Anda di halaman 1dari 14

Ponds (Kolam) dan Lagoon

Di dalam proses pengolahan air limbah secara biologis, selain proses dengan
biakan tersuspensi (suspended culture) dan proses dengan biakan melekat
(attached culture), proses lain yang sering digunakan adalah Pond (kolam) dan
Lagoon. Pond atau kolama ir limbah sering juga disebut kolam stabilisasi
(stabilization pond) atau kolam oksidasi (oxidation pond). Lagoon untuk air
limbah biasanya terdiri dari kolam dari tanah yang luas, dangkal, atau tidak terlalu
dalam dimana air limbah dimasukkan ke dalam kolam tersebut dengan waktu
tinggal yang cukup lama agar terjadi permunian secara biologis alami sesuai
dengan derajat pengolahan yang ditentukan (Said, 2014).
Di dalam sistem pond atau lagoon paling tidak sebagian dari sistem biologis
dipertahankan dalam kondisi aerobic agar didapatkan hasil pengolahan sesuai
yang diharapkan. Meskipun suplai oksigen sebagian didapatkan dari proses difusi
dengan udara luar. Tetapi sebagian besar didapatkan dari proses fotosintesis. Ada
beberapa jenis kolam dan lagoon antara lain sebagai berikut (Said, 2014):
a. Kolam dangkal (shallow pond)
Di dalam sistem kolam dangkal oksigen terlarut (dissolved oxygen)
terdapat pada setiap kedalam air sehingga air limbah berada pada kondisi
aerobic. Oleh karena itu kolam dangkal sering juga disebut kolam aerobik
(aerobic pond). Cara ini sering digunakan untuk pengolahan tambahan
atau sering juga digunakan sebagai kolam tersier.
b. Kolam dalam (deep pond)
Di dalam sistem kolamd alam (deep pond) air limbah berada pada kondisi
anaerobic kecuali pada bagian lapisan permukaan yang relative tipis.
Sistem ini sering disebut kolam anaerobik (anaerobic pond). Kolam
anaerobik sering digunakan untuk pengolahan awal atau pengolahan
sebagian (partial treatment) dari air limbah organik yang kuat dengan
konsentrasi yang tinggi, tetapi harus diikuti dengan proses aerobik untuk
mendapatkan hasil akhir pengolahan yang dapat diterima.
c. Kolam fakultatif (facultative pond)
Di dalam sistem kolam fakultatif, ai limbaj berada pada kondisi aerobik
dan anaerobik pada waktu yang bersamaan. Zona aerobik terdapat pada
lapisan atas atau permukaan sedangkan zona anaerobik berada pada

lapisan bawah atau dasar kolam. Sistem ini sering digunakan untuk
pengolahan air limbah rumah tangga atau air limbah domestik.
Sumber: Said, Nusa Idaman. 2014. Teknologi Pengolahan Limbah Cair dengan
Proses Biologis. http://www.kelair.bppt.go.id. Tanggal akses: 24 Oktober 2015.
Kolam Stabilisasi
Pengolahan limbah bertujuan untuk menetralkan air dari bahan-bahan tersuspensi
dan terapung, menguraikan bahan organic biodegradable, meminimalisasi bakteri
patogen, serta memerhatikan estetika dan lingkungan. Pengolahan air limbah
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara alami dan secara buatan.
Pengolahan secara alami dilakukan dengan kolam stabilisasi (stabilization pond).
Kolam stabilisasi terdiri atas kolam anaerob, kolam fakultatif, dan kolam
maturasi. Dalam kolam stabilisasi, air limbah diolah secara alamiah untuk
menetralisasi zat-zat pencemar sebelum air limbah dialirkan ke sungai. Cara ini
direkomendasikan untuk daerah tropis dan sedang berkembang, ditambah lagi
biaya operasional yang dibutuhkan tidak mahal. Sedangkan untuk pengolahan
secara buatan, dilakukan pada IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah).
Pengolahan ini dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu primary treatment
(pengolahan pertama), secondary treatment (pengolahan kedua), dan tertiary
treatment (pengolahan lanjutan).
Kolam stabilisasi baik diterapkan di daerah tropis dengan intensitas cahaya
matahari yang berlimpah. Wilayah tropis sangat diuntungkan oleh karakter
biofisikokimia mikroba dalam kaitannya dengan temperatur air dan temperatur
udaranya. Juga keragaman nutrisinya yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri
aerob-anaerob dan produktivitas algae. Namun sayangnya kolam stabilisasi masih
jarang di terapkan di daerah tropis seperti Indonesia. Sebab, kolam stabilisasi
membutuhkan lahan yang luas karena mayoritas kedalaman masing-masing kolam
yang tidak terlalu dalam atau dangkal sehingga membutuhkan kerja optimum
masing-masing peran mikroba dan algae dalam mendapatkan nutrisi dan
energinya. Sedangkan, di Indonesia sudah sangat sulit mencari lahan yang luas
dan kosong.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kolam stabilisasi terdiri atas
kolam anaerob, kolam fakultatif, dan kolam maturasi. Kondisi mana yang akan
terjadi di dalam kolam bergantung pada aktivitas biologi yang dominan dan
reaksi biokimianya yang dipengaruhi oleh kecepatan pembebanan organik (KPO,
organic loading rate). Untuk lebih jelasnya maka akan dijelaskan berikut ini.
Kolam Anaerob
Kedalaman dari kolam anaerob adalah 2.5 sampai 5 m. Kolam anaerob merupakan
kolam pengolahan awal pertama yang dilakukan untuk pengolahan limbah pada
kolam stabilisasi. Hal ini sengaja dilakukan sebab limbah cair yang belum diolah
sebelumnya masih mengandung banyak zat organik terlarut dan bahan padatan
yang mudah mengendap atau dapat dikatakan bahwa kecepatan pembebanan
organik (KPO) masih sangat tinggi. Sehingga, pada kolam anaerob, terjadi 2
kejadian, yaitu proses fisika dan proses biokimia. Proses fisika berupa sedimentasi
padatan di dalam air limbah menjadi sludge, sedangkan proses biokimia adalah
proses degradasi senyawa organik di dalam lumpur dengan bantuan bakteri
anaerob untuk menghasilkan gas dan produk terlarut yang dibutuhkan di kolam
selanjutnya.
Biasanya, fenomena biokimia disini berlangsung melalui dua tahap. Tahap
pertama, polutan organik kompleks bermolekul besar (makromolekul) diuraikan
menjadi molekul kecil yang diawali oleh proses hidrolisis, asidogenesis dan
selanjutnya diubah menjadi asam asetat (asetogenesis). Pada tahap satu tersebut
belum terjadi reduksi BOD-COD sehingga bisa dikatakan efisiensinya nol. Tahap
kedua adalah metanogenesis yang merupakan tahap dominasi perkembangan sel
mikroorganisme dengan spesies tertentu yang menghasilkan metana. Pada tahap
ini terjadi konversi asam organic menjadi metana, karbon dioksida, dan gas-gas
lain seperti hidrogen sulfida, hydrogen dan nitrogen. Pembentukan metana
dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri dari sub divisi acetocalstic
methane bacteria yang menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbon
dioksida. Karbon dioksida dan hidrogen yang terbentuk dari reaksi penguraian di
atas, disintesa oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air. Proses
pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa organik sederhana

melibatkan banyak reaksi percabangan. Perubahan polutan organik menjadi gas


CH4 dan CO2 inilah yang dijadikan indikator dalam efisiensi pengolahannya.
Bakteri yang digunakan untuk menguraikan zat organik

pada air limbah

merupakan bakteri anaerob. Pada unit pengolahan limbah saat ini pun bakteri
yang lebih banyak dipilih adalah bakteri anaerob. Sebab, bakteri anaerob memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan bakteri aerob. Salah satu keunggulan
utamanya yang berhubungan dengan kolam anaerob di kolam stabilisasi ini adalah
mampu menghasilkan biomassa (sludge) yang lebih sedikit dibandingkan bakteri
aerob. Sludge yang dihasilkan dari pengolahan air limbah akan diolah lebih lanjut.
Pengolahan sludge pada saat ini tidaklah murah dan membutuhkan banyak
tambahan biaya. Oleh sebab itu, unit pengolahan limbah mengharapkan hasil
biomassa (sludge) yang sedikit agar biaya pengolahan slude yang dikeluarkan
tidak banyak. Selain itu, terdapat beberapa keunggulan bakteri anaerob
diantaranya adalah (Kurnia dan Kanina):
a.
b.
c.
d.

