dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa,
sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Akan tetapi, makna gramatikal fana tidak bersesuaian dengan makna leksikalnya.
Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat,
dan mendapatkan dirinya sendiri. Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya
sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan
dan hanya Dia yang dipandang.
Istilah fana kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna.
Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,
pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian
memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan
memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifatNya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang
tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri
juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal kefanaan dari fana
atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana al-fana)
(R. A. Nicholson, 1975: 60-61).
Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana adalah
lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa,
yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang
hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan
eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana
the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves
baqa, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or
baqa, or union with the divine life (Nicholson, 1973: 149). Yakni, Fana,
sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan
wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup
bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,
menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,
menggambarkan fana sebagai sirnanya daya tangkap hati terhadap yang
bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak
ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan
Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya
seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya
seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.
Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia
tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun
perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."
Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu
disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."
Maqm Fana
Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqm;
2. Hl.
Maqm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari
(dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati
segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu,
secara umum maqm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan
lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan
bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan
pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan
maqm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan
tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh
dan kerja keras, maka maqm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna
dengan mudah.
Sementara pengertian hl berlawanan dengan maqm tersebut. Hl adalah suatu
bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri
setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu
datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba.
Dengan demikian, hl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan
dan terus menerus mengalami suatu perubahan.
Manusia dalam maqm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya,
kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di
hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.
Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya
yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan
inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak
fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan
dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).
Bagaimana Mencapai Maqm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa,
maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab
kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya
seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan
kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka
sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara
terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqm fana itu akan diraihnya
dan hadir dalam dirinya.
Yang pasti bahwa dalam perjalanan dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatantingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini.
Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus
dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan adalah tidak dengan menggunakan
mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia
(Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan
tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas
itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan ; melainkan apabila seorang hamba
ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqm fana maka
-sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala
sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak
menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq
dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala
sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya,
maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."
Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan
dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda,
"Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala
bentuk keterikatan dan kebergantungan."
Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari
ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat
menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara
umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?
Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita
memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam
kitabnya "Arbain Hadis". Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, "Setelah
mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan
kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala
bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada
Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha
Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu
bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang
beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dan antara ruh
suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab namanama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian pembesar para pesuluk sangatlah
mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan)
tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat
Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial
Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."
Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam
Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat
sya'baniyah: "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu
sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."
Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah
As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan
istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud
fana. Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu
lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam'
dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal'
atau 'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat
daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah
fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan
maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah
lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap
sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:
"Tasauf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena
kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali,
salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah
sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'. Sayyidina Ali sering memperkatakan tentang fana.
Antaranya :
"Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku
mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah
merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi
yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu
dengan Allah(Salik). Firman Allah yang bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah
ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun
dalam beribadat kepada Allah (Surah Al-Kahfi:)
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban
yang mesti dilaksanakan iaitu:
* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifatsifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan
Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang
benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah ertinya
memfanakan diri.
Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir AlJailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana"
fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat
ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah
Taala seperti berikut;
"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan
berfirman: Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."
Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana,
al-Baqa, dan al-ittihad.
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah
hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai
Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang
melenyapkan(fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahawa Allah itu segalagalanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan
membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat
memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat
berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa
lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya
mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya
adalah di dalam Dia juga."
Dari segi bahasa al-Fana berarti binasa , Fana berbeda dengan al-Fasad (rusak).
Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang
lazimnya digunakan pada diri. Fanajuga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan
dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana adalah lenyapnya inderawi
atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat
dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi
melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana
dari alam cipta atau dari alam makhluk . Selain itu Fana juga dapat berarti
hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana adalah Baqa, secara harfiah Baqa berarti kekal
sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji
dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan
(basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah
atau ketuhanan. Fana dan Baqa ini menurut ahli tasawuf datang beriringan
sebgaimana ungkapan mereka :Apabila nampak nur ke Baqaan, maka Fanalah
yang tiada dan Baqalah yangkekal. Juga ungkapan mereka : Tasawuf itu adalah
mereka Fana dari dirinya dan Baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka
bersama Allah.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan
Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaanNya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana yang dimaksud adalah : Fananya seseorang dari dirinya
dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang
mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain
ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .
Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan
Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat marifah akan melihat Tuhan
dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana al-sifat
dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana al-irodah serta
proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya
disebut Fana al-nafs. Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana al-nafs yaitu
tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya
dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana dan Baqa
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga
yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya
tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang
atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan
jasad kasarnya.
Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana itu tidak bisa
berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan
menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba
Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan
wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa dan berlanjut
kepada Ittihad. Fana dan Baqa menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan
sebagaimana ungkapan mereka : Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka
Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah WalJamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti
berikut:
* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah) sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah(mahabbah) hingga dia
memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu
pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan perkataan Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara
sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal
dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan
kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang
Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah
peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh
perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu
saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan
fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana
dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui
makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian
makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat
fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia
mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan
semua cermin penzohiran. Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai
bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan
satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.Dalilnya ialah Firman Allah
dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;
"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang
dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya
dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang iaitu hapus segala tanda-tanda sekelian pada sifat Allah.
Maka iaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi
Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan
Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah
mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab
cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Para pesuluk yang sempurna akan mampu
melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna. Dalam
kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci.
Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia
melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap
dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah)