Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM TEKNOLOGI PEMBENIHAN IKAN

“PEMIJAHAN ALAMI DAN SEX REVERSAL IKAN NILA


MENGGUNAKAN HORMON 17α METIL TESTOSTERON”

Diajukan Untuk Menyelesaikan Tugas Laporan Akhir Praktikum Mata Kuliah


Teknologi Pembenihan Ikan Semester Genap

Disusun oleh :
Kelompok 12 / Perikanan B
.
Pipit Widya Ningsih 230110140083
Imas Siti Nurhalimah 230110140084
Lina Aprilia. 230110140087
Darajat Prasetya 230110140098
Didi Arpindi 230110140101

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkab kepada Allah SWT, karena kami telah
menyelesaikan lapotan akhir praktikum Teknologi Pembenihan Ikan yang
berjudul “Pemijahan Alami Dan Monosex Ikan Nila Dengan Menggunakan
Hormon 17Α Metil Testosteron”. Tujuan Penulisan laporan ini adalah
memenuhi salah satu tugas laporan akhir praktikum Teknologi Pembenihan Ikan
semester genap tahun akademik 2016-2017.
Laporan akhir praktikum ini tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Tim Dosen Mata Kuliah Teknologi Pembenihan Ikan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
2. Tim Asisten Praktikum Teknologi Pembenihan Ikan yang telah
membimbing dan memberikan arahan dalam kegiatan praktikum
3. Kelompok 12 Perikanan B atas kerjasamanya dalam kegiatan praktikum
Penulis telah berusaha sebaik mungkin dalam penulisan laporan akhir
praktikum ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran-sarannya agar
menjadi masukkan yang berguna bagi penulis.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan akhir praktikum ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.

Jatinangor, Mei 2017


\

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................vi

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Tujuan Praktikum ...................................................................................2
1.3 Identifikasi Masalah ...............................................................................2
1.4 Tujuan ....................................................................................................2
1.5 Kegunaan................................................................................................ 3

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Ikan Nila ................................................................................................ 4
2.2 Pemijahan alami .....................................................................................4
2.3 Reproduksi Ikan Nila .............................................................................6
2.4 Hormon yang Berperan dan Sistem hormon dalam Pembentukan
Kelamin Ikan ......................................................................................... 8
2.5 Hormon 17a-metiltestosteron………………………………………….9
2.6 Sex Reversal ......................................................................................... 10
2.7 Perkembangan Fisiologis dan Organ Reproduksi Sex Reversal ..........11

III. METODOLOGI PRAKTIKUM


3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum ........................................13
3.2 Alat dan Bahan .....................................................................................13
3.2.1 Alat-alat ............................................................................................... 13
3.2.2 Bahan-bahan ........................................................................................ 14
3.3 Tahapan Praktikum ..............................................................................14
3.3.1 Persiapan Praktikum.............................................................................14
3.3.2 Pelaksanaan Praktikum ........................................................................15
3.4 Metode..................................................................................................16
3.5 Parameter yang Diamati .......................................................................16
3.5.1FR (Fertilisation Rate) .........................................................................16
3.5.2SR (Survival Rate) Perendaman ........................................................... 16
3.5.3SR (Survival Rate) Perlakuan Oral ....................................................... 17
3.6 Analisa Data.......................................................................................... 17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil dan Pembahasan Kelas ............................................................... 18

iii
4.1.1 Pengaruh perbedaan dosis pemberian homon 17α metil testosterone
dengan metode diping dan oral terhadap tingkat kelangsungan hidup
pada ikan nila ......................................................................................20
4.1.2 Pengaruh perbedaan dosis pemberian homon 17α metil testosterone
dengan metode oral terhadap tingkat kelangsungan hidup pada ikan
nila ........................................................................................................21
4.2 Hasil dan Pembahasan Kelompok ........................................................ 23
4.2.1 tingkat keberhasilan pemijahan ............................................................ 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 25
5.2 Saran ....................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................27


LAMPIRAN .................................................................................................28

iv
DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Data Kelas……………………………………………………………18
2. SR Larva Selama Perlakuan Diberikan………………………………20
3. Sidik Ragam…………………………………………………………..21
4. Tingkat Keberhasilan Pemijahan……………………………………..23

v
DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Dokumentasi Pemijahan Alami Ikan Nila…………………………….28


2. Dokumentasi Pribadi Sex Reversal……………………………………28
3. Lampiran Prosedur Praktikum………………………………………...30

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan dan produk perikanan memainkan peran penting dalam ketahanan
pangan global dan kebutuhan gizi masyarakat, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Perkembangan zaman yang semakin pesat memaksa
manusia berfikir ekonomis yang selalu berorientasi pada keuntungan yang besar.
Pemikiran ini sejalan dengan prisip budidaya perikanan yang tujuan akhirnya
adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini yang mendasari
para peneliti untuk menghasilkan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Ikan
dapat memiliki ekonomis tinggi tergantung terhadap keinginan konsumen dan
daya tarik ikan itu sendiri baik ikan konsumsi maupun ikan hias.
Ada banyak cara yang dilakukan untuk dapat meningkatkan mutu dan
pertumbuhan ikan, diantaranya adalah pemilihan induk unggul yang diperoleh
dengan teknik persilangan atau hibridisasi, manipulasi kromosom atau dengan
cara sex reversal untuk menghasilan benih monosex.
Memproduksi ikan monosex artinya memproduksi ikan dengan satu jenis
kelamin yaitu jantan atau betina saja. Hal ini didasarkan pada pola pertumbuhan
ikan yang berbeda antara ikan jantan dan betina. Contohnya pada ikan gurami
jantan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan ikan betina, jantan berumur 10–
12 bulan dapat mencapai berat rata-rata 250 gram/ekor, sedangkan betina hanya
200 gram/ekor. Ini berarti pertumbuhan jantan 20% lebih cepat dibandingkan
betina. Sehingga dengan hanya memproduksi ikan jantan saja dapat meningkatkan
produksi dari usaha budidaya.
Ikan nila biasa dibudidayakan orang di Pulau Jawa, terutama di Jawa
Barat. Ikan ini digemari karena mudah dibudidayakan, dagingnya tebal, dan
rasanya yang lezat., sementara umumnya nila dipelihara di kolam-kolam
pemeliharaan ikan mas atau gurame (Subagja 2007)
Upaya meningkatkan produksi ikan nila secara terus dilakukan dengan
berbagai macam cara. Salah satu cara/teknologi yang dapat dikembangkan adalah
dengan menghasilkan benih yang seragam yaitu dengan metode Sex Reversal.
Penerapan sex reversal dapat menghasilkan populasi monosex (kelamin tunggal).