Membutuhkan energi yang lebih sedikit;


Membentuk energi dalam bentuk gas metana;
Membutuhkan sedikit nutrien (Nitrogen dan phospat);
Memiliki kemampuan untuk mengubah beberapa pelarut berbahaya, seperti
chloroform, trichloroethylene, dan trikloroethena;

e. Mampu menyimpan banyak ruangan, sebab bekerja pada kecepatan


pembebanan organik yang tinggi (KPO) hanya membutuhkan volume reaktor
yang kecil.
Sumber: Kurnia, Ledy Rezki dan Nadia Citra Kanina. 2013. Kolam Stabilisasi.
academia.edu. Tanggal akses: 24 Oktober 2015.
ANAEROBIK LAGOON
Anaerobik Lagoon atau Kolam pengolahan anaerobik ini dirancang untuk
menerima muatan organik yang sangat tinggi sehingga mereka tidak memiliki
oksigen terlarut sama sekali. Mereka sangat menguntungkan untuk dipakai
sebagai pra pengolahan bahan buangan kuat yang mempunyai kandungan bahan
padat tinggi. Bahan padat mengendap ke dasar dimana mereka diuraikan secara
anaerobik, cairan jernih yang telah diklasifikasikan sebagian, dibuang ke dalam

kolam fakultatif untuk diolah lebih lanjut. Pengoperasian yang berhasil dari kolam
anaerobik tergantung pada keseimbangan yang sulit antara bakteri pembentuk
asam dan bakteri metanogenik, jadi dibutuhkan suhu > 15o C dan pH kolam harus
> 6. Dalam keadan ini akumulasi sludge minimal: pembuangan sludge yang
dibutuhkan bila kolam telah separuh penuh, hanya diperlukan setiap 3-5 tahun.
Pada suhu <15oC kolam anaerobik hanya bekerja sebagai kolam penyimpan
sludge.
Dahulu, type kolam ini tidak populer bagi teknisi perancangan karena takut pada
bau yang dilepaskan dan pemeliharaan tambahan yang dibutuhkan. Hubungan
antara timbulnya bau dan muatan organik, sekarang telah diketahui sehingga
masalah ini biasanya dapat diatasi pada tahap perancangan. Penghematan tanah
yang besar yang dicapai dengan penggunaan kolam anaerobik. (Bagian 7.14, soal
2)

seringkali

mengharuskan

keikutsertaan

mereka

dalam

perencanaan-

perencanaan pengolahan besar (debit air limbah > 10000 m 3/hr) dimana fasilitas
pemeliharaan yang memadai harus disediakan juga.
Perencanaan Kolam Anaerobik
Asalkan pH > 6, reduksi BOD dalam kolam anaerobik merupakan fungsi dari
suhu (meningkat bersama peningkatan suhu > 15oC) dan dari muatan BOD (makin
tinggi muatan, makin besar reduksinya). Sayangnya, tak ada data lapangan yang
cukup untuk mendapatkan hubungan yang berarti antara reduksi BOD dan
variabel ini yang dapat dipergunakan dengan pasti untuk perancangan, suatu
pengujian dari hasil-hasil operasionil dari kolam anaerobik di Israil, Afrika dan
Australia menyarankan nilai-nilai perancangan reduksi BOD5 untuk bermacammacam waktu retensi pada suhu >20oC sebagai berikut :
Waktu retensi (hr)

Reduksi BOD5 (%)

