Dualisme Pendidikan Di Indonesia Dari Perspektif Aksiologi
Dualisme Pendidikan Di Indonesia Dari Perspektif Aksiologi
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Dualisme pengelolaan pendidikan terjadi pada pembinaan yang dilakukan
oleh dua kementrian, antara Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud) dengan Kementrian Agama (Kemenag). Dilemanya, yaitu dalam
melakukan pembinaan sekolah madrasah di bawah naungan Kemenag
berhadapan dengan sekolah umum di bawah pembinaan Kemdikbud sering
menimbulkan kecemburuan dan tidak secara integral pengelolaan komponen
pendidikan dilaksanakan. sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan tinggi.
Hal ini tidak sesuai dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dinyatakan bahwa salah satu
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. (Rencana Strategi Kementrian Pendidikan Nasional, 2010: 12). Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi itu di antaranya
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, juga
mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.1
Sistem pendidikan nasional tersebut harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan kualitas etos serta efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk itu, perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Atas dasar itulah, dengan mempertimbangkan hasil analisa refleksi dualisme
dan dikotomi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini, maka diputuskan
untuk memilih judul Dualisme Pendidikan di Indonesia dari Perspektif
Aksiologi, sebagai refleksi terhadap kesimpangsiuran sistem pendidikan di
Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dualisme dan dikotomi dalam Pendidikan?
2) Apa pengertian pandangan subjektivitas dan objektivitas dalam kajian
aksiologi?
3) Bagaimana kedua pandangan (subjektiv & objektiv) aksiologi dalam
mengevaluasi kembali dualisme dan dikotomi pendidikan yang ada di
Indonesia saat ini?
C.
TujuanPenulisan
1) Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Dualisme dan Dikotomi
Pendidikan.
2) Dapat mengetahui dua pandangan (subjektiv dan objektiv) dalam kajian
aksiologi.
3)Mengetahui bagaimana pengevaluasian kembali terhadap dualisme dan
dikotomi pendidikan yang ada di Indonesia saat ini dalam perspektif aksiologi.
D.
Kerangka Teoritis
Pemakaian landasan teori dalam makalah kami, merujuk dari dua posisi
pandangan ekstrim dalam kajian Filsafat Nilai (aksiologi). Pertama adalah
pandangan
subjektif,
berpandangan
bahwa
nilai
itu
ada
akibat
ditentukan/diadakan oleh subjek, nilai itu ada berdasar dari subjek yang
mengadakan dengan memberi penilaian. Lebih lanjut lagi, bahwa nilai subjektif
tergantung dari selera masing-masing dalam memberikan nilai, de gustibus non
Tinjauan Pustaka
Adnan Mahdi M. Si, pernah melakukan penelitian yang serupa. Di dalam
penelitiannya, Adnan Mahdi menekankan pada dampak yang terjadi atas adanya
dikotomi dan dualisme pendidikan di Indonesia. Solusi yang ditawarkan dari
hasil penelitiannya adalah melakukan perubahan kurikulum pendidikan serta
melakukan integralisasi sistem pendidikan. Penelitian yang dilakukan Adnan
Mahdi, berbeda dengan makalah Dualisme Pendidikan di Indonesia dalam
Perspektif Aksiologi, sebab digunakan sudut pandang atau tinjauan yang berbeda
pula.
Asep Iwan, juga melakukan penelitian hal yang sama. Dalam penelitiannya
tersebut, Asep Iwan utamanya lebih menekankan pada asal muasal terjadinya
dualisme pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, penelitiannya lebih kepada
dan berujung untuk dapat saling mengalahkan satu sama lain (dekadensi
karakter).
Dualisme dan dikotomi seperti yang telah sebelumnya dibahas sangat mudah
untuk didapati. Dengan mengacu pada dua distingsi lembaga yang masingmasing menaungi sistem pengolahan pendidikan, yaitu Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud) dengan Kementrian Agama (Kemenag).
Dualisme pengelolaan pendidikan yang terjadi pada pembinaan oleh dua
kementrian yaitu Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) dan
Kementrian Agama (Kemenag). Pembinaan Madrasah di bawah naungan
Kemenag berhadapan dengan sekolah umum di bawah pembinaan Kemdikbud,
sering menimbulkan kecemburuan dan disinkronisasi pengelolaan komponen
pendidikan. Yang dimulai dari sejak di tingkat (SD dan MI) hingga perguruan
tinggi (PTN dan PTAIN) . Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan manajerial,
bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru, hingga
pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang diterima
oleh sekolah umum (Kemdikbud) dengan madrasah (Kemenag).
b) Subjektivitas dan Objektivitas dalam kajian aksiologi.
