Toksisitas Sianida
Toksisitas Sianida
keracunan
pada
hewan
di
Indonesia
disebabkan
secara
sengaja
Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap
produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh
bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan
bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan
singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik.
Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam
seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida yang digunakan oleh militer
NATO (North American Treaty Organization) adalah yang jenis cair yaitu asam
hidrosianik (HCN).
strong
metal-cyanide
complexes)
yang
secara
langsung
ke dalam tanah dan air hingga mencapai 0,75 juta kg. Oleh karena itu,
Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat menetapkan nilai
batas aman (maximum contaminant level, MCL) sianida dalam air minum
sebesar 0,2 ppm. Apabila kandungan HCN dalam air minum secara konsisten
berada di atas nilai MCL, perlu dilakukan pengolahan untuk menurunkan
kandungan sianida sampai di bawah level MCL. Salah satu cara pengolahannya
yaitu dengan pertukaran ion, reverse osmosis, dan menggunakan klorin.
Bentuk terakhir senyawa sianida adalah sianida kompleks logam kuat. Sianida
dalam bentuk ion dan dibebaskan dengan cara
menghasilkan sianida kuat. Sianida juga sering ditemukan dalam air, yaitu
sianida sintetis potas yang umumnya sengaja ditambahkan ke dalam air minum
untuk membunuh ternak. Adanya kandungan sianida dalam air dapat pula terjadi
karena air terkontaminasi buangan limbah asal industri plastik, pertambangan
atau pelapisan logam tembaga (Cu), emas (Au), dan perak (Ag).
Di Indonesia, penetapan nilai batas aman kandungan sianida dalam air minum
didasarkan atas kriteria kualitas baku mutu air dan levelnya disesuaikan dengan
kebutuhan. Sebagai contoh, batas aman kandungan sianida untuk peternakan
dan perikanan harus di bawah 0,02 ppm (Kantor Kementerian Kependudukan dan
Lingkungan Hidup 1991).
Sianida dalam bentuk logam [AuCN, Hg(CN) 2] secara luas digunakan dalam
industri pertambangan dan pelapisan logam, terutama pada pertambangan
emas, dan buangan limbahnya dapat mencemari lingkungan karena masih
mengandung sianida dan senyawa merkuri yang sangat berbahaya atau dapat
menyebabkan keracunan. Sianida dalam bentuk gas (HCN, CNCl) paling cepat
aktif dibandingkan dengan bentuk sianida lainnya. Namun, hingga kini belum
ada informasi mengenai penggunaannya sehingga belum ditemukan kasus
keracunannya.
masing-masing 5630oC dan 1490oC. Daya uap dari natrium sianida adalah 1,1 x
106mg/m3 pada suhu kamar 25C dan 2.6 x 106mg/m3 pada suhu 12.9C.
Daya larut dalam air dan
asam
dengan
garam
sianida
dan
sering
digunakan
dalam
pembakaran plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan
hidrogen sianida dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja
dari sianida (termasuk garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan
pembunuhan ataupun bunuh diri (Olson, 2007).
Angka Kejadian
Uap sianida dari bahan pemadam kebakaran yang digunakan untuk mengatasi
kerusuhan di Putins Rusia menyebabkan kematian lebih dari 17.000 orang
selama tahun 2006 (Cyanide Poisoning Treatment Coalition 2006).
Sebenarnya kasus keracunan sianida pada ternak jarang ditemukan di lapangan,
kecuali karena adanya unsur kesengajaan (kriminal) atau keteledoran peternak
dalam pemberian pakan. Kebanyakan kasus keracunan sianida terjadi karena
pemberian sianida sintetis potas secara sengaja ke dalam pakan. Biasanya potas
yang digunakan berbentuk bubuk karena cukup murah, mudah diperoleh, dan
cukup efisien pada dosis rendah (1-2,5 mg/kg berat badan sudah dapat
mematikan hampir semua spesies) (Clarke dan Clarke 1977). Hampir 40% dari
35 kasus keracunan senyawa toksik (sulfat, nitrat-nitrit, klorin, klorida, sianida,
rodentisida seng fosfit, insektisida DDT, diazinon, temik, klorin, dan klorida) pada
hewan di Indonesia pada tahun 19922005 merupakan keracunan sianida
sintetis potas (Yuningsih 2007).
berikatan dengan trivalen ferric (Fe 3+). Tubuh yang mempunyai lebih dari 40
sistem enzim dilaporkan menjadi inaktif oleh sianida. Yang paling nyata dari hal
tersebut ialah non aktif dari dari sistem enzim sitokrom oksidase yang terdiri dari
sitokrom a-a3 komplek dan sistem transport elektron. Jika sianida mengikat
enzim komplek tersebut, transport elektron akan terhambat yaitu transport
elektron dari sitokrom a3 ke molekul oksigen di blok. Sebagai akibatnya akan
menurunkan penggunaan oksigen oleh sel dan mengikut racun PO 2. Sianida
dapat menimbulkan gangguan fisiologik yang sama dengan kekurangan oksigen
dari semua kofaktor dalam sitorom dalam siklus respirasi. Sebagai akibat tidak
terbentuknya kembali ATP selama proses itu masih bergantung pada sitokrom
oksidase yang merupakan tahap akhir dari proses phoporilasi oksidatif. Selama
siklus metabolisme masih bergantung pada sistem transport elektron, sel tidak
mampu menggunakan oksigen sehingga menyebabkan penurunan respirasi
serobik dari sel. Hal tersebut menyebabkan histotoksik seluler hipoksia. Bila hal
ini terjadi jumlah oksigen yang mencapai jaringan normal tetapi sel tidak mampu
menggunakannya. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana terjadinya
jaringan
hipoksia
kesimpulannya
karena
adalah
kekurangan
penderita
jumlah
oksigen
keracunan
sianida
yang
masuk.
disebabkan
Jadi
oleh
Hiperpnea sementara
Nyeri kepala
Dispnea
Kecemasan
Perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah
berkeringat banyak, warna kulit kemerahan, tubuh terasa lemah dan
vertigo juga dapat muncul.
susah bernafas
denyut nadi cepat
Lemah
Tremor
Mata Terbelalak
Kembung dan kadang-kadang terjadi salivasi dan muntah
Kejang-kejang
Lapisan mukosa berwarna merah terang
Inhalasi
Rokok mengandung gas sianida pada perokok pasif dapat ditemukan
sekitar 0.06g/mL sianida dalam darahnya, sementara pada perokok aktif
ditemukan sekitar 0.17 g/mL sianida dalam darahnya. Selain pada rokok
sisa pembakaran produk sintesis yang mengandung karbon dan nitrogen
seperti plastik akan melepaskan sianida. Hidrogen sianida sangat mudah
diabsorbsi oleh paru, gejala keracunan dapat timbul dalam hitungan detik
sampai menit. Ambang batas g/ml tetapi angka minimal hidrogen sianida
di udara adalah 0,02-0,20
sianida yang berbahaya bagi orang disekitarnya. Selain itu, gangguan dari
saraf-saraf sensoris pernafasan juga sangat terganggu. Berat jenis
hidrogen sianida lebih ringan dari udara sehingga lebih cepat terbang ke
angkasa. Anak-anak yang terpapar hidrogen sianida dengan tingkat yang
sama pada orang dewasa akan terpapar hidrogen sianida yang jauh lebih
tinggi.
Namun secara khusus Efek jangka panjang yang terjadi akibat terpajan sianida
dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
-
reaksi zat beracun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang sifatnya
terbalikkan dapat mempengaruhi fungsi homeostasis tubuh. Hal tersebut dapat
terjadi karena hambatan enzim yang secara normal bertanggung jawab terhadap
penawar racun neurotransmitter. Termasuk dalam jenis wujud efek toksik ini
diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf, hiper atau
hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan atau
elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot atau hipo/hiperemi.
-
meliputi jenis wujud efek toksik yang berkaitan dengan perubahan morfologi sel
yang akhirnya terwujud sebagai kekacauan struktural yang terdapat tiga respon
histopatologi dasar sebagai tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni
degenerasi, profilerasi dan inflamasi atau perbaikan. Pada perubahan struktural
ini bersifat tak terbalikkan, misalnya degenerasi lemak.
tempat kerja yang melebihi harga KTM-nya lebih lanjut, keadaan ini bergantung
pada
keefektifan
absorpsi,
distribusi,
metabolisme,
dan
ekskresi
bahan
berbahaya terkait. Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil,
sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang
waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala-gejala
toksik, dan saat penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini
diperlukan untuuk memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di
dalam tubuh. Misal bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna,
maka tindakan penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini,
mungkin
yang
diperlukan
penghambatan
distribusi
atau
peningkatan
eliminasinya. Masalahnya sekarang, bagaimana tata cara pelaksanaan masingmasing strategi tersebut.
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode
yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah
metode umum yang dapat diterapkan
Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah
tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia. Strategi dasar terapi antidot
meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan
eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh.
Natrium tiosulfat
merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak
50 ml dalam 25% larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh
tiosulfat. Namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri
perut, mual, kemerahan, dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak
didasarkan pada berat badan.
nitrit
metheboglobin ( Fe +++ )
Sianmethemoglobin
Hasil terapi dengan pemberian natrium nitrit secara teoritis akan menurunkan
level methemoglobin sebanyak 20 30%.
Meskipun demikian gejala efek toksik pada beberapa kelompok hewan uji pada
penelitian ini banyak yang tidak teramati, bisa disebabkan oleh karena cepatnya
terjadi kematian hewan uji tanpa melewati/memperlihatkan tanda-tanda gejala
keracunan sianida, ataupun pada beberapa kelompok masih bertahan hidup
hingga waktu pengamatan selesai (24 jam). Dengan adanya
kembali ke keadaan normal (hilangnya gejala efek toksik) maka dapat dikatakan
bahwa kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit
62.460 mg/KgBB merupakan pilihan antidot yang baik dalam menangani
keracunan sianida dosis 26 mg/KgBB secara peroral. Hal ini sesuai sifatnya di
mana saat kadar racun sianida habis, reseptor kembali, artinya apabila sianida
dosis 26 mg/KgBB dalam tubuh sudah menurun bahkan sudah habis, maka
reseptor yang mulanya berikatan dengan sianida akan kembali ke reseptor
semula dan berfungsi seperti semula. Efek toksik juga cepat kembali normal, di
mana sianida dosis 26 mg/KgBB peroral sangat cepat menimbulkan efek toksik,
namun secara cepat normal kembali atau sangat cepat pergi dari reseptor
sasaran dengan adanya kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan
natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara intraperitoneal.
Daftar Pustaka
Libertus Tintus H. 2008. Skripsi, Dosis Efektif Kombinasi Natrium Tiosulfat dan
Natrium Nitrit sebagai Antidot Keracunan Sianida Akut pada Mencit Jantan Galur
Swiss. Yogyakarta.
Yuningsih. 2012. Keracunan Sianida pada Hewan. Jurnal Litbang Pertanian, 31(1).
Balai Besar Penelitian Veteriner: Bogor.