50

2,5

60

70

Nilai-nilai ini sedikit kurang daripada yang dijumpai dalam praktek dan membawa
dalam perancangan konservatif. Untuk suhu dalam rentang 15-20 oC reduksi BOD

dapat diperkirakan kurang 10-20 persen daripada yang diberikan dalam gambaran
di atas.
Waktu retensi optimal adalah 5 hr. Kolam yang beroperasi dengan waktu retensi >
5 hr terlihat sebagai fakultatif daripada anaerobik sifatnya waktu retensi < 5 hr
tentunya mungkin tetapi tidak dianjurkan karena (1) resiko tumbuhnya bau lebih
besar (2) interval antara operasi pembuangan sludge yang berurutan menjadi lebih
singkat (3) kualitas bakteriologis dari efluen akhir menjadi lebih buruk, dan (4)
penghilangan BOD lebih kecil.
Frekuensi Pembuangan Sludge
Tingkatan akumulasi sludge kira-kira 0,03-0,01 m3/org thn dan pembuangan
sludge dilakukan bila kolam sudah separuh penuh sludge. Hal ini terjadi setiap n
tahun dimana n didapatkan dari :
(volume kolam, m3)
Tingkatan akumulasi sludge, m3/org th) x ( populasi )
Untuk perancangan, tingkatan akumulasi sludge dapat ditaksir 0,04 m3/org th
Timbulnya Bau dan Pengontrolannya
Timbulnya bau yang tidak sedap dari kolam anaerobik terjadi bila muatan
volumetrik dalam kolam > 400 gr BOD5 / m3 hr. Jadi, untuk air limbah yang
sangat kuat (katakan, BOD5 = 1000 mg/1) pun timbulnya bau tidak akan menjadi
masalah bila memakai waktu retensi 5 hr. adanya bahan buangan industri dan
pertanian, terutama yang mengandung sulfat berkonsentrasi tinggi, dapat
menyebabkan timbulnya bau, sehingga diperlukan pengontrolan bau yang dapat
dicapai dengan :
1.

Menaikkan pH kolam menjadi kira-kira 8 sehingga sebagian besar sulfida


yang terbentuk karena reduksi sulfat oleh bakteri akan muncul sebagai ion
bersulfida yang tidak berbau, di bawah kondisi ini keluar gas hidrogen (H 2S)
yang berbau busuk tidak akan timbul

2.

Resirkulasi efluen dari kolam fakultatif atau kolam pematangan ke kolam


anaerobik dalam perbandingan 1 dibanding 6 (1 volume efluen dibanding 6
volume air limbah segar)

Pada kolam anerobik kedalaman air dapat mencapai 6 meter. Kondisi anaerobik
dicapai dengan memberikan beban organik yang tinggi sehingga terjadi
deoksiganasi, adanya lapisan scum (busa) pada permukaan air kolam berguna
untuk mencegah masuknya oksigen dari atmosfer. Pada kondisi ini bahan organik
akan mengalami stabilisasi yang merupakan hasil kerja bakteri anaerobik
thermophilik dengan proses digestion.
Proses pengolahan yang terjadi analog dengan single stage anaerobik digestion,
dimana asam organik dibentuk oleh bakteri dengan memecah organik komplek.
Selanjutnya

asam

yang

terbentuk

diubah

menjadi

gas

methane,

gas

korbondioksida, cell dan produk lain yang stabil.


Air baku yang diolah bercampur di bagian bawah, yaitu dilakukan dengan
memasang pipa inlet di bagian dasar kolam menuju ke tengah kolam. Pipa inlet
dalam keadaan terbenam pada kolam. Bahan yang mudah mengapung seperti
lemak, minyak dan zat padat yang ringan akan berada di bagian permukaan air
dan biasanya akan menutupi seluruh permukaan air. Dengan demikian panas yang
dihasilkan di seluruh kedalaman kolam dapat dipertahankan. Pada tipe ini tidak
diperlukan pemanasan, equalisasi, mixing, maupun resirkulasi lumpur. Keutamaan
dari pengolahan jenis ini adalah mempunyai kemampuan mengolah dengan beban
yang tinggi dan talian terhadap perubahan debit dan kualitas air limbah (shock
loading). Untuk mencegah rembesan air limbah sebaiknya dinding dan dasar
kolam dipasang lapisan kedap air (misal plastik, clay).
Untuk mengolah air limbah yang berat (organik tinggi) biasanya dibangun secara
seri dengan kolam fakultatif dan atau pengolahan aerobik. Efisiensi pengolahan
pada kolam anaerobik 50-70%. Munculnya gas-gas yang berbau seperti hidrogen
sulfide, menyebabkan, jenis pengolahan ini tidak disukai. Ongkos operasi dan
pemeliharaan relatif kecil, walaupun begitu dibutuhkan biaya investasi untuk
kebutuhan lahan yang luas.
Tingginya waktu detensi (20 50 hari ) menyebabkan kebutuhan lahan yang luas.
Kedalaman air 3 - 6 meter. Kolam anaerobik lebih cocok untuk daerah tropis
dimana temperatur ambien relatif tetap. Temperatur optimum dicapai pada suhu
30oC dan Organik loading 20 - 250 gr/m3/hari.

Sumber: Tim Dosen PBPAB. 2011. Anaerobik Lagoon. elearning.upnjatim.ac.id.


Tanggal akses: 24 Oktober 2015.
Kolam Stabilisasi Limbah
Fungsi kolam limbah ditujukan sebagai wadah untuk memperbaiki kualitas air
limbah agar mutu hasil olahannya memenuhi baku mutu air yang telah ditetapkan
dan tidak mencemari badan air penerima.
Kolam limbah dapat mengolah berbagai jenis limbah, baik limbah pemukiman,
perkotaan, industri, maupun pertanian. Kandungan bahan pencemar yang terdapat
dalam air limbah (jenis dan konsentrasi bahan pencemar) akan sangat menentukan
tingkat teknologi pengolahan yang harus diterapkan pada kolam limbah. Air
limbah yang dihasilkan oleh industri umumnya memerlukan pengolahan yang
lebih rumit dibandingkan air limbah yang dihasilkan oleh pemukiman, perkotaan,
dan pertanian. Oleh sebab itu pada kolam-kolam limbah yang digunakan untuk
mengolah air limbah industri biasanya dilengkapi berbagai peralatan penunjang
seperti: pengatur debit air, screener (penyaring bahan padat), dan aerator dengan
desain tertentu; selain itu pengolahan air limbah industri juga biasanya
memerlukan tambahan bahan-bahan kimia (seperti koagulan dan flokulan) untuk
membantu proses pengolahan. Dalam hal ini pembahasan hanya dibatasi pada
kolam limbah sederhana yang biasa digunakan untuk mengolah air limbah
pemukiman, perkotaan, dan pertanian; kolam limbah seperti ini disebut juga
kolam stabilisasi limbah (Daur: Informasi Lingkungan Kota dan Industri, Vol.2
No.1 Agustus 2001, Lani Puspita et al., 2005).
Definisi Kolam Stabilisasi Limbah
Kolam stabilisasi limbah adalah kolam yang digunakan untuk memperbaiki
kualitas air limbah. Kolam ini mengandalkan proses-proses alamiah untuk
mengolah air limbah; yaitu dengan memanfaatkan keberadaan bakteri, alga, dan
zooplankton untuk mereduksi bahan pencemar organik yang terkandung dalam air
limbah. Selain mereduksi kandungan bahan organik, kolam stabilisasi limbah juga
mampu mengurangi kandungan berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit
(microorganism causing disease). Kolam stabilisasi limbah umumnya terdiri dari

