Anda di halaman 1dari 5

Dari Abu Hurairah Abdurahman ibnu Shakhra ra berkata bahwa aku dengar Rasulullah saw

bersabda, Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dari apa yang aku
perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya
kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka
(yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka. (Diriwayatkan
Al Bukhari dan Muslim)
Perintah dan Larangan
Pada dasarnya syarit Islam adalah berupa perintah. Oleh karena itu, larangan yang ada
jumlahnya sedikit. Semua yang diperintahkan akan membawa kebaikan bagi pelakunya,
meski tidak berniat karena Allah. Dan semua yang dilarang membawa kejelekan bagi
pelakunya. Dengan demikian manusia butuh kepada sesuatu yang diperintahkan dan tidak
butuh kepada sesuatu yang dilarang.
Perintah dan larangan Allah terbagi dua, yaitu wajib dan sunnah. Jika perintah dan larangan
terkait dengan urusan ibadah maka perintah dan larangan tersebut hukumnya wajib, dan
jika terkait dengan urusan dunia maka hukumnya sunnah, kecuali ada dalil yang
memalingkan dari hukum asalnya.
Melaksanakan perintah terikat dengan kemampuan, karena jumlahnya sangat banyak.
Sedangkan larangan jumlahnya sedikit dan tidak dibutuhkan, maka tidak terikat dengan
kemampuan. Melaksanakan perintah lebih mulia dibanding meninggalkan larangan,
demikian juga meninggalkan perintah lebih hina dibanding menerjang larangan.
Menjauhi hal-hal haram kendati sedikit itu lebih utama daripada memperbanyak pengerjaan
ketaatan-ketaatan sunnah, karena meninggalkan hal-hal haram adalah wajib, sedang
pengerjaan ketaatan-ketaatan sunnah adalah sunnah.
Sedang larangan, tujuannya ialah ketiadaan amal-amal tersebut. Itulah prinsipnya,
maksudnya, ketiadaan larangan tersebut yang merupakan prinsip terjadi secara berkala. Itu
sangat mungkin dan di dalamnya tidak ada yang tidak bisa dikerjakan. Di sini, juga ada
catatan, karena ajakan untuk mengerjakan kemaksiatan itu bisa jadi kuat. Oleh sebab itu,
seseorang tidak bisa bersabar untuk menolaknya padahal ia mampu ketika ia melakukan
kemaksiatan tersebut. Ketika itulah, orang tersebut memerlukan perjuangan ekstra keras.
Bisa jadi perjuangan tersebut lebih berat bagi jiwa daripada perjuangan jiwa untuk
mengerjakan ketaatan.
Oleh karena itu, banyak sekali dijumpai orang yang berjuang keras kemudian mampu
mengerjakan ketaatan-ketaatan, namun ia tidak sanggup meninggalkan hal-hal haram.
Umar bin Khaththab pernah ditanya tentang kaum yang menginginkan kemaksiatan namun

tidak jadi mengerjakannya. Ia menjawab, Kaum itulah yang hati mereka diuji untuk
bertakwa. Mereka berhak atas ampunan dan pahala besar. (Al Hujurat: 3).
Identifikasi masalah ini bahwa Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan amalamal perbuatan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Allah juga menghilangkan banyak
sekali amal-amal perbuatan dari mereka karena adanya kesulitan di dalamnya sebagai
rukhshakh (dispensasi) dan rahmat bagi mereka. Sedang larangan-larangan, Allah tidak
memberi 'uzur kepada siapapun untuk mengerjakannya, karena kuatnya penyeru dan
syahwat kepadanya.
Bahkan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk meninggalkannya dalam semua
kondisi. Dan sesungguhnya makanan-makanan haram boleh dimakan pada saat darurat agar
kehidupan tetap berlangsung dan bukan karena untuk menikmatinya atau syahwat. Dari
situ, bisa diketahui kebenaran perkataan Imam Ahmad, Sesungguhnya larangan itu lebih
benar daripada perintah. Diriwayatkan dari Tsauban dan lain-lain dari Nabi saw yang
bersabda, Luruslah (istiqamah) kalian dan kalian tidak akan dapat mengetahui kadarnya.
Maksudnya, kalian tidak akan sanggup istiqamah secara keseluruhan (sempuma). Al Hakam
bin Hazn Al Kulafi berkata, Aku menghadap kepada Rasulullah saw lalu mengerjakan shalat
Jumat bersama beliau. Beliau berdiri bersandar pada tongkat atau panah, memuji Allah,
dan menyanjung-Nya dengan kalimat-kalimat sederhana, baik, dan penuh berkah. Setelah
itu, beliau bersabda, Hai manusia, sesungguhnya kalian tidak akan sanggup -atau tidak
akan mampu mengerjakan- seluruh apa yang aku perintahkan kepada kalian, namun
tunjukkan (orang lain) kepada petunjuk dan berilah khabar gembira. (Diriwayatkan Imam
Ahmad dan Abu Daud).
Sabda Nabi saw, Dan jika aku perintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan semampu
kalian, adalah dalil bahwa orang yang tidak sanggup mengerjakan seluruh perintah dan
hanya sanggup mengerjakan sebagiannya, maka ia telah mengerjakan apa yang bisa ia
kerjakan. Ini bisa diberlakukan dalam banyak masalah, di antaranya;
1. Thaharah (bersuci). Jika seseorang hanya mampu mengerjakan sebagiannya dan
tidak mampu mengerjakan sisanya karena ketiadaan air atau sakit di salah satu
organ tubuh tanpa organ tubuh lainnya, maka ia mengerjakan apa yang sanggup ia
kerjakan dan ia bertayamum di organ tubuhnya yang lain. Ini juga berlaku pada
wudhu dan mandi menurut pendapat yang terkenal.
2. Shalat. Barangsiapa tidak mampu shalat dengan berdiri, ia shalat dengan duduk. Jika
ia tidak sanggup shalat dengan duduk, ia shalat dengan berbaring. Di Shahih Al
Bukharidisebutkan hadits dari Imran bin Hushain ra bahwa Rasulullah
saw bersabda,Shalatlah engkau dengan berdiri jika engkau tidak sanggup, shalatlah
dengan duduk jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan berbaring.

3. Zakat fitrah. Jika seseorang hanya mampu mengeluarkan sebagian sha harus
mengeluarkannya menurut pendapat yang benar.
4. Sedang barangsiapa hanya mampu berpuasa di sebagian siang dan tidak sanggup
melanjutkannya hingga maghrib, ia tidak boleh berbuat seperti itu, karena berpuasa
di sebagian siang bukanlah ibadah.
5. Begitu juga, jika seseorang hanya sanggup memerdekakan sebagian budak
dalamkafarat, ia tidak boleh melakukannya, karena pembebasan sebagian budak itu
tidak disukai Allah dan justru Dia menyuruh memerdekakan budak dengan sempurna
dengan semua cara.
6. Adapun orang yang tidak bisa wukuf di Arafah, apakah ia harus mengerjakan aktifitas
haji lainnya, misalnya mabit (menginap) di Muzdalifah dan melempar jumrah, atau
tidak? Bahkan diringkas hanya melakukan thawaf- sai dan bertahallul dan
umrah?Ada dua riwayat dari Imam Ahmad dan riwayat yang paling terkenal ialah
orang tersebut hanya melakukan thawaf dan sai, karena mabit (menginap) di
Muzdalifah dan melempar jumrah adalah rangkaian ibadah wukuf di Arafah. Juga
karena Allah memerintahkan dzikir kepada-Nya di Masyarl Haram dan di hari-hari
haji tersebut bagi orang yang pergi ke Arafah. Jadi hal tersebut tidak diperintahkan
kepada orang yang tidak wukuf di Arafah, sebagaimana hal tersebut tidak
diperintahkan kepada orang yang berumrah.
Sebab Kehancuran Dan Kebinasaan
Sebab utama kehancuran umat adalah sekedar banyak bertanya dan menentang perintah
nabinya. Sikap yang benar adalah bertanya untuk diamalkan dan tunduk pada perintah nabi.
Maka orang yang sekedar banyak bertanya, bukti akan kelemahan agamanya dan tidak
wara-nya. Diantara dampak jelek banyak bertanya adalah timbulnya perpecahan.
Pada hadits di atas, Nabi saw mengisyaratkan bahwa sibuk mengerjakan perintah dan
menjauhi larangan beliau itu membuat orang tidak bertanya.
Yang harus diperhatikan orang Muslim ialah membahas apa yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya dilanjutkan berusaha keras memahaminya, memikirkan makna-maknanya, lalu
membenarkannya jika hal tersebut termasuk hal-hal yang bersifat ilmiah. Jika hal tersebut
termasuk hal-hal yang bersifat amaliyah, ia mencurahkan segenap tenaga untuk
bersungguh-sungguh mengerjakan perintah-perintah yang mampu ia kerjakan dan menjauhi
apa saja yang dilarang. Jadi, semua perhatiannya terfokus kepada hal tersebut dan tidak
kepada sesuatu yang lain. Seperti itulah, keadaan para sahabat Rasulullah sawdan orangorang yang mengikuti mereka dengan baik dalam mencari ilmu yang bermanfaat dan Al
Quran dan sunnah.

Namun jika perhatian pendengar ketika mendengar perintah dan larangan diarahkan
kepada perkiraan teoritis dan perkara-perkara yang bisa terjadi atau tidak, maka itu
termasuk hal yang dilarang dan membuat orang tidak serius mengikuti perintah.
orang yang tidak sibuk dengan memperbanyak pertanyaan-pertanyaan di mana pertanyaanpertanyaan seperti itu tidak ada dalam Al Quran dan sunnah, lebih sibuk memahami firman
Allah dan sabda Rasul-Nya dengan tujuan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi
larangan-larangan, ia termasuk orang-orang yang melaksanakan perintah Rasulullah saw di
hadits tersebut dan mengerjakan konsekuensinya. Barangsiapa tidak mempunyai perhatian
untuk memahami apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sibuk memperbanyak
masalah-masalah yang terkadang terjadi dan tidak terjadi, dan membebani diri menyiapkan
jawaban-jawabannya berdasarkan pendapatnya, ia dikhawatirkan menyalahi hadits
tersebut, mengerjakan larangannya, dan meninggalkan perintahnya.
Ketahuilah, penyebab terjadinya banyak sekali masalah yang tidak mempunyai landasan
dalam Al-Quran dan Sunnah ialah karena tidak adanya upaya mengerjakan perintahperintah Allah dan Rasul-Nya, dan meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Jika
seseorang yang ingin beramal bertanya tentang apa yang disyariatkan Allah mengenai amal
tersebut kemudian ia mengerjakannya dan ia juga bertanya tentang apa yang dilarang Allah
pada amal tersebut kemudian ia menjauhinya, maka masalah-masalah tersebutterjadi
dalam batasan Al Quran dan Sunnah. Jika seseorang beramal karena pendapat dan hawa
nafsunya, maka secara umum masalah tersebut terjadi dalam keadaan menyimpang dan
apa yang disyaniatkan Allah dan bisa jadi masalah-masalah tersebut sulit dikembalikan
kepada hukum-hukum yang disebutkan di Al Quran dan sunnah karena masalah-masalah
tersebut sangat jauh dari hukum-hukum tersebut .
Kesimpulannya, Barangsiapa mengerjakan apa saja yang diperintahkan Nabi saw di hadits
tersebut, menjauhi apa saja yang beliau larang, dan sibuk dengan kedua hal tersebut , ia
selamat di dunia dan akhirat.
Barangsiapa tidak seperti itu, sibuk dengan lintasan-lintasan hatinya dan apa yang ia anggap
baik, ia jatuh ke dalam apa yang telah diperingatkan Nabi saw yaitu seperti Ahli Kitab yang
binasa karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka, penentangan mereka terhadap
Nabi-Nabi mereka, tidak adanya kepatuhan dan ketaatan mereka kepada Rasul-Rasul
mereka.
Pelajaran dari hadits no. 9 (sembilan) ini:
1. Wajibnya menghindari semua apa yang dilarang oleh Rasulullah
2. Siapa yang tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan
dan dia hanya mampu sebagiannya saja maka dia hendaknya melaksanakan apa yang dia
mampu laksanakan.

3. Tidak mempersulit diri dengan wacana pemikiran yang mendiskreditkan dalil-dalil,


fatwa-fatwa sehingga menimbulkan keraguan dalam kita beragama.
4. Allah tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar
kemampuannya.
5. Perkara yang mudah tidak gugur karena perkara yang sulit.
6. Menolak keburukan lebih diutamakan dari mendatangkan kemaslahatan.
7. Larangan untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
8. Wajib mengikuti Rasulullah (taat dan menempuh jalan keselamatan dan kesuksesan).

Anda mungkin juga menyukai