Filsafat tidak dipungkiri mencangkup dalam berbagai ranah, ialah sebuah
bidang kajian yang amat luas. Penggunaan kata Aksiologi pada judul tulisan
ini, dimaksudkan sebagai pengingat, bahwa tulisan ini tidak berambisi ingin
menjelaskan panjang lebar tentang kondisi persoalan dualisme dan dikotomi
pendidikan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Adnan Mahdi M. Si dan
Asep iwan. Akan tetapi, membatasi diri hanya pada persoalan kajian aksiologi.
Yaitu dengan berdasarkan pada dua pandangan ekstrim dalam kajian filsafat nilai
(aksiologi). Pertama adalah pandangan subjektifitas dan yang kedua ialah
dahulu). 4
Kajian aksiologi (subjektivitas dan objektivitas) dalam persoalan dualisme
dan dikotomi pendidikan di Indonesia.
Adnan Mahdi M. Si dalam hasil penelitiannya, memaparkan bahwa konsep
dualisme dan dikotomi terhadap dunia pendidikan sekarang ini terjadi tidak
terlepas dari sejarah campur tangan penjajahan diktator belanda, yang pada saat
itu sekolah-sekolah yang didirikan para penjajah pihak belanda memisahkan
antara sekolah yang notabennya terlepas dari nilai-nilai agama (seperti sekolahsekolah yang ada di eropa pada umumnya dengan memisahkan antara sains
dengan agama) dengan sekolah yang berbasis nilai-nilai keagamaan (pesantren
dll).
Menarik dari pernyataan sebelumnya, apabila menelisik lebih jauh asal
dualisme dan dikotomi pendidikan di Indonesia, ini adalah sebuah sistem
lanjutan dari penjajahan para komunis belanda di jaman dulu. Yaitu pemisahan
dualis pendidikan antara ilmu eksakta (sains) dengan ilmu agama, yang karena
itu ulah para penjajah Belanda. Maka demikian, tidaklah heran jika pemisahan
dualisme seperti ini terjadi, Indonesia pada saat itu masih berstatus sebagai
negara jajahan yang belum memiliki daya untuk mengatur pemerintahannya
sendiri, adalah dapatlah dimaklumi. Tetapi saat ini, tidak ada alasan untuk
melanjutkan bentuk pemikiran para diktator belanda itu. Indonesia bukanlah
Negara jajahan lagi. Kuasa pemerintahan Indonesia telah sepenuhnya ada di
bawah naungan pemerintahan negara sendiri tanpa ada lagi campur tangan dari
negara manapun juga.
Dualisme dan dikotomi pendidikan yang terjadi di indonesia saat ini tidak
hanya berhenti pada tahap pembedaan dua lembaga dalam berkonstribusi
8 Lih. Siti Sofiah, et. al., APK/APM (Angka Partisipasi Kasar/Angka Partisipasi
realita bahwa data angka partisipasi kasar (APK) hanya sebesar 28,57%, atau
berjumlah 6.052.054 anak dari total jumlah penduduk usia 19-23 tahun yang
berjumlah 21.185.300 jiwa anak. Angka ini belum termuat pada angka partisipasi
murni (APM) yang bisa saja lebih kecil lagi dari angka partisipasi kasarnya.
Pendidikan tidak dapat dinikmati sepenuhnya semua anak-anak di Indonesia
dengan baik serta merata. Melihat fakta data Depdiknas tahun 2013 yang
menunjukkan bahwa angka partisipasi murni (APM) mulai dari tingkat sekolah
dasar (SD) sampai kejenjang perguruan tinggi nasional (PTN) masih sangat jauh
dari apa yang diharapkan. Sangat disayangkan apabila melihat partisipasi anakanak sekolah di Indonesia untuk menginjakkan kaki menuju kejenjang
pendidikan yang lebih tinggi semakin mengalami penurunan. Padahal pendidikan
begitu penting untuk kemajuan sebuah bangsa, Sindhunata (2001) dalam M. Joko
Susilo (2007) menerangkan bahwa pada tahun 1972 The International Comission
for Education Development dari Unesco, dulu sudah mengingatkan bangsabangsa, jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki keadaan suatu bangsa,
harus dimulai dengan pendidikan sebab pendidikan adalah kunci. Tanpa kunci itu
segalanya akan sia-sia. Pendidikan adalah wadah untuk meningkatkan mutu serta
kualitas SDM manusia.
Nilai-nilai pendidikan yang sebagaimana telah termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945 alenia IV, batang tubuh konstitusi itu di antaranya Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, tidak semata harus berbicara untuk
bertujuan memajukan dan meningkatkan mutualitas SDM saja, tapi hal yang
lebih utama adalah bagaimana suatu pengolahan sistem pendidikan dapat
diwujudkan menjadi sentral pembangunan budaya moral yang baik, sehingga
mutualitas dan juga kualitas SDM tentunya dapat saling memenuhi.
Intan Ayu Eko Putri (2012: 18), dalam tesisnya yang berjudul Konsep
Pendidikan Humanistik Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Islam, memuat
bahwa Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai bapak pendidikan Indonesia
mengartikan pendidikan, yaitu ialah untuk memperhatikan keseimbangan cipta,
rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses alih ilmu pengetahuan saja atau
UUD 1945. Adapun nilai kebaikan yang dimaksudkan disini adalah, nilai baik
yang diartikan sebagai nilai yang melekat pada tindakan mewujudkan nilai
positf, sebagai yang berlawanan dengan nilai negatif, yang melekat pada
tindakan mewujudkan nilai dalam tingkatan ke tahap lebih tinggi atau tertinggi
dalam susunan nilai.10
Merujuk dari pernyataan sebelumnya, apabila diakui nilai-nilai pendidikan
yang dicita-citakan bangsa Indonesia seperti yang termuat dalam nilai-nilai
Pancasila, utamanya dalam Pembukaan UUD 1945. Maka nilai-nilai pendidikan,
apabila ditarik dalam kajian aksiologi dimaknai sebagai nilai yang objektif (ansich). Nilai yang ada terlepas dari pengembang nilai-nya atau dari penilaian
subjektif. Ini pun sesuai juga dengan pemahaman Max Scheler, yang
menafsirkan bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada
pembawanya, merupakan kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia
tanpa melalui mengalaman indrawi terlebih dahulu). 11 Tentunya pernyataan
tersebut didasarkan dengan terlepas dari bentuk pembawa nilai (carrier of the
value) sebagai tempat didalamnya kedudukan nilai (locus of the value) ada
secara independen.
Untuk memperjelasnya, pengembang atau pembawa nilai yang dimaksudkan
ialah wadah dari kedudukan nilai pendidikan itu sendiri (locus of the value),
yaitu adalah sebuah lembaga pembinaan yang dilakukan oleh dua pihak
kementrian, antara Kementrian Pendidikan dan kebudayaan (Kemdikbud) dan
Kementrian Agama (Kemenag). Terlepas dari nilai-nilai luhur sebagai
kedudukan nilai-nya. Berdampak dikemudian timbul tendensi yang bersifat sinn
setzung (pemberian makna) secara subjektif. Melakukan suatu penilaian sepihak
dengan melepaskan dirinya dari apa yang seharusnya dilakukan dalam
10 Untuk penjelasan lebih lengkap tentang susunan nilai atau hirarki nilai, lihat
Paulus Wahana, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler, (Yogyakarta, Kanisius, 2004),
hlm. 59-67.
11 Lih. Ibid., hlm. 51.
dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu serta berkualitas, tidak bisa dikata
telah sesuai dengan apa yang diharapkan sebelumnya, malah disikapi secara
subjektif di dalam mengelola pendidikan dan tidak dimaknai secara objektif.
Semestinya bahwa, pelaksanaan pendidikan di Indonesia harus merujuk dan
tidak terlepas dari nilai-nilai luhur kemanusiaan (nilai objektif yang tempat
kedudukan nilai itu ada pada pengembangnya/wadahnya) seperti yang telah
diatur dalam UUD RI TAHUN 1945, BAB XA HAK ASASI MANUSIA yaitu,
Pasal 28A berbunyi bahwa, Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kemudian dalam Pasal 28C juga
termuat dengan jelas bahwa: (l) Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya,
demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Ki Hajar Dewantara sebagaimana juga memaknai arti pendidikan dengan
semboyannya Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Seorang guru harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah siswa
harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tut wuri handayani, akan
membiarkan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun tetap
didampingi.13 Juga sejalan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3, yang berbunyi Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
13 Lih. Intan Ayu Eko Putri, Sinopsis Tesis Magister: Konsep Pendidikan
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
BAB III
Penutup
a) Kesimpulan
i. Dualisme adalah pembagian dua posisi atau lebih dengan kesetaraan hak dan
kewajibannya dalam satu tujuan yang sama. Dualisme biasa diartikan dengan
adanya dua hal yang saling mengimbangi atau setara dalam satu hal. Yang
mengacu pada penegasian kata dualisme. Sedangkan dikotomi, adalah dua hal
yang setara, diberlakukan daripadanya suatu pembedaan kebijakan dan tujuan
masing-masing yang akan dicapainya.
ii.Subjektivitas aliran yang berpandangan bahwa nilai itu ada akibat
ditentukan/diadakan oleh subjek dan nilai itu ada berdasar dari subjek yang
mengadakan dengan memberi penilaian. Nilai subjektif tergantung dari selera
masing-masing dalam memberikan nilai (de gustibus non est disputandum).
Kedudukan nilai sepenuhnya tergantung dari subjek yang mengadakan dan
memberi penilaian. Pandangan kedua adalah objektivitas, yaitu berasumsikan
bahwa nilai itu ada tidak berdasarkan dari sebuah penilain (subjek) semata,
melainkan bahwa nilai itu secara objektif an sich sudah ada sebelum kita
tangkap (diberikan penilaian). Maka dari itu, nilai akan tetap ada walaupun
tidak diberikan penilain.
iii. Dualisme dan dikotomi pada sistem pembinaan pendidikan di Indonesia adalah
bersandar pada penilaian subjektif. Pengembang nilai-nya ada pada wadah atau
lembaga tersebut, adalah yang dinaungi oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan serta Kementrian Agama. Sedangkan kedudukan nilai-nya ada
pada nilai-nilai luhur dari pelaksanaan diadakannya sebuah pendidikan.
Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk mencapai nilai kebaikan, dengan
mencita-cita untuk memperbaiki mutualitas dan kualitas SDM dan nilai jahat
itu ada karena didasarkan pada penilaian secara subjektif terhadap nilai guna
pendidikan.
b) Saran
Berbagai Pelaksanaan otonomi pendidikan menghadapi banyak
hambatan yang perlu segera dipecahkan bersama. Berbagai hambatan yang
muncul disebabkan perbedaan interpretasi antara kewenangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, serta inkronisasi pengelolaan komponen
pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama dengan komponen
pendidikan di bawah pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sehingga sekarang banyak usulan untuk sentralisasi pendidikan.
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tidaklah mungkin
cukup merangkup segala bentuk permasalah dualisme dan dikotomi
pendidikan di Indonesia dalam tulisan singkat ini. Makalah ini terbatas hanya
pada kajian aksiologi saja, yang juga membatasi diri pada konsep teori
aksiologi Max scheler dalam pandangannya tentang kedudukan nilai. Maka
pemakalah menyarankan untuk sekiranya pembaca tidak secara dini puas
cukup dalam satu bentuk sudut pandang saja, melainkan untuk dapat
mengupayakan melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin pembaca
analisis dengan menggunakan sudut pandang atau dengan bentuk pendekatan
yang lain. Makalah ini hanya sebatas membantu memperkaya informasi objek
kajian yang sebelumnya telah dilakukan oleh pihak yang lain.
DaftarPustaka
Eko Putri, Intan Ayu. Sinopsis Tesis gelar Magister: Konsep Pendidikan Humanistik
Ki Hajar Dewantara dalam Pandangan Islam. Semarang: IAIN Walisongo,
2012.
RENSTRA KEMENDIKNAS. Rencana Strategis Kementrian Pendidikan Nasional
2010-2014. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010.
Sistem Pendidikan Nasional. UU RI No 20 Tahun 2003, beserta peraturan
pelaksanaanya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Susilo. M. Joko. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus, 2007.
Sofiah, Siti, dkk. APK/APM (Angka Partisipasi Kasar/Angka Partisipasi Murni)
tahun 2012/2013. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendidikan Kemdikbud,
2013.
Wahana, Paulus. Nilai Etika Aksiologi Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius, 2004.