Anda di halaman 1dari 57

Pengaruh Minuman Jahe Madu Terhadap Mual Dan Muntah Pada Ibu Hamil Di

Puskesmas Pahandut Dan Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja Puskesmas Pahandut


Palangka Raya
Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan Pada Ibu Primipara di Kota Palangka Raya
Analisis Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antopometri Dengan Persepsi Mengenai
Status Gizi Ibu Hamil
Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia Yang
Menjalani Rawat Jalan Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Terhadap Orang
Dengan Hiv/Aids (ODHA)
Analisis Implementasi Pojok Laktasi Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Analisis Fungsi Pelaksanaan Program Asi Eksklusif Oleh Bidan

ISSN : 2087 - 9105

Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

TIM REDAKSI
Jurnal Forum Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Tim Penyunting :
Penanggung Jawab

Dhini, M.Kes

Redaktur

Iis Wahyuningsih, S.Sos

Editor

Vissia Didin Ardiyani, SKM, MKM

Tim Pembantu Penyunting :


Penyunting Pelaksana

1. Dwirina Hervilia, SKM, MKM


2. Munifa, SKM, MPH

Pelaksana TU

1. Deddy Eko Heryanto, ST


2. Daniel, A.Md.Kom
3. Arizal, A.Md

Tim Mitra Bestari :


1. Dr. Merryana Adriani, SKM, M.Kes (FKM Universitas Airlangga)
2. Dr. Ni Komang Yuni Rahyani, S.Sit., M.Kes (Poltekkes Kemenkes Denpasar)
3. Dr. Djenta Saha, S.Kp., MARS (Dosen Tidak Tetap Poltekkes Kemenkes Palangka Raya)
Alamat Redaksi :
Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah
Telepon/Fax : 0536 3221768
Email

: forumkesehatanpky@gmail.com, poltekkespalangkaraya@gmail.com

Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id
Terbit 2 (dua) kali setahun.

PENGANTAR REDAKSI
Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam
Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian dan
karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan
Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka
diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan.
Jurnal Forum Kesehatan merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang
menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun
informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya
bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya
berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama Jurnal Forum Kesehatan
Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh,
kami akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan
muncul pada penerbitan penerbitan selanjutnya.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan
kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya Jurnal Forum Kesehatan
Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga
disampaikan kepada Dewan Redaksi dan Tim Mitra Bestari yang telah meluangkan
waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah
yang telah disampaikan kepada redaksi.
Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan
naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan Jurnal
Forum Kesehatan ini selanjutnya.
Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam Jurnal Forum Kesehatan
Volume IV Nomor 8, Agustus 2014 ini dapat menambah wawasan dan memberikan
pencerahan bagai lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya.
Tim Redaksi

DAFTAR ISI

Hal.

Pengaruh Minuman Jahe Madu Terhadap Mual Dan Muntah Pada Ibu Hamil Di
Puskesmas Pahandut Dan Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja
Puskesmas Pahandut Palangka Raya
Herlina Diyaningsih ................................................................................................................

60

Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan Pada Ibu Primipara di Kota Palangka Raya
Christine Aden .........................................................................................................................

66

Analisis Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antopometri Dengan Persepsi


Mengenai Status Gizi Ibu Hamil
Demsa Simbolon, Yanti Sutrianti, Jon Farizal ......................................................................

78

Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia Yang
Menjalani Rawat Jalan Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Yanti Thomas, Fretika Utami Dewi ........................................................................................

88

Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Terhadap Orang


Dengan Hiv/Aids (ODHA)
Hesty Widyasih, Suherni .........................................................................................................

94

Analisis Implementasi Pojok Laktasi Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Lola Meyasa .............................................................................................................................

99

Analisis Fungsi Pelaksanaan Program Asi Eksklusif Oleh Bidan


Seri Wahyuni ...........................................................................................................................

107

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Herlina Diyaningsih, Determinan Gizi Kurang pada Balita 1-5 tahun

Pengaruh Minuman Jahe Madu Terhadap Mual Dan Muntah Pada Ibu Hamil Di Puskesmas
Pahandut Dan Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja
Puskesmas Pahandut Palangka Raya
Effect Of Ginger Honey Drink Towards Nausea and Vomiting In Pregnant Women
In Pahandut Primary Health Center Palangka Raya

Herlina Diyaningsih
Abstrak. Mual dan muntah adalah gejala yang sering terjadi pada awal kehamilan jika tidak ditangani dengan
benar akan mengakibatkan komplikasi pada ibu dan janin. Metode yang digunakan untuk mengurangi mual
dan muntah yaitu metode farmakologis dengan menggunakan vitamin B6 dan non farmakologis yaitu salah
satu alternatif adalah minuman jahe dan madu. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh minuman jahe
madu terhadap frekuensi mual muntah pada ibu hamil. Penelitian Eksperimen dengan menggunakan desain
randomize pre-post test design control group. Pada desain penelitian ini terdapat 4 (empat) kelompok, yaitu 3
(tiga) kelompok intervensi dan 1 kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan minuman madu, jahe dan
kombinasi madu dan jahe sedangkan kelompok kontrol diberikan vitamin B6 pada ibu hamil yang mengalami
mual muntah. Hasil analisis bivariat menunjukan ada pengaruh yang bermakna secara statistik antara ketiga
kelompok intervensi (minuman madu, jahe, kombinasi madu dan jahe) dan kelompok kontrol terhadap durasi
mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah dengan nilai P<0,05. Kesimpulan:
pemberian intervensi minuman jahe dan kombinasi jahe madu lebih efektif dibandingkan kelompok intervensi
madu dan kontrol. Saran, pemberian minuman jahe dan kombinasi jahe madu sebaik digunakan sebagai salah
satu pilihan dalam pengobatan mual muntah pada ibu hamil
Kata Kunci: Madu, jahe, kombinasi madu dan jahe, mual muntah
Abstract. Nausea and vomiting are common symptoms in early pregnancy if not treated properly will lead to
complications in the mother and fetus. The method used to reduce nausea and vomiting that pharmacological
methods by using the vitamin B6 and non- pharmacological alternativeis ginger and honey drink. Objective of
study to analyze the effect of ginger honey drink to the frequency of nausea and vomiting in pregnant women.
The study method used experimental randomize design pre - post test control group design. In this design,
groups were divided into four groups they were three groups as intervention and one group as control. The
group of intervention were given honey drink, ginger, combination of ginger and honey while the control group
was given vitamin B6 to pregnant women with nausea and vomiting. The results showed no statistically
significant effect between the three intervention groups (drink honey, ginger, honey and ginger combination)
and a control group of the duration of nausea, frequency of nausea, vomiting frequency and the frequency of
nausea and vomiting with a P value <0.05 and the control group p = 0.001. Overall, providing intervention
combination honey and ginger was more effective than the control intervention group ginger and honey. For
suggestion, giving drink ginger and honey combination was used as one of the best options in the treatment of
nausea and vomiting in pregnant women
Key word: Honey, ginger, honey and ginger combination, nausea and vomiting.

Pendahuluan
Mual dan muntah adalah gejala yang sering terjadi
pada kehamilan 50- 80% terjadi pada tirmester
pertama wanita hamil.1 Keluhan ini muncul sejak
awal kehamilan hingga usia kehamilan 20 minggu,
hanya sekitar 10% dari seluruh kasus mual muntah
ini yang tetap dikeluhkan hingga akhir kehamilan.2
Penyebab mual dan muntah pada kehamilan belum
diketahui dengan pasti, mual dan muntah berkaitan
erat dengan etiologi dan patogenesis mual dan
muntah pada kehamilan. Menurut teori, perubahan

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

fisiologis pada ibu hamil menyebabkan peningkatan


kadar human chorionic gonadotropin (hCG) dan
perubahan psikologis seperti takut dan cemas dapat
mengaktifkan
Chemosreseptor
Triger
Zone
(CTZ).3Neurotrasmiter ini adalah Serotonin,
Dopamin,
Asetilkolin
dan
Histamin
dan
kemoreseptor yang kelima adalah Neurokinin 1
neuropeptide yang dikenal sebagai substansi P.
Stimulasi dari kemoreseptor ini memicu aktivasi
pusat muntah menyebabkan mual dan muntah. 4

60

ARTIKEL PENELITIAN

Metode yang digunakan untuk mengurangi mual


muntah yaitu makan porsi kecil tapi sering, batasi
lemak dalam diet, istirahat, Farmakologis dengan
menggunakan vitamin B6 dan non farmakologis
yaitu salah satunya adalah minuman jahe dan
madu.5.6
Jahe dan madu memiliki manfaat untuk mengurangi
mual muntah pada kehamilan karna jahe memiliki
kandungan minyak atsiri yaitu gingerol dan madu
juga mengandung piridoksin, kedua zat tersebut
sebagai anti chemoreseptor yang dapat memblok
atau menghentikan zat serotonin, dopamin,
asetilkolin, histamin dan neurokinin yang dapat
mengaktifkan pusat muntah. 7.8
Jahe tidak memiliki efek samping pada kehamilan
dan madu yang kaya nutrisi dan enzim untuk
kebutuhan nutrisi ibu hamil dan asupan gizi janin
serta ketika jahe dan madu diminum secara
bersamaan efek jahe lebih cepat bertransmisi karna
madu mengandung enzim diastase, invertase,
glukosa oksidase, dan peroksidase untuk
metabolisme sehingga lebih cepat diserap oleh
tubuh.9 Mengatasi mual dan muntah pada ibu hamil.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
pemberian minuman madu, jahe dan kombinasi
terhadap mual muntah pada ibu hamil trimester 1 dan
II.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimen
dengan menggunakan desain randomize pre-post test
design control group. Pada desain penelitian ini
terdapat 4 kelompok, yaitu 3 kelompok intervensi
dan 1 kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi
diberikan vitamin B6 pada masing-masing kelompok
intervensi diberikan minuman madu (A), minuman
jahe (B) dan minuman kombinasi madu dan jahe (C)
pada ibu hamil yang mengalami mual dan muntah
sedangkan kelompok control (D) tidak diberikan
minuman madu, jahe dan kombinasi madu dan jahe..
Pupulasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu
hamil
yang mengalami mual muntah yang
memeriksakan kehamilannya di Puskemas Pahandut
dan Puskesmas Pembantu Wilayah Puskesmas
Pahandut berjumlah 69 orang dan yang bersedia
menjadi reponden sebanyak 64 orang pada bulan
Januari Februari Tahun 2014 dan memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi. Jumlah sampel dalam
penelitian ini dihitung berdasarkan estimasi proporsi
suatu populasi dengan ditetapkan kesalahan tipe I
sebesar 5%, kesalahan tipe II 20% didapatkan jumlah
sampel sebanyak 60 responden. Variabel bebas
penelitian ini adalah minuman madu, minuman jahe
dan minuman
kombinasi madu dan jahe. Variabel Terikatnya
adalah durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah
dan frekuensi mual dan muntah. Pengolahan data dan

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

analis data menggunakan SPSS for window versi 15


analisis univariat, analisis bivariat (Paired Test,
Wilcoxon, Kruskal-Wallis Uji post-hoc Mann
Whitney)
Hasil Penelitian
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar usia
responden berusia antara 20 sampai 35 yaitu 80,0%
dengan jumlah responden 12 orang pada kelompok
A,B,D. Usia termuda < 20 tahun pada kelompok A
dan kelompok B yaitu 13,3 % dengan jumlah
resonden 2 orang. Dan yang terkecil pada usia tertua
>35 tahun terdapat pada kelompok A,B, dan
kelompok C yaitu 6,7 % dengan jumlah 1 orang.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p
value sebesar 0,695 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata
usia di antara empat kelompok (p > 0,05).
Tabel 1. Karakteristik Responden

Kelompok
A
Usia
ibu
(Thn)

<20
20-35
>35
Jumlah

2 13
12 80
1 7
15 100

f %
2 13
12 80

15 100

f
3
11
1

%
20
73
7

15 100

f
3

%
20

12 80

P
Value
0,695

15 100

15 100

Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar usia


kehamilan responden <12 pada empat kelompok ,
Usia kehamilan< 12 pada kelompok A yaitu 73,3%
dengan jumlah responden 6 orang. Usia kehamilan >
12 minggu yang terkecil pada kelompok A yaitu 26,7
% dengan jumlah responden 4 orang. Berdasarkan
hasil uji statistik didapatkan nilai p value sebesar
0,526 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara rerata paritas
diantara empat kelompok (p > 0,05).
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar
paritas responden pada multigravida pada kelompok
A dan kelompok D sama yaitu 60% dengan jumlah
resonden 9 orang
dan yang terkecil pada
Primigravida orang dan yang terkecil pada kelompok
C yaitu 26,7% dengan jumlah responden 4 orang.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p
value sebesar 0,526 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata
paritas diantara empat kelompok (p > 0,05).

61

Herlina Diyaningsih, Determinan Gizi Kurang pada Balita 1-5 tahun

Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik


responden menurut usia ibu
dan uji homogenitas

Kelompok
A
Umur
keham
ilan

TI
TII
Jumlah

11 73
4 27
15 100

f %
6 40
9 60
15 100

f
9
6

%
60
40

15 100

f %
8 53

P
Value
0,256

12 47
15 100

15 100

Tabel 3. Distribusi frekuensi karakteristik


responden menurut paritas dan uji homogenitas

Kelompok
Paritas

A
f

Primi
Multi
Jumlah

6 40
9 60
15 100

f %
8 53

f %
4 27
11 73

f %
6 40

7 47
15 100

15 100

9 60
15 100

P
Value
0,526

Tabel 4. Distribusi frekuensi karakteristik


responden menurut riwayat keluarga dan uji
homogenitas

Kelompok
A
Riwayat
klg

Ya
Tidak
Jumlah

10 67
5 33
15 100

B
f %
10 67
5 33
15 100

C
f %
8 53
11 73
15 100

mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual dan


muntah sesudah intervensi. Dari hasil analisi statistik
menggunakan statistik non-parametrik uji wilcoxon
didapat nilai p value sebesar 0,007 maka secara
statistik terdapat perbedaan skor durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah yang signifikan antara skor frekuensi
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (p value <
0,05). Sehingga dapat disimpulkan intervensi
kelompok A berpengaruh terhadap penurunan durasi
mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual dan muntah.
Tabel 5 . Perbedaan frekuensi skor durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi
mual dan muntah sebelum dan sesudah intevensi
pada masing-masing kelompok berpasangan A
,B, C dan kelompok kontrol D
Mual dan Muntah
Kelompok A sebelum
intervensi

Mean SD
11,082,81

Kelompok
intervensi
Kelompok
intervensi

A Sesudah

9,132,59

B sebelum

11,682,66

Kelompok
intervensi
Kelompok
intervensi

B Sesudah

0,007

D
f %
11 73
4 27
15 100

P
Value
0,157

Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar


riwayat keluarga responden yang mengalami mual
dan mutah pada empat kelompok, yaitu pada
kelompok D yaitu 73,3 % dengan jumlah responden
11 orang dan yang terkecil pada kelompok yang
tidak memiliki riwayat keluarga yaitu pada kelompok
D yaitu 26,7 dengan jumlah responden 4 orang
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p
value sebesar 0,157 maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata
paritas diantara empat kelompok (p > 0,05).
Berdasarkan tabel 5 pada kelompok A dapat
dilihat nilai median skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
sebelum diberikan intervensi adalah adalah sebesar
10 dan skor sesudah intervensi adalah sebesar 9 .
Rata-rata skor frekuensi sebelum diberikan intervensi
adalah sebesar skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
11,08 dan rata-rata skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
sesudah intervensi 9,13 sehingga dapat disimpulkan
bahwa terjadi penurunan skor durasi mual, frekuensi

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

p value

0,001

C sebelum

Kelompok C Sesudah
intervensi
Kelompok D sebelum
pemberian vitamin B6
Kelompok D Sesudah
pemberian vitamin B6

7,601,99
11,683,22

0,001

7,201,52
11,732,64
0,001

9,532,64

Pada kelompok B dapat dilihat nilai median skor


durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual dan muntah sebelum diberikan
intervensi adalah adalah sebesar 12 dan skor sesudah
intervensi adalah sebesar 7 . Rata-rata skor frekuensi
sebelum diberikan intervensi adalah sebesar skor
durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual dan muntah 11,68 dan rata-rata skor
frekuensi durasi mual, frekuensi mual, frekuensi
muntah dan frekuensi mual dan muntah sesudah
intervensi 7,60 sehingga dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
sesudah intervensi.Dari hasil analisis statistik
menggunakan statistik non-parametrik uji wilcoxon
didapat nilai p value sebesar 0,001 maka secara

62

ARTIKEL PENELITIAN

statistik terdapat perbedaan skor durasi mual,


frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah yang signifikan antara skor frekuensi
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (p value <
0,05). Sehingga dapat disimpulkan intervensi
kelompok B berpengaruh terhadap penurunan durasi
mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual dan muntah . Pada kelompok C dapat
dilihat nilai median skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
sebelum diberikan intervensi adalah adalah sebesar
11 dan skor sesudah intervensi adalah sebesar 7 .
Rata-rata skor frekuensi sebelum diberikan intervensi
adalah sebesar skor frekuensi mual muntah 11,68 dan
rata-rata skor durasi mual, frekuensi mual, frekuensi
muntah dan frekuensi mual dan muntah sesudah
intervensi 7,20 sehingga dapat disimpulkan bahwa
terjadi penurunan skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan .frekuensi mual dan muntah
sesudah intervensi. Dari hasil analisi statistik
menggunakan statistik non-parametrik uji wilcoxon
didapat nilai p value sebesar 0,001 maka secara
statistik terdapat perbedaan skor durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah yang signifikan antara skor frekuensi
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (p value <
0,05). Sehingga dapat disimpulkan intervensi
kelompok C berpengaruh terhadap penurunan durasi
mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual dan muntah. Pada kelompok D dapat
dilihat nilai median skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
sebelum diberikan intervensi adalah adalah sebesar
12 dan skor sesudah intervensi adalah sebesar 10 .
Rata-rata skor frekuensi sebelum diberikan intervensi
adalah sebesar skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
11,73 dan rata-rata skor frekuensi durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah sesudah intervensi 9,53 sehingga dapat
disimpulkan bahwa terjadi penurunan skor frekuensi
sesudah mendapatkan vitamin B6 perawatan biasa
yang diberikan dipuskesmas pada kelompok D
(kontrol). Dari hasil analisi statistik menggunakan
statistik parametrik uji paired t test didapat nilai p
value sebesar 0,001 maka secara statistik terdapat
perbedaan skor durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

yang signifikan antara skor frekuensi sebelum dan


sesudah dilakukan intervensi (p value < 0,05).
Sehingga dapat disimpulkan setelah mendapatkan
vitamin B6 perawatan biasa yang diberikan
dipuskesmas pada kelompok D (kontrol)
berpengaruh terhadap penurunan durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah .
Tabel 6 . Perbedaan frekuensi skor durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi
mual dan muntah sebelum dan sesudah intevensi
pada masing-masing kelompok berpasangan A,
B, C dan kelompok kontrol D
Mual dan Muntah
A Sesudah

Mean
Rank
21,60

B Sesudah

36,87

C Sesudah

39,23

Kelompok D Sesudah
pemberian vitamin B6

24,30

Kelompok
intervensi
Kelompok
intervensi
Kelompok
intervensi

p value

0,008

Tabel 6 menunjukkan frekuensi mual muntah


pada kelompok A, B, C, dan D diuji secara bersamasama diperoleh hasil uji statistik nilai p value sebesar
0,008 (p < 0,05) maka secara statistik dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna
durasi mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual dan muntah antara kelompok A,B,C
dan D setelah diberikan intervensi. Dengan Uji posthoc Mann Whitney penurunan frekuensi kelompok B
sebesar 39,23 dan kelompok C sebesar 36,87
sedangkan kelompok A sebesar 21, 60 dan D sebesar
24,30 sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok
intervensi C dan B durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual dan muntah
lebih rendah dari pada kelompok A dan D. Kelompok
C dan B lebih efektif dalam menurunkan durasi mual,
frekuensi mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah pada ibu hamil dibandingkan dengan
kelompok intervensi A dan D.

63

Herlina Diyaningsih, Determinan Gizi Kurang pada Balita 1-5 tahun

Pembahasan
Mual dan muntah adalah gejala umum
yang dialami oleh perempuan pada trimester
pertama kehamilan dan mempengaruhi 5080% dari hamil perempuan.1 Berdasarkan
hasil analisis univariat terhadap frekuensi
mual dan muntah sebelum dan sesudah
diberikan intervensi pada keempat kelompok
menunjukkan bahwa skor frekuensi mual dan
muntah yang diberikan kelompok madu,
jahe, jahe dan madu diberikan B6 sebelum
pemberian intervensi dan sesudah intervensi
terhadap ketiga kelompok dan kelompok
kontrol terjadi penurunan skor frekuensi
mual dan muntah menjadi frekuensi lebih
rendah dari pada sebelum intervensi. Salah
satu manajemen farmakologis dengan
pemberian obat-obatan yang sering diberikan
pada wanita hamil yang mengalami mual
muntah adalah obat yang mengandung efek
anti mual seperti vitamin B6 sebagai anti
chemoreseptor yang dapat memblok atau
menghentikan serotonin untuk mencegah
aktifnya pusat muntah.10.11 Beberapa
alternatif non farmakologis yang dianjurkan
jahe dan madu untuk mengurangi mual
muntah. Jahe memiliki kandungan minyak
atsiri dan gingerol dan madu juga
mengandung piridoksin ketiga zat tersebut
sebagai anti chemoreseptor yang dapat
memblok atau menghentikan serotonin untuk
mencegah aktifnya pusat muntah.9.12 Manfaat
vitamin B6 dan kombinasi madu dan jahe
yang bekerja pada sistem, organ, yang sama
dengan efek farmakologi yang sama sehingga
memiliki interaksi farmakodinamik yang
sinergis dalam menurunkan frekuensi mual
dan muntah.7
Pemberian kelompok intervensi jahe dan
kombinasi madu dan jahe lebih efektif dalam
menurunkan skor durasi mual, frekuensi
mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
dan muntah pada ibu hamil dibandingkan
kelompok intervensi madu dan kelompok
kontrol.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu
minuman madu berpengaruh terhadap durasi
mual, frekuensi mual, frekuensi muntah dan
frekuensi mual muntah pada ibu hamil yang
mengalami
mual
muntah
diwilayah
Puskemas Pahandut Palangka Raya;
minuman jahe (B) berpengaruh terhadap
durasi mual, frekuensi mual, frekuensi

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

muntah dan frekuensi mual muntah pada ibu


hamil yang mengalami mual muntah
diwilayah Puskemas Pahandut Palangka
Raya; minuman kombinasi madu dan jahe
berpengaruh terhadap durasi mual, frekuensi
mual, frekuensi muntah dan frekuensi mual
muntah pada ibu hamil yang mengalami mual
muntah diwilayah Puskemas Pahandut
Palangka Raya; minuman jahe dan kombinasi
madu dan jahe lebih efektif dalam
menurunkan durasi mual, frekuensi mual,
frekuensi muntah dan frekuensi mual muntah
pada ibu hamil yang mengalami mual muntah
diwilayah Puskemas Pahandut Palangka
Raya
Berdasarkan simpulan maka disarankan
sebagai berikut bagi masyarakat hendaknya
menggunakan minuman jahe dan kombinasi
madu dan jahe sebagai salah satu pilihan
dalam pengobatan ibu hamil dengan mual
muntah; Bagi instansi kesehatan hendaknya
sebagai menerapkan atau pertimbangan dan
mempromosikan minuman jahe dan
kombinasi madu dan jahe untuk dijadikan
sebagai bagian dari intervensi kebidanan
dalam pengelolaan asuhan ibu hamil yang
mengalami mual dan muntah dengan
menggunakan manajemen non-farmakologis
yang lebih bersifat preventif serta
memberikan asuhan kebidanan yang holistik
pada ibu hamil yang mengalami mual muntah
dengan pilihan alternatif pengobatan yang
lebih sederhana, mudah dilakukan dan
minimal efek samping; bagi pengembangan
ilmu pengetahuan hendaknya memasukkan
materi mengenai terapi non-farmakologis
yaitu minuman jahe dan kombinasi madu dan
madu dalam proses belajar-mengajar
terutama dalam pembelajaran asuhan
kebidanan pada ibu hamil dalam rangka
mengembangkan praktik kebidanan yang
berbasis terapi
non-farmakologis; Bagi
penelitian selanjutnya perlunya penelitian
tentang pengukuran kadar serotonin sebagai
alat ukur yang lebih objektif dalam mengukur
frekuensi mual dan muntah pada kehamilan.
Daftar Pustaka
1. Carolin. S, Franzcog, Kristyn.W and
Vicky. M. Randomized controlled Trial of
Ginger to Treat Nausea and Vomiting in
Pregnancy. Obsetric Ginecology 2004
2. Leveno and Keneth .J. Obsetri Williams
Edisi 21. Jakarta EGC. 2009

64

ARTIKEL PENELITIAN

3. Mario Fasten. Nausea and Vomiting in


early pregnancy. Clinical Eviden 2009
4. Garret K, Tsuruta K, Walker S, Jackson
and Sweat,
Managing nausea and
vomiting .Critical Care Nurse. 2005
5. Fraser Diane, Margaret Cooper. Buku
Ajar Bidan. EGC 2009
6. Jensen. Lowderilk Bobak. Keperawatan
Maternitas Jakarta EGC 2005
7. Dipiro, Cecily.V, Talbert. R.L., Yee. G.C,
Matzke. G.R., Wells. B.G, and Posey.
L.M. Nausea and Vomiting dalam
Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach, 7th Edition, McGraw Hill
Medical, USA 2008
8. Levine, Marcum. G, Yanchis. S, Anne,
Voss. C and Robert. L. Protein and ginger
for treatment of chemotherapyinduced
delayed nausea. Journal of Alternative
and Complementary. Medicine, 2008;
551-545
9. Salim. A. Khasiat Kombinasi Madu dan
Jahe in Madu Jan 14, 2009
White Brett. Ginger : An Review Am
Francisco 200
10. Pongrojpaw D , Somprasit and
Chanthasenanon A. A Randomized
Comparison
of
Ginger
and
Dimenhydrinate in the Treatment of
Nausea and Vomiting in Pregnancy J Med
Assoc Thai 2007
11. Taras, Heater. B, Georgousis. A, Smith.
M, and Einarson.A. The use of CAM by
Women Suffering from nausea and
Vomiting during Pregnancy. BMC
Complementary
and
Alternative
Medicine 2004.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

65

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan Pada Ibu Primipara


di Kota Palangka Raya
Effects of Labor Pain Management in Primiparous Women
Christine Aden
Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Nyeri persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan
kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks, serta penurunan janin selama persalinan. Nyeri persalinan
memiliki keunikan dengan respon yang berbeda-beda bagi setiap ibu bersalin. Upaya menurunkan nyeri
persalinan dapat dilakukan dengan tehnik nonfarmakologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh manajemen nyeri persalinan pada ibu primipara di kota Palangka Raya.Penelitian ini dilakukan
pada 26 ibu primipara.Data dianalisis, Uji T tidak berpasangan serta generalized estimating equation
(GEE). Hasil penelitian ada perubahan persepsi persalinan pada kelompok intervensi sebesar 2,2 kali
sebelum intervensi dan sesudah intervensi manajemen nyeri persalinan. Ditemukan nyeri sedang pada ibu
yang memanfaatkan tehnik manajemen nyeri dan pada pengamatan ke II terdapat perbedaan proporsi skala
nyeri antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (nilai P=0,038). Ditemukan adanya interaksi antara
manajemen nyeri dengan waktu pengamatan pada pengamatan ke III (=0,005 < 0,01). Pada pengamatan
ke III, manajemen nyeri menaikan rata-rata dilatasi servik sebesar 4,5 cm. Berdasarkan uji GEE
menyatakan tidak ada perbedaan nilai pada kelompok intervensi dan kontrol baik pre maupun post test.
Secara substansi pada kelompok intervensi yang telah mendapatkan pengetahuan tentang manajemen nyeri
persalinan teramati dapat menerapkan dan memadukan tehnik mengurangi nyeri persalinan secara mandiri
dan dengan dukungan keluarga.
Kata kunci: Nyeri persalinan, manajemen nyeri persalinan, primipara
Abstract. Labor Pain is a subjective experience about physical cencation that associated with the
pysicological process of labor and pregnant women characteristics to face the labor. Labor pain is unique
with different responses for every pregnant women. Efforts to reduce labor pain can be done with non
pharmacological technic. This study aimed to determine the effect of labor pain management on the
primiparous women in Palangka Raya. This study was done to 26 primiparous. Data was analyzed by
unpaired t test and generalized estimating equation (GEE). The results of analysis showed that there was a
change of labor perception in the intervention group at 2.2 times as much before intervention and after
intervention of labor pain management. Moderate pain was found in the mothers who utilizing pain
management. Interaction was found between pain management with observations time on the third
observations (= 0.005<0,01). On the third observations, pain management raised the average of cervic
dilatation to 4.5 cm. Based on the generalized estimating equation (GEE) revealed no difference
knowledge score between intervention group and control both pre and post test. Substantialy, in the
intervention group who got education about pain management reported that they applied and combined
the technic to reduce
labor pain independently and
with family support.
Key words: Labor Pain, Labor Pain Management, Primiparous

Pendahuluan
Persalinan adalah proses
berakhirnya
kehamilkan, melalui proses ini semua perempuan
akan mengalami nyeri persalinan. Nyeri persalinan
dimulai oleh adanya kontraksi uterus (his) yang
disebabkan penurunan kadar hormon progesteron.
Progesteron bekerja sebagai penenang otot polos
uterus, dan menjelang persalinan kadar progesteron
turun yang mengakibatkan kekejangan pembuluh
darah yang menyebabkan his atau kontraksi uterus
yang dirasakan ibu sebagai rasa nyeri. Nyeri juga
dapat terjadi karena distensi pada uterus. Uterus
yang menjadi besar dan meregang dapat
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

mengakibatkan iskemia pada otot-ototnya,


sehingga sirkulasi uteroplasenta terganggu.
Selanjutnya teori iritasi mekanik menyebutkan
bahwa di belakang servik terletak ganglion
servicale (fleksus frankenhauser). Bila kepala janin
menekan atau menggeser ganglion ini maka akan
akan timbul kontraksi uterus.
Nyeri persalinan merupakan pengalaman
subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan
kontraksi uterus, dilatasi dan penipisan serviks,
serta penurunan janin selama persalinan. Nyeri
persalinan juga juga dipengaruhi budaya, usia,

66

ARTIKEL PENELITIAN

sosialekonomi, agama, lingkungan, kepribadian


dan persiapan persalinan.-6
Upaya menurunkan nyeri persalinan dapat
dilakukan dengan tehnik farmakologi dan
nonfarmakologi.-12.
Metode nonfarmakologi
bersifat nonintrusif, noinvasif, murah, simple,
efektif dan tanpa efek yang merugikan .-3 metode
nonfarmakologi yang paling efektif menurunkan
nyeri saat persalinan adalah teknik pernapasan,
relaksasi,
akupresur
dan
massage5 dan
penggabungan tehnik-tehnik tersebut dilakukan
dalam relaksasi otot, latihan pernapasan, dan
massase pada area lumbalsakral sangat bermakna
menurunkan nyeri persalinan6-7.
Persiapan persalinan dengan melakukan
latihan pengelolaan nyeri persalinan secara non
farmakologi menurut Lamaze, Bradley dan Dick
Read selain mengurangi nyari persalinan juga akan
meningkatkan kepuasan ibu terhadap pengalaman
persalinan -4. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa apabila ibu yang telah termotivasi untuk
mempersiapkan diri menghadapi persalinan maka
rasa nyeri selama persalinan dapat berkurang
sampai dengan sepertiganya. Latihan pengelolaan
nyeri persalinan akan membantu ibu memahami
persalinan dan menghadapi persalinan dengan
tenang dan menggunakan koping menghadapi nyeri
dengan efektif8.
Kecemasan menghadapi persalinan dapat
menambah lama persalinan dan menyebabkan
kelelahan ibu. Kecemasan selama persalinan akan
menyebabkan reaksi fisik berupa peningkatan
denyut jantung dan tekanan darah, dan dapat
menurunkan kontraksi uterus dan mengakibatkan
persalinan lama dan berisiko pada kematian ibu
dan janin.-4.
Metode farmakologi dengan analgesika untuk
menurunkan nyeri dan kecemasan ibu selama
persalinan memiliki efek samping yang merugikan
bagi ibu dan janin. Diantaranya adalah ibu dapat
mengalami hipoksia dan kontraksi uterus menurun,
sedangkan janin dapat mengalami masalah
pernapasan dan kesulitan mengisap ASI.-8
Persalinan di Kalimantan Tengah tahun 2010
sebanyak 43.550 jiwa sedangkan 10% persalinan
adalah di Palangka Raya yaitu sebanyak 4.724
jiwa.9 . Teramati manajemen nyeri persalinan yang
diberikan pada kelas persiapan persalinan belum
diterapkan dengan maksimal. Selama periode
ANC pemeriksaan kehamilan yang diberikan
bersifat rutin yang diberikan berkisar pada 7T yaitu
timbang berat badan dan ukur tinggi badan,
mengukur tekanan darah dan tinggi fundus,
memberikan imunisasi tetanus toxoid, memberikan
tablet tambah darah teratur, pemeriksaan
laboratorium dan wawancara.
Penelitian
ini
ingin
memperkenalkan
manajemen nyeri persalinan pada ibu hamil
menjelang persalinan sehingga memiliki koping
yang efektif menghadapi pesalinan dan memiliki
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

kepuasan terhadap pengalaman persalinan.


Penelitian ini juga dapat meyakinkan para
penolong
persalinan,
sehingga
dapat
menerapkannya saat melakukan praktek di rumah
sakit, puskesmas maupun klinik pribadi.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya
pengaruh manajemen nyeri persalinan terhadap
nyeri persalinan ibu primipara di Kota Palangka
Raya
Metodologi Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan
rancangan kuasi eksperimen (quasi experiment)
dengan nonrandomize pre and post test with
control group dilanjutkan untuk mengukur
pengaruh manajemen nyeri persalinan.
Populasi penelitian ini adalah ibu primipara
usia 20-40 tahun dengan kehamilan tunggal, usia
kehamilan 34-36 minggu (usia kehamilan untuk
mengikuti
kelas
manajemen
persalinan).
Pengambilan data mulai Juli sampai dengan
Desember 2012. Cara pengambilan sampel pada
penelitian ini adalah dengan purposif sampling dan
untuk kelompok kontrol responden diperoleh
dengan menggunakan tehnik aksidental sampling.
Kriteria Inklusi sebagai berikut kehamilan dengan
presentasi kepala, taksiran berat janin 2500 gram4000gram, persalinan tanpa penyulit, bersedia
terlibat dalam penelitian dan ibu tinggal di
Palangka Raya. Sedangkan kriteria eksklusi adalah
ibu primipara dengan pemberian obat analgesika,
Ibu dengan ketuban pecah dini lebih dari 20 jam,
Ibu mendapatkan induksi persalinan, Ibu dengan
gangguan pendengaran dan visual, Ibu menderita
penyakit infeksi, Ibu dengan peradangan kulit
sensitif di area massase. Jumlah sampel ditentukan
berdasarkan
hasil
penelitian
sebelumnya.
Perhitungan besar sampel untuk penelitian ini
berdasarkan rata-rata dan standar deviasi penelitian
terdahulu yang mendekati. Jumlah sampel minimal
yaitu 26 ibu primipara.
Pengambilan data
karakteristik responden menggunakan kuesioner
yang diisi langsung oleh responden. Sedangkan
data pengetahuan tentang persalinan menggunakan
kuesioner yang diisi sebelum dan setelah responden
mendapat pengajaran dalam kelas manajemen nyeri
persalinan. Kisi-kisi pertanyaan pengetahuan
dalam kuesioner meliputi pengertian tentang
persalinan, tanda dan gejala persalinan, nyeri
persalinan, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
persalinan dan cara mengurangi nyeri persalinan.
Pelaksanaan kelas manajemen nyeri persalinan
menggunakan protokol dengan memperhatikan
kriteria inklusi dan esklusi, memberikan
pengetahuan pada responden dan keluarga yang
akan mendampingi persalinan bagaimana peran
serta suami atau anggota keluarga terdekat
mendukung agar nyeri selama persalinan dapat
dikurangi. Demonstrasi dan redemonstrasi cara
menghitung kontraksi, cara mengedan dan teknik
67

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

mengurangi nyeri persalinan : relaksasi dan


pengaturan pola pernapasan, perubahan posisi,
massase/ teknik efflurage, counter pressure pada
sakrum.
Kelas manajemen nyeri persalinan diberikan di
laboratorium keperawatan maternitas jurusan
keperawatan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.
Sebelum kelas dimulai responden mendapatkan
pemeriksaan pemeriksaan fisik dan kehamilan
Vital Sign ; Pengukuran tekanan darah, jumlah
pernapasan, jumlah nadi dan suhu. Auskultasi
bunyi napas, Leopold, mengukur tinggi fundus,
menghitung taksiran berat janin, menghitung
denyut jantung janin
menghitung gerak janin, menimbang berat
badan, memantau tanda udema, memantau
kontraksi dan merujuk klien jika ada indikasi.
Responden yang datang didapat dari dari bidan
klinik swasta dan rumah sakit dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya.
Materi manajemen nyeri persalinan dibuat
menjadi sebuah booklet dan petugas pemberi
informasi adalah peneliti sendiri sehingga
konsistensi intervensi dapat dipertahankan. Petugas
duduk berhadapan dengan responden yang bisa
duduk atau berbaring dengan jarak 1 - 1,5 .
Responden didampingan suaminya/ keluarga.
Metode yang digunakan adalah ceramah, tanya
jawab, diskusi, demostrasi dan redemonstrasi
(latihan tindakan mengurangi nyeri persalinan)
Pendidikan kesehatan dalam satu kelas diberikan
pada 5-6 responden dengan pasangannya.
Waktu pelaksanaan intervensi disepakati
bersama klien. Lamanya waktu penyampaian
materi sekitar 60 menit atau disesuaikan dengan
kondisi jika waktu yang dibutuhkan lebih lama dari
yang ditetapkan. Secara rinci kegiatan 30 menit
pertama dibagi menjadi pendahuluan selama 5
menit untuk pemberi materi mengucapkan salam
pembuka dan memperkenalkan diri serta
menjelaskan cakupan materi. Penjelasan selama 30
menit, peneliti memberikan penjelasan mengenai
materi yang ada dalam booklet dan memberikan
kesempatan pada responden untuk bertanya bila
belum jelas. Selanjutnya penutup selama 5 menit
untuk
menyimpulkan
materi.
Selanjutnya
pelaksanaan mengurangi nyeri persalinan berupa
demonstrasi selama 30 menit kedua. Berupa
aplikasi dari pengetahuan yang dijelaskan 30 menit
pertama. Demonstrasi ini dilakukan oleh pemberi
materi dan responden dan pasangan diminta untuk
redemonstrasi kembali, selama proses ini
responden diberi kesempatan bertanya. Setelah
selesai pemberi materi mengucapkan salam
penutup. Booklet yang telah diberi dibawa pulang
untuk klien dan keluarga membaca dan melatihnya
kembali secara teratur sampai pelaksanaan pada
hari persalinan. Jika dibutuhkan, responden dan
pasangannya dapat kembali datang untuk
berkonsultasi tentang materi dan praktek
manajemen nyeri persalinan.
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Observasi dan pelaksanaan manajemen nyeri


persalinan dilakukan oleh responden sendiri dan
keluarganya.
Responden
diminta
untuk
melaporkan jika saat persalinan mulai dirasakan
dan menentukan tempat persalinannya agar mudah
dimonitor oleh peneliti.
Kepada responden dan keluarga diingatkan
agar :Jangan cemas dan jangan takut pada
persalinan,
Observasi tanda-tanda persalinan,
Segera ke BPS (bidan praktik swasta) atau rumah
sakit tempat merencanakan persalinan dengan
membawa semua perlengkapan persalinan, mulai
menghitung
kontraksi,
Gunakan
teknik
mengurangi nyeri persalinan yang telah diajarkan.
Tetap kooperatif dengan bidan penolong untuk
mengetahui skala nyeri, kala persalinan dan dilatasi
cervik.
Penolong persalinan yang merupakan
numerator penelitian ini adalah bidan pemilik
klinik persalinan swasta dan bidan yang bekerja di
ruang
bersalin
dr.Doris
Sylvanus
yang
berpendidikan minimal D3 kebidanan yang telah
berpengalaman lebih dari tiga tahun sebagai bidan
praktik.
Numerator
tidak
diberikan
pelatihan
manajemen nyeri persalinan seperti pada kelompok
intervensi hal ini dilakukan untuk memaksimalkan
peran keluarga dan pendamping untuk membantu
mengurangi nyeri persalinan.
Agar terdapat kesetaraan dalam pemahaman
dalam pengukuran/ observasi skala nyeri
persalinan,antara peneliti dan bidan penolong yang
ada di ruang bersalin di rumah sakit dan di praktek
bidan swasta tempat penelitian dilakukan. Peneliti
dan bidan melakukan persamaaan persepsi
terhadap alat ukur yang menggunakan lembar
observasi skala nyeri Visual Analogue Skale
(VAS) yang telah valid dan terstandar Dalam
lembar observasi terdapat gambar ekspresi nyeri
dan ekspresi
0
= tidak nyeri (tidak ada rasa nyeri).
1 - 4 = nyeri ringan (ada rasa nyeri, terasa mulai
mengganggu namun masih dapat
ditahan).
5 - 6 = nyeri sedang (ada rasa nyeri dan terus
mengganggu, ada usaha kuat untuk
menahan).
7 8 = nyeri berat (ada rasa nyeri yang sangat
mengganggu, ditandai dengan gerakan
memukul, meremas, menangis).
9 - 10 = nyeri tak terahankan (ada rasa nyeri yang
sangat mengganggu, ditandai dengan
menangis atau berteriak).
Pada bidan dijelaskan bahwa setiap melakukan
pemeriksaan dalam per empat jam untuk
mengetahui dilatasi cervik, bidan langsung menilai
berapa skala nyeri responden berdasarkan VAS
serta lansung mengisi pada lembar observasi jam
pemeriksaan, ukuran dilatasi servik dan skala nyeri.
Pengukuran skala nyeri berakhir seiring dilatasi
servik mencapai 10 cm dan persalinan kala II
68

ARTIKEL PENELITIAN

berakhir. Standar Asuhan Persalinan Normal


dengan pengelolaan nyeri persalinan yang telah
diketahui numerator (bidan) tetap dipertahankan
pada semua responden kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.
Penelitian ini menggunakan kuasi eksperimen
kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Analisis Univariat dilakuakan untuk menganalisis
karakteristik
variabel.
Analisis
Bivariat
menggunakan uji T Test Tidak Berpasangan untuk
mengetahui a) perbedaan pengetahuan kelompok
intervensi sebelum dan setelah pemberian
intervensi manajemen nyeri persalinan serta
perbedaaan pengetahuan kelompok kontrol setelah
persalinan, b) perbedaan persepsi persalinan antara
kelompok kontrol dan kelompok intervensi, c)
perbedaan skala nyeri persalinan kelompok kontrol
dan kelompok intervensi, dan analisis multivariat
menggunakan Generalized Estimating Equation
untuk mengetahui perbedaan pengaruh manajemen
nyeri persalinan kelompok kontrol dan intervensi.
Hasil Penelitian
Karakteristik responden
Rata-rata umur responden pada kelompok
intervensi yaitu 21,5 3,6 tahun dengan nilai
median 20 tahun (95% CI 19,4-23,7). Umur
termuda yaitu umur 15 tahun dan umur tertua yaitu
28 tahun. Sedangkan untuk kelompok kontrol ratarata umur responden yaitu 20 2,8 tahun dengan

nilai median 20 tahun (95% CI 19,3-22,7). Umur


termuda yaitu 18 tahun dan umur tertua 27
tahun(Tabel1).
Pendidikan pada kelompok intervensi paling
banyak berpendidikan SD (80%) dan yang sedikit
yaitu berpendidikan SMP (40%). Sedangkan pada
kelompok
kontrol
paling
banyak
yaitu
berpendidikan SMP (60%) dan yang paling sedikit
yaitu SMA (57,1%) (Tabel 2). Pekerjaan responden
pada kelompok intervensi dan kontrol besarannya
adalah sama yaitu 50% bekerja dan 50% tidak
bekerja. Penghasilan rata-rata pada kelompok
intervensi sebesar Rp 2.800.000 855.000 dengan
nilai median Rp 3.000.000 (95% CI 2.290.000
3.320.000) . Penghasilan terendah yaitu Rp
2.000.000 dan penghasilan tertinggi yaitu Rp
5.000.000. Sedangkan pada kelompok kontrol ratarata penghasilan yaitu Rp 2.300.000 1.082.000
dengan nilai median Rp 2.000.000 (95% CI Rp
2.290.000 Rp 3.320.000).
Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata
penghasilan yaitu Rp 2.300.000 1.082.000
dengan nilai median Rp 2.000.000 (95% CI Rp
2.290.000 Rp 3.320.000). Penghasilan terendah
yaitu Rp 1.000.000 dan penghasilan tertinggi yaitu
Rp 5.000.000. Untuk persiapan persalinan dari
kelompok intervensi lebih banyak yang melakukan
cuti < 7 bulan (100%) sedangkan pada kelompok
kontrol lebih banyak yang melakukan cuti pada
bulan ke-7 masa kehamilan. (Tabel 1)

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Pendidikan, Penghasilan,


Pekerjaan, Persiapan/Cuti pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan Kontrol,
Palangka Raya (n=26), 2012
Karakteristik
Umur (tahun)
Rata-rata
Median
SD
Min-Maks
95% CI
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan
Kerja
Tidak kerja
Penghasilan
(juta)
Rata-rata
Median
SD
Min-Maks
95% CI
Persiapan/cuti
<7 bulan
7 bulan
>7 bulan
Tidak

Manajemen Nyeri

Kontrol

21,5
20,0
3,6
15 28
19,4 23,7

20,0
20,0
2,8
18 27
19,3- 22,7

4 (80%)
2 (40%)
6 (42,9%)
1 (50%)

1 (20,0%)
3 (60%)
8 (57,1%)
1 (50%)

8 (50%)
5 (50%)

8 (50%)
5 (50%)

2.810
3.000
855.000
2.000 5.000
2.290 3.320

2.300
2.000
1.082
1.000 5.000
1.690 2.950

3 (100%)
1 (33,3%)
4 (50%)
5 (50%)

0 (0%)
2 (66,7%)
4 (50%)
7 (58,3%)

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

69

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Uji Homogenitas Responden


Tabel 2 menjelaskan hasil analisis uji leven test terhadap
umur didapatkan nilai p > sehingga dapat disimpulkan
tidak ada perbedaan yang bermakna (homogen) pada
karakteristik umur ibu primipara pada kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol (nilai p = 0,363 >
0,05). Demikian pula dengan variabel pendidikan dengan

nilai p = 0,515 > 0,05 menyatakan bahwa tidak ada


perbedaan yang bermakna tingkat pendidikan ibu pada
kelompok intervensi dan kontrol. Pekerjaan responden
pada kelompok intervensi dan kontrol tidak ada perbedaan
(nilai p=1,000 > 0,05). Penghasilan dan persiapan cuti
juga tidak ada perbedaan yang signifikan, berturut-turut
nilai p= 0,452 dan 0,277.

Tabel 2. Uji Homogenitas Karakteristik Responden berdasarkan Umur, Pendidikan, Penghasilan, Pekerjaan,
Persiapan Cuti pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan Kontrol,
Palangka Raya (n=26), 2012
Karakteristik
Umur (tahun)
Rata-rata
Median
SD
Min-Maks
95% CI
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT

Manajemen
Nyeri

Kontrol

Nilai
P

21,5
20,0
3,6
15 28
19,4 23,7

20,0
20,0
2,8
18 27
19,3 22,7

0.363

4 (80%)
2 (40%)
6 (42,9%)
1 (50%)

1 (20,0)
3(60%)
8(57,1)
1(50%)

0.515

8 (50%)
5 (50%)

8(50%)
5(50%)

1.000

2.810
3.000
855.000
2.000
5.000
2.290
3.320

2.300
2.000
1.082
1.000 5.000
1.690 2.950

0.452

3 (100%)
1 (33,3%)
4 (50%)
5 (50%)

0 (0%)
2(66,7)
4(50%)
7(58,3)

0.277

Pekerjaan
Kerja
Tidak kerja

Penghasilan (juta)
Rata-rata
Median
SD
Min-Maks
95% CI

Persiapan/cuti
<7 bulan
7 bulan
>7 bulan
Tidak

Persepsi Responden terhadap Persalinan


Pada kelompok intervensi persepsi responden
terhadap persalinan sebelum dilakukan intervensi
responden yang merasa tidak cemas dan percaya diri
(TCPD) sebanyak 3 orang dan yang merasa cemas
dan tidak percaya diri sebanyak 10 orang (CTPD).
Setelah dilakukan intervensi jumlah responden yang
merasa TCPD meningkat menjadi 11 orang
sedangkan yang CPTD menurun menjadi

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

2 orang. Pada kelompok kontrol persepsi awal dan


akhir penelitian tidak mengalami perbedaan yang
berarti. Reponden yang merasa TCPD 1 orang
sedangkan yang CTPD 12 orang. ( tabel 3).
Berdasarkan uji Generalized Estimating Equation
didapatkan hasil nilai p = 0.000 < 0,05. Artinya ada
perubahan persepsi pada kelompok intervensi
sebesar 2,2 kali sebelum intervensi dan sesudah
intervensi setelah dikontrol variabel kontrol
(placebo).

70

ARTIKEL PENELITIAN

Tabel 3. Persepsi Responden sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pada kelompok yang diberi Pelatihan
Manajemen Nyeri dan kontrol, Palangka Raya (N=26), 2012

Kelompok

Kontrol
Intervensi

Persepsi
sebelum
Persalinan
Tcpd
Ctpd
1
12
3
10

Skala Nyeri Ibu Bersalin


Pada skala nyeri pemeriksaan dalam (PD) ke I
tidak ada perbedaan proporsi skala nyeri pada
kelompok intervensi dan kontrol (nilai P = 0,782).
Namun bila dilihat dari substansi terlihat adanya
perbedaan proporsi antara kelompok intervensi dan
kontrol. Pada t dan kelompok intervensi persentase
skala terbanyak ada pada skala nyeri ringan
(61,1%) dibandingkan dengan skala nyeri sedang,
sementara skala nyeri berat dan tak tertahankan
tidak ada (0%). Pada kelompok kontrol lebih
banyak pada kelompok nyeri berat dan tak
tertahankan (100%), nyeri sedang sebanyak (60%),
nyeri ringan (38,9%).
Pada skala nyeri PD ke II, terdapat perbedaan
proporsi skala nyeri antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol (nilai P=0,038). Pada
kelompok intervensi skala nyeri ringan lebih

Persepsi
sesudah
Persalinan
Tcpd Ctpd
1
12
11
2

banyak (88,9%) diikuti dengan skala nyeri sedang


(37,5%) dan skala nyeri berat (33,3%). Sedangkan
skala nyeri tak tertahankan tidak ada. Pada
kelompok kontrol, skala nyeri terbanyak yaitu pada
skala nyeri tak tertahankan (100%) diikuti dengan
skala nyeri berat (66,7%), skala nyeri sedang
(62,5%) dan skala nyeri ringan (11,1%).
Skala nyeri PD ke III pada kelompok
intervensi dan kontrol secara statistik tidak ada
perbedaan (nilai P = 0,270). Pada kelompok
intervensi proporsi terbanyak yaitu pada nyeri
sedang (100%) diikuti dengan nyeri ringan
(66,7%), nyeri berat (57,1%), tak tertahankan 0
(0%). Sedangkan pada kelompok kontrol proporsi
terbanyak pada nyeri tak tertahankan (100%), nyeri
berat (42,9%), nyeri ringan (33,3%), dan nyeri
sedang 0 (0%). (Tabel 4.)

Tabel 4 Perbedaan Skala Nyeri Persalinan pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan
Kontrol, Palangka Raya (n=26), 2012
Karakteristik

Manajemen
Nyeri

Kontrol

Skala Nyeri PD I
1 4 = nyeri ringan
5 6 = nyeri sedang
7 8 = nyeri berat
9- 10 = nyeri tak
tertahankan

11 (61,1%)
2 (40%)
0 (0%)
0 (0%)

7(38,9%)
3 (60%)
1 (100%)
1 (100%)

Skala Nyeri PD II
1 - 4 = nyeri ringan
5 - 6 = nyeri sedang
7 8 = nyeri berat
9- 10 = nyeri tak
terahankan

8 (88,9%)
3 (37,5%)
2 (33,3%)
0 (0%)

1(11,1%)
5(62,5%)
4(66,7%)
2 (100%)

Skala Nyeri PD III


2 (66,7%)
1 - 4 = nyeri ringan
6 (100%)
5 - 6 = nyeri sedang
4 (57,1%)
7 8 = nyeri berat
0 (0%)
9- 10 = nyeri tak
terahankan
*Berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

1(33,3%)
0 (0%)
3(42,9%)
2 (100%)

Nilai
P

0,782

0,038

0,063

71

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

terkecil yaitu 0 cm (dalam hal ini responden sudah


melahirkan) dan terbesar 10 cm. Pada kelompok
kontrol ukuran pembukaan PD III 5,2 cm 5 (95%
CI 2,1-8,2). Ukuran dilatasi terkecil yaitu 0 (dalam
hal ini responden sudah melahirkan) dan ukuran
pembukaan terbesar yaitu 10.
Ukuran dilatasi servik PD IV pada kelompok
intervensi rata-rata 2,3 cm 3,5 (95% CI 0,2-4,4)
dengan nilai median 0. Ukuran dilatasi terkecil
yaitu 0 cm (dalam hal ini responden sudah
melahirkan) dan terbesar 10 cm. Pada kelompok
kontrol ukuran dilatasi PD IV 0,7 cm 2,8 (95%
CI -0,9-2,5). Ukuran pembukaan terkecil yaitu 0
(dalam hal ini responden sudah melahirkan) dan
ukuran pembukaan terbesar yaitu 10.
Perbedaan Dilatasi Servik Berdasarkan
Pemeriksaan Dalam ditunjukan pada tabel 5.
menunjukkan adanya interaksi antara manajemen
nyeri dengan waktu pengamatan pada pengamatan
ke-3 (=0,005 < 0,01). Pada pengamatan ke-3,
manajemen nyeri menaikan rata-rata pembukaan
persalinan sebesar 4,5 cm

Dilatasi Cervik (Pembukaan Persalinan)


Ukuran dilatasi servik pada pemeriksaan
dalam (PD) I pada kelompok intervensi rata-rata
2,1 cm 1 dengan nilai median 2 (95% CI 1,5
2,7 cm). Ukuran dilatasi terkecil yaitu 0 (tidak ada
pembukaan) ukuran dilatasi terbesar adalah 4 cm.
Pada kelompok kontrol ukuran dilatasi pada PD I
4,6 cm 2,7 dengan nilai median 4 cm (95% CI 3,0
- 6,1). Ukuran dilatasi yang terkecil yaitu 0 (tidak
ada dilatasi) dan ukuran dilatasi terbesar yaitu 10
cm.
Ukuran dilatasi servik pada pemeriksaan
dalam (PD) II pada kelompok intervensi rata-rata
5,2 cm 2,6 (95% CI 3,7-6,8) dengan nilai median
5. Ukuran dilatasi terkecil yaitu 2 cm dan terbesar
10 cm. Pada kelompok kontrol ukuran dilatasi
servik pada PD II 7,5 cm 2,9 (95% CI 5,7-9,3).
Ukuran dilatasi terkecil yaitu 0 (dalam hal ini
responden sudah melahirkan) dan ukuran dilatasi
terbesar yaitu10.
Ukuran dilatasi servik pada PD III dalam
kelompok intervensi rata-rata 7,4 cm 3,4 (95%
CI 5,3-9,5) dengan nilai median 10. Ukuran dilatasi
.

Tabel 5. Koefisien, Simpang Galat dan Nilai p Efek Metode Manajemen Nyeri Terhadap Pembukaan
Persalinan Ibu saat Bersalin di Kota Palangka Raya, 2012
Predikto r
Konstanta
Manajemen Nyeri
Ya

Simpang
galat

Koefisien
4,3

0,8

-2,2

0,9

Tidak

0,0

--

PD
I
II
III

0,0
2,5
0,8

-0,1
1,9

Nilai p a
<
0
,<
00
1,
0
1
<
0
>
,0
0,
01
1

--

Interaksi Intervensi
& pengam atan
Intervensi * PD 1
Intervensi * PD II

0,0
2,1

-1,8

>0,01

Intervensi * PD III

4,5

2,1

<0,01

Keterangan: a) uji statistik dengan metode generalized estimating equation dan


matriks korelai exchangeable.

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

72

ARTIKEL PENELITIAN

Pengetahuan Pengetahuan Responden menurut


Kelompok
Rata-rata nilai pengetahuan responden
sebelum intervensi pada kelompok intervensi yaitu
54,2 7,2 dengan nilai median 55,1 (95%CI 49,858,6). Nilai pengetahuan terendah 46,4 dan
tertinggi 72,5. Rata-rata nilai pengetahuan
responden sesudah intevensi yaitu 49,5 6,1
dengan nilai median 46,4 (95% CI 45,8-53,2).
Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 60,9. Sedangkan

pada kelompok kontrol hanya diukur diakhir,


sehingga nilai pre dianggap sama dengan nilai post.
Rata-rata nilai untuk kelompok kontrol yaitu 52,2
5,9 (95% CI 48,6 55,8) dengan nilai median
52,2. Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 66,7.
Berdasarkan uji t test tidak berpasangan
menyatakan tidak ada perbedaan nilai pada
kelompok intervensi dan kontrol baik pre maupun
post test. (Tabel 6 ).

