Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.1.

Latar Belakang
Kebutuhan pangan tidak terbatas pada jumah saja, tetapi juga dipertimbangkan dari

segi mutu atau kualitasnya. Masyarakat di berbagai negara menuntut produk pangan yang
mempunyai kualitas baik, bernilai gizi tinggi dan aman. Bahkan organisasi perdagangan
dunia WTO (World Trade Organization) membuat persyaratan khusus tentang mutu dan
keamanan produk pangan yang diperdagangkan.1
Menurut WHO tahun 2002 secara global terdapat 1,5 milyar kejadian gangguan
kesehatan karena makanan (foodborne disease), 3 juta di antaranya meninggal setiap tahun,
dengan angka yang cenderung meningkat, bahkan menurut estimasi jumlah kejadian yang
sebenarnya berkisar antara 100 sampai 300 kali dari kejadian yang dilaporkan. 2,3 Menurut
WHO dan CDC, di Amerika sendiri, setiap tahunnya terdapat 76 juta kasus penyakit akibat
makanan yang menyebabkan 325.000 orang harus dirawat di rumah sakit dan 5000 jiwa
meningga dunia. Di Indonesia, makanan yang berasal dari ketering menduduki peringkat
teratas sebagai penyebab keracunan makanan dengan angka sebesar 33,8%, disusul oleh
makanan jajanan (18,5 %), keluarga (9,2%), industri (4,6%), dan tidak diketahui (33.9%).4
Berbagai kasus keracunan yang menimpa masyrakat konsumen pangan mencerminkan bahwa
masih banyak terjadi kelalaian-kelalaian dari pihak produsen serta distributor dan pedagang
makanan di satu pihak, serta ketidakpekaan dan ketidakjelian dari pihak konsumen terhadap
masalah pangan.5
Definisi 6

1.2.

Istilah keracunan makanan (food poisining) digunakan untuk menggambarkan semua


keadaan atau penyakit yang disebabkan oleh masuknya makanan atau minuman yang
megandung toksin atau kuman. Secara terminologi istilah food poisining sebenarnya kurang
tepat, istilah yang lebih tepat menururt Colle 1989 adalah food-borne infections and
intoxications atau infectious intestinal disease (IIDs). Keracunan makanan ini harus
dibedakan dengan :
-

Adverse reaction to a food (sensitif terhdapa makanan) : istilah umum yang digunakan
untuk kelainan klinis akibat makanan atau zat tambahannya. Mungkin dimediasi oleh

proses imun.
Food hipersensitivity: reaski imunologik yang hanya terjadi pada individu tertentu
terhadap sejumlah kecil makanan atau zat tambahannya dan tidak dikaitkan dengan

efek fisiologik. Dimediasi oleh respon imun seluler dan humoral serta reaksi silang
-

dengan antigen.
Food anaphilaxis: reaksi alergi hipersensitif klasik terhadap makanan dan zat
tambahannya. Melibatkan respons imun humoral (IgE antibodi) dan mediator kimiawi

lainnya.
Food intolerance: menggambarkan respon fisiologik abnormal terhadap makanan dan
zat tambahannya berupa reaksi imunologik, idosinkrasi, metabolik, farmakologik atau

toksik.
Food toxicity (poisining): efek samping langsung dari makanan atau zat tambahannya
tanpa melibatkan respon imun.Toksin berasal dari makanan, atau mikroorganisme

dan parasit yang mengkontaminasi makanan.


Food idiosyncrasy: reaksi ini terjadi pada individu tertentu tanpa melibatkan respon

imun, biasanya dikaitkan dengan faktor genetik.


Metabolic food reaction: efek toksik dari makanan ketika dimakan secara berlebihan.

2.3. Klasifikasi 6
Food borne diseases dikalsifikasikan dalam dua kelompok besar berdasarkan agen
penyebabnya yaitu; food borne poisining/intoxication dan food borne infections.
1. Food borne infections: merupakan penyakit yang disebabkan oleh beberapa organisme
patogen yang tertelan bersama makanan dan menyebabkan terjadinya infeksi.
2. Food borne poisining/intoxications: merupakan penyakit yang disebabkan oleh makanan
yang mengandung mikroorganisme yang menghasilkan toksin baik dari tanaman maupun
dari binatang atau karena konsumsi makanan yang terkontaminasi zat kimia.

Tabel 1. Food borne infections

Tabel 2. Food borne poisining/intoxications

Tabel 3. Jenis Patogen Berdasarkan Masa Inkubasinya

Tabel 4. Jenis Bakteri dan Gejala Klinis Berdasarkan Masa Inkubasi

Tabel 5. Penggolongan Mikroba Patogen Berdasarkan Tingkat Berbahayanya

2.4. Etiologi 6
Penyebab keracunan makanan selain dari bakteri dan toksin dari alam (tabel 1) juga
sebagai akibat bioteroisme atau perang dengan senjata biologis. Dikenal istilah; BW
(Biological walfare agent) seperti bacillus anhracis, Botulinum Toksin, brucella species,
Shigella species dan staphilococus aureus toxin dan CW (chemical walfare agent).
2.5. Patogenesis dan Gambaran Klinis 6
2.5.1. Food Borne Infections
A. Bacterial Food Borne Infections
a. Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang diseabakan oleh S.typhi, sedangkan
demam paratifoid disebabkan oleh S.paratyphi A dan B.
Patogenesis : Bakteri salmonella masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang
selanjutnya menembus lapisan epitel usus halus dan dibawa oleh makrofag ke seluruh tubuh
hingga ke sistem retikuloendotelial. Selama fase bakteremia, kuman ini dapat menetap dalam
kantong empedu.
Gambaran Klinis: Masa inkubasi 3-21 hari. Pasien biasanya dengan demam, sakit
kepala, anoreksia, menggigil, malaise, nyeri abdominal dan diare atau konstipasi. Pada
pemeriksaan fisis ditemukan pembesaran hati dan limfa dan nyeri tekan abdomen. Jika tidak
diobati dapat terjadi komplikasi terutama perforasi dan perdarahan gastrointestinal.
b. Salmonella non tifoid
Patogenesis: Bakteri ini masuk ke saluran cerna bersama makanan dan menyebabkan
kerusakan pada mukosa usus sehingga terjadi diare inflamatorik.
Gambaran Klinis : Gejala tersering adalah dehidrasi ringan karena diare tanpa darah,
mual muntah, demam dan keram perut yang berlangsung selama masa inkubasi 6-48 jam.
Diare dengan volume yang banyak atau disentri dapat juga terjadi.
c. Shigelosis/ disentri basiler
Merupakan kolitis inflamatori akut yang disebabkan oleh spesises Shigella.
Patogenesis: bakteri ini ikut tertelan bersama makanan dan menginvasi sel epitel
kolon dan berkembang biak dalam sel sehingga sel mengalami kerusakan dan kematian dan
mengakibatkan ulserasi mukosa kolon.

Gambaran klinis: Masa inkubasi 1-7 hari, dengan gejala diare encer tanpa darah atau
dosentri hebat disertai tenesmus dan demam, sering memberat pada anak-anak dan disertai
nyeri abdomen. Komplikasi shigelosis yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan bakteremia.
d. Infeksi Escherechia Coli
Perbedaan jenis strain E.coli memberikan gejala diare dengan mekanisme yang berbeda.
-

Enteropathogenic E.Coli
Patogenesis: kolonisasi dalam usus besar dan melekat pada mukosa menyebabkan
morvili berkurang.
Gambaran klinis: diare dengan lendir tetapi tanpa darah.

Enteroinvasive E.Coli
Patogenesa: menginvasi dan berkembang biak pada mukosa kolon
Gambaran Klinis: gejala hampir mirip dengan infeksi shigella.

e. Brucellosis
Patogenesis: bakteri ini menginvasi melalui aliran darah dan menetap di hati, limfa,
tulang dll. Dalam jaringan ini akan merangsang respon inflamasi.
Gambaran klinis: masa inkubasi 1 minggu sampai bebeapa bulan dan kemudian
akan bermanifestasi pada pasien dengan beragam tanda dan gejala seperti demam, menggigil,
keringatan, mialgia, atralgia, sakit kepala, anoreksia, berat badan menurun, bentuk kering dll.
Pasien akan tampak sehat atau sakit berat dengan beberapa gejala yang mnyertai: pallor,
limfadenopatim pembesaran hati dan limfa, inflamasi, rash dll.
B. Parasitic Food Borne Infections
Yang paling sering ditemukan adalah amebiasis, ascariasis, taeniasis dan giardiasis.
a. Amebiasis
Patogenesis: tropozoit yang berasal dari kista menginvasi mukosa usus besar dan
menyebabkan ulserasi kemudia menyebar ke organ lain melalui aliran darah dan
menyebabkan lesi di tempat lain (paling sering di hepar)
Gambaran klinis: Sindrom klinis bervariasi. Amebiasis intestinal simptomatik
bermanifestasi berupa nyeri abdomen, dan diare ringan yang diikuti dengan nyeri
abdomen difus, berat badan menurun, malaise dan diare lendir darah. Demam terjadi
kurang dari 40% pasien. Manifestasi abses hati amubik berupa demam, nyeri tekan di atas

hepar dan efusi pleura sisi kanan. Kurang dari 30% didahului dengan diare. Komplikasi
dapat terjadi ruptur abses dan pembentukan rongga abses antara hepar dengan paru-paru.
b. Giardiasis
Patogenesis: tropozoit yang berasal dari kista dilepaskan dalam usus halus. Tropozoit
bertambah banyak melalui proses oembelahan ganda, kemudian melekat pada mukosa
usus dan menyebabkan diare dan malabsorbsi, namun demikian mekanisme pasti G.lambia
menyebabkan diare belum diketahui.
Gambaran klinis: sebagian besar pasien asimptomatik. Tetapi pada individu yang
terinfeksi dapat ditemukan gejala diare, nyeri abdomen, kembung, anoreksia, berat badan
menurun, mual dan muntah.
c. Taeniasis
- Taeniasis saginata
Patogenesis: Bentuk infeksi yang paling sering ditemukan di Etiopia. Cysticerci ini
melekat dalam serat otot sapi dan mengeinfeksi manusia dari daging yang mentah
atau setengah matang dan berkembang biak sampai dewasa dalam usus halus.
Gambaran Klinis: Saat buang air besar biasanya ditemukan bagian proglotids cacing
di feses, rasa tdak enak perianal, nyeri ringan atau rasa tidak enak pada abdomen,
-

mual dan anoreksia.


Taeniasis Solium
Patogenesis: dua bentuk T.solium mampu menyebabkan infeksi pada manusia
yaitu; bentuk cacing dewasa, menyebabkan infeksi pada usus karena terikut dalam
makanan terutama daging babi yang tidak dimasak dan mengandung cysticerci.
Bentuk larva, menyebabkan infeksi cysticercosis dalam jaringan otak dan otot skletal
dan juga karena menelan telur cacing T. Solium. Kemungkinan autoinfeksi karena
feko-oral.
Gambaran Klinis: Infeksi usus bisa tanpa gejala atau dengan gejala dengan
manifestasi rasa tidak nyaman epigastrium, mual, sensasi lapar, diare dll.
Cysticercosis, geajalanya tergantung lokasi dan jumlah cysticerci dan derajat respon
inflamasi dari jaringan yang terkena.

d. Ascariasis
Patogenesa: telur cacing dalam feses menetas dalam tanah dan menjadi infeksi dalam
beberapa minggu. Ketika makanan terkontaminasi dengan tanah ini maka larva akan
menetas dalam usus kemudian masuk aliran darah menuju paru, masuk alveoli dan cabang
bronchial kemudian tertelan ke dalam saluran cerna. Dalam usus halus, cacing ini
berkembang menjadi cacing dewasa.

Gambaran klinis: manifestasi klinis dapat berupa: migrasi larva ke dalam paru-paru
menyebabkan batuk, sesak napas, suptum bercampur darah. Cacing dewasa dalam usus
umumnya tidak bergejala tetapi dapat menyebabkan obstruksi usus, perforasi atau cacing
dapat bermigrasi ke tempat lain menyebabkan manifestasi seperti kolik bilier.
C. Viral Food Borne Infections
a. Gastroenteritis virus
Patogenesis: Rotavirus menyebabkan diare osmotik karena malabsorbsi nutrient.
Calcivirus seperti Norwalk virus juga menyebabkan diare yang sama namun mekanismenya
sedikit berbeda.
Gambaran Klinis: Infeksi rotavirus menyebabkan muntah tiba-tiba disertai diare
ringan hingga berat, dengan diare bercampur lendir, dan demam. Infeksi Norwalk virus, tibatiba mual dan keram perut diikuti muntah dengan atau tanpa diare, demam ringan, sakit
kepala, dan mialgia, dengan masa inkubasi 18-72 jam.
b. Hepatitis Virus
Patogenesis: transmisi hepatitis virus A dan E sering melalui feko-oral. Virus hepatitis
ini akan merusak sel hepar (hepatosit), namun respons imunologik dari tiap individu berperan
penting dalam patogenesis.
Gambaran Klinis: Masa inkubasi berbeda tergantung jenis virus penyebab. Gejala
prodromal termasuk anoreksi, mual dan muntah, letih dan lesu, atralgia dan mialgia, sakit
kepala, fotofobia, demam ringan, ikterus disertai berat badan sedikit menurun, hepar teraba
membesar, nyeri kuadran kanan atas.
2.5.2. Food Borne Poisining/ Intoxications
A. Bacterial Food Poisining
Beberapa kemungkinan jenis bakteri sebagai penyebab keracunan makanan
berdasarkan lama inkubasi.
a. Kolera
Kolera merupakan diare akut yang disebabkan oleh toksin yang dikeluarkan oleh
vibrio kolera dan menyebabkan kematian jika tidak diterapi dalam beberapa jam.
Patogenesis: bakteri ini berkolonisasi di usus halus, dan yang melepaskan
enterotoksin protein disebut toksin kolera. Toksin ini akan menghambat absorbsi dan aktivasi

ekskresi klorda sehingga terjadi akumulasi sodium klorida dalam lumen usus yang akan
menarik air secara pasif.
Gejala Klinis: Masa inkubasi 24-48 jam, pasien dengan gejala tiba-tiba diare cair
yang sangat banyaj disertai muntah. Demam dan nyeri abdomen biasanya tidak ditemukan.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah hipovolemik syok karena dehidrasi, gangguan elektrolit
dan gangguan ginjal akut.
b. Escherecia Coli
Enam

kelas

enterohemoragic

E.coli

yang

(EHEC),

telah

diketahui

enterotoxigenic

sebagai

(ETEC),

penyebab

diare

Enteroinvasive

yaitu;
(EIEC),

enteroaggregative (EAEC), enteropathogenic (EPEC), dan diffusely adherent (EDAEC).


Semua strain enterohemmoragic memproduksi toksin shiga 1 dan atau shiga 2, juga toksin
vera 1 dan toksin vera 2. ETEC menyebabkan diare encer. Kuman-kuman di atas melekat
pada dinding usus kemudian menghasilkan toksin yang akan mengganggu lapisan mukosa
usus.
Gambaran Klinis: Gejala kolitis hemoragik umumnya terjadi 1-2 hari setelah
memakan bahan makanan yang terkontaminasi meskipun ada beberapa yang melaporkan
terjadi setelah 3-5 hari. Gejala diawali dengan diare ringan tanpa darah, disertai nyeri
abdomen dan demam. Selama 24-48 jam berikutnya, intensitas diare semakin meningkat dan
biasanya diare disertai darah ini dapat terjadi sampai 4-10 hari, nyeri abdomen hebat dan
dehidrasi sedang. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kolitis hemoragik adalah
hemolytic-uremic syndrome, yang dapat terjadi pada minggu pertama setelah munculnya
gejala gastrointestinal dan acute kidney injury. Namun, komplikasi ini sering ditemukan pada
anak di bawah 10 tahun.
Enterotoxigenic E.Coli (ETEC)
Patogenesis: kolonisasi pada usus besar dan melepaskan toksin heat labil (LT) dan heta
stable (ST) yang akan mesntimulasi sekresi cairan.
Gambaran Klinis: Diare setelah periode inkubasi 24-72 jam, muntah jarang, pada
orang dewasa umumnya sembuh sendiri, paling lama 1-3 hari. Diare akut encer tanpa lendir
atau tanpa darah, keram perut.
Enterohemoragic E. Coli (EHEC)
Patogenesis: Kolonisasi dalam kolon dan ileum dan menghasilkan Shiga-like toxin
yang akan menyebabkan respon inflamatori dalam mukosa kolon.

Gambaran Klinis: Diare encer bercampur darah dan disertai nyeri perut. bercampur
darah dan disertai nyeri perut. Sindrom uremik hemolitik merupakan komplikasi dari infeksi
EHEC.
Enteropathogenic E.Coli (EPEC)
Gambaran Klinis: Inkubasi 1-2 hari dengan gejala diare encer barcampur lendir, gejala
ini akan pulih sendiri namun kadang dapat menetap hingga seminggu.
c. Antraksis
Patogenesis: toksin yang dilepaskan oleh bakteri ini memberikan manifestasi penyakit
yang beragam. Ada tiga klinik utama ada antraks yaitu; (1) Antraks kutaneus, yang paling
sering ditemukan berupa lesi kulit lokal dengan pusatnya hitam karena skar dari nekrosis dan
edema non pitting. (2) Antraks inhalasi (penyakit Wool sorters), karakteristik mediatinitis
hemorogik dengan mortalitas yang tinggi. (3) Antraks gastrointestinal, sering ditemukan di
Ethiopia dengan motalitas yang tinggi.
Gambaran Klinis: ada dua bentuk utama yang sering ditemukan yaitu manifestasi
Antraks gastrointestinal beupa demam, mual, muntah, nyeri abdomen, diare massiv dengan
atau tanpa darah dan kadang ditemukan asites. Manifestasi antraks orofaringeal berupa
demam, suara parau dan sulit menelan, limfadenopati regional yang sangat nyeri dan distress
respirasi.
d. Infeksi staphylococcus Aureus
Patogenesa: Bentuk keracunan makanan yang paling sering, enterotoksin yang
dihasilkan bekerja pada resptor usus yang akan mentransmisikan impuls ke pusat medullar
melalui nervus vagus yang akan menginduksi muntah, kuman ini juga bekeraj sebagai
superantigen.
Gambaran Klinis: Setelah inkubasi 1-8 jam (jarang sampai 18 jam) biasanya akan
terjadi muntah yang intens dan disertai diare encer dan keram perut sampai 24 jam, biasanya
gejala akan menghilang setelah 24-48 jam setelah keracunan bakteri ini.
e. Infeksi Bacillus Acereus
Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dan ususu akan menghaslkan enterotoksin
yang dapat merangsang muntah dan diare. Keracunan makanan akibat bacillus cereus ini
karena enterotoksinnya yang berasal dari bentuk spora bakteri ini menghasilkan cell

associated endotoksin yang dilepaskan ketika sel-sel bakteri mati ini memasuki saluran
pencernaan.
Gambaran Klinis: Manifestasi tergantung masa inkubasinya, jika inkubasinya 2-8 jam
maka gejalanya berupa muntah (emetic form). Jika inkubasinya 6-8 jam maka gejala diare
yang yang utama (diarrheal form). Gejala yang bisa ditemukan adalah mual, muntah, nyeri
perut, tenesmus dan feses encer. Demam umumnya tidak ada.
f. Clostiridium Perfringens
Patogenesa: Enterotoksin yang dihasilkan selama sporulasi dalam usus menyebabkan
hipersekresi. Spora ini masih dapat bertahan hidup meskipun makanan dipanaskan.
Perubahan pH dari lambung ke usus mempengaruhi juga proses sporulasi bakteri ini dalam
hal pelepasan toksin. Ketika C.perferingens makin banyak yang tertelan bersama makanan,
maka toksin akan semakin banyak yang dilepaskan dalam saluran cerna terutama di usus
yang akan menyebabkan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit.
Gambaran Klinis: Gejala tersering adalah diare, kram perut dan kadang disertai
sedikit demam, maul sering juga ditemukan tanpa disertai muntah. Lamanya keluhan singkat,
biasanya kurang dari satu hari. Penyakit ini jarang fatal pada orang sehat. Gejala kardinalnya
adalah diare hebat setelah masa inkubasi 8-16 jam, kadang disertai muntah, tanpa pengobatan
akan pulih setelah 1-4 hari.
g. Clotridium Botulinum
Patogenesis: Botulism merupakan penyakit kelumpuhan akibat neurotoksin dari
clostridium botulinum. Ada empat bentuk klinik yang dikenal yaitu:
-

Food brone botulism yang dihasilkan karena makanan yang tercemar toksin ini
Wound botulism karena toksin mencemari kayu/lantai
Infant botulism dan adult botulism karena spora C.botulinum yang menghasilkan
toksin dalam usus.
Peranan neurotoksin dalam menyebabkan kelumpuhan melalui proses proteolisis dari

neruoeksocytosis yang akan menghambat pelepasan asetil kolin pada mioneural junction
sehingga mencegah transmisi neuron ke otot. Sebagai akibatnya otot tidak dapat berkontraksi
dan terjadi kelumpuhan otot.
Gambaran Klinis: Gejala keracunan terjadi dalam 18-24 jam setelah toksin tertelan,
gejala yang dapat terjadi adalah penglihatan kabur, sulit menelan dan bicara, kelemahan otot,

mual dan muntah. Tanpa terapi adekuat sepertiga dari pasien keracunan ini akan mati dalam
beberapa hari karena gagal napas atau gagal jantung.
-

Infant-norne botulism: Bentuk terbanyak jenis keracunan ini


Food borne botulism: Masa inkubasi biasanya 18-36 jam. Gejala dapat bervariasi dari
bentuk ringan hingga yang tidak butuh terapi hingga kondisi berat dan fatal.
Keterlibatan saraf kranial merupakan gejala awal seperti gejala diplopia, diasartria
dan atau disfagia, kekakuan atau kelumpuhan otot simetris yang prograsif mulai dari
leher, lengan, dada dan kaki. Umumnya kekakuan otot yang terjadi ini asimetris.
Gejala mual, muntah, nyeri perut, pusing, pandangan kabur, mulut dan tenggororkan
kering dan suara serak dapat pula ditemukan bersamaan dnegan kelumpuhan. Ileus
paralitik, konstipasi hebat dan retensi urin sering terjadi. Pasien akan tampak seperti
mengantuk atau cemas. Ptosis dapat terjadi karena refleks papillar menurun, dilatasi

pupil dan refleks tendon normal atau menurun.


Adult infectious botulism: gejalanya dari ringan hingga berat, kostipasi umumnya
sebagai gejala awal. Kelemahan otot leher, kelemahan kemampuan menghisap,
ganguan ekspresi wajah dan verbalisasi. Penyebaran kelumpuhan tergantung saraf
kranial yang terkena dan refleks tendon normal atau menurun.

2.5.3. Manifestasi Gastrointestinal Tersering


Gejala diare merupakan gejala tersering pada kasus keracunan makanan. Untuk
membedakan apakah diare ini akibat proses inflamatorik atau non inflamatorik dapat dilihat
pada tabel di bawah.

Tabel 6. Jenis Diare dan Patogenesanya

B. Keracunan Bahan Kimia


a. Keracunan Logam Berat (timah, merkuri, arsenik)
-

Keracunan timah

Sumber keracunan timah ini melalui residu yang melekat pada makanan akibat
kontaminasi dari kalengnya, peralatan mengolahnya, air yang tercemar, wadah yang dicat
atau catnya. Metabolisme: Timah ini masuk ke tubuh melalui jalur diserap atau dihirup
kemudian diekskresikan melalui urin dan feses. Toksisitas terjadi karena timah akan
berikatan denagn membran sel dan mitokondria yang akan mencegah fosorilasi oksidatif
mitokondria, dan transport natrium, kalium dan kalsium.
Gambaran Klinis: Nyeri abdmen, iritabilitas, letargi, anoreksia, pucat, ataksia dan bicara
kurang jelas, nyeri sendi, neuropati perifer dan gangguan memori jangka pendek serta
gangguan konsentrasi. Kejang, koma dan kematian dapat terjadi karena edema serebral
dan gagal ginjal. Keracunan timah subklinis dapat menyebabkan gangguan retardasi
mental dan gagal ginjal kronik, hal ini dapat terjadi pada paparan yang lama dan kadar
yang tinggi.
-

Keracunan Merkuri
Sumber yang paling sering berasal dari makanan laut dan merkuri dari bahan industri.
Patogenesis: markuri ini diserap baik melalui paru dan asluran cerna dan diekskresikan
melalui urin dan atau feses. Keracunan terjadi karena efek lokal dan retensi dalam finjal.
Gambaran Klinis: Merkuri yang terhirup akan menyebabkan batuk, sesak, dan rasa
tertekan atau rasa terbakar pada dada. Jika kadar merkuri yang tertelan banyak dapat
menyebabkan mual, munrah, hematemesis, nyeri abdomen, diare dan tenesmus.
Komplikasi keracunan merkuri yang dapat terjadi pada paru adalah distres pernapasan,
edema paru, pneumonia lobaris dan fibsrosis. Dapat juga menyebabakn toksik neurologi,
ganguan ginjal akut dan kolaps sirkulasi.

Arsenik
Sumber kontaminasi dapat berasal dari makanan laut, pestisida dan herbisida.
Patogenesa: setelah diserap, arsenik inorganik akan berakumulasi dalam hati, limpa, ginjal,
paru dan saluran cerna. Meskipun cepat dibersihkan namun tetap meninggalkan residu
yang menyebabkan keratin rich tissue. Arsenik terutama bentuk trivalen akan
menghambat sulfhydril yang mengandung enzim. Bentuk arsenik hepatavalen akan
berkompetensi dengan fosfat dalam hidrolisis cepat untuk berikatan dengan komponen
energi seperti ATP.
Gambaran Klinis: Keracunan arsenik dapat ditemukan gejala mual, muntah, diare, nyeri
abdomen dan delirium. Pada keracunan kronik, dapat ditemukan perubahan pada kulit dan
kuku.

b. Insektisida

Menurut Taylor, racun adalah setiap bahan atau zat yang dalam jumlah relatif kecil
bila masuk kedalam tubuh akan menimbulkan reaksi kimiawi yang akan menyebabkan
penyakit atau kematian.7
Berdasarkan struktur kimianya insektisida dapat digolongkan menjadi: 7,8
1. Insektisida golongan fospat organik ; seperti : Malathoin, Parathion, Paraoxan ,
diazinon, dan TEP.
2. Insektisida golongan karbamat ; seperti : carboryl dan baygon
3. Insektisida golongan hidrokarbon yang diklorkan ; seperti ,DDT endrin , chlordane,
dieldrin dan lindane.
Patogenesa
Bila dilihat dari cara kerjanya , maka insektisida golongan fospat organik dan golongan
karbamat dapat dikategorikan dalam antikolinesterase ( Cholynesterase inhibator insectisides)
, sehingga keduanya mempunya persamaan dalam hal cara kerjanya , yaitu merupakan
inhibator yang langsung dan tidak langsung terhadap enzim kholinesterase.7,9,10.
Racun jenis ini dapat diabsorbsi melalui oral , inhalasi , dan kulit. Masuk ke dalam tubuh dan
akan mengikat enzim asetil kholinesterase ( AChE ) sehingga AChE menjadi inaktif maka
akan terjadi akumulasi dari asetilkholin.8,9
Gambaran Klinis
Manifestasi utama keracunan adalah gangguan penglihatan , gangguan pernafasan dan
hiper aktif gastro intestinal.
a. Keracunan Akut
Gejala gejala timbul 30 60 menit dan mencapi maksimum dalam 2 8 jam.
- Keracunan ringan :
Anoreksia , sakit kepala , pusing , lemah , ansietas , tremor lidah dan kelopak mata
, miosis, penglihatan kabur.
-

Keracunan Sedang :
Nausia, Salivasi, lakrimasi , kram perut , muntah muntah , keringatan , nadi
lambat dan fasikulasi otot.

Keracunan Berat :
Diare , pin point , pupil tidak bereaksi , sukar bernafas, edema paru , sianons ,
kontrol spirgter hilang , kejang kejang , koma , dan blok jantung.

b. Keracunan Kronis

Penghambatan kolinesterase akan menetap selama 2 6 minggu ( organofospat ) .


Untuk karbamat ikatan dengan AChE hanya bersifat sementara dan akan lepas

kembali setelah beberapa jam ( reversibel ) .


Keracunan kronis untuk karbamat tidak ada. Gejala gejala bila ada menyerupai
keracunan akut yang ringan , tetapi bila eksposure lagi dalam jumlah yang kecil
dapat menimbulkan gejala gejala yang berat.

Kematian biasanya terjadi karena kegagalan pernafasan , dan pada penelitian


menunjukkan bahwa segala keracunan mempunyai korelasi dengan perubahan dalam
aktivitas enzim kholinesterase yang terdapat pada pons dan medulla. Kegagalan pernafasan
dapat pula terjadi karena adanya kelemahan otot pernafasan , spasme bronchus dan edema
pulmonum.
c. Keracunan Dari Bahan Tanaman
- Neurolathyrism (lathyrism)/Guaya
- Keracunan jamur Aflatoksin
Aflatoksin adalah sejenis racun yang dihasilkan oleh jamur Aspergiluus flavus dan
penicilium. Racun ini banyak terdapat pada bahan makanan yang dikontaminasi oleh
jamur tersebut. Aflatoksin tidak menyebabkan keracunan secara akut tetapi secara
kronik dapat menimbulkan kelainan hati pada binatang dan manusia. Aflatoksin banyak
ditemukan dalam makanan misalnya: susu, kacang tanah, oncom, tembakau, minyak
kacang dan jamu-jamuan diduga mengandung aflatoksin tersebut.
d. Keracunan Singkong 6
Singkong (Manihot utilisima) atau dikenal juga sebagai ketela pohon merupakan
tanaman yang tumbuh di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tanaman
singkong dapat dimanfaatkan secara keseluruhan mulai dari batang, daun dan umbinya.
Glikosida sianogen merupakan metabolit sekunder pada tumbuhan, yang berupa
turunan asam amino. Terdapat banyak jenis glikosida sianogen, seperti misalnya pada almond
disebut amygdalin, pada Shorgum disebut durrhin, pada rebung disebut taxiphyllin. Pada
singkong, glikosida sianogen utama adalah linamarin, sementara sejumlah kecil lotaustralin
(metil linamarin) hanya ditemukan dalam jumlah kecil pada singkong. Linamarin dengan
cepat dihidrolisis menjadi glukosa dan aseton sianohidrin sedangkan lotaustralin dihidrolisis
menjadi sianohidrin dan glukosa. Di bawah kondisi netral, aseton sianohidrin didekomposisi
menjadi aseton dan hidrogen sianida.

Hidrogen sianida (HCN) atau asam sianida ini merupakan racun pada singkong,
masyarakat mengenal sebagai racun asam biru karena adanya bercak warna biru pada
singkong dan akan menjadi toksin (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50
ppm.
Patogenesa
Hidrogen sianida yang masuk ke dalam tubuh dengan cepat didistribusikan ke seluruh
tubuh oleh darah. Tingkat sianida dalam berbagai jaringan manusia pada kasus keracunan
HCN yang fatal telah dilaporkan, bahwa pada lambung : 0,03, pada darah : 0.5, pada hati :
0,03, pada ginjal : 0,11, pada otak : 0,07, dan urin : 0,2 (mg/100g). Secara fisiolgi dalam
tubuh, Hidrogen sianida menginaktivasi enzim sitokrom oksidase dalam mitokondria sel
dengan mengikat Fe3 + / Fe2 + yang terkandung dalam enzim. Hal ini menyebabkan
penurunan dalam pemanfaatan oksigen dalam jaringan. sehingga organ yang sensitif terhadap
konidis kurangnya O2 akan sangat menderita terutama jaringan otak. Sehingga dapat
menimbulkan asfiksia, hipoksia dan kejang. Selain itu sianida menyebabkan peningkatan
glukosa darah dan kadar asam laktat dan penurunan ATP / ADP rasio yang menunjukkan
pergeseran dari aerobik untuk metabolisme anaerobik. Hidrogen sianida akan mengurangi
ketersediaan energi di semua sel, tetapi efeknya akan paling cepat muncul pada sistem
pernapasan dan jantung.
Gambaran Klinis
Gejala keracunan yang muncul antara lain respirasi cepat, penurunan tekanan darah,
denyut nadi cepat, pusing, sakit kepala, sakit perut, muntah, diare, kebingungan mental,
berkedut dan kejang-kejang. Jika hidrogen sianida melebihi batas toleransi kemampuan
individu untuk detoksifikasi / mentolerir, kematian dapat terjadi akibat keracunan sianida.
Dosis oral HCN yang mematikan bagi manusia yang dilaporkan 0.5-3.5mg/kg berat badan.
e. Keracunan Jengkol
Mengkonsumsi biji jengkol mentah atau setengah matang diduga berperan
memberikan potensi risiko terjadinya keracunan jengkol karena asam jengkolat yang
terkandung dalam biji jengkol mentah masih dalam keadaan utuh dan aktif. Namun demikian
tidak semua orang yang mengkonsumsi jengkol akan mengalami keracunan karena faktor
utama penyebab kejadian keracunan akibat jengkol tergantung pada daya tahan tubuh
seseorang, dalam hal ini kondisi lambungnya, jumlah jengkol yang dikonsumsi, atau cara

memasaknya. Seseorang yang mengkonsumsi jengkol dalam kondisi lambung yang asam
akan lebih berisiko mengalami keracunan.11 Jumlah buah yang dimakan juga bervariasi untuk
menimbulkan keracunan yaitu antara 1-10 buah jengkol.12 Laporan kasus oleh Bunawan et al.
(2014), sindrom jengkolisme muncul 2-12 jam paska mengkonsumsi jengkol.13
Patogenesa
Asam jengkolat relatif mudah dan cepat diabsorpsi oleh usus halus, kemudian 2-3jam berikutnya sudah ditemukan pada urin penderita dengan bentuk yang tidak berubah, dan
dalam jumlah yang besar. Ini menunjukkan efisiensi penyerapan yang tinggi dari usus, dan
ginjal terkesan sebagai alat ekskresi utama bagi asam jengkolat, dan bahan ini tidak
mengalami metabolisme berarti dalam hati. Di dalam darah, asam jegnkolat ditransportasikan
dalam bentuk ikatan longgar dengan albumin sehingga dengan mudah dilepaskan oleh
albumin dan lolos dari saringan glomerulus.14
Asam jengkolat mampu merembes ke jaringan sekitar (imbibisi), sehingga pada
beberapa kasus keracunan jengkol yang disertai sumbatan di uretra, asam ini keluar ke
jaringan sekitar (ekstravasasi) bersama dengan air kemih dan tertimbun di jaringan tersebut
sehingga terbentuk infiltrat air kemih yang mengandung kristal asam jengkolat pada penis,
skrotum dan di daerah suprapubis. Hal ini lebih sering terlihat pada anak-anak (Moenanjat
dkk, 1936). Pada anak laki-laki, hablur asam jengkolat banyak berkumpul di fossa naviculare
penis. Pada 20% penderita keracunan yang ditemukan inflitrat di daerah penis dan
suprapubis. Bila dilakukan torehan (excisie), infiltrat ini mengandung hablur asam jengkolat
(Sadatun dan suharjono,1968). Rembesan cairan urin (mengandung kristal asam jengkolat)
daerah suprapubis, dapat terjadi bila ureter atau vesika urinaria mengalami peregangan
berlebihan, dan cairan keluar melalui celah antar sel epitel permukaan (Junqueira dkk,
1998).12
Gambaran Klinis
Gejala yang timbul disebabkan oleh hablur (kristal) asam jengkol yang dapat
menyebabkan obstruksi saluran kemih. Keluhan pada umumnya timbul dalam waktu 5-12
jam setelah memakan jengkol. Keluhan yang tercepat 2 jam dan yang terlambat 36 jam
sesudah makan biji jengkol.
Umumnya penderita menceritakan setelah memakan beberapa biji jengkol, ia akan
merasa nyeri perut, kadang-kadang disertai muntah, adanya serangan kolik pada waktu

berkemih. Volume air kemih juga berkurang bahkan sampai terjadi anuria. Kadang-kadang
terdapat hematuria. Napas dan urin berbau jengkol.
2.6. Diagnosis Keracunan Makanan Secara Umum 6,15
Penegakkan diagnosis pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana
laboratorium toksikologi yang cukup handal, dan belum ada sarana laboratorium swasta yang
ikut berperan sedangkan sarana laboratorium rumah sakit untuk pemeriksaan ini juga belum
memadai sedangkan sarana instansi resmi pemerintah juga sangat minim jumlahnya.
Untuk membantu mengakkan diagnosa maka diperlukan autoanamnesis dan
aloanamnesis yang cukup cermat serta dierlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat
kejadian. Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya
racun yang dapat melalui berbagai cara yaitu inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa
atau parenteral, hal ini penting diketahui karena berpengaruh pada efek kecepatan dan
lamanya (durasi) reaksi keracunan. Racun yang melalui rute oral biasanya bisa diketahui
lewat bau mulut atau muntahan kecuali racun yang sifat dasarnya tidak berabu dan berwarna
seperti arsenikum yang sulit ditemukan hanya berdasar inspeksi saja. Luka bakar warna
keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan
kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat. Perbedaan pada dampak
luka bakarnya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat
menyebabkan nekrosis likuitatif. Kerusakan korosfi hebat akibat alkali kuat pada esofagus
lebih berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar apabila pH>12 tapi tergantung
juga pada konsentrasi bahan tersebut. Waspadai kemungkinan kerusakan pada rongga mulut.
Beberapa jenis racun mempunyai bau yang spesifik tetapi kemampuan mendeteksi bau pada
populasi umum di masyarakat hanya 50%. Beberapa ciri tertentu dari urin dapat pula
membantu menegakkan diagnosis.
a. Anamnesis
Anamnesis merupakan hal yang penting dilakukan untuk mencari sumber dan penyebab
keracunan, hal yang perlu ditanyakan adalah:
-

Di mana, kapan dan apa yang dimakan?


Berapa lama waku setelah makanan masuk dengan gejala pertama muncul?
Lamanya sakit?
Apakah makanannya berbau atau berubah rasa dari biasanya?
Apakah ada orang lain yang mengkonsumsi makanan yang sama?
Apakah orang lain tersebut juga sakit karena makanan ini?

Apakah ada sisa makanan yang bisa diperiksa?

b. Pemeriksaan Fisik
Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran. Alat ukur kesadaran
yang paling sering digunakan adalah GCS. Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata,
frekuensi nafas dan denyut jantung mungkin dapat membantu penegakkan diagnosis pada
pasien dengan penurunan kesadaran.

Tabel. Karakteristik Bau Racun

Tabel. Karakteristik Warna Urin

Tabel. Gejala Klinsis Sesuai Kemungkinan Penyebab

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang ini termasuk pemeriksaan mikroskopik/makroskopik, kultur,
tes biokimiawi, serologi dan tes toksikologi. Spesimen yang dapat diperiksa diantaranya
feses, darah, aspirat liver, aspirat duodenum dan biopsi otot.
- Pemeriksaan mikroskopik/makroskopik
Pemeriksaan rutin spesimen feses dan identfikasi tampilan feses (warna, konsistensi,
ada tidaknya darah dan lendir). Dan secara langsung melihat pergerakan parasit, kista

dan telur cacing. Pewarnaan gram dilakukan untuk deteksi kuman gram positif dan
-

negatif.
Kultur dan pemeriksaan biokimiawi dan spesimen darah, feses atau jaringan untuk

identifikasi patogen melalui reaksi enzimatik dan fermentasinya.


Serologi dan tes toksikologi, laboratorium toksikologi biasanya dgunakan untuk
membuktikan diagnosis dan jenis racun penyebab melalui sampel darah atau urin.
- Pemeriksaan lingkungan keracunan
Hal ini dilakukan untuk mencari hubungan keracunan dengan sampel makanan yang
ditemukan di sekitar tempat terjadinya keracunan, terutama yang kasus out break,
evaluasi itu diantaranya:
o Sumber makanan yang dicurigai sebagai penyebab
o Bagaimana makanan disipakan dari pencucian hingga meja makan
o Kebersihan dan status kesehatan individu yang menyiapakan makanan
o Sanitasi tempat penyimanan makanan hingga tempat penyajiannya
o Penyimpanan makanan sebelum dan setelah penyajian
o Ada tidaknya potensi nyata kontaminasi
o Ketersediaan fasilitas tempat sampah yang aman dan bersih
o Bentuk dan kualitas tempat penyimpanan makanan dan alat yang digunakan
untuk meletakkan makanan.
o Kumpulan sampel muntahan atau feses dari pasien keracunan makanan
sebagai bahan untuk pemeriksaan.
o Aliran listrik refrigerator pernah padam sebelum atau sesudah kejadian.
Insidens atau kejadian keracunan makanan ini memerlukan penulusuran riwayat yang

teliti mulai dari alat makan, lingkungan tempat makanan dibuat dan disajikan. Area tempat
penyebaran juga diperiksa mulai dari lahan pertanian, tranportasi, penjual, pasar, proses
pengelolahan dan dapur serta tempat penyajian makanan (restoran, warung atau tempat
hajatan).

Tabel.
2.7. Diagnosis Banding 6
- Gangguan Kesadaran Penyebab Lain
- Perdarahan/massa intrakranial
- Infeksi/sepsis
- Kelainan endoktrin metabolik
- Hipotermia
- Hipoksia
- Psikogenik
2.8. Tatalaksana Umum Keracunan Makanan 6
Tergantung identifikasi penyebab, kuman, toksin atau bahan kimia. Tatalaksana yang
dapat dilakukan diantaranya:
o Supportive terapi: ABC
o Anti dotum
o Gastric dekontaminasi
o Enhanced eliminasi: dialisis, hemofiltrasi dll

Beberapa gejala gastrointestinal akut akan sembuh dengan hanya pemberian cairan dan
perawatan suportif. Jika memerlukan antimikroba harus dipilih berdasarkan: gejala dan tanda
klinis, identifikasi organisme dari spesimen, tes kepekaan kuman terhadap antimikroba dan
ketersediaan obat. Bagaimanapun, keterbatasan dalam hal fasilitas akan berdampak negatif
terhadap pilihan tatalaksana terapi.

Pencegahan dan Kontrol Keracunan Makanan


Pencegahan dan kontrol keracunan makanan tergantung dari penyebab spesifiknya,
namun secara prinsipil semua sam ayaitu: hindari kontaminasi makanan, scegah atau hindari
zat kontaminan, pencegahan lebih lanjut dari penyebaran kontaminan.
Benuk intervensi spesifik tergantung faktor lingkungan, ekonomi, politik, teknologi dan
kultur sosial. Strategi pencegahan dan kontrol dilakukan pendekatan berdasarkan tempat
utama transmisi atau terjadinya keracunan. Hal ini melibatkan sumber infeksi, lingkungan
dan host.
Menurut WHO ada sepuluh aturan dalam penyiapan makanan yang aman dan dikenal
sebagai The Ten Golden Roles yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Memilih proses pengelolahan makanan yang aman


Memasak makanan secara sempurna
Makan makanan yang telah dimasak segera. Jangan disimpan lama kemudian dimakan.
Simpan makanan di tempat yang bersih dan aman
Panaskan ulang makanan secara sempurna
Hindari mencampur makanan yang telah dimasak dengan makanan yang masih mentah
Cuci tangan sesering mungkin
Dapur harus senantiasa bersih
Lindungi makanan dari serangga, tikus dan binatang lainnya
Gunakan air mengalir yang bersih.

Intervensi Terhadap Sumber Infeksi/keracunan


Memasak makanan dan mencuci sayuran segar dengan air bersih. Jauhkan bahan
makanan daging dan produk mentahnya dari makanan yang siap disajikan. Hindari makanan
mentah dan produk susu mentah. Penanganan dan inspeksi makanan yang baik sebelum
disajikan, imunisasi aktif dari binatang. Gunakan sanitarium sekali pakai untuk tempat
sampah. Cuci tangan, pisau, alat pemotong dll setelah mengolah makanan yang mentah.
Hindari kontak dengan bahan yang terkontaminasi sekret dan tanah tempat hewan. Mengubur
atau mengkremasi bangkai binatang yang terinfeksi. Kenali, cegah dan kontrol infeksi pada
binatang peliharaan. Cuci tangan setelha kontak dengan binatang. Melatih dan mengawasi
penyiapan makanan dari pembantu rumah tangga. Obati karier dan rawat pasien food borne
illnesses sesuai oenyebab. Hindari makanan dari binatang yang terinfeksi.

Intervensi Terhadap Lingkungan


Pengawasan makanan yang ketat mulai dari produksi hingga siap disantap. Beberapa
intervensi yang dapat dilakukan; mengawetkan makanan dalam lemari pendingin atau

diasinkan, kendalikan lalat, kecoak, tikus dll. Penyuluhan masyarakat tentang oentingnya
kebersihan pribadi dan lingkungan, Cegah oencemaran terhadapa makanan yang telah
dimasak dengan bahan mentah. Bersihkan dapur dan lingkungan penyimpanan makanan.
Simpan makanan kering dengan baik dan senantiasa melihat tanggal kadarluwarsanya. Hatihati menyimpan dan menggunakan bahan kimia berbahaya dekat makanan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Paige JC, Tolesfon L. Food products: Residence and Resistant Pathogens dalam Food
Safety Contaminants and Toxins. J.P.F.D Mello. CAB international Publishing Oxon,

2.

2003; 293-314.
Johnson EA. Bacterials Phatogens in Foodborne Disease, dalam Food Safety
Contaminants and Toxins. J.P.F.D Mello. CAB international Publishing Oxon, 2003;

3.

25-45.
Lund BM, Baired-Parker TC, Gould GM. The microbiological Safety and Quality of

4.

Food. Aspen Publishers, Gaithersburg, Maryland. 2000.


Depkes RI. Kesehatan Pnegelolaan Pangan dan Penjaminan Mutu Makanan. Direktorat

5.

Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyerahan Lingkungan. 2010.


Nasution. Keamanan Pangan dan Masalah Peraturan dan Perundangan. Proceeding.
Seminar Keamanan Pangan dalam Pengelolahan dan Penyajian, 1-3 September 1986.

6.

Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta. 2003: 32-9.
Setyohadi B, dkk. Kegawatadariratan Penyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta.

7.

2015: 660-84.
Idrieas, AM, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Ed . Pertama, Jakarta: Binarupa

8.

Aksara, 1997, Hal : 259 263


Gani, MH, Catatan Materi Kuliah Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran

9.

Forensik Universitas Andalas, Padang, 2001, Hal : 111 139


Frank, C. Lu, Toksikologi Dasar, Ed. Kedua ( Terj ), Jakarta: Penerbit Universitas

10.

Indonesia, 1995, Hal : 328 329.


Junandi, Purnawan: Kapita Selekta Kedokteran edisi 2, Penerbit Medica Aesculapius
FK UI, Jakarta, 1994, Hal : 196 197.

11.

Depkes RI. Bahaya Keracunan Asam Jengkolat. http:/ /ik.pom.go.id /v2014/artikel/


BAHAYA-KERACUNAN-ASAM-JENGKOLAT4.pdf. Diakses Oktober 2015.

12.

Sinaga TH. Dampak Pemberian Berbagai Dosis Keracunan Asam Jengkolat pada
Sistem

13.

Perkemihan

Marmut

(Cavia

porcellus).

http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/769. Diakses Oktober,2015.


Bunawan, NC., Ashgar R., Kathleen PW., & Nancy EW. 2014. Djenkolism: Case
Report and Literature Review. International Medical Case Reports Journal, 2014; 7:
79-87

14.

Oen LH. Peranan Asam Jengkol Pada Keracunan Buah Jengkol. Dalam Simposium
Nasional Masalah Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih di Indonesia. Cermin Dunia
Kedokteran 1982; 28:5960.

15. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Pnyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta. 2010:

289-92.

Anda mungkin juga menyukai