Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 1829 Pierre Louis (Prancis) mengeluarkan istilah typhoid
yang berarti seperti tifus. Baik kata typhoid maupun tyfus berasal dari kata
Yunani tyfos. Terminology ini dipakai pada penderita yang menderita demam
disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word
Gerhard dari Philadelpia dapat membedakan typhoid dan tyfus. Pada tahun
1880 Eberth menemukan Bacillus Typhosus pada sediaan histologi yang
berasal dari kelenjer limfe mesentarial dan limfa. Pada tahun 1884 Gaffky
berhasil membiakkan Salmonella Typhi dan memastikan bahwa penularannya
melalui air dan bukan udara.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat

luas. Data

World

Health Organization

(WHO)

tahun 2003

memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia


dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang,
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25
kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000

penduduk/tahun

dan

di

daerah

perkotaan

760/100.000

penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur

penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai
negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk,
kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Oleh sebab itu, pada bab
berikutnya kami akan membahas lebih lanjut tentang demam tifoid ini.

BAB II
STATUS PASIEN
2.1. Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Umur
: 39 tahun
Alamat
: Ampenan
Agama
: Islam
Status `
: Menikah
No. Registrasi : R00178
Tgl. Registrasi : 15 Januari 2014
No. Sampel
: DL-R00178
Tgl.Pengujian : 15 ajnuari 2014
2.2. Anamnesis (autoanamnesis dan haloanamnesis) 15 Januari 2014
Sejak 2 minggu penderita demam tinggi mendadak terus menerus
terutama pada sore/malam hari. Menggigil tidak ada, kejang tidak ada, sakit
kepala ada, sakit perut kadang - kadang. Keluhan batuk pilek tidak ada, mual
dan muntah tidak ada. BAB padat, 1 kali dalam 3 hari, warna kuning, lendir
(-), darah (-), dan BAK lancar. Nafsu makan berkurang. Kemudian penderita
berobat ke dokter dan diberi obat penurun panas, demam turun tapi
kemudian naik lagi. Sejak 7 hari penderita mengeluh tidak ada perubahan,
demam masih tinggi, dan sering berkeringat dingin.

Riwayat penyakit dahulu :


Riwayat penyakit dengan gejala yang sama disangkal

Riwayat

transfusi darah disangkal. Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, ginjal


juga disangkal.
Riwayat penyakit dalam keluarga :

Sebelumnya pasien mengaku anaknya menderita demam tifoid 3


minggu yang lalu.
2.3. Pemeriksaan Fisik 15 Januari 2014
Pemeriksaan umum :
Keadaan Umum : baik
Keadaan sakit

: ringan

Kesadaran

: CM/E4V5M6

Tanda vital
TD

: 130/80 mmHg

: 80x/menit, irama teratur

RR

: 20x/menit, irama reguler

: 36, 7 C

Status General :
Kepala :

o
1.

Ekspresi wajah : normal

2.

Bentuk dan ukuran : normal

3.

Rambut : normal

4.

Udema (-)

5.

Malar rash (-)

6.

Parese N VII (-)

7.

Hiperpigmentasi (-)

8.

Nyeri tekan kepala (-)


Mata :

o
1.

Simetris

2.

Alis : normal
4

3.

Exopthalmus (-)

4.

Ptosis (-)

5.

Nystagmus (-)

6.

Strabismus (-)

7.

Udema palpebra (-)

8.

Konjungtiva : anemia (-), hiperemia (-)

9.

Sclera : icterus (-), hyperemia (-), pterygium (-)

10.

Pupil : isokor, bulat, miosis (-), midriasis (-)

11.

Kornea : normal

12.

Lensa : normal, katarak (-)


Telinga :

1. Bentuk : normal,
2. Lubang telinga : normal, secret (-)
3. Nyeri tekan (-)
4. Pendengaran : normal
Hidung :

o
1.

Simetris, deviasi septum (-)

2.

Napas cuping hidung (-)

3.

Perdarahan (-), secret (-)

4.

Penciuman normal
Mulut :

inspeksi
1.

Simetris

2.

Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), halitosi (+)

3.

Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)

4.

Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-)

5.

Gigi : caries (-), abses (-)

6.

Mukosa : normal

7.

Faring dan laring : tidak dapat dievaluasi


Leher :

1.

Simetris (-)

2.

