Anda di halaman 1dari 10

DESENTRALISASI, OTONOMI DAN

RESISTENSI PENDIDIKAN
Suhari*

ABSTRAK
Tema tentang desentralisasi, otonomi, resistensi pendidikan, yang berupaya membawa
pembaharuan di bidang pendidikan dengan tujuan untuk lebih memajukan dunia
pendidikan di daerah-daerah yang salah satunya dirasakan sangat tidak seimbang
dengan potensi daerah yang dimiliki, sehingga tidak diketahui secara pasti potensi apa
yang lebih unggul untuk dikembangkan yang terikat dengan kebijakan pmerintah pusat.
Kesimpulan akhir dari paper ini adalah sistem pendidikan haruslah disesuaikan dengan
keadaan dan pengembangan potensi daerah, sehingga tujuan pendidikan akan tercapai.
Sistem pendidikan merupakan wujud dari suatu kebijakan serta wewenang terhadap
bidang pendidikan yang akan merubah tatanan pendidikan kearah yang lebih unggul
khususnya di daerah-daerah yang merasa terkekang dalam mengembangkan potensi
daerahnya sendiri.

KATA KUNCI:Desentralisasi, Otonomi,Resistensi Pendidikan

*Dosen

Fakultas TarbiyahInstitut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas


HP.081352107548 E-mail: usupurniadi@yahoo.com

IAIS Sambas
PENDAHULUAN
Sejak awal kemerdekaan, sistem pemerintahan dan pembangunan dalam
berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan menggunakan paradigma sentralisasi, bahwa pemerintah pusat mendominasi proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi kenerja pemerintah
pusat menjadi pemain utama yang lebih
membentuk
orientasi
dan
tujuanberbagai kebijakan pendidikan.
(M. Sirazi, t.th, 229-230).
Mengalami krisis multidimensi yang
sangat serius terhadap paradigma sentralisasi dan pada saat yang sama juga
sangat yakin bahwa, solusi dari berbagai
persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah dengan menerapkan paradigma disentralisasi dalam system pemerintah dan pembangunan. Diyakini bahwa penerapan pola sentralistik telah
membuat roda pemerintahan dan pembangunan berjalan kurang efektif serta
efisien; rawan kebocoran; menimbulkan
ketimpangan dan ketidakadilan regional; memaksan keseragaman; mematikan potensi dan karekteristik daerah;
menyulitkan pengawasan mutu (quality
control) dan jaminan mutu (quality assurance); mematikan kreativitas pemerintahan daerah; dan menghambat partisipasi masyarakat.(M. Sirazi, t.th, 229230).
Menjadi pengetahuan umum bahwa pendidikan humanis itu memberikan
kebebasan yang luas untuk berfikir kritis, dan semakin banyak dilotarkan kritik, maka kelompok yang dominan akan
semakin mempererat penjagaan terhadap keamanan dirinya. Dengan demikian,
setiap
mistifisika
jelas
cenderungmenjadi totaliter, dalam
arti mereka memberangun semua
orang yang ber-sikap kritis. Semuanya
diberangus tanpa kecuali, karena setiap
perkecualian mempunyai kemungkinan
menjadi an-caman bagi kesucian stuktur
sosial yang sudah terbangun rapi.

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


Dengan demikian sekolah-sekolah
memainkan perananyang sangat vital
sebagai alat kontrol sosial yang efisien
untuk menjaga status quo ini. Maka
sangat mudah menemu-kan guru yang
berpandangan
bahwa
pendidikan
adalah proses adaptassi sis-wa dengan
lingkungannya, dan sudah semestinya
pendidikan
formal
tidak
bo-leh
bertindak di luar ini. Di dalam pendidikan yang seperti ini, siswa yang baik
bukanlah yang selalu resah atau keras
kepala dan begal, atau ingin menampakkan keraguannya atau ingin mengethui
alasan ddibalik fakta, atau yang selalu
melanggar aturan yang sudah disusun,
atau yang mencela birokrasi yang kurang baik, atau yang selalu menolak dijadikan objek pendidikan; namun siswa
dikatakan baik bila ia penurut, meninggalkan
cara
berpikir
kritisi,
mematuhiaturan yang sudah ada, dan
beranggapan bahwa menjadi seekor
bintang itu baik.
(Paulo Freire, 1990: 195-196).
Sebaliknya, guru yang memposisikan dirinya sebagai dewa sesuci lembaga sekolah itu sendiri, serta kelihatan
sebagai seorang yang tak tersentuh,
baik keilmuan maupun fisiknya. Siswa
bahkan tidak boleh menempelkan tangannya di pundak sang guru sebagai
wujud rasa sayang. Keintiman yang kaku dan dingin ini akan menimbulkan jarak antara guru dan siswa, intinya siswa
tidak boleh melakukan apa-apa kecuali,
menerima apa pun yang disampaikan
oleh guru dan secara ideologis untuk kepentingan struktur sosial yang suci ini.
Apakah dengan menggunakan sekolah atau tidak, yang jekas bias disangkal lagi adalah bahwa seluruh proses
mistifisikasi ini pada akhirnya merupakan penghalang untuk mengaktualisasikan kekritisan berpikir manusia, dan
hanya melanggengkan status quo. Mistifisika ini menunjukan terjadinya kon-

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 72-

IAIS Sambas
tradiksi antara bentuk aksi dan pilihan
hidup pilihan hidup kebanyakan orang.
(Paulo Freire, 1990: 199).
Banyak orang membicarakan kepentingan umat manusia, namun hanya
menjadi sebuah ungkapan kosong, karena mereka tiddak mengerti bahwa,
kenyataannya dimensi humanis manusia hanya dijadikan objek penderita.
Banyak orang mengklaim dirinya punya
komitmen
dalam
usaha
pembebasan,tetapi mereka masih
menganut mitos yang menentang
tindakan-tindakan
ya-ng
humanis.
(Paulo Freire, 1990: 199).
Berdasarkan paparan di atas, merupakan satu di antara gambara dari desentralisasi, otonomi dan resistensi pendidikan yang memberikan dampak pada
politik pendidikan baik individu maupun instansi penndidikan yang terbelakang dari untuk mengekspresikan kebebasan.
PEMBAHASAN
Desentralisasi Pendidikan
Penerapan paradigma desentrallisasi dalam penyelenggaraan berbagai
kegiatan pemerintah dan pembangunan,
termasuk bidang pendidikan, secara
resmi dimulai berkenaan dengan berlakunya Undang-undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
dan Undang-undang Nomor. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah
pada tanggal 1 Januari tahun 2000. Hanya dalam kurun waktu kurang lima
tahun, dua undang-undang tersebut mengalami revisi dan pada tanggal 15 Oktober 2004, Undang-undang Nomor. 22
Tahun 1999 secara resmi diganti dengan
Undang-undang Nomor. 33 Tahun 2004
dengan nama yang sama.(Paulo Freire,
1990: 230-231).
Sejarah adanya desentralisasi ini
dimulai adanya Undang-undang Tahun

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


1999 yang mengalami perubahan. Dari
perubahan Undang-undang tersebut
memberikaan dampak kemajuan diberbagai bidang kususnya dibidang perndidikan. Adanya disentralisasi ini memberikan peluang untuk mengelola manajemen sendiri untuk bidang pendidikan.
1. Pengertian dan Jenis Desentralisasi
a. Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi adalah pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber
sumber daya (dana, manusia dll) dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek aspek politik (political deccentralization); administratif administrative decentralization); fiskal (fiscal
decentralization); dan ekonomi (economic or market decentralization). Dekonsentralisasi (bagian dari desentralisasi
administrati), adalah pelimpahan wewenagn dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Berdasarkan PP. No.39 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentralisasi).
Menurut Bray, desentralisasi adalah
proses ketika tingkat-tingkat hirarki
dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil
keputusan tentang penggunaan sumber
daya organisasi. Adapun menurut Burnett et al, desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input
pembelajaran sesuai dengan tuntutan
sekolah dan komunitas lokal yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang
tua dan komunitas. Dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pada otomom untuk megatur
dan mengurus pemerintah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(M. Sirazi, t.th, 230).
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa, desentralisasi adalah suatu kebijakan dari pemerintah pusat ke-

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 73-

IAIS Sambas
pada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri kebijakan di daerah yang ditunjuk langsung oleh pemerinah pusat.
Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan bisa bersifat politik atau
demokratif dan bisa juga bersifat administratif. Desentralisasi pendidikan bersifat politik atau demokrasi manakala
penyerahan kekuasaan untuk membuat
keputusan tentang pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau
wakil-wakinya di tingkat pemerintah
yang lebih rendah, di dalam dan di luar
sistem. Desentralisasi administrasi atau
birokrasi merupakan suatu strategi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap
berada di tangan pejabat-pejabat pusat
tetapi tanggung jawab dan wewenang
untuk perencanaan, manajemen, keuangan dan kegiatan-kegiatan lain-nya
diserahkan pada pemerintah di ti-ngkattingkat yang lebih rendah atau badanbadan semi otonom yang berada di
dalam system. (M. Sirazi, t.th, 233).
Sasaran dari desentralisasi tergantung dari aspek mana seseorang akan
melihatnya atau mengkajinya, karena
makna desentralisasi ini berhubungan
dengan berbagai aspek kehidupan khususnya tentang pendidikan.
b. Jenis Desentralisasi
Dilihat dari jenis wewenang yang
diberikan, desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis: (M. Sirazi, t.th,
233-234).
Pertama, Dekonsentrasi adalah berbentuk terlemah dari desentralisasi, karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab manajemen dari pusat ke propinsi atau tingkat-tingkat
yang lebih lebih rendah sedemikian rupa sehingga pusat tetap mempunyai
kontrol penuh. Menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewengan pemerintahan oleh pemerintahan atau kepada instansi vertical di
wilayah tertentu.

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


Kedua, Delegasi adalah jenis desenralisasi dalam bentuk yang lebih ekstensif, dimana lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang ke pemerintah di
tingkat-tingkat yang lebih rendah atau
bahkan ke organisasi-organisasi otonom.
Ketiga, Devolusi adalah bentuk desentralisassi yang paling besar pengarauhnya, yakni menyerahkan wewenang keuangan, administrasi atau urusan pedagogi secara tiba-tiba oleh pejabat pusat begitu saja. Jenis desentralisasi terbagi menjadi tiga dan jenjang kepentingannya ditentukan dari kebijakan
pemerintah pusat, dengan tujuan atau
maksud tertentu terhadap daerah-daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Tujuan dan Ruang Lingkup
Desentralisasi
Menurut Jalal dan Musthafa, ada
dua konsep yang berbeda tetapi saling
terkait dalam desentralisasi pendidikan.
konsep pertama, berkenaan dengan isue
umum desentralisasi yaitu transfer otoritas kebijakan pendidikan dari pusat ke
daerah. Dalam konsep ini, pemerintah
harus mendelegasikan kebijakan-kebijakan pendidikan kepada pemerintah daerah beserta dana yang dibutuhkan untuk membiayai tanggungjawab yang dibebankan. Konsep kedua, berkenaan dengan pergeseran berbagai keputusan
pendidikan dari pemerintah ke masyarakat.
Ide dasar di balik konsep ini, bahwa
masyarakat harus lebih tahu dan memutuskan sendiri program pendidikan yang dikendaki karena masyarakatlah yang akan memanfaatkannya. Dari dua
konsep tersebut jelaslah bahwa tujuan
utama desentralisasi pendidikan adalah
untuk meningkatkan mutu pendidikan.
karena mutu pendidikan ditentukan
oleh banyak faktor yang saling terkait,
maka desentralisasi pendidikan meli-

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 74-

IAIS Sambas
batkan pendelegasian pengambilan keputusan tentang beberapa faktor. Studistudi tentang desntralisasi pendidikan
cenderung terfokus pada isue-isue sebagai berikut; aspek-aspek apa yang
terlibat, apa yang perlu didesentralisasi,
bagaimana melakukan desentralisasi
keuangan, dan apa dampak desentralisasi. Menurut Burki et al ada empat
jenis keputusan yang menyangkut organisasi pembelajaran, manajemen personil, perencanaan dan struktur, serta
sumber daya. Tujuan dan ruang lingkup
desntralisasi tidak terlepas dari usaha
yang dilakukan oleh pihak sekolah maupun insstansi pendidikan untuk mencapai tujuan dan dapat mengaplikasikan
tujuan dengan komitmen. (M. Sirazi, t.th,
234-235).
Aspek Politik Desentralisasi
Pendidikan terkait dengan sebagai
besar masyarakat serta melibatkan tingkatan pemerintah. Berbagai perkembangan yang terjaddi di dunia pendidikan
dapat mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat. Perubahan paradigma
penyelenggaraan
pendidikan
darisentralisasi ke desentralisasi
merupa-kan salah satu perubahan
penting yang sangat besar pengaruhnya
terhadap
stuktur,
format,
dan
pendekatan pendi-dikan masyarakat,
sehingga perlu dicer-mati oleh semua
unsur yang ada dalam masyarakat. (M.
Sirazi, t.th, 243).
Desentralisasi pendidikan tidak terjadi begitu saja, karena terjadi adanya
tekanan (pressure) dari konstituen yang
kuat, seperti orang tua, kelompok komunitas, anggota legislatif, kalangan dunia
usaha, dan guru-guru untuk meningkatkan kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan serta adanya kemampuan birokrasi untuk secara cepat
merespon berbagai tuntutan mereka.
Para pembuat kebijakan (policy makers)
dapat menggunakan isue pendidikan se-

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


bagai alat untuk memperbanyak dukungan public dan memperoleh kekuasaan.
Secara keseluruhan Jalal dan Musthafa
menyimpulkan bahwa, pada umumnya
desentralisasi pendidikan adalah suatu
aktivitas politik yang berkaitan dengan
transfer otoritas dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah dan dari pemerintah ke masyarakat. (M. Sirazi, t.th,
241-242).
Desentralisasi pendiddikan bisa datang dari kontituen lokal yang menuntut kontrol dan akuntabilita lebih besar,
tetapi bisa terjadi atas kemauan pemerintah pusat.
Otonomi Pendidikan
Ide otonomi daerah di Indonesia identik dengan konsep desentralisasi yang
sebenarnya sudah cukup lama dimulai,
yakni sejak tahun 1973, tepatnya sejak
ditetapkannya Undang-Undang No. 5
Tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintah Daerah Otonomi dan pokokpokok penyelenggaraan Pemerintah yang membagi tugas antara pusat dan daerah. Langkah ke arah desentralisasi dilanjutkan beberapa tahun berikutnya,
melalui Peraturan Pemerintah No. 43
Tahun 1992 dan diperkuat lagi melalui
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1995. Sejak peraturan pemerintah tersebut diberlakukan, uji coba desentralisasi yang hasilnya memberikan kekuasaan Daerah Tingkat II ternyata tidak
berjalan lancar, sebagai daerah belum
si-ap melaksanakan dan mendukung pengelolaan program pengembangan secara. (Ali Riyadi, 2006: 242).
Selain itu juga prinsip otonomisasi
dan desentralisasi ditegaskan kembali
dalam GBHN 1999-2004 tentang pendidikan mencakup tujuh hal di antara
lain:
Pertama, perluasaan dan kesempatan memperoleh pendidikan yang ber
mutu; kedua, peningkatan kemampuan
akademik, professional dan kesejahtera-

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 75-

IAIS Sambas
an tenaga pendidikan; ketiga, pembahasan sistem pendidikan (sekolah dan luar
sekolah) sebagai pusat nilai sikap, kemampuan dan partisipasi masyarakat;
keempat, pembahasan dan pemantapan
system pendidikan nasional berdasarkan
pada
prinsip
desentralisasi,
otonomidan
manajemen;
kelima,
peningkatan kualitas sumber daya
manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu dan menyeluruh.
(Azyumardi Azra, 2002: 4).
Pada tahun 1999 Pemerintah RI
memberlakukan Undang-undang otonomi yang merupakan agenda penting
sesuai dengan aspirasi masyarakat
daerah, yaitu Undang-Undang No. 22.
Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Reformasi pemerintahan yang terjadi di
Indonesia telah mengakibatkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah dari
sentralisasi menuju arah desentralisasi
yang ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata kepada daerah
dan memperdayakan masyarakat, sehingga lebih leluasa dalam mengatur dan
melaksanakan kewewengan atau kekuasaan atas prakasa sendiri. (Muh. Muslim,
2007: 130-240).
Berdasarkan penjelasan di atas, latar belakang otonomi daerah yaitu adanya Undang-undang Nomor. 5 Tahun
1973. Otonomi daerah diberikan karena
adanya penyerahan wewenang daerah
untuk mengatur segala bidang.
Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
Upaya untuk melakukan Otonomi
Daerah yang telah digulirkan Januari
2001, yaitu tahun 2001 merupakan
tekad bersama bagi aparat pusat maupun daerah. Sehigga, untuk mendukung
penyelenggaraan otonomi daerah di
perlakukan kewenangan yang kuat, nyata dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional, karena secara teoritis pelaksanaan dalam Otonomi Daerah
sebenarnya terdapat sendi-sendi pilar

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


penyangka Otonomi Daerah. Sendi-sendi tersebut adalah (1) Sharing of Power
(pembagian kewenangan), (2) Distribution of income (pembagian pendidikan),
dan (3) Empowering (kemandirian dan
pemberdayaan
pemerintahan
daerah),ternyata ketiga sendi-sendi
tersebut sebagai pilar otonomi sebagai
tertuang dalam UU No.22 / 1999 juga
UU No. 25 / 1999. (Muh. Muslim, 2007:
142).
Prinsip-prinsip otonomi daerah
adalah:
a. Penyelenggaraan otonomi daeraah di
laksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemertaan serta potensi dan keanekaragagaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasari pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang
luas dan utuh diletakan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus
lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan daerah kota tidak
ada lagi wilayah administrasi.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus
sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus
berfungsi lebih meningkatkan peran
dan fungsi badan legislatif daerah,
baik sebagai fungsi legislatif, fungsi
pengawasan maupun fungsi anggaran
atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
g. Pelaksanaan asas dekonsentralisasi
diletakan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah
Adminisrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 76-

IAIS Sambas
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan.
h. Pelaksanaan atas tugas pembantuan
dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintahan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintahan Pusat kepada
Daerah, tetapi juga dari pemerintah
pusat dan daerah kepada desa yang
disertai dengan pembiayaan, sarana,
prasarana serta sumber daya manusia
dengan
kewajiban
melaporkanpelaksanaan
dan
mempertanggung jawabkan kepada
yang memungkin-kan. (UU. Otonomi
Daerah 1999).
Dari penjelasan di atas, prinsipprinsip Otonomi Daerah terdapat hubungan dengan kebijakan atas kewengan
yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya.
Resistensi Pendidikan
Pada dasarnya manusia hampir sama
dengan makhluk lainnya yaitu tidak sukaa dengan perubahan. Secara alami
manusia membuat pola dalam tindakkan, respon dan berfikir. Kebanyakan
pola atau persepsi ini memang banyak
menghemat energi. Resistensi terhadap
perubahan adalah rasional dan sering
kali juga tindakan pengamanan untuk
survive, meskipun seringkali resistensi juga menghambat kemajuan budaya
manusia. Resistensi tidak selalu terlihat,
karena implemntasi dari resistensi itu
sendiri berbeda-beda. Ada yang hanya
sekedartidak ikut, apatis, sampai pada
aksi perlawanan, tergantung dari kadar perubahan maupun kekuatan individu atau komunitas yang resisten. Sikap resistensi akan terlihat jelas apabila
program transformasi diwujudkan, ada
yang bersikap mencoba mencari titik
lemah dari transformasi tersebut ataupun berusaha menjauhinya. (http://tpg.
com/arielh, diakses, 20 Oktober 2008).
Sumber-sumber resistensi secara
garis besar dapat dibedakan menjadi

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


dua kategori yaitu; (a) resistensi yang
bersumber dari individu atau perorangan dan (b) resistensi yang bersumber
dari organisasi atau kelompok. Resistensi dari individu, setidaknya ada lima faktor utama kenapa individu atau karyawan menolak perubahan (transformasi)
yakni habit (kebiasaan), keamanan, ekonomi, kekuatan dan distorsi informasi.
Resistensi dari organisasi, ternyata organisasi ternyata organisasi mempunyai daya resistensi terhadap perubahan
organisasi pun mempunyai daya organisasi resistensi terhadap perubahan traformasi. Sepertinya, hukum-hukum fisika juga berlaku di organisasi, bahwa
untuk mengubah suatu struktur diperlakukan energi aktivasi. Namun, pada
prakteknya resistensi organisasi mudah
untuk ditemukan, lihatlah organisasi
pemerintah; presiden datang silih berganti menteri datang dan pergi tapi
kinerja masing-masing departemen tetap saja tidak ada perubahan yang berarti. Demikian juga perguruan tinggi yang sering mengklaim sebagai institusi
ilmiah, masyarakat intelektual, corong
reformasi dan transformasi justru paling sulit (egois) untuk berubah. (Muh.
Muslim, 2007: 1-2).
Sistem pendidikan kita barangkali
tidak mengalami perubahan yang paling
signifikan selama berpuluh tahun. Kenapa demikian, dapat dijelaskan dengan
lima faktor resistensi yaitu; (a) kelembaman stuktur (structur inertia), untuk
memperbaiki kinerja supaya sinergi dengan unit kerja yang lainnya dilakukan
penambahan tenaga profesional, perubahan tenaga profesional, perubahan
system dan konsep kerja. (b) keterbatasan fokus perubahan, perubahan yang
hanya difokuskan pada salah satu bagian tanpa diikuti oleh bagian-bagian lain
nya akan menimbulkan ketimpangan,
kesenjangan. Perubahan sistem perencanaan strategis tidak akan eektif tanpa
merubah sistem penilaian kenerja, se-

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 77-

IAIS Sambas
lanjutnya perubahan penilaian kenerja
terkait dengan system gaji-fasilitas, sistem promosi dan rotasi. (c) kelembaman group, resistensi ini terjadi karena
adanya solidaritas kelompok. Seringkali
kita temui bahwa seorang individu sebenarnya mau berubah atau bahkan
menjadi agent of change, namun jika,
dalam kelompok tersebut sebagian besar anggota group menentang, energi itu
bias hilang begitu saja. (d) ancaman terhadap keahlian, asset yang sangat utama dan tidak terwujud dalam suatu organisasi adalah pengetahuan dan keahlian yang dimiliki secara kelompok. (e)
ancaman terhadap relationships. Relatiinoship yang sudah mapan juga memerlukan waktu yang lama untuk membangun dan meningkatkannya. Perubahan
yang akan mengancam relationships ini
akan mendapat resistensi. (Muh. Muslim,
2007: 1-2).
Dari paparan di atas dapat dijelaskan bahwa resistensi adalah daya tahan,
ketahan, perlawanan terhadap suatu
wewenang baik dari individu maupun
dari sistem pemerintahan untuk mengambil keputusan yang tidak mengikat
suatu sistem yang telah dibentuk oleh
individu maupun organisasi.
SIMPULAN
Otonomi daerah dan desentralisasi
merupakan salah satu dambaan bagi Pemerintah daerah untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Alat pembelaan
pada masa lalu bila pemerintah daerah
ditegur pemerintah pusat. Dianggap
prasyarat paling utama bagi kelancaran
penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Maka, diberlakukannya otonomi daerah yang kemudian pelaksanaannya
mengejawantah sebagai desentralisasi,
bagaikan bendungan ambrol menerpa
pejabat daerah.
Pemandangan kusam penyelenggaraan desentralisasi ibarat menu tahunan yang mau tidak mau kita saksikan.

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


Jalan berlobang, urusan ribet, sekolahan
reyot, puskesmas kumuh, pasar sumpek,
parit mampet, banjir di pemukiman, hutan gundul, sungai mendangkal, sawah
berubah fungsi, pantai rusak, listrik disambar petir, air netes, BBM naik, kemiskinan bertambah, pengangguran tak
berkurang, dan lain-lain.
Otonomi atau Desentralisasi merupakan salah satu tema pokok reformasi
politik Indonesia pasca Soeharto. Dalam
bidang bahasa Inggris kata otonomi
berasal dari bahasa Yunani otonomia,
outo berarti sendiri, nomos mempunyai
arti hukum atau peraturan. Di samping
itu kata otonomia ini juga mempunyai
beberapa maksud yaitu (1) the quality
or coordition of being otonomons:
selfgovernment (2) any statethe govern it
self. Dalam kamus bahasa Indonesia
otonomi diartikan Pemerintahan sendiri, sedangkan Desentralisasi secara
etimologi istilah ini berasal dari bahasa
latin, de berarti lepas dan contium berarti pusat. Oleh karena itu desentralisasi
diartikan melepaskan diri dari
pusat.Pelimpahan
kewenangan
pemerintah pusat kepada daerah telah
menimbul-kan akses kurang kondusif
terhadap pendidikan dasar-menengah.
Pendeka-tan birokrasi yang dulunya
diperankan oleh pejabat Depdiknas
berpindah ke bupati atau walikota.
Ada tiga faktor penting yang sangat
menentukan sukses dan tidaknya pemberlakuan otonomi atau desentralisasi
pendidikan di era otonomi daerah ini,
yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sekolah. Masing-masing faktor
terseubt memiliki peran yang berbeda
satu sama lainnya. Walaupun demikian
perbedaan peran yang dimiliki bukan
berarti tidak berkaitan satu sama lainnya, justru perbedaan peran tersebut
lebih merupakan satu job distribution,
yang sifatnya saling mendukung sukses
nya penerapan konsep otonomi dan desentralisassi pendidikan.

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 78-

IAIS Sambas
Namun demikian, kasus penerapan
sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia beberapa pengamat justru dilihat sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi persoalan keuangan. Padahal, seharusnya sistem otonomi pendidikan lebih diarahkan untuk
menumbuhkan semangat kompetitif di
kalangan civitas akademika di perguruan tinggi dalam mengembangkan riset
dan sisi-sisi keilmuwan lainnya secara
lebih leluasa. Dengan diterapkan sistem
desentralisasi berarti kendala-kendala
operasional yang sering dihadapi system sentralistik menjadi lebih banyak
diatasi. Selain itu, pengelolaan yang dilakukan institusi yang paling dekat dengan daerah lebih memungkinkan untuk
memberikan layanan pendidikan yang
lebih berkualitas kepada masyarakat.
Mengatasi resistensi hanyalah salah
satu aspek dari managing change.
Pemahaman terhadap aspek resistensi
ini, bukan hanya perlu bagi agen of
change, tapi bagi kita semua sebagai
anggota
suatu
organisasi.
Alasannyaadalah pertama, karena
perubahan ituakan terus terjadi di
masa yang akan datang, kedua, adalah
resistensi pada dasarnya natural.
Seringkali, tanpa kita sadari, karena
respon yang natural itu kita menjadi
begitu menolak perubahan. Dengan
pisau analisa kita dapat mere-nung,
mencoba
mencari
tahu.
Dengan
mengetahui penyebabnya, akan menjadi
lebih terbuka terhadap perubahan dan
bukan tidak mungkin untuk setuju terhadap hal itu. Sebagaimana Immanuel
Kant; seseorang disebut merdeka jika
kewarasan akalnya menyetujui keputusan yang akan diambilnya.
Dari kesimpulan di atas, bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang saat
ini haruslah disesuaikan dengan keada-

Vol I No. 1 Januari Juni 2015


an dan pengembangan potensi daerah,
sehingga tujuan pendidikan akan tercapai. adanya sistem pendidikan akan
membuat suatu kebijakan serta wewengan terhadap politik pendidikan yang
terjadi saat ini.

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 79-

IAIS Sambas

Vol I No. 1 Januari Juni 2015

DAFTAR PUSTAKA
Ali Riyadi, 2006, Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Yogyakarta: ArRuzz Media.
Azyumardi Azra, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta:
Kompas.
Darma Setyawan Salam, 2001, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan
Nilai dan Sumberdaya, Jakarta: Djambatan .
Heri Kuswara, 2008, Antonomi resistensi dalam Transformasi Antara
Penolakan
Versusdukungan(http://users.tpg.com.au/arielh/041537152X/samuelhanneman.pdf), senin, 20 Oktober 2008.
M.

Sirazi,
Politik
Pendidikan:
Dinamika
Hubungan
Antara
Kepentingan,KekuasaandanPraktikPenyelenggaraanPendidikan, Jakarta:
PT RajagrafindoPersada.

Muh. Muslim, 2007, Kebijakan Desentralisasi dalam Otonomi Pemerintah,


Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Paulo Freire, 1999, Politik Pendidikan: Kebudayaan,
danPembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kekuasaan

Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 80-

Anda mungkin juga menyukai