Anda di halaman 1dari 11

Karakteristik Sianida

Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan


serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida sering dijumpai
di dalam kacang almond, daun salam, cherry, ubi. Di dalam koro atau tanaman
dari keluarga kacang-kacangan dan ketela pohon (Utama, 2006). Sianida
merupakan senyawa kimia yang toksik dan memiliki beragam kegunaan,
termasuk sintesis senyawa kimia, analisis laboratorium, dan pembuatan logam.
Nitril alifatik (acrylonitrile dan propionitrile digunakan dalam produksi plastic
yang kemudian dimetabolisme menjadi sianida. Obat vasodilator seperti
nitroprusida melepaskan sianida pada saat terkena cahaya ataupun pada saat
metabolisme. Sianida yang berasal dari alam (amigdalin dan glikosida sinogenik
lainnya) dapat ditemukan dalam biji aprikot, singkong, dan banyak tanaman
lainnya, beberapa diantaranya dapat berguna, tergantung pada keperluan
ethnobotanikal. Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat besi, dapat
menyebabkan kematian pada anak-anak (Olson, 2007).
Hidrogen sianida (HCN) atau prussic acid atau sianida adalah senyawa kimia
yang bersifat toksik dan merupakan jenis racun yang paling cepat aktif dalam
tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian dalam waktu beberapa menit
(akut). Senyawa sianida yang ditemukan di alam umumnya dalam bentuk
sintetis, terutama dalam bentuk garam [NaCN, KCN, dan Ca(CN) 2]. Umumnya
kasus

keracunan

pada

hewan

di

Indonesia

disebabkan

secara

sengaja

menambahkan racun sianida ke dalam pakan (Yuningsih 2007).

Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap
produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh
bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan
bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan
singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik.
Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam
seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida yang digunakan oleh militer
NATO (North American Treaty Organization) adalah yang jenis cair yaitu asam
hidrosianik (HCN).

Bentuk Sianida dan Toksisitasnya


Masing-masing senyawa sianida mempunyai bentuk dan kecepatan aktif
(toksisitas) yang berbeda di dalam tubuh, baik sianida sintetis maupun sianida
alami.
Sianida sintetis jauh lebih cepat aktif dibandingkan dengan sianida alami (asal
tanaman). Ada tiga bentuk sianida sintetis. Pertama, senyawa sianida sederhana
(simple cyanide compounds), seperti natrium sianida (NaCN) dan kalium sianida
(KCN) yang dikenal dengan nama potas, berupa kristal putih dan sering
digunakan sebagai racun ikan. Potas mudah diperoleh di pasaran dan bersifat
seribu kali lebih toksik pada hewan yang hidup di air (sejenis ikan) dibandingkan
pada manusia (William 2008). Oleh karena itu, nelayan menggunakannya untuk
menangkap ikan di laut. Di perairan Filipina dan Indonesia, nelayan sering
menangkap ikan hias dengan cara menyemprotkan potas konsentrasi rendah
untuk membius ikan dan memudahkan penangkapan, kemudian dilakukan
penggantian air secepatnya agar ikan segar kembali. Keberadaan kontaminan
potas di laut akan menyebabkan kematian organisme yang diperlukan untuk
pertumbuhan karang (US Fish and Wildlife Service 2008). Kalsium sianida
Ca(CN)2 bersifat mudah larut dalam air dan digunakan sebagai bahan pupuk,
yaitu urea (Guthner dan Mentschenk 2006). Bentuk senyawa sianida kedua
adalah sianida kompleks logam sangat lemah dan sangat kuat (weak and
moderately

strong

metal-cyanide

complexes)

yang

secara

langsung

menghasilkan gas dari suatu asam, seperti cyanide amenable to chlorination


(CATC) yang bersifat cepat mematikan (akut). Sianida dalam bentuk gas paling
cepat menimbulkan keracunan, diikuti sianida dalam bentuk garam yang mudah
larut atau tidak larut, dan urutan terakhir yang berbentuk sianogen (sianida asal
tanaman) (Leybell 2006). Gas sianida yang dikenal dengan nama zyklon B
pernah digunakan Jerman pada Perang Dunia II. Gas sianida dengan konsentrasi
3.500 ppm (sekitar 3.200 mg/m3) dapat mematikan manusia dalam waktu satu
menit karena ion sianida dapat menghentikan sel-sel respirasi dengan cara
menghambat enzim sitokrom c oksidase (Dwork et al. 1996).

Menurut Toxics Release Inventory (Cyanide 2000), industri logam di California


dan Pennsylvania pada tahun 1987 - 1993 membuang limbah senyawa sianida

ke dalam tanah dan air hingga mencapai 0,75 juta kg. Oleh karena itu,
Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat menetapkan nilai
batas aman (maximum contaminant level, MCL) sianida dalam air minum
sebesar 0,2 ppm. Apabila kandungan HCN dalam air minum secara konsisten
berada di atas nilai MCL, perlu dilakukan pengolahan untuk menurunkan
kandungan sianida sampai di bawah level MCL. Salah satu cara pengolahannya
yaitu dengan pertukaran ion, reverse osmosis, dan menggunakan klorin.
Bentuk terakhir senyawa sianida adalah sianida kompleks logam kuat. Sianida
dalam bentuk ion dan dibebaskan dengan cara

reflux distillation yang

menghasilkan sianida kuat. Sianida juga sering ditemukan dalam air, yaitu
sianida sintetis potas yang umumnya sengaja ditambahkan ke dalam air minum
untuk membunuh ternak. Adanya kandungan sianida dalam air dapat pula terjadi
karena air terkontaminasi buangan limbah asal industri plastik, pertambangan
atau pelapisan logam tembaga (Cu), emas (Au), dan perak (Ag).
Di Indonesia, penetapan nilai batas aman kandungan sianida dalam air minum
didasarkan atas kriteria kualitas baku mutu air dan levelnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Sebagai contoh, batas aman kandungan sianida untuk peternakan
dan perikanan harus di bawah 0,02 ppm (Kantor Kementerian Kependudukan dan
Lingkungan Hidup 1991).
Sianida dalam bentuk logam [AuCN, Hg(CN) 2] secara luas digunakan dalam
industri pertambangan dan pelapisan logam, terutama pada pertambangan
emas, dan buangan limbahnya dapat mencemari lingkungan karena masih
mengandung sianida dan senyawa merkuri yang sangat berbahaya atau dapat
menyebabkan keracunan. Sianida dalam bentuk gas (HCN, CNCl) paling cepat
aktif dibandingkan dengan bentuk sianida lainnya. Namun, hingga kini belum
ada informasi mengenai penggunaannya sehingga belum ditemukan kasus
keracunannya.

Sifat Fisika dan Kimia


Natrium sianida dan kalium sianida berbentuk bubuk putih dengan bau yang
menyerupai almond. Natrium sianida dengan rumus kimia NaCN, merupakan
padatan berbentuk kristal yang bersifat racun, dengan titik leleh dan titik didih

masing-masing 5630oC dan 1490oC. Daya uap dari natrium sianida adalah 1,1 x
106mg/m3 pada suhu kamar 25C dan 2.6 x 106mg/m3 pada suhu 12.9C.
Daya larut dalam air dan

dalam bahan pelarut yang lain lengkap pada suhu

250 C. Dapat dicampur sempurna pada bahan pelarut organik lainnya


6.9g/100mL pada 20C. Dapat dicampur dengan bahan atau senyawa organik
lainnya tetapi campuran yang dihasilkan tidak stabil. Dekontaminasi pada kulit
bila terkena dengan air atau dengan air sabun.
Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak
berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau
berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN)
(Utama, 2006). Hidrogen sianida merupakan gas yang mudah dihasilkan dengan
mencampur

asam

dengan

garam

sianida

dan

sering

digunakan

dalam

pembakaran plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan
hidrogen sianida dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja
dari sianida (termasuk garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan
pembunuhan ataupun bunuh diri (Olson, 2007).

Angka Kejadian
Uap sianida dari bahan pemadam kebakaran yang digunakan untuk mengatasi
kerusuhan di Putins Rusia menyebabkan kematian lebih dari 17.000 orang
selama tahun 2006 (Cyanide Poisoning Treatment Coalition 2006).
Sebenarnya kasus keracunan sianida pada ternak jarang ditemukan di lapangan,
kecuali karena adanya unsur kesengajaan (kriminal) atau keteledoran peternak
dalam pemberian pakan. Kebanyakan kasus keracunan sianida terjadi karena
pemberian sianida sintetis potas secara sengaja ke dalam pakan. Biasanya potas
yang digunakan berbentuk bubuk karena cukup murah, mudah diperoleh, dan
cukup efisien pada dosis rendah (1-2,5 mg/kg berat badan sudah dapat
mematikan hampir semua spesies) (Clarke dan Clarke 1977). Hampir 40% dari
35 kasus keracunan senyawa toksik (sulfat, nitrat-nitrit, klorin, klorida, sianida,
rodentisida seng fosfit, insektisida DDT, diazinon, temik, klorin, dan klorida) pada
hewan di Indonesia pada tahun 19922005 merupakan keracunan sianida
sintetis potas (Yuningsih 2007).

