Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS DERMATO-VENEREOLOGI

MORBUS HANSEN

OLEH :
LANIRA ZARIMA N.
(H1A 008 038)

PEMBIMBING :

dr. Yunita Hapsari, M.Sc, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF


ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN 2013

MORBUS HANSEN/ LEPRA/ KUSTA


Laporan Kasus
Lanira Zarima N.
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram Rumah Sakit Umum Provinsi NTB
I.

PENDAHULUAN
Penyakit Kusta atau dikenal juga dengan nama Lepra dan Morbus Hansen merupakan

penyakit granulomatosa kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. M.


leprae ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, bakteri ini berukuran 3-8
m x 0,2-0,5 m, bersifat tahan asam, berbentuk batang, tidak bergerak dan berspora, serta
merupakan bakteri Gram positif. M. leprae dapat menyerang saraf perifer, kulit, mukosa
saluran napas bagian atas, serta jaringan tubuh lainnya, kecuali sistem saraf pusat. Cara
penularannya belum diketahui dengan pasti, tetapi hanya berdasarkan anggapan klasik, yaitu
melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat serta secara inhalasi droplet.1,2
Pada tahun 1991, World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta
sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta
menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan istilah
Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000).1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam
di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Namun, saat ini Indonesia masih merupakan
salah satu negara penyumbang penyakit kusta terbesar di dunia. Pada tahun 2006, WHO
mencatat penderita baru di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbanyak setelah India dan
Brazil, yaitu sebanyak 19.695 orang. Sedangkan kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008
adalah 22.359 orang dengan kasus baru sebanyak 16.668 orang. Distribusi tidak merata, yang
tertinggi ada di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per
10.000 penduduk adalah 0,73.1,3
Kusta merupakan penyakit yang ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi,
dan deformitas. Hal ini terjadi akibat kerusakan saraf besar yang irreversibel di wajah dan
ekstremitas, motorik dan sensorik, adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah
anestetik, serta terjadinya paralisis dan atrofi otot. Penderita kusta bukan hanya menderita
karena penyakitnya, tetapi juga karena dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya.1
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Bentuk gejala klinis bergantung pada sistem imunitas seluler
penderita. Bila sistem imun seluler baik, maka akan tampak gambaran klinis ke arah

tuberkuloid. Sebaliknya, apabila sistem imun seluler buruk, maka akan memberikan
gambaran lepromatosa.1
Pasien lepra adalah seseorang dengan lesi pada kulit berupa patch yang terasa baal.
Patch pada lepra umumnya diawali dengan bercak putih (hipopigmentasi) atau eritema, datar
atau meninggi, tidak gatal dan nyeri, serta dapat muncul di mana saja di seluruh bagian tubuh.
Pasien kemudian akan mengalami gangguan sensibilitas terhadap rangsang raba, nyeri,
maupun suhu (panas dan dingin) pada lesi kulit yang dicurigai tersebut. Pemeriksaan saraf
tepi juga perlu dilakukan pada saraf yang berjalan di dekat permukaan kulit, terutama nervus
ulnaris dan peroneal communis. Pada pemeriksaan saraf harus dibandingkan kiri dan kanan
dalam hal ukuran, bentuk, tekstur dan kekenyalannya.4
Diagnosis dini dan terapi yang tepat adalah kunci keberhasilan untuk mengendalikan
penyakit infeksi ini. Tujuan utama terapi adalah memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah
timbulnya penyakit. Regimen pengobatan yang dapat diberikan sebagai antikusta adalah
multidrug therapy (MDT).4
Berikut ini dilaporkan satu kasus Morbus Hansen. Pembahasan menekankan pada
penegakkan diagnosis pada pasien kusta.

II. LAPORAN KASUS


Tn. F berusia 24 tahun bertempat tinggal di Pejeruk, Ampenan datang ke Poli Kulit
dan Kelamin RSUP NTB pada tanggal 09 Februari 2013 dengan keluhan muncul bercakbercak kemerahan yang terasa baal pada seluruh tubuh. Keluhan dirasakan sejak + 6 bulan
yang lalu.
Bercak kemerahan muncul pertama kali pada bagian perut, yang kemudian menyebar
ke dada, punggung, lengan atas kiri dan kanan, sampai akhirnya muncul di bagian wajah.
Pasien tidak mengeluhkan adanya rasa gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak kemerahan
tersebut. Sebagian dari bercak-bercak kemerahan tersebut lama-kelamaan bagian tepinya
mulai memutih tanpa diberikan pengobatan apapun. Pasien juga mengatakan jari tengah serta
jari manis tangan kanan membengkak. Keluhan demam sebelumnya, alis dan bulu mata
rontok disangkal oleh pasien.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien menyangkal
adanya riwayat alergi, baik pada makanan ataupun obat-obatan. Riwayat keluarga dengan
keluhan serupa disangkal oleh pasien. Tetangga di sekitar rumah pasien, rekan kerja, ataupun

teman kuliah tidak ada yang mengalami hal serupa. Pasien sebelumnya tidak pernah berobat
ke mana pun untuk mengatasi keluhannya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik dan kesadaran compos
mentis. Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Regio Punggung : tampak plak eritema multipel yang anestesi dengan tepi yang
hipopigmentasi, tidak ditemukan adanya infiltrat.

2. Regio Thorako-Abdomen : tampak plak eritema multipel yang anestesi dengan tepi
yang hipopigmentasi, tidak ditemukan adanya infiltrat. Lesi punched-out (+).

3. Regio Brachii Dextra et Sinistra : tampak plak eritema multipel yang anestesi dengan
tepi yang hipopigmentasi, tidak ditemukan adanya infiltrat.

4. Regio Dorsum Manus Dektra et Sinistra : tampak patch hipopigmentasi pada bagian
proksimal digitalis 2,3,4 manus sinistra, tanpa adanya infiltrat. Pada bagian proksimal
digitalis 3,4 manus dextra tampak patch eritema, disertai dengan edema tetapi tidak
terasa nyeri.

5. Regio Fasial : tampak plak eritema multipel yang anestesi dengan infiltrat, facies
leonina (-). Pada telinga kanan dan kiri tidak tampak adanya penebalan daun telinga.
Madarosis dan alopesia pada alis dan bulu mata (-).

Pada pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi ditemukan positif
daripada kulit normal. Pada pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi,
ditemukan positif daripada kulit normal.
Pada pemeriksaan N. fasialis tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan N.
auricularis magnus dekstra et sinistra, N. ulnaris dekstra et sinistra, dan N. peroneus
communis dekstra et sinistra tidak mengalami pembesaran.
Pada pemeriksaan sensibilitas yang dilakukan pada kedua telapak tangan ditemukan
sensibilitas pada tangan kanan mengalami gangguan (terjadi anestesi), dan pada tangan kiri
tidak mengalami gangguan. Sedangkan pemeriksaan sensibilitas pada kedua telapak kaki
ditemukan sensibilitas pada kaki kanan maupun kiri tidak mengalami gangguan. Pada
pemeriksaan kekuatan otot dari keempat ekstremitas dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas, didapatkan diagnosis banding
sebagai berikut :
1. Morbus Hansen Tipe BB (Kusta Multibasilar) dengan Cacat Tingkat 1 Pada Tangan
2.
3.
4.
5.

dan Tanpa Reaksi.


Tinea Korporis
Granuloma Annulare
Psoriasis
Pitiriasis Rosea
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil sebagai berikut :

Darah Lengkap
~
~
~
~
~
~

Hb
Hct
RBC
WBC
PLT
GDS

:
:
:
:
:
:

LFT
16,5 g/dL
48,2 %
5,81 x 106/uL
7,74 x 103/uL
224 x 103/uL
86 mg%

~ SGOT
~ SGPT

: 20 U/L
: 18 U/L

RFT
~ Ureum
: 22 mg%
~ Kreatinin : 0,9 mg%

Pemeriksaan BTA
Pengambilan sampel dilakukan pada kedua cuping telinga dan 2 buah lesi yang paling
aktif. Pada pemeriksaan didapatkan hasil bahwa tidak ditemukan kuman BTA.
Walaupun hasil pemeriksaan bakterioskopis dinyatakan BTA (-), namun berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat diambil kesimpulan bahwa diagnosis akhir pada
pasien ini adalah Morbus Hansen Tipe BB (Kusta Multibasilar) dengan Cacat Tingkat 1 Pada
Tangan dan Tanpa Reaksi.
Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah pemberian MDT untuk Kusta Multibasilar di
Puskesmas. MDT MH MB terdiri dari Rifampisin 600 mg setiap bulan yang diminum di
6

depan petugas kesehatan, DDS 100 mg diminum setiap hari, dan Klofazimin 300 mg setiap
bulan yang diminum di depan petugas kesehatan dan kemudian dilanjutkan dengan 50
mg/hari diminum di rumah. Beberapa saran yang perlu diberikan oleh pasien ini adalah :
~ Pengobatan penyakit kusta ini berlangsung lama, kurang lebih selama 12-18 bulan.
~ Selama pengobatan, pasien harus rutin kontrol untuk pemeriksaan secara klinis di
Puskesmas setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan di RSUP
NTB. Saat pemeriksaan, diperhatikan pula adanya tanda-tanda reaksi kusta.
~ Penyakit kusta ini dapat ditularkan secara inhalasi sehingga pasien disarankan untuk
selalu menggunakan masker.
~ Apabila muncul tanda-tanda perubahan sensibilitas dan kekuatan otot, segera kembali
untuk memeriksakan diri ke dokter. Contohnya berupa luka atau lepuh yang tidak
terasa sakit dan mati rasa pada tangan atau kaki. Juga jika terdapat gangguan pada
aktivitas sehari-hari, seperti memasang kancing baju, memegang pulpen, mengambil
benda kecil, atau kesulitan berjalan. Adanya kelainan pada mata berupa penglihatan
kabur, kesulitan membuka dan menutup mata, serta alis dan bulu mata menjadi
rontok.
~ Perhatikan pula adanya tanda-tanda kelainan pada saraf, seperti tangan dan kaki
menggantung atau berbentuk seperti cakar dan jari-jari tangan terasa kaku atau
kesemutan, nyeri sendi, penebalan pada daun telinga, serta pembesaran saraf di leher.
III.

PEMBAHASAN
Penyakit Kusta atau Lepra atau Morbus Hansen adalah suatu penyakit infeksi menular

yang disebabkan oleh bakteri M. leprae. Penyakit ini menyerang kulit dan saraf perifer.
Progresifitas penyakit ini berjalan lambat dan bersifat kronis dengan masa inkubasi rata-rata
selama 3 tahun. Lepra dapat terjadi pada semua usia, baik laki-laki maupun perempuan
memiliki kemungkinan yang sama besar untuk menderita penyakit ini.4
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien pada kasus ini
didiagnosis dengan Morbus Hansen tipe BB (Kusta MB) dengan cacat tingkat 1 pada tangan
dan tanpa reaksi. Pada anamnesis, pasien mengeluh muncul bercak-bercak kemerahan yang
terasa baal pada seluruh tubuh sejak + 6 bulan yang lalu. Pasien tidak mengeluhkan adanya
rasa gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak kemerahan tersebut. Selain itu, pemeriksaan
anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi ditemukan positif daripada kulit normal. Pada
pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi, ditemukan positif daripada kulit
normal.
Pada pemeriksaan dermatologis, tampak plak eritema multipel yang anestesi dengan
tepi yang hipopigmentasi dan tidak meninggi, dengan lesi punched-out (+), dan pada bagian
7

wajah disertai dengan infiltrat. Adanya lesi punched-out pada pasien ini mengarahkan pada
MH tipe mid borderline (BB), yang termasuk dalam kategori Kusta Multibasilar menurut
klasifikasi dari WHO. Lesi punched-out adalah makula hipopigmentasi yang oval cekung di
bagian tengah, dengan batas jelas dan terdapat lesi-lesi kecil di tepinya.6
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya pembesaran saraf perifer. Semua saraf dapat
mengalami pembesaran pada lepra, namun terutama terdapat 2 saraf yang umumnya terkena,
yaitu N. ulnaris dan N. peroneal communis. Pada pemeriksaan saraf perifer yang perlu
diperhatikan adalah pembesaran saraf tepi, konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan atau
nyeri tekan. Gejala lain yang dapat timbul adalah facies leonina (gejala infiltrasi yang difus di
muka), penebalan cuping telinga, madarosis (penipisan alis mata bagian lateral), dan anestesi
simetris pada kedua tangan dan kaki (gloves and stocking anesthesia).4,5
Pada pemeriksaan sensibilitas yang dilakukan pada kedua telapak tangan ditemukan
sensibilitas pada tangan kanan mengalami gangguan (terjadi anestesi), dan pada tangan kiri
tidak mengalami gangguan. Hal ini menunjukkan adanya kecacatan tingkat 1 pada tangan.
Kecacatan dapat terjadi apabila penderita kusta tersebut terlambat didiagnosis dan
tidak mendapatkan MDT sehingga memiliki risiko tinggi mengalami kerusakan saraf.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas, dan berkurangnya
kekuatan otot. WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan
dan kaki, serta mata bagi penderita kusta.1
Cacat Pada Tangan dan Kaki
Tingkat 0

Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas


yang terlihat.

Tingkat 1

Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.

Tingkat 2

Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat Pada Mata


Tingkat 0

Tidak ada kelainan/kerusakan pada mata, termasuk visus.

Tingkat 1

Ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat. Visus sedikit


menurun. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6
meter).

Tingkat 2

Ada kelainan/kerusakan mata yang terlihat, misalnya lagoftalmus, iritis,


dan kekeruhan kornea. Gangguan visus/penglihatan berat (visus kurang
dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
8

Catatan : kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorpsi, mutilasi,
dan kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis, dan lagoftalmus.

Pasien pada kasus ini tidak mengalami reaksi kusta. Penderita penyakit kusta dapat
mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon
imun seluler atau respon imun humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi
kusta dapat terjadi sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan obat kusta. Reaksi kusta
dibagi menjadi 2, yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai dengan lesi kulit
memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis, dan gangguan fungsi saraf, serta dapat terjadi
demam. Sebaliknya reaksi tipe II merupakan reaksi humoral, yang ditandai dengan timbulnya
nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan adanya
komplikasi pada organ tubuh lainnya.1,6
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaaan bakterioskopik dengan
melakukan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA). Pemeriksaan ini menggunakan
sampel yang diambil dari beberapa tempat, seperti kedua cuping telinga karena diduga pada
daerah yang relatif dingin tersebut menghasilkan granuloma penuh kuman M. lepra dan dua
daerah lesi yang paling aktif.1 Hasil pemeriksaan bakterioskopis menunjukkan bahwa tidak
ditemukan adanya kuman BTA. Namun, hasil peeriksaan bakterioskopis negatif pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.
Jadi dapat disimpulkan bahwa diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan 3
tanda kardinal, dimana jika salah satunya terdapat pada pasien, sudah cukup

untuk

menegakkan diagnosis dari penyakit kusta. Tiga tanda kardinal tersebut, yaitu lesi kulit yang
anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. lepra sebagai bakteriologis positif.5
Pada kasus ini, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pada
pasien ditemukan salah satu dari ketiga tanda kardinal tersebut.
Diagnosis banding pada pasien ini diantaranya, yaitu Tinea Corporis, Granuloma
Annulare, Psoriasis, dan Pitiriasis Rosea.
Tinea korporis yang disebabkan oleh Epidermophyton floccosum atau Trichophyton
rubrum memiliki tanda objektif berupa makula/patch eritema dengan bagian tepi yang lebih
aktif (central healing). Gejala subjektif pada tinea korporis ialah keluhan gatal. Tinea
korporis lebih sering bermanifestasi pada daerah wajah, anggota gerak atas dan bawah, dada
dan punggung. Apabila dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa kerokan kulit dengan
KOH 10% dijumpai hifa panjang bersepta dan spora di luar hifa. 1,6

Gambar 1. Tinea Corporis

Gambaran klinis yang khas pada Granuloma Annulare berupa papul multipel dengan
pembesaran secara sentrifugal dan bagian tengah yang kosong. Granuloma annulare biasanya
asimtomatik. Keluhan gatal ringan mungkin terjadi, tetapi nyeri pada lesi jarang terjadi. Kulit
mungkin mengalami hiperpigmentasi atau eritema. Diameter lesi 1-5 cm. Tepi lesi annular
berbatas tegas saat dipalpasi. Tempat predileksi lesi adalah bagian dorsal tangan dan kaki,
tumit, lengan dan tungkai bawah, serta pergelangan tangan.6

Gambar 2. Granuloma Annulare

Psoriasis yang penyebabnya masih tidak diketahui juga memiliki lesi kulit yang mirip
dengan kusta, yaitu berupa plak eritematosa yang sirkumskripta dan tersebar merata, ditutupi
oleh skuama tebal, berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih mengkilat seperti mika. Jika
skuama digores menunjukkan tanda tetesan lilin. Pada psoriasis terdapat 2 fenomena, yaitu
Koebner dan Auspitz. Predileksi penyakit ini biasanya pada perbatasan daerah scalp dan
wajah, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku dan lutut, serta daerah lumbosakral.1

10

Gambar 3. Psoriasis

Pitiriasis Rosea dimulai dengan sebuah lesi inisial


berbentuk eritema dan skuama halus, umumnya di badan,
solitar, berbentuk oval dan anular, dengan diameter kira-kira
3 cm. Selanjutnya lesi akan memberikan gambaran yang khas
dengan susunan yang sejajar dengan costa hingga enyerupai
pohon cemara terbalik. Tempat predileksi di badan, lengan
atas bagian proksimal, dan paha atas.1,2

Gambar 4. Pitiriasis Rosea

Tujuan utama pengobatan kusta, yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, serta mencegah
timbulnya penyakit. Regimen pengobatan yang dapat diberikan sebagai antikusta MDT tipe
multibasilar, yaitu Dapson, Rifampisin, Lamprene (Klofazimin).1
Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Selama
pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis
minimal setiap 3 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis obat ini dan hasil bakterioskopis
negatif, pasien dinyatakan RFT (Realease From Treatment), yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe MB selama 5 tahun. Jika
bakterisokopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut RFC (Release From Control).1
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD)
adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Namun, pasien dengan tangan dan kaki yang tidak sensitif terhadap luka dan tidak
mengetahuinya, akan menyebabkan luka tersebut terinfeksi dan seiring berjalannya waktu
mengakibatkan terjadinya deformitas yang irreversibel. Berikut ini beberapa cara melakukan
perawatan pada tangan dan kaki : 4
11

Perawatan Pada Kaki


Kaki kering dengan fisura

Merendam kaki selama 20 menit setiap hari di dalam air.


Gunakan sepatu/sandal yang dapat melindungi kaki dari luka.

Lepuh di telapak kaki atau


di antara jari kaki

Balut lepuh dengan kain yang bersih, serta gunakan kassa dan
perban.

Kaki dengan ulkus tanpa


disertai discharge

Bersihkan ulkus dengan sabun dan air. Gunakan kain penutup


yang bersih. Disarankan untuk istirahat.

Kaki dengan ulkus disertai

Bersihkan ulkus dan berikan antiseptik, serta beristirahat.

dengan discharge

Jika dalam 4 minggu tidak ada perubahan, segera ke RS.

Perawatan Pada Tangan


Luka pada tangan saat

Bersihkan luka dan gunakan kain penutup yang bersih, istirahat.

bekerja atau memasak

Gunakan pelindung pada tangan saat bekerja/memasak.

Tangan yang kering

Merendam kaki selama 20 menit setiap hari di dalam air.

dengan fisura

IV.

KESIMPULAN
Telah dilaporkan satu kasus Morbus Hansen Tipe BB dengan Cacat Pada Tangan

Tingkat 1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Pengobatan yang diberikan untuk kasus diatas adalah pengobatang kusta yang
sesuai dengan regimen pengobatan kusta tipe MB. Pasien dirujuk ke Puskesmas untuk
mendapat pengobatan kusta.
REFERENSI
1. Djuanda, S. Hamzah, M. Aisah, S. editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Keenam, Cetakan Kedua. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta. 2011.
2. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua, Cetakan Pertama.
EGC : Jakarta. 2005.
3. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2006. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta. 2008.

12

4. WHO. Guide to Eliminate Leprosy as A Public Health Problem. First Edition. World
Health Organization : USA. 2000. Accessed on February 20, 2013.

Available at :

http://www.who.int/lep/resources/Guide_Int_E.pdf
5. ILEP. How to Diagnose and Treat Leprosy. The International Federation of Anti-Leprosy
Association : London. 2002. Accessed on February 20, 2013.

Available at :

http://www.ilep.org.uk/fileadmin/uploads/Documents/Learning_Guides/lg1eng.pdf
6. Wolff, K. Goldsmith, L.A. Katz, S.I. Gilchrest, B.A. Paller, A.S. Leffel, D.J. editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New
York. 2008.

13

Anda mungkin juga menyukai