Nama Blok
2. Fasilitator
3. Data Pelaksanaan:
a. Tanggal Tutorial : 27 Oktober 2009 dan 30 Oktober 2009
b. Pemicu
:2
c. Pukul
: 10.30-13.00(27 Oktober 2009)
07.00-09.30(30 Oktober 2009)
d. Ruangan
: Ruang Diskusi 4
4. Pemicu:
Bayi Ani berusia 6 hari dengan berat badan 3200 gram, panjang badan 50 cm, lingkar
kepala 33 cm datang ke RS dengan keluhan utama tampak gerakan seperti mengayuh
sepeda berulang ulang dan mata berkedip kedip terus menerus sejak 1 hari yang lalu.
Bayi lahir di rumah ditolong oleh dukun beranak dan menangis segera setelah lahir.
Pada usia 2 hari tali pusat berwarna kemerahan dan sekitar pangkal tali pusat
kemudian mulai bengkak dan berbau. Selama hamil ibu tidak pernah kontrol ke
petugas kesehatan dan setelah melahirkan tidak memberikan ASI pada bayinya. Pada
pemeriksaan fisik bayi tampak tidak aktif dan tidak minum, ubun-ubun terbuka rata,
laju napas 80 kali/menit dan suhu tubuh 36,55 C
Apa yang terjadi pada bayi ini dan pemeriksaan lab apa yang perlu dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosa kelainan ini?
More Info:
Hasil pemeriksaan laboratorium adalah:
Hb
: 14 g/dL
Leukosit 3500/mm3
Hematokrit 42%
Trombosit 95000/mm3
Bilirubin total 13 mg/dl, bilirubin direct 0,75 mg/dL
CRP (+)
IT ratio > 0,2
Kadar Gula Darah 25 mg/dl
Pemeriksaan elektrolit dalam batas normal
Bagaimana kesimpulan saudara tentang penyakit bayi Ani sekarang dan bagaimana
penanganannya?
5. Tujuan Pembelajaran:
a. Untuk mengetahui segala aspek mengenai infeksi umbilikus
b. Mengetahui segala sesuatu mengenai sepsis pada neonatus
c. Mengetahui segala tentang kejang pada neonatus
6. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat:
a. Jelaskan tentang infeksi umbilikus!
b. Jelaskan tentang sepsis pada neonatus!
c. Jelaskan tentang kejang pada neonatus!
1
7. Pembahasan
7.1 Infeksi Umbilikus (Omfalitis)
7.1.1. Definisi Infeksi Umbilikus
Infeksi umbilikus adalah invasi dan perkembangbiakan mikroorganisme melalui
umbilikus di jaringan tubuh.
Umbilikus
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa etiologi omfalitis berbeda-beda sehingga
patogenesisnya akan berbeda juga. Clostridium tetani merupakan bakteri berbentuk basil
anaerob, dapat bergerak, dan dapat menghasilkan spora yang dapat bertahan sampai bertahuntahun.
Awalnya Bakteri atau pun spora dari Clostridium tetani masuk melalui jaringan yang
rusak seperti pada luka, luka bakar, ujung umbilikus atau pun jahitan bedah. Kemudian
bakteri ini akan menghasilkan dua jenis toksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanospasmin awalnya akan berikatan dengan reseptor pada membran presinaps saraf
motorik, kemudian akan bermigrasi secara berlawanan pada sistem transport akson menuju
badan sel dari sumsum tulang belakang dan batang otak. Toksin ini kemudian akan berdifusi
pada ujung sel-sel inhibitorik seperti GABA sehingga pelepasan dari neurotransmitter ini
akan terganggu, saraf motorik tidak akan dihambat dan ini akan menghasilkan gejala klinis
tetanus yang berupa hiperefleksia otot seperti adanya kesulitan menelan air, kekakuan otot
leher, otot perut dan pernapasan hingga kejang otot yang mulanya pada daerah infeksi yang
seiring dengan berjalannnya waktu dapat menyebar ke otot-otot rahang dan menyebabkan
lock jaw. Komplikasi yang dapat terjadi adalah mulut robek atau terluka.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang berbentuk bola, bergerombol seperti
buah anggur, dan memberikan hasil tes katalase yang positif. Apabila dikembangbiakan,
bakteri ini membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning kecoklatan. Bakteri ini
menyerang dengan mengeluarkan toksinnya yang disebut leukosidin yang dapat membuat sel
darah putih manusia lisis. Temuan klinis biasanya berupa abses atau seperti jerawat. Akan
tetapi, bakteri ini juga dapat menyebabkan nekrosis jaringan, osteomielitis, pneumonia,
meningitis, empisema, endokarditis, atau sepsis dengan supurasi di tiap organ. Patogenesis
bakteri ini dimulai dengan adhesi bakteri pada mukosa sel yang diperantarai asam telkoat
pada submukosa dan subkutan. Kemudian peptidoglikan bakteri ini akan membuat monosit
2
mensekresikan pirogen endogen yaitu IL-1 atau pun TNF-. Selain itu, pada saat yang
bersamaan membuat komplemen teraktivasi dan mendatangkan sel PMN. Akan tetapi, sel-sel
PMN tersebut akan didegranulasi oleh adanya leukosidin. Selain leukosidin, bakteri ini juga
mengeluarkan hemolisin yaitu toksin yang dapat membuat sel darah merah menjadi lisis.
Selain itu, Staphylococcus aureus juga dapat merangsang terjadinya opsonisasi dan
membuat aglutinogen(protein A) berikatan dengan ligan Fc molekul IgE. Akan tetapi, protein
A dapat menyerap Ig serum sehingga ini akan mencegah antibodi antibakteri melakukan
opsonisasi. Karena opsonisasi terhambat, maka fagositosis pun akan menjadi sulit dan
bahkan tidak terjadi. Ini akan membuat bakteri tetap ada dan membuat infeksi.
Streptococcus agalactie merupakan streptokokus grup B yaitu bakteri dapat
menyebabkan hemolisis secara sempurna apabila dilakukan kultur darah. Bakteri ini
merupakan flora normal pada traktus genitalia wanita. Bakteri ini apabila menyerang
neonatus dapat menyebabkan sepsis yang bersifat fulminan atau tiba-tiba, meningitis atau pun
respiratory distress syndrome.
Klebsiella pneumonia merupakan bakteri gram negatif. Bakteri ini mempunyai
antigen O (lipopolisakarida), H(Flagel) , dan K(kapsul). Lipopolisakarida bakteri ini dapat
menyebabkan terjadinya sepsis. Gejala klinis pada penderita ekstrapulmoner tergantung pada
organ yang terlibat.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sepsis, umbilical phlebitis, peritonitis, dan
fasciitis. Untuk penanganan dapat diberikan secara intravena methicillin dan aminoglikosida
atau sefalosporin generasi ketiga. Sedangkan pengobatan untuk tetanus terdiri dari 3 upaya:
a. Mengatasi akibat eksotoksinnya yang sudah terikat dengan saraf yaitu dengan
memberi obat pelemas otot berupa diazepam.
b. Menetralisir eksotoksin yg sudah beredar dalam darah dengan memberi Anti
Tetanus Serum (ATS) yg berasal dari serum kuda yang dapat menghasilkan
antibodi thdp eksotoksin tetanus atau dengan memberi Immunoglobin Tetanus
Human (Tetanoglobin Hipertet).
c. Menghilangkan kuman penyebabnya dengan memberikan metronidazole.
7.2.
Pada sepsis awitan dini merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode
pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in
utero, dan didapat dari ibu. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus
sepsis awitan dini adalah Streptokokus Grup B (SGB), Escherichia coli, Haemophilus
influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia,
mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif.
Sepsis awitan lambat merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang
diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien
semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Di negara maju, Coagulasenegative Staphylococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama sepsis
awitan lambat, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang
Gram negatif seperti Escherichia coli, Klebsiella sp, dan Pseudomonas aeruginosa.
Awitan Dini
(Early-Onset Neonatal
Sepsis)
Kurang dari 72 jam
Awitan Lambat
(Late-Onset Neonatal
Sepsis)
Lebih dari 72 jam
Proses persalinan
Dari ibu ke bayi
Lingkungan
Rumah sakit atau nosokomial
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa
faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman
dapat timbul melalui berbagai jalan seperti infeksi kuman, prosedur yang invasif, terjadinya
kontaminasi pada saat ketuban pecah, dan lain-lain
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan
pada infeksi TORCH, Treponema pallidum atau Listeria monocytogenes, dan lainnya.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada
cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya
terjadi kontaminasi kuman pada janin.
Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi
dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah
lebih dari 18-24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi
silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal
invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan
anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama, hunian terlalu padat, dan sebagainya.
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah,
akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai
reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada
pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.
Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan
pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
7.2.4.1. Patogenesis Bakteri Gram Negatif
Endotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri atau LPS dengan antibodi dalam penderita
akan membentuk kompleks LPSab (Lipopolisakarida antibodi). Kompleks LPSab akan
berikatan dengan CD14+, yaitu reseptor pada membran makrofag. akan bereaksi dengan
makrofag dan makrofag akan mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. CD14+ akan
mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor yang berfungsi
untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag. Ini akan memicu makrofag atau
monosit melepaskan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas selular
7.2.4.2. Patogenesis Bakteri Gram Positif, Virus, dan Parasit serta Patofisiologi
Eksotoksin, virus, dan parasit berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai APC (Antigen Presenting Cells) dan antigen
yang dibawa makrofag berasal dari Major Histocompability Complex. Antigen yang
5
bermuatan MHC kelas II ini akan berikatan dengan CD4 + dengan perantaraan TcR (T cell
Receptor). Kemudian akan teraktivasi Th1 yang akan mengekspresikan IFN-, IL-2, dan MCSF (Macrophage colony stimulating factor). Sedangkan IL-4, IL-5, dan TNF-. IFN-
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF- merupakan sitokin proinflamasi,
sehingga pada keadaan sepsis akan terjadi peningkatan kadar kedua sitokin tersebut dalam
darah. Peningkatan kedua sitokin tersebut juga berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit penderita. Selain itu, diketahui juga bahwa IL-2 dan TNF- juga dapat merusak
endotel pembuluh darah dengan mekanisme yang masih belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator juga mempunyai efek dalam pembentukan PGE2 dan merangsang ekspresi
Intracellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1).
Dengan adanya ICAM-1 ini akan menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh
Granulocyte-macrophage colony stimulating factor(GM-CSF) melakukan adhesi. Interaksi
endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu bergulirnya neutrofil dengan bantuan
P dan E selektin yang diekspresikan endotel dan L-selektin yang diekspresikan neutrofil.
Tahap kedua merupakan adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat integrin CD-11 atau
CD-18 yang melekatkan neutrofil pada molekul adhesi ICAM yang dihasilkan oleh endotel.
Tahap ketiga merupakan transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi
mitokondria dan siklus GMPs. Akibat proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga
terjadi kerusakan pembuluh darah. Dengan terjadinya kerusakan pembuluh darah tersebut,
akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (Vascular Leak) sehingga menyebabkan
MODS (Multi Organ Dysfunction Syndrome). MODS juga dapat disebabkan oleh mediator
inflamasi sistemik dan trombosis yang terbentuk.
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi
menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi
jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan
mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui
faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan
sama; protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3).
Kolagen dan kalikrein juga mengaktivasi jalur intrinsik.
Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan membantu
mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek
proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan pelepasan TF,
faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu, trombin merangsang chemoattractant
bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis serta merangsang degranulasi sel
mast yang melepaskan bioamin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan kebocoran kapiler.33 Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali
pada jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari
mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik
melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan
hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
Trombosis juga dapat terbentuk karena Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi
oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor
XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi
6
disseminated intravascular coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan merobah
prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan
hipotensive agent yang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah.
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat
sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan
tampak gambaran klinis sepsis seperti hipotermia atau hipertermia, hipoglikemia dan kadangkadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ
tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat seperti letargi, refleks hisap buruk,
menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat
disertai kejang, kelainan kardiovaskular yang dapat dijumpai seperti hipotensi, pucat,
sianosis, dingin dan clummy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik,
gastrointestinal ataupun gangguam respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare,
distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang,
takipnea, apnea, merintih dan retraksi.
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses
tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan
satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini
masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan
dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab
termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. Walaupun dilaporkan terdapat
kesalahan baca pada beberapa kasus, pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat
dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat
dalam menentukan penggunaan antibiotikpada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan kekurangan pada
pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu, berbagai upaya penegakan diagnosis
dengan mempergunakan petanda sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai
petanda sepsis banyak dilaporkan dikepustakaan dengan spesifisitas dan senitivitas yang
berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai petanda sepsis tersebut dan
mengemukakan sejumlah petanda infeksi yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis
sepsis pada neonatus dan bayi prematur
Tabel 2. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur.
10
Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin
Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1)
Cell surface markers
Neutrophil
Lymphocyte
Monocyte
CD11b
CD3
HLA-DR
CD11c
CD19
CD13
CD25
CD15
CD26
CD33
CD45RO
CD64
CD69
CD66b
CD71
Others
Lactate
Micro-erythrocyte sedimentation
Superoxide anion (respiratory burst)
11
Alur pemeriksaan CRP pada sepsis awitan dini dan kaitannya dengan pemberian antibiotik.
7.2.6.5. Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi.
Pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah dengan
menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64, Interleukin-6 (IL-6)
13
14
Saluran napas
Sistem hematologik
SSP
Gangguan Ginjal
Gastroenterologi
Hepar
Gambaran Klinik
Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut jantung < 50 atau > 220
mmHg
Terjadi henti jantung
pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal
kebutuhan akan inotropik untuk
mempertahankan
tekanan
darah
normal
Frekuensi napas > 90/menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung
sianotik
Hb < 5 g/dl
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab
SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.
distres pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Kontra indikasi
TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis,
omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada tempat
tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris atau arteri
dorsalis pedis.
TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT
memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan
menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan asidosis
berat. Namun demikian, perlu diperhatikan juga mengenai efek samping seperti gangguan
hemodinamik yang dapat menyebabkan kematian.
7.2.7.3. Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik
tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan
katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot
dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam amino
yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin
dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada
bayi sehat harus dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus
diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak
memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral diberikan
setelah bayi lebih stabil.
7.2.8. Pencegahan Sepsis
7.2.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik. Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal
persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi
awitan dini (early-onset) pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta
menurunkan resiko infeksi GBS. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan
ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum dan
infeksi GBS. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban
pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama
persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang pernah
mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.
7.2.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan infeksi
nosokomial seperti pemakaian antibiotik yang rasional, meningkatkan kepatuhan mencuci
tangan pada kalangan medis, lebih memperhatikan penanganan dan perawatan kateter vena
sentral atau pun dapat dibuat program pendidikan, serta perlu dilakukan pemantauan yang
berkelanjutan.
7.2.9. Prognosis
19
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda
dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka
kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian
pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi
cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG
pada sepsis awitan dini adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 %
(pada infeksi SGB pada sepsis awitan lambat kira kira 2 %).
kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi,
fiksasi vertikal dan horisontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan ini semakin
memburuk akan menimbulkan kejang. Sedangkan pada bayi cukup bulan, disertai riwayat
intrapartum sepserti trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifestasi klinik yang timbul bervariasi mulai dari asimptomatik
sampai gejala yang hebat. Kejang yang biasanya ditemukan berupa kejang fokal, multifokal,
atau umum. Manifestasi klinik lainnya dapat berupa apnea, sianosis, letargi, jitteriness,
muntah, ubun-ubun besar dan membonjol, tangis melengking, dan perubahan tonus otot.
7.3.2.3. Gangguan Metabolik
7.3.2.3.1. Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Bayi yang mempunyai
resiko terjadinya hipoglikemia adalah bayi yang kecil untuk masa kehamilan, bayi besar
untuk masa kehamilan, dan bayi dari ibu diabetes. Hipoglikemia dapat menyebabkan kejang
pada neonatus disertai gejala lainnya seperti apnu, letargi, dan jitterness. Kejang karena
hipoglikemia sering dihubungkan dengan etiologi kejang yang lain karena hanya sebagian
kecil yang benar-benar disebabkan oleh hipoglikemia
7.3.2.3.2. Hipokalsemia/hipomagnesemia
Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium darah < 7,5 mg/dL (< 1.87 mmol/L),
biasanya dengan kadar fosfat > 3 mg/dL (>0.95 mmol/L). Biasanya terjadi pada hari pertama
dan kedua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan asfiksia dan
ibu dengan diabetes mellitus. Pada bayi cukup bulan, dapat juga terjadi hipokalsemia karena
mendapat susu formula yang kandungan rasio fosfat dengan kalsium atau magnesium yang
rendah. Kadar magensium yang rendah sering terjadi bersama hipokalsemia. Mekanisme
terjadinya hipokalsemia dan hipomagnesia secara bersamaan belum jelas.
7.3.2.3.3. Hiponatremia dan hipernatermia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome of
Inappropriate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindrom Bartter, atau dehidrasi berat.
SIADH biasanya berhubungan dengan keadaan sekunder dari meningitis atau perdarahan
intrakranial, terapi diuretika, kehilangan gram yang berlebihan atau asupan cairan yang
mengandung kadar natrium rendah. Hiponatremia juga dapat terjadi akibat minum air,
pemberian infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan
lewat kencing dan feses. Sedangkan hipernatremia dapat terjadi akibat dehidrasi berat atau
iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat
pemberian natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral
7.3.2.4. Infeksi
Infeksi yang dapat mengakibatkan kejang dapat dibagi menjadi dua yaitu infeksi akut
dan kronik. Pada infeksi akut biasanya virus atau bakteri menyerang SSP dengan atau tanpa
keadaan sepsis dan biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Bakteri yang biasanya
ditemukan adalah GBS, Eschedrichia coli, Listeria sp, Staphylococcus, dan Pseudomonas sp.
Sedangkan infeksi kronik karena infeksi intrauterin yang berlangsung lama seperti pada
infeksi TORCH dan treponema pallidum.
7.3.2.5. Kernikterus
21
b.
c.
22
d.
Pada kejang akan terjadi penurunan tajam kadar glukosa otak dibanding kadar glukosa
darah yang normal dan disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme
transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada sehingga
kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga akan meningkat untuk mencukupi kebutuhan
oksigen dan glukosa. Laktat akan terakumulasi selama kejang, dan pH akan menurun.
7.3.4. Klasifikasi dan Gejala Klinis Kejang
7.3.4.1. Kejang Subtle
Kejang jenis ini terjadi sehubungan dengan adanya jenis kejang lain dan mungkin
bermanifestasi dengan adanya gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh
sepeda atau berenang, deviasi atau gerakan kejut pada mata dan mengedip yang berulang,
ngiler, gerakan menghisap atau mengunyah, apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola
pernapasan, dan adanya fluktuasi yang berirama pada tanda vital.
7.3.4.2. Kejang Tonik
Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal, pada kejang tonik umum biasanya
bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500 gram), fleksi atau ekstensi tonik pada
ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi, tonus pada
ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan
otonomis apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.
Kejang tonik fokal dapat terlihat dari postur asimetris dari salah satu
ekstremitas
atau batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata. Sebagian besar kejang tonik terjadi
bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventrikular.
7.3.4.3. Kejang Klonik
Kejang klonik biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan >2500 gram. Gejalanya
yaitu terdapat gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan berirama (1-3 /menit).
Penyebabnya mungkin focal atau multi-focal. Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan
yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat. Pada kejang klonik juga terdapat perubahan
posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut
dan tidak terjadi hilang kesadaran. Terjadinya kejang klonik mungkin berkaitan dengan
trauma fokal, infarks atau gangguan metabolik.
7.3.4.4. Kejang Mioklonik
Kejang mioklonik dapat berupa fokal, multi-fokal atau umum. Pada kejang
mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas, sedangkan pada kejang
mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yang tidak sinkron pada beberapa
bagian tubuh. Pada kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada
kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus. Ketiga jenis kejang ini sering dijumpai pada bayi kurang
bulan dan cukup bulan saat sedang tidur.
23
25
Cacat (%)
25
23
40
40
50
Normal (%)
25
18
40
100
50
26
8. Ulasan
Menurut buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV , penjelasan patogenesis
sepsis yang disebabkan oleh gram negatif, masih kurang lengkap dan tidak dapat
menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan karena konsep tersebut tidak
melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis. Kemudian, setelah dicari
penjelasan-penjelasan pada referensi lainnya, juga didapati bahwa patogenesis sepsis
tersebut hampir sama dan belum dapat menerangkan keterlibatan limfosit T.
Pada buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15, disebutkan bahwa produkproduk dari dinding sel bakteri akan menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin yang
dapat menyebabkan vasodilatasi. Ini berbeda dengan jurnal pada website
www.biomedexperts.com (1988: Doty S; Traber L; Herndon D; Kimura R;
Lubbesmeyer H; Davenport S; Traber D. Beta endorphin, a vasoconstrictor during
septic shock. The Journal of trauma 1988;28(2):131-9.) yang mengatakan bahwa
endorfin menyebabkan vasokonstriksi. Karena keterbatasan waktu dan pustaka,
belum diketahui apakah beta endorfin menyebabkan vasokonstriksi atau dilatasi.
Pada kasus dikatakan bahwa bayi lahir di rumah ditolong oleh dukun beranak
dan menangis segera setelah lahir, ini menyebutkan bahwa seolah-olah bayi tersebut
partus dengan bantuan tenaga kesehatan yang tidak layak dan tidak dapat melakukan
partus secara steril dan benar sehingga akan terjadi infeksi umbilikus. Akan tetapi,
setelah mendengar penjelasan para pakar, diketahui bahwa dukun beranak merupakan
salah satu tenaga kesehatan yang telah dilatih sehingga tidak menjadikan partus
ditolong oleh dukun beranak merupakan salah satu dari faktor resiko infeksi
umbilikus.
9. Kesimpulan
Infeksi umbilikus yang diderita oleh bayi Ani menyebabkan terjadinya sepsis
(karena imun bayi masih kurang dan adanya faktor resiko sepsis seperti tidak
mendapat ASI, tidak mendapat antenatal care) dan kejang (infeksi merupakan etiologi
kejang).
27
DAFTAR PUSTAKA
A Guntur H. 415 Sepsis. Aru Suwono dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1840-1841.
Geo F Brooks, Janet S Butel, and L Nicholas Ornston. Chapter 12 Spore-Forming GramPositive Bacilli: Bacillus & Clostridium Species. Appleton & Lange(eds). Jawetz, Melnick,
& Adelberg Medical Microbiology 24th edition. United States of America: McGrawHill. 2007;
209-210.
M Sholeh Kosim,dkk. Sepsis pada Bayi Baru Lahir; Kejang dan Spasme. Buku Ajar
Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.2008; 170-187;226-250.
Robert M Kliegman,Ann M Arvin. Bab 168 Sepsis dan Syok. A Samik Wahab(eds) . Nelson
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta:EGC.1999 ;868-772.
Russell W. Steele. Congenital and Perinatal Infections. Burke A Cunha (eds). Clinical
Handbook of Pediatric Infectious Disease 3rd edition. New York: Informa Healthcare USA,
Inc. 2007:11
28