Tabel 6. Pengetahuan Responden pada Kelompok yang Diberi Pelatihan Manajemen Nyeri dan Kontrol,
Palangka Raya (n=26), 2012
Karakteristik
Sebelum
Rata-rata
Median
SD
Min-Maks
95% CI

Manajemen
Nyeri

Kontrol

Nilai
P*

54,2
55,1
7,2
46,4 72,5
49,8 58.6

52,2
52,2
5,9
43,5 66,7
48,6 55,8

0,446

Setelah
49,5
52,2
Rata-rata
46,4
52,2
Median
6.1
5,9
SD
43,5 60,9
43,5 66,7
Min-Maks
45,8 53,2
48,6 55,8
95% CI
*Berdasarkan uji t test tidak berpasangan

Pembahasan
Karakteristik dan homogenitas responden
Responden kelompok kontrol berjumlah 13
responden dan kelompok intervensi berjumlah 13
orang seluruhnya berjumlah 26 orang.Responden
diperoleh dari RS Doris Sylvanus dan Klinik Bidan
Praktek Swasta. Perbedaan tempat memperoleh
responden di Rumah Sakit dan Puskesmas tidak
mempengaruhi hasil penelitian karena pengambilan
responden berdasarkan kriteria inklusi. Semua
responden belum terpapar dengan manajemen nyeri
persalinan atau informasi sejenis tentang tindakan
mengurangi nyeri persalinan.
Partisipan dalam kelompok intervensi ini
dipilih pada saat mereka datang untuk melakukan
pemeriksaan ANC pada klinik bidan. Ada sekitar 35
ibu hamil yang memenuhi kriteria dan 25 orang
yang menjawab untuk kontrak waktu pelaksanaan
yang diperkirakan bisa dihadiri, tetapi yang datang
untuk menuntaskan kelas persalinan hanya 13 ibu
hamil. Berbagai alasan dikemukakan saat dihubungi
dengan telepon seperti belum adanya waktu
pendamping untuk dapat hadir, tidak ada
transportasi, ada acara keluarga dan sebagainya.
Tampak dari tabel 1, dari karakteristik umur
responden ditemukan bahwa umur termuda dalam
kelompok intervensi adalah 15 tahun dan pada
kelompok kontrol adalah 18 tahun. Masukkan
responden dengan usia muda di luar kriteria inklusi
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

0,267

(kelompok risiko) merupakan keterbatasan


penelitian ini. Hal ini terjadi karena dalam waktu
penelitian yang terbatas jumlah minimal responden
tidak didapatkan.
Masuknya dua responden termuda dalam
kelompok intervensi dan kelompok kontrol atas
keinginan responden dan keluarga, selama
penelitian kondisi kehamilan dan kesehatan
responden dalam pengawasan dan tidak ditemukan
komplikasi dalam kehamilan dan persalinan.
Penelitian ini hanya menggali karakteristik
responden untuk melihat gambaran responden yaitu
umur,
pendidikan,
penghasilan,
pekerjaan,
persiapan dan persalinan (cuti) yang dikontrol oleh
kriteria inklusi.
Dari hasil uji homogenitas,
kelompok intervensi dan kelompok kontrol setara
tidak ada perbedaan yang bermakna dalam usia,
pendidikan, penghasilan, pekerjaan dan persiapan
cuti.
Para ahli mengatakan bahwa nyeri persalinan
karena adanya fisiologis dari kontraksi, kerusakau
jaringan dan faktor emosional .-4Faktor emosi yang
dapat menjadi predisposisi adalah usia, agama,
persiapan persalinan, tingkat sosial ekonomi,
lingkungan dan kepribadian.-4. Ambang nyeri
hampir sama pada semua individu tanpa
memandang jenis kelamin, sosial, etnik, dan
perbedaan kultural, tetapi perbedaan-perbedaan ini
menimbulkan persepsi nyeri pada tiap individu .
73

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

Karena kelompok penelitian ini setara maka


pendapat ahli yang mengatakan bahwa nyeri
persalinan karena faktor emosi yang dapat menjadi
predisposisi adalah usia, persiapan persalinan,
tingkat sosial dalam penelitian ini dapat diabaikan
sedangkan faktor lain yang menjadi predisposisi
nyeri persalinan yang belum bisa dikontrol oleh
peneliti karena keterbatasan waktu dan responden.
Penelitian ini hanya melihat karakteristik
responden secara univariat pada tabel 1 dan 2 dan
tidak menggali hubungan tiap faktor terhadap nyeri
persalinan.
Persepsi Responden
Pada kelompok intervesi telah diberikan
manajemen nyeri persalinan dengan memberikan
pengetahuan tentang pengertian persalinan, tanda
gejala persalinan, nyeri persalinan dan mengajarkan
tehnik mengurangi nyeri persalinan yaitu,
perubahan posisi, pengaturan pernapasan, massase,
counter pressure dan akupresure.
Manajemen nyeri yang diajarkan dan dilatih
secara kognitif mampu mengubah persepsi ibu
hamil tentang nyeri dan persalinan serta sebagai cara
mempersiapkan ibu hamil menghadapi persalinan3
karena adanya partisipasi ibu hamil dalam kelas
persalinan secara lengkap akan meningkatkan rasa
percaya diri 4. Rasa percaya diri berhubungan
dengan menurunnya persepsi nyeri dan kebutuhan
akan analgesika 4.
Hal yang sejalan dapat dilihat dari tabel 3
bahwa terjadi perubahan persepsi persalinan pada
kelompok intervensi menjadi tidak cemas dan
percaya diri dan secara bermakna disimpulkan
bahwa ada perubahan persepsi pada kelompok
intervensi sebesar 2,2 kali sebelum dan sesudah
latihan manajemen nyeri. Data tentang persepsi
responden ini diambil setelah kelompok intervensi
selesai
Target pelatihan hanya satu kali, dan waktu
pelatihan lebih panjang dari yang ditetapkan,
hampir empat jam karena disesuaikan kebutuhan
tiap responden juga disebabkan
keterbatasan
support sistem untuk mengantar responden
mengikuti kelas persalinan. Hal ini memungkinkan
responden tidak ada yang datang untuk kesempatan
kedua yang ditawarkan melakukan latihan
manajemen nyeri jika belum jelas.
Secara
terbuka
kelompok
intervensi
mengatakan bahwa kehadiran pendamping
persalinan yang juga hadir dalam kelas manajemen
nyeri yaitu suami, ibu dan saudara kandung sangat
mendukung
saat persalinan dan mengatakan
mengatakan ada rasa puas terhadap proses
persalinan.
Tingginya tingkat stress, kecemasan dan
ketakutan mempengaruhi persepsi terhadap
pengalaman persalinan yaitu pada tingkat respon
positif yang paling rendah. Ibu yang memiliki
sejumlah
informasi
yang
benar
akan
memperlihatkan rasa sangat puas pada pengalaman
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

persalinannya dan menggambarkan kondisi bayinya


lebih positif dibandingkan ibu yang tidak
mendapatkan informasi yang cukup1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi
ibu pada persalinan mempengaruhi harga dirinya
dan pengalaman
persalinan yang positif
meningkatkan harga dirinya. Faktor kunci yang
mempengaruhi interprestasi ibu pada pengalaman
persalinan adalah saat ibu telah menguasai
personal mastery dan memiliki kontrol dalam
persalinan4. Ibu yang tidak memiliki kontrol pada
dirinya
atau lingkungannya merasa ketidak
kepuasan terhadap pada pengalaman persalinan ,
dan kurang merasa sejahtera setelah persalinan 4 .
Skala Nyeri Persalinan
Ketidaknyamanan dan nyeri selama proses
melahirkan adalah unik , pengalaman melahirkan
mempunyai potensi yang besar untuk mendapatkan
pereda nyeri yang memuaskan. Pada kelompok
intervensi manajemen nyeri diberikan informasi
tentang persalinan sejati dan saat terjadinya
ketidaknyamanan nyeri. Informasi ini berupaya agar
kecemasan akan berkurang
jika seseorang
mengetahui kapan waktu terjadinya nyeri dan lama
berlangsungnya ketidaknyamanan tersebut .
Ketegangan dan emosi akibat rasa cemas
sampai rasa takut dapat memperberat persepsi nyeri
selama persalinan1. Nyeri atau kemungkinan nyeri
dapat menginduksi ketakutan, sehingga timbul
kecemasan yang berakhir dengan kepanikan dan
memperlambat proses persalinan.-4. Kadar
katekolamin ibu pada awal persalinan sama seperti
saat sebelum persalinan jika ibu relatif bebas dari
cemas. Kadar katekolamin secara fisiologis secara
fisiologis meningkat seiring kemajuan persalinan,
kadar katekolamin juga cenderung meningkat
sebagai respon terhadap peningkatan stress, nyeri
atau komplikasi selama persalinan (intrapartu)3.
Tetapi katekolamin berlebihan akibat sindrom
ketakutan-ketegangan-nyeri akan menghambat efek
oksitosin. Gangguan oksitosin menyebabkan
kontraksi uterus menjadi kurang efektif dan efeknya
akan memperpanjang waktu persalinan .
Ibu dengan tingkat kecemasan yang rendah
memperlihatkan tingkat nyeri yang rendah. Ibu yang
didampingi suami saat melahirkan melaporkan rasa
nyeri yang kurang. Ibu yang memiliki rasa percaya
diri menghadapi persalinan akan memperlihatkan
respon nyeri yang kurang sebaik kemampuan atau
koping yang ditunjukkannya.3
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada fase laten
PD I kelompok intervensi sebagian besar
menyatakan nyeri ringan sedangkan pada kelompok
kontrol terbanyak menyatakan nyeri berat dan nyeri
tak tertahankan.
Berlanjut pada PD II empat jam setelah
pemeriksaan PD I
terdapat perbedaan yang
bermakna (nilai P=0,038). Demikan juga yang
terjadi pada PD III empat jam setelah setelah PD II
secara substansi terlihat dalam fase aktif bahwa
74

ARTIKEL PENELITIAN

kelompok intervensi terbanyak merasakan nyeri


sedang kelompok kontrol merasakan nyeri tak
tertahankan.
Seperti dalam penjelasan sebelumnya bahwa
adanya persepsi positif kelompok intervensi
terhadap nyeri persalinan dengan didukung oleh
persiapan persalinan yang baik yaitu kemampuan
untuk mengurangi nyeri persalinan dengan berbagai
bentuk tindakan manajemen nyeri persalinan maka
respon atau skala nyeri akan menjadi minimal.
Selama persalinan kelompok intervesi
mengatakan bahwa tehnik mengurangi nyeri yang
diajarkan seperti perubahan posisi, pernapasan,
massase, counter pressure diterapkan secara mandiri
dan dibantu keluarga. Tehnik-tehnik tersebut
dipadukan secara bersamaan, dengan beragam
perubahan posisi yang dilakukan untuk mengatasi
nyeri yaitu posisi berdiri, berdiri dengan bersandar
ke depan, duduk tegak, berjalan, setengah duduk,
duduk bersandar ke depan dengan disangga, tangan
dan lutut, berlutut, berbaring miring, jongkok , dan
telentang.
Tehnik
pernapasan
membantu
untuk
mempertahankan kontrol sepanjang kontraksi,
tehnik pernapasan yang diajarkan adalah tehnik
pernapasan lambat, tehnik pernapasan cepat dan
tehnik mengejan. Massase atau tehnik efflurage
merupakan pijatan yang dilakukan partisipan
dengan menggunakan tekanan lembut pada
abdomen dengan arah sirkular secara berulang atau
oleh suami/ keluarga pada permukaan tubuh paha
dan tulang belakang.-4. Efflurage dilakukan
partisipan secara perlahan seirama dengan
pernapasan saat kontraksi, berguna untuk
mengganggu ibu supaya tidak memusatkan
perhatiannya pada kontraksi.-4.
Counter Pressure merupakan tehnik yang
memberikan tekanan yang lembut, tekanan yang
kuat diatas sakrum selama kontraksi. Tekanan
dengan kepalan tangan atau lutut. Tekanan yang
kuat pada sakrum yang dilakukan pasangan
partisipan saat ibu pada posisi setengah duduk atau
saat ibu berbaring miring.-4.
Ada satu responden dalam kelompok intervensi
yang menggunakan metode mengalihkan perhatian
dengan terus memainkan game melalui handphone
selama proses persalinan kala I dengan memadukan
tehnik pernapasan, massase dan counter pressure
oleh suami.
Kelemahan yang ditemukan dari evaluasi ini
tidak ada responden yang menyatakan secara
spesifik tehnik mana yang sangat membantu
mengurangi nyeri persalinan, karena paduan dua
sampai tiga tehnik dilakukan secara bersamaan.
Sebaliknya dengan menggambungkan beberapa
tehnik yang diajarkan dirasakan mampu
mengurangi nyeri sejalan dengan pendapat yang
mengatakan bahwa menggabungkan beberapa
tehnik non farmakologi akan mengurangi nyeri
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

persalinan karena respon terhadap keunikan nyeri


persalinan berbeda pada setiap ibu 3.
Dilatasi Servik
Pada penelitian ini pemeriksaan dalam (PD)
dilakukan satu kali tiap empat sesuai protap sampai
pembukaan lengkap responden melahirkan. Pada
PD I dan PD II jumlah responden kelompok kontrol
dan kelompok intervensi sama, tetapi pada PD III
kelompok kontrol menjadi enam responden dan
kelompok intervensi menjadi duabelas responden.
Hal ini terjadi karena responden kelompok kontrol
dan kelompok intervensi sudah bersalin pada
rentang waktu PD II dan PD III.
Kedatangan kelompok kontrol ke klinik lebih
banyak pada fase aktif disebabkan pemilihan
responden kelompok kontrol menggunakan metode
aksidental yaitu responden yang memenuhi kriteria
inklusi yang datang ingin bersalin yang ada pada
saat itu. Berbeda dengan kelompok intervensi yang
telah dianjurkan sejak pertama merasakan nyeri
persalinan pada fase laten agar segera ke klinik
Bidan. Perbedaan waktu kedatangan ini merupakan
kelemahan penelitian ini.
Kala I persalinan dimulai dari kontraksi
uterus yang teratur dan meningkat hingga serviks
membuka lengkap (10 cm). Kala I terbagi dua fase,
yaitu fase laten dan fase aktif. Fase laten dimulai
sejak awal kontraksi10 .
Dari tabel 5 dapat diperhatikan bahwa dilatasi
servik pada kelompok intervensi meningkat sejak
dari PD I yaitu rata-rata 2,1 cm 1 dengan nilai
median 2 (95% CI 1,5 2,7 cm). Pada PD II menjadi
rata-rata 5,2 cm 2,6 (95% CI 3,7-6,8) dengan nilai
median 5. Selanjutnya pada PD III dalam kelompok
intervensi rata-rata 7,4 cm 3,4 (95% CI 5,3-9,5)
dengan nilai median 10. Pada yang terakhir yaitu PD
IV rata-rata dilatasi cervik adalah 2,3 cm 3,5 (95%
CI 0,2-4,4) dengan nilai median 0. Ukuran dilatasi
terkecil yaitu 0 cm (dalam hal ini responden sudah
melahirkan) dan terbesar 10 cm.
Pemeriksaan
dalam
pada
responden
dilakukan setiap empat jam sampai dilatasi 10 cm.
Dari tabel diketahui bahwa pada responden
kelompok intervensi rata-rata melahirkan pada PD
III.
Hasil penelitian sebelumnya menyatakan
bahwa Fase laten berlangsung 8 jam hingga serviks
membuka 3 cm10. Rata-rata durasi total kala I
persalinan pada kehamilan pertama berkisar 3,3 jam
sampai 19,7 jam.
Brown mengatakan mayoritas persalinan
terjadi kurang dari 12 jam setelah melakukan
tindakan mengurangi nyeri dengan tehnik
pernapasan, relaksasi, akupresur, dan massase 5 .
Dari pendapat para ahli bahwa tidak ada kecemasan,
memiliki persepsi positif terhadap kehamilan
artinya tidak ada ketakutan-ketegangan-nyeri akan
mensupport kerja oksitosin agar kontraksi uterus
75

Christine Aden, Pengaruh Manajemen Nyeri Persalinan di Kota Palangka Raya

menjadi efektif dan efeknya mempersingkat


persalinan.
Pada penelitian ini kelompok intervensi
datang ke klinik pada fase laten sehingga monitoring
waktu pembukaan dapat dilakukan dengan tepat
mulai dari kedatangan. Berbeda dengan kelompok
kontrol yang sebagian besar datang pada fase aktif
sehingga tidak diterpantau waktu yang tepat mulai
fase laten kala I. Perbedaan waktu kedatangan
kelompok intervensi dan kelompok kontrol ke
depan perlu diperbaiki untuk penelitian berikutnya.
Karena dari hasil analisis multivariat tidak
ditemukan perbedaan rata rata pembukaan atau
dilatasi servik antara kelompok intervesi dan kontro.
Walaupun demikian terpantaunya pada kelompok
intervensi rata-rata lama persalinan 4.10 hal ini
menunjukkan bahwa kelompok intervensi mampu
mencapai waktu persalinan singkat dari rentang
waktu 3,3 jam sampai 19,7 jam.

Pengetahuan
Berdasarkan uji homogenitas tidak ada perbedaan
bermakna variabel pendidikan dengan nilai p =
0,515 > 0,05 pada kelompok intervensi dan kontrol.
Dari karakteristik pendidikan pada kelompok
intervensi paling banyak berpendidikan SD (80%)
dan yang sedikit yaitu berpendidikan SMP (40%).
Sedangkan pada kelompok kontrol paling banyak
yaitu berpendidikan SMP (60%) dan yang paling
sedikit yaitu SMA (57,1%).
Rata-rata nilai pengetahuan responden sebelum
intervensi pada kelompok intervensi yaitu 54,2 7,2
dengan nilai median 55,1 (95%CI 49,8-58,6). Nilai
pengetahuan terendah 46,4 dan tertinggi 72,5. Ratarata nilai pengetahuan responden sesudah intevensi
yaitu 49,5 6,1 dengan nilai median 46,4 (95% CI
45,8-53,2). Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 60,9.
Sedangkan pada kelompok kontrol hanya diukur
diakhir, sehingga nilai pre dianggap sama dengan
nilai post. Rata-rata nilai untuk kelompok kontrol
yaitu 52,2 5,9 (95% CI 48,6 55,8) dengan nilai
median 52,2. Nilai terendah 43,5 dan tertinggi 66,7.
Dari aspek pengetahuan pada penelitian ini
ditemukan tidak ada perbedaan nilai pengetahuan
responden pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi pre dan post test.
Tampak bahwa hasil pengajaran yang telah
diberikan peneliti untuk responden kelompok
intervensi meliputi pengertian persalinan normal,
tanda dan gejala persalinan, nyeri persalinan, faktorfaktor yang mempengaruhi persalinan dan cara
mengurangi nyeri persalinan tidak berbeda dengan
responden kelompok kontrol. Kondisi ini dapat di
telaah kembali pada penelitian berikutnya untuk
mencari penyebabnya antara lain tehnik pengajaran,
bahasa dan istilah yang dipergunakan. Adanya
stimulasi dan sensasi dari ruangan tempat mengajar
banyak gambar phantom alat laboratorium yang
dapat mengalihkan perhatian responden kelompok
intervensi sehingga nilai pengetahuan sebelum dan
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

setelah intervensi manajemen nyeri persalinan dapat


meningkat.
Secara sustansi teramati oleh bidan/ numerator
bahwa responden kelompok intervensi tampak
mendemonstrasikan dengan baik tehnik melakukan
manajemen nyeri persalinan dan hal ini tidak
dilakukan dengan baik oleh kelompok intervensi.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun dari aspek
pengetahuan tidak berbeda dengan kelompok
kontrol tetapi tehnik untuk mengurangi persalinan
dapat di terima dengan baik oleh kelompok
intervensi dari proses latihan sebelumnya.
Tidak dipungkiri bahwa setiap responden dari
kelompok kontrol pun akan berusaha mencari
informasi terntang persalinan dan rasa nyeri yang
akan dialami dari berbagai sumber, tetapi tidaklah
cukup jika tidak disertai latihan untuk tentang tehnik
untuk mengurangi nyeri persalinan.
Teramati oleh bidan penolong/numerator bahwa
sangat berbeda respon serta perilaku yang
ditunjukkan oleh kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Perilaku lebih kooperatif
ditunjukkan oleh kelompok intervensi dalam
mengatasi rasa nyeri persalinan. Responden lebih
percaya
diri
menghadapi
nyeri
dengan
menggunakan berbagai tehnik. Ibu yang percaya
diri
pada kemampuannya (koping efektif)
menghadapi persalinan , ia akan menunjukkan
koping yang efektif selama persalinan3,13,14
Semua responden dalam proses persalinan di
dukung oleh keluarga atau suami. Dukungan
tersebut sebagai bentuk adanya pengetahuan
keluarga setelah mengikuti manajemen nyeri
persalinan. Berbeda dengan keluarga dan suami
yang sudah memahami manajemen nyeri persalinan
maka respon rasa perduli akan apa yang dibutuhkan
ibu selama periode persalinan cepat terpenuhi. Pada
kelompok kontrol, peran suami dan keluarga hanya
sebagai pendamping dan respon yang ditunjukkan
tidaklah semaksimal keluarga yang telah memiliki
pengetahuan.
Namun
demikian
dukungan
manajemen nyeri persalinan juga diberikan oleh
bidan penolong di klinik sesuai standar Asuhan
Persalinan Normal (APN) pada semua ibu bersalin.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis karakteristik responden
ditemukan rata-rata umur responden pada kelompok
intervensi yaitu 21,5 tahun dengan umur termuda
yaitu umur 15 tahun dan umur tertua yaitu 28 tahun.
Rata-rata umur responden kelompok kontrol yaitu
20 tahun dengan umur termuda yaitu 18 tahun dan
umur tertua 27 tahun. Mayoritas pendidikan pada
kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol
pendidikan dasar (SD dan SMP). Pekerjaan
responden pada kelompok intervensi dan kontrol
adalah sama besar antara bekerja dan tidak bekerja.
Rata-rata penghasilan kelompok intervensi sebesar
Rp 2.800.000 dan rata-rata penghasilan kelompok
kontrol yaitu Rp 2.300.000 . Kelompok intervensi
lebih banyak yang melakukan cuti < 7 bulan (100%)
76

ARTIKEL PENELITIAN

sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak


yang melakukan cuti pada bulan ke-7 masa
kehamilan. Ada perubahan persepsi persalinan pada
kelompok intervensi sebesar 2,2 kali sebelum
intervensi dan sesudah intervensi manajemen nyeri
persalinan. Nyeri sedang ditemukan pada kelompok
intervensi yang menggunakan tehnik manajemen
nyeri persalinan. Terdapat peningkatan rata-rata
dilatasi cervik sebesar 4,5 cm pada kelompok
intervensi. Tidak ada perbedaan nilai pengetahuan
antara sebelum dan sesudah intervensi pada
kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Secara
substansi pada kelompok intervensi yang telah
mendapatkan pengetahuan tentang manajemen
nyeri persalinan teramati dapat menerapkan dan
memadukan tehnik mengurangi nyeri persalinan
secara mandiri dan dengan dukungan keluarga.
Saran yang diajukan 1). Bagi Institusi
Pelayanan Kebidanan, berdasarkan hasil penelitian,
maka disarankan agar pemberian manajemen nyeri
dapat diintegrasikan saat pemberian pendidikan
kesehatan antenatal dalam bentuk komunikasi yang
lebih intensif dan latihan yang terjadual. 2). Bagi
penelitian selanjutnya, materi manajemen nyeri,
metode pengajarannya jumlah responden dan tehnik
pengumpulan data, perlu disempurnakan kembali
pada
penelitian
selanjutnya
mengontrol
counfonding faktor usia, pendidikan, penghasilan,
pekerjaan, persiapan persalinan, agama, dukungan
keluarga, budaya dan lingkungan persalinan
terutama di rumah sakit. 3). Bagi institusi
pendidikan, penelitian ini dapat menjadi
pertimbangan rujukan sebagai bahan ajar untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa pada tehnik
mengurangi nyeri persalinan.

pain.Rev Esc Enferm USP


2009.www.ee.usp.br/reeups
7.Hamid (2010) Comparison between massage and
music therapiesto relieve the severity of labor
pain.Womens Health 6.3 p.377-381
http://search.proquest.com/docview/577558656
8.Dale (1995).Management of pain in
childbirth.International Journal of Childbirth
Education 10.4
http://search.proquest.com/docview/212865810
9.Dinkes Propinsi Kalimantan Tengah, 2012
10.Sarwono, Prawiroharjo (2009).Ilmu
Kebidanan.Jakarta.Bina Pustaka
11. Ip WY, Tang CS, Goggins WB.An educational
intervention to improve women's ability to cope
with childbirth.. J Clin Nurs. 2009
Aug;18(15):2125-35. doi: 10.1111/j.13652702.2008.02720.x
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19583645
12. Chang MY, Wang SY, Chen CH (2002).
Effects of massage on pain and anxiety during
labour: a randomized controlled trial in Taiwan.
J Adv Nurs. 2002 Apr;38(1):68-73
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1189553
2
13.Mortazavi, et all (2012). Effects of massge
therapy and presence of attendant on pain,
anxiety and satisfaction during labor.Arch
Gynecol Obstct 2012.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2227123
9
14.Martin & Fleming (2011). The birth satisfaction
scale.International Journal of Health Care
Quality Assurance Vol 24 Iss:2,pp 124-135

Daftar Pustaka
1.Bobak, M.I, Lodermik, L.D., & Jensen, D.M.
(2005). Buku ajar keperawatan maternitas. Alih
bahasa Maria A.Wijayarini & Peter I.Anugerah.
Jakarta: ECG.
2.Cunningham, F.G.; McDonald, P.C.; Gant, N.F.
th

1993. Williams Obstetrics, 19 ed. Prentice-Hall


Int., Norwalk, CT, USA. William
3.Reeder.,Martin, & Griffin, (2003).Keperawatan
maternitas ed 18: Kesehatan wanita, bayi dan
keluarga. Jakarta: ECG.
4 Nichols,H Francine & Humenick, S
Sharron.(2000).Childbirth education,
practice,research and theory.(2nd
ed).Philadelphia:Saunders.
5.Brown, Dauglas & Flood(2001).Womens
evaluation of intrapartum nonpharmacological
pain relief methods used during labor.J Perinat
Educ
6.Davim, Torres & Dantas (2009) Effectiveness of
non pharmacological strategies in relieving labor

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

77

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Analisis Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antopometri Dengan Persepsi


Mengenai Status Gizi Ibu Hamil
Anthropometri Conformity of Nutritional Status in Pregnant Women
Demsa Simbolon, Yanti Sutrianti, Jon Farizal
Poltekkes Kemenkes Bengkulu, Jl. Indragiri No.3 Padang Harapan Bengkulu

Abstrak. Tingginya masalah kurang gizi di berbagai daerah merupakan beban ganda masalah gizi di Indonesia.
Hal ini secara signifikan akan meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI). Masalah kematian dan kesakitan pada
ibu sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dalam masyarakat dimana
mereka berada. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui kesesuaian antara hasil pengukuran antropometri
dengan persepsi ibu hamil mengenai status gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Bermani Ulu tahun 2013.
Penelitian ini menggunakan Cross Sectional Study. Teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling,
dengan menggunakan cara Cluster Random Sampling, jumlah sampel yaitu 82 ibu hamil. Uji statistik yang
digunakan adalah Chi-Square, uji Kappa Cohen dan regresi logistik multivariat. Hasil Uji Kappa Cohen
menunjukkan ketidaksesuaian hasil pengukuran LILA (kappa cohen =0,111 dan nilai p value > 0,05) dan
pengukuran tinggi badan (kappa cohen= -0,06 dan nilai p value > 0,05) antara persepsi ibu dan hasil pengukuran
antropometri. Faktor yang mempengaruhi kesesuaian pengukuran tinggi badan adalah umur, pendidikan dan
pengetahuan. Faktor yang berhubungan dengan kesesuaian LILA adalah pengetahuan. Instansi kesehatan
khususnya Puskesmas Bermani Ulu diharapkan melakukan penyuluhan untuk memperbaiki persepsi ibu hamil.
Meningkatkan pengetahuan ibu tentang status gizi yang baik. Sehingga lebih dini, dapat dilakukan tindakan
untuk menghindari masalah akibat status gizi yang buruk.
Kata Kunci : Kesesuaian Antropometri, Status Gizi Hamil, Persepsi.
Abstract. In many regions, malnutrition is a double burden of nutrition in Indonesia. This will significantly
increase the Maternal Mortality Rate (MMR). Problems on maternal mortality and morbidity related to sociocultural factors and environment in communities where they are located. This study aimed to know
correspondence between the results of anthropometric measurements with maternal perception regarding
nutritional status in Ulu Bermani Working Area Health Center in 2013. This study used cross-sectional study
approach. Sampling technique was used cluster random sampling method, the sample size was 82 pregnant
women. The statistical test was a Chi-Square test, Kappa Cohen's and multiple logistic regression. Kappa
Cohen's test showed discrepancies MUAC measurements (cohen kappa = 0,111 and p value> 0,05) and height
measurement (cohen kappa = -0,06 and p value> 0.05) between maternal perception and anthropometric
measurements. Factors affecting the suitability of height measurement is mother's age, education and knowledge.
Factors relating to the suitability of MUAC measurement was mothers knowledge. Health agencies in particular
PHC Ulu Bermani was expected to conduct outreach to improve the perception of pregnant women. Increasing
knowledge of mothers about good nutritional status so that it can be tackled the problems due to poor nutritional
status.
Keywords: Suitability Anthropometric, Nutritional Status of Pregnant, Perception.