Kasus keracunan sianida alami (asal tanaman) biasanya disebabkan kelalaian


peternak dalam pemberian pakan hijauan. Keracunan tanaman angrung (Trema
orientalis) pada salah satu peternakan di Kalimantan Timur menyebabkan 26
ekor kambing mati. Hal ini disebabkan peternak tidak mengetahui bahwa
tanaman angrung mengandung sianida cukup tinggi (Yuningsih 2007) dan
terdesak kekurangan hijauan (musim kering), sehingga peternak memanfaatkan
hijauan yang tumbuh di sekitarnya sebagai pakan. Di Venezuela, terjadi
kematian ternak babi akibat keracunan sianida setelah mengonsumsi ubi kayu
pahit asal sisa makanan anak-anak (umur 8-11 tahun) yang menderita
keracunan, dengan gejala lemah dan sesak nafas dan warna darahnya merah
terang (Espinoza et al.1992).

Mekanisme toksisitas Sianida


Masuknya sianida ke dalam tubuh tidak hanya melewati saluran pencernaan
tetapi dapat juga melalui saluran pernafasan, kulit dan mata. Yang dapat
menyebabkan keracunan tidak hanya sianida secara langsung tetapi dapat pula
bentuk asam dan garamnya, seperti asam hidrosianik sekitar 2,5005,000
mg.min/m3 dan sianogen klorida sekitar 11,000 mg.min/m 3.
Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil maka
sianida akan
diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan melalui urin. Selain
itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila jumlah sianida yang
masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh tidak akan mampu untuk
mengubah sianida menjadi
tiosianat maupun mengikatnya dengan vitamin B 12.
Ketika kita kontak dengan racun, maka kita disebut terpejani racun. Efek dari
suatu pemejanan, sebagian tergantung pada berapa lama kontak dan berapa
banyak racun yang masuk dalam tubuh, sebagian lagi tergantung pada berapa
banyak racun dalam tubuh yang dapat dikeluarkan. Selama waktu tertentu
pemejanan dapat terjadi hanya sekali atau beberapa kali. Pada dasarnya setelah
zat beracun masuk kedalam tubuh, suatu ketika dapat terdistribusi kedalam
cairan ekstrasel dan intrasel. Berdasarkan atas sifat dan tempat kejadiannya,
mekanisme aksi toksik zat kimia dibagi menjadi dua, yakni mekanisme luka
intrasel dan ekstrasel. Setelah diketahui kadar sianida yang masuk ketubuh
dalam dosis besar, maka sianida menjadi toksik. Sianida menjadi toksik bila

berikatan dengan trivalen ferric (Fe 3+). Tubuh yang mempunyai lebih dari 40
sistem enzim dilaporkan menjadi inaktif oleh sianida. Yang paling nyata dari hal
tersebut ialah non aktif dari dari sistem enzim sitokrom oksidase yang terdiri dari
sitokrom a-a3 komplek dan sistem transport elektron. Jika sianida mengikat
enzim komplek tersebut, transport elektron akan terhambat yaitu transport
elektron dari sitokrom a3 ke molekul oksigen di blok. Sebagai akibatnya akan
menurunkan penggunaan oksigen oleh sel dan mengikut racun PO 2. Sianida
dapat menimbulkan gangguan fisiologik yang sama dengan kekurangan oksigen
dari semua kofaktor dalam sitorom dalam siklus respirasi. Sebagai akibat tidak
terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih bergantung pada sitokrom
oksidase yang merupakan tahap akhir dari proses phoporilasi oksidatif. Selama
siklus metabolisme masih bergantung pada sistem transport elektron, sel tidak
mampu menggunakan oksigen sehingga menyebabkan penurunan respirasi
serobik dari sel. Hal tersebut menyebabkan histotoksik seluler hipoksia. Bila hal
ini terjadi jumlah oksigen yang mencapai jaringan normal tetapi sel tidak mampu
menggunakannya. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana terjadinya
jaringan

hipoksia

kesimpulannya

karena

adalah

kekurangan
penderita

jumlah

oksigen

keracunan

sianida

yang

masuk.

disebabkan

Jadi
oleh

ketidakmampuan jaringan menggunakan oksigen tersebut.

Tanda dan gejala keracunan


Ketika seseorang terpajan oleh racun sianida maka semua bagian organ pada
tubuh manusia akan terganggu mulai dari tekanan darah, penglihatan, paru,
saraf pusat, jantung, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem metabolisme.
Gejala yang paling cepat muncul setelah keracunan sianida adalah iritasi pada
lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur kadangkadang penderita juga akan mengeluh timbul rasa pedih dimata karena iritasi
dan kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Gas
sianida sangat berbahaya apabila terpapar dalam konsentrasi tinggi. Hanya
dalam jangka waktu 15 detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea,
Dalam konsentrasi rendah, sekitar 15-30 menit baru menimbulkan efek terhadap
tubuh, sehingga masih bisadi selamatkan dengan pemberian antidotum. Tanda
awal dari keracunan sianida adalah :
-

Hiperpnea sementara
Nyeri kepala
Dispnea

Kecemasan
Perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah
berkeringat banyak, warna kulit kemerahan, tubuh terasa lemah dan
vertigo juga dapat muncul.

Gejala yang dapat timbul ketika terpajan racun sianida yaitu :


-

susah bernafas
denyut nadi cepat
Lemah
Tremor
Mata Terbelalak
Kembung dan kadang-kadang terjadi salivasi dan muntah
Kejang-kejang
Lapisan mukosa berwarna merah terang

Efek toksik jangka panjang


Secara umum ada beberapa hal yang terganggu dalam sistem tubuh seseorang
yang telah terpajan sianida dalam jangka waktu yang lama yaitu :
-

Saluran Pencernaan ( ingested )


jika seseorang telah tertelan dari hidrogen sianida maka menjadi sangat
fatal. Karena sianida sangat mudah masuk ke dalam saluran pencernaan.
Dan akan mengganggu sistem pencernaan dalam tubuh dengan merusak
zat-zat dalam tubuh. Dan tidak perlu melakukan atau merangsang korban
untuk muntah, karena sianida sangat cepat berdifusi dengan jaringan
dalam saluran pencernaan.

Inhalasi
Rokok mengandung gas sianida pada perokok pasif dapat ditemukan
sekitar 0.06g/mL sianida dalam darahnya, sementara pada perokok aktif
ditemukan sekitar 0.17 g/mL sianida dalam darahnya. Selain pada rokok
sisa pembakaran produk sintesis yang mengandung karbon dan nitrogen
seperti plastik akan melepaskan sianida. Hidrogen sianida sangat mudah
diabsorbsi oleh paru, gejala keracunan dapat timbul dalam hitungan detik
sampai menit. Ambang batas g/ml tetapi angka minimal hidrogen sianida
di udara adalah 0,02-0,20

ini belum dapat memastikan konsentrasi

sianida yang berbahaya bagi orang disekitarnya. Selain itu, gangguan dari
saraf-saraf sensoris pernafasan juga sangat terganggu. Berat jenis
hidrogen sianida lebih ringan dari udara sehingga lebih cepat terbang ke
angkasa. Anak-anak yang terpapar hidrogen sianida dengan tingkat yang
sama pada orang dewasa akan terpapar hidrogen sianida yang jauh lebih
tinggi.

Mata dan Kulit


Paparan hidrogen sianida dapat menimbulkan iritasi pada mata dan kulit.
Muncul segera setelah paparan atau paling lambat 30 sampai 60 menit.
Kebanyakan kasus disebabkan kecelakaan pada saat bekerja sehingga
cairan sianida kontak dengan kulit dan meninggalkan luka bakar.

Namun secara khusus Efek jangka panjang yang terjadi akibat terpajan sianida
dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
-

Efek toksik berdasarkan perubahan biokimia

reaksi zat beracun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang sifatnya
terbalikkan dapat mempengaruhi fungsi homeostasis tubuh. Hal tersebut dapat
terjadi karena hambatan enzim yang secara normal bertanggung jawab terhadap
penawar racun neurotransmitter. Termasuk dalam jenis wujud efek toksik ini
diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf, hiper atau
hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan atau
elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot atau hipo/hiperemi.
-

Efek toksik berdasarkan perubahan struktural,

meliputi jenis wujud efek toksik yang berkaitan dengan perubahan morfologi sel
yang akhirnya terwujud sebagai kekacauan struktural yang terdapat tiga respon
histopatologi dasar sebagai tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni
degenerasi, profilerasi dan inflamasi atau perbaikan. Pada perubahan struktural
ini bersifat tak terbalikkan, misalnya degenerasi lemak.

Sasaran terapi antidot


Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik
racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang
toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu.
Strategi dasar terapi antidot meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi
(translokasi), peningkatan eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun
dalam tubuh.

Tata laksana terapi antidot dan strategi


Seperti telah diungkapkan, keberacunan (intensitas efek toksik) suatu bahan
berbahaya di antaranya ditentukan

oleh keberadaan bahan berbahaya di

tempat kerja yang melebihi harga KTM-nya lebih lanjut, keadaan ini bergantung
pada

keefektifan

absorpsi,

distribusi,

metabolisme,

dan

ekskresi

bahan

berbahaya terkait. Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil,
sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang
waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala-gejala
toksik, dan saat penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini
diperlukan untuuk memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di
dalam tubuh. Misal bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna,
maka tindakan penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini,
mungkin

yang

diperlukan

penghambatan

distribusi

atau

peningkatan

eliminasinya. Masalahnya sekarang, bagaimana tata cara pelaksanaan masingmasing strategi tersebut.
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode
yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah
metode umum yang dapat diterapkan

terhadap sebagian besar zat beracun.

Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah
tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia. Strategi dasar terapi antidot
meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan
eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh.

Mekanisme aktivitas antidotum


Rhodanese
Na2S2O3 + CN- --> SCN- + Na2SO3.
Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi
tiosianat oleh rhodanese, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti betamerkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan
sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia endogen substansi ini terbatas.
Keracunan sianida merupakan proses

mitokondrial dan penyaluran intravena

sulfur hanya akan masuk ke mitokondria secara perlahan.

Natrium tiosulfat

merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak
50 ml dalam 25% larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh
tiosulfat. Namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri
perut, mual, kemerahan, dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak
didasarkan pada berat badan.

Pemberian natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB intraperitoneal menyebabkan


pembentukan methemoglobin dengan cara mengembangkan perubahan besi
fero dalam hemoglobin menjadi besi feri. Natrium nitrit akan mengoksidasi
sebagian hemoglobin (methemoglobin), sehingga dalam aliran darah akan
terdapat ion ferri, yang oleh ion sianida akan diikat menjadi sian methemoglobin.
Ini akan menyebabkan enzim pernafasan yang terblok (reaksi kompetitif) akan
bergenerasi lagi (sifat terbalikkan).
Reaksinya adalah sebagai berikut
Sianida + Hemoglobin (Fe ++ )

nitrit

metheboglobin ( Fe +++ )

Sianmethemoglobin
Hasil terapi dengan pemberian natrium nitrit secara teoritis akan menurunkan
level methemoglobin sebanyak 20 30%.
Meskipun demikian gejala efek toksik pada beberapa kelompok hewan uji pada
penelitian ini banyak yang tidak teramati, bisa disebabkan oleh karena cepatnya
terjadi kematian hewan uji tanpa melewati/memperlihatkan tanda-tanda gejala
keracunan sianida, ataupun pada beberapa kelompok masih bertahan hidup
hingga waktu pengamatan selesai (24 jam). Dengan adanya

hewan uji yang

kembali ke keadaan normal (hilangnya gejala efek toksik) maka dapat dikatakan
bahwa kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit
62.460 mg/KgBB merupakan pilihan antidot yang baik dalam menangani
keracunan sianida dosis 26 mg/KgBB secara peroral. Hal ini sesuai sifatnya di
mana saat kadar racun sianida habis, reseptor kembali, artinya apabila sianida
dosis 26 mg/KgBB dalam tubuh sudah menurun bahkan sudah habis, maka
reseptor yang mulanya berikatan dengan sianida akan kembali ke reseptor
semula dan berfungsi seperti semula. Efek toksik juga cepat kembali normal, di
mana sianida dosis 26 mg/KgBB peroral sangat cepat menimbulkan efek toksik,
namun secara cepat normal kembali atau sangat cepat pergi dari reseptor
sasaran dengan adanya kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan
natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara intraperitoneal.

Daftar Pustaka
Libertus Tintus H. 2008. Skripsi, Dosis Efektif Kombinasi Natrium Tiosulfat dan
Natrium Nitrit sebagai Antidot Keracunan Sianida Akut pada Mencit Jantan Galur
Swiss. Yogyakarta.
Yuningsih. 2012. Keracunan Sianida pada Hewan. Jurnal Litbang Pertanian, 31(1).
Balai Besar Penelitian Veteriner: Bogor.

Anda mungkin juga menyukai