tiga jenis kolam, yaitu kolam anaerobik, fakultatif, dan maturasi (aerobik) (Lani
Puspita et al., 2005).
Dalam istilah teknis pengolahan air limbah, selain kolam stabilisasi limbah
dikenal juga istilah laguna limbah. Pembeda keduanya adalah keberadaan aerator;
pada laguna limbah aerator digunakan untuk membantu aerasi kolam, sedangkan
pada kolam tidak. Yang menjadi ciri khas kolam dan laguna limbah adalah
dasarnya yang berupa tanah, ukurannya yang luas, kedalamannya yang relatif
dangkal, dan waktu retensi air limbahnya yang relatif lama (Suryadiputra, 1994;
Ramadan and Ponce, 2004; Lani Puspita et al., 2005).
Fungsi dan Manfaat Kolam Stabilisasi Limbah
Kolam stabilisasi limbah dan juga laguna limbah pada dasarnya berfungsi untuk
memperbaiki kualitas air limbah agar mutu hasil olahannya memenuhi baku mutu
yang telah ditetapkan dan tidak mencemari badan air penerima. Kolam stabilisasi
limbah sampai saat ini diyakini sebagai cara paling ekonomis untuk mengolah air
limbah. Kolam stabilisasi limbah ini sangat cocok diterapkan pada negara
berkembang (terutama daerah tropis yang iklimnya hangat), karena pengoperasian
kolam ini tidak membutuhkan biaya investasi dan biaya pengoperasian yang
tinggi, serta tidak memerlukan tenaga operator khusus untuk mengoperasikannya.
Selain itu ketersediaan tanah yang relatif luas dan harga tanah yang tidak terlalu
mahal di negara-negara berkembang (dibandingkan dengan harga instalasi
pengolahan limbah modern) juga menyebabkan kolam ini cocok dikembangkan di
negara berkembang.
Reaksi-reaksi biologi yang terjadi di dalam kolam stabilisasi meliputi:
1. Oksidasi materi organik oleh bakteri aerob;
2. Nitrifikasi protein dan materi nitrogen yang lain oleh bakteri aerob.;
3. Reduksi material organik oleh bakteri anorganik yang terdapat di dalam cairan
pada dasar endapan (Gloyna, 1971).
Air olahan dari kolam stabilisasi limbah ini pada tahap selanjutnya dapat
dimanfaatkan untuk mengairi lahan pertanian. Air olahan ini sangat baik bagi
keperluan irigasi karena didalamnya terkandung nitrogen, fosfor, dan natrium

yang bermanfaat sebagai nutrien bagi tanaman. Endapan tanah organik yang
terkumpul di bagian dasar kolam juga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki
kualitas tanah pertanian. Selain itu biogas yang dihasilkan pada kolam anaerobik
juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi (Varn, 2003; Ramadan and
Ponce, 2004; Harrison, 2004; Lani Puspita et al., 2005).
Proses Pembuatan Kolam Stabilisasi Limbah
Hal pertama yang harus dilakukan dalam pembangunan kolam stabilisasi limbah
adalah pemilihan lokasi. Pembangunan kolam stabilisasi limbah harus dilakukan
pada daerah yang paras air tanahnya dan jenis tanahnya impermeable (porositas
tanah rendah). Lempung dan liat merupakan jenis tanah ideal bagi pembangunan
kolam. Tanah berpasir, berkerikil dan atau berbatu merupakan jenis tanah yang
harus dihindari karena pada jenis tanah tersebut air limbah dapat merembes keluar
sehingga mencemari air tanah di sekitarnya.
Kolam stabilisasi limbah juga sebaiknya dibangun jauh dari kawasan perumahan
dan fasilitas umum lainnya, agar masyarakat tidak merasa terganggu oleh
keberadaan kolam ini, mengingat air dalam kolam ini dapat menghasilkan bau
yang cukup menyengat. Selain itu kolam stabilisasi limbah juga sebaiknya
dibangun di daerah yang terlindung dari banjir, memiliki elevasi tanah yang
melandai ke arah badan air penerima (untuk mempermudah pengaliran air), jauh
dari jaringan PDAM, tidak berdekatan dengan landasan udara (minimal 2 km dari
landasan udara, karena burung-burung yang tertarik pada keberadaan kolam ini
dapat mengganggu navigasi), dan berada di daerah terbuka (tidak terhalang
pepohonan) agar kolam dapat terpapar langsung oleh sinar matahari dan angin.
(Ramadan and Ponce, 2004; Lani Puspita et al., 2005).
Luas kolam yang dibangun harus disesuaikan dengan volume air limbah yang
akan ditampung dan harus juga disesuaikan dengan ketersediaan tanah. Daerah
pemukiman yang terdiri dari 200 individu memerlukan kolam stabilisasi limbah
seluas 1 acre (= 0,4 Ha) (Weblife, 2004; Lani Puspita et al., 2005). Kedalaman
kolam stabilisasi limbah umumnya dangkal; kedalaman kolam disesuaikan dengan
tipe kolam stabilisasi limbah yang akan dibangun (tipe anaerobik, atau fakultatif;
hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bab berikutnya). Bentuk kolam

sebaiknya persegi panjang, hal ini untuk menghindari terbentuknya endapan


lumpur pada bagian inlet. Inlet dan outlet sebaiknya hanya satu dan jangan pernah
menaruh lubang inlet di bagian tengah kolam karena hal tersebut akan
menimbulkan aliran air singkat (hydraulic short circuiting). Inlet dan outlet
sebaiknya diletakkan pada sudut kolam dengan posisi saling berlawanan secara
diagonal. Ukuran diameter pipa PVC yang disarankan untuk mengalirkan effluent
adalah sebesar 100 mm (Shilton and Harrison, 2003; Ramadan and Ponce, 2004;
Lani Puspita et al., 2005). Untuk mengilustrasikan bentuk kolam dapat dilihat
pada Gambar berikut ini.

Gambar Penampang Melintang Kolam Stabilisasi Limbah


Sumber: Sunarsih, 2013

Tipe-tipe Kolam Stabilisasi Limbah


Berdasarkan proses biologis dominan yang berlangsung di dalamnya, kolam
stabilisasi limbah dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu kolam anaerobik,
fakultatif, dan maturasi (aerobik). Dalam satu sistem pengolahan air limbah, tiga
macam kolam tersebut disusun secara seri dengan urutan anaerobik-fakultatifmaturasi. Suatu sistem pengolahan dapat terdiri dari satu seri kolam pengolahan
atau dapat juga terdiri dari beberapa seri kolam pengolahan yang disusun secara
paralel.
Pada dasarnya kolam anaerobik dan fakultatif didesain untuk mengurangi
kandungan BOD, sedangkan kolam maturasi didesain untuk mengurangi
kandungan mikroorganisme patogen. Walau demikian, proses reduksi BOD juga

sebetulnya terjadi pada kolam maturasi dan proses reduksi mikroorganisme juga
terjadi pada kolam anaerobik dan kolam fakultatif, namun proses tersebut tidaklah
dominan. Pada kondisi tertentu, kolam maturasi terkadang tidak dibutuhkan.
Kolam maturasi hanya dibutuhkan jika air limbah yang akan diolah memiliki
kadar BOD tinggi (> 150 mg/l), atau jika air hasil olahan ditujukan bagi keperluan
irigasi. Agar diperoleh hasil olahan yang baik, air limbah yang akan masuk ke
dalam kolam anaerobik harus disaring terlebih dahulu untuk menghilangkan
kandungan pasir, kerikil, dan padatan berukuran besar lainnya (Ramadan and
Ponce, 2004; Lani Puspita et al., 2005).
Kolam Anaerobik
Kolam anaerobik umumnya memiliki kedalaman 2-5 m. Pada kolam inilah air
limbah

mulai

diolah

dibawah

kondisi

anaerobik

oleh

berbagai

jenis

mikroorganisme anaerobik. Mikroorganisme anaerobik mengubah senyawa


anaerob dalam air limbah menjadi gas CO2, H2S, dan CH4 yang akan menguap
ke udara; sementara berbagai padatan dalam air limbah akan mengalami
sedimentasi dan terkumpul di dasar kolam sebagai lumpur (Daur: Informasi
Lingkungan Kota dan Industri, Vol.2 No.1 Agustus 2001; Varn, 2003; Ramadan
and Ponce, 2004; Lani Puspita et al., 2005).
Kolam anaerobik menerima masukan beban anaerob dalam jumlah yang sangat
besar (biasanya > 300 mg/l BOD atau setara dengan 3.000 kg/Ha/hari untuk
kolam berkedalaman 3 m). Tingginya masukan beban organik dibandingkan
dengan jumlah kandungan oksigen yang ada menyebabkan anaerobik selalu
berada dalam kondisi anaerobik. Pada anaerobik tidak dapat ditemukan alga,
walaupun terkadang lapisan film tipis yang terdiri dari Chlamidomonas dapat
dijumpai di permukaan kolam. Kolam anaerobik ini bekerja sangat baik pada
kondisi iklim hangat (degradasi BOD bisa mencapai 60-85%). Waktu retensi
anaerobik sangatlah pendek; air limbah dengan kadar BOD 300 mg/l dapat terolah
dalam waktu retensi 1 (satu) hari pada kondisi suhu udara > 20oC (Varn, 2003;
Ramadan and Ponce, 2004; Lani Puspita et al., 2005).
Kolam anaerobik merupakan salah satu cara paling ekonomis untuk mengolah
limbah anaerob. Umumnya satu kolam anaerobik sudah cukup memadai untuk

mengolah air limbah yang kandungan BOD-nya kurang dari 1.000 mg/l. Namun
jika anaerobik digunakan untuk mengolah air limbah anaerobik berdaya cemar
tinggi, maka dibutuhkan tiga buah kolam anaerobik yang disusun secara seri agar
proses degradasi dapat berlangsung dengan optimal (Ramadan and Ponce, 2004;
Lani Puspita et al., 2005).
Masalah yang sering timbul dalam pengoperasian kolam anaerobik adalah
munculnya bau yang menyengat. Munculnya bau ini sangat terkait dengan
kandungan sulfat (SO4) dalam air limbah. Pada kondisi anaerob SO 4 akan berubah
menjadi gas H2S yang memiliki bau sangat menyengat; selain H 2S, beberapa
senyawa lain yang terbentuk dari dekomposisi anorganik karbohidrat dan protein
juga dapat menimbulkan bau yang menyengat. Pembusukan dan penguraian
materi organik di suatu tempat terjadi selama fermentasi anaerob, ini ada dua
proses:
a. Kelompok bakteri penghasil asam yang dikenal bersifat fakultatif heterotrof
yang menguraikan zat organik menjadi asam jenuh, aldehid, alkohol dan
sebagainya;
b. Kelompok bakteri methan yang merubah hasil tersebut menjadi methan dan
amonia.
Untuk menghindari masalah bau ini, maka kandungan SO4 dalam air limbah
harus dikontrol. Menurut (Gloyna and Espino (1969), Ramadan and Ponce (2004);
Lani Puspita et al., (2005)) dalam bau menyengat tidak akan muncul jika
kandungan SO4 dalam air limbah kurang dari 300 mg/l. Sesungguhnya
keberadaan anaerob dalam jumlah sedikit memberikan keuntungan dalam proses
pengolahan air limbah, karena anaerob akan bereaksi dengan logam-logam berat
membentuk logam anaerob tidak larut yang akhirnya akan mengalami presipitasi
(pengendapan).
Sebelum kolam anaeobik dioperasikan, dasar kolam harus diberi lumpur aktif
(lumpur yang mengandung berbagai jenis mikroorganisme pengurai) yang dapat
diambil dari kolam anaerobik lain yang telah jadi. Selanjutnya kolam dapat
dialiri air limbah dengan tingkat beban yang meningkat secara gradual; periode
pemberian beban secara gradual ini dapat berlangsung selama satu hingga empat

minggu. Hal tersebut penting dilakukan untuk menjaga nilai pH air tetap di atas 7
agar bakteri methanogenik dapat tumbuh. Pada bulan pertama pengoperasian,
terkadang diperlukan penambahan kapur untuk menghindari proses asidifikasi
(Varn, 2003; Lani Puspita et al., 2005).
Oksigen juga diperlukan dalam proses anaerob tetapi sumbernya adalah senyawa
kimia bukan oksigen bebas yang terlarut. Dalam proses anaerob hasil akhir adalah
agak rumit, proses reaksi berjalan lambat dan dapat menimbulkan gangguan bau.
Dalam kolam stabilisasi dapat dikatakan masih selalu terdapat proses anaerob
pada dasar lumpur dan endapan meskipun kolam sudah dirancang sebagai kolam
aerob. Pada kolam yang dalam terdapat suatu lapisan cairan pada dasar yang
menunjang proses anaerob.
Reaksi biokimia yang terjadi pada proses dekomposisi secara anaerob pada air
limbah adalah sebagai berikut (Crites et al., 2006).
a) 5 (CH2O)x (CH2O)x + 2 CH3COOH + Energy
b) 2 CH3COOH + 2 NH4HCO3 2 CH3COONH4 +2 H2O + 2 CO2
c) 2 CH3COONH4 +2 H2O + 2 CH2 + 2 NH4HCO3
Sumber: Sunarsih. 2013. Permodelan Lingkungan Kualitas Air Limbah Domestik
pada Kolam Stabilisasi Fakultatif. Semarang: UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai