3) dihambat oleh kadar asam lemak linolenat
pakan.
Telah diketahui bahwa asam lemak n-6 dan n-3 sebagai asam lemak esensial
dapat mempengaruhi sifat fluiditas dari membran sel. Permeabilitas membran sel
tersebut dipengaruhi oleh FL yang merupakan lipid aktif yang peranannya
dipengaruhi oleh asam lemak tak jenuh dalam senyawa FL tersebut (Sargent et al.,
1989). Perubahan fluiditas membran yang diakibatkan oleh perubahan komposisi
asam lemak akan mempengaruhi metabolisme sel melalui perubahan aktivitas enzimenzim yang terdapat pada membran sel.

Asam lemak esensial dalam proses reproduksi juga mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan pembentukan senyawa prostaglandin. Senyawa prostaglandin
juga disintesis dari asam lemak EPA (Leray et al, 1985). Jadi dapat dikatakan bahwa
rendahnya derajat tetas telur pada perlakuan D terjadi karena rendahnya kadar asam
lemak n-3 terutama DHA pada telur (Tabel 6). Pendapat yang sama dikemukakan
oleh Li et al. (2005) dan Izguierdo et al. (2001) yang menyatakan bahwa kelebihan
dan kekurangan asam lemak n-3 HUFA dapat menimbulkan efek negatif terhadap
kualitas telur. Pada penelitian ini persentase larva abnormal perlakuan A sama dengan
perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa asam lemak esensial baik asam lemak
n-6 maupun asam lemak n-3 pada perlakuan A belum mengalami defisiensi.
Pola komposisi asam lemak esensial tidak banyak berubah dari telur ke larva
pada 0 jam dan 24 jam pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa asam
lemak esensial tersebut penting baik untuk embrio maupun larva. Namun demikian
ada penurunan kadar lemak dan asam lemaknya, sebab lemak merupakan sumber
energi untuk embrio dan larva. Penurunan kadar asam lemak jenuh dari telur ke larva
lebih besar dibandingkan dengan asam lemak esensial. Ini berarti energi untuk
pembelahan sel dan perkembangan embrio sebagian besar berasal dari asam lemak
jenuh, sedangkan asam lemak esensial disimpan sebagai cadangan untuk
pertumbuhan larva.
Dari larva 0 jam ke larva 24 jam, penggunaan asam lemak n-3 lebih besar
dibandingkan dengan asam lemak n-6; sehingga menyebabkan peningkatan nilai rasio
asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pada larva umur 24 jam. Hal ini menunjukkan
bahwa larva baung mempertahankan asam lemak n-6. Ikan baung adalah ikan air
tawar yang lebih membutuhkan asam lemak n-6 lebih besar dari pada asam lemak n-3
untuk pertumbuhan. Dari hasil percobaan ini juga dapat dilihat bahwa pada larva,
asam lemak berantai C panjang yang disimpan dalam telur dan larva digunakan
sebagai sumber energi yang lebih efisien. Hal ini dapat dilihat dari persentase
penurunan asam lemak esensial yang lebih besar dibandingkan dengan asam lemak
jenuh. Selanjutnya pola komposisi asam lemak pada larva 0 jam yang tidak banyak
berubah, menunjukkan bahwa masih tersedia cadangan lemak dan asam lemak untuk

proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis cadangan makanannya


(endogenous) sehingga derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari pada semua
perlakuan cukup tinggi.
Selain kadar asam lemak n-6 dan n-3, juga rasio dari asam lemak n-6 dan n-3
cukup berperan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 tertinggi pada perlakuan B
menghasilkan fekunditas dan derajat tetas telur tertinggi. Percobaan untuk melihat
pengaruh rasio dari asam lemak n-6 dan n-3 terhadap kualitas telur pada induk ikan
lele lokal dilakukan oleh Mokoginta et al. (1998) yang mendapatkan bahwa hasil
perbedaan rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan induk dapat mempengaruhi
komposisi asam lemak telur serta kualitas telur induk tersebut. Dengan demikian
dapat dikatakan perbandingan asam lemak n-6 dan n-3 yang

tepat akan dapat

meningkatkan kualitas telur.


Secara umum terlihat bahwa pada percobaan pertama ini induk-induk pada
seluruh perlakuan menghasilkan lama waktu matang dan diameter telur yang sama.
Kesamaan hasil yang diperoleh disebabkan induk-induk yang digunakan masih muda
dengan selisih ukuran dari tiap induk yang kecil dan juga pertama kali dipijahkan
sehingga ukuran telur yang dihasilkan relatif sama. Tang dan Affandi (2000),
menyatakan bahwa telur yang dihasilkan oleh induk ikan sangat dipengaruhi oleh
umur, ukuran dan pemijahan awal. Disamping itu perkembangan gonad sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan protein dan energi serta nutrien pakan yang lain.
Dalam penelitian ini pakan yang diberikan mengandung protein dan energi yang sama
serta terpenuhinya asam lemak esensial untuk memproduksi telur. Menurut Kamler
(1992), protein merupakan komponen dominan dalam kuning telur; sedangkan
jumlah dan komposisi kuning telur akan menentukan besar kecilnya ukuran telur.
Di alam ikan baung memijah pada musim penghujan bulan Desember sampai
bulan Februari (Mulflikhah et al., 1998). Berdasarkan hasil histologi (Gambar 2)
diperoleh diameter telur yang heterogen; dan dari pengamatan jika telur-telur yang
berukuran 0.9 mm dengan sebaran 60-70% tidak diovulasikan maka telur-telur
tersebut akan mengalami atresia. Induk-induk ikan baung akan siap dipijahkan lagi
dalam waktu 4 sampai 6 minggu kemudian, jadi dapat dikatakan bahwa induk ikan

baung dalam wadah budidaya dengan pemberian pakan yang optimal dapat memijah
sepanjang tahun.
Dari hasil analisis FL dan NL pada induk-induk perlakuan B yang
menghasilkan derajat tetas telur tertinggi mengandung NL dan rasio NL dan FL yang
lebih tinggi dari perlakuan lainnya. NL (lipid nonpolar) merupakan sumber energi
utama bagi perkembangan embrio dan larva sehingga jika dalam telur kekurangan
sumber energi maka asam lemak esensial akan digunakan untuk energi. Mokoginta et
al. (1995) mencatat bahwa bahwa rasio lipid nonpolar dan lipid polar pada ikan lele
lokal (Clarias batrachus) semakin meningkat sejak awal embriogenesis yang
menunjukkan bahwa lipid nonpolar berperan penting sebagai sumber energi dan
semakin tinggi rasio NL dan FL menunjukkan ikan tersebut defisiensi akan asam
lemak esensial. Tidak terlalu banyak berkurangnya kadar asam lemak n-6 dan n-3
pada larva yang baru menetas, maka kadar asam lemak n-6 dan n-3 akan menjadi
cadangan untuk proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis kuning telur.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ikan baung sebagai ikan air tawar
membutuhkan asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% dalam pakannya
untuk menghasilkan kualitas telur yang tinggi. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam
pakan 3.50 dapat menghasilkan kualitas telur terbaik.

4.2

Percobaan Tahap II
Ada tiga aspek utama yang dilakukan pada percobaan tahap kedua ini, yaitu

respon fisiologis, respon perkembangan ovarium dan respon kualitas larva yang
dihasilkan terhadap implantasi hormon E2 dan T4. Respon fisiologis dilihat dari
profil hormon E2 plasma; respon perkembangan ovarium dilihat dari tiga variabel
utama yaitu sebaran diameter telur, GSI dan HSI; respon kuantitas dan kualitas telur
serta larva dilihat dari fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup larva
umur 2 hari, dan persentase larva abnormal.
4.2.1 Kadar Estradiol-17 dalam Plasma Darah

Kadar hormon E2 plasma darah ikan baung selama percobaan dapat dilihat
pada Gambar 4 dan Lampiran 22. Konsentrasi hormon E2 plasma pada awal
percobaan dari semua perlakuan sedikit bervariasi walaupun ukuran ikan relatif sama.
Konsentrasi hormon E2 plasma pada induk ikan yang diberi perlakuan mengalami
perubahan yang sangat berarti. Konsentrasi tertinggi terjadi pada hari ke-14 setelah
pemberian implant hormon. Dosis hormon E2 yang berbeda berpengaruh pada kadar
E2 plasma pada pengamatan hari ke-14 (P<0.05; Lampiran 23). Perlakuan B lebih
tinggi dari C dan D; C dan D lebih tinggi dari A dan E.
Konsentrasi hormon E2 plasma antar waktu sampling menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0.01; Lampiran 24). Konsentrasi hormon E2 pada hari ke 0 dan
14 berbeda nyata dari hari sampling lainnya. Kadar hormon E2 setelah hari ke 14
pada perlakuan B, C dan D mulai mengalami penurunan sampai pengamatan hari ke
84, sedangkan perlakuan A dan E sudah mengalami penurunan sejak awal
pengamatan. Kecuali perlakuan C, kadar E2

semua perlakuan mengalami

peningkatan kembali pada pengamatan hari ke 98.

ESTRADIOL PLASMA (ng/ml)

9.00
8.00
7.00
A=KONTROL

6.00

B=E600T0

5.00

C=E400TI0

4.00

D=E200T50

3.00

E=E0T100

2.00
1.00
0.00
0

14

28

42

56

70

84

98 112

WAKTU PENGAMATAN (hari ke-)

Gambar 4. Kadar E2 plasma darah induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)
pada percobaan tahap II

Dari hasil pengamatan ini juga terlihat bahwa dosis E2 (200 - 600g/kg bobot
induk) dapat meningkatkan kadar E2 dalam plasma darah sampai pada pengamatan
hari ke 14. Setelah itu implantasi hormon estradiol tidak berpengaruh lagi pada kadar
E2 plasma . Pengaruh dosis E2

terhadap kadar E2

plasma

pada hari ke 14

menunjukkan kecenderungan respon linier (Lampiran 25 dan Gambar 5) yang berarti


kadar E2 plasma meningkat Y=5.92+0.004X, R2=0.84, dengan meningkatnya dosis
E2 yang diimplan.

9.0

Estradiol plasma (ng/ml)

8.5
8.0
7.5
7.0

Y=5.92+0.004X, R2=0.84

6.5
6.0
5.5
5.0
0

100

200

300

400

500

600

700

Dosis Estradiol

Gambar 5. Hubungan dosis E2 yang diimplantasi dengan kadar E2 plasma darah


induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II

4.2.2 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva
Komposisi kadar asam lemak hati, telur dan larva ikan baung disajikan pada
Tabel 10 dan Lampiran 9, 10 dan 11. Kadar asam lemak hati, telur dan larva,
dipengaruhi oleh implantasi hormon E2 dan T4.
Tabel 10 juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar asam lemak jenuh
pada hati dengan adanya implantasi hormon. Dosis implantasi T4 yang tinggi tanpa
E2 menyebabkan kadar asam lemak jenuh pada hati tinggi. Kadar asam lemak
monoenoat rendah pada induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 pada dosis
tertinggi. Sebaliknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 tinggi.

Kadar asam lemak pada telur naik sejalan dengan naiknya dosis implantasi
hormon E2. Implantasi E2 600 g/kg bobot induk tanpa T4 menghasilkan telur
dengan kadar lemak total, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6 dan n-3 lebih
tinggi dibandingkan perlakuan yang diberi kombinasi E2 dan T4 ataupun T4 saja.
Rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada telur dari semua perlakuan mengalami
peningkatan dibandingkan dengan rasio n-6 dan n-3 pada hati.
Kadar lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3
mengalami penurunan selama embriogenesis (dari telur ke larva yang baru menetas)
dan dari larva yang baru menetas ke larva berumur 2 hari. Pola ini sama dengan pola
pada percobaan tahap I. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 relatif sama atau hanya sedikit
peningkatannya.
Penurunan tertinggi dari semua kadar asam lemak dari larva yang baru menetas
ke larva umur 2 hari terjadi pada perlakuan D. Pada perlakuan D juga kadar lemak
pada larva umur 2 hari berkurang sebanyak 42% dari kadar lemak pada saat baru
menetas.
4.2.3 Fosfolipid dan Lipid Netral
Tabel 11 menyajikan kadar FL dan NL pada telur. Kadar FL tertinggi pada
perlakuan A dan B. Kadar FL telur cenderung menurun dengan menurunnya dosis
implantasi E2 dan naiknya dosis T4. Sebaliknya kadar NL dan rasio NL terhadap FL
meningkat, yang tertinggi pada perlakuan E (T4 100 mg/kg bobot induk).
4.2.4 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik
Indeks
Bobot induk, diameter telur, gonadosomatik indeks dan hepatosomatik indeks
disajikan pada Tabel 12. Pengaruh implantasi dosis E2 dan T4 terhadap rata-rata
diameter telur matang tidak berbeda nyata (P>0.05; Lampiran 27). Ukuran diameter
telur dari induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 relatif seragam.
Diameter telur antara waktu sampling menghasilkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0.01; Lampiran 28). Perbedaan waktu pengamatan memperlihatkan bahwa
diameter telur terbagi atas tiga kelompok yakni pertama, diameter telur pada

pengamatan awal (0 hari) berbeda dengan diameter telur yang diperoleh pada waktu
berikutnya; Kedua, waktu pengamatan pada hari ke 14 memperlihatkan diameter telur
relatif sama antar perlakuan sampai pada pengamatan hari ke 98; dan ketiga, waktu
pengamatan mulai hari ke 28 menghasilkan ukuran diameter telur yang relatif sama
antar perlakuan sampai pada hari akhir pengamatan. Untuk lebih jelasnya
perkembangan diameter telur pada tiap waktu pengamatan dapat di lihat pada Gambar
6 dan Lampiran 29.

Tabel 10. Total kadar asam lemak (% area) di hati, telur dan larva ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II
Perlakuan/ E2 g/kg; T4 mg/kg
Asam lemak
Hati
Al. jenuh
monoenoat
Al.n-6
Al.n-3
Rasio Al. n-6/n-3
Telur
Al. jenuh
monoenoat
Al.n-6
Al.n-3
Rasio Al. n-6/n-3
Lemak (%) bbt kering
Larva
Al. jenuh
monoenoat
Al.n-6
Al.n-3
Rasio Al. n-6/n-3
Lemak(%) bbt kering

A
(Kontrol)

B
(600;0)

C
(400;10)

D
(200;50)

E
(0;100)

33.71
25.12
8.58
14.96
0.57

34.39
22.98
9.08
18.38
0.49

33.16
26.46
8.71
16.55
0.53

37.34
23.38
7.23
15.52
0.47

39.01
22.61
8.79
18.89
0.47

41.15
19.63
11.74
15.94
0.74
9.70
0 jam 24 jam
40.73 38.05
20.16 20.07
11.62 11.43
15.50 14.38
0.75
0.80
8.35
6.37

40.22
19.20
9.98
14.50
0.69
8.60
0 jam 24 jam
40.16 39.85
19.27 18.73
9.73
9.05
13.99 12.92
0.70
0.70
8.05
6.80

37.92
17.08
10.86
15.02
0.72
7.94
0 jam
24 jam
36.77
35.79
18.36
17.79
10.11
9.20
14.55
14.24
0.70
0.65
5.36
5.05

39.53
18.46
9.13
14.38
0.64
8.55
0 jam 24 jam
38.62 38.17
17.90 17.50
8.95
8.95
13.66 13.40
0.66
0.63
6.76
6.16

38.66
19.47
10.63
15.04
0.71
8.58
0 jam 24 jam
37.67 25.78
18.62 12.76
9.37
5.48
13.18
9.38
0.71
0.58
7.96
4.65

44

Tabel 11. Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada
percobaan tahap II
FL

NL

Rasio NL/FL

A(0;0)

61.66

38.34

0.62

B(600;0)

61.76

38.28

0.62

C(400;10)

60.79

39.21

0.65

D(200;50)

60.36

39.65

0.67

E(0;100)

59.55

40.45

0.68

Perlakuan
(E2 g/kg; T4 mg/kg)

Hasil pengukuran GSI dan HSI pada induk matang gonad memperlihatkan nilai
tertinggi pada perlakuan B yang diberi implantasi E2 sebesar 600 g/kg bobot induk
tanpa T4 dan terendah perlakuan C.
Tabel 12.

Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung
(Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II

Perlakuan
(E2

g/kg; T4
mg/kg)

Bobot tubuh
(gram)

Diameter telur
(mm)

GSI
(%)

HSI
(%)

47035.12

1.080.11a

10.79

1.63

B(600;0)

42020.82

1.230.03

13.66

1.71

C(400;10)

41317.64

0.920.04a

10.35

1.51

44020.82

11.44

1.65

10.58

1.63

A(0;0)

D(200;50)
E(0;100)

43025.17

1.280.08
1.100.03

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0.05); rata-rata SE; n=3

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada perlakuan B(600:0) dari 3 induk yang
dipijahkan, induk pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke-28 dan induk terakhir
dipijahkan pada pengamatan hari ke-70. Perlakuan C(400:10) dan D(200:50) induk
pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke 58 dan induk terakhir dipijahkan pada
pengamatan hari ke-112 dan 126. Perlakuan A(kontrol) dan E(0:100) induk pertama
dipijahkan pada pengamatan hari ke 112 dan 70 serta induk terakhir dipijahkan pada

pengamatan hari ke-126. Hasil histologi gonad di awal dan akhir percobaan
memperlihatkan gambaran seperti pada percobaan tahap pertama dimana sejak dari
awal pengamatan sampai pengamatan akhir (induk matang) ukuran diameter telur
heterogen (Gambar 7) dan pola sebaran diameter tiap waktu pengamatan dapat dilihat
pada Lampiran 30.

P E R LAK U AN B
DIAMETER TELUR(mm)

DIAMETER TELUR(mm)

PERLAKUAN A
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0

14

28

42

56

70

84

98

112

1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00

126

14

W AKTU PENGAMATAN

42

56

70

P E R L AK U AN D

PERLAKUAN C
1.20
DIAMETER TELUR(mm)

1.20
DIAMETER TELUR(mm)

28

W AKTU PENGAM ATAN

1.00
0.80
0.60
0.40
0.20

1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00

0.00
0

14

28

42

56

70

84

98

112

14

28

42

56

70

84

98

112

126

W AKTU P ENGAM ATAN

W AKTU PENGAMATAN

PERLAKUAN E
DIAMETER TELUR(mm)

1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
0

14

28

42

56

70

84

98

112

126

W AKTU PENGAMATAN

Gambar 6. Rata-rata diameter telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada
percobaan tahap II
Pada awal percobaan, ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1-0.3mm
sedangkan pada akhir percobaan ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran
0.9mm. Dari Gambar 7 juga dapat dilihat bahwa induk matang pada waktu yang

berbeda dengan ukuran pembesaran yang sama pada perlakuan C menunjukkan


ukuran diameter telur yang relatif lebih kecil dari perlakuan yang lain.

Gambar 7.

Struktur jaringan gonad induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr)


pada percobaan tahap II: awal (a) dan akhir percobaan (b,c,d,e,dan f).
Gonad induk matang dari kelima perlakuan secara berturut-turut dari
perlakuan A sampai E (b,c,d,e,f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE.

4.2.5 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Total Larva,
Derajat Kelangsungan Hidup Larva Umur 2 Hari dan Persentase Larva
Abnormal
Hasil pengamatan terhadap lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur,
total larva, derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal ditampilkan
pada Tabel 13 dan Lampiran 31. Pemberian hormon E2 dan T4 dengan cara
implantasi tidak memberikan pengaruh terhadap fekunditas (P>0.05; Lampiran 33).
Dosis implantasi hormon E2 dan T4 memberikan pengaruh terhadap lama waktu
matang, derajat tetas telur dan total larva yang dihasilkan induk ikan baung (P<0.05;
Lampiran 32, 34, dan 35). Induk-induk perlakuan B lebih cepat matang dari pada

induk-induk perlakuan lainnya. Perlakuan A dan C menghasilkan derajat tetas telur


lebih tinggi dari perlakuan B, D dan E. Total larva yang dihasilkan oleh induk-induk
perlakuan C sama dengan perlakuan A. Namun perlakuan C lebih besar dari indukinduk perlakuan B, D dan E. Total larva yang dihasilkan perlakuan A sama dengan
perlakuan D dan lebih tinggi dari perlakuan B dan E.
Dosis implantasi hormon E2 dan T4 memberikan pengaruh terhadap rata-rata
derajat kelangsungan hidup larva (P<0.01; Lampiran 36). Dosis implantasi hormon
tunggal (T4 100 mg/kg bobot induk) menghasilkan derajat kelangsungan hidup yang
paling rendah.
Pada Tabel 13 tampak bahwa perlakuan E berupa implantasi hormon tunggal
(T4 100 mg/kg bobot induk) selain menghasilkan larva-larva yang memiliki derajat
kelangsungan hidup rendah. Juga menghasilkan persentase larva abnormal paling
tinggi (P<0.05; Lampiran 37)
Pengamatan perkembangan embrio dengan menggunakan mikroskop dilakukan
terhadap 20 butir pada perlakuan A dan E yang berumur 1 sampai 10 jam setelah
dibuahi. Pembelahan sel pada tahap awal berjalan normal, sel-sel yang dihasilkan
tetap berkelompok (Gambar 8). Demikian juga pada 5 jam berikut memasuki fase
gastrulasi, namun pada jam ke 10 memasuki fase akhir gastrulasi ketika mulai
memasuki awal pembentukan organ-organ (organogenesis) pada perlakuan E belum
terbentuk keping neural seperti pada perlakuan A. Pada fase ini diduga mulai terjadi
kelainan yang pada akhirnya menghasilkan derajat tetas telur rendah dan larva yang
abnormal pada perlakuan E.
Umumnya larva abnormal yang dihasilkan pada percobaan tahap ke dua
memperlihatkan kuning telur berwarna kehitam-hitaman pada bagian perut,
disamping itu juga terjadi pembengkokan pada tulang ekor (Gambar 9).

Tabel 13. Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, total larva, derajat kelangsungan idup larva umur 2 hari, dan
persentase larva abnormal dari induk ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II
Perlakuan

Lama waktu

Fekunditas

Derajat tetas

Total larva

matang (hari)

(butir/g bobot)

telur (%)

(ekor/g bobot)

Derajat
kelangsungan
hidup larva (%)

A(0;0)

1214.70a

Persentase
larva abnormal
(%)

75.323.84a

72.798.93a

55.048.28ab

84.987.00a

4.800.36b

B(600;0)

4712.35c

58.347.19a

36.055.05b

20.462.45c

71.040.32a

2.400.72b

C(400;10)

7916.83bc

78.923.46a

75.856.23a

59.684.35a

73.486.00a

4.771.74b

D(200;50)

9320.34ab

68.1810.66a

40.1011.88b

29.8412.93bc

67.857.76a

10.386.36b

E(0;100)

9816.17ab

54.768.20a

33.8311.31b

19.7915.15c

42.304.01b

24.477.40a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05); rata-rata SE

49

Gambar 8. Pembelahan sel telur-telur dari perlakuan A (a,b,c) dan telur-telur perlakuan E
(d,e,f). Telur 1 jam setelah pembuahan (a dan d), telur 5 jam setelah
pembuahan awal fase gastrulasi (b dan e), telur 10 jam setelah pembuahan
awal organogenesis (c dan f).

Gambar 9. Gambaran morfologis larva: normal (a) dan abnormal (b, c dan d) dari induk
ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II
4.2.6

Pembahasan
E2 merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama

pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. E2 mengalami


peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan meningkatnya ukuran
diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi E2 dalam darah akan memacu hati
melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan

gonad. Oleh karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari
pematangan gonad (Zairin et al., 1992).
T4 adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid. Hormon T4 membantu
proses penyerapan vitelogenin oleh telur. Selain itu T4 juga terlibat dalam meningkatkan
sintesis protein melalui peningkatan transkripsi RNA. Djojosoebagio (1990) menyatakan
bahwa interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti akan menyebabkan terjadinya
peningkatan aktifitas enzim polimerase sehingga pembentukan RNA pun meningkat.
Dengan meningkatnya transkripsi RNA dan selanjutnya sintesis protein berarti adanya
pemberian T4 juga akan meningkatkan protein vitelogenin.
Implantasi E2 dapat meningkatkan kadar hormon E2 dalam plasma darah. Dalam
penelitian ini meningkatnya konsentrasi hormon E2 plasma pada perlakuan- perlakuan
yang diimplantasi dengan E2 (B, C dan D) terjadi pada pengamatan hari ke-14. Beberapa
penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pemberian E2 pada induk sangat efektif untuk
meningkatkan kadar E2 plasma darah pada ikan. Flet dan Leatherland (1989)
mendapatkan bahwa peningkatan kadar E2 plasma darah tertinggi terjadi pada hari ke 28
setelah implantasi E2 pada ikan Salmo gairdneri. Sularto

(2002) menyatakan

peningkatan kadar E2 darah terjadi pada hari ke 14 setelah induk jambal Siam
diimplantasi dengan LHRH dan E2. Pada penelitian Supriyadi (2004) yang menggunakan
teknik enkapsulasi 17-metiltestosteron dalam emulsi yang diberikan pada ikan baung
diperoleh kadar hormon E2 tertinggi pada hari ke 56. Perbedaan waktu yang terjadi
kemungkinan karena adanya respon yang berbeda dari setiap spesies ikan yang
berhubungan dengan teknik pemberian, dosis dan jenis hormon.
Konsentarsi hormon E2 dalam plasma

darah setelah hari ke 14 mengalami

penurunan sampai pengamatan hari ke 84 (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan tingkat
kematangan telur dimana kadar E2 akan menurun menjelang pematangan akhir. Menurut
Singh dan Singh (1990) pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir maka
sintesis E2 akan menurun, karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen
terhadap hormon yang menstimulasi sintesis E2. Lebih lanjut Mylonas dan Zohar (2001)
menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon E2 tinggi pada fase vitelogenesis
dan mencapai puncaknya pada fase mGV(Germinal Vesicle migration) dan kemudian
mengalami penurunan pada fase pGV(Germinal Vesicle peripheral).

Tingginya kadar E2 dalam plasma dapat mempercepat proses pematangan gonad


yang ditunjukkan oleh perlakuan B tanpa penambahan T4. Pada perlakuan tersebut rataan
dari lama waktu matang dari induk-induk dapat mencapai ukuran diameter maksimum
dalam waktu tercepat 4712.35 hari dengan diameter telur 1.23 0.03 mm dan GSI
13.66% HSI 1.7%, akan tetapi derajat tetas telur yang dihasilkan rendah. Rendahnya
derajat tetas telur kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya produksi cairan ovari dan
dengan meningkatnya cairan ovari maka cairan nampak berwarna lebih kecoklatan dan
agak cair sehingga akan mempengaruhi warna telur menjadi coklat kehitaman (Gambar
10). Cairan ovari disekresikan secara langsung oleh sel-sel dinding rongga ovari yang
berlangsung selama proses pematangan oosit dan proses ini dipengaruhi oleh steroid
gonad (Sjafei et al., 1992). Cairan ini diduga mempengaruhi selubung lendir pada lapisan
terluar dari telur, dimana selubung lendir kental ini disintesis dalam sel folikel selama
vitelogenesis.

Gambar 10. Warna telur dan cairan ovari: telur berwarna coklat kehitaman serta cairan
ovari agak cair dari induk perlakuan B (a), telur dan cairan ovari pada induk
perlakuan A (b) pada percobaan tahap II
Nagahama (1983) menyatakan bahwa pada Cichlasoma dan Fundulus lapisan
selubung ini berfungsi sebagai alat untuk melekatkan telur pada substrat. Dari
pengamatan penetasan telur ikan baung, telur-telur yang dihasilkan setelah dibuahi yang
tidak menempel pada substrat, akan menghasilkan derajat tetas telur yang sangat rendah,
sehingga menempel tidaknya telur ikan baung di substrat dapat menjadi indikator baik
tidaknya kualitas telur.
Pemberian T4 pada percobaan ini yang dikombinasikan dengan hormon E2 pada
dosis T4 10 mg/kg bobot induk (perlakuan C) disamping menghasilkan pematangan

gonad yang cepat juga dapat meningkatkan derajat tetas telur dan total larva yang
dihasilkan. Adanya fungsi T4 yang dapat meningkatkan sintesis protein berarti protein
pada vitelogenin juga meningkat serta kualitas protein pada vitelogenin lebih baik jika
dibandingkan tanpa penambahan T4.
Pada percobaan ini pengaruh kombinasi hormon E2 dan T4 juga terlihat pada
diameter telur. Diameter telur yang dihasilkan oleh induk-induk yang diimplan dengan
hormon E2 dan T4 menghasilkan diameter telur yang relatif seragam dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa hormon E2 dan T4 efisien dalam membantu
proses penyerapan vitelogenin oleh telur.
Kadar lemak telur tertinggi terdapat pada perlakuan B (E2 600 g/kg bobot tubuh),
kadar lemak telur menurun sejalan dengan turunnya dosis E2 implant yang disertai
naiknya pemberian T4 (Tabel 10). Kemungkinan tingginya kadar lemak juga
menyebabkan menurunnya kadar protein telur karena pada umumnya kadar lemak telur
tinggi akan diimbangi dengan kadar protein yang lebih rendah. Lemak pada telur
perlakuan C lebih rendah dari perlakuan B, menandakan bahwa kemungkinan kadar
protein telur perlakuan C lebih tinggi dari perlakuan B. Jika dilihat dari komposisi dan
kadar asam lemak antar perlakuan tidak jauh berbeda. Hanya kadar NL perlakuan E
sedikit lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Jadi pada perlakuan C selain telur cepat
matang, derajat tetas telur juga lebih tinggi sedangkan pada perlakuan A derajat tetas
telur sama dengan perlakuan C tetapi lama waktu matangnya lebih panjang.
Perubahan komposisi asam lemak dari telur ke larva menunjukkan pola yang sama
seperti percobaan tahap pertama. Penurunan lebih besar pada asam lemak jenuh
dibandingkan dengan asam lemak esensial. Ini berarti bahwa asam lemak esensial lebih
banyak disimpan untuk pertumbuhan larva. Pada larva, seperti pada percobaan tahap
pertama persentase penurunan asam lemak n-3 lebih besar dari pada asam lemak n-6 dan
pada fase ini asam lemak esensial lebih efisien digunakan sebagai sumber energi
dibandingkan dengan asam lemak jenuh.
Hormon T4 pada dosis yang tinggi bersifat katabolik. Matty (1985) menyatakan
bahwa pengaruh T4 terhadap sintesis protein bersifat biphasic yaitu pada dosis rendah
bersifat anabolik sedangkan pada dosis tinggi bersifat katabolik. Adanya sifat T4
demikian dapat menyebabkan turunnya kadar protein vitelogenin yang diserap telur dan

pengaruhnya berlanjut pada proses embriogenesis. Selain menghambat sintesis protein,


T4 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan Turnover karbohidrat dan lemak lebih cepat
(Shahib, 1989). Hal inilah yang menyebabkan derajat tetas telur dan lama waktu matang
pada perlakuan D dan E menurun kembali. Penelitian Nacario (1983) menunjukkan
bahwa pemberian dosis T4 terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya perkembangan
tidak normal dari larva seperti kerusakan jaringan punggung (bengkok) dan pada bagian
perut terjadi sklerosis. Dalam percobaan ini abnormalitas yang sama juga ditemukan
terutama jelas pada perlakuan E (Gambar 9).

DAFTAR PUSTAKA

Aida, K., A. Shimizu, K. Asahina, and I. Hanyu. 1991. Photoperiodism in reproduction


in bitterlings. p. 139-141. Proceedings of The Fourth International Symposium
on The Reproductive Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K.
7-12 July 1991.
Ayson F.G. and Lam, T.J. 1993. Thyroxine injection of female rabbitfish (Siganus
guttatus) broodstock: Change in thyroid hormone levels in plasma, eggs, and
yolk sac larvae, and its effect on larval growth and survival. Aquaculture, 109:
83-93
Banta, N. 1997. Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon thyroxin terhadap
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan larva ikan betutu
(Oxyeleotris marmorata). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. 43 hal.
BNF (British National Foundation). 1992. Unsaturated fatty acids. Nutritional and
Physiological Significance. Chapman and Hall. 211 pp
Blaxters, H.S. 1969. Development of egg and larvae. p: 184 190. In Hoar and
Randall (Eds). Fish Physiology, Vol. III, Academic Press, Inc.
Campbell, P. M., T.G. Pottinger, and J. P. Sumpter. 1991. Effect of acute stress on
time of ovulation, fecundity, egg size, egg survival and sperm counts in rainbow
trout, p. 269. Proceedings of The Fourth International Symposium on The
Reproductive Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12
July 1991.
Carrillo, M., N. Bromage, S. Zanuy, R. Serrano, and F. Prat. 1989. The effect of
modifications in photoperiod on spawning time, ovarian development and egg
quality in the sea bass, Dicentrarchus labrax L. Aquaculture, 81: 351-365
Craik, J. C. A. and S. M. Harvey, 1984. Egg quality in rainbow trout: The relation
between egg viability, selected aspects of egg composition, and time of
stripping. Aquaculture, 40: 115-134
Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi kelenjar endokrin. Vol. 1. Pusat Antar Universitas
Ilmu Hayat, IPB Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Hal. 1-37

Donaldson, E.M., V.H.M Fagerlund, A.H. Higgs, and J.R. Mc Bridge.


1979.
Hormonal enhancement of growth; p. 456-597. In W.S. Hoar, P.J Randall and
J.R. Brett (Eds). Fish Physiology; Vol VIII. Academic Press. New York.

Effendie, M.I.

2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal.

Flett, P.A. and J. F. Leatherland. 1989. Dose related effect of 17-estradiol (E2) on
liver weight, plasma E2, protein, calcium and thyroid hormone levels and
measurement of finding of thyroid hormones to vitellogenin in rainbouw trout
(Onchorhynchus mykiss). J. Fish Biol., 34:515-527.
Furuita, H., H. Tanaka, T. Yamamoto, M. Shiraishi, and T. Takeuchi. 2000. Effects of
n-3 HUFA level in broodstock diet on the reproductive performance and egg
and larva quality of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus. Aquaculture,
187: 387-398.
Furuita, H., H. Tanaka, T. Yamamoto, N. Suzuki, and T. Takeuchi. 2002. Effects of
high levels n-3 HUFA in broodstock diet on the egg quality and egg fatty acid
composition of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus. Aquaculture,
210: 323-333.
Griffin, J.E. 1996. The Thyroid. p.260-283. Textbook of endocrine physiology. Third
edition. New York oxford. Oxford University Press.
Hardiantho, D., A. Sasongko, D. Hidayat, dan J. Purwanto. 2002. Pengelolaan induk
ikan baung (Mystus nemurus C.V.) dalam mendukung program penebaran ke
perairan umum. Laporan kegiatan BBAT Sukabumi. 7 hal.
Hassin, S., Z. Yaron, and Y. Zohar. 1991. Follicular steroidogenesis, steroid profiles
and oogenesis in the European sea bass, Dicentrarchus labrax. p. 100.
Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive
Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12 July 1991.
Hepher, B., 1990. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Press. Cambridge
New York. 388pp
Hjartarson, S.V., B. Th. Bjornsson, E. Moksness, and B. Norberg. 1991. Induction of
vitellogenin synthesis in juvenile striped wolffish (Anarhichas lupus L). p.322
Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive
Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12 July 1991.
Izquierdo, M.S., H.Fernandes-Palacios, and A.G.J. Talcon.
2001.
Effect of
broodstock nutrition on reproductive peformance of fish. Aquaculture, 197: 2542.
Kamler, E. 1992. Early life history of fish. An energetic approach. Chapman and
Hill. London. 267p.

Kjorsvik, E., A. Mangor-Jensen, and I. Holmfjord.


Advances in Marine Biology, 26: 71-113.

1990.

Egg quality in fishes.

Kuo, C.M., Nash, C.E, and Watanabe, W.D. 1979. Induce breeding experiment with
milkfish, Chanos chanos (Forskal), in Hawaii. Aquaculture, 18:95-105.
Lahnsteiner, F., B. Urbanyi, A. Horvarth, and T. Weismann. 2001. Bio-markers for
egg quality determination in cyprinid fish. Aquaculture, 195:331-352.
Lam, T. J. and R. Sharma.
1985. Effects of salinity and thyroxin on growth and
development in the carp, Cyprinus carpio. Aquaculture, 44:201-212.
Lagler, K. F., J.E. Bardach, K.K. Miller, and D.R.M. Passino.
Second edition. John Willey and Sons. New York. 506p.

1977. Ichthyology.

Leray, C., G. Nonnotte, P. Roubaud, and C. Leger. 1985. Incidence of (n-3) essential
fatty acid deficiency on trout reproductive processes. Reprod. Nutr. Develop.,
25 : 567 581.
Li, Y.Y., W.Z. Chen, Z.W. Sun, J.H. Chen, and K.G. Wu. 2005. Effects of n-3 HUFA
content in broodstock diet on spawning performance and fatty acid composition
of eggs and larvae in Plectorhynchus cinctus. Aquaculture, 244:263-272.
Linhart, O., S. Kudo, R. Billard, V. Slechta, and E.V. Mikodina. 1995. Morphology,
composition and fertilization of carp eggs: A review. Aquaculture, 129: 75-93
Matty, A.J.

1985. Fish endocrinology. Timber press. Portland. 267 hal

Mayes, P.A. 2003. Metabolisme asam lemak tak jenuh dan eikosanoid, p.242-259. In:
Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell. (Eds). Biokimia
Harper. Alih bahasa oleh Andry Hartono, Editor edisi bahasa Indonesia, Anna
P. Bani, Tiara M.N. Sikumbang. Ed. 25 Jakarta. EGC.

Mokoginta, I., D. S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjaja, dan D. Fardiaz. 1995.


Kebutuhan asam lemak esensial untuk perkembangan induk ikan lele, Clarias
batrachus Linn. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 3 :4150.
Mokoginta, I., T. Takeuchi, D. S. Moeljohardjo, K. Sumawidjaja, dan D. Fardiaz.
1998. The effect of different ratios of n-6/n-3 fatty acid in broodstock diets on
egg quality of catfish, Clarias batrachus. Asian Fisheries Science, 11: 157-168
Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi, and M. A. Suprayudi. 2000.
The effect of different levels of dietary n-3 fatty acid on the egg quality of
catfish (Pangasius hypophthalmus), p: 252-256. The Proceeding of The JSPS-

DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area. August


21-25, Bogor Indonesia.
Muflikhah, N. 1993. Pematangan gonad dan pemijahan buatan ikan baung (Mystus
nemurus). Sukamandi: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air
Tawar. Hal. 243-247
Muflikhah, N., S. Nurdawati, and S. N. Aida. 1998. Domestikasi ikan baung (Mystus
nemuru). Jurnal Litbang Pertanian, 17 : 53-59
Mylonas, C.C. and Y. Zohar. 2001. Endocrine regulations and artificial induction of
oocyte maturation and spermiation in basses of the genus morone. Aquaculture,
202:205-220.
Nacario, J. 1983. The effects of thyroxin on the larvae and fry of Sarotherodon
niloticus L (Tilapia nilotica). Aquaculture, 34:73-83.
Nagahama, Y. 1983. The fungsional morphology of teleost gonads. p. 187-212. In.
W.S. Hoar and Randall (Eds). Fish physiology IX A. Acad. Press. New York.
Palacios, H.F., M. S. Izquierdo, L. Robaina, A. Valencia, M. Salhi, and J.M. Vergara.
1995. Effect of n 3 HUFA level in broodstock diets on egg quality of
gilthead sea bream (Sparus aurata L). Aquaculture, 132: 325-337
Pankhurst, N.W. and G. Van Der Kraak. 1997. Effects of stress on reproduction and
growth of fish. p. 73-144. Fish Stress and Health in Aquaculture. Society for
Experimental Biology. Seminar Series: 62. Cambridge University Press.
Pepin, P., D.C. Orr, and J.T. Anderson. 1997. Time to hatch and larval size in relation
to temperature and egg size in atlantic cod (Gadus morhua). Canadian J. Fish.
Aquatic Sci., 54: 2-10
Sargent, J. R., R. J. Henderson, and D.R. Tocher. 1989. The lipid. p. 153-217. In :
Halver, J.E (Eds). Fish nutrition. Academic Press, New York.
Sargent, J. R., Douglas R, Tocher, and J. Gordon Bell. 2002. The lipid, p. 181-257. In
: Halver, J.E and Hardy, R.W (Eds). Fish nutrition. Third Edition. USA :
Academic Press.
Shahib, N. 1989. Ringkasan biokimia hormone. Elsfar Offset Bandung. 78 hal.
Singh, P.B. and T. P. Singh. 1990. Seasonal correlation changes between sex steroid
and lipid level in the fresh water female catfish (Heteropneustes fossilis) J. Fish
Biol., 37:793-802.

Siregar, M. 1999. Stimulasi pematangan gonad bakal induk betina ikan jambal Siam
(Pangasius hypophthalmus F) dengan hormon hCG. Tesis program pascasarjana
IPB. Bogor. 41 hal.
Sjafei, D. S., M. F. Rahardjo, R. Affandi, M. Brojo, dan Sulistiono.
ikan II. Reproduksi ikan. IPB. Bogor. 213 hal.

1992. Fisiologi

Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1981. Principles and procedures of statistics.


McGraw-Hill, Book Company, INC. London: 487 pp.
Sukendi.

2005. Pengaruh kombinasi penyuntikan hCG dan ekstrak kelenjar hipofisa


ikan mas (Cyprinus carpio L) terhadap daya rangsang ovulasi dan kualitas telur
ikan baung (Mystus nemurus CV). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 102 : 75-81

Sularto. 2002. Pengaruh implantasi LHRH dan estradiol-17 terhadap perkembangan


gonad ikan Pangasius djambal. Tesis Pascasarjana IPB. 60 hal.
Sullivan, C.V., Y. Tao, R.G. Hodson, A. Hara, R.O. Bennett, and L.C. Woods. 1991.
Vitellogenin and vitellogenesis in striped bass (Morone saxatilis). p. 315-317.
Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive
Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12 July 1991.
Supriyadi.
2005.
Efektivitas pemberian hCG dan 17-metiltestosteron yang
dienkapsulasi di dalam emulsi terhadap perkembangan gonad ikan baung
(Hemibagrus nemurus Blkr.). Tesis Pascasarjana IPB.74 hal
Takashima and T. Hibiya. 1995. An atlas of fish histologi, Normal and Pathological
Feature Second Edition. Kodansha Ltd, Tokyo. 195p.
Takeuchi, T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutriens. p. 179233. In T. Watanabe (Eds). Fish Nutrition and Mariculture, JICA textbook, The
General Aquaculture Course. Departement of Aquatic Bioscience, Tokyo
University of Fisheries.
Takeuchi, T. 1996.
23-32.

Essential fatty acid requirements in carp. Animal Nutrition, 49:

Tamaru, C.S., A. Harry, and S.L. Cheng. 1994. Fatty acid and amino acid profile of
spawned eggs of striped mullet, Mugil cephalus L. Aquaculture, 105:83-94.
Tanaka, M., J.B. Tanangonan, M. Tagawa, E.G. de Jesus, H. Nishida, M. Isaka, R.
Kimura, and T. Hirano. 1995. Development of the pituitary, thyroid and
interrenal glands and applications of endocrinology to the improved rearing of
marine larvae. Aquaculture, 135:111-126.
Tan-Fermin, J.D., S. Ijiri, H. Ueda, S. Adachi, and K. Yamauchi. 1997. Ovarian
development and serum steroid hormone profiles in hatchery-bred female

catfish Clarias macrocephalus (Gunther) during an annual reproductive cycle.


Fisheries Science, 63:867-872.
Tang, U. M., H. Alawi, dan R.M. Putra. 1999. Pematangan gonad ikan baung (Mystus
nemurus) dengan pakan dan lingkungan yang berbeda. Hayati, 6:10-12p.
Tang, U. M. dan R. Affandi.

2000. Biologi reproduksi ikan. Bogor. 150 hal.

Toelihere, M. 1981. Fisiologi reproduksi pada ternak. Angkasa Bandung. 105 hal.
Wallace, R.A. and K. Selman. 1981. Cellular and dynamic aspects of oocyte growth in
teleost. American Zoologist, 21: 325-343.
Watanabe, T.A., T. Arakawa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1984. Effect of nutritional
quality of broodstock diets on reproduction of red sea bream. Nippon Suisan
Gakkaishi, 50: 495-501.
Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture. JICA. The General Aquaculture
Course. Dept. of Agriculture Bioscience. Tokyo University. 233p
Xu, Xi., W.J. Ji., J.D. Castell, and R. ODor. 1993. The nutritional value of dietary n-3
and n-6 fatty acid for chinese prawn (Penaeus dunensis). Aquaculture, 118:
277-285.
Yaron, Z. 1995. Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in the
carp. Aquaculture, 129: 49-73
Zairin, M., Furukawa, and Aida. 1992. Induction of ovulation by hCG injection in
tropical walking catfish Clarias batrachus reared under 23-250C. Nippon Suisan
Gakkaishi, 58:1681-1685
Zairin,

M. Jr.
2003.
Endokrinologi dan perannya bagi masa depan perikanan
Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi
Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB. 70 hal.

Anda mungkin juga menyukai