Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
Percobaan 1
Transistor BJT sebagai switching
1.1 Tujuan
1.1.1
Mahasiswa diharapkan dapat memahami karakteristik
switching dari BJT.
1.1.2 Mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan kurva
karakteristik V-I masukan dan keluaran BJT.
1.2 Dasar Teori
1.2.1 Pengertian Transistor
Transistor adalah salah satu komponen yang selalu ada di setiap
rangkaian elektronika, seperti radio, televisi, handphone, lampu
flip-flop dll. Fungsi dari komponen ini sangatlah penting.
Kebanyakan, transistor digunakan untuk kebutuhan penyambungan
dan pemutusan (switching), seperti halnya saklar. Yaitu untuk
memutus
atau
menyambungkan
arus
listrik.
Selain
itu transistor juga berfungsi sebagai penguat (amplifier), stabilisasi
tegangan, modulasi sinyal, dan masih banyak lagi. Keinginan kita
untuk merubah fungsi transistor ini adalah dari pemilihan
jenis transistor atau dengan cara perangkaian sirkit transistor itu
sendiri. Dengan banyaknya fungsi itu, komponen transistor banyak
sekali digunakan di dalam rangkaian elektronika. Berikut bentuk
fisik transistor dapat di lihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1 Bentuk fisik transistor


Jenis-jenis transistor dibedakan berdasarkan arus inputnya BJT
(Bipolar Junction Transistor) atau tegangan inputnya FET (Field
Effect Transistor). Yang membedakan transistor dengan komponen
lain, adalah memiliki 3 kaki utama, yaitu Base (B), Collector (C) dan
1

Emitter (E). Dimana base terdapat arus yang sangat kecil, yang
berguna untuk mengatur arus dan tegangan yang ada pada Emitor,
pada keluaran arus Kolektor. Sehingga apabila terdapat arus pada
basis, tegangan yang besar pada kolektor akan mengalir menuju
emitor.
Bahan dasar pembuatan transistor itu sendiri atara lain
Germanium, Silikon, Galium Arsenide. Sedangkan kemasan dari
transistor itu sendiri biasanya terbuat dari Plastik, Metal, Surface
Mount, dan ada juga beberapa transistor yang dikemas dalam satu
wadah yang disebut IC (Intregeted Circuit).
Contoh penggunaan transistor dalam rangkaian analog adalah
digunakan untuk fungsi amplifier (penguat), rangkaian analog
melingkupi pengeras suara, sumber listrik stabil (stabilisator) dan
penguat sinyal radio. Dalam rangkaian-rangkaian digital, transistor
digunakan sebagai saklar berkecepatan tinggi. Beberapa transistor
juga dapat dirangkai sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai
logic gate, memori dan fungsi rangkaian-rangkaian lainnya.
1.2.2 Fungsi Transistor
Fungsi Transistor sangat berpengaruh besar di dalam kinerja
rangkaian elektronika. Karena di dalam sirkuit elektronik,
komponen transistor berfungsi sebagai jangkar rangkaian.
Transistor adalah komponen semi konduktor yang memiliki 3 kaki
elektroda, yaitu Basis (B), Colector (C), dan Emitor (E). Dengan
adanya 3 kaki elektroda tersebut, tegangan atau arus yang
mengalir pada satu kaki akan mengatur arus yang lebih besar
melalui 2 terminal lainnya.
Fungsi Transistor lainnya:
Sebagai penguat amplifier.
Sebagai pemutus dan penyambung (switching).
Sebagai pengatur stabilitas tegangan.
Sebagai peratas arus.
Dapat menahan sebagian arus yang mengalir.
Menguatkan arus dalam rangkaian.
Sebagai pembangkit frekuensi rendah ataupun tinggi.
Jika kita lihat dari susunan semi konduktor, transistor dibedakan
lagi menjadi 2 bagian, yaitu transistor PNP dan transistor NPN.
Untuk dapat membedakan kedua jenis tersebut, dapat kita lihat
dari bentuk arah panah akan mengarah ke dalam, sedangkan pada
transistor NPN arah panahnya akan mengarah ke luar. Saat ini
transistor telah mengalami banyak perkembangan, karena
sekarang ini transistor sudah dapat kita gunakan sebagai memori

dan dapat memproses sebuah getaran listrik dalam dunia prosesor


komputer.
Dengan berkembangnya fungsi transistor, bentuk dari transistor
juga telah banyak mengalami perubahan. Salah satunya telah
berhasil diciptakan transistor dengan ukuran super kecil yang
hanya dalam ukuran nano mikro (transistor yang sudah dikemas di
dalam prosesor komputer). Karena bentuk jelajah tegangan kerja
dan frekuensi yang sangat besar dan lebar, tidak heran komponen
ini banyak digunakan di dalam rangkaian elektronika. Contohnya
adalah transistor pada rangkaian analog yang digunakan sebagai
amplifier, switch, stabilitas tegangan dan lain sebagainya. Tidak
hanya di rangkaian analog, pada rangkaian digital juga terdapat
transistor yang berfungsi sebagai saklar karena memiliki kecepatan
tinggi dan dapat memproses data dengan sangat akurat.
1.2.3 Jenis-jenis Transistor
Secara umum, transistor dapat dibeda-bedakan berdasarkan
banyak kategori antara lain:
Materi semikonduktor : Germanium, Silikon, Gallium Arsenide.
Kemasan fisik : Through Hole Metal, Through Hole Plastic,
Surface Mount, IC.
Tipe : UJT, BJT, JFET, IGFET (MOSFET), IGBT, HBT, MISFET,
VMOSFET.
Polaritas : NPN atau N-channel, PNP atau P-channel.
Maximum kapasitas daya : Low Power, Medium Power, High
Power.
Maximum frekuensi kerja : Low, Medium, atau High Frequency,
RF transistor, Microwave.
Aplikasi : Amplifier, Saklar, General Purpose, Audio, Tegangan
Tinggi, dll.
Bipolar junction transistor (BJT)
Bipolar junction transistor (BJT) adalah jenis transistor yang
memiliki tiga kaki, yaitu (Basis, Kolektor, dan Emitor) dan di pisah
menjadi dua arah aliran, positif dan negatif. Aliran positif dan
negatif diantara Basis dan Emitor terdapat tegangan dari 0v
sampai 6v tergantung pada besar tegangan sumber yang dipakai.
Dan besar tegangan tersebut merupakan parameter utama
transistor tipe BJT. Tidak seperti Field Effect transistor (FET), arus
yang dialirkan hanya terdapat pada satu jenis pembawaan
(Elektron atau Holes). Di BJT, arus dialirkan dari dua tipe
pembawaan (Elektron dan Holes), hal tersebut yang dinamakan
dengan Bipolar.

Ada dua jenis tipe transistor BJT, yaitu tipe PNP dan NPN. Dimana
NPN, terdapat dua daerah negatif yang dipisah dengan satu daerah
positif. Dan PNP, terdapat dua daerah positif yang dipisah dengan
daerah negatif.

NPN

Gambar 2 Simbol Transistor NPN


Pada transistor jenis NPN terdapat arah arus aliran yang berbeda
dengan transistor jenis PNP, dimana NPN mengalir arus dari
kolektor ke emitor. Dan pada NPN, untuk mengalirkan arus tersebut
dibutuhkan sambungan ke sumber positif (+) pada kaki basis. Cara
kerja NPN adalah ketika tegangan yang mengenai kaki basis,
hingga dititik saturasi, maka akan menginduksi arus dari kaki
kolektor ke emitor. Dan transistor akan berlogika 1 (aktif). Dan
apabila arus yang melalui basis berkurang, maka arus yang
mengalir pada kolektor ke emitor akan berkurang, hingga titik
cutoff. Penurunan ini sangatlah cepat karena perbandingan
penguatan yang terjadi antara basis dan kolektor melebihi 200 kali.
Contoh gambar rangkaian penggunaan transistor NPN:

Gambar 3 Rangkaian sirkuit sederhana transistor NPN

PNP

Gambar 4 Simbol Transistor PNP


Pada PNP, terjadi hal sebaliknya ketika arus mengalir pada kaki
basis, maka transistor berlogika 0 (off). Arus akan mengalir apabila
kaki basis diberi sambungan ke ground (-) hal ini akan menginduksi
arus pada kaki emitor ke kolektor, hal yang berbeda dengan NPN,
yaitu arus mengalir pada kolektor ke emitor. Penggunaan transistor
jenis ini mulai jarang digunakan. Dibanding dengan NPN, transistor
jenis PNP mulai sulit ditemukan dipasaran.

Contoh gambar rangkaian penggunaan transistor PNP :

Gambar 5 Rangkaian sirkuit sederhana transistor PNP


1.2.4 Prinsip Kerja Transistor
Pada dasarnya transistor memiliki fungsi yang serupa dengan
tabung vakum, kedunya mengatur jumlah aliran arus listrik.
Transistor bekerja tergantung dari jenis dan type transistor, pada
dasarnya terdapat 2 type transistor yaitu : BJT (Bipolar Junction
transistor) dan FET (Field Effect Transistor) yang masing-masing
bekerja secara berbeda.

Transistor Bipolar (BJT)


5

Gambar 6 Bentuk fisik transistor BJT jenis NPN dan PNP


Transistor bipolar dinamakan demikian karena kanal konduksi
utamanya menggunakan dua polaritas pembawa muatan yaitu
elektron dan lubang (hole) untuk membawa arus listrik. Dalam BJT,
arus listrik utama harus melewati satu daerah/lapisan pembatas
dinamakan depletion zone, dan ketebalan lapisan ini dapat diatur
dengan kecepatan tinggi dengan tujuan untuk mengatur aliran arus
utama tersebut.
Cara kerja BJT juga dapat dibayangkan sebagai dua diode yang
terminal positif atau negatifnya berdempet, sehingga ada tiga
terminal. Ketiga terminal tersebut adalah emiter (E), kolektor (C),
dan basis (B).
Perubahan arus listrik dalam jumlah kecil pada terminal basis dapat
menghasilkan perubahan arus listrik dalam jumlah besar pada
terminal kolektor. Prinsip inilah yang mendasari penggunaan
transistor sebagai penguat elektronik. Rasio antara arus pada
koletor dengan arus pada basis biasanya dilambangkan dengan .
biasanya berkisar sekitar 100 untuk transistor-transisor BJT.
Transistor adalah divais semikonduktor tiga lapis yang terdiri dari
dua lapis material tipe p dan satu lapis material tipe n (transistor
pnp) atau dua lapis material tipe n dan satu lapis tipe p (transistor
npn). Struktur lapisan kedua transistor ini ditunjukkan pada
gambar 7 dengan diberi tegangan biasnya secara benar. Tegangan
DC bias diperlukan agar transistor dapat bekerja sesuai dengan apa
yang kita inginkan misalkan transistor digunakan sebagai penguat
sinyal AC. Lapisan emitor mendapat pengotor (doping) paling
banyak dibandingkan lapisan kolektor dan basis. Biasanya rasio
atau perbandingan antara lebar total lapisan transistor tersebut

dengan lapisan tengahnya, yaitu basis, memiliki perbandingan


150 : 1.

Gambar 7 Tegangan bias pada transistor BJT jenis PNP


Untuk pemberian tegangan bias pada gambar 7, ketiga terminal
dari transistor diberi nama E untuk emitor (emitter), C untuk
kolektor (collector), dan B untuk basis (base). Transistor jenis ini
sering disebut dengan transistor BJT yang merupakan singkatan
dari bipolar junction transistor. Alasan mengapa transistor ini
disebut dengan bipolar (dua kutub) merujuk pada material yang
digunakan dalam proses injeksi yaitu elektron dan hole, dimana
kedua jenis material ini memiliki polaritas atau pengkutuban yang
saling berlawanan.

Cara mengoperasikan Transistor BJT


Prinsip kerja dasar dari transistor ini akan dijelaskan dengan
menggunakan transistor pnp seperti ditunjukkan pada gambar 7.
Prinsip kerja dasar dari npn sama persis dengan pnp. Hanya saja
peran dari elektron pada pnp sama dengan peran hole pada npn.
Sedangkan peran hole pada pnp sama dengan peran elektron pada
npn. Karakteristik sambungan PN (PN junction) pada transistor
mirip dengan yang ada di dioda. Contohnya pada gambar 8.
Sambungan PN antara emitor dan basis diberi tegangan maju
(forward bias) sehingga daerah pemisah nya (depletion region)
semakin menipis, dan terjadi aliran pembawa mayoritas (majority
carriers) dari material tipe P (emitor) menuju ke material tipe N
(basis).

Gambar 8 Tegangan maju (forward bias) pada salah satu


sambungan PN pada transistor mirip dengan sambungan PN pada
dioda.
Sekarang mari kita hilangkan tegangan bias antara basis-emitor
pada transistor pnp gambar 7 sehingga gambarnya ditunjukkan
pada Gambar 9. Karena semikonduktor tipe P mendapat tegangan
negatif dan tipe-N mendapat tegangan positif, maka sambungan
PN antara kolektor dan basis pada gambar 9 mengalami bias
terbalik (reverse bias). Bias terbalik pada transistor BJT sama
seperti bias terbalik yang terjadi pada dioda PN. Pada kondisi ini,
arus pembawa mayoritas (majority carriers) sama dengan nol,
tetapi pada kondisi bias terbalik ini ada arus pembawa minoritas
yang mengalir dari P ke N seperti ditunjukkan arah panah pada
gambar 9, namun nilainya sangat kecil sekali hanya sekitar
beberapa mikro ampere.

Gambar 9 Sambungan PN antara basis-kolektor mengalami bias


terbalik (reverse terlbalik).
Sekarang perhatikan gambar 10, kedua sambungan pn pada
transistor pnp diberi tegangan bias. Dari ketebalan daerah
pemisahnya (warna hitam), bisa diketahui sambungan mana yang
mengalami bias terbalik dan sambungan mana yang mengalami
bias terbalik. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sambungan pn
antara emitor dan basis mengalami bias maju (forward bias) dan
sambungan pn antara basis kolektor mengalami bias terbalik
(reverse bias). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa arus

pembawa mayoritas akan mengalami difusi melewati daerah


pemisah dari daerah tipe p (emitor) menuju ke tipe n (basis). Lalu
pertanyaannya kemanakah arus pembawa mayoritas ini
selanjutnya akan mengalir? Apakah ke arah basis atau ke arah
kolektor? Karena bagian semikonduktor tipe N (basis) yang terletak
ditengah lapisan pnp sangat tipis sekali, maka otomatis arus yang
mengalir ke basis sangat kecil sekali. Biasanya arus pada basis
hanya sekitar beberapa mikro ampere, sedangkan arus kolektoremitor sekitar beberapa mili ampere. Sebagian besar arus
pembawa mayoritas yang mengalir dari emitor ke basis akan
diteruskan ke kolektor. Lalu bagaimana bisa? Bukankah sambungan
PN antara basis dan kolektor mengalami bias terbalik (reverse bias)
seperti ditunjukkan pada gambar 10. Justru kondisi bias terbalik ini
yang membuat arus mayoritas diteruskan dari basis menuju
kolektor. Mari kita flash back ke teori semikonduktor.
Semikonduktor tipe P memiliki pembawa mayoritas hole, tetapi
jangan lupa ada juga elektron pada semikonduktor tipe N walaupun
jumlahnya sedikit. Oleh karena itu, elektron disebut dengan
pembawa minoritas di semikonduktor tipe P. Sebaliknya, pada
semikonduktor tipe N, pembawa mayoritasnya adalah elektron,
sedangkan pembawa minoritasnya adalah hole. Seperti yang telah
kita pelajari pada teori semikonduktor dioda sambungan PN. Pada
saat kondisi bias maju (forward bias), arus dapat mengalir, dalam
hal ini pembawa mayoritaslah yang mengalir. Tetapi pada saat
kondisi bias terbalik, pembawa mayoritas tidak bisa mengalir.
Namun pada kondisi bias terbalik ini justru pembawa minoritaslah
yang dapat mengalir. Tetapi karena pembawanya hanya minoritas,
arus yang dihasilkan sangat kecil sekali. Pembawa minoritas yang
mengalir pada saat kondisi bias terbalik ini disebut dengan arus
bocor. Kita kembali pada pembahasan pada transistor gambar 10.
Karena bagian pn antara emitor dan basis mengalami bias maju,
maka pembawa mayoritas dapat mengalir dari emitor ke basis.
Pembawa mayoritas yang mengalir dari emitor ke basis adalah
jenis hole (muatan positif). Jadi, hole mengalir dari emitor ke basis.
Tetapi, begitu hole sampai di basis (semikonduktor tipe N),
sekarang hole tidak lagi berkedudukan sebagai pembawa
mayoritas, melainkan sebagai pembawa minoritas. Tetapi karena
bagian PN antara basis dengan kolektor mengalami bias terbalik,
maka pembawa minoritaslah yang mengalir dari basis menuju
kolektor. Pembawa minoritas pada basis, tidak lain adalah hole
yang merupakan kiriman dari kolektor. Hole inilah yang akan
diteruskan dari basis ke kolektor. Sehingga arus bisa mengalir dari
emitor menuju kolektor seperti ditunjukkan anak panah yang besar
pada gambar 10. Jadi, arus dapat mengalir dari kolektor menuju

emitor pada transistor pnp apabila emitor dengan basis mengalami


bias maju dan basis dengan kolektor mengalami bias terbalik.

Gambar 10 Aliran arus pembawa mayoritas dan pembawa


minoritas pada transistor pnp
Dengan menerapkan hukum arus Kirchoff pada rangkaian bias
transistor pada gambar 10, kita mendapatkan persamaan
IE = IC + IB

(1)

dimana arus emitor adalah hasil penjumlahan dari arus basis


dengan arus kolektor.

Field Effect Transistor (FET)

Gambar 11 Bentuk fisik transistor FET dengan fungsi masing-masing


kaki
FET (juga dinamakan transistor unbipolar) karna hanya
menggunakan satu jenis pembawa muatan (elektron dan hole,
tergantung dari tipe FET). Dalam FET, arus listrik utama mengalir
dalam satu kanal konduksi sempit dengan depletion zone di kedua

10

sisinya, dibandingkan dengan transistor bipolar dimana daerah


Basis memotong arah arus listrik utama. Dan ketebalan dari daerah
perbatasan ini dapat diubah dengan perubahan tegangan yang
diberikan, untuk mengubah ketebalan kanal konduksi tersebut.
FET dibagi menjadi dua jenis yaitu Junction FET (JFET) dan Insulated
Gate FET (IGFET) atau juga dikenal sebagai Metal Oxide Silicon FET
(MOSFET). Berbeda dengan MOSFET, terminal gate dalam JFET
membentuk sebuah diode dengan kanal (materi semikonduktor
antara Source dan Drain).
Berdasarkan fungsinya, ini membuat N-channel JFET menjadi
sebuah versi solid-state dari tabung vakum, yang juga membentuk
sebuah diode antara grid dan katode. Dan juga, keduanya (JFET
dan tabung vakum) bekerja di "depletion mode", keduanya
memiliki impedansi input tinggi, dan keduanya menghantarkan
arus listrik dibawah kontrol tegangan input.
FET juga dibagi menjadi type enhancement mode dan depletion
mode. Mode menandakan polaritas dari tegangan gate
dibandingkan dengan source saat FET menghantarkan listrik. Jika
kita ambil N-channel FET sebagai contoh: Dalam depletion mode,
gate adalah negatif dibandingkan dengan source, sedangkan
Dalam enhancement mode, gate adalah positif. Untuk kedua mode,
jika tegangan gate dibuat lebih positif, aliran arus di antara source
dan drain akan meningkat. Untuk P-channel FET, polaritas-polaritas
semua dibalik. Sebagian besar MOSFET adalah tipe enhancement
mode, dan hampir semua JFET adalah tipe depletion mode.
1.2.5 Transistor Sebagai Switch (Saklar)
Pada rangkaian transistor penguat sinyal AC, bias tegangan pada
transistor akan selalu beroperasi pada kondisi aktif. Tetapi jika
transistor diberikan bias DC maka transistor akan bekerja seperti
saklar dengan cara mengontrol arus pada kaki basisnya. Jika kaki
basis diberi arus yang besar maksimal sama dengan tegangan
supply, maka transistor akan berada pada kondisi ON seperti saklar
tertutup yaitu arus akan mengalir antara kolektor dan emiter.
sebaliknya jika arus yang diberikan ke kaki basis sangat kecil
transistor akan seperti saklar terbuka atau kondisi OFF.
Rangkaian switch dengan transistor banyak digunakan sebagai
pengontrol relay, motor, selenoid dan lampu atau sebagai driver
input-output pada rangkaian IC digital (TTL). Cara kerja transistor
sebagai
saklar
berada
pada
2
keadaan
yaitu;
kondisi Saturasi (switch ON) dan kondisi Cut-Off (switch OFF), untuk
lebih jelasnya perhatikan gambar grafik dibawah ini:

11

Gambar 12 Daerah kerja transistor sebagai saklar


Wilayah Fully-Off (Cut-Off) Transistor
Ketika arus yang masuk ke kaki basis sangat kecil bahkan
mendekati nol, kondisi ini mengakibatkan transistor berada pada
kondisi Cut-Off sehingga arus pada kolektor mejadi nol dan besar
tegangan antara kaki kolektor dan emitter sama dengan supply
(VCC). kondisi ini tidak ada arus mengalir antara kaki kolektor dan
emiter seperti saklar terbuka atau OFF. Perhatikan gambar dibawah
ini:

Karakteristik Cut-Off Transistor


- Tegangan basis emiter (VBE) kurang dari 0,7V.
- kondisi forward bias antara kaki Basis dan kaki Emiter.
- kaki basis - kolektor pada kondisi reverse bias.
- Tidak ada arus yang mengalir ke kolektor atau IC = 0.
- Vout = VCE = VCC = 1.
- Transistor beroperasi seperti saklar terbuka.

12

- Kaki basis harus lebih negatif dari emiter untuk transistor jenis

NPN, dan untuk transistor tipe PNP arus basis harus lebih
positif dari kolektor.
- Wilayah Saturasi Transistor.
Transistor akan berada pada kondisi saturasi jika arus yang masuk
ke kaki basis sangat besar, bahkan sampai ke titik jenuh sehingga
arus pada kaki kolektor akan maksimum (IC=VCC/RL). Kondisi
seperti ini diibaratkan seperti saklar pada posisi ON. Perhatikan
gambar berikut:

Karakteristik Saturasi Transistor


- Tegangan basis - emiter (VBE) lebih besar dari 0,7V
- Kondisi Basis - emiter adalah forward bias
- Kondisi basis - kolektor adalah forward bias
- Arus yang mengalir pada kolektor adalah maksimum (Ic =

Vcc/RL)
- Tegangan kolektor - emiter (VCE = 0)
- VOUT = VCE = 0
- Transistor beroperasi seperti saklar tertutup.
- Kaki basis harus lebih positif dari emiter untuk transistor jenis
NPN, dan untuk transistor tipe PNP arus basis harus lebih
negatif dari kolektor.
Cara Menghitung Resistor basis Transistor Sebagai Switch
Arus pada kaki kolektor dapat diatur sesuai kebutuhan dengan cara
memasang resistor pembatas arus pada kaki basis, untuk
menghitung berapa nilai yang tepat berlaku rumus berikut ini:

IB = IC/
RB = (VIN - VBE) / IB
dimana RB = R basis, VBE = tegangan basis-emiter, IB = arus basis
1.3 Alat dan Bahan
1.3.1 Transistor BD 139
1.3.2 Resistor 1 kOhm

1 buah
1 buah
13

1.3.3 Resistor 10 kOhm


1 buah
1.3.4 Project board
1 buah
1.3.5 Multimeter
1 buah
1.3.6 DC Power supply
1 buah
1.3.7 Kabel Jumper
secukupnya
1.4 Langkah Percobaan
Karakteristik V-I BJT
a.
Rangkaikan peralatan peralatan
sesuai dengan Gambar 15 dibawah ini.

percobaan

Gambar 15 Rangkaian Percobaan karakteristik V-I BJT


b.

c.

d.
e.

f.

Aktifkan sumber tegangan DC yang mencatu BJT


(tegangan VCC), kemudian lakukan pengesetan nilai sesuai
petunjuk instruktur. Gunakanlah Voltmeter DC untuk mengecek
nilai tegangan tersebut.
Aktifkan Tegangan catu VBB. Kemudian naikkan
perlahan lahan sesuai dengan range tegangan yang diijinkan.
(ditentukan oleh instruktur). Gunakanlah Voltmeter DC untuk
mengecek nilai tegangan tersebut.
Amatilah besarnya arus IC dan IB pada
Ampermeter saat tegangan catu VBB dinaikkan.
Lakukan pengukuran besar tegangan pada
terminal collector - emitter (VCE), tegangan pada terminal base emitter (VBE) dan tegangan pada beban R mulai saat V BB = 0 V
sampai saat tegangan catu VBB dinaikkan.
Catatlah data hasil pengukuran yang Saudara
lakukan pada tabel berikut :

Tabel 1 Data hasil pengukuran BJT


VBB
VCC
IB
IC

VBE

VCE

14

g.

Ulangi langkah c sampai dengan f untuk masingmasing data tegangan catu (VBB)

1.5 Tugas
1.5.1 Gambarlah Grafik karakteristik v-i masukan dan keluaran
BJT dengan menggunakan data-data pada Tabel 1.
1.5.2 Lakukan analisa secara teori terhadap percobaan yang
telah dilakukan. Kemudian bandingkan hasilnya dengan hasil
percobaan.
1.5.3 Buatlah kesimpulan dari hasil analisa yang saudara
lakukan.
1.6 Pertanyaan Pengembangan
1.6.1 Simulasikan dengan salah satu program simulasi (Multisim,
EWB, Proteus, dll) masing-masing rangkaian percobaan
saudara.
1.6.2 Jika Pada Gambar 15 diketahui =100, RB = 39 k, RC = 1 k,
tegangan catu VCC = 15 V dan VBB = 2,5 V. tentukan besarnya
IE.
1.6.3 Jika Pada Gambar 15 diketahui =30, R B = 10 k, RC 1 k,
tegangan catu VCC = 18 V .Tentukan besarnya IB minimum dan
tegangan VBB yang diperlukan untuk mengaktifkan BJT.
1.6.4 Rancanglah
sebuah
rangkaian
elektronika
dengan
menggunakan
sebuah
transistor,
lengkap
dengan
perhitungannya.

15

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil Percobaan
Tabel 2.1 Data hasil pengukuran BJT
VBB

VCC

0,5
V

12 V

1V

12 V

1,5
V

12 V

2V

12 V

3V

12 V

4V

12 V

5V

12 V

IB
0,12
mA
0,14
mA
0,12
mA
0,08
mA
0,16
mA
0,16
mA
0,18
mA

IC
0,83 mA
0,85 mA
0,9 mA
0,91 mA

VBE
0,58 V
0,63 V
0,69 V
0,67 V

VCE
11,92 V
8,1 V
5,4 V
3,3 V

0,93 mA

0,67 V

2,9 V

0,93 mA

0,68 V

2,4 V

0,95 mA

0,67 V

2,1 V

2.2 Tugas
2.2.1 Grafik karakteristik v-i masukan dan keluaran
dengan menggunakan data-data pada Tabel 1

BJT

16

14
12
10
VCC (V)

IB (mA)
IC (mA)

VBE (V)
VCE (V)

4
2
0
0.5

1.5

Grafik 2.2.1 Karakteristik V-I masukan dan keluaran BJT dengan


menggunakan data-data pada Tabel 1

2.2.2 Perhitungan Teori


VBE = 0,7 Volt (Mutlak)
IB
= (VBB VBE) / RB
Ic
Ib
Diketahui : RC = 1 K ; RB = 10 K
2.2.2.1 Saat VBB = 0,5 Volt.
Diketahui : VBE = 0,58 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,12 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,58 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (0,5 0,58) / 10 K
IB
= 0,008 mA
Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (0,5 0,7) / 10 K
IB
= 0,02 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang kecil.
2.2.2.2 Saat VBB = 1 Volt.

17

Diketahui : VBE = 0,63 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,14 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,63 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (1 0,63) / 10 K
IB
= 0,037 mA
Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (1 0,7) / 10 K
IB
= 0,03 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang kecil, selisih sangat
terlihat terutama dari IB hasil dari perhitungan dengan IB hasil
percobaan.
2.2.2.3 Saat VBB = 1,5 Volt.
Diketahui : VBE = 0,69 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,12 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,69 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (1,5 0,69) / 10 K
IB
= 0,081 mA
Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (1,5 0,7) / 10 K
IB
= 0,08 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang kecil, selisih sangat
terlihat terutama dari IB hasil dari perhitungan dengan IB hasil
percobaan.
2.2.2.4 Saat VBB = 2 Volt.
Diketahui : VBE = 0,67 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,08 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,67 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (2 0,67) / 10 K
IB
= 0,133 mA

18

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (2 0,7) / 10 K
IB
= 0,13 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang kecil.
2.2.2.5 Saat VBB = 3 Volt.
Diketahui : VBE = 0,67 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,16 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,67 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (3 0,67) / 10 K
IB
= 0,233 mA
Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (3 0,7) / 10 K
IB
= 0,23 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang kecil.
2.2.2.6 Saat VBB = 4 Volt.
Diketahui : VBE = 0,68 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,16 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,68 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (4 0,68) / 10 K
IB
= 0,332 mA
Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (4 0,7) / 10 K
IB
= 0,33 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang agak besar.
2.2.2.7 Saat VBB = 5 Volt.

19

Diketahui : VBE = 0,67 Volt (VBE seharusnya 0,7 Volt)

IB yang didapat dari percobaan adalah sebesar 0,18 mA.

Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,67 Volt


IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (5 0,67) / 10 K
IB
= 0,433 mA
Perhitungan mencari IB saat VBE = 0,7 Volt
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (5 0,7) / 10 K
IB
= 0,43 mA
Jadi dari ketiga hasil I B yang di dapat, diketahui bahwa terdapat
perbedaan hasil. Perbedaan hasil perhitungan maupun
percobaan tersebut memiliki selisih yang agak besar.
2.2.3 Analisa Data
Dari teori dikatakan bahwa apabila arus yang mengalir pada
Basis semakin besar, maka arus yang mengalir pada kolektor
semakin besar pula. Atau IB naik maka IC naik dan sebaliknya.

Dari percobaan saat VBB = 0,5 ; dapat dilihat bahwa I B


bernilai 0,12 mA dan IC bernilai 0,83 mA.
Dari percobaan saat VBB = 1 ; dapat dilihat bahwa I B bernilai
0,14 mA dan IC bernilai 0,85 mA. Hal ini sangat sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa apabila nilai I B naik
maka IC naik.
Dari percobaan saat VBB = 1,5 ; dapat dilihat bahwa I B
bernilai 0,12 mA dan IC bernilai 0,9 mA. Hal ini agak
membingungkan (karena pada percobaan sebelumnya yang
menyebutkan saat IB bernilai 0,12 mA dan IC bernilai 0,83
mA). Nilai IB sama, namun terdapat perbedaan nilai I C pada
percobaan ini, akan tetapi perbedaan tersebut masih dalam
selisih yang kecil.
Dari percobaan saat VBB = 2 ; dapat dilihat bahwa I B bernilai
0,08 mA dan IC bernilai 0,91 mA. Hal ini agak
membingungkan karena nilai IB semakin mengecil akan
tetapi nilai IC bertambah dari percobaan sebelumnya.
Dari percobaan saat VBB = 3 ; dapat dilihat bahwa I B bernilai
0,16 mA dan IC bernilai 0,93 mA. Hal ini sangat sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa apabila nilai I B naik
maka IC naik.

20

Dari percobaan saat VBB = 4 ; dapat dilihat bahwa I B bernilai


0,16 mA dan IC bernilai 0,93 mA. Pada percobaan ini, hasil
sama dengan percobaan sebelumnya.
Dari percobaan saat VBB = 5 ; dapat dilihat bahwa I B bernilai
0,18 mA dan IC bernilai 0,95 mA. Hal ini sangat sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa apabila nilai I B naik
maka IC naik.
Mengacu pada teori yang apabila terjadi perubahan arus listrik
dalam jumlah kecil pada terminal basis (IB) dapat menghasilkan
perubahan arus listrik dalam jumlah besar pada terminal
kolektor (IC). Dari teori ini dengan hasil percobaan dapat dilihat
bahwa saat terjadinya perubahan nilai sekecil apapun pada I B,
arus yang mengalir pada kolektor (IC) tidak berubah dengan
jumlah yang besar, hanya selisih kecil pada percobaan
sebelumnya.
Dari percobaan praktikum yang telah dilakukan, terdapat
banyak error dan hasilnya berbeda dengan percobaan pada
simulasi. Pada percobaan praktikum, perbandingan antar teori
dan praktik tidak selalu sama, ada beberapa percobaan yang
kurang tepat bila di cocokkan dengan teori. Hal ini bisa terjadi
karena beberapa faktor, antara lain : kualitas alat dan bahan
yang digunakan, ketidakstabilan nilai yang muncul pada alat
dan human error.
Pada percobaan simulasi, telah didapatkan hasil yang sama
dengan teori yang diberikan, yakni apabila nilai I B naik maka
nilai IC naik.
2.3 Pertanyaan Pengembangan
2.3.1 Hasil Simulasi menggunakan software Multisim

21

Gambar 2.3.1.1 Rangkaian Percobaan karakteristik V-I BJT


pada simulasi

Pada saat VBB = 0,5 V dan VCC = 12 V

Gambar 2.3.1.1a Hasil simulasi pada saat VBB = 0,5 V dan VCC =
12 V

Pada saat VBB = 1 V dan VCC = 12 V

Gambar 2.3.1.1b Hasil simulasi pada saat VBB = 1 V dan VCC = 12 V

Pada saat VBB = 1,5 V dan VCC = 12 V

22

Gambar 2.3.1.1c Hasil simulasi pada saat VBB = 1,5 V dan VCC = 12
V
Pada saat VBB = 2 V dan VCC = 12 V

Gambar 2.3.1.1d Hasil simulasi pada saat VBB = 2 V dan VCC = 12 V

Pada saat VBB = 3 V dan VCC = 12 V

Gambar 2.3.1.1e Hasil simulasi pada saat VBB = 3 V dan VCC = 12 V

Pada saat VBB = 4 V dan VCC = 12 V

23

Gambar 2.3.1.1f Hasil simulasi pada saat VBB = 4 V dan VCC = 12 V

Pada saat VBB = 5 V dan VCC = 12 V

Gambar 2.3.1.1g Hasil simulasi pada saat VBB = 5 V dan VCC = 12 V

2.3.2 Jika Pada Gambar 15 diketahui =100, RB = 39 k, RC =


1 k, tegangan catu VCC =
15 V dan VBB = 2,5 V.
tentukan besarnya IE.
Diketahui : VBE = 0,7 V (mutlak)
VBB = 2,5 V
Vcc = 15 V
RB = 39 k
RC = 1 k
=100
Ditanya : IE = ?
Jawab :
IB
= (VBB VBE) / RB
IB
= (2,5 0,7) / 39 K
IB
= 0,046 mA
IC

= . IB

24

IC
IC

= 100 . 0,046
= 4,6 mA

IE
IE
IE

= IC + IB
= 4,6 + 0,046
= 4,646 mA

Jadi, IE yang didapat yakni sebesar 4,646 mA.

2.3.3 Jika Pada Gambar 15 diketahui =30, R B = 10 k, RC 1


k, tegangan catu VCC = 18 V .Tentukan besarnya IB
minimum dan tegangan VBB yang diperlukan untuk
mengaktifkan BJT.
Diketahui : VBE = 0,7 V (mutlak)
Vcc = 18 V
RB = 10 k
RC = 1 k
=30
Ditanya : IB min =?
VBB = ?
Jawab :
IC
IC
IC

= Vcc / RC
= 18 / 1000
= 0,018 A

IC
IB
IB
IB
Jadi IB

= x IB
= IC /
= 0,018 / 30
= 0,0006 A = 0,6 mA
minimal adalah sebesar 0,6 mA

VBB

=?

IB
= (VBB VBE) / RB
IB x RB
= VBB VBE
(IB x RB) + VBE
= VBB
VBB
VBB
VBB
VBB

=
=
=
=

(IB x RB) + VBE


(0,6 mA x 10k) + 0,7
6 + 0,7
6,7 V

Jadi, VBB yang didapat yakni sebesar 6,7 V.

25

2.3.4 Rancangan rangkaian elektronika dengan menggunakan


sebuah transistor, lengkap dengan perhitungannya.

Rangkaian elektronika dengan menggunakan sebuah


transistor
Rangkaian Penguat Mikropon Dua Kabel
Penguat mikropon ini adalah penguat satu tingkat namun
menggunakan 2 buah transistor yang dirangkai secara kaskade.
Gambar rancangan yang dibuat dapat dilihat berikut ini:

Gambar 2.3.4a Rangkaian Penguat Mikropon Dua Kabel


Rancangan penguat mikropon di atas dibuat dan diuji menggunakan
sebuah aplikasi bernama Elecronic Workbench Versi 4.0. Rancangan
rangkaian tersebut dapat dianalisa baik dari sisi perhitungan secara
DC maupun AC. Untuk menguji rangkaian disini menggunakan
beberapa fitur pendukung dari aplikasi yaitu Fungsi Generator,
Osciloscope dan AVO Meter.
Keluaran dari Signal Generator yang aku gunakan berbentuk
gelombang sinusoida dengan frekuensi 1kHz dan 100mVp-p
(tegangan puncak ke puncak).
Parameter lainnya yang penting ditetapkan adalah hfe dari masingmasing transistor adalah 50 jadi total penguatan kedua transistor
yang dikaskade di atas adalah 2500. Potensial barrier dari masingmasing transistor Vbe adalah 0,75 volt jadi potensial barrier total
menjadi 1,5 volt.

26

Dari rangkaian di atas jika diukur dalam DC di mana tidak diberikan


sinyal masukan maka diperoleh rincian data sebagai berikut:

Tegangan VDIODA pada kapasitor 470uF atau keluaran dioda


adalah 4,929 volt.
Tegangan VB pada basis transistor yang merupakan pertemuan
resistor 47k ohm dan 33k ohm ke tanah adalah 1,826 volt.
Tegangan VE pada emitor transistor atau resistor 10 ohm ke
tanah adalah 266mV, maka diketahui VBE dari transistor kaskade
adalah 1,56 volt (secara teoritis biasanya 1,4 volt).
Tegangan VC pada kolektor transistor yang merupakan
pertemuan dengan resistor 10k ohm ke tanah adalah 6,127 volt,.
Dengan menggunakan sumber tegangan VCC 12 volt maka arus
ICC yang mengalir pada seluruh rangkaian adalah 26,7mA.

Seperti itulah hasil pengukuran tegangan yang diperoleh dari


aplikasi Electronic Workbench Versi 4.0 yang digunakan. Nilai-nilai
komponen tersebut di atas adalah dari beberapa kali pergantian
hingga mendapatkan hasil yang diinginkan.
Dari pengamatan menggunakan osiloskop maka diperoleh
penguatan sebesar 20 kali di mana pada tampilan layar osiloskop
dengan sinyal masukan 100mVp-p menghasilkan keluaran sebesar
2Vp-p.
Hasil simulasi Rangkaian Penguat Mikropon Dua Kabel

Gambar 2.3.4b Hasil Simulasi Rangkaian Penguat Mikropon Dua


Kabel

27

Perhitungan Teori
Sebelum memulai perhitungan, rangkaian penguat di atas perlu
disederhanakan seperti berikut ini:

Gambar 2.3.4c Rangkaian Penguat Mikropon Dua Kabel setelah


disederhanakan
Yang akan kita cari adalah tegangan-tegangan V DIODA atau VREF, VRB,
VE atau VRE dan VC atau VC0 juga ICC yang nilainya setara dengan IRC.
Seperti diketahui bahwa:
IRC = IRE
Di sini nilai IB diabaikan karena sangat kecil. Kemudian rumus
tersebut dapat dikembangkan menjadi:
VRC/RC = VRE/RE
VRC = (VRE . RC ) / RE
Berdasarkan gambar di atas kita masukkan nilai-nilai yang sudah
ada:
VRC = (VRE . RC ) / RE = (VRE . 220 ) / 10 = 22VRE
VRC = 22VRE
Ini setara dengan nilai penguatan dari rangkaian secara DC.
28

VRB = VRE + VBE


VRB = (VREF . RB)/(RA+RB)

Dari kedua rumus mencari VRB di atas dapar kita uraikan menjadi:
VRE +
VRE +
VRE +
VRE +

VBE = (VREF . RB)/(RA+RB)


1,4 = (VREF . 33000)/(57000+33000)
1,4 = (VREF . 33000)/(90000)
1,4 = 11VREF / 30

Karena
VREF = VCC 0,7 VRC
VREF = 12 0,7 VRC
VREF = 11,3 VRC
Maka
VRE + 1,4 = 11VREF / 30
VRE + 1,4 = 11(11,3 VRC) / 30
30VRE + 42 = 124,3 11VRC
30VRE + 42 = 124,3 (11 . 22VRE)
30VRE + 242VRE = 124,3 42
272VRE = 82,3
VRE = 82,3 = 0,303 = 303mV
Selanjutnya nilai lainnya dapat dicari :
VRC = 22VRE = 22 . 0,303 = 6,666 volt
VRB = 0,303 + 1,4 = 1,703 volt
VREF = 11,3 6,666 = 4,634 volt
Secara
teoritis
hasilnya
sedikit
berbeda
namun
dapat
dipertanggung-jawabkan dan dapat dijadikan pendekatan praktis.
Perbedaan tersebut lebih kepada nilai-nilai hFE dan potensial barrier
dari komponen aktif seperti dioda dan transistor.

29

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Transistor berfungsi sebagai penyambungan dan pemutusan
(switching), penguat (amplifier), stabilisasi tegangan, modulasi
sinyal, dan masih banyak lagi fungsinya.
Bipolar junction transistor (BJT) adalah jenis transistor yang
memiliki tiga kaki, yaitu (Basis, Kolektor, dan Emitor) dan di
pisah menjadi dua arah aliran, positif dan negatif. Jenisnya PNP
dan NPN.
Cara kerja BJT seperti dua diode yang terminal positif atau
negatifnya berdempet, sehingga ada tiga terminal.
Transistor dalam kondisi cut off ketika arus yang masuk ke kaki
basis sangat kecil bahkan mendekati nol, kondisi inilah yang
mengakibatkan transistor berada pada kondisi Cut-Off sehingga
arus pada kolektor mejadi nol dan besar tegangan antara kaki
kolektor dan emitter sama dengan supply (VCC).
Transistor akan berada pada kondisi saturasi jika arus yang
masuk ke kaki basis sangat besar, bahkan sampai ke titik jenuh
sehingga arus pada kaki kolektor akan maksimum (IC=VCC/RL).
Kondisi seperti ini diibaratkan seperti saklar pada posisi ON.
Untuk menghitung tahanan basis transistor sebagai switch yaitu
digunakan rumus sebagai berikut:
IB = IC/
RB = (VIN - VBE) / IB
dimana RB = R basis, VBE = tegangan basis-emiter, IB = arus
basis

30

BAB I
PENDAHULUAN
Percobaan 2
Kendali Basis BJT Dengan Pulsa PWM
1.1 Tujuan
1.1.1 Mahasiswa diharapkan dapat memahami karakteristik
switching dari BJT.
1.1.2 Mahasiswa diharapkan dapat memahami konsep kendali
basis BJT dengan metoda PWM.
1.2 Dasar Teori
1.2.1 Pengertian PWM
PWM ( Pulse Width Modulation) adalah salah satu teknik modulasi
dengan mengubah lebar pulsa (duty cylce) dengan nilai amplitudo
dan frekuensi yang tetap. Satu siklus pulsa merupakan kondisi high
kemudian berada di zona transisi ke kondisi low. Lebar pulsa PWM
berbanding lurus dengan amplitudo sinyal asli yang belum
termodulasi. Duty Cycle merupakan representasi dari kondisi logika
high dalam suatu periode sinyal dan di nyatakan dalam bentuk (%)
dengan range 0% sampai 100%, sebagai contoh jika sinyal berada
dalam kondisi high terus menerus artinya memiliki duty cycle
sebesar 100%. Jika waktu sinyal keadaan high sama dengan
keadaan low maka sinyal mempunyai duty cycle sebesar 50%.

Aplikasi penggunaan PWM biasanya ditemui untuk pengaturan


kecepatan
motor
dc, pengaturan
cerah/redup
LED,
dan
pengendalian sudut pada motor servo. Contoh penggunaan PWM
pada pengaturan kecepatan motor dc semakin besar nilai duty cycle
yang diberikan maka akan berpengaruh terhadap cepatnya putaran
motor. Apabila nilai duty cylce-nya kecil maka motor akan bergerak
lambat.

31

Fitur PWM pada ATMEGA 16 memiliki resolusi sebesar 8 bit jadi


bernilai (2^8) = 256, dengan range 0-255. Resolusi yang dimaksud
yaitu rentang data (range) yang mampu dibaca oleh mikrokontroler
terhadap nilai PWM-nya.

1.2.2 Cara Menghasilkan Sinyal PWM


Cara mudah untuk menghasilkan sinyal PWM yaitu dengan
membandingkan bentuk sinyal yang diinginkan terhadap level
tegangan seperti contoh sinyal bentuk gergaji pada gambar berikut
ini :

Gambar 1 Sinyal PWM bentuk gergaji

Untuk membandingkannya terhadap tegangan DC, PWM memiliki 3


mode operasi yaitu :

Inverted Mode

32

pada mode inverted ini jika nilai sinyal lebih besar dari pada
titik pembanding (compare level) maka output akan di set high (5v)
dan sebaliknya jika nilai sinyal lebih kecil maka output akan di set
low (0v) seperti pada gelombang A pada gambar di atas.

Non Inverted Mode

pada mode non inverted ini output akan bernilai high (5v) jika
titik pembanding (compare level) lebih besar dari pada nilai sinyal
dan sebaliknya jika bernilai low (0v) pada saat titik pembanding
lebih kecil dari nilai sinyal seperti pada gelombang B pada gambar di
atas.

Toggle Mode

pada mode toggle output akan beralih dari nilai high (5v) ke
nilai low (0v) jika titik pembanding sesuai dan sebaliknya beralih
dari nilai low ke high.

Duty Cycle
Berikut ini cara perhitungan duty cylce beserta penjelasan pada
gambar :

33

Gambar 2 Penjelasan cara menghitung duty cycle


PWM = Pulse-Width Modulation
PWM, Pulse-Width Modulation, adalah salah satu jenis modulasi.
Modulasi PWM dilakukan dengan cara merubah lebar pulsa dari
suatu pulsa data. Total 1 perioda (T) pulsa dalam PWM adalah tetap,
dan data PWM pada umumnya menggunakan perbandingan pulsa
positif terhadap total pulsa.

34

Gambar 3 PWM = 50%.

Gambar 4 PWM = 30%.

Gambar 5 PWM = 60%.


Penggunaan PWM:
1.PWM sebagai data keluaran suatu perangkat. PWM dapat
digunakan sebagai data dari suatu perangkat, data
direpresentasikan dengan lebar pulsa positif (Tp).
2.PWM sebagai data masukan kendali suatu perangkat. Selain
sebagai data keluaran, PWM pun dapat digunakan sebagai data
masukan sebagai pengendali suatu perangkat. Salah satu
perangkat yang menggunakan data PWM sebagai data
masukannya adalah Motor DC Servo. Motor DC Servo itu sendiri
memiliki dua tipe: 1. Kontinyu, 2. Sudut. Pada tipe 1., PWM
digunakan untuk menentukan arah Motor DC Servo, sedangkan
pada tipe 2., PWM digunakan untuk menentukan posisi sudut
Motor DC Servo.
3. PWM sebagai pengendali kecepatan Motor DC bersikat. Motor
DC bersikat atau Motor DC yang biasa ditemui di pasaran yang
memiliki kutub A dan kutub B yang jika diberikan beda
potensial diantara kedua-nya, maka Motor DC akan berputar.
Pada prinsipnya Motor DC jenis ini akan ada waktu antara saat
beda potensial diantara keduanya dihilangkan dan waktu
berhentinya.
Prinsip
inilah
yang
digunakan
untuk
mengendalikan kecepatan Motor DC jenis ini dengan PWM,

35

semakin besar lebar pulsa positif dari PWM maka akan semakin
cepat putaran Motor DC. Untuk mendapatkan putaran Motor DC
yang halus, maka perlu dilakukan penyesuaian Frekuensi
(Perioda Total) PWM-nya.
1.3 Alat dan Bahan
Percobaan ini membutuhkan alat/bahan sebagai berikut:
1.3.1 Modul ELDA_01
1 buah
1.3.2 Transistor BD 139
1 buah
1.3.3 Resistor 1 kOhm
1 buah
1.3.4 Resistor 10 kOhm
1 buah
1.3.5 Project board
1 buah
1.3.6 Multimeter
2 buah
1.3.7 DC Power supply
2 buah
1.3.8 Oscilloscope
1 buah
1.3.9 Kabel Jumper
secukupnya
1.4 Langkah Percobaan
Kendali Basis BJT Dengan Pulsa PWM
a.
Rangkaikan peralatan
sesuai dengan Gambar 6 di bawah ini.

peralatan

percobaan

Gambar 6 Rangkaian Percobaan karakteristik V-I BJT


b.

Aktifkan sumber tegangan DC yang mencatu BJT


(tegangan VCC), kemudian lakukan pengesetan nilai sesuai
petunjuk instruktur. Gunakanlah Voltmeter DC untuk mengecek
nilai tegangan tersebut.
c.
Aktifkan Tegangan Catu VBB dengan mengeset
tegangan catu pada modul ELDA_01 sebesar 12 Vdc. Kemudian
aturlah duty cycle (D) sinyal PWM dengan memutar resistor
variabel pada modul ELDA_01 sesuai dengan range tegangan
yang diijinkan. (ditentukan oleh instruktur). Gunakanlah
osiloskop untuk mengecek besarnya duty cycle tersebut.

36

d.

Amatilah dengan osiloskop grafik tegangan dan


arus pada RC.

e.

Lakukan pengukuran besar arus dan tegangan


pada RC dengan multimeter
f.
Gambarlah data hasil pengamatan yang Saudara.

Tabel 2 Data hasil pengukuran kendali basis BJT dengan metoda


PWM
D
VCC
IC
VRC
20
%
30
%
40
%
50
%
60
%
g.

Ulangi langkah c sampai dengan f untuk masingmasing data duty cyclenya.

1.5 Tugas
1.5.1
Lakukan simulasi kemudian analisa secara teori terhadap
percobaan yang telah dilakukan. Kemudian bandingkan
hasilnya dengan hasil percobaan.
1.5.2
Buatlah kesimpulan dari hasil analisa yang saudara
lakukan.

37

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil Percobaan
Tabel 2.1 Data hasil pengukuran kendali basis BJT dengan
metoda PWM
D
10
%
30
%
50
%
70
%
90
%
100
%

VCC

IC

VRC

12 V

0,85 mA

1,955 V

12 V

0,98 mA

3,961 V

12 V

0,98 mA

4,50 V

12 V

1,03 mA

5,53 V

12 V

1,13 mA

7,49 V

12 V

1,15 mA

7,75 V

2.2 Tugas
2.2.1 Hasil Simulasi
2.2.2 Analisa Data
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat dilihat

38

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

39

DAFTAR RUJUKAN
Jobsheet Switching BJT (Bipolar Junction Transistor) Percobaan 1 dan
Percobaan 2.
Skemaku.com.
2015.
Cara
Kerja
Transistor.
Laman
http://skemaku.com/cara-kerja-transistor/ diakses pada tanggal
28 Januari 2016.
Zamh Arie. 2013. Transistor. Laman
http://ariezamharie.blogspot.co.id/2013/03/transistor5.html
diakses pada tanggal 28 Januari 2016.
Rachmat Hermawan. 2014. Dasar Teori Transistor. Laman
http://rachmat-elektronika.blogspot.co.id/2014/05/dasar-teoritransistor.html
diakses pada tanggal 28 Januari 2016.
Sigit Widodo. 2015. Penguat Mikropon Dua Kabel. Laman
http://electronicdesignportal.blogspot.co.id/2012/05/penguatmikropon-dua-kabel.html diakses pada tanggal 28 Januari 2016.
DataSheet. Laman
http://pdf1.alldatasheet.com/datasheetpdf/view/351702/ONSEMI/
BD139/+24QJ2WVLLS.xKdGptzh+/datasheet.pdf diakses pada
tanggal 28 Januari 2016.
I Putu Giovanni Eliezer. 2014. PWM (Pulse Width Modulation). Laman
http://www.geyosoft.com/2014/pwm-pulse-width-modulation
diakses pada tanggal 28 Januari 2016.
Usep Zainal Arifin. 2015. Teori Transistor, Jenis, Simbol, Fungsi dan
Karakteristik. Laman
http://bagi-ilmu-elektronika.blogspot.co.id/2015/04/teoritransistor-jenis-simbol-fungsi-dan-karakteristik.html diakses pada
tanggal 28 Januari 2016.

40

41

Anda mungkin juga menyukai