Pendahuluan
Badan Kesehatan dunia (WHO) melaporkan angka
kematian ibu diseluruh dunia diperkirakan 585.000
kelahiran hidup pada setiap tahunnya. Di Asia
Tenggara, Indonesia merupakan penyumbang AKI
tertinggi (DepKes, 2010). Laporan data terakhir hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia AKI
Indonesia sangat tinggi mencapai angka 339 per
100.000 kelahiran hidup (BPS, 2012). Salah satu faktor
yang berhubungan dengan peningkatan kematian ibu
adalah buruknya status gizi ibu hamil. Penilaian status
gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian status gizi langsung diantaranya
adalah
pengukuran
antropometri.
Pengukuran
antropometri yang dapat dilakukan adalah

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

dengan mengukur berat badan (BB), tinggi badan (TB)


dan lingkar lengan atas (LILA) ibu hamil (Departemen
Gizi dan Kesmas, 2007).
Kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil
merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab
utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang
merupakan faktor utama kematian ibu. Gizi ibu
sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang dikandung (Waryono, 2010).
Kekurangan energi kronis (KEK) adalah keadaan ibu
hamil dan wanita usia subur (WUS) yang kurang gizi
diakibatkan oleh kekurangan asupan energi dan protein
yang berlangsung terus-menerus yang dapat
mengakibatkan timbulnya gangguan penyakit tertentu
(Depkes, 2002). Di Negara berkembang seperti
Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal,
Srilangka dan Thailand prevalensi wanita yang

78

ARTIKEL PENELITIAN

mengalami KEK adalah 15-47% yaitu BMI< 18,5.


Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007
menunjukkan prevalensi ibu hamil resiko KEK di
Indonesia sebesar 21,6% dengan range
11,8%
(Provinsi Riau) sampai (32,4%). Di wilayah Sumatera,
prevalensi KEK tertinggi di Provinsi Bengkulu
(25,6%), prevalensi KEK tertinggi di wilayah Curup
bagian Utara mencapai 34,52%. Salah satu kecamatan
Curup Utara adalah wilayah kerja Puskesmas Bermani
Ulu.
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian anemia
dan KEK salah satunya adalah status gizi yang kurang.
Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat
keseimbangan dan keserasian antara perkembangan
fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Tingkat
status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat
gizi juga terpenuhi (Hananto, 2002). Status gizi ibu
hamil pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang
dikandung. Untuk kesehatan ibu selama hamil maupun
pertumbuhan dan aktivitas dan deferisiensi janin, maka
ibu dalam keadaan hamil harus cukup mendapat
makanan bagi dirinya sendriri maupun bagi janinnya
(Paath, 2005). Kekurangan atau kelebihan nutrisi dapat
menyebabkan kelainan yang tidak diinginkan pada
wanita hamil tersebut. Kekurangan makanan dapat
menyebabkan
anemia,
abortus,
partus
prematurus,inersia uteri, hemoragia post partum, sepsis
puerperalis, BBLR, dan sebagainya. Sedangkan makan
secara berlebihan karena wanita tersebut salah mengerti
bahwa ia makan untuk dua orang dapat pula
mengakibatkan komplikasi antara lain bayi terlalu besar
dan sebagainya.
Kecukupan zat gizi selama hamil baru dapat
dipantau melalui parameter keadaan kesehatan ibu dan
berat lahir janin. Meskipun baku penilaian status gizi
wanita yang tidak hamil tidak dapat diaplikasikan pada
wanita hamil, perubahan fisiologis selama hamil dapat
digunakan sebagai petunjuk. Berat badan yang rendah
sebelum konsepsi, serta pertambahan berat yang tidak
adekuat merupakan penilaian langsung yang dapat
digunakan untuk menilai laju pertumbuhan janin. Berat
lahir berkorelasi positif dengan pertambahan berat total
selama hamil. Pemeriksaan antropometri yang biasa
dilakukan adalah penimbangan berat (BB), pengukuran
tinggi (TB), penentuan berat ideal dengan indeks masa
tubuh (IMT), dan pola pertambahan berat badan. Tinggi
badan ibu hamil dikatakan normal, jika tinggi badannya
> 145 cm. Ibu yang tingginya >145cm cenderung
mempunyai pertambahan berat badan yang lebih besar
daripada ibu yang pendek (Kurniasih et al. 2010).
Hasil survei awal yang dilakukan peneliti di
Puskesmas Bermani Ulu pada tanggal 11 Desember
2012 terhadap 9 orang ibu hamil, terdapat 6 orang ibu
hamil memasuki usia TM III dan 3 orang ibu hamil
memasuki usia TM II. Dari hasil wawancara didapatkan
bahwa 3 ibu hamil berpendidikan dasar (SD-SMP), 5
ibu hamilberpendidikan menengah (SMA) dan 1 ibu
hamilberpendidikan Perguruan Tinggi. Semua ibu
hamil berumur sekitar 20 -35 tahun. Disamping itu,
Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

didapatkan ibu hamil yang tidak bekerja (Ibu Rumah


Tangga) 5 responden, bekerja sebagai petani 3 ibu
hamildan 1 ibu hamilbekerja swasta. Dari hasil
wawancara juga diperoleh bahwa, seluruh ibu
hamilmempunyai pengetahuan yang baik mengenai
dampak dari kekurangan gizi dan mengenai makanan
yang tidak baik dikonsumsi oleh ibu hamil. Serta
hampir seluruh ibu hamil (88,8%) mempunyai persepsi
yang salah mengenai penambahan berat badan yang
normal selama hamil, dan sebagian kecil ibu hamil
(11,1%) yang berpendidikan SD menjawab tidak tahu.
Dan hampir seluruh ibu hamil (88,8%) mengatakan
bahwa berat badan dan tinggi badannya sudah
memenuhi kriteria berat badan dan tinggi badan yang
normal selama hamil serta ibu dalam keadaan sehat.
Persepsi lain mengenai status gizi , dilihat juga dari pola
konsumsi makanan. Terdapat 6 ibu hamil dengan
pendidikan
SD-SMA
mengatakan
bahwa
mengkonsumsi kopi selama hamil tidak berpengaruh
buruk pada bayi yang dikandung, hanya 1 ibu dengan
pendidikan perguruan tinggi yang tidak sependapat
dengan pernyataan tersebut, dan 1 ibu menjawab raguragu.
Berdasarkan hasil pengukuran antopometri
terhadap 9 orang ibu hamil yang ada di Wilayah kerja
Puskesmas Bermani Ulu didapatkan 7 dari 9 ibu yang
berpendapat bahwa berat badan dan tinggi badan ibu
sekarang sudah memenuhi kriteria yang normal selama
hamil dan ibu dalam keadaan sehat. Terdapat 5 ibu
hamilyang hasil pengukuran berat badannya tidak
sesuai dengan kriteria berat badan yang normal selama
hamil atau tidak sesuai dengan pendapat ibu, dan 2 ibu
hamil yang hasil pengukuran tinggi badannya tidak
sesuai dengan kriteria tinggi badan yang normal
sealama hamil.
Perubahan pengetahuan, persepsi, sikap, perilaku,
gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan
mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan
yang konsumsi. Perubahan pengetahuan, sikap,
perilaku, persepsi dan pola makan, serta peningkatan
pendapatan masih dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial
ekonomi, budaya dan politik yang dapat mempengaruhi
status gizi seseorang, khususnya status gizi ibu hamil
(Surasmo, 2002).
Ketidaksesuaian antara persepsi ibu dengan
pengukuran antopometri dapat berdampak pada
masalah kesehatan, sehingga jika hal ini tidak ditindak
lanjuti akan berdampak tidak baik, tidak hanya pada ibu
itu sendiri, tetapi kepada janin yang sedang dikandung.
Dampak dari persepsi ibu yang salah tersebut akan
berpengaruh terhadap status gizi ibu. Karena ibu yang
menganggap berat badan dan tinggi badannya sudah
memenuhi kriteria yang normal selama hamil, ternyata
setelah dilakukan pengukuran hasilnya tidak sesuai. Ibu
hamil yang mempunyai persepsi yang salah karena
tidak mengetahui keadaan tentang status gizinya.
Ketidaksesuaian ini kemungkinan berkaitan persepsi
yang salah tentang makanan, rendahnya pengetahuan
ibu. Namun belum ada penelitian yang menganalisis
bagaimakah kesesuaian antara hasil pengukuran
79

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

antropometri dengan persepsi ibu hamil mengenai


status gizinya. Berdasarkan uraian di atas maka perlu
dilakukan penelitian untuk menganalisis kesesuaian
antara hasil pengukuran antropometri dengan persepsi
ibu hamil mengenai status gizinya dan menganalisis
faktor-faktor yang berhubungan dengan kesesuaian
pengukuran. Hasil penelitian diharapkan menjadi
masukan penting dalam perbaikan perilaku ibu dalam
pemeliharaan status gizi dan kehamilannya.
Metode
Desain penelitian menggunakan pendekatan Cross
Sectional. Variabel independen adalah karakteristik ibu
hamil (pendidikan, paritas, pendapatan umur), perilaku
ibu hamil (pengetahuan, sikap dan praktek) dan
variabel
dependen
(kesesuaian
pengukuran
antropometri). Populasi adalah seluruh ibu hamil yang
ada di Wilayah Kerja Puskesmas Bermani Ulu yang
berjumlah 139 orang. Teknik sampling secara cluster
sampling yaitu pengambilan sampel secara gugus
(cluster), peneliti mendaftar banyaknya kelompok atau
gugus yang ada dalam populasi itu (Notoatmodjo,
2010). Pada setiap desa terpilih, diambil sampel secara
simple random sampling. Berdasarkan rumus besar
sampel untuk uji hipotesis perbedaan proporsi, sampel

minimal yang dibutuhkan adalah 82 orang ibu hamil.


Dari 139 ibu hamil akan diambil 82 orang ibu hamil
secara cluster dari 6 desa. Data primer diambil dengan
cara pembagian kuesioner kepada ibu hamildan
melakukan pengukuran antropometri. Pengumpulan
data dibantu 2 orang mahasiswa yang telah mendapat
pelatihan dan arahan cara melakukan pengukuran
sehingga mempunyai persepsi yang sama, artinya
semua tindakan yang dilakukan sesuai dengan prosedur
yang telah direncanakan sebelumnya, dengan harapan
data yang terkumpul valid dan reliabel. Instrumen
penelitian terdiri dari daftar pertanyaan kuesioner dan
lembar observasi, meteran tinggi badan, pita pengukur
lingkar lengan atas (LILA). Analisa univariat
mendeskripsikan proporsi masing-masing variabel
yang diteliti. Analisis data numerik menggunakan
ukuran sental dan varians. Persepsi ibu hamil diukur
berdasarkan lembar pertanyaan yang berjumlah 20
pertanyaan menggunakan skala Likert. Analisa bivariat
menggunakan Chi Square (X2) dan uji Kappa Cohen
untuk mengetahui kesesuaian hasil ukur antopometri
dengan persepsi ibu hamil mengenai status gizinya.
Analisis multivariat menggunakan regresi logistik
multivariat.

Tabel 1. Karakteristik dan Perilaku Ibu Hamil


Karakteristik dan Perilaku Ibu Hamil
Umur ibu
<20 tahun dan >35 tahun
20 -35 tahun
Paritas
Primipara
Multi+Grandemultipara
Pendidikan Ibu
Tinggi
Rendah
Pendapatan Ibu
Tinggi
Rendah
Pengetahuan
Tinggi
Rendah
Sikap
Mendukung
Tidak Mendukung
Praktek
Baik
Kurang Baik

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Frekuensi

Persentase

39
43

47,6
52,4

38
44

46,3
53,6

22
60

26,8
73,2

9
73

11,0
89,0

36
46

43,9
56,1

43
39

52,4
47,6

60
22

73,2
26,8

80

ARTIKEL PENELITIAN

Hasil
Karakteristik Dan Perilaku Ibu Hamil
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar dari ibu
hamil(52,4%) berusia antara 20-35 tahun, dan hampir
sebagian dari ibu hamil(46,3%) adalah primipara,
sebagian dari ibu hamil(73,2%) berpendidikan rendah,
serta hampir seluruh dari ibu hamil(89,0%) memiliki
pendapatan yang rendah. Berdasarkan perilaku ibu
menunjukkan bahwa hampir sebagian dari ibu
hamil(46,3%) memiliki pengetahuan yang tinggi
mengenai gizi dan kesehatan selama kehamilan,
sebagian dari ibu hamil(52,4%) memiliki sikap yang
mendukung dalam memeuhi kebutuhan gizi dan
kesehatan selama kehamilan, dan sebagian besar lagi

dari ibu hamil(73,2%) memiliki praktek yang baik


dalam memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan.
Status Gizi Ibu Hamil berdasarkan Pengukuran
Antropometri. Tabel 2 menunjukkan distribusi
frekuensi ibu hamilterhadap hasil pengukuran
antropometri, hasil penelitian menemukan bahwa dari
hasil pengukuran tinggi badan sebagian besar dari ibu
hamil(89,0%) memiliki tinggi badan lebih dari 145 cm
yang artinya memiliki tinggi badan yang normal, dari
hasil pengukuran lingkar lengan atas (lila)
menunjukkan bahwa sebagian dari ibu hamil(74,4%)
memiliki ukuran lingkar lengan atas yang normal.

Tabel 2. Status Gizi Ibu Hamil Berdasarkan Pengukuran Antropometri


Variabel
Tinggi badan
145cm = normal
<145cm = pendek
Lingkar Lengan Atas
<23,5 cm
23,5 cm- 29,5cm

Frekuensi

Kesesuaian Pengukuran Status Gizi


Tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu hamil
(95,8%) mempersepsikan tinggi badannya normal,
namun sebagian kecil (4,2%) mempersepsikan tinggi
badannya pendek (tidak normal). Hasil uji Kappa
Cohen diperoleh nilai kappa -0,06 dan nilai p value
0,511 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat
ketidaksesuaian ukuran tinggi badan antara
pengukuran antropometri dan persepsi ibu. Dari hasil
pengukuran antropometri tinggi badan ibu normal,
hampir seluruhnya (95,8%) mempersepsikan tingginya
normal, namun dari seluruh ibu hamil secara

Persentase

73
9

89,0
11,0

21
61

25,6
74,4

antropometri tinggi badan pendek pendek, seluruhnya


(100%) mempersepsikan tinggi badannya normal.
Hasil uji kesesuaian dengan Kappa Cohen terhadap
ukuran LILA diperoleh nilai kappa 0,111 dan nilai p
value 0,266> 0,05; maka disimpulkan terdapat
ketidaksesuaian antara hasil pengukuran LILA secara
antropometri dengan persepsi ibu. Dari hasil
pengukuran Antropometri LILA normal, hampir
seluruhnya (90,2%) mempersepsikan LILAya normal,
namun dari seluruh pengukuran LILA tidak normal,
hampir seluruhnya (81%) mempersepsikan LILA
normal.

Tabel 3. Kesesuaian Antara Hasil Pengukuran Antropometri Dengan


Persepsi Ibu Hamil mengenai Status Gizi
Pengukuran Antropometri
Normal
Tidak Normal

Persepsi Ibu
Tinggi Badan
Normal
Pendek
Total
LILA
Normal
KEK
Total

Nilai
Cappa

P value

69
3
72

95,8
4,2
100,0

10
0
10

100
0,0
100,0

-0,06

0,511

55
6
73

90,2
9,8
100,0

17
4
9

81,0
19,0
100,0

0,111

0,266

Tabel 4 menunjukkan hampir seluruh ibu hamil (80,5%)


mempersepsikan ukuran tinggi badannya sesuai dengan
pengukuran antropometri tinggi badan dan sebagian

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

besar dari ibu hamil (65,9%) mempersepsikan ukuran


LILA sesuai dengan pengukuran antropometri LILA.

81

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Tabel 4
Distribusi Frekuensi Kesesuaian Status Gizi Antara hasil Pengukuran Antropometri dengan
Persepsi Ibu Hamil

Kategori
Sesuai
Tidak Sesuai

Pengukuran Antropometri
Tinggi Badan
LILA
n
%
n
66
80,5
54
16
19,5
28

Determinan Kesesuaian Hasil Pengukuran Status


Gizi
Tabel 5 menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara karakteristik ibu hamil dengan
kesesuaian ukuran tinggi badan, serta tidak ada
hubungan yang signifikan antara perilaku ibu hamil
dengan kesesuaian ukuran tinggi badan. Variabel yang
menjadi kandidat dalam analisis multivariat adalah
umur ibu, pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan.

%
65,9
34,1

Tabel 6 menunjukkan tidak ada hubungan signifikan


antara karakteristik ibu hamil dengan kesesuaian
ukuran LILA, dan tidak ada hubungan signifikan antara
sikap dan praktek konsumsi ibu hamil dengan
kesesuaian ukuran LILA. Namun pengetahuan
berhubungan dengan kesesuaian ukuran LILA.
Variabel yang menjadi kandidat dalam analisis
multivariat untuk mengetahui determinan kesesuaian
hasil pengukuran LILA adalah paritas dan pegetahuan
ibu.

Tabel 5. Hubungan Krakteristik dan Perilaku Ibu Hamil dengan Kesesuaian Hasil Pengukuran
Tinggi Badan

Karakteristik dan Perilaku


Umur ibu
o <20 dan >35 tahun
o 20 -35 tahun
Pendidikan Ibu
o Tinggi
o Rendah
Pendapatan
o Tinggi
o Rendah
Paritas
o Primipara
o Multi+ Grandemulti
Pengetahuan Gizi
o Tinggi
o Rendah
Sikap
o Mendukung
o Tidak Mendukung
Praktek konsumsi
o Baik
o Tidak Baik

Kesesuaian Ukuran Tinggi Badan


Sesuai
Tidak Sesuai
n
%
n
%

P value

OR (95%CI)

33
33

84,6
76,7

6
10

15,4
23,3

0,229*

1,667
(0,543-5,144)

20
46

90,2
76,7

2
14

9,1
23,3

0,149*

3,043
(0,632-14,656)

9
57

100,0
78,1

0
16

0,0
21,9

0,117*

31
35

81,6
79,5

7
9

18,4
20,5

0,817

1,139
(0,379-3,42)

32
34

88,9
73,9

4
12

11,1
16,1

0,089*

2,824
(0,825-9,662)

35
31

81,4
79,5

8
8

18,6
20,5

0,828

1,129
(0,379-3,367)

47
19

78,3
86,4

13
3

21,7
13,6

0,416

0,571
(0,146-2,233)

* kandidat multivariat

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

82

ARTIKEL PENELITIAN

Tabel 6. Hubungan Krakteristik dan Perilaku Ibu Hamil dengan Kesesuaian Hasil Pengukuran
LILA
Karakteristik dan
Perilaku
Umur ibu
o <20 dan >35 tahun
o 20 -35 tahun
Pendidikan Ibu
o Tinggi
o Rendah
Pendapatan
o Tinggi
o Rendah
Paritas
o Primipara
o Multi+ Grandemulti
Pengetahuan Gizi
o Tinggi
o Rendah
Sikap
o Mendukung
o Tidak Mendukung
Praktek Konsumsi
o Baik
o Tidak Baik

Kesesuaian Ukuran LILA


Sesuai
Tidak Sesuai
n
%
n
%

P value

OR (95%CI)

25
29

64,1
67,4

14
14

35,9
32,6

0,75

0,862
(0,346-2,15)

13
41

59,1
68,3

9
19

40,9
31,7

0,434

0,669
(0,244-1,836)

6
48

66,7
65,8

3
25

33,3
34,2

0,957

1,042
(0,24-4,52)

22
32

57,9
72,7

16
12

42,1
27,3

0,158*

0,516
(0,205-1,3)

28
26

77,8
56,5

8
20

22,2
43,5

0,044*

2,692
(1,012-7,162)

30
24

69,8
61,5

13
15

30,2
38,5

0,433

1,442
(0,577-3,606)

39
15

65,0
68,2

21
7

35,0
31,8

0,788

0,867
(0,306-2,458)

* kandidat multivariat

Setelah melalui tahap analisis multivariat diperoleh


model akhir seperti pada tabel 7. Hasil analisis
menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi
kesesuaian pengukuran antropometri tinggi badan dan
persepsi ibu tergantung pada umur ibu, pendidikan ibu
dan pengetahuan ibu dengan mengontrol variabel
paritas dan sikap ibu. Ibu muda dan tua berisiko 5,5 kali
mempunyai persepsi tidak sesuai dengan pengukuran
antropometri, ibu

pendidikan rendah berisiko 9,8 kali mempunyai


persepsi tidak sesuai dengan pengukuran antropometri,
dan ibu pengetahuan rendah tentang gizi berisiko 5,5
kali mempunyai persepsi tidak sesuai dengan
pengukuran antropometri tinggi badan. Faktor yang
berhubungan dengan kesesuai ukuran LILA adalah
pengetahuan. Ibu hamil pengetahuan rendah tentang
gizi berisiko 2,692 kali mempunyai persepsi tidak
sesuai dengan pengukuran antropometri LILA.

Tabel 7. Determinan Ketidaksesuaian Hasil Pengukuran Antropometri dan Persepsi Ibu Hamil
mengenai Status Gizinya
Kesesuaian Ukuran Tinggi Badan
Determinan
Umur
Pendidikan
Pengetahuan
Paritas
Sikap
Constant

B
1,705
2,285
1,719
-0,939
-1,224
-4,209

Determinan
Pengetahuan
Constant

B
0,990
-1,253

P
0,048
0,030
0,029
0,234
0,105
0,000

OR
5,504
9,829
5,580
0,391
0,294
0,015

OR 95% CI
1,012- 29,925
1,241- 77,835
1,198-26,001
0,083- 1,834
0,067-1,292

Kesesuaian Ukuran LILA

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

P
0,047

OR
2,692

OR 95% CI
1,012-7,162

83

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

Pembahasan
Keterbatasan Penelitian
Desain penelitian menggunakan pendekatan
Cross Sectional yang hanya melihat hubungan antara
variabel dalam satu waktu yang bersamaan, sehingga
penelitian yang dilakukan tidak dapat dengan yakin
menjelaskan hubungan sebab akibat. Penelitian ini
tidak melakukan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan
status gizi secara kontinuitas karena indikator normal
dan tidaknya status gizi juga harus melihat secara
objektif seperti keadaan kesehatan, apakah ibu
mengalami penyakit seperti DBD, malaria, typoid
yang dapat berpengaruh langsung pada status gizi ibu.
Sampel yang kecil dapat mengakibatkan
tidak
representatif terhadap seluruh populasi dan hasil
pengukuran menjadi kurang tetap untuk generalisasi
terhadap populasi seluruhnya.
Kesesuaian Pengukuran Status Gizi
Hasil uji kappa menunjukkan secara statistik ada
perbedaan antara pengukuran tinggi badan dengan
persepsi ibu hamil atau dengan kata lain terdapat
ketidaksesuaian antara hasil pengukuran tinggi badan
secara antropometri dengan persepsi ibu mengenai
tinggi badannya. Ketidaksesuaian ini kemungkinan
karena faktor pengalaman dan nilai yang dianut oleh
ibu hamil, seperti yang dijelaskan oleh Sunaryo (2004)
bahwa persepsi sesorang terhadap objek dipengaruhi
oleh faktor internal yang ada dalam diri ibu hamil
meliputi pengalaman, pengetahuan serta nilainilai
yang dianut dan ekspresi/pengharapan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari seluruh ibu
pendek hasil pengukuran antropometri, seluruhnya
(100%) mempersepsikan tinggi badannya normal. Hal
ini menunjukkan keadaan yang sangat kontroversi,
yang menunjukkan rendahnya pengetahuan ibu
tentang antropometri tinggi badan, kemungkinan ibu
tidak mengetahui ukuran tinggi badannya dan tidak
mengetahui berapa ukuran tinggi badan yang normal
dan baik untuk ibu hamil, dan mungkin juga
mempersepsikan tinggi badan tersebut berdasarkan
pengukuran tinggi badan yang pernah mereka lakukan.
Sehingga mereka mempersepsikan tinggi badannya
normal berdasarkan apa yang mereka fikirkan dan
mereka rasakan. Pengetahuan ini terbentuk dari
pemikiran dan perasaan bagaimana mereka
mempersepsikan suatu objek yang mereka tidak
ketahui.
Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa persepsi
merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali
oleh proses penginderaan. Dengan persepsi, individu
menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan
lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal
yang ada dalam diri individu yang bersangkutan,
sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan
dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang
ada di luar maupun di dalam individu. Sedangkan
menurut Secord & Backman dalam Azwar (2005)

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

mendefinisikan persepsi sebagai suatu keteraturan


tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran
(kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang
terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Selain
dilihat dari faktor persepsi, ketidaksesuaian ini juga
mungkin disebabkan karena indikator pengukuran
tinggi badan merupakan indikator penilalain status gizi
yang umumnya hanya mengukur total tinggi (panjang)
(Departemen Gizi dan Kesmas, 2007). Hal ini
mungkin juga disebabkan oleh faktor lainnya.
Kotler dan Armstrong (2001) menyebutkan
persepsi dipengaruhi dua faktor, yaitu faktor stimulus
dan faktor individu. Faktor stimulus antara lain
karakteristik fisik dari objek atau produk dan sumber
informasi, sedangkan faktor individu adalah
karakteristik seseorang dan motivasi. Motivasi adalah
dorongan bertindak untuk mencapai tujuan tertentu
dan seseorang yang termotivasi siap untuk bertindak.
Cara bertindak dipengaruhi persepsi dalam rangkaian
proses memilih, mengatur dan menginterpretasikan
informasi untuk membentuk gambaran, Hasil dari
dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk
perilaku.
Berdasarkan pengukuran LILA, hasil penelitian
menemukan ada perbedaan antara pengukuran LILA
dengan
persepsi
ibu,
sehingga
terdapat
ketidaksesuaian antara hasil pengukuran antropometri
dengan persepsi ibu mengenai ukuran LILA.
Ketidaksesuaian kemungkinan disebabkan karena
adanya faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu
pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai budaya yang
dianut (Sunaryo, 2004). Nilai- nilai yang dianut ini
biasanya tidak pernah terlepas dari kebudayaan
(Khasanah, 2011).
Teori yang dikemukakan oleh Sumarman (2004)
juga mengatakan bahwa persepsi ibu hamil secara
tidak langsung berpengaruh terhadap hasil pengukuran
antropometri, sehingga ibu hamil juga akan salah
memperepsikan status gizinya. Hal ini sesuai teori
yang dikemukakan oleh Proverawati (2011) dimana
salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi ibu
hamil ini adalah persepsi atau pandangan ibu hamil
mengenai staus gizi, Pengetahuan gizi yang kurang,
prasangka buruk pada bahan makanan tertentu, salah
persepsi tentang kebutuhan dan nilai gizi suatu
makanan dapat mempengaruhi status gizi seseorang.
Hasil penelitian menunjukkan hampir sebagian dari
ibu hamil mempersepsikan LILAnya normal, namun
berdasarkan pengukuran antropometri ternyata
LILAnya tidak sesuai dengan apa yang dipersepsikan
oleh ibu tersebut, sementara LILA yang tidak normal
sebagai indicator ibu mengalami KEK yang akan
berdampak pada status gizi dan kesehatan ibu dan
janin. Hal ini terjadi karena faktor pengetahuan ibu
hamil yang rendah, sehingga ibu tidak mengenai
ukuran LILA yang normal, dan mungkin juga karena
mereka belum pernah melakukan pengukuran LILA
sehingga tidak pernah mendapat informasi mengenai

84

ARTIKEL PENELITIAN

LILA yang normal. Ketidaksesuaian ini juga berkaitan


dengan faktor kepercayaan dan pengalaman (Sunaryo,
2004).
Pengalaman ibu hamil juga kemungkinan
berhubungan dengan jumlah paritas, karena pada
penelitian ini sebagian ibu hamil adalah paritas
multigravida dan grande multigravida. Pada ibu yang
pernah hamil atau melahirkan anak 4 kali atau lebih,
kemungkinan akan ditemui keadaan kesehatan
terganggu seperti anemia, kurang gizi (KEK).
Pengalaman saat hamil sebelumnya akan membentuk
persepsi ibu. Jika masa hamil sebelumnya berjalan
normal tanpa ada masalah atau penyakit, maka pada
kehamilan selanjutnya jika tidak ada keluhan penyakit
atau masalah, ibu mereka akan berfikir dan
berpandangan bahwa kehamilan yang dijalaninya saat
ini normal-normal saja. Meskipun badannya kurus,
mereka tidak mengetahui bahwa kehamilan yang
dijalaninya berisiko atau tidak, selama ibu merasa
sehat, tidak sakit, sehingga ibu berpersepsi keadaanya
normal-normal saja.
Selain faktor pengalaman, faktor psikologis ibu
juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi proses
terjadinya persepsi, hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan Sunaryo (2004) bahwa proses terjadinya
persepsi melalui tiga tahap yaitu proses fisik, fisiologis
dan psikologis. Proses psikologis disini berhubungan
dengan otak, dan keadaan yang ada di dalam ibu hamil
tersebut. Namun pada penelitian ini tidak dilakukan
pengukuran keadaan psikologis ibu hamil.
Meskipun dalam penelitian ini sebagian ibu hamil
mempunyai pengetahuan yang baik mengenai gizi
selama hamil, tetapi mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup mengenai ukuran-ukuran
antropometri seperti tinggi badan dan LILA yang
normal. Ketidaktahuan ini akan berdampak pada
ketidaktahuan kondisi status gizi ibu selama hamil
yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan bayi serta kesehatan ibu hamil tersebut,
Perlu intervensi untuk merubah persepsi yang salah
dan menyamakan persepsi ibu hamil, dengan
melakukan pendidikan gizi dan kesehatan berupa
penyuluhan,
pendampingan,
penilaian
dan
pemantauan status gizi. Upaya ini diharapkan akan
mampu meningkatkan pengetahuan ibu hamil,
khususnya mengenai ukuran-ukuran antropometri
yang normal. Pengetahuan yang diperoleh akan
mestimulus terbentuknya sikap dan perilaku yang baik
dalam pemenuhan gizinya. Penilaian dan pemantauan
antropometri ibu hamul akan memberikan informas
yang benar mengenai pertambahan berat badan selama
hamil, sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi
kehamilan, persalinan dan outcome kelahiran yang
baik.
Determinan Kesesuaian
Hasil penelitian menenukan bahwa faktor yang
mempengaruhi kesesuaian pengukuran antropometri
tinggi badan dan persepsi ibu tergantung pada umur

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

ibu, pendidikan ibu dan pengetahuan ibu dengan


mengontrol variabel paritas dan sikap ibu. Ibu muda
dan tua berisiko 5,5 kali mempunyai persepsi tidak
sesuai dengan pengukuran antropometri, ibu
pendidikan rendah berisiko 9,8 kali mempunyai
persepsi tidak sesuai dengan pengukuran antropometri,
dan ibu pengetahuan rendah berisiko 5,5 kali
mempunyai persepsi tidak sesuai dengan pengukuran
antropometri tinggi badan. Faktor yang berhubungan
dengan kesesuai ukuran LILA adalah pengetahuan. Ibu
hamil pengetahuan kurang berisiko 2,692 kali
mempunyai persepsi tidak sesuai dengan pengukuran
antropometri LILA.
Temuan ini sejalan dengan pendapat Hermina
(1992) bahwa rendahnya tingkat pendidikan ibu hamil
dapat menyebabkan keterbatasan dalam upaya
menangani masalah gizi dan kesehatan keluarga.
Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan
status gizi ibu hamil. Kemampuan baca tulis akan
membantu dalam memperlancar komunikasi dan
penerimaan informasi, dengan demikian informasi
tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh ibu
hamil (Wara, 2006). Joko (2011) menjelaskan
pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh
pada peningkatan kemampuan berfikir, dengan kata
lain seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan
dapat mengambil keputusan yang lebih rasional,
umumnya terbuka untuk menerima perubahan atau hal
baru
dibandingkan
dengan
individu
yang
berpendidikan lebih rendah.
Hasil penelitian juga sejalan dengan hasil
penelitian Suryani (2009) yang mengatakan bahwa
ada hubungan antara pengetahuan dengan status gizi
ibu hamil. Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa
pengetahuan merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya perilaku tindakan seseorang,
Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka
akan semakin besar pula perilaku seseorang dalam
peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. Adanya
hubungan pengetahuan dengan ketidaksesuaian hasil
pengukuran dan persepsi ibu dapat dijelaskan bahwa
semakin tinggi pengetahuan seseorang akan semakin
mempertimbangkan jumlah dan jenis makanan yan
dipilih untuk dikonsumsi. Orang yang berpengetahuan
rendah akan berperilaku memilih makanan yang
menarik panca indera dan tidak mengadakan pilihan
berdasarkan nilai gizi makanan tersebut, sebaliknya
mereka yang memiliki pengetahuan gizi baik akan
cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan
rasional tentang nilai gizi makanan tersebut
(Kristiyanasari, 2010).
Kesimpulan
Terdapat ketidaksesuaian antara hasil pengukuran
tinggi badan secara antropometri dengan persepsi ibu
(nilai kappa -0,06 dan p value >0,05). Demikian juga
pada ukuran LILA, terdapat ketidaksesuaian antara
hasil pengukuran antropometri dengan persepsi (nilai
kappa 0,111 dan nilai p value >0,05). Hasil penelitian

85

Demsa, Yanti, Jon, Analisis Kesesuaian antara Hasil Pengukuran Antropometri dengan Persepsi Ibu Hamil

menenukan bahwa faktor yang mempengaruhi


ketidakkesesuaian pengukuran antropometri tinggi
badan dan persepsi ibu tergantung pada umur ibu,
pendidikan ibu dan pengetahuan ibu dengan
mengontrol variabel paritas dan sikap ibu. Faktor yang
mempengaruhi
ketidakkesesuaian ukuran LILA
adalah pengetahuan Ibu hamil mengenai makanan
bergizi.
Saran
Petugas kesehatan harus melakukan intervensi
berupa pendidikan gizi dan kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan ibu yang akan dapat
memperbaiki dan menyamakan persepsi ibu hamil
mengenai status gizi. Perlu juga dilakukan penilaian
dan pemantauan status gizi prahamil dan selama hamil
secara berkala untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai ukuran-ukuran antropometri yang normal,
sehingga diharapkan jika ibu sudah mengetahui hal
tersebut, mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan
gizi agar ukuran-ukuran antropometrinya dalam batas
normal yang akhirnya bermuara pada kelahiran bayi
yang sehat dan ukuran lahir normal.

Daftar Pustaka
1. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada.
2.

3.

Depkes RI. 2002. Angka Kematian Ibu. Diakses


dari http//www.Aki Indonesia.com.
Harnani. A. 2006. Pengaruh Tabu Makanan.
Tingkat Kecukupan Gizi. Konsumsi Tablet Besi
dan Teh Terhadap kadar Hemoglobin Ibu Hamil
Di Kota Pekalongan Tahun 2006. Semarang :
Universitas Di Ponogoro Semarang. Laporan
Penelitian. Diakses dari http://www.google.com.
18 November 2012.

7.

Kristiyanasari. W.
2010. Gizi Ibu Hamil.
Yogyakarta : Nuha Medika.

8.

Kusmiyati. Y. Wahyuningsih. H.P. Sujiyati. 2009.


Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitramaya.

9.

Laporan Tahunan Kabupaten Rejang Lebong.


Cakupan Pengukuran ibu Hamil KEK. Kabupaten
Rejang Lebong Tahun 2010-2012.

10. Laporan Tahunan Puskesmas Bermani Ulu Tahun


2012.
11. Mahmudah. M. 2011. Tingkat Pengetahuan Ibu
hamil Terhadap Pola Hidup Sehat Selama
Kehamilan Di RBMutiara Ibu Mojogedang
Kabupaten Karanganyar. Laporan Penelitian.
Diakses
dari
http://www.google
cendikia.com.tanggal 6 November 2012.
12. Mansjoer. A. Triyanti. K. Savitri. R. Wardhani.
W.I. . Setiowulan. W. 2009. Kapita Selecta
Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius.
13. Mawadah. N. Hardinsyah. 2008. Pengetahuan.
Sikap dan Praktek Gizi Serta Tingkat Konsumsi
Ibu hamil Di Kelurahan Kramat Jati dan
Kelurahan Ragunan Propinsi DKI Jakarta.
Universitas Institut Pertanian Bogor. Laporan
Penelitian. Diakses tanggal 16 Mei 2013.
14. Mulyaningrum. S. 2009. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan resiko kekurangan energi
kronis (KEK) pada ibu hamil di DKI Jakarta
tahun 2007. Jakarta : Universitas Indonesia.
Laporan Penelitian. Diakses tanggal 5 Desember
2012.
15. Notoatmodjo. S. 2010. Metodelogi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

4.

Hernawati. I. 2010. Analisis Kematian Ibu.


Berdasarkan Data SDKI. Riskesdas. Dan
Laporan Rutin KIA. Diakses dari http://laporan
AKI .com. 26 Desember 2012.

16. Notoatmodjo. S. 2010. Promosi Kesehatan Teori


dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta
17. Paath. E.F.. Rumdasih. Y. Heryati. 2005. Gizi
Dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC.

5.

Kartikasari. W.B.. Mifbakhuddin. Mustika N.D.


2011. Hubungan Pendidikan. Paritas. dan
Pekerjaan dengan Status Gizi Ibu Hamil
Trimester III Di Puskesmas Bangetayu
Kecamatan Genuk Kota Semarang. Universitas
Muhammadiah Semarang. Jurnal Peneltian.
Diakses tanggal 16 Mei 2013.

18. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong


Tahun 2011.

6.

Khasanah. N. 2011. Dampak Persepsi Budaya


Terhadap Kesehatan Reproduksi Ibu dan Anak.
Laporan Penelitian. Diakses tanggal 6 Juni 2013.

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

19. Profil Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2011.


Diakses
dari
http://www.profil
dinkes
bengkulu.com.
20. Proverawati. A. dan Asfuah. S. 2009. Gizi Untuk
Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
21. Sandjaja. 2009. Resiko Kurang Energi Kronis
(KEK) Pada Ibu Hamil Di Indonesia. Pusat

86

ARTIKEL PENELITIAN

Penelitian Dan Pengembangan Gizi Dan Makanan


. Depkes RI. Diakses tanggal 7 November 2012.

25. Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan.


Jakarta : EGC.

22. BPS. 2012. Laporan Survei Demografi Ksehatan


Indonesia. Jakarta: BPS.

26. Supariasa. IDN. Bakri. B. Fajar. I. 2002. Penilaian


Status Gizi. Jakarta : EGC.

23. Siwi. S. 2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan


Tentang Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada
Ibu Hamil Di Kecamatan Jebres Surakarta.
Diakses tanggal 18 November 2012.

27. Suryani. 2007. Hubungan Pengetahuan Dan


Status Ekonomi Dengan Status Gizi Ibu hamil Di
Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Laporan
Penelitian. Diakses tanggal 14 Desember 2012.

24. Srini. S. dkk. 1995. Persepsi Dan Prilaku Orang


dani Di Lembah Baliem Terhadap Kehamilan.
Universitas Cendrawasih Jayapura. Diakses
tanggal 18 November 2012.

28. Utami. Y.S. . 2008. Persespi Dan Sikap Ibu


Terhadap Rubrik Gizi Dan Kesehatan di Media
Cetak Dihubungkan Dengan Perilaku Hidup
Sehat Mahasiswi. Institut Pertanian Bogor.
Laporan Penelitian.

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

87

Yanti, Fretika, Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kadar Hb pada Pasien Thalasemia

Hubungan Asupan Zat Gizi Dengan Kadar Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia
Yang Menjalani Rawat Jalan Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Association between Dietary Intake and Hemoglobin Level in Patients with Thallasemia in
dr. Doris Sylvanus Hospital

Yanti Thomas, Fretika Utami Dewi


Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Thalasemia merupakan penyakit kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal berdasarkan
kelainan hemoglobin, dimana satu atau dua rantai hemoglobin kurang atau tidak terbentuk secara sempurna
sehingga terjadi anemia hemolitik. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui hubungan asupan energi,
protein, vitamin C, dan Fe terhadap kadar hemoglobin pada pasien thalasemia yang menjalani rawat jalan di
Rumah Sakit dr. Dorys Sylvanus Palangka Raya. Rancangan penelitian ini bersifat cross sectional. Sampel
diperoleh secara purposive sampling dan diperoleh sampel sebanyak 9 orang. Data asupan zat gizi (energi,
protein, vitamin C, dan Fe) diperoleh dengan cara food record selama tiga hari tidak berturut-turut. Data kadar
hemoglobin diperoleh dengan cara menggunakan alat hemocue. Analisis data menggunakan uji regresi linier
sederhana. Asupan zat gizi tertinggi untuk asupan energi sebesar 1.795,86 kal, asupan protein sebesar 69,56 g,
asupan vitamin C sebesar 17,2 mg dan asupan Fe sebesar 7,66 mg sedangkan asupan zat gizi terendah untuk
asupan energi sebesar 1.044,63 kal, asupan protein sebesar 33,86 g, asupan vitamin C sebesar 1,0 mg dan
asupan Fe sebesar 2,56 mg. Kadar Hb tertinggi sebesar 13,2 mg% dan terendah 6,9 mg%. Tidak ada hubungan
yang signifikan antara asupan energy, protein, vitamin C, dan Fe dengan kadar hemoglobin (P value > 0,05).
Kesimpulannya adalah tidak ada hubungan asupan zat gizi terhadap kadar hemoglobin pada pasien thalasemia.
Kata Kunci: Pasien Thalasemia, kadar hemoglobin, Asupan Energi, Asupan Protein, Asupan Vitamin C, dan
Asupan Fe.
Abstract. Thalassemia is a congenital disease inherited in an autosomal hereditary disorder based on
hemoglobin, where one or two chains of hemoglobin less or not completely formed, causing hemolytic anemia.
The purpose of this study was to investigate association between intake of energy, protein, vitamin C, and Fe
and levels of hemoglobin in thalassemia patients who underwent outpatient at RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangkaraya. The study design was cross-sectional. Samples were obtained by purposive sampling and 9
people were selected as sample. Data nutrient intake (energy, protein, vitamin C, and Fe) were obtained by a
three-day food record. Data hemoglobin levels were obtained by using a hemocue. Data was analyzed by linear
regretion test. The highest intake of energy nutrient intake account for 1795.86 cal, 69.56 g protein intake,
vitamin C intake was 17.2 mg and 7.66 mg of Fe intake while the lowest nutrient intake for energy of 1,044 ,
63 cal, protein intake was 33.86 g, intake of vitamin C of 1.0 mg and 2.56 mg of Fe. The highest Hb level of
13.2 mg% and the lowest was 6.9 mg%. There was no significant relationship between energy, protein, vitamin
C, and Fe intake with hemoglobin levels (P value > 0,05). In conclusion, there was no relationship of nutrient
intake on hemoglobin levels in patients with thalassemia.
Key words: thalassemia patients, energy intake, protein intake, vitamin C intake, Fe intake, hemoglobin levels.

Pendahuluan
Thalasemia adalah gangguan pembuatan
hemoglobin yang diturunkan. Pertama kali
ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan
Itali
antara
1925-1927.
Kata
Thalasemia
dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut
dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani
Thalasa berarti laut1. Thalasemia merupakan
sindroma kelainan darah herediter yang paling sering
terjadi di dunia, sangat umum di jumpai disepanjang
sabuk thalasemia yang sebagian besar wilayahnya
merupakan
endemis
malaria.
Heterogenitas
molekular penyakit tersebut baik carrier thalasemia
beta sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

pengelompokkan populasi sehingga dapat dijadikan


petanda genetik populasi tertentu1.
Penyakit thalasemia ditemukan diseluruh dunia
dengan prevalensi gen thalasemia tertinggi di
beberapa Negara tropis2, kurang lebih 3% dari
penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana
angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasus
adalah di Asia3. Adapun di wilayah Asia Tenggara
pembawa sifat thalasemia mencapai 55 juta orang4.
Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia
(WHO) tahun 2006, sekitar 7% penduduk dunia
diduga carrier Thalasemia dan sekitar 300 ribu 500
ribu bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya.
Penderita Thalasemia tertinggi ada di negara-negara

88

ARTIKEL PENELITIAN

tropis, namun dengan tingginya angka migrasi


penyakit ini juga ditemukan di seluruh dunia.
Demikian pula dengan Indonesia, Data
Perhimpunan Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI)
mencatat pada 2006 terdapat sekitar 3.053 kasus
Thalasemia dan 2008 jumlah penderita meningkat
menjadi 5.000 orang. Layaknya fenomena gunung es,
ditenggarai ada sekitar 200 ribu penderita thalasemia
yang belum terdeteksi kasusnya. Bahkan terdapat
jutaan carrier yang tidak terdeteksi di Tanah Air.
Potensi mereka sangat besar untuk menurunkan
penyakit tersebut kepada anak-anaknya.
Kelainan yang ditemukan pada penderita
thalasemia adalah gangguan sintesis jumlah
hemoglobin pada rantai alpha atau rantai beta
sehingga hemoglobin yang terbentuk dalam sel darah
merah mempunyai jumlah rantai protein yang tidak
sempurna (kekurangan atau tidak mempunyai rantai
protein). Dalam satu sel darah merah yang normal
mengandung 300 molekul hemoglobin yang akan
mengikat oksigen5.
Protein merupakan zat makanan bagian terbesar
tubuh sesudah air, seperlima bagian tubuh adalah
protein. Protein bertindak sebagai prekursor sebagian
besar koenzim, hormon, asam nukleat dan molekulmolekul yang esensial untuk kehidupan, membangun
serta memelihara sel-sel jaringan tubuh. Protein
adalah bahan baku utama pembentukan sel-sel tubuh
manusia6. Protein berperan penting dalam
transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu,
kurangnya asupan protein akan mengakibatkan
transportasi zat besi terhambat sehingga akan terjadi
defisiensi besi. Di samping itu makanan yang tinggi
protein terutama yang berasal dari hewani banyak
mengandung zat besi.
Zat besi merupakan mikroelemen yang esensial
bagi tubuh, yang diperlukan dalam pembentukan
darah yaitu untuk mensintesis kadar hemoglobin.
Kelebihan zat besi disimpan sebagai protein feritin
dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang
belakang, dan selebihnya di simpan dalam limfa dan
otot. Kekurangan zat besi akan menyebabkan
terjadinya penurunan kadar feritin yang diikuti
dengan penurunan kejenuhan transferin atau
peningkatan protoporfirin. Jika keadaan ini terus
berlanjut akan terjadi anemia defisiensi besi, dimana
kadar hemoglobin turun di bawah nilai normal7.
Hasil dari suatu penelitian menunjukkan bahwa
sebanyak 37% zat besi heme dan 5% zat besi non
heme yang ada dalam makanan dapat diabsorbsi. Zat
besi non heme yang rendah absorbsinya dapat
ditingkatkan apabila adanya peningkatan asupan
vitamin C dan faktor-faktor lain yang mempermudah
absorbsi seperti daging, ikan, dan ayam8.
Vitamin C merupakan unsur esensial yang
sangat dibutuhkan tubuh untuk pembentukan sel-sel
darah merah. Vitamin C menghambat pembentukan
hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

membebaskan besi bila diperlukan. Adanya vitamin


C dalam makanan yang dikonsumsi akan
memberikan suasana asam sehingga memudahkan
reduksi zat besi ferri menjadi ferro yang lebih mudah
diserap usus halus. Absorpsi zat besi dalam bentuk
non heme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin
C8.
Berdasarkan data kunjungan pasien thalasemia
di ruang F di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya tahun 2013 tercatat sebanyak 25 orang yang
mengalami thalasemia. Dari data tersebut diketahui
bahwa anak yang rentan mengalami thalasemia
usianya berkisar antara 1-25 tahun. Berdasarkan
uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk
melakukan suatu penelitian tentang hubungan asupan
zat gizi terhadap kadar hemoglobin pada pasien
thalasemia yang menjalani rawat jalan di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
Penelitian ini betujuan untuk
mengetahui
hubungan asupan zat gizi dengan kadar hemoglobin
pada pasien thalasemia yang menjalani rawat jalan di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Bahan Dan Metode
Penelitian ini dilakukan dengan rancangan cross
sectional yaitu menganalisis beberapa variabel yang
diteliti dan dikumpulkan melalui hasil pengukuran
dan wawancara untuk mengetahui hubungan asupan
zat gizi terhadap kadar hemoglobin pada pasien
thalasemia yang menjalani rawat jalan di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
penderita thalasemia yang menjalani rawat jalan di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dimana
jumlah penderita thalasemia berjumlah 25 orang.
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien
yang ada pada populasi dan terdiagnosis thalasemia
yang menjalani rawat jalan di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya dan diambil secara
purposive sampling. Jumlah sampel yang diperoleh
sebanyak 9 orang. Variabel terikat dalam penelitian
ini adalah kadar hemoglobin pasien thalasemia.
Sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah
asupan zat gizi yang meliputi Energi, Protein,
Vitamin C, dan Fe.
Data primer dalam penelitian ini adalah data
identitas pasien yang meliputi data asupan energi,
protein, vitamin C, dan Fe diperoleh dari hasil food
record untuk makanan dari rumah selama 3 hari
secara tidak berturut-turut. Data kadar hemoglobin
pasien diperoleh dengan cara mengukur langsung
menggunakan alat hemocue. Sedangkan data
sekunder dalam penelitian ini adalah data gambaran
umum lokasi penelitian yang terdiri dari bentuk
pelayanan, visi dan misi, serta motto rumah sakit dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya diperoleh dari hasil
kajian dokumentasi berdasarkan laporan tahunan RS.

89

Yanti, Fretika, Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kadar Hb pada Pasien Thalasemia

Pengolahan data yang dilakukan dalam


penelitian ini adalah data asupan energi, protein,
Hasil Dan Pembahasan
vitamin C, dan Fe yang diperoleh melalui food record
Asupan Zat Gizi dan Kadar Hemoglobin
kemudian bahan makanan tersebut di konversikan
Distribusi sampel berdasarkan asupan zat gizi
dalam berat mentah masak dan selanjutnya dianalisis
dan kadar hemoglobin dapat dilihat pada tabel 1.
dengan cara memasukkannya kedalam nutrie survey
Berdasarkan tabel 1. Dapat diketahui bahwa asupan
kemudian menghitung rata-rata asupan tersebut
zat gizi tertinggi untuk asupan energi sebesar
dengan menggunakan alat hitung kalkulator. Analisis
1.795,86 kal, asupan protein sebesar 69,56 g, asupan
data dilakukan secara univariat dan bivariat. Analisis
vitamin C sebesar 17,2 mg dan asupan Fe sebesar
data secara univariat yaitu, mendeskripsikan
7,66 mg sedangkan asupan zat gizi terendah untuk
distribusi frekuensi yang didapat. Sedangkan analisis
asupan energi sebesar 1.044,63 kal, asupan protein
data secara bivariat yaitu menganalisis data secara
sebesar 33,86 g, asupan vitamin C sebesar 1,0 mg dan
statistik dengan menggunakan uji regresi linear
asupan Fe sebesar 2,56 mg. Kadar Hb tertinggi
sederhana dengan P 0,05, maka Ho ditolak, artinya
sebesar 13,2 mg% dan terendah 6,9 mg%
ada hubungan antara variabel, P 0,05, maka Ho
diterima, artinya tidak ada hubungan antara variabel.
.
Tabel 1. Distribusi Asupan Zat Gizi dan Kadar Hb Sampel
Inisial Sampel
SL
ZMK
RTA
ZN
FZ
JE
CNN
NAS
ML

E (kal)
1228.6
1254
1795.86
1227.83
1180.3
1125.2
1044.63
1089.23
1385.03

Zat Gizi
P (g)
Vit C(mg)
44.73
6.2
53.13
9.53
69.56
17.2
60.03
4.76
51.08
3.5
40.33
2.6
33.86
16.13
47.43
1.0
59.6
12.96

Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa


asupan Fe penderita thalasemia cenderung rendah akan
tetapi kadar hemoglobin terlihat mendekati nilai
normal hal tersebut terjadi karena penderita thalasemia
rutin melakukan transfusi akan tetapi dapat
menimbulkan terjadinya penumpukan zat besi, dalam
tubuh besi terikat oleh transferin dan dalam perjalanan
ke jaringan besi segera diikat molekul dengan berat
rendah. Bila berjumlah banyak dapat menyebabkan
kerusakan sel. Pada penderita dengan kelebihan zat
besi, penimbunan besi dapat ditemukan pada semua
jaringan dan sebagian besar di sel retikuloendotelial
yang relatif tidak merusak, miosit dan hepatosit yang
bisa merusak. Kerusakan tersebut disebabkan karena
terbentuknya hidroksil radikal bebas.
Hemoglobin adalah molekul yang terdiri dari 4
kandungan Heme (berisi zat besi) dan 4 rantai globin
(alfa, beta, gama, dan delta), berada di dalam eritrosit
dan bertugas utama untuk mengangkut oksigen.
Kualitas darah dan warna merah darah ditentukan oleh
kadar hemoglobin. Ada enam orang (66,6%) sampel
dengan kadar hemoglobin rendah hal tersebut dapat
terjadi dikarenakan asupan zat gizi yang kurang di
konsumsi serta lama periode transfusi terakhir.
Untuk memudahkan proses pengangkutan
diperlukan protein sebagai alat angkut dan
penyimpanan terhadap 22 hemoglobin yaitu

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Fe(mg)
3.7
6.06
7.66
3.9
6.06
2.56
5.06
6.36
6.4

Kadar Hb
(mg%)
9.4
9.5
7.2
10.1
7.5
6.9
12.1
13.2
8.1

mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan


mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. Ion besi
diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan
disimpan dalam hati sebagai kompleks dengan feritin9.
Selain itu diperlukan juga vitamin C yang juga
membantu tubuh menyerap zat besi yang penting
sebagai pembangun blokade sel-sel darah merah,
selain itu, vitamin ini berperan dalam penyerapan besi
sebagai reducing agent yang mengubah bentuk feri
menjadi fero dan chelating agent yang mengikat besi
sehingga daya larut besi meningkat.
Sebelum diolah lebih lanjut, data terlebih dahulu
diuji normalitas. Hasil uji normalitas, data
berdistribusi normal dengan Sig. asupan energi =
0.091, Sig. asupan protein = 0.996, Sig. asupan vitamin
C = 0.334, Sig. asupan Fe = 0.592, Sig. kadar
hemoglobin = 0.363.
Hubungan Asupan Energi dengan Kadar
Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia
Data hubungan asupan energi dengan kadar
hemoglobin dapat dilihat pada tabel 2. Berdasarkan
hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada
variabel asupan energi dengan kadar hemoglobin
tersebut diperoleh persamaan garis yaitu y = 63,589 17,532 asupan energi artinya bila asupan energi
bertambah 1 satuan maka kemungkinan kadar

90

ARTIKEL PENELITIAN

hemoglobin berkurang sebesar 17,532. Berdasarkan


uji regresi linear sederhana diketahui besarnya
koefisien (R) adalah sebesar 0,559 artinya bahwa
hubungan asupan energi dengan kadar hemoglobin
menunjukkan hubungan yang sedang (0,40-0,599)
(Dahlan, 2004). Sedangkan dari hasil perhitungan
besarnya koefisien determinan (R2) adalah sebesar

0,312 artinya bahwa pengaruh asupan energi dengan


kadar hemoglobin adalah sebesar 31,2% sementara
sisanya sebesar 68,8% dipengaruhi oleh faktor lain
yang tidak diteliti pada penelitian ini. Hasil uji statistik
diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara
asupan energi dengan kadar hemoglobin (P value =
0,118).

Tabel 2. Hubungan Asupan Energi Dengan Kadar Hemoglobin


Variabel
Asupan Energi

R
0,559

R2
0,312

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan tidak


ada hubungan asupan energi dengan kadar
hemoglobin karena p > 0,05. Hal ini diduga karena
asupan energi yang diperoleh sebagian besar berasal
dari pangan sumber karbohidrat sehingga tidak
memberikan sumbangan zat besi dalam jumlah besar.
Kekurangan
konsumsi
energi
dapat
menyebabkan anemia, hal ini terjadi karena
pemecahan protein tidak lagi ditujukan untuk
pembentukan sel darah merah dengan sendirinya
menjadi kurang, melainkan untuk menghasilkan
energi atau membentuk glukosa. Sumber energi yang
dikonsumsi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme basal, pemeliharaan sel, pertumbuhan,
dan penyembuhan dan pergerakan tubuh. Pemecahan
protein untuk energi dan glukosa dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dalam tubuh dan melemahnya
otot-otot.

Persamaan Garis
y = 63,589 - 17,532

P .Value
0,118

Hubungan Asupan Protein dengan Kadar


Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia
Data hubungan asupan protein dengan kadar
hemoglobin dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan
hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada
variabel asupan protein dengan kadar hemoglobin
tersebut didapat nilai y = 13,506 - 0,082 asupan
protein artinya bila asupan protein bertambah 1 satuan
maka kemungkinan kadar hemoglobin berkurang
sebesar 0,082. Berdasarkan uji regresi linear
sederhana diketahui besarnya koefisien (R) adalah
sebesar 0,408 artinya bahwa hubungan asupan protein
dengan kadar hemoglobin menunjukkan hubungan
yang sedang (0,40-0,599) (Dahlan, 2004). Sedangkan
dari hasil perhitungan besarnya koefisien determinan
(R2) adalah sebesar 0,167 artinya bahwa pengaruh
asupan protein dengan kadar hemoglobin adalah
sebesar 16,7% sementara sisanya sebesar 83,3%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti pada
penelitian.

Tabel 3. Hubungan Asupan Protein Dengan Kadar Hemoglobin


Variabel
Asupan Protein

R
0,408

R2
0,167

Berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada


hubungan antara asupan protein dengan kadar
hemoglobin karena p value = 0,275. Hal ini diduga
karena penderita thalasemia tidak diperbolehkan
terlalu banyak mengkonsumsi daging berwarna merah
yang merupakan sumber protein yang tinggi karena
berpotensi mengalami penumpukan zat besi yang
berbahaya bagi kesehatan tubuhnya. Padahal, zat besi
yang berlebih bisa menyebabkan keracunan bagi
tubuhnya. Oleh karena itu, makanan yang kadar
kandungan zat besinya tinggi harus mereka hindari.
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan
merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air.
Seperlima bagian tubuh protein, separuhnya ada di
dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang
rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di
dalam jaringan lain, dan cairan tubuh. Protein

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Persamaan Garis
y = 13,506 0,082

P .Value
0,275

mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan


oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara
sel-sel dan jaringan tubuh10.
Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun
sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur
seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi
dimana tiap gram protein menghasilkan sekitar 4,1
kalori11.
Hubungan Asupan Vitamin C dengan Kadar
Hemoglobin Pada Pasien Thalasemia
Data hubungan asupan vitamin C dengan kadar
hemoglobin dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan
hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada
variabel asupan vitamin C dengan kadar hemoglobin
tersebut diperoleh persamaan garis yaitu y = 9,653
0,039 asupan vitamin C artinya bila asupan vitamin C

91

Yanti, Fretika, Hubungan Asupan Zat Gizi dengan Kadar Hb pada Pasien Thalasemia

bertambah 1 satuan maka kemungkinan kadar


hemoglobin berkurang sebesar 0,039. Berdasarkan uji
regresi linear sederhana diketahui besarnya koefisien
(R) adalah sebesar 0,107 artinya bahwa hubungan
asupan vitamin C dengan kadar hemoglobin
menunjukkan hubungan yang sangat lemah (0,000,199) (Dahlan, 2004). Sedangkan dari hasil
perhitungan besarnya koefisien determinan (R2)

adalah sebesar 0,011 artinya bahwa pengaruh asupan


vitamin C dengan kadar hemoglobin adalah sebesar
1,1% sementara sisanya sebesar 98,9% dipengaruhi
oleh faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian.
Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan vitamin C dengan kadar
hemoglobin (P value = 0,785).

Tabel 4. Hubungan Asupan Vitamin C dengan Kadar Hemoglobin


Variabel
Asupan Vitamin C

R
0,107

R2
0,011

Berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada


hubungan antara asupan vitamin C dengan kadar
hemoglobin karena p value = 0,785. Hal ini diduga
karena asupan vitamin C yang dikonsumsi para
sampel sangat terbatas jumlahnya. Diketahui bahwa
vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi dalam
pencegahan terjadinya anemia, namun apabila zat besi
yang dikonsumsi dalam jumlah yang terbatas maka
fungsi vitamin C sebagai enhancer zat besi tidak akan
berjalan8. Konsumsi vitamin C 200 mg setiap hari
akan meningkatkan ekskresi besi yang dihasilkan oleh
desferioamin.
Adanya vitamin C dalam makanan yang
dikonsumsi akan memberikan suasana asam sehingga
memudahkan reduksi zat besi ferri menjadi ferro yang
lebih mudah diserap usus halus. Absorpsi zat besi
dalam bentuk non heme meningkat empat kali lipat
bila ada vitamin C8.

Persamaan Garis
y = 9,653 0,039

P .Value
0,785

Hubungan Asupan Fe dengan Kadar Hemoglobin


Pada Pasien Thalasemia
Data hubungan asupan Fe dengan kadar
hemoglobin dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan
hasil analisis menggunakan uji regresi linear pada
variabel asupan Fe dengan kadar hemoglobin tersebut
didapat nilai y = 9,016-0,060 asupan Fe artinya bila
asupan Fe bertambah 1 satuan maka kemungkinan
kadar hemoglobin berkurang sebesar 0,060.
Berdasarkan uji regresi linear sederhana diketahui
besarnya koefisien (R) adalah sebesar 0,044 artinya
bahwa hubungan asupan Fe dengan kadar hemoglobin
menunjukkan hubungan yang sangat lemah (0,000,199) (Dahlan, 2004). Sedangkan dari hasil
perhitungan besarnya koefisien determinan (R2)
adalah sebesar 0,002 artinya bahwa pengaruh asupan
Fe dengan kadar hemoglobin adalah sebesar 0,2%.
Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan Fe dengan kadar hemoglobin
(P value = 0,910).

Tabel 5. Hubungan Asupan Fe Dengan Kadar Hemoglobin


Variabel
Asupan Fe

R
0,044

R2
0,002

Zat besi adalah mineral yang dibutuhkan untuk


membentuk sel darah merah (hemoglobin). Selain itu,
mineral ini juga berperan sebagai komponen untuk
membentuk mioglobin (protein yang membawa
oksigen ke otot), kolagen (protein yang terdapat di
tulang, tulang rawan, dan jaringan penyambung), serta
enzim. Zat besi juga berfungsi dalam sistim
pertahanan tubuh. Namun, pada penderita thalasemia
terjadi kelebihan zat besi dalam tubuhnya, sehingga
dianjurkan
mengkonsumsi
makanan
yang
menghambat penyerapan zat besi seperti asam fitat,
asam oksalat dan tanin yang banyak terdapat pada
serealia, kacang-kacangan dan teh.
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau
hilangnya gen ditubuh yang membuat hemoglobin.
Hemoglobin adalah protein sel darah merah (SDM)

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Persamaan Garis
y = 9,016 - 0,060

P .Value
0,910

yang membawa oksigen. Orang dengan thalasemia


memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM yang
lebih sedikit dari orang normal yang akan
menghasilkan suatu keadaan anemia ringan sampai
berat, sehingga tidak berpengaruh pada asupan Fe dan
protein.
Kesimpulan Dan Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat
diambil kesimpulan adalah asupan energi, protein,
vitamin C dan Fe tidak terdapat hubungan dengan
kadar hemoglobin pada pasien thalasemia. Saran yang
diajukan yaitu diharapkan dapat lebih memotivasi
pasien thalasemia dengan cara membentuk suatu
perkumpulan khusus bagi anak-anak yang menderita
thalasemia sehingga asupan makan dapat terkontrol

92

ARTIKEL PENELITIAN

dan memberikan penyuluhan gizi di poli anak dengan


cara bekerja sama dengan ahli gizi di rumah sakit
sehingga asupan zat gizi yang di konsumsi dapat lebih
terkontrol dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Ganie, R.A. 2004. Kajian DNA Thalassemia
Alpha di Medan. USU Press: 41
2. Thalasemia International Federation (TIF). 2008.
Guidelines for the clinical management of
thalasemia.
http:/www.thalasemia.org.cy.
Diakses tanggal 22 januari 2014.
3. Rund, D. dan Rachmilewitz, E. 2005. Medical
Progress: thalasemia. The new England
Journal of Medecine, 353, 1135-49.
4. Thavorncharoensap, M.,et al. 2010. Factors
affecting health related quality of life in
thalassaemia.thai children with thalasemia.
Journal BMC Disord. Diakses tanggal 22 januari
2014
5. Indriati G, 2011. Pengalaman Ibu Dalam
Merawat Anak Dengan Thalasemia di Jakarta.

Jurnal Forum Kesehatan Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Depok : Universitas Indonesia Program Studi


Magister Ilmu Keperawatan. Diakses tanggal 22
januari 2014.
6. Mitayani, dan Sartika, W, 2010. Buku Saku Ilmu
Gizi. Trans Info Media. Jakarta
7. Almatsier, S. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru.
PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.
8. Andriani, M dan Wirjatmadi, B.2012. Pengantar
Gizi Masyarakat. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.
9. Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
10. WHO & Depkes RI. Modul C Pelatihan dan
Penilaian Pertumbuhan Anak WHO 2005.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
11. Proverawati, A. dan Wati, E.K. 2010. Ilmu Gizi
untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Nuha
Medika. Yogyakarta.
12. Kartasapoetra, G. dan Marsetyo, H. 2008. Ilmu
Gizi Korelasi Gizi, Kesehatan, dan Produktivitas
Kerja. Rineka Cipta. Jakarta.

93

Hesty, Suherni, Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Yogyakarta terhadap ODHA

Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Terhadap Orang


Dengan Hiv/Aids (ODHA)
Stigma determinant of Students Health Polytechnic of Yogyakarta towards ODHA

Hesty Widyasih1, Suherni2


Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Abstrak. Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Prevalensi kasus AIDS di DIY juga
meningkat. HIV dan AIDS sering dikaitkan dengan perilaku menyimpang. HIV tidak dapat disembuhkan
dan dapat menyebabkan kematian, sehingga menyebabkan stigma negatif ODHA di masyarakat termasuk
dari tenaga kesehatan. Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta sebagai calon tenaga kesehatan yang
dituntut untuk dapat memberikan asuhan yang tepat bagi pasien ODHA tidak terlepas dari stigma tersebut.
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi stigma mahasiswa Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta terhadap Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Penelitian ini merupakan
penelitian survei dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta tingkat 3. Teknik sampel dengan proportional random sampling
didapatkan jumlah sampel 190 responden. Pengambilan data dengan kuesioner. Analisis dilakukan dengan
analisis Univariate, bivariate (chi square) dan multivariate (regresi logistik). Tidak ada hubungan antara
tingkat pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA (p value=0.075). Ada
hubungan persepsi terhadap ODHA dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA (p value 0.000). Tidak ada
hubungan antara ketersediaan informasi tentang HIV/AIDS dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA (p
value=0.063). Ada hubungan antara pengalaman pertemu ODHA dengan stigma mahasiswa tentang ODHA
(p value= 0.034). Mahasiswa yang berpengalaman bertemu dengan ODHA mempunyai peluang untuk tidak
menstigma sebesar 2.047 kali lebih besar sedangkan yang mempunyai persepsi baik mempunyai peluang
untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi buruk
Kata Kunci: Stigma terhadap ODHA

Abstract. HIV/AIDS cases in Indonesia has increased The prevalence of AIDS cases in DIY also increased.
HIV and AIDS are often associated with deviant behavior. HIV is incurable and can lead to death, thus
causing a negative stigma of people living with HIV in the community, including health professionals.
Health polytechnic of Yogyakartas students as a potential health personnel who are required to provide
appropriate care for people living with HIV patients can not be separated from the stigma. The study
objective was to determine the factors that influence stigma Health polytechnic of Yogyakartas students
against people living with HIV/AIDS. This study was a cross sectional survey . The study was conducted in
Health polytechnic of Yogyakarta in June to August 2013. The study population was all students of Health
polytechnic of Yogyakarta grade 3 . Technics sampling obtained by random sampling proportional sample of
190 respondents . Data were taken by questionnaire. The analysis was performed by analysis univariate,
bivariate (chi-square) and multivariate (logistic regression) . There was no relationship between the level of
knowledge about HIV/AIDS and stigma against people living with HIV/AIDS (p value=0.075). There is a
relationship between the perception of people living with HIV/AIDS and stigma against people living with
HIV/AIDS (p value 0.000). There is no relationship between the availability of information about HIV/AIDS
and stigma against people living with HIV/AIDS (p value = 0.063 ). There is a relationship between the
experience to meet people living with HIV/AIDS and stigma against people living with HIV/AIDS (p value
= 0.034). Students experienced to meet people living with HIV/AIDS have the opportunity not to stigmatize
at 2,047 times greater, while having a good perception have the opportunity not to stigmatize 3,516 times
greater compared to a bad perception.
Keywords : Stigma against people living with HIV/AIDS

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

94

ARTIKEL PENELITIAN

Pendahuluan
Lebih dari 150 negara di dunia telah
melaporkan adanya penyakit infeksi HIV/AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS)
merupakan kumpulan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Penyakit infeksi HIV dan AIDS hingga kini
masih menjadi masalah kesehatan global. Masalah
yang berkembang sehubungan dengan penyakit
HIV dan AIDS adalah kejadian HIV/AIDS dan
kematian yang masih tinggi1.
Peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia
dalam 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008
sampai dengan 2012 menunjukkan peningkatan
yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari
Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan
Pengendalian Lingkungan (PPM dan PL)
Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2008
ditemukan kasus HIV di Indonesia sebanyak 489
kasus, AIDS sebanyak 4969 kasus. Sedangkan
tahun 2012 kasus HIV sebanyak 86762 kasus dan
untuk AIDS sebanyak 32103 kasus2.
HIV dan AIDS sering dikaitkan dengan
perilaku menyimpang seperti homoseksual, pekerja
seks, pengguna narkoba atau penyakit kutukan
Tuhan. HIV tidak dapat disembuhkan dan dapat
menyebabkan kematian, itulah alasannya mengapa
stigma negatif dan diskriminasi muncul di
masyarakat. Stigma dan diskriminasi dapat terjadi
di mana saja dan kapan saja.
Stigma dapat diartikan sebagai suatu bentuk
prasangka yang mencemarkan atau menolak
seseorang atau kelompok tertentu karena mereka
terlihat berbeda dari orang lain atau dari biasanya.
Stigma dapat dikategorikan sebagai perilaku
tertutup (covert behaviour) karena respon yang
timbul belum dapat diamati orang lain (dari luar)
secara jelas. Stigma sering kali menyebabkan
terjadinya diskriminasi yang pada gilirannya akan
mendorong munculnya pelanggaran HAM (Hak
Asasi Manusia) bagi ODHA dan keluarganya.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan
salah satu propinsi di Indonesia yang dikenal
sebagai kota pelajar dan kota pariwisata memiliki
tingkat lalu lintas manusia yang sangat tinggi yang
membawa serta berbagai kebudayaan dan sangat
memungkinkan terjadinya berbagai perilaku
berisiko tertular atau menularkan HIV dan AIDS3.
Jumlah kumulatif kasus AIDS berdasarkan kasus
tiap propinsi di Indonesia, propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan
kasus yang cukup signifikan dalam 4 tahun
terakhir2. Abell et al (2007) mengungkapkan bahwa
petugas kesehatan walaupun cukup ramah dengan
ODHA, akan tetapi tetap lebih suka untuk menjaga
jarak dan menghindari untuk bersentuhan secara
langsung4. Hal ini terkait dengan masih banyaknya

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

petugas kesehatan yang masih percaya dengan


mitos-mitos tentang penularan HIV.
Mahasiswa kesehatan sebagai calon-calon
tenaga kesehatan yang juga seharusnya lebih
paham tentang HIV/AIDS juga masih memiliki
sikap negatif terhadap ODHA. Mahasiswa
kesehatan diharapkan memiliki pengetahuan
tentang HIV/AIDS lebih baik dibandingkan
mahasiswa lain pada umumnya, akan tetapi
kenyataannya sikap mereka terhadap ODHA tidak
jauh berbeda dengan mahasiswa non kesehatan.
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
(Poltekkes Kemenkes) Yogyakarta merupakan
Institusi Pendidikan Kesehatan dengan status
negeri yang mencetak lulusan tenaga kesehatan
yang profesional. Sebagai calon tenaga kesehatan
yang profesional mahasiswa dituntut untuk dapat
memberikan asuhan yang tepat termasuk kepada
pasien dengan HIV/AIDS. Sebagaimana diketahui
HIV/AIDS menjadi salah satu fokus penanganan
dalam mencapai Millenium Development Goals.
Partisipasi semua pihak dibutuhkan dalam
mencapai hal ini termasuk institusi pendidikan
yang mendidik tenaga kesehatan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi stigma mahasiswa terhadap orang
dengan HIV/AIDS.
Metoda
Penelitian ini merupakan penelitian survei
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini
dilakukan di Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Subjek penelitian adalah mahasiswa tingkat 3
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Jurusan Analis
Kesehatan, Jurusan Gizi, Jurusan Kebidanan,
Jurusan Keperawatan, dan Jurusan Keperawatan
Gigi yang memenuhi kriteria yaitu bersedia
menjadi responden penelitian dan hadir pada saat
penelitian dilaksanakan. Pelaksanaan penelitian
pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013.
Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang
telah valid dan reliabel. Analisis data
menggunakan uji chi-square dan regresi logistik.
Hasil
Penelitian dilakukan pada 190 orang
mahasiswa tingkat 3 Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta. Hasil tabulasi silang tingkat
pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma
Mahasiswa terhadap ODHA disajikan dalam tabel
1 menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak
menstigma adalah yang memiliki pengetahuan baik
yaitu sebesar 72,3%. Dari hasil analisis Chi square
didapatkan nilai p value 0.075 (>0.05) yang berarti
bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma
Mahasiswa terhadap ODHA.

95

Hesty, Suherni, Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Yogyakarta terhadap ODHA

Tabel 1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Stigma tentang HIV/AIDS dengan Stigma


terhadap ODHA
Stigma
p
x2
value
Variabel
Tidak
Menstigma
total
Menstigma
n
%
n
%
n
%
Tingkat
Pengetahuan
Baik
47
72.3
18
27.7
65
100
3.177
0.075
Kurang
74
59.2
51
40.8
125
100
Persepsi ODHA
Baik
76
76.8
23
23.2
99
100
15.299 0.000
Kurang
45
49.5
46
50.5
91
100
Ketersediaan
Informasi
Lengkap
73
69.5
32
30.5
105
100
3.461
0.063
Kurang
48
56.5
37
43.5
85
100
Pengalaman
Bertemu
Tidak
44
55
36
45
80
100
4.506
0.034
Pengalaman
77
70
33
30
110
100
Kurang
48
56.5
37
43.5
85
100

Hasil tabulasi silang persepsi terhadap ODHA


dengan stigma Mahasiswa terhadap ODHA
disajikan dalam tabel 1 menunjukkan bahwa
mahasiswa yang tidak menstigma adalah
mahasiswa yang mempunyai persepsi terhadap
ODHA pada kategori baik yaitu sebesar 76,8%.
Dari hasil analisis Chi square didapatkan nilai p
value 0.000 (<0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan persepsi terhadap ODHA dengan stigma
Mahasiswa terhadap ODHA.
Hasil tabulasi silang Ketersediaan Informasi
tentang HIV/AIDS dengan Stigma Mahasiswa
terhadap ODHA disajikan dalam tabel 1
menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak
menstigma adalah mereka yang mempunyai

ketersediaan informasi HIV/AIDS lengkap yaitu


sebesar 69,5%.
Dari hasil analisis Chi square didapatkan nilai
p value 0.063(>0.05) yang berarti bahwa tidak ada
hubungan antara ketersediaan informasi tentang
HIV/AIDS dengan stigma mahasiswa terhadap
ODHA.
Hasil tabulasi pengalaman Bertemu ODHA
dengan stigma mahasiswa tentang ODHA disajikan
dalam tabel 1 menunjukkan bahwa mahasiswa yang
tidak menstigma adalah mereka yang mempunyai
pengalaman bertemu ODHA yaitu sebesar 70%.
Dari hasil analisis Chi square didapatkan nilai
p value 0.034(<0.05) yang berarti bahwa ada
hubungan antara pengalaman pertemu ODHA
dengan stigma mahasiswa tentang ODHA

Tabel 2 Hasil analisis regresi logistik


Variabel
Pengalaman Bertemu ODHA
Persepsi terhadap ODHA
Constant

p value
0.026
0.000

Exp
(B)
2.047
3.516

95% CI for Exp (B)


Lower
Upper
1.089
3.848
1.866
6.625

B -0.441

Dari hasil analisis multivariat didapatkan 2


(dua) variabel bebas yang secara statistik
berpengaruh pada stigma tentang ODHA yang
ditunjukkan dengan p value <0.05. Tabel 5
menunjukkan
bahwa
mahasiswa
yang
berpengalaman bertemu dengan ODHA mempunyai
peluang untuk tidak menstigma sebesar 2.047 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

berpengalaman bertemu ODHA. Demikian pula


untuk persepsi mahasiswa terhadap ODHA, yang
mempunyai persepsi baik mempunyai peluang
untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali
dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi
buruk.

96

ARTIKEL PENELITIAN

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang
HIV/AIDS dengan stigma Mahasiswa terhadap
ODHA. Pengetahuan akan membentuk keyakinan
tertentu sehingga seseorang berperilaku sesuai
dengan keyakinannya. Namun demikian perubahan
pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan
perilaku. Semakin tinggi pengetahuan dan
pemahaman seseorang tentang HIV/AIDS akan
mengurangi ketakutan irrasional yang dapat
memicu munculnya stigma terhadap ODHA.
Pengetahuan yang komprehensif tentang HIV/AIDS
dapat mengurangi bahkan menghilangkan mitos
atau kepercayaan yang salah tentang HIV/AIDS
yang pada akhirnya dapat menghentikan bahkan
mengurangi epidemi HIV/AIDS yang terkait
dengan stigma.
Hasil penelitian didapatkan bahwa ada
hubungan persepsi terhadap ODHA dengan stigma
Mahasiswa terhadap ODHA. Hasil analisis dengan
regresi logistik menunjukkan mahasiswa yang
mempunyai persepsi baik mempunyai peluang
untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali
dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi
buruk. Persepsi seseorang merupakan proses aktif
yang memegang peranan, bukan hanya stimulus
yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu
kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya,
motivasi serta sikapnya yang relevan dalam
menanggapi stimulus5. Persepsi yang baik
mengakibatkan mahasiswa berperilaku tidak
menstigma.
Persepsi terhadap penderita HIV/AIDS
berkaitan dengan nilai-nilai, seperti rasa malu
(shame), sikap menyalahkan (blame), dan
menghakimi (judgement) yang berhubungan dengan
penyebab penyakit AIDS. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Cock di Afrika
menemukan bahwa perilaku menstigma terhadap
penderita HIV/AIDS berhubungan dengan rasa
malu (shame) dan menyalahkan (blame) yang
berhubungan dengan penyakit tersebut6.
Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak ada
hubungan antara ketersediaan informasi tentang
HIV/AIDS dengan stigma mahasiswa terhadap
ODHA. Responden mendapatkan informasi tidak
hanya di kampus. Mereka mengakses internet,
menonton televisi, mengikuti seminar dan lain
sebagainya. Menurut UNAIDS pendidikan tentang
HIV/AIDS yang paling efektif dilakukan melalui
pendidikan seks dan kesehatan di institusi
pendidikan atau melalui pendidikan teman
sebaya7,8.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Materi HIV/AIDS telah diberikan kepada


mahasiswa melalui mata kuliah yang ada di masingmasing jurusan. Meskipun belum ada mata kuliah
khusus tentang HIV/AIDS, namun kewaspadaan
universal telah diberikan dalam perkuliahan.
Pencegahan infeksi juga diajarkan kepada
mahasiswa sebagai bagian dari kewaspadaan
universal. Tidak hanya dari dosen yang
memberikan materi HIV/AIDS tetapi pembimbing
lahan praktik juga mengajarkan kepada mahasiswa.
Materi HIV/AIDS juga didapat mahasiswa melalui
seminar-seminar maupun kegiatan kemahasiswaan
seperti Saka Bhakti Husada.
Hasil penelitian didapatkan bahwa ada
hubungan antara pengalaman pertemu ODHA
dengan stigma mahasiswa tentang ODHA. Ini
menunjukkan pentingnya pengalaman nyata bagi
mahasiswa untuk bertemu ODHA agar mahasiswa
berperilaku tidak menstigma. Kesalahpahaman
tentang bagaimana HIV ditularkan dan cara
pencegahannya merupakan pemicu munculnya
stigma terhadap ODHA9. Hasil analisis dengan
regresi logistik menunjukkan bahwa mahasiswa
yang berpengalaman bertemu dengan ODHA
mempunyai peluang untuk tidak menstigma sebesar
2.047 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
tidak berpengalaman bertemu ODHA. Sikap akan
lebih mudah terbentuk apabila pengalaman
pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional10. Pengalaman bertemu ODHA
membentuk sikap dalam diri mahasiswa dan
kemungkinan menimbulkan perilaku tidak
menstigma. Tidak adanya pengalaman sama sekali
dengan suatu objek cenderung akan membentuk
sikap negatif terhadap objek tersebut11. Hal ini
sesuai dengan hasil pada penelitian ini bahwa
mahasiswa yang tidak punya pengalaman bertemu
ODHA maka lebih berpeluang untuk menstigma.
Kesimpulan dan Saran
Tidak
ada
hubungan
antara
tingkat
pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan stigma
Mahasiswa terhadap ODHA. Ada hubungan
persepsi terhadap ODHA dengan stigma Mahasiswa
terhadap ODHA. Tidak ada hubungan antara
ketersediaan informasi tentang HIV/AIDS dengan
stigma Mahasiswa terhadap ODHA. Ada hubungan
antara pengalaman pertemu ODHA dengan stigma
mahasiswa tentang ODHA. Mahasiswa yang
berpengalaman bertemu dengan ODHA mempunyai
peluang untuk tidak menstigma sebesar 2.047 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
berpengalaman bertemu ODHA. Mahasiswa yang
mempunyai persepsi baik mempunyai peluang
untuk tidak menstigma sebesar 3.516 kali
dibandingkan dengan yang mempunyai persepsi
buruk.

97

Hesty, Suherni, Determinan Stigma Mahasiswa Poltekkes Yogyakarta terhadap ODHA

Bagi pengajar baik dosen maupun pembimbing


lapangan mahasiswa praktikan sebaiknya memberi
pengarahan dan informasi yang cukup tentang
HIV/AIDS kepada mahasiswa sehingga saat
bertemu ODHA tidak timbul keraguan dalam
melakukan penatalaksanaan dan mencegah stigma
terhadap ODHA. Bagi institusi Poltekkes
Kemenkes
Yogyakarta
sebaiknya
memberi
pengalaman nyata pada mahasiswa untuk
berinteraksi langsung dengan ODHA baik berupa
ekstrakurikuler maupun dimasukkan dalam mata
kuliah sesuai dengan jurusan masing-masing.
Daftar Pustaka
1. Nasronudin. HIV dan AIDS: Pendekatan
Biologi Molekuler, Klinis dan Sosial.
Surabaya: UNAIR; 2007.
2. Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia: Dilapor s.d. Desember 2011.
Jakarta: Ditjen PPM dan PL Depkes RI. 2011.
3. Suyono,
Yeni
dan
Iskandar
Zulkarnain.Virology and Natural History of
HIV". Berkala, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Airlangga Periodical of DermatoVenerology Vol. 8 No. 2 Agustus 2006
Airlangga University Press. 2006
4. Abell, N.R., S.E; McCann, T.J, & Padmore, J.,
Examining HIV/AIDS Provider Stigma. AIDS
Care, 2007. 19(2)(Assesing Regional Concern
In The Islands of The Eastern Carribean).
5. Walgito B. Pengantar psikologi umum, Andi
Offset. Yogyakarta; 2004.
6. Cock KMD, Mbori-Ngaca D, Marum M.
Shadow on the content: public health and
HIV/AIDS in Africa in the 21st century. The
Lancet, 2002.360;67-72.
7. UNAIDS. Fight Stigma and Discrimination To
Win the War Against HIV / AIDS. Jakarta:
Kesreprodotinfo; 2002.
8. UNAIDS. Voluntary Counseling and Testing.
Best Paractise Collection. Technical Update;
pp 1-12; 2000.
9. Aggleton P, Parker R, UNAIDS. World AIDS
campaign 2002-2003: A conceptual framework
and basis for action HIV/AIDS stigma and
discrimination 2002 [diunduh 04 November
2010]. Tersedia dari http://www.eldis.org.
10. Notoatmojo, S., Konsep perilaku dan perilaku
Kesehatan. Promosi kesehatan dan Ilmu
Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
11. Azwar, S., Sikap Manusia (Teori dan
Pengukurannya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

98

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Analisis Implementasi Pojok Laktasi Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Analysis of the Lactation Room Implementation in Public Hospital dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Lola Meyasa
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. ASI merupakan intervensi yang paling efektif untuk mencegah kematian anak, karena ASI
menyediakan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang yang sehat dan memberikan antibodi terhadap
berbagai penyakit infeksi dan alergi. Cakupan pemberian ASI untuk Kalimantan Tengah menurun cukup
tajam dari 29,2% tahun 2010 menjadi 17,1% tahun 2011. Untuk Kota Palangka Raya dari 30,2% tahun 2010
menjadi 19,5% tahun 2011. RSUD dr. Doris Sylvanus berkomitmen sebagai RSSIB dan mendukung program
ASI eksklusif, diantaranya dengan menyediakan pojok laktasi di 3 ruangan. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis bagaimana implementasi pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Metode
penelitian adalah kualitatif, dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi langsung. Informan
utama 3 orang Karu penanggung jawab pojok laktasi dan informan triangulasi petugas ruangan, pasien ibu
menyusui, konselor ASI, Kabid Yanmed RSUD dr. Doris Sylvanus, Kasi Yankes Dinkesprov Kalimantan
Tengah. Analisis data menggunakan metode analisis isi. Implementasi pojok laktasi di RSUD dr. Doris
Sylvanus sudah sesuai peraturan yang ada, yaitu merupakan bagian dari program RSSIB, RS PONEK dan
syarat akreditasi RS. Pemanfaatannya lebih ditujukan untuk pasien, meskipun tidak ada larangan kepada
pegawai untuk menyusui dan/atau memerah ASI di lingkungan RS. Pelayanan konseling yang diberikan di
pojok laktasi diantaranya ASI eksklusif, perawatan bayi, dan KB. Komunikasi tentang pojok laktasi belum
jelas karena tidak ada sosialisasi. SDM maupun fasilitas sudah sesuai standar, hanya penempatan beberapa
konselor ASI masih belum tepat. Struktur birokrasi masih belum efektif, karena belum ada juknis dan SOP
khusus pojok laktasi, serta adanya fragmentasi dengan banyaknya tim. Disarankan untuk RS diantaranya
melakukan sosialisasi, membuat SOP dan alur mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Dinkesprov juga
diharapkan melakukan advokasi dan koordinasi untuk penyusunan Perda ASI.
Kata kunci : pojok laktasi, implementasi kebijakan, ASI eksklusif.
Abstract. Exclusive breastfeeding is the most effective intervention to prevent mortality in children because
it provides nutrition needed for the growth of the babies and supplies antibodies toward numerous infections
and allergens. Exclusive breastfeeding in Central Kalimantan gradually decreased from 29.2% in 2010 to
17.1% in 2011. In Palangka Raya, it was from 30.2% in 2010 to 19.5% in 2011. Public Hospital dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya committed as Baby Friendly Hospital and support exclusive breastfeeding program,
provides lactation room in three places. The objective of this study was to analyze how implementation of
the lactation room in Public Hospital dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. This research was a qualitative
research done by using in-depth interview and direct observations. The main informants in this study were
three ward managers who were responsible for the lactation room program and the triangulations informant
in this study were staff, breastfeeding mom, breastfeeding counselor and manager of Medical Service of
Public Hospital dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, section manager of Health Service of Central Kalimantan
Provincial Health Office. The method of analyzing the data in this study was content analysis method. The
implementation of lactation room showed that the availability of the lactation room was an integral part in
Mother and Baby Friendly Hospital, Comprehensive Emergency Obstetric Neonatal Care and as the
requirement of hospital accreditation. The utilization of the lactation room was focused for patients.
Communication regarding to the lactation room had not done yet because there was no socialization. Human
resources and facilities had been complied the standard. Bureaucracy structure was not effective yet because
they do not have any technical guidances and standard operational procedures towards lactation rooms
implementation and fragmentation. It was suggested to the hospital to socialize, make a standard operational
procedure and have a clear mechanism of responsibility. The Provincial Health Office was also urged to
advocate and make coordination headed for breastfeeding policy.
Keywords: lactation room, policy implementation, exclusive breastfeeding.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

99

ARTIKEL PENELITIAN

Pendahuluan
AKB Kota Palangka Raya pada tahun 2011
tercatat 10,8 per 1000 kelahiran hidup (KH),
meningkat dari tahun 2010 tercatat 4,6 per 1000
kelahiran hidup dan lebih tinggi dibanding dengan
target Renstra Kota Palangka Raya tahun 2011 yaitu
sebesar 1,3 per 1.000 KH. Sedangkan AKABA di
Kota Palangka Raya tahun 2011 sebesar 11,39 per
1000 KH, meningkat dari tahun 2010 sebesar 1,60
per 1000 KH. ASI eksklusif adalah pemberian ASI
tanpa makanan tambahan lain pada bayi berumur
nol sampai enam bulan, merupakan intervensi yang
paling efektif untuk mencegah kematian anak,
karena ASI menyediakan nutrisi yang dibutuhkan
untuk tumbuh kembang yang sehat dan memberikan
antibodi terhadap berbagai penyakit infeksi dan
alergi.1-3
Hasil terbaru dari SDKI 2012 cakupan
pemberian ASI eksklusif di Indonesia adalah 27%.
Cakupan ASI eksklusif Kalimantan Tengah tahun
2009 sebesar 63,2% menjadi 29,2% pada tahun
2010 dan turun lagi menjadi 17,1% pada tahun
2011. Cakupan pemberian ASI eksklusif Kota
Palangka Raya berfluktuasi dari 12,8% tahun 2009,
naik menjadi 30,2% di tahun 2010 dan turun cukup
tajam menjadi 19,5% di tahun 2011. Cakupan
pemberian ASI eksklusif dipengaruhi banyak hal,
seperti peraturan perundangan tentang ASI yang
baru dikeluarkan, belum maksimalnya kegiatan
advokasi, komunikasi, edukasi, informasi (KIE)
terkait pemberian ASI, masih kurangnya
ketersediaan sarana prasarana dan tenaga konselor
ASI, belum optimalnya pembinaan kelompok
pendukung ASI, serta promosi dan pemasaran susu
formula yang kadang sulit untuk dikendalikan.1-3
Menyadari kekayaan manfaat ASI eksklusif
bagi bayi, Pemerintah telah menerbitkan beberapa
peraturan dalam rangka meningkatkan program ASI
eksklusif di Indonesia, diantaranya Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI
secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia, Peraturan
Bersama
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan,
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor 48 /
Men.PP/XII/2008, Nomor PER.27/MEN/XII/2008,
Nomor
1177/Menkes/PB/XII/2008
tentang
Peningkatan Pemberian ASI selama Waktu Kerja di
Tempat Kerja, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun
2009 Pasal 128 ayat (1) tentang bayi berhak
mendapatkan ASI sejak dilahirkan selama 6 bulan
kecuali atas indikasi medis, Peraturan Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03
Tahun 2010 tentang Penerapan 10 Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui (LMKM), serta PP
Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang
Pemberian ASI Eksklusif.4-8

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Program ASI di tempat kerja sangat penting


dan memiliki nilai strategis mengingat jumlah
pekerja perempuan di Indonesia cukup besar,
menurut SDKI 2007 sebesar 57% dari total jumlah
pekerja. Bekerja menuntut ibu untuk meninggalkan
bayinya dalam jangka waktu yang cukup lama
setiap harinya, sehingga pemberian ASI eksklusif
semakin sulit. Keberhasilan program ASI di tempat
kerja akan sangat berdampak pada keberhasilan
program ASI secara nasional.9-10
Hasil survei pendahuluan yang dilakukan pada
Maret-April 2013 diketahui bahwa RSUD dr. Doris
Sylvanus telah menjadi RS sayang ibu dan bayi
(RSSIB) dan RS dengan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) sejak
tahun 2010. RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya telah menerapkan 10 LMKM yang didukung
dengan adanya 3 pojok laktasi, yaitu di Poli
Kandungan, Poli Tumbuh Kembang dan Ruang
Perinatologi, serta 4 orang petugas konselor ASI.
Pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya dibuat sebagai salah satu syarat sebagai
RSSIB, RS PONEK dan akreditasi RS, yang
bertujuan untuk membantu pasien ibu-ibu menyusui
atau ibu-ibu yang bayinya dirawat di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya agar dapat menyusui
bayinya atau memerah ASI dengan terjaga
privasinya. Beberapa petugas kesehatan yang
bekerja di 3 ruangan yang memiliki pojok laktasi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
menyatakan belum pernah mendapatkan sosialisasi,
seminar maupun pelatihan khusus mengenai pojok
laktasi, seperti yang diungkapkan berikut ini:
Meskipun penyuluhan mengenai ASI eksklusif
selalu dilakukan, tetapi sosialisasi dan pemanfaatan
pojok laktasi secara khusus diakui masih jarang
dilakukan. Para pegawai di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya yang sedang menyusui
tidak pernah menggunakan pojok laktasi untuk
menyusui atau memerah ASI. Hal ini dibenarkan
oleh pihak Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi
Kalimantan Tengah yang menyatakan sosialisasi
mengenai ASI eksklusif secara umum sudah sering
dilakukan, tetapi belum ada yang khusus mengenai
pojok laktasi. Ini disebabkan belum adanya
Peraturan Daerah (Perda) atau kebijakan lebih
lanjut dari peraturan tentang ASI eksklusif yang
sudah ada. Hasil observasi ditemukan bahwa
fasilitas atau peralatan yang tersedia di pojok laktasi
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya belum
lengkap sesuai ketentuan.4-8, 11-13 Hal-hal tersebut
menunjukkan adanya permasalahan dalam
implementasi kebijakan yang berkaitan dengan
pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya.

100

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Pojok laktasi atau menurut PP Nomor 33 Tahun


2012 disebut sebagai Ruang ASI, yaitu fasilitas
khusus berupa ruang untuk menyusui dan/atau
memerah ASI yang disediakan di tempat kerja dan
tempat sarana umum. Tempat kerja dan tempat
sarana umum dimaksud diantaranya adalah
perusahaan dan perkantoran milik Pemerintah,
Pemerintah Daerah dan swasta, pusat perbelanjaan,
serta fasilitas pelayanan kesehatan. Adapun
ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyediaan fasilitas khusus tersebut diatur dengan
Peraturan Menteri.8 Pojok laktasi atau ruang ASI
harus memenuhi persyaratan kesehatan seperti
lokasi bebas pajanan, lingkungan yang tenang,
penerangan dan sirkulasi udara cukup.11
Implementasi merupakan proses dan suatu
hasil (output), dimana keberhasilannya dapat diukur
atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil
akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuantujuan yang ingin diraih. Perlu ditekankan bahwa
implementasi kebijakan tidak akan ada apabila
tujuan dan sasaran belum ditetapkan atau
diidentifikasi oleh pembuat kebijakan, sehingga
dari peraturan perundang-undangan yang telah
tersedia perlu dirumuskan menjadi kebijakan yang
operasional.14-15
Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan yang merupakan suatu
sistem yang saling berkaitan bekerja secara
simultan dan berinteraksi satu sama lain, yaitu
komunikasi, sumber-sumber atau sumberdaya,
disposisi atau sikap, serta struktur birokrasi. Selain
berdampak langsung pada implementasi kebijakan,
faktor komunikasi juga memberikan pengaruh
langsung dan tidak langsung kepada ketiga faktor
lainnya. Jika komunikasi dilaksanakan dengan baik
dan benar, serta didukung dengan sumberdaya,
sikap pelaksana dan struktur birokrasi yang baik,
maka suatu kebijakan diharapkan akan dapat
dijalankan dengan baik pula.16

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dan subjek penelitian sebanyak 15 orang yang
ditentukan secara pusposive. Metode pengumpulan
data dengan wawancara mendalam, observasi
dengan lembar observasi, serta survei pendahuluan
dan pencatatan dari berbagai dokumen/literatur
yang berkaitan dengan implementasi kebijakan
pojok laktasi. Pengolahan dan analisis data
menggunakan metode analisis isi, meliputi
pengumpulan data, reduksi data, verifikasi data,
disajikan secara deskriptif.17-19

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Hasil Dan Pembahasan Karakteristik Informan


Utama (IU) dan Informan Triangulasi (IT)
IU dalam implementasi ebijakan pojok laktasi
di RSUD dr. Doris Sylvnus Palangka Raya adalah 3
orang, yaitu Kepala Ruang (Karu) Perinatologi,
Karu Poli Kandungan dan Karu Poli Tumbuh
Kembang yang juga merupakan penanggung jawab
pojok laktasi yang ada di ruangan mereka masingmasing. Semua Karu berjenis kelamin perempuan,
saat dilakukan wawancara berumur 50, 52 dan 55
tahun, dengan pendidikan terakhir masing-masing
adalah lulusan D III Keperawatan, D III Kebidanan
dan S1 Keperawatan. Masa kerja ketiga IU masingmasing adalah 28, 30 dan 34 tahun. IT dalam
penelitian ini sebanyak 11 orang perempuan dan 1
orang laki-laki. Terdiri dari beberapa kelompok,
yaitu petugas ruangan berusia 40, 42 dan 54 tahun,
pengguna (ibu menyusui) berusia 22, 23 dan 33
tahun, konselor ASI berusia 39 dan 44 tahun, pihak
manajerial RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya dan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Tengah berusia 42 dan 49 tahun.

Implementasi Pojok Laktasi


Implementasi pojok laktasi dalam penelitian ini
meliputi penyediaan dan pemanfaatan pojok laktasi.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa
menurut sebagian besar IU dan IT selama ini belum
ada kebijakan tertulis dan sosialisasi khusus
mengenai pemberian ASI selama waktu kerja di
tempat kerja dan pojok laktasi di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Yang ada hanya berupa
kesepakatan atau komitmen bersama mengenai
pelaksanaan rawat gabung dan IMD, serta
pemberian ASI eksklusif di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Salah seorang IT dari
pihak manajerial RS menyatakan bahwa
penyediaan pojok laktasi di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya adalah sesuai standar
nasional RSSIB dan RS PONEK, seperti yang
diungkapkan berikut ini:
----RS Doris Sylvanus ini beberapa program
itu justru kita ee.. dapat kan dari pusat ni..
Hampir semua ya, pusat. ---- Tetapi, belum
tentu di tingkat satu itu sudah ada aturan,
sehingga tidak menjadi itu... bukan brarti kita
tidak bisa melaksanakan. Yang ada di Doris
Sylvanus itu adalah pada prinsipnya di
pelayanan itu kami melakukan sesuai standar.
Dengan standar nasional utamanya.---Kebetulan salah satunya program kesehatan
ibu dan anak, khusus untuk PONEK,
kemudian khusus untuk RS sayang ibu dan
sayang bayi----, bahwa memang harus
terdapat, terdapat pojok laktasi. Jadi,
sebenarnya memenuhi standar sih itu, pada
intinya memenuhi standar. (ITPM)

101

ARTIKEL PENELITIAN

Dalam
pedoman
pelaksanaan
RSSIB
dinyatakan bahwa RS membuat kebijakan tertulis
tentang manajemen yang mendukung pelayanan
kesehatan ibu dan anak termasuk pemberian ASI
eksklusif. RS dapat mengembangkan pelaksanaan
program tersebut, salah satunya dengan mempunyai
ruang dan klinik laktasi dengan konselor menyusui
yang siap 24 jam.20 Hal ini berarti dalam
pelaksanaannya pojok laktasi di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya telah memiliki dasar
kebijakan tertulis yang jelas, yaitu berdasarkan
pedoman pelaksanaan RSSIB dan RS PONEK.
Dalam pedoman pelaksanaan RSSIB dan RS
PONEK, disebutkan bahwa Ruang Menyusui
sebagai salah satu Pelayanan Penunjang Medik bagi
ibu yang bayinya masih dirawat dan tempat
penyimpanan ASI perah, baik dari ibunya sendiri
atau dari donor, itu sebabnya penyediaan pojok
laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus lebih
diperuntukkan bagi pasien.21 Namun demikian,
menurut pernyataan semua IU dan sebagian besar
IT, tidak ada batasan atau larangan kepada pegawai
untuk menyusui dan/atau memerah ASI di
lingkungan RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya. Hanya saja karena beberapa alasan seperti
kuatir anak tertular penyakit, atau kurang leluasa
karena harus melayani banyak pasien, sehingga
para pegawai lebih memilih pulang untuk
menyusui.
Sebagaimana yang tercantum dalam UU
Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 128 ayat (2) dan (3)
mengenai penyediaan waktu dan fasilitas khusus
bagi ibu menyusui, pemerintah dan masyarakat
harus mendukung ibu untuk menyusui secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus di
tempat kerja dan tempat sarana umum.6 Selain
sebagai tempat sarana umum, yaitu fasilitas
pelayanan kesehatan bagi masyarakat, RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya adalah tempat kerja
bagi para pegawainya. Mengingat ada banyak
pegawai perempuan di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya, maka penyediaan waktu atau
kesempatan yang seluas-luasnya bagi pegawai
untuk menyusui sudah sesuai peraturan. Meskipun
demikian, idealnya pojok laktasi bagi para pegawai
juga perlu disediakan. Mengenai hal ini Pemerintah
sudah membuat kebijakan yang jelas diantaranya
seperti yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, SKB 3 Menteri
Tahun 2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI
selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, UU RI
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, serta
yang terbaru adalah pada Permenkes Nomor 15
Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas
Khusus Menyusui dan/atau Memerah ASI.5, 22-24
Ada berbagai kendala yang dihadapi para
pelaksana dalam penerapan pojok laktasi di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, seperti fasilitas
yang masih kurang, tidak adanya SK, kurangnya

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

motivasi dari para petugas, ruangannya yang hanya


di tempat-tempat tertentu, serta pasien ibu-ibu
menyusui yang kurang percaya diri untuk
menyusui. Penyediaan fasilitas dan penempatan
pojok laktasi hanya pada beberapa ruangan di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (Poli
Tumbuh Kembang, Poli Kebidanan dan
Kandungan, Ruang Perinatologi) didasarkan pada
pedoman RSSIB dan RS PONEK. Pojok laktasi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
merupakan bagian integral dari penerapan
kebijakan RSSIB dan RS PONEK, yang dalam
pedoman
pelaksanaannya
memang
tidak
mencantumkan tentang pembuatan SK khusus
mengenai pojok laktasi. Yang ada yaitu Direktur RS
membuat SK tentang Pemberian ASI dan penerapan
kode
pemasaran
PASI
terkait
dengan
penyelenggaraan RSSIB dan SK tim PONEK untuk
mendukung program PONEK.20-21
Berdasarkan pernyataan dari para IU dan IT,
diketahui bahwa berbagai upaya telah dilakukan
dan dipertimbangkan oleh para pelaksana dan pihak
manajerial terkait implementasi pojok laktasi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

Faktor Komunikasi
Semua IU dan sebagian besar IT dari kelompok
petugas, ibu menyusui dan konselor ASI
menyatakan mereka belum pernah menerima
informasi berupa sosialisasi khusus mengenai
implementasi pojok laktasi dari pihak manajerial
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Hal ini
menyebabkan pemahaman para pelaksana akan
dasar kebijakan dari disediakannya pojok laktasi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
cenderung masih kurang jelas, seperti yang
diungkapkan salah seorang informan berikut ini:
Mana ada? Jangankan yang tertulis,
sosialisasi saja tidak pernah lagi. Bagaimana
mau bagus pojok laktasinya, kalau sosialisasi
tidak ada, petugas tidak ada, segala
strukturnya tidak jelas nah..? ---- Tidak ada
dari RS. (ITP 2)
Sedangkan IT dari pihak manajerial RS
menyatakan informasi awal mengenai pojok laktasi
berasal dari pusat, yaitu dari pedoman pelaksanaan
RSSIB. Meskipun informasi khusus mengenai
pojok laktasi belum disampaikan dengan baik dan
jelas oleh pihak manajerial RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya, tetapi informasi mengenai
ASI eksklusif sudah disampaikan kepada para
pelaksana serta diteruskan kepada pasien maupun
sesama petugas dengan baik dan jelas. Sosialisasi
adalah sebuah proses penanaman atau transfer
kebiasaan atau nilai atau aturan melalui komunikasi
dari individu/kelompok atau suatu tingkatan,

102

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

kepada individu/kelompok atau tingkatan yang lain.


Pengetahuan atas apa yang akan dikerjakan dapat
berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik,
dimana setiap keputusan dan peraturan pelaksanaan
harus ditransmisikan (dikomunikasikan) secara
jelas dan konsisten kepada para pelaksana agar
tidak
menimbulkan
kebingungan
dalam
penerapannya.14, 16

Faktor Sumber Daya


Dari segi kuantitas dan kualitas SDM
pelaksana pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya sebenarnya sudah memenuhi
standar yang ada. Meskipun demikian masih ada
petugas yang belum menerima pelatihan konselor
ASI sesuai yang ditentukan dalam peraturan yang
terkait penyediaan pojok laktasi, sebagaimana yang
diungkapkan salah seorang informan berikut ini:
Kalau saya tidak pernah pelatihan
(konselor) ASI, tapi ----jika (ada) yang
salah, itu.. saya beritahu. Kalau yang khusus
pojok laktasi tidak ada sih.. Yang tentang
ASI eksklusif juga tidak ada. APN. KB pasca
salin. APN kan termasuk di dalamnya
tentang IMD. (IU 2)
Selain itu, penempatan beberapa orang
konselor ASI dalam mendukung pelayanan di pojok
laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya,
dirasa masih belum tepat. Hal ini didasari pada
adanya beberapa konselor ASI yang bertugas di
ruangan lain yang tidak memiliki pojok laktasi,
sedangkan salah satu pojok laktasi di Poli
Kebidanan dan Kandungan tidak memiliki konselor
ASI sama sekali. Sumber daya yang paling penting
dalam implementasi suatu kebijakan adalah SDM
atau staf pelaksana. Selain dilihat dari segi
kuantitas, kualitas SDM juga penting untuk
diperhatikan
dalam
rangka
keberhasilan
implementasi suatu kebijakan. 14, 16
Hasil wawancara mendalam IU dan IT
menyatakan meskipun tidak ada informasi
mengenai tata cara penerapan pojok laktasi di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, tetapi
tingkat kepatuhan petugasnya sudah baik. Hal ini
disebabkan semua petugas menganggap pelayanan
yang diberikan di pojok laktasi sudah menjadi
bagian dari pekerjaan mereka sehari-hari. Informasi
merupakan salah satu sumberdaya yang penting
dalam implementasi kebijakan, demikian juga
dalam implementasi pojok laktasi di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya, karena kurangnya
informasi dari para pejabat tinggi seringkali
menyebabkan kekaburan atas perintah-perintah
implementasi,
sehingga
menyebabkan
implementasi secara keseluruhan kurang optimal.14,
16

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Semua Karu, petugas ruangan dan konselor


ASI di ketiga ruangan yang memiliki pojok laktasi
memiliki kewenangan yang sama dalam
memberikan konseling atau penyuluhan bagi
pasien-pasien ibu menyusui yang datang.
Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi
bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan
yang ditetapkan secara politik dan umumnya harus
bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan.
Wewenang ada dalam banyak bentuk, dari memberi
bantuan sampai memaksakan perilaku. Kadang
wewenang itu tidak ada, bahkan di atas kertas
sekalipun (wewenang formal).14, 16
Berdasarkan jawaban dari para informan
diketahui bahwa fasilitas di pojok laktasi RSUD dr.
Doris Sylvanus masih belum lengkap. Hal ini
didukung dengan hasil observasi langsung yang
menggunakan standar persyaratan pojok laktasi di
Poliklinik/Perkantoran/Tempat Kerja menurut
Buku Pedoman ASI Pemberdayaan Perempuan
dalam Peningkatan Pemberian ASI.11 Dalam
Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana RS Kelas B
Tahun 2010 dicantumkan kebutuhan berbagai
ruangan. Khusus untuk ruang laktasi pada instalasi
rawat jalan, disana disebutkan kebutuhannya adalah
ruangan dengan luas 6 12 m2 dan fasilitas
meliputi kursi, meja, wastafel/sink dan water
dispenser.
Sedangkan
pada
Pedoman
Penyelenggaraan PONEK 24 jam di Rumah Sakit
tertulis kriteria dari area laktasi meliputi ruangan
berukuran minimal 6 m2, dilengkapi dengan kursi,
wastafel dan tempat sampah. Berdasarkan dua
pedoman terakhir tersebut, fasilitas di pojok laktasi
RSUD dr. Doris Sylvanus sudah memenuhi
persyaratan.21, 25

Faktor Disposisi/Sikap
Dari hasil wawancara mendalam diketahui
bahwa memang tidak ada penunjukkan petugas
khusus sebagai pengelola atau penanggung jawab
pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus, yang ada
adalah SK Direktur tentang ASI eksklusif. Hal ini
terlihat dari pernyataan salah satu informan di
bawah ini:
Tidak ada.. Tidak pernah ada segala
penunjukkan khusus pojok laktasi. Semua ja
kami di sini...Iya...langsung kepala ruangan
ja. (IU 2)
Adanya kesadaran dari para Karu untuk
langsung bertanggung jawab terhadap pengelolaan
pojok laktasi, merupakan bentuk disposisi atau
sikap yang baik. Mengingat Karu adalah orang yang
tentunya paling mengerti permasalahan yang ada di
ruangannya termasuk dalam hal pojok laktasi, tentu
hal ini juga akan berdampak positif terhadap
implementasi pojok laktasi secara keseluruhan.

103

ARTIKEL PENELITIAN

Berdasarkan pernyataan dari IU dan IT


diketahui bahwa tidak ada pemberian insentif bagi
petugas yang mengelola atau memberikan
pelayanan di pojok laktasi di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya. Karena pada umumnya
orang bertindak menurut kepentingan mereka
sendiri,
maka
para
pembuat
kebijakan
memanipulasi insentif untuk mempengaruhi
tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara
menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin
akan menjadi faktor pendorong yang membuat para
pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan
baik. Adanya kesadaran yang baik dari para
pelaksana bahwa tugas pelayanan yang mereka
lakukan di pojok laktasi merupakan bagian integral
dari pekerjaan mereka setiap hari, sehingga
meskipun mereka tidak diberi insentif, pelayanan di
pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya tetap dapat berjalan.14, 16

Faktor Strukur Birokrasi


Berdasarkan jawaban dari semua IU dan
sebagian besar IT maka dapat disimpulkan bahwa
belum ada juknis, juklak, SOP, mekanisme
pencatatan dan pelaporan khusus terkait penerapan
pojok laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya. Yang ada saat ini adalah SOP yang berkaitan
dengan pemberian ASI eksklusif, seperti SOP IMD,
cara memerah ASI dan perawatan payudara, seperti
yang diungkapkan salah seorang informan di bawah
ini:
SOP untuk IMD ada.. SOP untuk..., kalau
yang kaya bayi kecil-bayi kecil mereka di situ
pang.. Memerah ASI ada.. Cara memerah
ASI.. Puting susu, puting yang terbelah, yang
masuk ada.. SOPnya. Kalau yang khusus
pojok laktasi kadada pang.. (ITK 2)
Selain itu, diketahui adanya fragmentasi yang
terlihat dari pelayanan yang diberikan di masingmasing ruangan dan dibentuknya berbagai tim yang
terkait dengan penerapan pojok laktasi di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya. Namun semuanya
merupakan suatu pelayanan kesehatan ibu dan anak
yang kesinambungan dan saling terkait satu dengan
yang lain, yang pada akhirnya bertujuan sama yaitu
untuk mendukung program ASI eksklusif, RSSIB
dan RS PONEK. Dengan adanya SOP para
pelaksana kebijakan pojok laktasi dapat
memanfaatkan waktu yang tersedia secara optimal.
Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakantindakan dari para pejabat dalam organisasi yang
kompleks dan tersebar luas seperti di tingkat
Pemerintah Daerah tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Dengan begitu mereka akan lebih
fleksibel dan memiliki pemahaman yang sama
dalam penerapan peraturan-peraturan yang berlaku,
termasuk kebijakan yang berkaitan dengan pojok

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

laktasi. Sedangkan fragmentasi adalah upaya


penyebaran tanggung jawab kegiatan-kegiatan atau
aktifitas-aktifitas pegawai diantara beberapa unit
kerja. Fragmentasi mempengaruhi kecenderungan
dalam beberapa hal, salah satunya pembentukan
banyak badan dengan tanggung jawab yang sempit
akan mendorong pengembangan perilaku yang
selanjutnya dapat mengakibatkan pertentangan
birokrasi dan kurangnya kerjasama.14, 16

Kesimpulan dan Saran


Penyediaan pojok laktasi di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya bukan merupakan suatu
kebijakan yang berdiri sendiri melainkan bagian
integral dari implementasi beberapa program RS
seperti ASI eksklusif, RSSIB, RS PONEK serta
dalam rangka memenuhi syarat akreditasi RS,
sehingga pemanfaatannya lebih ditujukan kepada
pasien, sesuai dengan tujuan dan sasaran dari
program RSSIB dan RS PONEK. Pegawai RS
masih sangat jarang memanfaatkan karena belum
tersedia ruang menyusui khusus untuk pegawai dan
akses dari tempat tinggal ke tempat kerja atau
sebaliknya masih mudah. Faktor komunikasi dalam
implementasi kebijakan pojok laktasi di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya dilihat dari transmisi
dan kejelasan, penyampaian informasi atau
sosialisasi mengenai penerapan pojok laktasi belum
pernah dilakukan dengan jelas oleh pihak
manajerial RS. Kuantitas dan kualitas SDM
pelaksana sudah memenuhi standar yang ada.
Informasi tentang tata cara penerapan pojok laktasi
masih belum ada, tetapi tingkat kepatuhan
petugasnya sudah baik. Tidak ada perbedaan
kewenangan antara Karu dan petugas dalam
menerapkan pojok laktasi. Fasilitas di pojok laktasi
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya sudah
memenuhi standar sesuai Pedoman Teknis Sarpras
RS Kelas B dan RSSIB. Disposisi/sikap semua
pelaksana dalam implementasi kebijakan pojok
laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
adalah mendukung, meskipun tidak ada
penunjukkan khusus dan insentif. Masih belum ada
juknis, SOP, pencatatan dan pelaporan khusus
mengenai penerapan pojok laktasi di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya, serta banyaknya tim
yang dibentuk sebagai upaya penyebaran tanggung
jawab (fragmentasi) menyebabkan penerapan pojok
laktasi cenderung tumpang tindih dan terkesan
kurang efektif.

104

Lola Meyasa, Analisis Implementasi Pojok Laktasi di RSUD dr. Doris Sylvanus

Kepustakaan
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Profil Kesehatan Indonesia 2010. In. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2011:35-38.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Tengah.
Profil
Kesehatan
Provinsi
Kalimantan Tengah 2010. In. Palangka Raya:
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Tengah; 2011.
3. Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya. Profil
Kesehatan Kota Palangka Raya 2011. In.
Palangka Raya: Dinas Kesehatan Kota
Palangka Raya; 2012.
4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 450/Menkes/SK/IV/2004
tentang Pemberian ASI secara Eksklusif pada
Bayi di Indonesia. In. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2004:1-3.
5. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan
Bersama
Menteri
Negara
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri
Kesehatan Nomor 48/Men.PP/XII/2008,
Nomor
PER.27/MEN/XII/2008,
Nomor
1177/Menkes/PB/XII/2008
tentang
Peningkatan Pemberian ASI selama Waktu
Kerja di Tempat Kerja. In. Jakarta:
Kementerian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi,
Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia; 2008:1-6.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. In. Jakarta,
Republik Indonesia: Pemerintah Republik
Indonesia; 2009:47-48.
7. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 tentang
Penerapan Sepuluh Langkah Menuju
Keberhasilan
Menyusui.
In.
Jakarta:
Kementerian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia; 2010:1-28.
8. Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif. In. Jakarta: Pemerintah Republik
Indonesia; 2012:1-26.
9. Riyadi S. Tinjauan terhadap Peraturan
Pemerintah tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif, Perspektif Regulasi. 2012.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

10. Wilar R. Sukses Menyusui Saat Bekerja. In:


Indonesia Menyusui, ed. Rulina Suradi dkk.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
11. Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup
Perempuan.
Buku
Pedoman
ASI
Pemberdayaan
Perempuan
dalam
Peningkatan Pemberian ASI. Jakarta:
Kementerian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia; 2008.
12. Bupati Klaten. Peraturan Daerah Kabupaten
Klaten Nomor 7 Tahun 2008 tentang Inisiasi
Menyusu Dini dan Air Susu Ibu Eksklusif. In.
Klaten: Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten;
2008:1-8.
13. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Keputusan Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 435/2008 tentang
Pemberian ASI Secara Dini (Inisiasi Menyusu
Dini) bagi Ibu Melahirkan di Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2008. In
Jakarta: Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 2008: 1-4.
14. Agustino L. Dasar-dasar Kebijakan Publik.
Jakarta: CV Alfabeta Bandung; 2008.
15. Nugroho R. Kebijakan Publik: Formulasi,
Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo; 2004.
16. Winarno B. Kebijakan Publik Teori dan
Proses Edisi Revisi. Yogyakarta: Media
Pressindo; 2008.
17. Moleong L. J. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya; 2011.
18. Saryono, Dwi Anggraeni M. Metodologi
Penelitian
Kualitatif
dalam
Bidang
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
19. Bungin B. Analisis Data Penelitian Kualitatif
Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada; 2012.
20. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Pelaksanaan Program Rumah Sakit Sayang
Ibu dan Bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2009.
21. Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
Pedoman Penyelenggaraan PONEK 24 jam di
Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2012.
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 tentang Ketenagakerjaan. In. Jakarta,
Republik Indonesia: Pemerintah Republik
Indonesia; 2003.
23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. In.
Jakarta, Republik Indonesia: Pemerintah
Republik Indonesia; 2009.

105

ARTIKEL PENELITIAN

24. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.


Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui
dan/atau Memerah Air Susu Ibu. In. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
2013.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

25. Pusat Sarana, Prasarana dan Peralatan


Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana
Rumah Sakit Kelas B. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2010.

106

Seri Wahyuni, Analisis Fungsi Pelaksanaan Program ASI Ekslusif oleh Bidan

Analisis Fungsi Pelaksanaan Program Asi Eksklusif Oleh Bidan


Factional Analysis on Exclusive Breastfeeding Implementation by Midwifes

Seri Wahyuni
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Bidan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan program ASI. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis fungsi pelaksanaan program ASI Eksklusif oleh bidan puskesmas di Kota
Palangkaraya. Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam
menggunakan pedoman wawancara mendalam. Informan utama dalam penelitian ini adalah empat bidan yang
telah mengikuti pelatihan program ASI Eksklusif. Informan triangulasi Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan
Dasar dan Staf Gizi Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya, Kepala Puskesmas, Bidan koordinator, Ibu Hamil
dan Ibu menyusui. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa cakupan ASI Eksklusif masih rendah dari target yang
ditetapkan nasional. Rendahnya cakupan ASI Eksklusif tidak hanya dipengaruhi oleh petugas kesehatan saja
tetapi dapat dipengaruhi oleh faktor lain yaitu: faktor pengetahuan ibu, faktor sosial budaya, faktor psikologis
ibu, faktor demografi, belum adanya peraturan walikota tentang ASI Eksklusif. Disamping itu pula faktor
motivasi, komunikasi, kepemimpinan, pengarahan, pengawasan dan supervisi juga berpengaruh terhadap
rendahnya cakupan ASI Eksklusif. Saran untuk pemerintah agar membuat peraturan walikota tentang ASI
Eksklusif dan membuat anggaran untuk program ASI Eksklusif. dan agar mengkomunikasikan program ASI
Eksklusif kepada petugas kesehatan secara rutin dan berkelanjutan serta melibatkan semua pihak yang terkait.
Bagi bidan agar dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan kesehatan tentang pentingnya ASI Eksklusif bagi
pertumbuhan bayi kepada ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui dengan melibatkan keluarga, tokoh
masyarakat dan tokoh agama.
Kata kunci: Fungsi Pelaksanaan, Program ASI Eksklusif, Bidan
Abstract. Midwifes have important role in successful exclusive breastfeeding. This research aimed to analyze
on the implementation function of exclusive breastfeeding program at primary healthcare centers in Palangka
Raya. The study was a qualitative study. Data was collected through in-depth interview using interview
guideline. The main informant were four midwifes who have been trained on exclusive breastfeeding program.
Triangulation informants were head of basic health service and nutrition staff at health department in Palangka
Raya, head of primary healthcare center, midwife coordinator, pregnant women and breastfeeding mother. The
research result shows the coverage of exclusive breastfeeding was still very low from national target. Low
coverage exclusive breastfeeding not only influenced by providers but also influenced by another factor:
knowladge factor, social and culture factor, psychological mother factor, demography factor, there was not
local regulations about exclusive breastfeeding. Beside that motivation factor, communication, leadership,
directing, controlling and supervision also affect to low coverage exclusive breastfeeding. It is suggestion to
government to make local regulation about exclusive breastfeeding and make budget for exclusive
breastfeeding. For health department in Palangka Raya to administer a communication exclusive breastfeeding
for health worker regularly and involve all parties. For midwives association, they enhance their role for
promotion exclusive breastfeeding by socialization on health education about the importance of exclusive
breastfeeding for infant growth to the pregnant women, labor mothers and breastfeeding mothers with their
family, community leaders and religious leaders.
Key words: Implementation Function, Exclusive Brestfeeding Program and Midwifes
Pendahuluan
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah
satu
indikator
yang
digunakan
untuk
menggambarkan status kesehatan masyarakat.
Menurut SDKI tahun 2012, AKB di Indonesia
masih tinggi yaitu 31 per 1000 kelahiran hidup.1
Beberapa penyebab kematian bayi dan balita di
Indonesia adalah infeksi, termasuk infeksi saluran
nafas dan diare. Selain itu, masalah gizi seperti
kurang kalori dan protein, juga menjadi salah satu
penyebab kematian bayi di Indonesia. Masalah gizi
berkaitan erat dengan rendahnya pemberian ASI

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Eksklusif. Masalah gizi dapat menyebabkan


gangguan psikomotor, kognitif dan sosial.2
Gangguan tumbuh-kembang pada anak di
bawah umur lima tahun (balita) di Indonesia antara
lain disebabkan ibu tidak taat dalam memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya. Dalam rangka
penurunan angka kematian bayi dan kejadian gizi
buruk Organisasi Kesehatan Dunia atau World
Health Organization (WHO) pada tahun 2001
merekomendasikan agar bayi baru lahir mendapat
ASI eksklusif selama enam bulan.3

107

ARTIKEL PENELITIAN

Begitu banyak penelitian dan survey yang


menyatakan manfaat dan keuntungan dari
pemberian ASI Eksklusif baik bagi ibu, bagi bayi,
bagi keluarga dan masyarakat, namun ironisnya
cakupan ASI Eksklusif masih sangat rendah.
Menurut data SDKI 2012, praktek pemberian ASI
Eksklusif pada bayi sampai usia 4-5 bulan hanya
27%, dan sampai usia 6-8 bulan sebesar 3,4%.
Sedangkan cakupan ASI Eksklusif di Kalimantan
Tengah adalah 17,1% dan angka ini masih rendah
dibandingkan dengan target standar pelayanan
minima (SPM) yang telah ditetapkan pemerintah
sebesar 80%.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa
kesadaran masyarakat Indonesia untuk pemberian
ASI juga masih sangat memprihatinkan. Banyak
aspek yang mempengaruhi pelaksanaan pemberian
ASI Eksklusif antara lain adalah ibu menyusui
menghadapi banyak hambatan yang berhubungan
dengan pelayanan yang diperoleh di tempat
persalinan4-6, dukungan yang diberikan oleh anggota
keluarga di rumah7-8, banyaknya ibu yang belum
dibekali pengetahuan yang cukup tentang teknik
menyusui yang benar dan manajemen kesulitan
laktasi9-10, termasuk tantangan yang dihadapi oleh
ibu bekerja11, selain itu praktek pemberian ASI
Eksklusif juga diketahui banyak dipengaruhi oleh
budaya dan norma yang berkembang dikalangan
anggota keluarga, rekan dan masyarakat secara
umum.9, 11
Keberhasilan program ASI Eksklusif juga
sangat dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan
motivasi bidan/dokter penolong persalinan itu
sendiri.12 Hal ini didukung pula oleh pernyataan
Siregar A (2004), bahwa keberhasilan menyusu dini
banyak dipengaruhi oleh sikap dan perilaku petugas
kesehatan (dokter, bidan,perawat) yang pertama kali
membantu ibu selama proses persalinan. Selain itu
keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh
suami, keluarga, petugas kesehatan dan masyarakat.
Oleh karena itu sikap dan perilaku petugas
kesehatan khususnya bidan yang didasari
pengetahuan tentang ASI Eksklusif sebelumnya,
besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pemberian
ASI Eksklusif itu sendiri.
Selain faktor ibu dan faktor petugas kesehatan,
adanya dukungan politis pemerintah baik pusat
maupun kota/daerah sangatlah penting dalam
keberhasilan program ASI Eksklusif tersebut.
Selama ini dukungan yang diberikan baik dari WHO
maupun dari pemerintah pusat sudah memadai tetapi
dukungan pemerintah kota Palangka Raya masih
sangat kurang yang dibuktikan belum adanya
peraturan walikota tentang ASI Eksklusif di Kota
Palangka Raya. Menurut data dari profil dinas
kesehatan Kota Palangka Raya menunjukkan
cakupan ASI Eksklusif tahun 2010 sebesar 30,2%
dan tahun 2011 semakin mengalami penurunan
menjadi 19,5%, dan cakupan tersebut masih rendah

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

dan berada di bawah Standar Pelayanan Minimal


(SPM) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Palangkaraya
tahun 2011 yaitu sebesar 70%.
Puskesmas mempunyai dua puluh (20) program
pokok kesehatan salah satunya adalah kesehatan Ibu
dan Anak (KIA) dan program peningkatan gizi. Pada
tingkat puskesmas bidan diberi wewenang sebagai
pemegang program ASI Eksklusif. Peran dan fungsi
bidan di Puskesmas adalah 1) memberikan
pelayanan medis pada masa kehamilan (Antenatal
Care) di sebut bimbingan persiapan menyusui
(BPM) yang meliputi mempersiapkan psikis ibu,
pemeriksaan payudara terutama puting susu,
penyuluhan tentang manfaat ASI dan kerugian susu
buatan, penyuluhan tentang rawat gabung dan
manfaatnya, penyuluhan atau konsultasi gizi ibu
hamil. 2) bimbingan ibu menyusui (BIM) pada masa
postnatal meliputi membimbing ibu mengenai
teknik menyusui yang benar, perawatan payudara
pasca persalinan, memantau masalah menyusui pada
ibu, memberikan penyuluhan atau konsultasi gizi
bayi dan ibu menyusui, perawatan bayi, tumbuh
kembang bayi, KB dan lain-lain.13
Pelaksanaan merupakan salah satu unsur
penting dalam fungsi manajemen. Pencapaian hasil
target baru akan terealisasi bila program tersebut
telah dilaksanakan, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan program merupakan
tahapan yang sangat penting dalam fungsi
manajemen bahkan jauh lebih penting daripada
pembuat/penetapan program.
Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan
program ASI Eksklusif adalah diharapkan mampu
merubah perilaku bidan, sehingga bidan selalu
melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam
setiap pertolongan persalinan serta selalu
mendukung pemberian ASI Eksklusif misalnya
dengan memberikan penyuluhan tentang ASI
Eksklusif pada ibu sejak Ante Natal Care (ANC)
sampai menyusui, dan tidak memberikan susu
formula pada bayi setelah lahir. Oleh sebab itu
petugas kesehatan mempunyai peran yang sangat
besar dalam keberhasilan program ini. Petugas
kesehatan dalam hal ini bidan dapat menjadi faktor
pendorong/pendukung namun juga dapat menjadi
faktor penghambat keberhasilan program ASI
Eksklusif tersebut.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang
dilakukan peneliti pada bulan Mei 2013 terhadap 10
bidan di Kota Palangka Raya, didapatkan hasil 9
dari 10 bidan memiliki motivasi yang baik dalam
pelaksanaan prorgam pemberian ASI Eksklusif, 3
dari 10 bidan menyatakan bahwa program tentang
ASI Eksklusif belum disampaikan secara rutin baik
dari Dinas Kesehatan Kota (DKK) Palangka Raya
kepada Kepala Puskesmas, Bidan Koordinator dan
bidan pelaksana. 3 dari 10 bidan menyatakan bahwa
belum menyampaikan program ASI Eksklusif pada
setiap pemeriksaan kehamilan, pertolongan dan

108

Seri Wahyuni, Analisis Fungsi Pelaksanaan Program ASI Ekslusif oleh Bidan

nifas pada ibu serta keluarga dekat seperti suami,


nenek. 2 dari 10 bidan masih ada yang memberikan
susu formula pada bayi dengan alasan ASI belum
keluar. 9 dari 10 bidan menyatakan belum pernah
menyampaikan program ASI eksklusif kepada tokoh
masyarakat dan tokoh agama. 5 dari 10 bidan
menyatakan bahwa DKK Palangka Raya, Kepala
Puskesmas dan Bidan Koordinator belum
memberikan pengarahan, pengawasan dan supervisi
kepada bidan dalam pelaksanaan program ASI
Eksklusif. Dan dari 10 ibu yang bersalin normal di
pelayanan kesehatan, 8 diantaranya tidak pernah
diberi informasi mengenai ASI Eksklusif oleh bidan
sejak saat hamil, 9 dari 10 ibu menyatakan belum
pernah diberikan informasi mengenai ASI eksklusif
setelah melahirkan, sebanyak 10 ibu menyatakan
tidak pernah diberikan perawatan payudara baik
pada masa kehamilan dan masa nifas, 2 dari 10 ibu
menyatakan belum memberikan MP ASI berupa
susu formula, madu sebelum bayi berusia 6 bulan
dan 4 dari 10 menyatakan bayinya diberi susu
formula oleh bidan dengan alasan ASI belum keluar
pada hari 1-3. Selain itu informasi dari staf gizi dkk
Palangkaraya menyatakan bahwa belum ada
dukungan politis dalam bentuk Peraturan Daerah
(Perda) dan dana yang memadai untuk pelaksanaan
program ASI Ekslusif.

Metode Penelitian
Penelitian ini ini merupakan penelitian
kualitatif dan subjek penelitian sebanyak 18 orang
yang ditentukan secara purposive. Metode
pengumpulan data dengan wawancara mendalam,
serta survei pendahuluan dan pencatatan dari
berbagai dokumen dan/literatur yang berkaitan
dengan pelaksanaan program ASI Eksklusif.
Pengolahan dan analisis data menggunakan metode
analisis isi, meliputi pengumpulan data, reduksi
data, verifikasi data, disajikan secara deskriftif.
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Informan Utama (IU) dan
Informan Triangulasi (IT)
IU bidan puskesmas sebanyak 4 orang. IT
Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Staf
Gizi Dinas Kesehatan Kota Palangka Raya, 4 orang
Kepala Puskesmas,4 orang bidan koordinator,2
orang ibu hamil dan 2 orang ibu menyusui.
Cakupan ASI Eksklusif
Berdasarkana Data yang di dapat dari Profil
Kesehatan Kota Palangka Raya.di dapatkan cakupan
ASI Eksklusif di 4 Puskesmas Pahandut, Jekan
Raya, Kereng Bangkirai, Kalampangan sebagai
berikut:

Gambar 1.1 Cakupan ASI Eksklusif di 4 Puskesmas Pahandut, Jekan Raya,


Kereng Bangkirai dan Kalampangan
40

PKM Pahandut

30
PKM Jekan Raya
20
PKM Kereng
Bangkirai

10

PKM Kalampangan

0
2011

2012

Gambar diatas memperlihatkan sebagian besar


adanya peningkatan cakupan ASI Eksklusif pada
tahun 2013 dibandingkan cakupan tahun 2012
namun masih berada jauh dari target nasional
sebesar 80%. Rendahnya cakupan ASI Eksklusif
tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh petugas
kesehatan khususnya bidan tetapi juga dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
pengetahuan ibu menyusui yang masih kurang,
faktor sosial budaya, psikologis, faktor biologis,
faktor demografi dan belum adanya kebijakan
pemerintah kota dalam bentuk peraturan walikota
tentang ASI Eksklusif.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Agu-13
Faktor Motivasi
Sebagian besar IU dan IT mengatakan bahwa
pemberian motivasi tentang ASI Eksklusif dimulai
sejak ibu hamil atau saat datang periksa hamil
pertama kali. Walaupun bidan sudah memotivasi
ibu hamil, bersalin dan ibu menyusui untuk
memberikan ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan
namun masih saja ditemui hambatan/kendala dalam
pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif antara lain
kebayakan para ibu lebih memilih susu formula
pada hari 1-2 dengan alasan ASI belum keluar dan
ibu merasa kelelahan, ibu dan keluarga yang kurang
menyadari pemberian ASI Eksklusif, ibu
mempunyai ketakutan dengan menyusui akan
mempengaruhi bentuk payudara, takut tidak

109

ARTIKEL PENELITIAN

berhasil menyusui dan sulit menyusui jika ibu


bekerja dan kurangnya dukungan dari keluarga.
Masih minimnya dukungan dari tokoh agama dan
tokoh masyarakat setempat juga menjadi salah satu
faktor penghambat dalam pelaksanaan program
tersebut.
Faktor Komunikasi
Sebagian besar IU dan IT mengatakan untuk
komunikasi/penyampaian informasi program ASI
Eksklusif dari Dinas Kesehatan Kota Palangka
Raya kepada bidan sudah dilakukan dalam bentuk
pertemuan/sosialisasi namun kegiatan ini belum
rutin dilaksanakan dan masih banyak pihak yang
terkait belum dilibatkan khususnya bidan pelaksana
karena
yang
sering
diundang
dalam
pertemuan/sosialisasi adalah kepala puskesmas dan
bidan koordinator. Hal ini menyebabkan
pemahaman sebagian bidan pelaksana akan penting
pelaksanaan program ASI Eklusif masih belum
menyeluruh. Hal ini dibenarkan oleh IT
menyatakan bahwa pada saat pertemuan/sosialisasi
tidak semua bidan pelaksana diundang hanya
perwakilan saja hal ini dikarenakan terbatasnya
tempat dan dana untuk pelaksanaan kegiatan
tersebut. Pelaksanaan program yang efektif sangat
ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana
program secara akurat dan konsisten. Koordinasi
dalam bentuk komunikasi merupakan mekanisme
yang ampuh dalam pelaksanaan program ASI
Eksklusif. Semakin baik koordinasi komunikasi
diantara pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
program tersebut, maka akan semakin kecil
kesalahan yang dilakukan dan demikian
sebaliknya14.
Faktor Kepemimpinan
Sebagian besar IU dan IT mengatakan bahwa
pimpinan (DKK Palangkaraya, Kepala Puskesmas
dan Bikor) selalu berusaha memotivasi untuk
melaksanakan program ASI Eksklusif. Tugas
sebagai seorang pimpinan dalam pelaksanaan
program ASI Eksklusif sudah dijalankan dengan
cukup baik. Diharapkan sebagai seorang pimpinan
tidak hanya sekedar mendorong atau memberi
motivasi saja kepada bawahan tetapi juga dapat
membantu orang yang dipimpinnya agar
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
program ASI Eksklusif. Sebagai seorang pemimpin
juga harus mampu menggerakan bawahannya
dalam hal ini bidan pelaksana agar senantiasa
terpacu untuk melaksanakan program ASI Eklusif
sehingga diharapkan target cakupan ASI Ekslusif
yang telah dibuat dapat tercapai dengan baik14.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Faktor Pengarahan
Berdasarkan jawaban sebagian IU mengatakan
bahwa ada pengarahan baik dari Dinas Kesehatan
Kota Palangka Raya maupun Kepala Puskesmas
untuk pelaksanaan program ASI Eksklusif. Hal ini
juga dibenarkan oleh IT bahwa Pengarahan dalam
pelaksanaan program ASI Ekslusif oleh Dinas
Kesehatan Kota Palangka Raya sudah dilakukan
namun pengarahannya terkadang diintegrasikan
dengan kegiatan/program yang lain, dan terkadang
pengarahan dibuat berupa surat edaran atau
menindaklanjuti surat dari Dinas Kesehatan
Provinsi mengenai program ini untuk disampaikan
kepada pelaksana program tersebut. Pengarahan
pada hakekat adalah keputusan keputusan pimpinan
yang dilakukan agar kegiatan-kegiatan yang
direncanakan dapat berjalan dengan baik. Dengan
pengarahan (directing) diharapkan adanya kesatuan
perintah (unity of command) artinya dengan
pengarahan ini akan ada kesamaan bahasa yang
harus dilaksanakan oleh para pelaksana sehingga
tidak terjadi kesimpangsiuran yang dapat
membingungkan para pelaksana program14.
Faktor Pengawasan
Pengawasan ialah melakukan penilaian dan
sekaligus koreksi terhadap setiap penampilan
karyawan untuk mencapai tujuan seperti yang telah
ditetapkan dalam rencana. Sebagian besar IU
mengatakan bahwa bentuk pengawasan (penilaian
dan koreksi) dari Dinas Kesehatan Kota Palangka
Raya yaitu dalam bentuk laporan KIA. IT juga
membenarkan hal ini bahwa pengawasan dalam
pelaksanaan program ASI Eksklusif oleh Dinas
Kesehatan Kota Palangka Raya kepada bidan
pelaksana di puskesmas masih dalam bentuk
pengawasan tidak langsung/administratif yaitu
penilaian dari laporan bulanan, tetapi untuk
pengawasan langsung sangat jarang dilakukan.
Padahal pengawasan secara langsung juga penting
dilakukan guna melihat secara langsung kondisi
sebenarnya dilapangan dan melakukan penilaian
atau koreksi apabila terjadi kesalahan khususnya
dalam pelaksanaan program ASI Eksklusif. Dalam
pengawasan masih ditemui beberapa hambatan
yaitu pengawasan yang dilakukan masih belum
spesifik hal ini disebabkan karena program ASI
Eksklusif belum menjadi prioritas program
kesehatan khususnya di Kota Palangka Raya14.
Faktor Supervisi
Elemen yang penting dari manajemen suatu
program adalah supervisi. Tanpa adanya supervisi
sangat sulit kiranya obyektif suatu program dapat
dicapai secara efisien dan efektif. Sebagian besar
informan utama menyatakan bahwa supervisi dari
DKK Kota Palangka Raya kepada bidan di
Puskesmas tidak pernah dilakukan. Namun IT
mengatakan bahwa supervisi pernah dilakukan

110

Seri Wahyuni, Analisis Fungsi Pelaksanaan Program ASI Ekslusif oleh Bidan

namun sangat jarang dilakukan dan hanya bersifat


umum/tidak spesifik. Proses supervisi perlu
dilakukan oleh pimpinan untuk melihat apa yang
dilakukan oleh bawahan, melakukan penilaian
kinerja dan memberikan saran untuk tindak lanjut
perbaikan. Kegiatan supervisi ini pada dasarnya
merupakan bimbingan teknis, fasilitasi dan
pendampingan kepada staf atau pelaksana program
pada level dibawahnya. Seorang kepala Bidang di
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus mampu
melakukan supervisi (bimbingan teknis, fasilitasi
dan pendampingan) terhadap anak buah di Dinas
Kabupaten/Kota maupun pelaksana program di
Puskesmas dan UPT lainnya sampai dengan tingkat
poskesdes
dalam
proses
pelaksanaan
kegiatan/program agar dapat mencapai kinerja
program yang optimal14.
Kesimpulan dan Saran
Rendahnya cakupan ASI Eksklusif di Kota
Palangka Raya bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
petugas kesehatan khususnya bidan saja tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor pengetahuan ibu, Faktor
sosial budaya, faktor psikologi ibu dan faktor
demografi serta belumnya adanya dukungan politis
dari pemerintah kota Palangka Raya terkait
peraturan daerah tentang ASI Eksklusif. Bidan
puskesmas sudah memberikan motivasi tentang
ASI Eksklusif kepada ibu hamil, bersalin dan
menyusui namun masih saja ditemui kendala dalam
pelaksanaan pemberian ASI Eksklusif terutama dari
faktor ibu dan kurangnya dukungan keluarga
Pelaksanaan program ASI Eklusif dipengaruhi oleh
faktor motivasi, komunikasi, kepemimpinan,
pengarahan, pengawasan dan supervisi. Saran
disampaikan kepada pemerintah agar membuat
peraturan walikota tentang ASI Eksklusif dan
membuat anggaran untuk program ASI Eksklusif.
Bagi dinas kesehatan Kota Palangka Raya agar
mengkomunikasikan, melakukan pengarahan,
pengawasan dan supervisi program ASI Eksklusif
kepada petugas kesehatan secara rutin dan
berkelanjutan serta melibatkan semua pihak yang
terkait. Bagi ikatan bidan daerah meningkatkan
perannya untuk promosi ASI Eksklusif. Bagi bidan
agar dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan
kesehatan tentang pentingnya ASI Eksklusif bagi
pertumbuhan bayi kepada ibu hamil, ibu bersalin
dan ibu menyusui dengan melibatkan keluarga,
tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Jurnal Forum Kesehatan, Volume IV Nomor 8, Agustus 2014

Daftar Pustaka
1. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia.
Jakarta; 2012.
2. Soetjiningsih. Asi Petunjuk Untuk Tenaga
Kesehatan. Jakarta: EGC; 2012.
3. Kervin BE, Kemp L, Pulver LJ. Types and
Timing of Breastfeeding Support and Its
Impact on Mothers Behaviours. Paediatrics
and Child Health 2010 (46: 85-91).
4. Badan Pusat Statistik-Statistics Indonesia
(BPS) and ORC Macro. 2003. In.
Calverton,Maryland,
USA;
Indonesia
Demographic and Health Survey 2002-2003.
5. Septiari AM FJaBS. Practice and attitude of
midwives towards the current exclusive
breastfeeding recommendation until 6 months:
A qualitative study in North. Jakarta:
SEAMEO-TROPMED Regional Center for
Community
Nutrition,
University
of
Indonesia; 2006.
6. WHO. Community Based Strategis for
Breastfeeding Promotion and Support in
Developing Country: WHO; 2007.
7. Green CP. Improving breastfeeding behaviors:
Evidence from two decades of intervention
research. Washington DC, USA: LINKAGES
Project; 1999.
8. Lawrence RA and Lawrence RM.
Breastfeeding: A guide for the medical
profession . 6th edition. Philadelphia. USA:
Mosby Inc; 2005.
9. Giugliani ERJ. Common problems during
lactation and their management. J Pediatr
(Rio J) 2004;80 (5 Suppl):S147-S154.
10. Arora S, McJunkin C, Wehrer J, Kunh P.
Major factors influencing breastfeeding rates:
mother's perception of father's attitude and
milk
supply.
Available
at:
www.pediatrics.org/cgi/content/full/106/5/e6
7. Accessed on May 29.
11. Ong G YM, Li FL, and Choo TB.,. Impact of
working status on breastfeeding in Singapore:
Evidence from the National Breastfeeding
Survey 2001. Eur J Public Health 2005;15
(4):424-430.
12. Rahajuningsih Tri. Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan Ibu Tentang ASI dengan
Pemberian Kolostrum Dan ASI Eksklusif Di
Kelurahan purwoyoso Kecamatan Ngaliyan:
UGM; 2005.
13. Perinasai. Bahan Bacaan Manajemen Laktasi.
Jakarta; 2010.
14. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan
Binarupa Aksara; 2010.

111

PEDOMAN PENULISAN NASKAH


1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan.
2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang
ditujukan
kepada
Forum
Kesehatan,
belum
dipublikasikan di tempat lain.
3. Komponen naskah:
Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf
dan spasi.
Teks naskah ditulis dengan huruf Times New Roman
size 11pt.
Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman
pertama.
Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup
masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang,
sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian.
Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi,
sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul
data, prosedur analisa data.
Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif
hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan,
bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir.
Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian
tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas.
Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada.
4. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai
dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi
25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun
terakhir.
Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama
depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti dkk (et
al).
Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar,
selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan
orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris
bawah dan ditebalkan hurufnya.
Artikel Jurnal Penulis Individu:
Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T,
Villalpando S. Impact of the Mexican Program for
Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth
and Anemia in infants and young children a
randomized effectiveness study. JAMA. 2004;
291(21):2463-70.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi
Diabetes Prevention Program Research Group.
Hypertension, insulin, and prosulin in participants with
impaired
glucose
tolerance.
Hypertension.
2002;40(5):679-86.

Buku yang ditulis Individu:


Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource
Management: Present and Future Challenges. St. Louis:
Mosby;1998.
Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide,
Departement of Clinical Nursing. Compendium of
nursing research and practice development, 1999-2000.
Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.
Bab dalam Buku:
Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor
Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor.
Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.
Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262.
Artikel Koran:
Tynan T. Medical improvements lower homicide rate:
study sees drop in assault rate. The Washington Post.
2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4).
CD-ROM:
Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual
Health[CD ROM], London: Reproductive Health
Matters;2005.
Artikel Jurnal di Internet:
Griffith, AI. Cordinating Family and School:
Mothering for Schooling, Education Policy Analysis
Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ;
102 (3): [about 3 p.]. Available from:
http://olam.ed.asu.edu/epaa/.
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative
care for cancer [monograph on the internet].
Washington: National Academy Press; 2001 [cited
2002
Jul
9].
Available
from:
http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.
Situs Internet:
Canadian Cancer Society [homepage on the internet].
Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12;
cited
2006
Oct
17].
Available
from:
http://www.cancer.ca/.
5. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda,
ditulis dengan program komputer Microsoft Word,
dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen
tertulis.
6. Naskah harus disertai surat pengantar yang
ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada
permintaan tertulis.
7. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal Forum
Kesehatan, Perpustakaan Gedung B Lantai 2
Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George
Obos No.32 Palangka Raya, Telp : 0536-3221768 atau
email: forumkesehatanpky@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai