Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Interaksi obat merupakan salah satu drug related problems (DRPs) yang dapat
mempengaruhi outcome terapi pasien. Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat
yang digunakan dalam pengobatan pada saat ini, dan berkembangnya polifarmasi maka
kemungkinan terjadinya interaksi obat makin besar. Interaksi obat perlu diperhatikan
karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik jika berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, jadi terutama jika
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah atau
slope log DEC yang suram), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat
sitostatik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan
atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang
dipakai.
Dalam makalah ini, kami telah mendapatkan beberapa kasus, diantaranya adalah
mengenai diabetes, hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu
penyakit dengan kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini
penggunaan obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan
memudahkan terjadinya Interaksi Obat. Penyakit tersebut juga membutuhkan terapi
famakologi dalam jangka panjang, sehingga selama memungkinkan terjadinya
interaksi, baik obat dengan obat maupun obat dengan yang lainnya misalnya makanan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud Interaksi Obat?
2. Bagaimana kasus-kasus yang terjadi pada Interaksi Obat?
3. Apa saja efek yang bisa terjadi akibat adanya Interaksi Obat?
4. Bagaimana mencegah dan menangani kasus Interaksi Obat tersebut?
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Mahasiswa memahami secara mendalam tentang Interaksi Obat dengan adanya
kasus-kasus yang terjadi.
2. Salah satu tujuan tugas Interaksi Obat ini adalah untuk nilai tambahan.
3. Mahasiswa dapat menangani Interaksi seperti pada kasus-kasus dalam makalah ini.
1.4 MANFAAT PENULISAN

1. Mahasiswa dapat memahami ilmu tentang Interaksi Obat khususnya pada Studi
Kasus.
2. Mahasiswa dapat memecahkan masalah apabila dihadapi kejadian Interaksi Obat
yang dicontohkan pada beberapa kasus.
3. Mahasiswa dapat memenuhi tugas dalam mata kuliah Interaksi Obat (2 sks).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INTERAKSI OBAT


2

Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan
interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan efek
buruk, sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab terbanyak terjadinya kesalahan
pengobatan. Secara umum, kesalahan pengobatan akibat interaksi obat ini jarang
terungkap akibat kurangnya pengetahuan, baik dokter, apoteker, apalagi pasien tentang
hal itu.
Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain
yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan, sehingga keefektifan atau
toksisitas satu obat atau lebih berubah (Fradgley, 2003).
Interaksi obat didefinisikan oleh Committee for Proprietary Medicine Product
(CPMP) sebagai suatu keadaan bilamana suatu obat dipengaruhi oleh penambahan obat
lain dan menimbulkan pengaruh klinis.
Interaksi obat juga dapat diartikan sebagai fenomena yang terjadi apabila
pengaruh suatu obat diubah oleh pemberian obat sebelumnya atau untuk pemberian
obat yang bersamaan.
Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug. Pada beberapa kasus, interaksi ini terkadang
dapat menimbulkan perubahan efek pada kedua obat, sehingga obat mana yang
mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi, menjadi tidak jelas.
Interaksi obat terdiri dari 3 jenis, yaitu interaksi farmasetik (interaksi antar-obat
karena obat yang tidak dapat bercampur/inkompatibel); interaksi farmakokinetik
(interaksi antarobat yang menyebabkan peningkatan atau penurunan absorpsi,
metabolisme, distribusi, dan ekskresi obat lain); serta interaksi farmakodinamik
(interaksi obat yang berkompetisi pada tempat yang sama untuk bereaksi dalam tubuh).
Obat dapat berinteraksi dengan obat lain maupun dengan makanan atau minuman
yang dikonsumsi oleh pasien. Hal ini dapat terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari,
tidak jarang seorang penderita mendapat obat lebih dari satu macam obat,
menggunakan obat ethical, obat bebas tertentu selain yang diresepkan oleh dokter
maupun mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu seperti alkohol, kafein.
Perubahan efek obat akibat interaksi obat dapat bersifat membahayakan dengan
meningkatnya toksisitas obat atau berkurangnya khasiat obat. Namun, interaksi dari
beberapa obat juga dapat bersifat menguntungkan seperti efek hipotensif diuretik bila
dikombinasikan dengan beta-bloker dalam pengobatan hipertensi (Fradgley, 2003).
Jankel & Speedie (1990) mengemukakan kejadian interaksi obat pada pasien
rawat inap 2,2 % hingga 30 %, dan berkisar 9,2 % - 70,3 % pada pasien di masyarakat.
3

Diantaranya terdapat 11 % pasien yang benar-benar mengalami gejala akibat interaksi


obat. Penelitian lain pada 691 pasien, ditemukan 68 (9,8%) pasien masuk rumah sakit
karena penggunaan obat dan 3 (0,4 %) pasien disebabkan oleh interaksi obat (Stanton
et al., 1994).
Suatu survei mengenai insiden efek samping penderita rawat inap yang menerima
05 macam obat adalah 3,5 %, sedangkan yang mendapat 1620 macam obat 54 %.
Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat
diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat (Setiawati, 1995).
2.2 MEKANISME INTERAKSI OBAT
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu
dari dua mekanisme berikut :
1.
Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan
jaringan (interaksi farmakodinamik).
2.

Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi


farmakokinetik).
a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit
(misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan
efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).
b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam
(sehingga

perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan

perubahan efek secara substansial).


c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit
besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin
hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas
keamanannya lebar.
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi
yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai
contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah
antineoplastik dan obat-obat imunosupresan (Hashem, 2005).
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau
4

mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya


(BNF 58, 2009). Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a. Interaksi Pada Absorbsi Obat
a) Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada
apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan.
Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi
usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai
contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada
pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
b) Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus
untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun
lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam
dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan.
Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan
sejumlah ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut
aluminium, dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan
mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).
c) Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus
kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat
mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan
lambung

dan

mengurangi

penyerapan

parasetamol

(asetaminofen),

sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008).


d) Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter
obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang
menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan
hayati digoksin (Stockley, 2008).
5

e) Malabsorbsi dikarenakan obat


Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu
penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat
(Stockley, 2008).
b. Interaksi Pada Distribusi Obat
a) Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh
sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak
yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan
sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat
dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara
molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat
yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
b) Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi
oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara
aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif.
Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan
substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS
(Stockley, 2008).

c. Interaksi Pada Metabolisme Obat


a) Perubahan pada metabolisme fase pertama
Meskipun beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak
berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia diubah menjadi
senyawa lipid kurang larut, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal.
Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus
memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut
metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang
detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal,
6

kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis
reaksi utama metabolisme obat. Yang pertama, reaksi tahap I (melibatkan
oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih
polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain
(misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk
membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I
dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
b) Induksi Enzim
Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus
dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik
yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim
mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya
(Stockley, 2008).
c) Inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga
obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang
mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk
berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2
sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi
enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika
serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara
klinis (Stockley, 2008).
d) Faktor genetik dalam metabolisme obat
Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa
isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti
bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda
aktivitas. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil
populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme
7

lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme


ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan
tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang
mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari
gejala (Stockley, 2008).
e) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi
isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak
mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara
ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).
d. Interaksi Pada Ekskresi Obat
a) Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak
dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin
dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5
sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah
obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley,
2008).
b) Perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus
ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal ekskresi. Sebagai contoh,
probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya. Dengan
meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal,
sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak
obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008).
c) Perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).
8

2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang
memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.
Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obatobat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (BNF
58, 2009).
a. Interaksi Aditif Atau Sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan
bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP,
jika diberikan dalam jumlah sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat
(misalnya ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk
berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif
ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval
QT) (Stockley, 2008).
b. Interaksi Antagonis Atau Berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan
kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat
memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat
efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral
dihambat

dan

waktu

protrombin

dapat

kembali

normal,

sehingga

menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).


2.3 TINGKAT KEPARAHAN INTERAKSI OBAT
Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
level : minor, moderate, atau major.
1. Keparahan Minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin
terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika
terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida
ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan Moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya
potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering

diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis


pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau
perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi
vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie,
2004).
3. Keparahan Major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas
yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang
menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004).
Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian
eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).
Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara
teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya
terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian seorang farmasis perlu
selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat
ini untuk mencegah timbulnya resiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam
pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).
2.4 FAKTOR PENYEBAB INTERAKSI OBAT
Faktor yang mempengaruhi interaksi obat adalah:
a. Faktor Penderita
o Umur (yang paling peka adalah bayi, balita dan orang lanjut usia)
o Sifat keturunan
o Penyakit yang sedang diderita
o Fungsi hati dan ginjal
b. Faktor Obat
o Jumlah obat yang digunakan
o Jangka waktu pengobatan
o Jarak waktu penggunaan dua obat
o Urutan pemberian ohat
o Bentuk sediaan obat
Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat
yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada
orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-

10

obatan lebih banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen
pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat
menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003).
Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan
banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan
peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis
kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).
2.5 PRECIPITANT DRUG DAN OBJECT DRUG
Secara farmakologis, obat yang bertindak sebagai precipitant drug mempunyai
sifat sebagai berikut:
a. Obat yang terikat banyak oleh protein plasma, akan menggeser obat lain (object
drug) dari ikatan proteinnya. Contoh: Aspirin, Fenilbutazon dan golongan Sulfa.
b. Obat yang menghambat atau merangsang metabolisme obat lain. Contohnya:
Perangsang metabolisme: Fenitoin, Karbamazepam, Rifampisin, Antipirin dan

Griseofulvin.
Penghambat metabolisme: Allopurinol, Simetidin, Siklosporin, Luminal,

Ketokonazol, Eritromisin, Klaritromisin dan Siprofloksasin.


c. Obat yang mempengaruhi renal clearance object drug. Contohnya: Furosemid
(diuretik-peluruh kencing), dapat menghambat ekskresi gentamisin, sehingga
menimbulkan toksik.
Sedangkan object drug, biasanya merupakan obat yang mempunyai kurva dose
respone yang curam. Obat-obat ini menimbulkan perubahan reaksi terapeutik yang
besar dengan perubahan dosis kecil. Kelainan yang ditimbulkan bisa mmperbesar efek
terapinya. Juga bila dosis toksik suatu object drug, dekat dengan dosis terapinya, maka
mudah keracunan obat bila terjadi suatu interaksi. Pada umumnya akan terjadi dua hal,
yaitu pengurangan efek terapinya dan terjadinya efek samping. Contoh obat dengan
profil demikian seperti antibiotika golongan aminoglikosida, antikoagulan, antikonvulsi
dan obat-obat sitotoksik dan imunosupresan, kontasepsi oral serta obat-obat susunan
syaraf pusat.
2.6 CONTOH INTERAKSI OBAT yang MENGUNTUNGKAN
Interaksi yang menguntungkan:
1. Penisilin dengan Probenesid ; Probenesid akan menghambat sekresi Penisilin
ditubuli ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam plasma sehingga
meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore.
2. Kombinasi obat antihipertensi ; meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek
samping.
11

3. Kombinasi obat anti tuberculosis ; memperlambat timbulnya resistensi kuman


terhadap obat.
2.7 KASUS KASUS INTERAKSI OBAT
2.7.1

Kasus 1
Tn. Andi masuk Rumah Sakit dengan keluhan lemah dan muntah beberapa
kali. Kulitnya nampak kuning dan ada bekas-bakas garukan pada tangan dan kaki.
Dia ternyata memiliki riwayat diabetes mellitus dan sudah rutin menggunakan
glibenklamid 3dd 1 tab untuk mengontrol kadar gula darahnya. Karena stres
dengan pekerjaannya, maag sering kambuh dan mendapatkan pengobatan
simetidin prn. Diketahui juga ternyata dia setiap pusing selalu minum
parasetamol dan kadang-kadang minum alkohol.
Data laboratorium yang ada :

2.7.2

SGPT

: 60 unit/liter

SGOT

: 45 unit/liter

Icterus Indeks

: 8 satuan

Albumin

: jumlah normal

GGT

: 90 IU/L

Kasus 2
Tn X seorang veteran berumur 68 tahun dirawat di RS dengan keluhan
tekanan darah tinggi pengobatan yang diterimanya adalah Propanolol 80 mg, 2x
sehari. Tn X tidak pernah merokok dan mempunyai riwayat penyakit maag.
Untuk mengobati maag tuan doni diberi simetidin prn. Tuan X sering mengalamai
lesu lemah dan napas berbunyi seperti penderita asma atau sulit bernapas.

2.7.3

Kasus 3
Nyonya Santi umur 59 tahun dirawat di rumah sakit karena merasa lemas,
diare lebih dari 5 kali. Mempunyai riwayat imsommia yang sulit diobati dan
hipertensi. Nyonya Santi masih mendapat pengobatan fenobarbital prn dan
atenolol 50 mg 1dd. Nyonya Santi sedang mengalami batuk pilek dan diberi obat
obat flu dan batuk yang mengandung pelega hidung yaitu pseudoefedrin.

12

2.7.4

Kasus 4
Tn. Kogoro Mori 40 tahun mendapat pengobatan karena

menjalani

perawatan TBC pada fase lanjutan (INH, rifampisin, dan vitamin B6) yaitu bulan
keempat. Tanda pemberian obat TBC sebelum makan (ante coenam).
2.7.5

Kasus 5
Ny. Hikaru Utada (29 th) datang ke apotik bersama suami dan bayinya untuk
membeli obat pusing dan obat anti alergi karena tadi tiba-tiba saja muncul ruamruam di kulit. Sering maag sehingga mendapatkan juga simetidin dengan aturan
pakai prn 1 tab. Dia mempunyai riwayat epilepsi sejak kecil dan terkontrol baik
dengan menggunakan resep fenitoin dari dokter 2 dd 1 caps. Dia juga rutin
memakai nifedipin 10 mg 2 dd 1 tab untuk mengontrol tekanan darahnya tetapi
kadang lupa minum.
BAB III
PEMBAHASAN

No.

Obat Objek

Obat

1.

(A)
Glibenklamid

Presipitan (B)
Simetidin

2.

Glibenklamid

Alkohol

Mekanisme Interaksi

Efek

Pemecahan

Simetidin merintangi

Efek glibenklamid

Masalah
Menghentikan

enzim-enzim oksidatif

ditingkatkan oleh

pemakaian simetidin

hati sehingga

simetidin karena

dan menggunakan

perombakan obat-obat

eliminasi

terapi non

lain dapat diperlambat,

diperlambat.

farmakologi untuk

mengakibatkan kerja

mencegah maag nya

hati semakin berat.

kambuh kembali.

Alkohol dapat

Meningkatkan efek

Menghentikan

memperkuat efek atau

glibenklamid dan

pemakaian alkohol.

mengubah metabolisme

meningkatkan efek

bermacam-macam obat.

hipoglikemia.

13

3.

Parasetamol

Alkohol

Alkohol dapat

Efek parasetamol

Jangan

memperkuat efek atau

meningkat dan bisa

mengkonsumsi

mengubah metabolisme

menyebabkan

parasetamol pada

bermacam-macam obat.

perlukaan sel-sel hati pasien gangguan hati.


pada over dosis yang
disengaja atau tidak

4.

Propanolol

Simetidin

Meningkatkan efek

disengaja.
Efek propanolol

Menghentikan

propanolol dengan

ditingkatkan dan

pemakaian simetidin

adanya simetidin, karena

adanya efek samping

dan mengganti

eliminasi diperlambat.

brakardia, aritmia,

simetidin dengan

napas berbunyi

antasida lainnya.

seperti penderita
asma atau sulit
5.

6.

7.

Atenolol

Atenolol

Vitamin B6

Fenobarbital

Pseudoefedrin

Isoniazida

Fenobarbital dapat

bernapas.
Tekanan darah yang

Tidak mengkonsumsi

menurunkan efek dari

diobati dengan

atenolol dan

beta bloker.

golongan beta bloker

fenobarbital secara

tidak terkendali

bersamaan. Diberi

dengan baik.

jarak paling sedikit

Pesudoefedrin dapat

Tekanan darah yang

satu jam.
Menghentikan

menurunkan efek dari

diobati dengan

pemberian obat

beta bloker.

golongan beta bloker

pseudoefedrin dan

mungkin tidak

menggantikan

terkendali dengan

dengan terapi non

Kombinasi vitamin B6

baik.
Hilangnya vitamin

farmakologi.
Harus diberikan

dan isoniazida dapat

B6 dalam tubuh.

Vitamin B6

menghilangkan vitamin
8.

tambahan.

B6 dari tubuh.
Makanan dapat

Efek terapi tidak

Pemberian obat

rifampisin,

mengurangi absorbsi

dapat dicapai.

sebelum makan pada

dan vitamin

obat.

INH,

Makanan

saat lambung dalam

B6

keadaan kosong.

14

9.

10.

Nifedipin

Fenetoin dan

Fenitoin

Simetidin

Nifedipin

Fenitoin menurunkan

Menurunkan

Mengganti nifedipin

efek nifedipin karena

konsentrasi

dengan obat

eliminasi obat

nifedipine dalam

antihipertensi lain.

dipercepat.
Efek fenetoin dan

plasma.
Meningkatnya

Pemakaian simetidin

nifedipin ditingkatkan

konsentrasi kedua

diganti dengan

oleh simetidin karena

obat ini dalam

antasida.

eliminasi diperlambat.

plasma.

KASUS 1 (Tabel No. 1, 2 dan 3)


Analisa Kasus
1. Tn. Andi mengalami hepatitis atau gangguan hati dikarenakan adanya interaksi antara
alkohol dan parasetamol. Parasetamol bisa menyebabkan perlukaan sel-sel hati pada over
dosis yang disengaja atau karena tidak disengaja. Alkohol dapat memperkuat efek atau
mengubah metabolisme bermacam-macam obat. Potensi interaksi antara alcohol dengan
paracetamol adalah sangat berbahaya dan dapat terjadi dalam praktek sehari-hari di
klinik.
2. Efek glibenklamid ditingkatkan oleh simetidin karena eliminasi diperlambat. Efek
glibenklamid ditingkatkan juga oleh alcohol karena interaksi dengan metabolisme
karbohidrat, sehingga dapat menyebabkan hipoglikemi. Penggunaan glibenclamid 3dd 1
tab tidak sesuai aturan pakai yang seharusnya 1dd 1 tab. Hal ini semakin memperbesar
tejadinya hipoglikemi dan memberatkan kerja hati.
3. Simetidin merintangi enzim-enzim oksidatif hati sehingga perombakan obat-obat lain
dapat diperlambat, sehingga kerja hati semakin berat.
4. Pusing dan maag yang disebabkan stress dan pola makan yang tidak teratur.
5. Warna kuning pada kulit disebabkan karena Alkalin fosfate (ALP). Enzim ALP
ditemukan pada sel-sel hati (liver) yang berada di dekat saluran empedu. Peningkatan
kadar ALP menunjukkan adanya penyumbatan atau pada saluran empedu. Peningkatan

15

kadar ALP biasanya disertai dengan gejala fisik yaitu warna kuning pada kulit, kuku
ataupun bagian putih bola mata.
6. Adanya gangguan fungsi sintesis hati (liver) salah satunya ditunjukkan dengan
menurunnya kadar SGPT dan SGOT pasien seperti pada data hasil laboratorium.
7. Kadar SGOT dan SGPT yang normalnya 41 dan 56 unit/ liter. Pada data lab. pasien
kenaikan kadar SGPT dan SGOT tidak sampai 3 kali lipat dari kadar normal, sehingga
pasien tersebut digolongkan dalam hepatitis akut.
Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi
Menghentikan pengkonsumsian paracetamol, cimetidin, dan glibenklamid secara
oral. Untuk mengatasi hepatitis akutnya dengan pemberian injeksi asetil sistein untuk
mencegah hepatitis akut menjadi kronis, karena sel-sel hati dapat meregenerasi selselnya sendiri.
Untuk mengatasi diabetes melitusnya di gunakan obat-obat yang ekskresinya
melalui ginjal dan injeksi.

Terapi Non Farmakologi


Perbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung antioksidan,
vitamin C, E dan betakaroten seperti apel, jeruk, wortel, tomat, bayam, dan mangga dan
menghentikan minum alkohol.

KASUS 2 (Tabel No. 4)


Analisa Kasus
Tuan X diberi propanol yang merupakan obat golongan beta blocker yang mempunyai
interaksi obat dengan simetidin. Efek propanolol ditingkatkan oleh simetidin karena eliminasi
diperlambat yang mengakibatkan adanya efek samping brakardia, aritmia, napas berbunyi
seperti penderita asma atau sulit bernapas.
Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi
Menghentikan penggunaan simetidin dan mengganti simetidin dengan pemberian
antasida lainnya agar tidak terjadi interaksi obat.

Terapi Non Farmakologi

16

Tuan X dapat mengontrol tekanan darah tinggi dengan mengontrol makanan dengan
mengurangi asupan garam. Untuk pencegahan penyakit maag dapat dengan mengatur
pola makan yang teratur.
KASUS 3 (Tabel No. 5 dan 6)
Analisa Kasus
Nyonya Santi mengalami diare lebih dari 5 kali. Pertolongan pertama adalah pemberian
oralit untuk pengganti cairan tubuh. Nyonya santi juga mengalami hipertensi dan imsommia
yang yg sulit diobati. Diberi obat atenolol dan fenobarbital. Pemberian fenobarbital secara
bersamaan dengan atenolol dapat menyebabkan interaksi obat. Fenobarbital dapat
menurunkan efek dari beta bloker yang mengakibatkan tekanan darah yang diobati dengan
golongan beta bloker mungkin tidak terkendali dengan baik. Obat batuk yang mengandung
pelega hidung pesudoefedrin juga dapat menghambat efek dari beta bloker.
Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi
Pemberian obat atenolol dengan febobarbital jangan bersamaan. Pemberian obat
diberi jarak paling sedikit satu jam.

Terapi Non Farmakologi


Penghentian obat pseudoefedrin. Pengobatan batuk dapat dengan terapi non
farmakologi dengan istirahat yang cukup, banyak

minum air putih hangat dan

mengurangi makanan yang berminyak.


KASUS 4 (Tabel No. 7 dan 8)
Analisa Kasus
Pemberian obat TBC diharuskan dalam keadaan lambung kosong karena pada saat
lambung kosong absorpsi obat dapat berjalan dengan baik. Penggunaan isoniazid dengan
vitamin B6 dapat mengurangi vitamin B6 dari tubuh. Jadi perlu adanya pemberian tambahan
vitamin B6.
Efek samping dari INH adalah neuritis perifer, paling banyak terjadi dengan dosis INH 5
mg/kgBB.hari. Profilaksis dengan pemberian piridoksin mencegah terjadinya neuritis perifer
dan juga berbagai gangguan sistem saraf yang mungkin terjadi termasuk akibat pengobatan
berjangka sampai 2 tahun.

17

Pemecahan Masalah
o Pemberian obat harus sebelum makan agar absorpsi tidak terganggu dan tidak ada
interaksi antara obat dengan makanan.
o Pemberian Vitamin B6 dengan dosis 10 mg/hari.

KASUS 5 (Tabel No. 9 dan 10)


Analisis Kasus
Ruam kulit dan pusing yang terjadi pada Ny.Hikaru Utada ada kemungkinan akibat efek
samping dari pemakaian fenitoin dalam jangka panjang. Ruam kulit yang dialami perlu
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab ruam kulit ini sehingga dapat dipilih
pengobatan yang tepat untuk ruam kulitnya. Nifedipin sebagai antihipertensi golongan
antagonis kalsium penggunaannya bersama fenitoin dapat menurunkan konsentrasi nifedipine
dalam plasma. Penggunaan simetidin yang bersamaan dengan fenitoin atau nifedipin dapat
meningkatkan konsentrasi kedua obat ini dalam plasma.
Pemecahan Masalah

Terapi Farmakologi
Penggantian obat dilakukan pada nifedipin sebagai antihipertensi. Selain nifedipin,
penggunaan simetidin juga diganti dengan antasida yang memberi efek lokal seperti
kombinasi Alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida.

Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan mengontrol asupan dan pola makan,
diet sehat, mengurangi konsumsi garam, olahraga, menghindari merokok dan minum
alkohol serta konsumsi sayuran dan buah segar. Selain itu pengontrolan tekanan darah
harus dilakukan berkala untuk tetap menjaga tekanan darah dalam keadaan normal.
Fenitoin diberikan 2 jam sebelum atau sesudah makan untuk mencegah penurunan
bioavailibilitasnya.

18

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
1. Interaksi obat atau lebih dikenal dengan istilah drug interaction, merupakan
interaksi yang terjadi antar obat yang dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi obat
dapat menghasilkan efek baik terhadap pasien, namun tidak jarang menghasilkan
efek buruk.
2. Obat yang mempengaruhi disebut dengan precipitant drug, sedangkan obat yang
dipengaruhi disebut sebagai object drug.
3. Dalam makalah ini ada beberapa kasus, diantaranya adalah mengenai diabetes,
hipertensi dan TBC. Ketiga penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit
dengan kasus Interaksi Obat yang sering terjadi. Dalam terapi penyakit ini
penggunaan obatnya lebih dari satu secara bersamaan (polifarmasi), yang akan
memudahkan terjadinya Interaksi Obat.
4.2 SARAN
1. Dengan adanya kasus interaksi obat yang sering terjadi, diharapkan tenaga
kesehatan khusnya dokter dan apoteker, lebih hati-hati dalam terapi dan pemberian
obat lebih dari satu secara bersamaaan.
2. Diharapkan adanya penanganan yang paling optimal atas kasus-kasus yang sering
terjadi.
19

3. Dokter dan apoteker diharapkan juga bisa mencegah agar kasus-kasus interaksi
obat dapat diminimalisir dan tidak semakin parah.

20

Anda mungkin juga menyukai