1
Kegiatan budidaya secara monosex (monoculture) akan bermanfaat dalam
mempercepat pertumbuhan ikan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tingkat
pertumbuhan antara ikan berjenis jantan dengan betina.
Salah satu cara untuk mendapatkan benih ikan nila jantan (monosex).
yakni dengan cara memberikan hormon jantan (testosteron) dengan teknik sex
reversal. Hormon yang digunakan pada umumnya yakni hormon sintetik 17a-
methyltestosteron (Phelps dan Popma, 2000). Organisme monoseks dapat
dihasilkan melalui metode manipulasi kelamin (sex reversal), dengan pendekatan
hormonal sebelum diferensiasi kelamin. Hormon steroid yang diberikan,
menyebabkan zigot dengan genotype XX akan berkembang menjadi karakter
jantan secara fenotipe atau sebaliknya zigot dengan genotype XY akan
berkembang menjadi karakter betina secara fenotipe (Wichins dan Lee 2002).
Pemberian hormon ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara oral melalui
pakan buatan ataupun pakan alami atau cara perendaman embrio pada media
budidaya dengan hormon yang telah dilarutkan (Hunter dan Donaldson, 1983).
Pemberian hormon ini dilakukan sebelum diferensiasi kelamin terjadi. Proses ini
biasanya mulai terjadi pada saat telur akan segera menetas (Baker et. al.,1988;
Shepherd dan Bromage, 1988), setelah telur menetas juga sebelum atau sesudah
ikan mulai makan (Yamazaki, 1983). Dengan metoda ini diharapkan dapat
meningkatkan hasil produksi.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi masalah yaitu
tingkat efektivitas pemberian 17α-methyltestosteron melalui peremberian pakan
pada larva.

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase nisbah kelamin pada
larva ikan nila jantan yang dihasilkan melalui proses maskulinisasi dengan cara
pemberian secara oral melalui pakan larva menggunakan 17α-methyltestosteron.

2
1.4 Kegunaan
Hasil praktikum ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
pembudidaya untuk mengoptimalkan produksi ikan nila betina sebagai penghasil
telur melalui pemanfaatan ikan nila jantan fungsional yang dihasilkan dari proses
sex reversal.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Nila
Ikan nila adalah sejenis ikan konsumsi air tawar. Ikan ini diintroduksi dari
Afrika, tepatnya Afrika bagian timur, pada tahun 1969, dan kini menjadi ikan
peliharaan yang populer di kolam-kolam air tawar di Indonesia sekaligus hama di
setiap sungai dan danau Indonesia. Nama ilmiahnya adalah Oreochromis niloticus,
dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile Tilapia (Andrew dan Klein 2001).
Klasifikasi ikan nila menurut Kordi (2004) adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Osteichtyes
Ordo : Perciformes
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus

Ikan nila memiliki Bentuk tubuh agak memanjang dan pipih ke samping,
warna putih kehitaman dan warnanya semakin terang kea rah bagian ventral atau
perut. Pada tubuh terdapat garis-garis vertikal berwarna hijau kebiruan,
sedangkan pada sirip ekor terdapat delapan buah garis-garis melintang yang
ujungnya berwarna kemerah-merahan. Mata tampak menonjol agar besar dan di
tepinya berwarna hijau. Letak mulut terminal atau di ujung tubuh. Posisi sirip
perut terhadap sirip dada adalah thoracic. Garis rusuk (Linea lateralis) terputus
menjadi dua bagian, letaknya memanjang di atas sirip dada. Jumlah sisik pada
garis rusuk 34 buah. Tipe sisik adalah ctenoid atau sisik sisir. Bentuk sirip ekor
berpinggiran tegak (Andrew dan Klein 2001).

2.2 Pemijahan Alami


` Pemijahan alami adalah teknik pemijahan yang dilakukan secara
konvensional, yaitu ikan memijah sendiri tanpa tanpa melibatkan banyak campur
tangan manusia. Umumnya pemijahan alami diterapkan pada ikan-ikan dari
kelompok ikan yang mudah memijah. Pemijahan terjadi secara spontan setelah
induk jantan dan betina disatukan di dalam kolam pemijahan. Pada saat terjadi

4
pemijahan, induknya mengeluarkan telurnya kedalam air, dan pada saat hampir
bersamaan induk jantan mengeluarkan sperma dan membuahinya.
Pemijahan alami secara tradisional adalah pemijahan yang dilakukan
mengikuti pola atau kebiasaan petani atau pembudidaya pada umumnya.pada
sistem tradisional ini, jumlah induk yang dipijahkan sangat sedikit sehingga benih
yang dihasilkanpun sedikit. Biasanya pemijahan alami dilakukan dilakukan
dikolam pemijahan, bisa menggunakan hapa(kantong yang terbuat dari kain trikot
atau nilon untuk menampung benih hasil pemijahan. Bisa juga tidak meggunakan
hapa (tergantung ikan apa yang akan dipijahkan).
Pada pemijahan alami , ikan betina akan mengeluarkan telurnya ke dalam
air, dan pada saat bersamaan induk jantan mengeluarkan sperma untuk membuahi
telur tersebut. Telur yang sudah terbuahi , pada jenis ikan tertentu ada yang
bersifat menempel pada substrat , ada juga yang tidak menempel tetapi melayang-
layang didalam air.
Untuk jenis ikan yang menempelkan telurnya pada substrat (misalnya ikan
mas), perlu disiapkan kakaban pada kolam pemijahan yaitu substrat buatan
sebagai tempal menempel telur. Kakaban terbuat dari ijuk yang dijepit dua buah
bambu. Jika kakaban dari ijuk sulit diperoleh dapat juga menggunakan
rerumputan. Kakaban atau rerumputan dipasang dikolam pemijahan setelah unduk
jantan dan betina dimasukkan kedalam kolam tersebut.

2.3 Reproduksi Ikan Nila


Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunanya
sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Tidak setiap
individu mampu menghasilkan keturunan, tetapi setidaknya reproduksi akan
berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup dipermukaan bumi ini.
Kegiatan reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda, tergantung kondisi
lingkungan. Ada yang berlangsung setiap musim atau kondisi tertentu setiap tahun
(Yushinta Fujaya, 2004: 151).
Gonad adalah bagian dari organ reproduksi pada ikan yang menghasilkan
telur pada ikan betina dan sperma pada ikan jantan. Ikan pada umumnya
mempunyai sepasang gonad dan jenis kelamin umumnya terpisah (Sukiya, 2005:
20). Ikan memiliki ukuran dan jumlah telur yang berbeda, tergantung tingkah laku

5
dan habitatnya. Sebagian ikan memiliki jumlah telur banyak, namun berukuran
kecil sebagai konsekuensi dari kelangsungan hidup yang rendah. Sebaliknya, ikan
yang memiliki jumlah telur sedikit, ukuran butirnya besar, dan kadang-kadang
memerlukan perawatan dari induknya, misal ikan Tilapia (Yushinta Fujaya, 2004:
151).
Perkembangan gonad pada ikan menjadi perhatian para peneliti reproduksi
dimana peninjauan perkembangan tadi dilakukan dari berbagai aspek termasuk
proses-proses yang terjadi di dalam gonad baik terhadap individu maupun
populasi. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari
reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil
metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Dalam individu telur terdapat
proses yang dinamakan vitellogenesis yaitu terjadinya pengendapan kuning telur
pada tiap individu-individu telur. Hal ini menyebabkan perubahan-perubahan pada
gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina sebesar 10-25% dari
berat tubuh dan pada ikan jantan sebesar 5-10%. Dalam biologi perikanan,
pencatatan perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk
mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang
tidak. Dari pengetahuan tahap kematangan gonad ini juga akan didapat keterangan
bilamana ikan itu akan memijah, baru memijah, atau sudah selesai memijah.
Mengetahui ukuran ikan untuk pertama kali gonadnya menjadi masak, ada
hubungannya dengan pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor-faktor lingkungan
yang mempengaruhinya.
Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya masak menjadi
masak tidak sama ukuranya. Demikian dengan ikan yang sama spesiesnya. Lebih-
lebih bila ikan yang sama spesiesnya itu tersebar pada lintang yang perbedaanya
lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaanya ukuran dan umur ketika
mencapai kematangan gonad untuk pertamakalinya. Sebagai contoh ikan large
mouth bass yang terdapat di Amerika Serikat. Ikan tersebut yang terdapat
dibagian Selatan pada waktu berumur satu tahun dengan berat 180 gram,
gonadnya sudah masak dan dapat bereproduksi. Ikan yang sama spesiesnya yang
terdapat di bagian Utara pada umur satu tahun., ukuranya lebih besar yaitu
panjangnya 25 cm dan beratnya 230 gram tetapi di dalam gonadnya tidak

6
didapatkan telur yang masak, demikian juga spermanya. Ikan blue gill yang
beratnya 42 gram, gonadnya masak dan dapat berpijah pada umur satu tahun.
Tetapi ikan yang sama spesiesnya dalam keadaan banyak makan, dalam waktu 5
bulan beratnya dapat mencapai 56 gram dan gonadnya masak dan dapat berpijah.
Jadi faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad ikan di daerah
bermusim empat antara lain ialah suhu dan makanan. Tetapi untuk ikan di daerah
tropik faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad
dapat masak lebih cepat (Effendie,1997: 8).
Pengamatan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara: pertama cara
histologi dilakukan di laboratorium, kedua cara pengamatan morfologi yang dapat
dilakukan di laboratorium dan dapat pula dilakukan di lapangan. Dari penelitian
histologi akan diketahui anatomi perkembangan gonad tadi lebih jelas dan
menditail. Sedangkan pengamatan secara morfologi tidak akan sedetail cara
histologi, namun cara morfologi ini banyak dilakukan para peneliti. Dasar yang
dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan cara morfologi ialah
bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad yang dapat
dilihat. Perkembangan gonad ikan betina lebih banyak diperhatikan dari pada ikan
jantan perkembangan diameter telur yang terdapat dalam gonad lebih mudah
dilihat dari pada sperma yang terdapat di dalam testis (Effendie, 1997: 9).
Garis besar perkembangan ovarium ikan terbagi dua tahap, pertama tahap
perkembangan struktural yaitu pertumbuhan ovarium hingga hewan mencapai
dewasa kelamin dan kedua tahap perkembangan fungsional yaitu tahap
pematangan telur. Sehubungan dengan tahap perkembangan telur, perubahan-
perubahan morfologi dapat dipakai sebagai tolak ukur tahap perkembangan
oogenesis. Menurut Babiker dan Ibrahim dalam effendi (1979) perubahan
morfologi yang terjadi dapat meliputi warna, bentuk, keadaan permukaan,
penampakan oosit dan pembuluh darah.
Perubahan-perubahan berat ovarium dapat terjadi selama tahap
perkembangan telur. Berat ovarium akan semakin bertambah dengan semakin
lanjutnya perkembangan telur hingga mencapai maksimum saat akan mengalami
pemijahan. Menurut Effendie (1997) perubahan-perubahan kondisi ovarium
(sehubungan dengan pertambahan berat) dapat dinyatakan dalam suatu indeks

7
kematangan atau indeks Gonado Somatik. Yang menunjukkan berat gonad dibagi
berat tubuh dikali 100%. Biasanya indeks kematangan ini biasanya hanya
ditunjukan untuk hewan betina.

2.4 Hormon yang Berperan dan Sistem hormon dalam Pembentukan


Kelamin Ikan
Proses pembentukan spermatozoa dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon,
diantaranya:
a. Kelenjer hipofisis menghasilkan hormon peransang folikel (Folicle
Stimulating Hormon / FSH) dan hormon lutein (Luteinizing Hormon /
LH).
b. LH merangsang sel leydig untuk menghasilkan hormon testosteron. Pada
masa pubertas, androgen/testosteron memacu tumbuhnya sifat kelamin
sekunder.
c. FSH merangsang sel Sertoli untuk menghasilkan ABP (Androgen Binding
Protein) yang akan memacu spermatogonium untuk memulai
spermatogenesis.
d. Hormon pertumbuhan, secara khusus meningkatkan pembelahan awal
pada spermatogenesis.
Proses pembentukan oogenesis dipengaruhi oleh kerja beberapa hormon,
diantaranya:
a. Pada usia reproduksi hipothalamus menghasilkan hormon GnRH
(gonadotropin releasing hormone) yang menstimulasi hipofisis mensekresi
hormon FSH (follicle stimulating hormone) dan LH (lutinuezing
hormone).
b. FSH dan LH menyebabkan serangkaian proses di ovarium sehingga terjadi
sekresi hormon estrogen dan progesteron.
c. LH merangsang korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron
dan meransang ovulasi.
d. Pada masa pubertas, progesteron memacu tumbuhnya sifat kelamin
sekunder.
e. FSH merangsang ovulasi dan meransang folikel untuk membentuk
estrogen, memacu perkembangan folikel.

8
2.5 Hormon 17a-metiltestosteron
Hormon memiliki definisi klasik sebagai suatu substansi kimia yang
diproduksi oleh jaringan khusus yang kemudian diseksresikan kedalam darah,
untuk kemudian dibawa ke organ target (Bolander 1994). Pada tahan
perkembangan gonad belum terdeferensiasi menjadi jantan atau betina, hormon
steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan
menggunakan hormon sintetik (Hunter dan Donaldson, 1983). Menurut Hunter
dan Donaldson (1983), hormon steroid seksual yang berguna untuk proses
pengubahan kelamin antara lain androgen yang terdiri atas testosteron dan
metiltestosteron yang memiliki pengaruh maskulinitas, dan estrogen seperti estron
serta estradiol yang berpengaruh terhadap feminitas. Hormon steroid merupakan
hormon yang dapat mempengaruhi reproduksi hewan, merangsang proses
pertumbuhan, diferensiasi kelamin, dan juga mempengaruhi tingkah laku ikan
(Donaldson et al. 1978). Hunter dan Donaldson (1983) juga menjelaskan bahwa
pemberian beberapa jenis hormon androgen dapat menyebabkan timbulnya efek
maskulinisasi atau juga efek dari sifat antara maskulin dan feminin. Testosteron
dan esternya merupakan hormon alami yang dihasilkan oleh gonad jantan. Pada
fase embrionik, hormon ini dapat menyebabkan timbulnya sifat jantan pada
saluran genital, tetapi tidak mempengaruhi gonad secara keseluruhan.
Metiltestosteron merupakan androgen yang paling sering dipakai untuk
merubah jenis kelamin dan penggunaan metiltestosteron pada dosis yang berbeda
akan memberikan pengaruh yang berbeda pula (Nagy et al. 1981 dalam Sinjal
2008). 17a-metiltestosteron merupakan hormon sintetik yang molekulnya sudah
dimodifikasi agar tahan lama di dalam tubuh. Hal ini dikarenakan pada karbon ke-
17 telah ditempeli gugus metil agar tahan lebih lama (Zairin 2002).
Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa cara oral dan perendaman
merupakan metode dalam aplikasi penggunaan hormon. Pada metode
perendaman, agar efektif perlu diperhatikan konsentrasi hormon dan lama waktu
perendaman. Efek yang berlawanan dapat terjadi dari penggunaan hormon steroid
seks yaitu terjadinya maskulinisasi setelah pemberian hormon esterogen atau yang
lebih sering terjadi yaitu terjadinya feminimisasi setelah pemberian hormon
androgen.

9
Teknik sex reversal pada ikan nila yang banyak dilakukan adalah dengan
penambahan hormon sintetik 17a-methyltestosterone (17a-mt). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan hormon 17a-mt pada pakan dengan dosis 40-60
mg/kg pakan selama 3-4 minggu pada benih ikan nila berumur 7-9 hari setelah
menetas efektif untuk sex reversal dan mampu menghasilkan populasi jantan
mendekati 100% ( Bowker et al. 2007). Namun berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.20/MEN/2003, hormon 17a-mt
termasuk dalam klasifikasi obat keras yang berarti bahwa peredaran dan
pemanfaatannya menjadi semakin dibatasi terkait dengan dampak negatif yang
dapat ditimbulkan, baik kepada ikan, manusia maupun lingkungan. Hormon 17a-
mt yang notabene merupakan hormon sintetik bersifat karsinogenik bagi manusia.
Selain itu, hormon ini juga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan
karena sulit terdegradasi secara alami. Contreras-Sancez et al. (2001) melaporkan
bahwa residu anabolik 17a-mt masih tertinggal dalam sedimen kolam setelah 3
bulan penggunaannya pada maskulinisasi benih ikan nila.

2.6 Sex reversal


Pada ikan perubahan sifat kelamin individual dimungkinkan terjadi, baik
secara alamiah maupun rekayasa. Populasi ikan monosex dapat diperoleh dengan
teknik pengalihan jenis kelamin (sex reversal) yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu maskulinisasi (Fitzpatrick et al. 1999; Arsenia et al.
2005), feminisasi (Hopkins et al. 1979), ginogenesis dan androgenesis
(Shelton et al. 2002). Secara harfiah, sex reversal dapat diartikan sebagai suatu
teknologi pembalikan kelamin secara fenotipik, yaitu ikan yang berkelamin jantan
secara genotipik diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina dan
sebaliknya. Sex reversal secara buatan bisa dilakukan karena pada waktu menetas
gonad ikan belum berdiferensiasi menjadi jantan atau betina. Dengan teknik sex
reversal, fenotip ikan dapat berubah, tetapi genotipnya tidak berubah (Zairin,
2002).
Keberhasilan sex reversal buatan dipengaruhi oleh ketepatan
memanipulasi faktor lingkungan terhadap produksi steroid yang dikehendaki pada
saat yang tepat sebelum masa diferensiasi berakhir. Metode pengarahan kelamin
secara buatan dapat dilakukan dengan menambahkan hormon steroid sebagai

10
perangsang. Misalnya, perlakuan eksogenous androgen bisa menyebabkan efek
jantan (maskulinisasi) sedangkan eksogenous estrogen menyebabkan efek betina
(feminisasi). Tipe androgen yang telah banyak digunakan adalah metiltestosteron
(17 -methyltestosterone) yang diketahui cukup stabil dan efektif diberikan secara
oral (Yamazaki, 1983).
Teknik pengalihan jenis kelamin yang seringkali diantaranya teknik
maskulinisasi untuk menghasilkan populasi ikan jantan (all male) dan feminisasi
untuk menghasilkan populasi ikan betina (all female). Lebih lanjut Zairin (2002).
menyebutkan bahwa secara buatan, teknik alih kelamin dimungkinkan terjadi
dikarenakan pada awal perkembangan embrio atau larva belum terjadi diferensiasi
kelamin. Metode alih kelamin terdiri dari metode untuk memperoleh populasi
monosex yaitu melalui terapi hormon (secara langsung) atupun rekayasa
kromosom (cara tidak langsung).

2.7 Perkembangan Fishilogi dan Organ Reproduksi Primer dalam


Sex Revesal
Jenis kelamin suatu individu ditentukan oleh faktor lingkungan dan
genetik yang bekerja sama. Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh
kromosom. Ada dua jenis kromosom yaitu gonosom dan autosom. Gonosom
adalah kromosom yang berperan dalam mentukan jenis kelamin, sedangkan
autosom adalah yang tidak menentukan jenis kelamin (Yatim 1986). Secara
genetik jenis kelamin suatu individu sudah ditetapkan pada waktu pembuahan,
tetapi pada masa embrio, gonad (organ kelamin primer) masih berada dalam
keadaan indifferen, yaitu keadaan bakat-bakat untuk menjadi betina atau jantan
dalam bentuk dan semua perlengkapan struktur betina dan jantan sudah ada.
Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa pada ikan, diferensiasi seks gonad
merupakan proses yang kompleks tidak seperti pada kebanyakan hewan vertebrata
lainnya. Selain faktor genetik dan kromosom seks, terdapat faktor lain yang
mempengaruhi hasil dari proses akhir perkembangan gonad dan seks fenotip yang
diperoleh yaitu faktor lingkungan.
Perubahan kelamin buatan paling efektif dilakukan saat diferensiasi
kelamin. Perubahan jenis kelamin secara buatan dimungkinkan karena pada fase
pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada

11
pembentukan steroid sehingga pembentukan gonad dapat diarahkan dengan
menggunakan hormon steroid sintetis (Yamazaki 1983). Hormon tersebut dapat
mengatur beberapa fenomena reproduksi misalnya proses diferensiasi gonad,
pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan. Hormon steroid biasanya
diberikan secara langsung ke ikan terutama pada masa perkembangan gonad
(diferensiasi seks), cara ini telah berhasil diterapkan pada beberapa jenis ikan
seperti ikan nila, koan, mas dan beberapa jenis ikan lainnya.

12
BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum


Praktikum Pemijahan Alami dan Sex Reversal Ikan Nila dengan
Menggunakan Hormon 17α Metil Testosteron dilaksanakan pada hari Jumat,31
Maret 2017 pukul 13.00 – 18.00 WIB di Ciparanje (Pemijahan Alami) dan Jum’at,
14 April 2017 pukul 13.00 – 16.00 WIB di Laboratorium Akuakultur (Sex
Reversal) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat – alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Pemijahan Alami dan Sex
Reversal Ikan Nila dengan Menggunakan Hormon 17α Metil Testosteron adalah
sebagai berikut:
a. Pemijahan Alami
Tabel 1. Alat Praktikum Pemijahan Alami dan Fungsinya
No Alat Fungsi
1 Pacul dan skop untuk membersihkan kolam dari lumpur.

2 Ember untuk menampung air


3 Saringan untuk mengambil ikan nila
4 Sarung tangan untuk melindungi tangan ketika proses
pembersihan kolam
5 Timbangan untuk menimbang bobot ikan nila
6 Bak tembok wadah yang digunakan untuk proses pemijahan
pemijahan Alami

b. Sex Reversal
Tabel 2. Alat Praktikum Sex Reversal dan Fungsinya
No Alat Fungsi
1 Botol spray sebagai wadah hormon untuk oral

13
2 Nampan untuk alas pada saat pakan diberikan hormon
3 Sendok untuk meratakan dan mengaduk pakan yang
diberi hormone

4 Botol fial sebagai wadah hormon untuk dipping


5 Akuarium sebagai tempat selama proses

6 Wadah plastik untuk menyimpan telur ikan nila sebelum


dimasukkan kedalam akuarium

3.2.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum Ikan Nila dengan
Menggunakan Hormon 17α Metil Testosteron adalah sebagai berikut :
a. Pemijahan Alami
1. Induk jantan dan betina ikan nila
2. Pakan komersil

b. Sex Reversal
1. Hormon
2. Telur ikan nila
3. Alkohol, untuk melarutkan hormon
4. Pakan

3.3 Tahapan Praktikum


3.3.1 Persiapan Praktikum
a. Persiapan alat dan bahan praktikum pemijahan alami
 Bak pemijahan dibersihkan dari tanah, lumpur, rumput dan sampah.
 Pastikan tidak ada kebocoran
 Bak pemijana diisi dengan air
 Seleksi induk nila dengan perbandingan 1 jantan dan 3 betina, dengan total
ikan 20 ikan setiap kolamnya.’
b. Persiapan alat dan bahan praktikum sex reversal
 Akuarium percobaan dicuci bersih

14
 Pastikan instalasi aerasi berfungsi dengan baik
 Masukan telur ikan nila sebanyak 200 ekor pada akuarium berisi air 20
liter

3.3.2 Pelaksanaan Praktikum


a. Prosedur praktikum Pemijahan Alami
 Total keseluruhan induk nila yang akan dipijahkan ditimbang
 Ikan dimasukan ke bak pemijahan
 Debit air yang masuk kedalam bak pemijahan dibuat lebih besar pada
minggu pertama dan diperkecil di minggu kedua dan ketiga selama
pemeliharaan.
 Pakan diberikan selama proses pemijahan berlangsung sebesar 3% dari
biomasa ikan yang dipijahkan.
 Setelah 3 minggu dilakukan panen burayak atau larva.

b. Prosedur praktikum sex reversal


1. Perendaman embrio ikan nilem Dengan Hormon MT
 Akuarium diisi air sebanyak 10 liter
 Lakukan penimbangan hormon MT sesuai perlakuan Larutkan hormon MT
yang sudah ditimbang dengan alkohol 70% sebanyak 1 ml pada botol vial
 Masukan Hormon MT yang sudah dilarutkan dengan alkohol ke akuarium
percobaan, kemudian di arasi selama 30 menit
 Masukan ikan uji, yaitu telur ikan nila sebanyak 200 ekor dengan
kepadatan 10 ekor/L air pada akuarium berisi air yang mengandung
hormon MT, lakukan perendaman embrio selama 12 jam (hingga
menetas).
 Perendaman selesai, volum air pada aquarium di tambah hingga 20 L

2. Pembuatan pakan berhormon


 Lakukan penimbangan hormon MT sesuai perlakuan Lakukan perhitungan
total bobot tubuh/biomassa pada larva ikan, yaitu : Biomassa = bobot rata-
rata x total populasi

15
 Tentukan jumlah pakan per hari yang harus diberikan yaitu 30% dari
biomassa dengan rumus: Jumlah pakan yang diberikan = 30% x biomassa
 Larutkan hormon MT dengan alkohol 70% sebanyak 1 ml pada botol
handspray, kemudian didiamkan terlebih dahulu selama 5 menit Setelah
hormon dilarutkan, kemudian dicampurkan pada pakan dengan cara
disemprotkan secara merata pada pakan sesuai dengan konsentrasi
hormone.
 Pakan berhormon siap diberikan pada larva ikan

3.4 Metode
Percobaan dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 pengulangan. Selengkapnya
adalah sebagai berikut :
Perlakuan A : Kontrol
Perlakuan B : diping 600 Ʋg/L dan oral 40
Perlakuan C : diping 600 Ʋg/L dan oral 50
Perlakuan D : diping 600 Ʋg/L dan oral 60

3.5 Parameter yang Diamati


3.5.1 FR (Fertilisation Rate)
Rumus perhitungan derajat pembuahan (FR)

3.5.2 SR (Survival Rate) Perendaman


Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui
tingkat kelangsungan hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai
berikut:
Nt
SR (%) = — x 100%
No
Keterangan:
SR : Kelangsungan hidup/ survival rate ikan selama percobaan
Nt : Jumlah telur yang menetas (ekor)

16
No : Jumlah telur yang tidak menetas (ekor)

3.5.3 SR (Survival Rate) Perlakuan Oral


Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui tingkat
kelangsungan hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Nt
SR (%) = — x 100%
No
Keterangan:
SR : Kelangsungan hidup/ survival rate ikan selama percobaan
Nt : Jumlah larva pada akhir percobaan (ekor)
No : Jumlah larva pada awal percobaan (ekor)

3.6 Analisis Data


Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan gambar dan
dianalisis secara statistik. Untuk mengetahui pengaruh pemberian metil
testosteron dengan dosis yang berbeda terhadap persentasi nisbah kelamin jantan
yang diukur maka digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji F taraf
5%, dan jika terdapat perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan pada taraf 5% (Gasperz, 1991).

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan Kelas


Tabel 1. Data Kelas

Berat Berat Jumlah Jumlah


Jumlah Jumlah Berat Berat Rata- Rata- Jantan Betina
Keberhasilan Keterangan
Kelompok Jantan Betina Jantan Betina rata rata Saat Saat
Memijah Hasil Panen
(ekor) (ekor) (gr) (gr) Jantan Betina Panen Panen
(gr) (gr) (ekor) (ekor)

1 4 12 1675 5050 418.75 420.83 4 12 80% Larva


2 4 10 840 2720 210 272 4 10 80% Larva
3 4 12 1150 4405 287.5 367.08 4 12 80% Larva
4 4 12 1150 4405 287.5 367.08 4 12 80% Larva
5 4 12 1990 3640 497.5 303.33 4 11 86% Larva
6 4 12 1990 3640 497.5 303.33 4 11 80% Larva
7 4 12 1760 2240 440 186.67 3 10 60% Larva
8 4 12 1760 2240 440 186.67 3 10 60% ± 1200 larva
9 4 12 1610 2540 402.5 211.67 4 10 37% Tidak 100 %
10 4 12 1610 2540 402.5 211.67 4 10 60% Larva
11 4 12 1807 2880 451.75 240 4 12 60% Larva
12 4 12 1807 2880 451.75 240 4 12 85% Larva

Berdasarkan tabel, untuk perbandingan jantan dan betina yang sesuai yaitu
kelompok 1,3,4,11, dan 12 memiliki perbandingan jumlah jantan dan jumlah
betina 1:3. Berdasarkan jumlah ikan yang dipanen, kelompok tersebut
mendapatkan jumlah ikan utuh yaitu 16 ekor ikan dengan jumlah ikan jantan 4
ekor dan jumlah ikan betina 12 ekor dengan hasil panen larva. Sedangkan,
kelompok 7 dan 8 didapatkan jumlah ikan yang dipanen sedikit dengan jumlah
ikan jantan 3 ekor dan jumlah ikan betina sebanyak 10 ekor dengan pemijahan
alami mengalami tidak 100 % berhasil. Berdasarkan berat rata-rata ikan jantan
dan ikan betina kelompok 5 dan 6 didapatkan berat rata-rata ikan jantan terbesar
yaitu dengan berat 497,5 gram dan kelompok 1 memiliki berat ikan betina
sebesar420, 83 gram dengan jumlah panen tidak 100 %. Sedangkan untuk berat
rata-rata ikan terkecil terdapat dikelompok 2 dengan berat rata-rata ikan jantan
dan ikan betina yaitu 241 gram.

18
Berdasarkan pengamatan, rata-rata pemijahan alami yang dilakukan
mengalami keberhasilan dengan hasil panen ada yang berupa telur, larva dan telur
dan larva. Keberhasilan pemijahan alami ini disebabkan karena faktor-faktor yaitu
perbandingan ikan jantan dan betina yang sesuai yaitu jantan:betina 1:3, pemilihan
induk betina dan jantan yang sesuai untuk pemijahan yang unggul dan sudah
matang gonad selain itu, ikan betina mengalami kenyamanan didalam kolam
sehingga ikan betina mampu melakukan fertilisasi secara baik. Faktor lingkungan
juga mempengaruhi yaitu suhu, pH, serta kandungan oksigem terlarut, salinitas,
dimana keadaan lingkungan mendukung ikan nila mengalami pemijahan. Selain
itu, dasar kolam yang memadai ikan betina untuk membuat kobangan sebagai
tempat pemijahan pemijahan karena apabila ada kecocokan indukan betina akan
dibuahi oleh indukan jantan. Kemudian telur tersebut dierami dalam mulut
indukan betina. Selain itu, kebutuhan nutrisi yang terpenuhi dengan baik juga
berpengaruh terhadap keberhasilan. Ikan nila membutuhkan pakan sebanyak 3%
dari bobot tubuhnya setiap hari.
Kegagalan dalam pemijahan disebabkan perbandingan induk ikan yang
tidak sesuai yaitu harus dengan perbandingan 1:3. Tidak semua telur bisa terbuahi
oleh sperma disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah sperma dengan sel
telur, kematangan sel atau sperma dan kecocokan kualitas air sebagai media. Telur
yang terbuahi kelihatan berwarna jernih, transparan dan telur yang tidak terbuahi
berwarna putih susu. Faktor lingkungan juga mempengaruhi kegagalan pemijahan
yaitu suhu, pH, DO, salinitas, kandungan amonia, dan kekeruhan. Suhu dapat
meningkat dan menurun secara mendadak dikarenakan tempat pemijahan
dilakukan diruangan terbuka sehingga bisa saja hujan datang yang menyebabkan
terjadinya fluktuasi suhu. Selain itu, hujan dan cuaca terlalu cerah juga dapat
mempengaruhi pH, salinitas dan kandungan oksigen terlarut, amonia, kekeruhan.
Tidak hanya itu, ketidaksiapan induk betina untuk mengalami pemijahan, serta
indukan ikan nila yang terserang parasit juga menjadi faktor kegagalan dalam
pemijahan alami.
Suhu atau temperatur air sangat berpengaruh terhadap metabolisme dan
pertumbuhan organisme serta memengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi
organisme perairan. Suhu juga memengaruhi oksigen terlarut dalam perairan.

19
Suhu optimal untuk hidup ikan nila pada kisaran 14-38 °C. Secara alami ikan ini
dapat memijah pada suhu 22-37 °C namun suhu yang baik untuk
perkembangbiakannya berkisar antara 25-30 °C. Nilai pH yang ditoleransi ikan
nila berkisar antara 5 hingga 11, tetapi pertumbuhan dan perkembangannya yang
optimal adalah pada kisaran pH 7–8. Kandungan amonia disebabkan
menumpuknya pakan didasar perairan. Sumber utama amonia (NH3) adalah bahan
organik dalam bentuk sisa pakan, kotoran ikan maupun dalam bentuk plankton
dari bahan organik tersuspensi. Pembusukan bahan organik, terutama yang
+
banyak mengandung protein, menghasilkan ammonium (NH4 ) dan NH3. Bila
proses lanjut dari pembusukan (nitrifikasi) tidak berjalan lancar maka dapat
terjadi penumpukan NH3 sampai pada konsentrasi yang membahayakan bagi
ikan. Kekeruhan air yang disebabkan oleh pelumpuran di dasar kolam juga akan
memperlambat pertumbuhan ikan.
Pada saat pemisahan telur dengan induk ikan dilakukan dengan cara telur
ditebar dengan cara telur ditebar kedalam wadah penetasan telur. Selain itu, bisa
dengan cara induk ditangkap dikembalikan kedalam wadah induk ikan dan telur
tetap didalam wadah pemijahan. telur akan menetas menjadi larva ikan. Indukan
betina akan mengeluarkan larva dari mulutnya secara bersamaan. Larva yang
sudah menetas akan berenang ke pinggir kolam. Sebaiknya lakukan penyaringan
halus untuk memindahkan larva. Pemisahan telur dilakukan secara hati-hati agar
telur atau larva yang ada tidak mati karena kaget dengan lingkungan
disekitarnya.

4.1.1 Pengaruh Perbedaan Dosis Pemberian Hormon 17α


MetilTestosterone Dengan Metode Diping dan Oral Terhadap
Tingkat Kelangsungan Hidup Pada Ikan Nila

Tabel 2. SR Larva Selama Perlakuan Diberikan

Ulangan
Perlakuan rata-rata
1 2 3
Kontrol
19.60 82.38 44.88 49.0
diping 600 μg/L dan
oral 40 mg/kg 1 100 100 67.0
diping 600 μg/L dan
oral 50 mg/kg 2.67 40.12 1.65 14.8

20
diping 600 μg/L dan
oral 60 mg/kg 8.3 67.25 4.3 26.6


JKT = (19,6)2 + (82,38)2 + (44,88)2 + (1)2 + (100)2 + (100)2 + (2,67)2 +
2
(40,12)2 + (1,65)2 + (8,3)2 + (67,25)2 + (4,3) – FK

= 384,16 + 6773,29 + 2014,21 + 1 + 10000 + 10000 + 7,13 + 1609,61 +

2,72 + 69,89 + 4552,56 + 18,49 – 18577,13

= 37610,09 – 18577,13

= 19032,96

JKP =

= 23439,93 – 18577,13
= 4862,8
JKG = JKT – JKP
= 19032,96 – 4862,8
= 14170,16

KTP = = 1560,78

KTG = = 1771,27

Fhitung<F tabel berbeda nyata


Tabel 3. Sidik Ragam

Sumber DB JK KT Fhit F05


Ragam
Perlakuan 3 4862,8 1560,78 0,91 4,07

21
Galat 8
Total

Kesimpulan : Bahwa tidak ada perbedaan yang nyata diantara perlakuan


sehingga tidak dapat dilakukan uji lanjut.
Seks reversal (monosex) adalah suatu teknologi yang membalikkan arah
perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Cara ini dilakukan pada waktu
menetas gonad ikan belum berdiferensiasi secara jelas menjadi jantan atau
betina tanpa merubah genotipenya. Umumnya proses sex reversal dilakukan
secara oral atau melalui pakan dan melalui perendaman (dipping). Pada fase
larva, dapat melakukannya melalui oral dan atau dipping. Metode oral adalah
metode pemberian hormon melalui mulut yang dapat dilakukan dengan
pemberian pakan alami atau pakan buatan. Metode perendaman (dipping), yaitu
dengan cara merendamkan larva ikan ke dalam larutan air yang mengandung 17
α metyltestoesteron.
Pengaruh pemberian hormon pada organisme dalam teknik pengarahan
kelamin dapat dilihat melalui beberapa parameter. Parameter tersebut
diantaranya rasio jenis kelamin, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan.
Sedangkan tingkat keberhasilan suatu bahan mempengaruhi pengarahan
pembentukan jenis kelamin dipengaruhi oleh umur organisme, lama waktu
pemberian, waktu pemberian dan dosis pemberian serta faktor lingkungan.
Selain itu, periode dan lama waktu perlakuan juga mempengaruhi keefektifan
kerja 17α-metiltestosteron dalam merangsang pembentukan kelamin jantan.
Proses dengan metode diping dan oral merupakan aplikasi dari
pemberian hormon. Pada metode perendaman, agar efektif perlu diperhatikan
konsentrasi hormon dan lama waktu perendaman. Konsentrasi hormon yang
diberikan tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan dalam
pembentukan gonad, efek paradoxial, pertumbuhan rendah dan tingkat kematian
yang tinggi (Wichins dan Lee 2002). Sedangkan lama waktu perendaman akan
lebih singkat jika dosis atau konsentrasi hormon yang digunakan juga sangat
tinggi (Hunter dan Donaldson 1983).
Pada saat pemberian hormon, gonad ikan sebaiknya belum
terdeferensiasi dikarenakan sensitivitas hormon sangat tinggi terjadi saat

22
sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Sehingga,
perlakuan hormon akan memberikan efek pengarahan jenis kelamin tertinggi
jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis.
Selain itu, kandungan kuning telur pada larva sudah habis dimakan
sehingga larva ikan nila mengalami kelaparan, karena belum ada asupan nutrisi
dari luar. Pada awal larva mortalitas tinggi karena terjadi proses pembentukan
saluran pencernaan, pembentukkan alat-alat pernafasan tambahan dan proses
perubahan makan dari kuning telur yang terdapat dalam tubuhnya beralih pada
pakan yang terdapat diluar tubuhnya. Mortalitas akan lebih tinggi lagi apabila
makanan disekitarnya kurang memadai (Djajasewaka 1985).
Methyl testosterone merupakan androgen yang paling sering dipakai
untuk merubah jenis kelamin dan penggunaan metiltestosteron pada dosis yang
berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. Efektifitas
pembentukan kelamin jantan sangat ditentukan oleh ketepatan pemberian dosis
hormon metiltestosteron dan umur ikan sebelum gonad terdifferensiasi, karena
dosis dan masa differensiasi yang tepat akan menghambat pembentukan ovari
dan sebaliknya pembentukan gonad jantan semakin cepat, sehingga gonad akan
berkembang menjadi testis (Sunandar 2006).
Menurut Effendi (2004), kelangsungan hidup ikan adalah persentase ikan
yang hidup dari seluruh ikan yang dipelihara setelah melewati masa pemeliharaan.
Kelangsungan hidup ikan pada saat post larva sangat ditentukan oleh tersedianya
makanan. Makanan yang diberikan akan sangat mempengaruhi kelangsungan
hidup dalam pertumbuhan ikan. Ikan akan mengalami kematian apabila dalam
waktu yang singkat tidak berhasil mendapatkan makanan, akibatnya akan terjadi
kehabisan tenaga.

4.2 Hasil dan Pembahasan Kelompok


4.2.1 Tingkat Keberhasilan Pemijahan
Tabel 4. Tingkat Keberhasilan Pemijahan

Berat Berat Jumlah Jumlah


Jumlah Jumlah Berat Berat Rata- Rata- Jantan Betina
Keberhasilan Keterangan
Kelompok Jantan Betina Jantan Betina rata rata Saat Saat
Memijah Hasil Panen
(ekor) (ekor) (gr) (gr) Jantan Betina Panen Panen
(gr) (gr) (ekor) (ekor)

23
1 4 12 1675 5050 418.75 420.83 4 12 80% Larva
2 4 10 840 2720 210 272 4 10 80% Larva
3 4 12 1150 4405 287.5 367.08 4 12 80% Larva
4 4 12 1150 4405 287.5 367.08 4 12 80% Larva
5 4 12 1990 3640 497.5 303.33 4 11 86% Larva
6 4 12 1990 3640 497.5 303.33 4 11 80% Larva
7 4 12 1760 2240 440 186.67 3 10 60% Larva
8 4 12 1760 2240 440 186.67 3 10 60% ± 1200 larva
9 4 12 1610 2540 402.5 211.67 4 10 37% Tidak 100 %
10 4 12 1610 2540 402.5 211.67 4 10 60% Larva
11 4 12 1807 2880 451.75 240 4 12 60% Larva
12 4 12 1807 2880 451.75 240 4 12 85% Larva

Berdasarkan pengamatan, bahwa pemijahan ikan nila yang dilakukan


kelompok 2,5,6,7,8,9, dan 10 mengalami tidak 100 % berhasil dimana ikan nila
jantan dan ikan nila betina tidak mengalami pembuahan. Pada saat pemanenan
larva setelah 3 minggu, ikan nila betina tidak mengerami larva ikan nila. Hal ini
dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan pemijahan alami
yaitu perbandingan jantan : betina yang tidak sesuai, kurang dan lebihnya
pemberian pakan, air kolam kotor, suhu yang berfluktuasi akibat cuaca,
membiarkan benih ikan nila yang sakit atau mati tetap didalam kolam (benih yang
sakit segera dikarantina dan yang mati segera diambil dari kolam), dan kondisi
kolam yang sangat panas. Jika dibandingkan dengan kelompok yang berhasil
melakukan pemijahan yaitu misalnya kelompok 11 dan 12, ikan yang digunakan
dikelompok 11 dan 12 sesuai dengan jumlah ikan yang dibutuhkan untuk
pemijahan. Selain itu, faktor pemberian pakan yang rutin juga mempengaruhi ikan
untuk mengalami pemijahan. Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, pH dll,
ikan nila toleransi terhadap suhu disekitar. Sehingga, berdasarkan pengamatan
kelompok bahwa ikan nila jantan dan ikan nila betina yang digunakan tidak sesuai
sehingga pemijahan yang dilakukan mengalami kegagalan. Selain itu, faktor
pemberian pakan yang tidak rutin, dan lingkungan yang kurang mendukung
menyebabkan kegagalan dalam melakukan pemijahan alami.

24
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan :


1. Berdasarkan pengamatan, rata-rata pemijahan alami yang
dilakukan mengalami keberhasilan dengan hasil panen berupa larva.
2. Pengaruh pemberian perlakuan dipping terhadap tingkat kelangsungan
hidup larva mencapai 100 %. Hal ini dikarenakan pada saat larva
dilakukan perendaman, larva tidak mengalami stress dan kuning terlur
larva mencukupi.
3. Berdasarkan pengamatan, bahwa pemijahan ikan nila yang dilakukan
kelompok tidak 100 % berhasil karena ikan nila jantan dan ikan nila betina
tidak mengalami pembuahan. Pada saat pemanenan larva setelah 3
minggu, ikan nila betina tidak mengerami larva ikan nila.
4. Berdasarkan pengamatan, bahwa SR ketika proses diping diberikan yaitu
100%. Hal ini dikarenakan ikan menerima dengan baik dosis yang
diberikan.

5.2 Saran
Berdasarkan prakitkum yang dilakukan, praktikan harus benar-
benar memahami praktikum yang akan dilaksanakan supaya dapat lebih
memahami materi dan menghasilkan data yang akurat. Sehingga pada praktikum
pemijahan alami ikan nila dan Sex Reversal diharapkan berjalan dengan baik dan
sesuai prosedur yang telah diberikan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Bolander, F.F. 1994. Molecular Endocrinology. 2nd ed. Academic Press, inc.
San Diego. California.

Bowker J, MP, D. Carti, and M, Dotson. 2007. Histological determination of


tilapia gender following treatment with 17a-methyl testosterone.
Aquaculture. 21:14-18

Carman, O., S. Sastrawibawa dan Alimudin. 1998. Peningkatan Kualitas Genetik


melalui Produksi Jantan Super pada Ikan Nila Merah (Oreochromis
niloticus) secara Masal dalam rangka Peningkatan Efisiensi Produksi
(Laporan Riset Unggulan Terpadu IV). Kantor Menteri Negara Riset dan
Teknologi. Dewan Riset Nasional. Jakarta.

Contreras-Sanchez. W.M.& Fitzpatrick. M.S.2001. Fate of Methyltestosterone in


The Pond Environment: Impact of MT-Contaminated soil On Tilapia sex
Differentation.http://pdacrsp.oregonstate,edu/pubs/technical/18tchhtml/9
E 2c.html IJEACCM.2006. Evaluation of a New Class 1 Substance
―Chrysin‖, IJEACCM.03.

Donaldson, E.M dan G.A. Hunter, 1978. Sex control in fish with particular
reference to salmonids. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic
Sciences. 39:99-110

Effendi, ikhsan. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara: Jakarta


Subagja, J., R. Gustiano., dan Winarlin. 2007. Teknologi Reproduksi
Ikan Nilem. (Osteochilus hasselti C.V) : Pematangan Gonad, Penanganan
Telur dan Penyediaan Calon Induk. Seminar Nasional Hari Pangan
Sedunia XXVII. Hlm 187 – 194.

Hunter, G.A., Donaldson, E.M. 1983. Hormonal Sex Kontrol And Its Application
To Fish Culture. In: Hoar W.S . Randall, DJ., Donaldson, E.M.: (Eds).
Fishb Phsycology, 9B. Academic, Press, New York, Pp. 223-303

Kordi, G.H. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta.
Jakarta

Phelps, R.P and T.J. Popma. 2000. Sex Reversal of Tilapia. Tilapia Aquaculture in
America. Volume 2. The World Aquaculture Society. Baton Rounge.
Lousiana. USA. P 34-59.

Shepherd dan Bromage, 1988. Intensive Fish Farming. BSP Professional Books.
Oxford, London

Sinjal, H. 2008. Pengaruh Hormon l7a-Metyltestosteron terhadap Perubahan


Kelamin Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Pacific Journal Vol. 2(2):
102-106, Sulawesi Utara.

26
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Universitas Negeri Malang. Malang, hlm 14-15.

Wichins, J.F. dan Lee, D.O.C. 2002. Crustacean Farming (Raching and Culture).
Lowa State University Press. Blackwell Science Company. USA. 446 pp.

Yamazaki, R., 1983. Sex control and manipulation in fish. Aquaculture. 33: 329-
354.

Yatim, W. 1986. Reproduksi dan Embriologi. Tarsito, Bandung. hal 397.

Yushinta Fujaya. (2004). Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknologi


Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta.

Zairin, M. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan Atau Betina.
Penebar Swadaya. Jakarta.

27
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Pemijahan Alami Ikan Nila

Persiapan kolam Penyikatan dan penambalan dinding kolam

Pengisian Air Kolam Sikat pembersih kolam

Lampiran 2. Dokumentasi Pribadi Sex Reversal

Penimbangan Pakan Gelas Ukur

28
Alkohol 70% Metiltestosteron

Alat peyemprotan hormon Memasukan hormon ke sprayer

29
Lampiran 3. Lampiran Prosedur Praktikum
A. Pemijahan Alami Ikan Nila

Total keseluruhan induk nila yang akan dipijahkan ditimbang

Ikan dimasukan ke bak pemijahan

Debit air yang masuk kedalam bak pemijahan dibuat lebih besar pada minggu pertama dan
diperkecil di minggu kedua dan ketiga selama pemeliharaan.

Pakan diberikan selama proses pemijahan berlangsung sebesar 3% dari biomasa ikan yang
dipijahkan.

Setelah 3 minggu dilakukan panen burayak atau larva

Lampiran 4. Pembuatan pakan berhormon

Lakukan penimbangan hormon MT sesuai perlakuan

Lakukan perhitungan total bobot tubuh/biomassa pada larva ikan, yaitu :


Biomassa = bobot rata-rata x total populasi

Tentukan jumlah pakan per hari yang harus diberikan yaitu 30% dari biomassa dengan
rumus:
Jumlah pakan yang diberikan = 30% x biomassa

Larutkan hormon MT dengan alkohol 70% sebanyak 1 ml pada botol handspray, kemudian
didiamkan terlebih dahulu selama 5 menit

Setelah hormon dilarutkan, kemudian dicampurkan pada pakan dengan cara disemprotkan
secara merata pada pakan sesuai dengan konsentrasi hormone.

Pakan berhormon siap diberikan pada larva ikan

30
31
32

Anda mungkin juga menyukai