Anda di halaman 1dari 28

1.

Nama Blok

: Growth and Development System

2. Fasilitator

: dr. Sri Suryani, M.Kes

3. Data Pelaksanaan:
a. Tanggal Tutorial : 27 Oktober 2009 dan 30 Oktober 2009
b. Pemicu
:2
c. Pukul
: 10.30-13.00(27 Oktober 2009)
07.00-09.30(30 Oktober 2009)
d. Ruangan
: Ruang Diskusi 4
4. Pemicu:
Bayi Ani berusia 6 hari dengan berat badan 3200 gram, panjang badan 50 cm, lingkar
kepala 33 cm datang ke RS dengan keluhan utama tampak gerakan seperti mengayuh
sepeda berulang ulang dan mata berkedip kedip terus menerus sejak 1 hari yang lalu.
Bayi lahir di rumah ditolong oleh dukun beranak dan menangis segera setelah lahir.
Pada usia 2 hari tali pusat berwarna kemerahan dan sekitar pangkal tali pusat
kemudian mulai bengkak dan berbau. Selama hamil ibu tidak pernah kontrol ke
petugas kesehatan dan setelah melahirkan tidak memberikan ASI pada bayinya. Pada
pemeriksaan fisik bayi tampak tidak aktif dan tidak minum, ubun-ubun terbuka rata,
laju napas 80 kali/menit dan suhu tubuh 36,55 C
Apa yang terjadi pada bayi ini dan pemeriksaan lab apa yang perlu dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosa kelainan ini?
More Info:
Hasil pemeriksaan laboratorium adalah:
Hb
: 14 g/dL
Leukosit 3500/mm3
Hematokrit 42%
Trombosit 95000/mm3
Bilirubin total 13 mg/dl, bilirubin direct 0,75 mg/dL
CRP (+)
IT ratio > 0,2
Kadar Gula Darah 25 mg/dl
Pemeriksaan elektrolit dalam batas normal
Bagaimana kesimpulan saudara tentang penyakit bayi Ani sekarang dan bagaimana
penanganannya?
5. Tujuan Pembelajaran:
a. Untuk mengetahui segala aspek mengenai infeksi umbilikus
b. Mengetahui segala sesuatu mengenai sepsis pada neonatus
c. Mengetahui segala tentang kejang pada neonatus
6. Pertanyaan yang muncul dalam curah pendapat:
a. Jelaskan tentang infeksi umbilikus!
b. Jelaskan tentang sepsis pada neonatus!
c. Jelaskan tentang kejang pada neonatus!
1

7. Pembahasan
7.1 Infeksi Umbilikus (Omfalitis)
7.1.1. Definisi Infeksi Umbilikus
Infeksi umbilikus adalah invasi dan perkembangbiakan mikroorganisme melalui
umbilikus di jaringan tubuh.

7.1.2. Etiologi Infeksi Umbilikus (Omfalitis)


Etiologi infeksi umbilikus adalah bakteri. Seperti yang kita ketahui, bakteri pada
umumnya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram
negatif. Sampai saat ini diketahui beberapa bakteri gram positif yang dapat menyebabkan
omfalitis yaitu Clostridium tetani, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus agalactie.
Sedangkan bakteri gram negatif yang dapat menyebabkan omfalitis yaitu Klebsiella
pneumonia.

7.1.3. Patogenesis, Gejala Klinis, Komplikasi serta Penatalaksanaan Infeksi

Umbilikus
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa etiologi omfalitis berbeda-beda sehingga
patogenesisnya akan berbeda juga. Clostridium tetani merupakan bakteri berbentuk basil
anaerob, dapat bergerak, dan dapat menghasilkan spora yang dapat bertahan sampai bertahuntahun.
Awalnya Bakteri atau pun spora dari Clostridium tetani masuk melalui jaringan yang
rusak seperti pada luka, luka bakar, ujung umbilikus atau pun jahitan bedah. Kemudian
bakteri ini akan menghasilkan dua jenis toksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanospasmin awalnya akan berikatan dengan reseptor pada membran presinaps saraf
motorik, kemudian akan bermigrasi secara berlawanan pada sistem transport akson menuju
badan sel dari sumsum tulang belakang dan batang otak. Toksin ini kemudian akan berdifusi
pada ujung sel-sel inhibitorik seperti GABA sehingga pelepasan dari neurotransmitter ini
akan terganggu, saraf motorik tidak akan dihambat dan ini akan menghasilkan gejala klinis
tetanus yang berupa hiperefleksia otot seperti adanya kesulitan menelan air, kekakuan otot
leher, otot perut dan pernapasan hingga kejang otot yang mulanya pada daerah infeksi yang
seiring dengan berjalannnya waktu dapat menyebar ke otot-otot rahang dan menyebabkan
lock jaw. Komplikasi yang dapat terjadi adalah mulut robek atau terluka.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang berbentuk bola, bergerombol seperti
buah anggur, dan memberikan hasil tes katalase yang positif. Apabila dikembangbiakan,
bakteri ini membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning kecoklatan. Bakteri ini
menyerang dengan mengeluarkan toksinnya yang disebut leukosidin yang dapat membuat sel
darah putih manusia lisis. Temuan klinis biasanya berupa abses atau seperti jerawat. Akan
tetapi, bakteri ini juga dapat menyebabkan nekrosis jaringan, osteomielitis, pneumonia,
meningitis, empisema, endokarditis, atau sepsis dengan supurasi di tiap organ. Patogenesis
bakteri ini dimulai dengan adhesi bakteri pada mukosa sel yang diperantarai asam telkoat
pada submukosa dan subkutan. Kemudian peptidoglikan bakteri ini akan membuat monosit
2

mensekresikan pirogen endogen yaitu IL-1 atau pun TNF-. Selain itu, pada saat yang
bersamaan membuat komplemen teraktivasi dan mendatangkan sel PMN. Akan tetapi, sel-sel
PMN tersebut akan didegranulasi oleh adanya leukosidin. Selain leukosidin, bakteri ini juga
mengeluarkan hemolisin yaitu toksin yang dapat membuat sel darah merah menjadi lisis.
Selain itu, Staphylococcus aureus juga dapat merangsang terjadinya opsonisasi dan
membuat aglutinogen(protein A) berikatan dengan ligan Fc molekul IgE. Akan tetapi, protein
A dapat menyerap Ig serum sehingga ini akan mencegah antibodi antibakteri melakukan
opsonisasi. Karena opsonisasi terhambat, maka fagositosis pun akan menjadi sulit dan
bahkan tidak terjadi. Ini akan membuat bakteri tetap ada dan membuat infeksi.
Streptococcus agalactie merupakan streptokokus grup B yaitu bakteri dapat
menyebabkan hemolisis secara sempurna apabila dilakukan kultur darah. Bakteri ini
merupakan flora normal pada traktus genitalia wanita. Bakteri ini apabila menyerang
neonatus dapat menyebabkan sepsis yang bersifat fulminan atau tiba-tiba, meningitis atau pun
respiratory distress syndrome.
Klebsiella pneumonia merupakan bakteri gram negatif. Bakteri ini mempunyai
antigen O (lipopolisakarida), H(Flagel) , dan K(kapsul). Lipopolisakarida bakteri ini dapat
menyebabkan terjadinya sepsis. Gejala klinis pada penderita ekstrapulmoner tergantung pada
organ yang terlibat.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sepsis, umbilical phlebitis, peritonitis, dan
fasciitis. Untuk penanganan dapat diberikan secara intravena methicillin dan aminoglikosida
atau sefalosporin generasi ketiga. Sedangkan pengobatan untuk tetanus terdiri dari 3 upaya:
a. Mengatasi akibat eksotoksinnya yang sudah terikat dengan saraf yaitu dengan
memberi obat pelemas otot berupa diazepam.
b. Menetralisir eksotoksin yg sudah beredar dalam darah dengan memberi Anti
Tetanus Serum (ATS) yg berasal dari serum kuda yang dapat menghasilkan
antibodi thdp eksotoksin tetanus atau dengan memberi Immunoglobin Tetanus
Human (Tetanoglobin Hipertet).
c. Menghilangkan kuman penyebabnya dengan memberikan metronidazole.

7.2.

Sepsis pada Neonatus

7.2.1 Definisi Sepsis


Infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan ditemukannya bakteri
dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang, atau air kemih.
7.2.2 Klasifikasi dan Etiologi Sepsis
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua
bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis
neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).
Etiologi sepsis merupakan dapat berupa bakteri gram positif atau pun gram negatif,
jamur, virus (Dengue atau Herpes) atau pun protozoa (Plasmodium falciparum). Pada bakteri
gram positif yang dapat menyebabkan sepsis merupakan eksotoksin. Sedangkan pada bakteri
gram negatif yang menyebabkan sepsis adalah endotoksin atau LPS (Lipopolisakarida).
3

Pada sepsis awitan dini merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode
pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in
utero, dan didapat dari ibu. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus
sepsis awitan dini adalah Streptokokus Grup B (SGB), Escherichia coli, Haemophilus
influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia,
mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif.
Sepsis awitan lambat merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang
diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien
semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Di negara maju, Coagulasenegative Staphylococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama sepsis
awitan lambat, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang
Gram negatif seperti Escherichia coli, Klebsiella sp, dan Pseudomonas aeruginosa.

Tabel 1. Klasifikasi Perbedaan Sepsis

Usia bayi ketika


terjadi sepsis
Didapat dari
Penularan didapat

Awitan Dini
(Early-Onset Neonatal
Sepsis)
Kurang dari 72 jam

Awitan Lambat
(Late-Onset Neonatal
Sepsis)
Lebih dari 72 jam

Proses persalinan
Dari ibu ke bayi

Lingkungan
Rumah sakit atau nosokomial

7.2.3. Faktor Resiko Sepsis


Faktor resiko sepsis awitan dini dapat dibedakan menjadi faktor ibu dan faktor bayi.
Faktor ibu dapat disebabkan karena persalinan dan kelahiran yang kurang bulan, ketuban
pecah lebih dari 18 jam, korioamnionionitis, persalinan dengan tindakan, demam pada ibu
(lebih dari 38,4oC), Infeksi saluran kemih pada ibu, faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Sedangkan, faktor bayi dapat berupa asfiksia perinatal, berat lahir rendah, bayi kurang bulan,
prosedur invasif, dan kelainan bawaan.
Faktor resiko sepsis awitan lambat dapat berupa infeksi yang berasal dari lingkungan
tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang
intensif, bayi kurang bulan yang mengalami lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut,
infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari
bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi
pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih, pada bayi
dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan yang tidak
benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di
NICU.

7.2.4. Patogenesis dan Patofisiologi Sepsis

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa
faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman
dapat timbul melalui berbagai jalan seperti infeksi kuman, prosedur yang invasif, terjadinya
kontaminasi pada saat ketuban pecah, dan lain-lain
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui
aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan
pada infeksi TORCH, Treponema pallidum atau Listeria monocytogenes, dan lainnya.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan kuman pada
cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya
terjadi kontaminasi kuman pada janin.
Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi
dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah
lebih dari 18-24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi
silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur neonatal
invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan
anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama, hunian terlalu padat, dan sebagainya.
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah,
akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai
reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada
pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.
Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan
pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
7.2.4.1. Patogenesis Bakteri Gram Negatif
Endotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri atau LPS dengan antibodi dalam penderita
akan membentuk kompleks LPSab (Lipopolisakarida antibodi). Kompleks LPSab akan
berikatan dengan CD14+, yaitu reseptor pada membran makrofag. akan bereaksi dengan
makrofag dan makrofag akan mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. CD14+ akan
mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor yang berfungsi
untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag. Ini akan memicu makrofag atau
monosit melepaskan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas selular
7.2.4.2. Patogenesis Bakteri Gram Positif, Virus, dan Parasit serta Patofisiologi
Eksotoksin, virus, dan parasit berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai APC (Antigen Presenting Cells) dan antigen
yang dibawa makrofag berasal dari Major Histocompability Complex. Antigen yang
5

bermuatan MHC kelas II ini akan berikatan dengan CD4 + dengan perantaraan TcR (T cell
Receptor). Kemudian akan teraktivasi Th1 yang akan mengekspresikan IFN-, IL-2, dan MCSF (Macrophage colony stimulating factor). Sedangkan IL-4, IL-5, dan TNF-. IFN-
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF- merupakan sitokin proinflamasi,
sehingga pada keadaan sepsis akan terjadi peningkatan kadar kedua sitokin tersebut dalam
darah. Peningkatan kedua sitokin tersebut juga berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit penderita. Selain itu, diketahui juga bahwa IL-2 dan TNF- juga dapat merusak
endotel pembuluh darah dengan mekanisme yang masih belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator juga mempunyai efek dalam pembentukan PGE2 dan merangsang ekspresi
Intracellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1).
Dengan adanya ICAM-1 ini akan menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh
Granulocyte-macrophage colony stimulating factor(GM-CSF) melakukan adhesi. Interaksi
endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu bergulirnya neutrofil dengan bantuan
P dan E selektin yang diekspresikan endotel dan L-selektin yang diekspresikan neutrofil.
Tahap kedua merupakan adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat integrin CD-11 atau
CD-18 yang melekatkan neutrofil pada molekul adhesi ICAM yang dihasilkan oleh endotel.
Tahap ketiga merupakan transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan
menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa
superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi
mitokondria dan siklus GMPs. Akibat proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga
terjadi kerusakan pembuluh darah. Dengan terjadinya kerusakan pembuluh darah tersebut,
akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (Vascular Leak) sehingga menyebabkan
MODS (Multi Organ Dysfunction Syndrome). MODS juga dapat disebabkan oleh mediator
inflamasi sistemik dan trombosis yang terbentuk.
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi
menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung akan mengaktivasi
jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan
mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui
faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan
sama; protrombin diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3).
Kolagen dan kalikrein juga mengaktivasi jalur intrinsik.
Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan membantu
mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek
proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk menyebabkan pelepasan TF,
faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-. Selain itu, trombin merangsang chemoattractant
bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis serta merangsang degranulasi sel
mast yang melepaskan bioamin untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan kebocoran kapiler.33 Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali
pada jalur ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari
mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik
melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan
hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.
Trombosis juga dapat terbentuk karena Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi
oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor
XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi
6

disseminated intravascular coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan merobah
prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan
hipotensive agent yang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah.

Gambar 1. Kaskade koagulasi.


Produk dari bakteri juga dapat mengaktivasi komplemen sehingga akan merangsang
sel-sel PMN - salah satunya neutrofil yang akan merangsang neutrofil untuk mengeluarkan
lisozim dan superoksidan sehingga pada akhirnya akan menyebabkan MODS. Selain itu, C5a
dan TNF- juga dapat menyebabkan teraktivasinya sistem koagulasi juga dengan bantuan
TAFI(Thrombin-activable Fibrinolysis Inhibitor) akan menimbulkan thrombin dan fibrin
yang berlebihan karena terjadinya supresi fibrinolisis. Pada sepsis, TNF- juga dapat
meningkatkan PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1) yang akan membuat terinhibisinya
aktivasi plasminogen menjadi plasmin (plasmin berfungsi untuk mengubah fibrin menjadi
Fibrin Degradation Product). Akibat kekurangan dua faktor ini, akan mengakibatkan
terakumulasinya fibrin dalam darah dan menyebabkan dapat ditemukannya mikrotrombi pada
kapiler sehingga aliran darah terganggu dan akan terjadi MODS.
MODS juga dapat disebabkan oleh vasodilatasi yang disebabkan oleh beberapa
mediator seperti prostaglandin E2, bradikinin, atau pun NO yang dikeluarkan oleh makrofag.

Gambar 2. Patofisiologi Kaskade Sepsis


Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan komplikasi tersering pada
sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan
berat. DIC secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan.
Pada pasien DIC, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis buruk.
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan
koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis
mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat
menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. Hilangnya homeostasis
pada sepsis. Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme prokoagulasi dan
antikoagulasi
7.2.5. Gambaran Klinis Sepsis

Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat
sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan
tampak gambaran klinis sepsis seperti hipotermia atau hipertermia, hipoglikemia dan kadangkadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ
tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat seperti letargi, refleks hisap buruk,
menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat
disertai kejang, kelainan kardiovaskular yang dapat dijumpai seperti hipotensi, pucat,
sianosis, dingin dan clummy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik,
gastrointestinal ataupun gangguam respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare,
distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang,
takipnea, apnea, merintih dan retraksi.
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses
tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan
satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:

Laju napas > 60 kali per menit


Retraksi dada yang dalam
Cuping hidung kembang kempis
Merintih
Ubun ubun besar membonjol
Kejang
Keluar pus dari telinga
Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba
dingin)
Letargi atau tidak sadar
Penurunan aktivitas /gerakan
Tidak dapat minum
Tidak dapat melekat pada payudara ibu
Tidak mau menetek.

7.2.6. Diagnosa Sepsis


Dalam menentukan diagnosa sepsis diperlukan beberapa informasi seperti faktor
resiko, gambaran klinik, dan pemeriksaan penunjang.
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun
kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu
dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Akan tetapi,
kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Bervariasinya gejala klinik pada sepsis merupakan penyebab perbedaan kriteria sepsis
dan ini mengakibatkan sulitnya diagnosis pasti pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu
dilakukan seperti yang akan dijelaskan di bawah ini. Akan tetapi perlu diingat bahwa
mengingat keterbatasan fasilitas yang terdapat di beberapa tempat di Indonesia, maka untuk
9

mendiagnosa adanya sepsis cukup dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti


kultur darah, pewarnaan gram dan lainnya. Sedangkan, untuk faktor resiko sepsis yang akan
diketahui dapat bervariasi tergantung dari awitan sepsis yang diderita pasien dan dapat
dikelompokkan menjadi faktor ibu dan faktor bayi seperti yang telah dijelaskan di atas pada
bagian Faktor Resiko Sepsis.
7.2.6.1 Kultur Darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan
diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan
diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati
apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di
masing-masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset
dini maupun lanjut.
Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi
lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai
terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum dini maupun
lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil
kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai
apakah pengobatan cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan
kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.
Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk mengetahui
ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih baik dilakukan pada kasus sepsis
neonatorum awitan lambat. Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi
suprapubik kandung kemih.
Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan lambung
menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.
7.2.6.2 Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini
masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan
dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab
termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. Walaupun dilaporkan terdapat
kesalahan baca pada beberapa kasus, pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat
dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat
dalam menentukan penggunaan antibiotikpada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan kekurangan pada
pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu, berbagai upaya penegakan diagnosis
dengan mempergunakan petanda sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai
petanda sepsis banyak dilaporkan dikepustakaan dengan spesifisitas dan senitivitas yang
berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai petanda sepsis tersebut dan
mengemukakan sejumlah petanda infeksi yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis
sepsis pada neonatus dan bayi prematur
Tabel 2. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur.
10

Haematological tests
Total white blood cell count
Total neutrophil count
Immature neutrophil count
Immature/total neutrophil ratio
Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Dohle
bodies, intracellular bacteria
Platelet count
Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)
D-dimer
Fibrinogen
Thrombin-antithrombin III complex (TAT)
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Plasminogen tissue activator (tPA)
Acute phase proteins and other proteins
a1 Antitrypsin
C Reactive protein (CRP)
Fibronectin
Haptoglobin
Lactoferrin
Neopterin
Orosomucoid
Procalcitonin (PCT)
Components of the complement system
C3a-desArg
C3bBbP
sC5b-9
Chemokines, cytokines and adhesion molecules
Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10
Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75
Interferon c (IFNc)
E-selectin
L-selectin
Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)
Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1)
Cell surface markers
Neutrophil
Lymphocyte
Monocyte
CD11b
CD3
HLA-DR
CD11c
CD19
CD13
CD25
CD15
CD26
CD33
CD45RO
CD64
CD69
CD66b
CD71
Others
Lactate
Micro-erythrocyte sedimentation
Superoxide anion (respiratory burst)

11

7.2.6.3. Pemeriksaan Hematologi


Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang diagnosis
sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:
7.2.6.3.1.Hitung trombosit
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/L jarang ditemukan
pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat terjadi
trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/L), MPV (mean platelet volume)
dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama
kehidupan.
7.2.6.3.2 Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun
jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur
bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat
memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan. Jumlah
total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah
total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil
abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis.
Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia
perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.
7.2.6.3.3. Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.
Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk
menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada
kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas
rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai
perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejalagejala lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan yang
terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau peningkatan rasio
I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui sindrom sepsis yang berasal dari
kelainan nonspesifik karena stress pada saat proses persalinan.
7.2.6.3.4. Pemeriksaan kadar D-dimer.
D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh karena
itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem fibrinolisis. Pada
sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik untuk sepsis karena
peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh penyebab lain seperti trombosis, keganasan,
dan terapi trombolitik.
Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara lain,
aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole blood
agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks
menggunakan antibodi
monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks. Metode ini sederhana,
mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal, namun kurang sensitif untuk
12

pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara ELISA konvensional dianggap merupakan


metode rujukan untuk penetapan kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena
memerlukan waktu yang relatif lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan
prinsip ELISA antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer.
Dengan cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati
cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda bisa
memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesifisitas antibodi
yang dipakai pada masing-masing metode, belum ada satuan yang baku dan belum adanya
konsensus tentang nilai batas abnormal.
7.2.6.4. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul
pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang
dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik,
monosit dan limfosit. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai puncak
dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Cut-off
yang biasa dipakai adalah 10 mg/L. Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai
indikator tunggal pada diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian
dari septic work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk
mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang
dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme
penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti
HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).

Alur pemeriksaan CRP pada sepsis awitan dini dan kaitannya dengan pemberian antibiotik.
7.2.6.5. Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi.
Pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum adalah dengan
menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b, CD64, Interleukin-6 (IL-6)
13

yang dapat membantu sebagai petanda tambahan. Pemeriksaan petanda-petanda infeksi


tersebut secara serial dikombinasikan dengan beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil
yang baik. Sayangnya, pemeriksaan petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan
pemeriksaan tunggal. Pada beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan
pemberian antibiotik dapat dihentikan.
IL-6 adalah sitokin pleiotropic yang terlibat dalam berbagai aspek sistem imunitas.
IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan fibroblas, setelah ada
rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis protein fase akut termasuk CRP
dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang
terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun
sampai ke kadar yang tidak terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh
yang singkat serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi.
Dari penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan
dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan kemungkinan
sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya dan risiko pemberian
antibiotika. Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi
terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma terjadi pada
waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun.
7.2.6.6. Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa
Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien sepsis.
Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat
memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar Inggris, pemeriksaan cara ini
telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna mendeteksi dini kuman tertentu
antara lain Neisseria meningitidis dan Streptococcus pneumoniae. Selain bermanfaat untuk
deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis
neonatorum.
Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifisitasnya
hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan oleh bakteri dalam
waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang menggunakan amplifikasi
PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor risiko sepsis ataupun memiliki gejala
klinis sepsis.
PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien sepsis
neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada kuman dibuktikan
mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi dan sosialisasi pemeriksaan
semacam ini telah berkembang dan terjangkau, diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat
untuk penatalaksanaan dini dan memperbaiki prognosis pasien.
Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga bermanfaat untuk
deteksi infeksi virus pada neonatus. Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai
sensitivitas 100% dan spesifisitas 98% dalam menentukan infeksi invasif. Namun
pemeriksaan ini masih sangat terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat
Pendidikan atau Rumah Sakit Rujukan Propinsi. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk
pemeriksaan ini juga mahal.
7.2.6.7. Pencitraan

14

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran seperti


menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola retikulogranular,
hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory Distress Syndrome), efusi pleura
juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini, dan pneumonia yang penting dilakukan
pemeriksaan radiologi toraks karena ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat
sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan kultur.
Pemeriksaan CT Scan juga mungkin diperlukan pada kasus meningitis neonatal
kompleks untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark ataupun
abses.
USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan ventrikulitis,
kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan perubahan kronis. Secara serial,
USG kepala dapat menunjukkan progresivitas komplikasi.
Pada sepsis yang sudah lanjut, dapat juga ditemukan MODS seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Beberapa tanda-tanda MODS pada sepsis neonatorum dapat dilihat seperti
yang ada pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Gambaran Klinik MODS
Gangguan organ
Kardiovaskular

Saluran napas

Sistem hematologik

SSP
Gangguan Ginjal
Gastroenterologi
Hepar

Gambaran Klinik
Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut jantung < 50 atau > 220
mmHg
Terjadi henti jantung
pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal
kebutuhan akan inotropik untuk
mempertahankan
tekanan
darah
normal
Frekuensi napas > 90/menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung
sianotik

Hb < 5 g/dl

WBC < 3000 sel/mm3

Trombosit < 20.000/mm3

D-dimer > 0.5 g/ml pada PTT>20


detik atau waktu tromboplastin > 60
detik
Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil
Ureum > 100 mg/dL
Creatinin > 20 mg/dL
Perdarahan gastorintestinal disertai dengan
penurunan Hb > 2g%, perlu transfusi darah
atau operasi gastrointestinal
Bilirubin total > 3 mg%
15

7.2.7. Penatalaksanaan Sepsis


Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis
neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan
mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan
optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak
diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik
tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman diketahui. Selain itu,
beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi
tersebut belum terbukti menguntungkan. Terapi suportif ini meliputi transfusi granulosit,
intravenous immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan
penggunaan sitokin rekombinan.
7.2.7.1. Pemberian antibiotik
Pada kasus tersangka sepsis, terapi antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa
menunggu hasil kultur darah. Setelah diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus
dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak
menunjukkan pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian
antibiotik harus dihentikan.
Penyalahgunaan pemberian antibiotik akan menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini
terjadi karena bakteri Gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat
memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir
semua antibiotika. Sedangkan bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan
resistensi terhadap vankomisin dalam bentuk Vancomycin Resistant Enterococci (VRE) dan
gen yang mengkode resistensi terhadap metisilin seperti Methicillin Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) serta Methicillin Resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE).
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens sepsis
neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis yang
disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin. Ampisilin dan
sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat
menyebabkan organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan
masalah resistensi. Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan
aminoglikosida sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut.
Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan
intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif untuk
pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi
kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi (kultur pipa
endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan
resistensi terhadap antibiotika.

7.2.7.1.1. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini


Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria
monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
16

aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab
SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

7.2.7.1.2. Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat


Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan
untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian
netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh
sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat
menginaktifkan aminoglikosida lain.
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti
stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal.
Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi
Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin (golongan
penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin generasi ketiga).
Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau
piperasilin.
Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin atau
ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada sepsis awitan dini dan lambat. Keuntungan
utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat baik
terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten terhadap
aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat menembus cairan
serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin generasi ketiga
sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif terhadap Listeria
monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan mempercepat munculnya
mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga
yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan
pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk
bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam,
dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin,
ampisilin, atau vankomisin) dan aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik
golongan penisilin resisten penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).
7.2.7.2. Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih
yang disebut Disfungsi Multi Organ (MODS) dengan gejala klinis seperti yang telah
dijelaskan di atas. Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian
oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan dikepustakaan
antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian tranfusi dan
komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF),
inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.
7.2.7.2.1. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
17

Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti merupakan


terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini dilakukan dengan harapan
untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada proses opsonisasi dan fagositosis
organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi komplemen serta proses kemotaksis neutrofil
pada neonatus. Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis
neonatal masih bersifat kontroversi. Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
penurunan mortalitas bayi prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan
peneliti lain tidak memperlihatkan perbedaan. Studi multisenter terdapat penurunan
mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda
bermakna.
Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, pemberian IVIG terbukti memiliki
keuntungan untuk mencegah kematian dan kerusakan otak bila diberikan pada sepsis
neonatorum onset dini. Dosis yang dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.
Pemberian IVIG terbukti aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.
7.2.7.2.2. Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
Sistem granulopoietik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan masih belum
berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien sepsis neonatal dan
keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-CSF. Padahal neonatus yang
menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka mortalitas lebih tinggi dibandingkan
yang tidak mengalami neutropenia. G-CSF merupakan regulator fisiologis terhadap produksi
dan fungsi neutrofil. Fungsinya adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan
meningkatkan aktivitas kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida.
Berdasarkan fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis
neonatorum. Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di dalam
sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang meningkat.
Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun dapat meningkatkan
konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum tulang dan dapat menurunkan
angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun tidak memperlihatkan perbaikan dalam
angka kematian pasien. Oleh karena itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak
dianjurkan tetapi beberapa klinik menggunakannya dengan dosis 10 g/kg/hari pada pasien
dengan neutropenia yang tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG. Preparat
ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan membutuhkan biaya yang mahal.
7.2.7.2.3. Transfusi Tukar (TT)
Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial, sedangkan
data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai pertimbangan
keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama antara yang dilakukan
TT dengan yang tidak dilakukan.
Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan plasma
resipien dengan sel darah merah dan plasma donor. Tujuan TT pada sepsis adalah untuk
memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan memperbaiki keadaan umum pasien.
Dikatakan demikian karena berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah ada telah
menunjukkan kesimpulan bahwa TT dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam
waktu 12-24 jam; meningkatkan fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi
antibodi dan fungsinya serta jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator
inflamasi; meningkatkan oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan;
meningkatkan konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan
18

distres pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Kontra indikasi
TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan tepat, omphalitis,
omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding diathesis, infeksi pada tempat
tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah kolateral dari arteri ulnaris atau arteri
dorsalis pedis.
TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal
ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan TT
memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup menjanjikan dan
menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia, sklerema, DIC dan asidosis
berat. Namun demikian, perlu diperhatikan juga mengenai efek samping seperti gangguan
hemodinamik yang dapat menyebabkan kematian.
7.2.7.3. Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik
tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan
katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot
dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam amino
yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin
dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada
bayi sehat harus dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus
diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak
memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral diberikan
setelah bayi lebih stabil.
7.2.8. Pencegahan Sepsis
7.2.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini
Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik. Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal
persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi
awitan dini (early-onset) pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta
menurunkan resiko infeksi GBS. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan
ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum dan
infeksi GBS. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban
pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama
persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis. Bagi ibu yang pernah
mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin.
7.2.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut
Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan dengan infeksi
nosokomial seperti pemakaian antibiotik yang rasional, meningkatkan kepatuhan mencuci
tangan pada kalangan medis, lebih memperhatikan penanganan dan perawatan kateter vena
sentral atau pun dapat dibuat program pendidikan, serta perlu dilakukan pemantauan yang
berkelanjutan.
7.2.9. Prognosis
19

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila tanda
dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka
kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian
pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibandingkan bayi
cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 % (pada infeksi SBG
pada sepsis awitan dini adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 20 %
(pada infeksi SGB pada sepsis awitan lambat kira kira 2 %).

7.3. Kejang pada Neonatus


7.3.1. Definisi Kejang
Perubahan paroksismal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik,
dan fungsi autonom sistem saraf) yang terjadi pada bayi berumur sampai dengan 28 hari.
7.3.2. Etiologi Kejang
Penyebab kejang pada bayi baru lahir dapat disebabkan kelainan sistem saraf pusat
yang primer (karena proses intrakranial) atau pun sekunder (karena masalah metabolik)
7.3.2.1. Ensefalopati iskemik hipoksik
Ensefalopati iskemik hipoksik merupakan penyebab tersering kejang pada bayi baru
lahir, biasanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama dan sering dimulai pada 12 jam pertama.
Bentuk kejang yang terjadi biasanya subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik
7.3.2.2. Perdarahan intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering
pada bayi preterm. Perdarahan intrakranial dapat dijumpai berupa perdarahan sub arachnoid,
perdarahan sub dural, atau pun perdarahan periventrikular atau intraventrikular
Perdarahan sub arachnoid merupakan perdarahan yang sering dijumpai pada bayi baru
lahir. Perdarahan ini terjadi mungkin disebabkan karena robekan vena superfisial akibat
partus lama. Awalnya bayi mungkin tampak baik, tetapi tiba-tiba dapat terjadi kejang pada
hari berikutnya disertai dengan peninggian tekanan intrakranial yang berupa ubun-ubun besar
yang tegang dan membonjol, muntah, dan tangis yang melengking.
Perdarahan subdural merupakan perdarahan biasa yang terjadi akibat robekan
tentorium di dekat falks serebri. Keadaan ini karena molase kepala yang berlebihan pada
letak verteks, letak muka, dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat
menekan batang otak. Apabila terjadi penekanan, maka akan terdapat gejala klinis seperti
pernapasan yang tidak teratur, kesadaran menurun, tangis melengking, ubun-ubun besar
membonjol dan kejang.
Perdarahan periventrikular atau intraventrikular terjadi pada bayi yang mengalami
trauma atau asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir.
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dapat terjadi perdarahan hebat, gejala timbul dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang tonik umum,
pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma. Pada perdarahan
yang sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai beberapa hari berupa penurunan
20

kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi,
fiksasi vertikal dan horisontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan ini semakin
memburuk akan menimbulkan kejang. Sedangkan pada bayi cukup bulan, disertai riwayat
intrapartum sepserti trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifestasi klinik yang timbul bervariasi mulai dari asimptomatik
sampai gejala yang hebat. Kejang yang biasanya ditemukan berupa kejang fokal, multifokal,
atau umum. Manifestasi klinik lainnya dapat berupa apnea, sianosis, letargi, jitteriness,
muntah, ubun-ubun besar dan membonjol, tangis melengking, dan perubahan tonus otot.
7.3.2.3. Gangguan Metabolik
7.3.2.3.1. Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Bayi yang mempunyai
resiko terjadinya hipoglikemia adalah bayi yang kecil untuk masa kehamilan, bayi besar
untuk masa kehamilan, dan bayi dari ibu diabetes. Hipoglikemia dapat menyebabkan kejang
pada neonatus disertai gejala lainnya seperti apnu, letargi, dan jitterness. Kejang karena
hipoglikemia sering dihubungkan dengan etiologi kejang yang lain karena hanya sebagian
kecil yang benar-benar disebabkan oleh hipoglikemia
7.3.2.3.2. Hipokalsemia/hipomagnesemia
Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium darah < 7,5 mg/dL (< 1.87 mmol/L),
biasanya dengan kadar fosfat > 3 mg/dL (>0.95 mmol/L). Biasanya terjadi pada hari pertama
dan kedua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan asfiksia dan
ibu dengan diabetes mellitus. Pada bayi cukup bulan, dapat juga terjadi hipokalsemia karena
mendapat susu formula yang kandungan rasio fosfat dengan kalsium atau magnesium yang
rendah. Kadar magensium yang rendah sering terjadi bersama hipokalsemia. Mekanisme
terjadinya hipokalsemia dan hipomagnesia secara bersamaan belum jelas.
7.3.2.3.3. Hiponatremia dan hipernatermia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome of
Inappropriate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindrom Bartter, atau dehidrasi berat.
SIADH biasanya berhubungan dengan keadaan sekunder dari meningitis atau perdarahan
intrakranial, terapi diuretika, kehilangan gram yang berlebihan atau asupan cairan yang
mengandung kadar natrium rendah. Hiponatremia juga dapat terjadi akibat minum air,
pemberian infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan
lewat kencing dan feses. Sedangkan hipernatremia dapat terjadi akibat dehidrasi berat atau
iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat
pemberian natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral
7.3.2.4. Infeksi
Infeksi yang dapat mengakibatkan kejang dapat dibagi menjadi dua yaitu infeksi akut
dan kronik. Pada infeksi akut biasanya virus atau bakteri menyerang SSP dengan atau tanpa
keadaan sepsis dan biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Bakteri yang biasanya
ditemukan adalah GBS, Eschedrichia coli, Listeria sp, Staphylococcus, dan Pseudomonas sp.
Sedangkan infeksi kronik karena infeksi intrauterin yang berlangsung lama seperti pada
infeksi TORCH dan treponema pallidum.
7.3.2.5. Kernikterus
21

Kernikterus merupakan suatu keadaan ensefalopati akut dengan manifestasi klinis


berupa kelainan neurologis yang disertai dengan meningkatnya kadar bilirubin dalam darah.
Bayi kurang bulan yang sakit dengan sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya kernikterus. Kejang yang terjadi karena kerusakan otak akibat
hiperbilirubinemia.
7.3.2.6. Kejang yang berhubungan dengan obat
Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawal) yang terjadi pada ibu hamil sering
mengakibatkan kejang. Biasanya drug withdrawal ini terjadi karena ibu yang ketagihan
heroin. Bayi yang lahir dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness, dan kejang.
Kejang yang terjadi biasanya sekitar 10 hari Kejang dapat menetap selama berbulan-bulan.
Intoksikasi anestesi lokal atau blok juga dapat mengakibatkan kejang. Ini terjadi
akibat anestesi blok paraservikal, pudendal atau epidural serta anestesi lokal pada episiotomi
yang tidak tepat. Bayi yang lahir akibat intoksikasi ini biasanya menunjukkan skor Apgar
yang rendah.
7.3.2.7. Gangguan Perkembangan Otak
Penyebab kelainan gangguan perkembangan otak yang sering ditemukan adalah
disgenesis korteks serebri dan dapat disertai keadaan dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus.
7.3.2.8. Kelainan yang diturunkan
Kelainan seperti gangguan metabolisme asam amino dapat mengakibatkan kejang
antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Contoh kelainan-kelainan metabolisme asam amino adalah
maple syrup urine disease, isovaleric acidemia, glycine encephalopathy, arginosuccsinic
aciduria dan phenylketonuria.
Selain itu, kejang juga dapat terjadi karena ketergantungan dan kekurangan
piridoksin. Ketergantungan ini disebabkan karena gangguan metabolisme piridoksin, yaitu
karena defisiensi pengikatan koenzim piridoksal fosfat pada glutamik dekarboksilase, yaitu
enzim yang terlibat dalam pembentuk -aminobutyric acid (GABA). Akibatnya, GABA akan
berkurang dan efek GABA yaitu inhibisi akan berkurang. Kejang yang disebabkan oleh
kekurangan piridoksin ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan.
7.3.3. Patofisiologi Kejang
Kejang terjadi karena loncatan muatan listrik atau depolarisasi otak yang berlebihan
dibanding repolarisasi pada otak akan mengakibatkan gerakan berulang. Terjadinya
depolarisasi berlebihan ini bisa disebabkan oleh beberapa hal:
a.

b.
c.

Hipoksemia dan hipoglikemia dapat mengakibatkan gangguan produksi energi


pada tubuh bayi. Gangguan produksi energi ini akan mengakibatkan gangguan
dalam pompa natrium dan kalium yang kerjanya membutuhkan energi sehingga
dapat terjadi depolarisasi yang berlebihan.
Peningkatan eksitasi dibanding neurotransmitter yang sifatnya menginhibisi. Ini
akan menyebabkan terjadinya depolarisasi yang juga berlebihan. Peningkatan ini
disebabkan oleh karena hipoksemia dan hipoglikemia.
Penurunan neurotransmitter yang menginhibisi dibanding yang mengeksitasi. Ini
disebabkan karena ketergantungan piridoksin.

22

d.

Perubahan membran sel neuron menyebabkan kenaikan permeabilitas natrium


yang disebabkan oleh hipokalsemia dan hipomagnesemia.

Pada kejang akan terjadi penurunan tajam kadar glukosa otak dibanding kadar glukosa
darah yang normal dan disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme
transportasi pada otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada sehingga
kebutuhan oksigen dan aliran darah otak juga akan meningkat untuk mencukupi kebutuhan
oksigen dan glukosa. Laktat akan terakumulasi selama kejang, dan pH akan menurun.
7.3.4. Klasifikasi dan Gejala Klinis Kejang
7.3.4.1. Kejang Subtle
Kejang jenis ini terjadi sehubungan dengan adanya jenis kejang lain dan mungkin
bermanifestasi dengan adanya gerakan stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh
sepeda atau berenang, deviasi atau gerakan kejut pada mata dan mengedip yang berulang,
ngiler, gerakan menghisap atau mengunyah, apnea atau perubahan tiba-tiba pada pola
pernapasan, dan adanya fluktuasi yang berirama pada tanda vital.
7.3.4.2. Kejang Tonik
Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal, pada kejang tonik umum biasanya
bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500 gram), fleksi atau ekstensi tonik pada
ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh dan berkaitan dengan ekstensi, tonus pada
ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan
otonomis apapun seperti meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.
Kejang tonik fokal dapat terlihat dari postur asimetris dari salah satu
ekstremitas
atau batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata. Sebagian besar kejang tonik terjadi
bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan perdarahan intraventrikular.
7.3.4.3. Kejang Klonik
Kejang klonik biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan >2500 gram. Gejalanya
yaitu terdapat gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan berirama (1-3 /menit).
Penyebabnya mungkin focal atau multi-focal. Setiap gerakan terdiri dari satu fase gerakan
yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat. Pada kejang klonik juga terdapat perubahan
posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat gerakan tersebut
dan tidak terjadi hilang kesadaran. Terjadinya kejang klonik mungkin berkaitan dengan
trauma fokal, infarks atau gangguan metabolik.
7.3.4.4. Kejang Mioklonik
Kejang mioklonik dapat berupa fokal, multi-fokal atau umum. Pada kejang
mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas, sedangkan pada kejang
mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yang tidak sinkron pada beberapa
bagian tubuh. Pada kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada
kepala dan batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus. Ketiga jenis kejang ini sering dijumpai pada bayi kurang
bulan dan cukup bulan saat sedang tidur.

23

7.3.5. Faktor Resiko dan Diagnosa Kejang


Diagnosa kejang pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan anamnesis yang
lengkap, riwayat yang berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinik kejang,
dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
7.3.5.1. Anamnesa
Berdasarkan anamnesa dapat diketahui faktor-faktor resiko kejang. Faktor resiko
kejang meliputi riwayat kejang dalam keluarga, riwayat kehamilan atau prenatal, riwayat
persalinan, dan riwayat paskanatal.
Pada anamnesa riwayat kehamilan atau prenatal, dapat diketahui apakah pada saat ibu
hamil terdapat infeksi TORCH atau infeksi lain, menderita preeklampsia, terjadi gawat janin,
si ibu memakai obat golongan narkotika atau metadon, atau pun ibu mendapatkan imunisasi
anti tetanus dan rubela.
Dari anamnesa mungkin juga dapat diketahui apakah pada saat persalinan, terjadi
asfiksia, trauma persalinan, ketuban pecah dini atau dilakukan anestesi lokal atau blok.
Riwayat paskanatal mungkin juga menunjukkan bahwa pernah terjadi infeksi pada
bayi baru lahir, bayi dengan ikterus, perawatan tali pusat yang tidak bersih dan kering
sehingga terjadi omfalitis, adanya faktor pemicu kejang seperti suara bising atau karena
prosedur perawatan, dan adanya gerakan abnormal yang terjadi.
7.3.5.2. Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik kejang pada bayi baru lahir sangat berbeda dengan kejang pada
anak yang lebih besar, bahkan kejang pada bayi kurang bulan dengan bayi cukup bulan
berbeda. Perbedaan ini karena perbedaan pada susunan neuroanatomi, fisiologis, dan
biokimia. Walaupun berbeda, akan tetapi dari penjelasan klasifikasi kejang di atas dapat
dilihat tanda-tanda kejang yang terjadi pada neonatus sehingga juga dapat memudahkan
mendiagnosa apakah neonatus menderita kejang atau tidak.
7.3.5.3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui kejang meliputi pemeriksaan
neonatologik dan neurologis. Pemeriksaan ini dimulai dengan mengidentifikasi manifestasi
kejang yang terjadi dengan mengetahui bentuk kejang, kemungkinan penyebab dapat
dicurigai. Kemudian pada bayi yang kejang juga dapat ditemukan gejala lainnya seperti
letargi dan bayi akan tampak sakit. Selain itu, juga dapat ditemukan kesadaran yang tiba-tiba
menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhentinya pernapasan.
Selanjutnya, pantau perubahan tanda vital (jantung dan pernapasan). Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mencari adanya sianosis atau kelainan pada jantung atau pernapasan yang
dapat mengakibatkan iskemik pada otak.
Pemeriksaan kepala untuk mencari kelainan berupa fraktur, depresi atau molase yang
berlebihan karena trauma. Trauma ini dapat mengakibatkan perdarahan subaraknoid atau
subdural sehingga untuk mengetahui perdarahan ini dapat dilihat dari ubun-ubun besar yang
tegang dan membonjol yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan tali pusat juga perlu dilakukan untuk melihat apakah terjadi infeksi
umbilikus yang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kejang.
24

`7.3.5.4. Pemeriksaan Penunjang


Untuk pemeriksaan laboratorium, dapat dilakukan pemeriksaan gula darah, elektrolit,
dan juga dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, trombosit, leukosit, dan hitung
jenis leukosit), analisa gas darah, analisa cairan serebrospinal, dan uji kepekaan kuman serta
kadar bilirubin.
Pemeriksaan EEG (Elektro Esefalografi) pada kejang dapat membantu diagnosa,
lamanya pengobatan, dan prognosis di kemudian hari.
Pencitraan pada kejang hanya dilakukan apabila terdapat indikasi-indikasi tertentu
seperti perdarahan intrakranial atau intraventrikuler yang terkadang memerlukan USG kepala
(untuk perdarahan subarakhnoid dan lesi kortikal sulit dengan USG kepala), mengetahui
adanya parenkim otak dengan CT-scan atau pun MRI (MRI lebih sensitif tetapi lebih mahal).
7.3.6. Penatalaksanaan Kejang
7.3.6.1. Terapi Suportif
Terapi suportif pada kejang dapat dilakukan dengan pemantauan ketat (memonitor
jantung dan pernapasan), memberikan infus dekstrosa secara intravena apabila terdapat
hipoglikemia, memberi bantuan respirasi dan terapi oksigen bila diperlukan dan mengoreksi
gangguan metabolik dengan tepat.
7.3.6.2. Terapi Medikamentosa
Apabila bayi dalam keadaan kejang atau bayi kejang dalam beberapa jam, beri injeksi
fenobarbital secara intravena dan diberikan perlahan dalam waktu 5 menit.
Fenobarbital yang diberikan pada dosis awal (loading dose) 20 40 mg/kgBB secara
intravena diberikan mulai dgn 20mg/kgBB selama 5 10 menit. Dosis rumatan 3 5
mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis. Kadar terapeutik dalam darah diukur 1 jam setelah
pemberian intravena atau 2 4 jam setelah pemberian peroral dengan kadar 15 45 ugm/ml
Bila jalur intravena belum terpasang, beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg dosis tunggal
secara intramuskular, atau dosis dapat ditingkatkan 10-15% dibanding dosis intravena.
Apabila kejang tidak berhenti dalam waktu 30 menit, beri lagi fenobarbital 10mg/kg BB
secara intravena atau intramuskular. Dapat diulangi sekali lagi 30 menit kemudian bila perlu.
Bila kejang masih berlanjut atau berulang, obat dapat diganti dengan fenitoin
20mg/kg BB. Pemberian fenitoin hanya boleh secara intravena. Fenitoin diberikan dengan
dicampur ke dalam 15 mL garam fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 0.5 mL/menit
selama 30 menit. Fenitoin hanya boleh dicampur dengan larutan garam fisiologism, sebab
cairan alin akan mengakibatkan kristalisasi. Selama pemberian fenitoin intravena lakukan
monitor denyut jantung karena dapat mengakibatkan bradikaredia, aritmia, dan hipotensi.

25

7.3.7. Prognosis Kejang


Kejang pada bayi baru lahir dapat mengakibatkan kematian atau jika hidup dapat
menderita gejala sisa atau sekuel.
Tabel 4. Keluaran bayi yang pernah mengalami kejang
Etiologi
Meninggal (%)
Ensefalopati
50
Iskemik Hipoksik
sedang dan berat
Bayi kurang bulan
58
Meningitis
20
Malformasi otak
60
Hipokalsemia
Hipoglikemia
-

Cacat (%)
25
23
40
40
50

Normal (%)
25
18
40
100
50

26

8. Ulasan
Menurut buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV , penjelasan patogenesis
sepsis yang disebabkan oleh gram negatif, masih kurang lengkap dan tidak dapat
menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan karena konsep tersebut tidak
melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis. Kemudian, setelah dicari
penjelasan-penjelasan pada referensi lainnya, juga didapati bahwa patogenesis sepsis
tersebut hampir sama dan belum dapat menerangkan keterlibatan limfosit T.
Pada buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15, disebutkan bahwa produkproduk dari dinding sel bakteri akan menyebabkan tubuh mengeluarkan endorfin yang
dapat menyebabkan vasodilatasi. Ini berbeda dengan jurnal pada website
www.biomedexperts.com (1988: Doty S; Traber L; Herndon D; Kimura R;
Lubbesmeyer H; Davenport S; Traber D. Beta endorphin, a vasoconstrictor during
septic shock. The Journal of trauma 1988;28(2):131-9.) yang mengatakan bahwa
endorfin menyebabkan vasokonstriksi. Karena keterbatasan waktu dan pustaka,
belum diketahui apakah beta endorfin menyebabkan vasokonstriksi atau dilatasi.
Pada kasus dikatakan bahwa bayi lahir di rumah ditolong oleh dukun beranak
dan menangis segera setelah lahir, ini menyebutkan bahwa seolah-olah bayi tersebut
partus dengan bantuan tenaga kesehatan yang tidak layak dan tidak dapat melakukan
partus secara steril dan benar sehingga akan terjadi infeksi umbilikus. Akan tetapi,
setelah mendengar penjelasan para pakar, diketahui bahwa dukun beranak merupakan
salah satu tenaga kesehatan yang telah dilatih sehingga tidak menjadikan partus
ditolong oleh dukun beranak merupakan salah satu dari faktor resiko infeksi
umbilikus.
9. Kesimpulan
Infeksi umbilikus yang diderita oleh bayi Ani menyebabkan terjadinya sepsis
(karena imun bayi masih kurang dan adanya faktor resiko sepsis seperti tidak
mendapat ASI, tidak mendapat antenatal care) dan kejang (infeksi merupakan etiologi
kejang).

27

DAFTAR PUSTAKA
A Guntur H. 415 Sepsis. Aru Suwono dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1840-1841.
Geo F Brooks, Janet S Butel, and L Nicholas Ornston. Chapter 12 Spore-Forming GramPositive Bacilli: Bacillus & Clostridium Species. Appleton & Lange(eds). Jawetz, Melnick,
& Adelberg Medical Microbiology 24th edition. United States of America: McGrawHill. 2007;
209-210.

M Sholeh Kosim,dkk. Sepsis pada Bayi Baru Lahir; Kejang dan Spasme. Buku Ajar
Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.2008; 170-187;226-250.
Robert M Kliegman,Ann M Arvin. Bab 168 Sepsis dan Syok. A Samik Wahab(eds) . Nelson
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta:EGC.1999 ;868-772.
Russell W. Steele. Congenital and Perinatal Infections. Burke A Cunha (eds). Clinical
Handbook of Pediatric Infectious Disease 3rd edition. New York: Informa Healthcare USA,
Inc. 2007:11

28

Anda mungkin juga menyukai