Kaku kuduk (-)

3.

Pemb.KGB -

4.

Trakea : ditengah

5.

JVP : normal

6.

Pembesaran otot sternocleidomastoideus (-)

7.

Pembesaran thyroid (-)


Thorax :

Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris
Pergerakan simetris
Permukaan : pathecie (-), spider nevi (-), Vena kolateral -,
ginecomasti (-)
Iga dan sela iga : retraksi (-), penggunaan otot bantu
intercostal (-), Pelebaran sela iga ()
Pernafasan : frekuensi dan dalamnya nafas normal
Palpasi : Pergerakan simetris
Fremitus raba simetris

Provokasi nyeri ()
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Nyeri ketok ()
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +++/+++
Suara tambahan rhonki - - -/- - Suara tambahan wheezing - - -/- - Jantung dan kardiovaskular
Peningkatan JVP (-)
Inspeksi : Iktus : tak terlihat
Pulsasi jantung : tak terlihat
Palpasi : Iktus : tak teraba
Pulsasi jantung : denyut prekordial
Thrill : tidak ada
Perkusi : Batas atas : ICS 2
Batas bawah : ICS 5 linea midclavicularis
Batas kanan : linea sternalis dextra
Batas kiri : linea midclavikularis sinistra
Auskultasi punctum maksimum :

S1

S2

tunggal

reguler,

murmur (-), gallop ()


o

Abdomen :
Inspeksi : Cembung, Hernia : (-)
Auskultasi : Peristaltik usus : normal
Bising aorta : (-)
Bising A. Renalis : (-)

Perkusi : Redup, Shifting dullness : (-)


Palpasi : Turgor : normal
Tonus : normal
Nyeri tekan epigastrium : (-)
Nyeri tekan inguinal dextra : (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Aorta : tidak teraba
Inguinal-genitalia-anus : tidak dikaji
o Ekstremitas atas :

Akral hangat : +/+akral basah -/-

Deformitas : (-)
Sendi : dbn
Edema: (-/-)
Clubbing finger : (-)
Sianosis : (-)

o Ekstremitas bawah: Akral hangat : +/+


Deformitas : (-)
Sendi : dbn
Edema : (-/-)
Clubbing finger : (-)
Sianosis : (-)
2.4. Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap
8

TAHAP PRE-ANALITIK :
Pengambilan sample darah dilakukan melalui vena.
Posisi lengan pasien harus lurus dan dipilih lengan yang banyak

melakukan aktivitas.
Pasien diminta untuk mengepalkan tangan.
Dipasang torniquet 10 cm di atas lipat siku.
Pilih bagian vena median cubital atau chepalic.
Dibersihkan kulit pada bagian yang akan diambil darahnya dengan
alkohol 70% dan biarkan kering untuk mencegah terjadinya hemolisis

dan rasa terbakar. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
Ditusuk bagian vena tadi dengan lubang jarum menghadap ke atas
dengan kemiringan 150, bila menggunakan tabung vakum tekan tabung
vakum hingga vakumnya bekerja dan darah terhisap ke dalam tabung.
Bila jarum berhasil masuk vena, akan terlihat darah masuk dalam
semprit, bila darah tidak keluar ganti posisi penusukan (bila terlalu
dalam tarik sedikit dan sebaliknya), usahakan darah dapat keluar dalam

satu kali tusukan.


Setelah volume darah dianggap cukup, torniquet dilepas dan pasien
diminta membuka kepalan tangannya. Volume darah yang diambil 3

kali jumlah serum atau plasma yang diperlukan untuk pemeriksaan.


Dilepaskan/ tarik jarum dan segera letakkan kapas alkohol 70% di atas
bekas suntikan untuk menekan bagian tersebut selama 2 menit. Setelah
darah berhenti, plester bagian ini selama 15 menit. Jangan menarik
jarum sebelum torniquet dibuka.

Spesimen yang telah diambil dilakukan pengolahan untuk menghindari


kerusakan pada spesimen tersebut.

Antikoagulan :
Darah yang telah diambil dialirkan kedalam tabung yang telah berisi
EDTA 10%

Serum
Biarkan darah membeku terlebih dahulu pada suhu kamar selama 2-30
menit, lalu di sentrifuge 3000 rpm selama 5-15 menit. Pemisahan serum
dilakukan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan darah. Serum yang
memenuhi syarat harus tidak kelihatan merah dan keruh.

TAHAP ANALITIK
Pemeriksaan Darah Lengkap (DL)

Metode

: Automatic Analyzer (fotometer)

Peralatan

: Cell DYN Emeral, Roller mixer, dan tabung vacutainer

Sampel

: Darah EDTA

Prosedur
1. Sampel dihomogenkan selama 5-10 menit dengan roller mixer.
2. Klik Ikon New Sampel, kemudian klik next sampel, kemudian ketik
nama pasien dan tempat dirawat. Klik OK.
3. Tutup tabung sampel dibuka dan kemudian tabung diletakkan
dibawah jarum sampel (sampling nozzle) sampai ujung jarum
menyentuh dasar tabung.
4. Tombol counting ditekan, sehingga jarum sampel akan menyedot
sampel sampai jarum sampel akan tertarik kedalam instrument dan
sampel secara otomatis akan diproses oleh alat ini.
5. Ditunggu sampai hasil diprint otomatis oleh alat

Pemeriksaan Laju Endap Darah

Metode
Peralatan
Reagen
Sampel
Prosedur

:Westergren
:Tabung Westergren, dan Rak Westergren
:NaCl 0,85%
:Darah yang ditambahkan EDTA
:

10

1. Pipet 0,4 ml larutan NaCl 0,85% (PZ) dan kemudian memasukkan ke


dalam tabung reaksi.
2. Mengambil darah sebanyak 200 mm atau sampai tanda 0 dengan
menggunakan pipet Westergen, kemudian memasukkan ke dalam
tabung reaksi.
3. Mencampur homogeny larutan tersebut.
4. Mengambil campuran tersebut sebanyak 200 mm atau sampai tanda
0 dengan menggunakan pipet Westergen kemudian ditegakkan di rak
Westergen.
5. Menunggu selama 7 menit untuk pembacaan hasil (adanya batas
lapisan antara endapaan sel eritrosit dengan plasma)
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Alat:

Spekrtrofotometer

Tabung reasi + rak

Jarum suntik

Alcohol pads

Mikropipet

Tipp
Bahan :

Serum
Reagen GOT dan GPT
Prosedur :

Memipet reagen GOT dan GPT 500l dan kemudian memasukkan ke

dalam multicuvet dengan blanko udara


Diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37o C
Menambahkan serum 50,0 l pada reagen GOT/GPT yang telah diinkubasi

11

Mencampur larutan tersebut kemudian membaca pada photometer STAR

DUST MC-15 dengan faktor 1745 dan panjang gelombang 340


Hasil uji dapat dilihat pada print out alat.

Pemeriksaan Serologi (Uji Widal)


Penentuan Kualitatif
1. Memipet 20 l serum diletakkan diatas obyek glas.
2. Menambahkan satu tetes antigen pada masing-masing serum tadi, aduk
dengan stik pengaduk.
3. Mencampur dengan menggoyang-goyangkan secara melingkar selama 1
menit.
4. Mengamati hasil reaksi yang terjadi dengan menggunakan mikroskop.
5. Hasil positif apabila terjadi aglutinasi sebelum 1 menit.
Penentuan Semi kuantitatif
1. Memipet masing-masing 0,08 ml; 0,04 ml; 0.02 ml; 0,01 ml; dan 0,005 ml
serum yang tidak diencerkan pada kaca benda.
2. Menambahkan masing-masing serum dengan 1 tetes suspensi antigen, lalu
aduk selama 1 menit dan amati hasilnya.
3. Menentukan hasil akhir titernya.
Titer antibodi ekuivalen dengan pengenceran :
Volume Serum Ekuivalen Pengenceran
0,08 ml 1 : 20
0,04 ml 1 : 40
0,02 ml 1 : 80
0,01 ml 1 : 160
0,005 ml 1 : 320

12

Interpretasi Hasil
Hasil pemeriksaan test widal dianggap positif mempunyai arti klinis sebagai
berikut (Kosasih, 1984):
1. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek demam tifoid,
kecuali pasien yang telah mendapat vaksinasi.
2. Titer antigen O diatas 1/160 berarti indikasi kuat terhadap demam tifoid.
3. Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam tifoid kecuali
pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi.
4. Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam tifoid.
Pemeriksaan Plasmodium
Prosedur Pemeriksaan
1. Sampling darah
2. Membuat apusan darah tebal atau apusan darah tipis dan dicat menggunakan
giemsa.
Cara Membuat Apusan darah
1. Meneteskan 1 tetes kecil darah ke kaca objek dengan garis tengah tidak lebih
dari 2 mm (Langsung dari jari pasien bila yang di gunakan darah kapiler atau
menggunakan pipet Pasteur bila menggunakan darah yang telah dicampur
antikoagulan).
2. Dengan tangan kanan diletakkan kaca objek lain(penggeser darah) disebelah
kiri tetes darah tadi.
3. Menggerakkan kekanan sampai mengenai tetes darah.
4. Menunggu sampai darah menyebar pada sisi kaca penggeser. Menunggu
sampai darah mencapai titik kira-kira cm dari sudut kaca penggeser.
5. Segera menggeser ke kiri sambil memegang miring dengan sudut 30-45 0
dengan tidak menekan kaca penggeser.
6. Membiarkan kering diudara
7. Menulis nama pasien. Melanjutkan ke pengecatan.
Pengecatan dengan Giemza

13

1. Cat Giemza diencerkan dengan buffer dengan perbandingan 1 bagian cat: 4


bagian buffer.
2. Sediaan di letakkan di rak tempat pengcatan
3. Menggenangi sediaan dengan methanol. Membiarkan selama 5 menit atau
lebih.
4. Membuanglah larutan methanol dari kaca
5. membiarkan kering diudara
6. menggenangi dengan cat giemsa yang sudah diencerkan, biarkan selama 20
menit.
7. Membilas dengan air suling
8. Meletakkan sediaan vertikal dan biarkan mengering pada udara.
Setelah Apusan darah selesai baru diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100x dan ditetesi minyak imersi.

Tahap Pasca Analitik

Laporan Hasil Uji (LHU) Pemeriksaan Parasit Darah


Pengujian : Parasit Darah
Sampel : Darah
Parameter

Hasil

Pemeriksaan malaria* :

Metode
WI-M-B.5/BLKM-PL (Mikroskopik)*

plasmodium falciparum (Pf)

Negatif (-)

Mikroskopis

plasmodium vivax

Negatif (-)

Mikroskopis

plasmodium malariae

Negatif (-)

Mikroskopis

plasmodium ovale

Negatif (-)

Mikroskopis

mix / infeksi campuran

Negatif (-)

Mikroskopis

*) Terakreditasi

14

Laporan Hasil Uji (LHU) Pemeriksaan Serologi


Pengujian : Serologi
Sampel

: Serum

Parameter

Hasil

Nilai Normal

Widal slide* :

Metode
Slide (WI-M-1.3/BLKM-PL)*

-Salmonella typhy O

Negatif (-)

Negatif

-Salmonella para typhy A O

Negatif (-)

Negatif

-Salmonella para typhy B O

Negatif (-)

Negatif

Positif (+):1/320

Negatif

-Salmonella para typhy A H

Negatif (-)

Negatif

-Salmonella para typhy B H

Positif (+):1/180

Negatif

Negatif (-)

Negatif

-Salmonella typhy H

HbsAg*

WI-M-1.5/BLKM-PL (Rapid)*

*) Terakreditasi

Laporan Hasil Uji (LHU) Pemeriksaan Hematologi


Pengujian : Hematologi
Sampel

: Darah

Parameter

Hasil

Satuan

Nilai Normal

Metode

Hemoglobin*

11,4

g/dl

L : 13,5 - 17 P : 12 -15

WI-M-H.1/BLKM-PL* (Fotometrik)

Leukosit*

8.065

Dewasa : 4.500 - 10.000

WI-M-H.2/BLKM-PL* (Fotometrik)

60

mm/jam

L : 0 - 15 P : 0 - 20

WI-M-H.5/BLKM-PL* (Fotometrik)

LED (1 jam)*
Diff :
-Bas
-Eos
-Neutrofil
-Limp
-Mono

Impedansi

0,1

0-1

0,0

1-6

78,6

50-70

15

Trombosit

19,2

20-40

1,9

2-8

167.000

150.000 400.000

WI-M-H.4/BLKM-PL* (Impedansi)

*) Terakreditasi

Laporan Hasil Uji (LHU) Pemeriksaan Kimia Klinik


Pengujian : Kimia Klinik
Sampel

: Darah

Parameter

Hasil

Satuan

Nilai Normal

Metode

SGOT*

115

U/L

L: 35,

P: 31 (370C)

WI M C.4 / BLKM PL*

SGPT*

150

U/L

L: 41,

P: 31 (370C)

WI M C.5 / BLKM PL*

*) Terakreditasi

2.5. Diagnosis
Suspect Typhoid Fever

16

BAB III
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi
Salmonella Typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman
yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi
kuman salmonella (Bruner and Sudart, 1994).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Typhi (Arief Maeyer, 1999).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Thypi dan Salmonella Para Thypi A, B, C. Sinonim dari
penyakit ini adalah Typhoid dan Paratyphoid Abdominalis (Syaifullah Noer,
1996).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga
paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis
(Soeparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala
sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa, Salmonella Type A, B,
C. Penularan terjadi secara fecal-oral melalui makanan dan minuman yang

terkontaminasi (Mansoer Orief M, 1999).


Tifus Abdominalis (demam tifoid, Enteric Fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam
yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan

kesadaran (FKUI,1985).
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan penyakit
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur

17

endotelial dan endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke


dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan
Peyers patch (agregasi dari jaringan limfoid yang biasanya ditemukan di
bagian terendah dari usus kecil ileum pada manusia, dengan demikian,
mereka membedakan ileum dari duodenum dan jejunum) (IDAI, 2008).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut,
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
Salmonella Typhi A, B, dan C yang dapat menular melalui fecal-oral, makanan
dan minuman yang terkontaminasi.
B. ETIOLOGI
Etiologi typhoid adalah Salmonella Typhi. Salmonella Paratyphi A, B dan
C. Salmonella adalah genus yang termasuk famili enterobakteriasiase dan
berisi 3 spesies : S.Typhi, S choleraesuis, S. Entereditis. 2 spesies pertama
masing-masing memiliki 1 serotip. Tetapi, S. Entereditis mempunyai lebih dari
1800 serotip yang berbeda.
Salmonella adalah motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang
gram negatif. Organisme Salmonella tumbuh secara aerobik dan mampu
tumbuh secara anaerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap agen fisik tetapi
dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130F (54,4 C) selama 1 jam atau
140F (60C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat hidup pada suhu
lingkungan dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan
hidupselama beminggu-minggu dalam sampah, makanan kering, dan bahan
tinja.
Salmonella Thyposa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar,
tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu :

18

1.

Antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida,

2.

dinding sel stabil panas)


Antigen H (flagela, labil panas dan dapat muncul pada fase 1 atau

2)
3. Antigen Vi.
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga
macam antigen tersebut. Ada dua sumber penularan Salmonella Typhi yaitu
pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan karier. Karier adalah orang
yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi Salmonella
Typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
C. PATOGENESIS
Penularan Salmonella Typhi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman
Salmonella Thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan di konsumsi
oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti tidak mencuci tangan dan makanan tercemar kuman
Salmonella Typhi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian
kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan
mencapai jaringan limfoid. Di dalam jaringan limfoid ini kuman berkembang
biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah
dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan
kandung empedu.

19

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan


oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena Salmonella Thypi
dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit
pada jaringan yang meradang.
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti
ingesti organisme, yaitu :
1. Penempelan dan invasi sel-sel M Payers patch.
2. Bakteri bertahan hidup, bermultiplikasi di makrofag Peyers patch,
nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra interstinal
sistem retikuloendotelial.
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah.
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar Camp didalam kripta
usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal.
D. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis demam tifoid

pada anak biasanya lebih ringan jika

dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang
tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama
sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing, dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang
biasa ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu
tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi

20

hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecahpecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungki ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin juga normal
bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Disamping gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan
gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu
bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya
ditemukan dalam minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan
bradikardi pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
E. RELAPS
Yaitu keadaan berulangnya gejala tifus abdominalis, akan tetapi
berlangsung lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi dalam minggu kedua
setelah suhu badan normal kembali. Terjadinya sukar diterangkan, seperti
halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun
mendapat infeksi cukup berat.
Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ
yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin
pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan
dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas.

21

F. KOMPLIKASI
Dapat terjadi pada:
1. Usus Halus
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
Perdarahan usus.
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila beratdapat disertai
perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
Perforasi usus.
Timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang

dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada rontgen

abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.


Peritonitis.
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri pada tekanan.
2. Komplikasi di luar usus.
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu
meningitis, kolesistitis, enselopati, dll. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan
makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
Komplikasi extra intestinal antara lain :
Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

22

Komplikasi

ginjal

glomerulonephritis,

pyelonephritis

dan

perinephritis.
Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis.
Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma Guillain Bare dan sindroma katatonia.
G. PENATALAKSANAAN
Penderita yang dirawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis
harus dianggap dan diperlakukan langsung sebagai penderita tifus abdominalis
dan diberikan pengobatan sebagai berikut:
1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta.
2. Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi, mengingat sakit
yang lama, lemah dan anoreksia, dll.
3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, yaitu
istirahat mutlak, berbaring terus ditempat tidur. Seminggu kemudian boleh
duduk dan selanjutnya boleh berdiri dan berjalan.
4. Diet. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh banyak mengandung serat, tidak merangsang
dan tidak menimbulkan banyak gas. Susu 2 gelas sehari perlu diberikan.
Jenis makanan untuk penderita dengan kesadaran menurun ialah makanan
cair yang diberikan melalui pipa lambung. Bila anak sadar dan nfsu makan
baik, maka dapat diberikan makanan lunak.
5. Obat pilihan adalah klorampenikol , kecuali bila penderita tidak cocok
dapat dberikan obat lain misalnya ampisilin, kotrimoksazol, amoxillin,
tiampenikol. Dianjurkan pemberian klorampenikol dengan dosis yang
tinggi, yaitu 100 mg/kg BB/hari, diberikan 4 hari sekali peroral atau IM
atau IV bila diperlukan. Pemberian klorampenikol dosis tinggi tersebut
memberikan manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat dan relaps tidak

23

terjadi. Akan tetapi mungkin pembentukan zat anti kurang, oleh karena
basil terlalu cepat dimusnahkan. penderita yang dipulangkan perlu
diberikan suntikan vaksin Tipa.
6. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya
pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi dsn asidosis.
Bila terdapat bronkopneumonia harus ditambahkan penisilin dll.

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap
antibiotik

kelompok

chloramphenicol,

ampicillin,

dan

trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap


antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST)
merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone. Terapi
antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan
WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel.

24

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang

25

terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
typhoid.
Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium.
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang
lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi
yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh
biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau.
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah

26

divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi


salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella Thypi, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari
tubuh kuman).
Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari
flagel kuman).
Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.
Faktor faktor yang mempengaruhi uji widal :
Faktor yang berhubungan dengan klien :
Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru
dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai
puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
Penyakit penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat
menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi
seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat
anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut
dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi
sistem retikuloendotelial.

27

Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi


dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau
2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah
divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya :
keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif,
walaupun dengan hasil titer yang rendah.
Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer
aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan
demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular
salmonella di masa lalu.
Faktor-faktor Teknis
Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu
spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang
lain.
Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi
hasil uji widal.
Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada
penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi
antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari
strain lain.

I. PENCEGAHAN

28

Secara umum untuk memperkecil kemungkinan S. Typhi, maka setiap


individu harus memperhatikan harus memperhatikan kualitas makanan dan
minuman yang merekan konsumsi. Salmonella Typhi di dalam air akan mati
pada suhu 57C untuk beberapa menit. Untuk makanan, pemanasan sampai
suhu 57C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman S.
Typhi. Cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau
mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum
dipasteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan
hindari makanan pedas. Imunisasi aktif dapat menekan angka kejadian demam
Tifoid.
J. EDUKASI
Kebersihan diri merupakan salah satu hal yang terpenting untuk
melindungi diri dari berbagai macam penyakit khususnya demam thypoid.
Pasien diminta untuk menjaga kebersihan diri. Di lihat dari riwayat penyakit
keluarga bahwa anak pasien juga mengalami penyakit yang serupa, jadi perlu
kebersihan dari diri sendiri serta seluruh keluarga.
K. VAKSIN DEMAM TIFOIS
1. Vaksin demam tifoid oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonell Typhi galur non
pathogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami
siklus pembelahan dalam usus dan akan dieleminasi dalam waktu 3 hari
setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteal, respon imun pada
vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektifitas vaksin oral
sama dengan vaksin parenteral yang diinaktifasi dengan pemanasan
namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid
oral dikenal dengan nama Ty-21a.

29

Penyimpanan pada suhu 2-8 derajat celcius.


Kemasan dalam bentuk kapsul untuk anak umur 6 tahun atau lebih.
Cara pemeberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1, 3, dan 5, 1 jam
sebelum makan dnegan minuman yang tidak lebih dari 37 derajat celcius.
Kapsul ke-4 pada hari ke 7 terutama bagi turis.
Kapsul harus ditelan utuh dna tidak boleh dibuka karena kuman dapat
mati oleh asam lambung.
Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotic, sulfonamide
atau anti malaria yang aktif terhadap salmonella.
Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon
mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda 2 minggu setelah
pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.
Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang
terus terekspos dengan infeksi salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul
tiap beberapa tahun.
Daya proteksi vaksin inihanya 50-80% maka yang sudah di vaksinasipun
di anjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam kapsul diberikan
3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1, 3 dan 5).
Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya
diperlukan untuk turis yang akan berkunjung kedaerah endemis tifoid.
2. Vaksin Polisakarida Parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman
salmonella typhi, polisakarida 0,02 mg, fenol dan larutan buffer yang
mengandung natrium klorida, disodium fosphat, monosodium fosphat

dan pelarut untuk suntikan.


Penyimpanan dapat suhu 20-8 derajat celcius jangan dibekukan.
Kadaluarsa dalam 3 tahun.
Pemberian secara suntikan IM atau SC pada daerah deltoid atau paha.
Imunisasi ulangan tiap 3 tahun.

30

Reaksi samping local berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi,
nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Sangat jarang bisa terjadi
reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit dan urtikaria.
Indikasi kontra: alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin. Juga pada
saat demam penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.
Daya proteksi 60-80% maka yang sudah divaksinasi pun di anjurkan
untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Ulangan dilakukan tiap 3 tahun.
Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara IM.

L. PROGNOSIS
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita
cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 60 %. Prognosis
menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua.
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium.
3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan lain-lain.
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).

31

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
Salmonella Typhi A, B, dan C yang dapat menular melalui fecal-oral, makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Etiologi typhoid adalah Salmonella Typhi.
Salmonella Paratyphi A, B dan C. Penularan Salmonella Typhi dapat ditularkan
melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers
(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Gejala
klinis : demam, gangguan pencernaan, penurunan kesadaran (pada keadaan
berat).
Komplikasi demam tifoid dapat terjadi pada usus halus, ataupun diluar
usus halus. Penatalaksanaan demam tifoid adalah : Isolasi penderita dan
disinfeksi pakaian dan ekskreta, perawatan yang baik untuk menghindarkan
komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah dan anoreksia, dll, istirahat
selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, diet, obat pilihan
adalah klorampenikol , kecuali bila penderita tidak cocok dapat dberikan obat
lain misalnya ampisilin, kotrimoksazol, amoxillin, tiampenikol, bila terdapat
komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada demam tifoid antara lain :
pemeriksaan leukosit, pemeriksaan fungsi hepar, biakan darah, dan uji widal.
Pencegahan dapat dilakukan dengan selalu menjaga personal hygiene, mencuci
tangan saat menghidangkan makanan, akan makan, dan sesudah makan,
sesudah dari toilet, untuk mencegah masuknya kuman Salmonella Typhi

32

melalui makanan ke tubuh. Selain itu, sekarang juga tersedia vaksin untuk
tifoid, vaksin aktif maupun pasif.

33

DAFTAR PUSTAKA
Jawetz E, Melnick L, dan Adelberg A .,1982, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 16,
EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
Juwono R., 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3, BalaiPenerbit
FKUI,Jakarta
Kosasih E. N., 1984, Pemeriksaan Laboratorium Klinik, Penerbit Alumni,
Bandung
Mansjoer A., 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapius, FKUI,
Jakarta
Mansjoer A., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Media Aesculapius,
FKUI, Jakarta
Sjamsuhidajat R., 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah, Edisi Revisi, EGC
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta

34

Anda mungkin juga menyukai