Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Genetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat.
Unit terkecil bahan sifat keturunan adalah gen. Secara kimiawi pada
eukariotik gen adalah molekul AND yang berasosiasi dengan protein histon
dan nonhiston. Secara umum fungsi gen adalah menumbuhkan serta mengatur
berbagai jenis karakter dalam tubuh, karakter fisik (morfologi, anatomi,
fisiologis) maupun psikis (Yatim, 1999).
Hukum Mendel II menyatakan adanya pengelompokkan gen
secara

bebas.

Sepertitelah

diketahui,

persilangan

antara

dua

individu dengan satu sifat beda ( monohibrid) akan menghasilkan


rasio genotipe 1:2:1 dan rasio fenotipe 3:1. Sementara itu, persilangan
dengandua sifat beda (dihibrid) menghasilkan rasio fenotipe 9:3:3:1,
hanya berlaku apabila kedua p a s a n g g e n y a n g m e w a r i s i k e d u a
pasang

sifat

tersebut

masing-masing

terletak

pada

kromosom yang berlainan, dan masing-masing mengekspresikan sifatnya


sendiri. Beberapa cara penurunan tak mengikuti hukum ini, mengingat bahwa
pengawasan suatu sifat kadang kadang tidak dilakukan oleh suatu
pasang gen saja, tetapi oleh dua pasang atau lebih gen yang
mengadakan interaksi ( kerjasama )
Salah satu mutasi antar gen yaitu mutasi. Menurut Ayala (1984) mutasi
merupakan proses yang dapat menyebabkan perubahan pada suatu gen.
Menurut Gardner dkk (1991) menyatakan bahwa mutasi sebagai materi
genetic yang dapat diwariskan dan tiba-tiba. Menurut Russel (1992)
menyatakan bahwa mutasi merupakan sesuatu perubahan materi genetic yang
dapat diwariskan dan yang dapat dideteksi yang bukan disebabkan oleh
rekombinasi genetic. Pada persilangan-persilangan monohibrida dengan
tanaman coba ercis (Pisum sativum) dari antara dua ciri (pada induk) hanya
satu ciri yang muncul pada generasi turunan pertama (F1), satu ciri induk
mengalahkan yang lain. J.G. Mendel menyebutkan ciri yang mengalahkan
sebagai yang berisfat dominan, sedangkan yang dikalahkan sebagai yang
bersifat resesif. dalam percobaan-percobaan persilangannya J.G. Mendel

memmenag menemukan bahwa sifat biji ercis yang bulat mengalahkan sifat
biji keriput (kisut), warna polong (ercis) yang kuning mengalahkan warna
polong yang hijau, letak bunga axial mengalahkan letak bunaga yang terminal
dan sebagainya.
Menurut Corebima (2013) Interaksi antara faktor-faktor

(sepasang)

dapat berpengaruh terhadap viabilitas tiap individu yang memilikinya. Efek


atas viabilitas itu bahkan dapat menyebabkan matinya individu yang
bersangkutan secara cepat atau lambat. Interaksi antara faktor-faktor
termaksud yang berakibat matinya individu yang bersangkutan dikatakan
bersifat lethal.
Coerbima (2013) juga menambahkan bahwa gen letal ada yang bersifat
dominan dan ada pula yang bersifat resesif. Gen letal dominan terjadi pada
persilangan ayam Creeper heterozigot (CcxCc) yang menghasilkan persilangan
keturunan 2: 1 (2 Creeper hetrozigot : 1 Normal). Sebenarnya apabila dikaji
berdasarkan rekonstruksi kromosom, maka akan diperoleh perbandingan
fenotip 1:2:1 dimana satu untuk dominan yang homozigot, 2 untuk heterozigot
yang akan menunjukkan ciri-ciri tertentu (Creeper) dan biasanya merupakan
carier dari gen lethal, dan 1 untuk homozigot resesif yang dalam keadaan ini
individu bersifat normal. Karena yang dominan lethal, maka perbandingan
yang teramati menjadi 2:1.
Dari uraian tersebut, maka peneliti melakukan penelitian mengenai gen
letal pada D.melanogaster dengan menyusun laporan proyek yang berjudul
Fenomena

Interaksi

Lethal

Dominan

pada

Persilangan

Drosophila

melanogaster Strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm Beserta


Resiproknya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah terjadi fenomena gen letal dominan pada persilangan Drosophila
melanogaster strain Pm>< Pm?
2. Bagaimana rasio hasil anakan F1 dan F2 Drosophila melanogaster dari
persilangan strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta
dengan resiproknya?

3. Bagaimana fenotip F1 dan F2 Drosophila melanogaster dari persilangan


strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta dengan
resiproknya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas , tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui fenomena gen letal dominan pada persilangan
Drosophila melanogaster strain Pm>< Pm.
2. Untuk mengetahui rasio hasil anakan F1 dan F2 Drosophila melanogaster
dari persilangan strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm
beserta dengan resiproknya.
3. Untuk mengetahui fenotip F1 dan F2 Drosophila melanogaster dari
persilangan strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta
dengan resiproknya.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Peneliti
a. Dapat mengembangakan dan menerapkan ilmu yang diperoleh dalam
bentuk penelitian sebagai aplikasi atau penerapan teori mellaui
praktikum proyek Drosophila melanogaster
b. Dapat mengetahui perbedaan rasio fenotip F1 dan F2 pada persilangan
Drosophila melanogaster strain N >< N, Pm>< Pm, dan N
>< Pm beserta dengan resiproknya.
2. Bagi Mahasisiwa
a. Memberikan pengatahuan dan informasi mengenai kemungkinan
fenomena yang terjadi pada persilangan Drosophila melanogaster
strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta dengan
resiproknya.
b. Menjadi dasar penelitian selanjutnya mengenai fenomena gen letal
dominan yang terjadi pada persilangan

Drosophila melanogaster

strain N >< N, Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta dengan


resiproknya.
3. Bagi Masyarakat
Dapat meningkatkan pemahaman dan menambah informasi bagi
masyarakat umum tentang penyimpangan Hukum Mendel tentang
interaksi gen lethal dominan.
1.5 Asumsi Penelitian
3

1. Kondisi

medium

yang

digunakan

sebagai

nutrisi

dalam

pengembangbiakan Drosophila melanogaster dianggap sama.


2. Faktor lingkungan seperti cahaya atau sinar, suhu maupun kelembapan
dianggap sama di dalam botol dianggap sama.
3. Umur Drosophila melanogaster yang digunakan untuk penelitian
dianggap sama.
1.6 Batasan Masalah
1. Penelitian yang dilakukan menggunakan lalat buah D. melanogaster
dengan strain N dan starin pm.
2. Penelitian ini hanya mengamati berdasarkan fenotip perbedaan mata,
warna tubuh dan bentuk sayap antara strain N dan strain pm .
3. Penelitian ini hanya membahas fenomena lethal yang terjadi pada
persilangan F1 dan F2 pada persilangan strain N dan Pm (N ><N,
Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta dengan resiproknya).
1.7 Defisi Operasional
1. Dominan adalah suatu sifat yang mengalahkan sifat yang lain (Corebima;
2013).
2. Resesif adalah suatu sifat yang dikalahkan oleh sifat yang lain (Corebima;
2013).
3. Fenotip merupakan karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu
individu (yang merupakan hasil interaksi antara genotip dan lingkungan
tempat hidup dan berkembang) (Ayala dalam Corebima; 1997; 36).
4. Genotip dalam bentuk atau susunan genetik antara genetik suatu karakter
yang dikandung suatu individu. (Yatim : 1996)
5. Homozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen (sepasang)
identik. (Corebima :2013)
6. Heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen (sepasang) tidak
identik (berlainan). (Corebima :2013)
7. Galur murni adalah populasi-populasi yang merupakan turunan murni
tanpa adanya variasi genetik yang berarti. (Gardner dkk, 1984 dalam
Corebima 2013).
8. Interaksi lethal adalah interaksi antara faktor-faktor (sepasang) yang dapat
berpengaruh terhadap viabilitas individu yang memilikinya (Corebima;
2013).

9. Lethal resesif adalah interaksi faktor-faktor gen yang dapat menyebabkan


kematian individu yang memilikinya hanya jika gen tersebut muncul
secara homozigot (Gardner; 1991).
10. Lethal dominan adalah interaksi

faktor-faktor

gen

yang

dapat

menyebabkan kematian individu yang memilikinya baik dalam keadaan


heterozigot maupun homozigot.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Drosophila melanogaster
Sistematika dari Drosophilla melanogaster, menurut Strorer dan Usinger
(1957) sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Phyllum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Subklas

: Pterygota

Ordo

: Diptera

Sub ordo

: Cyclophorpha

Famili

: Drosophilidae

Subfamili

: Drosophilinae

Genus

: Drosophila

Spesies

: Drosophila melanogaster

Pada penelitian ini kita menggunakan Drosophila melanogaster (lalat


buah) sebagai sampel penelitian. Drosophila melanogaster memiliki berbagai
macam strain, diman setiap strain memeilki ciri yang berbeda-beda. Untuk
memebedakan antara Drosophila melanogaster jantan dan betina bisa dilihat
dari ukuran tubuhnya, dimana lalat jantan memilki ukuran tubuh lebih kecil
dari lalat betina. Selain itu pada bagian belakang ujung tubuh lalat jantan
berwarna hitam.

Gambar Perbedaan fisik Drosophila melanogaster jantan dan betina


( taniorganik.com)
Siklus Hidup Drosophila melanogaster. Seperti kupu-kupu dan banyak
insekta lainnya yang mengalami metamorfosis sempurna.

Siklus hidup

Drosophila melanogaster terdiri dari fase telur, larva, pupa, dan imago atau
Drosophila melanogaster dewasa. Tahapan larva masih dibagi lagi menjadi
larvar instar 1, larva instar 2, dan larva instar 3 (Geiger, 2002).

Setelah menetas larva akan mengalami 3 tahapan yaitu, larva instar 1,


larva instar 2, dan larva instar 3. Larva instar 1 muncul setelah telur menetas,
selanjutnya larva instar 1 akan berubah menjadi larva instar 2 sehari kemudian,
dan setelah 2 hari larva instar 2 berkembang menjadi larva instar 3. Larva akan
terus makan hingga ukurannya membesar. Selama makan, larva akan membuat
saluran-saluran pada medium. Aktivitas membuat saluran pada medium dapat
dijadikan indikator apakah larva tumbuh dan berkembang dengan baik
(Demerec et al, 1996).

2.2 Drosophila melanogaster strain Pm (Plum)


Seperti yang telah dikemukakan diatas Drosophila melanogaster
memiliki banyak macam strain salah satunya yaitu strain Pm. Pada penelitian
ini, kita menggunakna satu sifat beda yaitu strain Pm dan strain N (normal).
Strain N dan Pm merupakan dua strain yang memiliki ciri morfologi yang
hampir sama yakni memiliki tubuh yang berwarna kuning kecoklatan dan
sayap yang menutupi tubuh dengan sempurna. Yang membedakan diantara
keduanya yaitu warna matanya. Pada strain N memilki warna mata merah
sedangkan pada strain Pm memilki warna mata ungu.

Pm

Strain Pm terlatak pada kromosom 3 pada peta kromosom. Strain Pm


memilki warna mata merah keunguan. Gen rosy merupakan gen yang
mengkode sintesis enzim Xanthine dehydrogenase (XDH). XDH ini berperan
dalam sintesis pigmen warna mata merah pada Drosophila melanogaster
(Reaume, Knecht, dan Chovnick, 1991). Gen rosy membawa informasi koding
untuk Xanthine dehidrogenase ( XDH ) yang merupakan homodimer dengan
berat molekul subunit 150.000 dalton.

Aktivitas XDH yang besar dibutuhkan saat pembentukan pigmen mata.


Beberapa zat dipancarkan dari jaringan rosy yang mampu memproduksi
pigmen warna mata normal pada cakram mata yang mutan (Handorn and
Schwinck, 1956). Apabila gen rosy pada salah satu kromosom homolog
tersebut

rusak maka enzyme XDH tidak dapat disintesis secara optimum

sehingga pigmen mata tidak lagi diproduksi dalam keadaan warna merah
melainkan berubah menjadi warna lain dan salah satunya warna mata yang
terekspresi adalah ungu .
Apabila gen rosy pada kedua kromosom homolog tersebut rusak maka
enzyme XDH tidak dapat disintesis sama sekali yang dapat menyebabkan
kematian pada

Drosophila melanogaster. Enzim Xanthine dehidrogenase

(XDH) mengkatalisis oksidasi xanthine menjadi asam urat. asam urat telah
terbukti memilki sifat anti-oksidatif penting menjaga terhadap kerusakan
oksidatif pada lipid, protein dan asam nukleat (Zhou dan Riddiford, 2012). Gen
Rosy mengkode XDH pada Drosophila melanogaster. XDH memilki efek
perlindungan yang berhubungan dengan ROS dimana Enzim XDH
menghambat pembentukan ROS. ROS adalah molekul yang tidak berpasangan
dan oleh karena itu sangat tidak stabil dan sangat reaktif.
Kerusakan dominan akibat serangan ROS dikenal dengan stress
oxidative, sedangkan faktor yang dapat melindungi jaringan terhadap ROS
disebut antioksidant. ROS secara kimia dapat memodifikasi secara langsung
asam amino dalam protein, antibody yang dihasilkan akan bereaksi silang
dengan protein dari jaringan normal, sebagai awal munculnya berbagai
penyakit autoimune. (Bender DA, 2009). XDH memiliki peran penting dalam
respon imun bawaan/ kekebalan tubuh lalat terhadap infeksi atau radikal bebas.
Selain itu XDH juga berperan penting dalam respon imun bawaan dan usia
yang terkait proses penuaan. Penuaan terjadi sebagi akibat efek buruk dari
radikal bebas oksigen yang dihasilkan selama metabolisme. Proses penuaan
juga terkait respon imun bawaan yang mungkin disebabkan hilangnya
sebagian, aktivitas XDH. (Zhou dan Riddiford, 2012).
2.4 Gen Dominan dan Gen Resesif

Persilangan-persilangan monohibrid dengan tanaman ercis antara dua ciri


dari makhluk hidup hanya satu ciri yang muncul pada generasi turunan pertama
(F1), Mendel menyebutkan dalam permasalahan tersebut sebagai ciri induk
yang mengalahkan ciri induk yang lain, ciri yang mengalahkan disebut bersifat
dominan dan ciri yang dikalahkan bersifat resesif. (Goodenouh : 1984-1246).
Ternyata kedua sifat ini terbukti pada salah satu percobaan J. G. Mendel
pada saat mempelajari pelajari pewarisan sifat bentuk biji.. Contoh pada
tanaman ercis (Pisum sativum), berbiji bulat disilangkan dengan yang berbiji
keriput, ternyata seluruh turunan yang muncul adalah yang berbiji bulat.
P1

biji bulat

biji keriput

Genotip

RR

rr

Gamet

F1

Rr
(Biji bulat)

Karena gen R dominan terhadap gen r maka fenotip yang akan muncul
adalah Biji bulat. Gen yang bersifat dominan akan menutupi sifat yang resesif.
Sifat dominan dan sifat resesif merupakan sifat interaksi antara dua factor gen
penyusun suatu pasang faktor (gen). Sifat homozigot adalah sifat yang
dikontrol oleh suatu pasang gen yang identik, sedangkan sifat heterozigot
adalah sifat yang dikontrol oeleh suatu pasang gen yang tidak

identik

(berlainan (Corebima; 1997).


Gen mengontrol pembentukan enzim yang merupakan suatu protein
fungsional yang mengontrol setiap jalur reaksi biokimia di dalam tubuh
makhluk hidup. Untuk gen dominan, mengontrol pembentukan enzim yang
fungsional yang dapat mengkatalisis tahap reaksi biokimia yang spesifik.
Individu heterozigot adalah normal karena satu gen memproduksi enzim yang
dihasilkan gen homozigot dominan. (Tamarin, 2002).

2.5 Interaksi Gen

Salah satu kajian pewarisan sifat yang menyimpang dari rasio Mendel
adalah adanya interaksi gen. Dimana dewasa ini diketahui bahwa karakter atau
sifat makhluk hidup muncul sebagai suatu produk dari rangkaian reaksi
biokimia yang bercabang-cabang, dan setiap tahap reaksi biokimia yang
dikatalisis oleh enzim. Enzim tersebut tersusun atas polipeptidapolipeptida
yang pembentukannya dikontrol oleh faktor atau gen. Dengan demikian tidak
ada satu sifat atau karakter yang dikontrol oleh satu faktor atau satu unit
karakter (gen), tetapi pengontrolan sifat (karakter) tersebut oleh satu faktor atau
unit karakter dianggap benar dalam batas satu unit tahap reaksi biokimia
(Corebima; 1997).

Bagan reaksi interaksi gen yang melibatkan enzim


(Elrod dan Stansfield, 2007)
Interaksi gen adalah interaksi antara faktor-faktor (gen) untuk mengontrol
suatu sifat
digenukan

yang sama dari suatu individu. Istilah interaksi gen sering


untuk

menggambarkan

pemikiran

bahwa

beberapa

gen

mempengaruhi suatu karakteristik tertentu. Menurut Clug dan Cluming (1997)


menyatakan bahwa segera setelah penemuan kembali kerja Mendel, banyak
eksperimen yang mengungkap bahwa karakter individu memperlihatkan
fenotip yang berlainan sering yang sering dikontrol oleh lebih dari satu gen.
Penemuan ini signifikan karena mengungkapkan bahwa genetic mempengaruhi
fenotip yang lebih kompleks daripada yang ditemukan Mendel dalam
persilangan dengan menggunakan kacang kercis. (Corebima 1997).
2.8 Interaksi Lethal
Interaksi lethal adalah interaksi antara faktor faktor (sepasang) yang
dapat berpengaruh terhadap viabilitas individu sehingga berakibat matinya
individu yang bersangkutan (Corebima, 1997). Gen letal atau gen kematian

10

adalah gen yang dalam keadaan homozigotik dapat menyebabkan kematian


individu yang memilikinya (Suryo, 2004).

Interaksi lethal dapat bersifat

dominan, tetapi dapat pula bersifat resesif. Interaksi yang bersifat lethal
dominan berlangsung antara faktor faktor yang sama sama dominan,
sedangkan interaksi yang bersifat lethal resesif berlangsung antara faktor
faktor yang sama sama resesif. Faktor faktor sepasang yang interaksinya
bersifat lethal dikenal sebagai faktor lethal. Gen letal dominan dalam keadaan
heterozigot dapat menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedang
gen letal resesif cenderung menghasilkan fenotip normal pada individu
heterozigot.
Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam redep
(creeper) yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek serta mempunyai
genotip heterozigot (Cpcp). Dalam hal ini interaksi pasangan CC (homozigot
dominan) bersifat lethal. Ayam dengan genotip CpCp mengalami kematian
pada masa embrio. Apabila sesama ayam redep dikawinkan maka akan
diperoleh keturunan dengan nisbah fenotip ayam redep (Cpcp) : ayam normal
(cpcp) = 2 : 1. Hal ini dikarenakan ayam dengan genotip CpCp tidak pernah
ada.
Contoh pasangan yang sama sama resesif dan interaksinya bersifat
lethal resesif adalah pasangan faktor hemofili karena memiliki pasangan faktor
hh (hemofili resesif). Tidak ada individu wanita yang terlahir sebagai penderita
yang terlahir sebagai penderita hemofili karena memilki pasangan faktor hh.
Sedangkan penderita wanita hemofili yang dapat bertahan hidup adalah yang
memiliki genetip heterozigot (Hh = Hemofili Carier) (Corebima, 2013).
Interaksi lethal juga terjadi pada tanaman jagung (Zea Mays) daun berwrna
putih. Interaksi pasangan faktor (gen) gg pada tanaman jagung menyebabkan
tanaman jagung berdaun putih dan akan mati karena tidak dapat melakukan
fotosintesis. (Suryo 1986).
Peristiwa lethal dominan yang terjadi pada gengen yang memiliki
pengaruh lethal pada individuindividu heterozigot. Dari contoh interaksi
lethal menunjukkan bahwa sifat lethal bisa bersifat resesif atau dominan
apabila mengenai genotip yang homozigot. Bahkan peristiwa lethal dominan

11

dapat terjadi pada indivu individu yang heterozigot. Kematian pada individu
yang mempunyai gen lethal juga disebabkan mutasi lethal, yaitu mutasi
biokimiawi. (Clug dan Cummings, 1994 dalam Corebima 2000) mutasi
biokimiawi dapat menimbulkan variasi nutrisional atau biokimiawi yang
menyimpang dari kondisi normal. Contoh kelompok atau macam mutasi ini
antara lain ditemukan pada bakteri dan jamur. Ketidakmampuan bakteri
ataupun jamur mensintesis suatu asam amino ataupun vitamin adalah salah satu
contohnya. Pada manusia kelainan hemofili adalah salah satu contoh mutasi
biokimiawi.
Gen yang mengalami mutasi letal umumnya tidak mampu menghasilkan
bentuk aktif protein yang tak dpat ditiadakan . pada organisme haploid, hal ini
berarti bahwa mutan itu sendiri atau keturunan mitosiis yang terdekat tidak
akan tahan hidup. Mutasi-mutasi pada gen-gen yang tak dapat ditiadakan
harus diisolasi pada haploid sebagai letal bersyarat. Mutasi letal diploid
memiliki

kemampuan

membunuh

organisme

secara

langsung

atau

mengahalanginya dari berbiak (kematian genetik). Organisme yang seperti ini


dikenal dengan steril (Goodenough, 1988).

BAB III

12

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS


3.1 Kerangka Konseptual
Untuk memudahkan pengerjaan proyek penelitian ini, maka peneliti
menggunakan kerangka konseptual, sebagai berikut:
Interaksi lethal antara faktor-faktor (sepasang) yang dapat berpengaruh
terhadap viabilitas tiap individu sehingga berakibat matinya individu yang
bersangkutan secara cepat atau lambat

Faktor-faktor sepasang yang interaksinya bersifat letal dikenal dengan faktor letal (gen
.letal)

Interaksi yang terjadi antar gen dapat bersifat lethal dominan atau lethal resesif.

Persilangan Drosophila melanogaster strain N dan Pm

N X N

Pm X Pm

N X Pm

N X Pm

Pengamatan dan penghitungan jumlah fenotip F1 dan F2

Mencatat data hasil pengamatan ke dalam tabel pengamatan

Analisis data dengan rekonstruksi kromosom dan analisis statistika Chi-square

Pembahasan
13

Kesimpulan

3.2 Hipotesis
1. Fenotip F1 dan F2 dari Drosophila melanogaster pada persilangan N
><N yang muncul adalah 100% N (normal), pada persilangan Pm><
Pm fenotip yang muncul adalah N dan Pm, dan N >< Pm beserta
dengan resiproknya fenotip yang muncul adalah N dan Pm.
2. Terjadi fenomena lethal dominan pada Drosophila melanogaster strain Pm
homozigot dominan pada persilangan Pm>< Pm.

BAB IV
METODE PENELITIAN

14

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian yang kami lakukan merupakan penelitian yang bersifat
deskriptif kuantitatif yaitu dengan melakukan pengamatan fenotip F1 dan F2
dan juga menghitung jumlah anakan Drosophila melanogaster yang dihasilkan
dari persilangan strain N ><N, Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta dengan
resiproknya.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari awal bulan
Februari 2014 sampai bulan April 2014.
2. Tempat penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika (BIO 310) Jurusan
Biologi FMIPA UM.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah lalat buah Drosophila melanogaster,
sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophila
melanogaster starin N dan Pm.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Variabel BebasPersilangan Drosophila melanogaster strain N ><N,
Pm>< Pm, dan N >< Pm beserta dengan resiproknya.

Variabel Kontrol
Jenis umur Drosophila melanogaster, tempat perlakuan, medium,
intensitas cahaya, dan suhu adalah sama.
4.5 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mikroskop Stereo

10. Blender

2. Botol Selai 11. Panci


3. Tutup botol dari spon

12. Entong kayu

4. Kuas 13. Kompor

15

5. Kain Kasa 14. Timbangan kue


6. Sedotan selang plastik

15. Pisau

7. Selang Ampul

16. Senter

8. Kulkas

17. Plastik

9. Kuas kecil 18. Kardus tempat botol


Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian kami sebagai berikut:
1. Drosophila melanogaster strain N dan strain Pm
2. Pisang rajamala
3. Tape
4. Gula merah
5. Kertas kupasi
6. Yeast atau Vermipan
7. Air
8. Kertas label
4.6 Prosedur Kerja
4.6.1 Pembuatan Medium

Menimbang bahan yang diperlukan yaitu pisang rajamala, tape singkong,

dan gula merah dengan perbandingan 7:2:1 untuk satu resep.


Memotong-motong pisang kemudian menambahkan air secukupnya lalu
menghaluskannya dengan tape singkong dengan cara memblender sampai

halus.
Mengiris gula merah dengan potongan kecil-kecil dan mencairkannya pada

panci yang diberi sedikit air dengan cara dipanaskan sampai mencair
Memasukan hasil blenderan pisang dan tape singkong yang telah dihaluskan
ke dalam panci. Menambahakan gula yang telah dicairkan tadi ke dalam

panci dan memasaknya selama 45 menit sambil terus diaduk.


Mengangkat medium dari kompor, kemudian mengisi botol selai yang
sebelumnya sudah di cuci dan di keringkan dengan medium dan ditutup

dengan gabus penutup


Mendinginkan medium dengan cara memasukkan botol pada bak atau

baskom yang berisi air secukupnya.


Menaburi medium dengan yeast setelah dingan sebanyak 4-5 butir

16

Memasukkan kertas pupasi dalam botol biakan dan segera menutupnya


kembali.

4.6.2

Peremajaan Stok
Mengambil stok dari laboratorium
Membiakkan stok dengan meremajakan stok
Memasukkan beberapa pasang lalat dari stok utama ke botol calon stok.
Memebri label pada bagian luar botol
Menungu beberapa hari sampai berkembang biak

4.6.3

Pengampulan
Mengambil persediaan dari botol stok untuk dilakukan pengampulan
Jika sudah ada pupa hitam maka dilakukan pengampulan dengan cara,

memasukkan irisan kecil pisang raja mala ke dalam selang ampul.


Mengambil pupa yang menghitam menggunakan kuas kecil dan
memasukkan ke dalam selang ampul yang berisi irisan pisang. Sebaiknya
kuas yang digunakan berbeda tiap strain memperkecil terjadinya

kontaminasi
Menutup selang ampul dengan potongan gabus
Menunggu pupa sampai menetas yang selanjutnya bisa langsung
disilangkan

4.6.4

Persilangan F1
Menyiapkan botol yang sudah berisi medium
Menyiapkan ampulan yang sudah menetas dan siap untuk disilangkan
Memasukkan lalat hasil ampulan yang akan disilangkan sesuai dengan
strainnya dan sesuai dengan tipe persilangan yang diinginkan (usia lalat

hasil ampulan maksimal 3 hari)


Memberi label pada tiap botol persilangan
Membuat 7x ulangan untuk tiap jenis persilangan
Melepaskan lalat jantan setelah 2 hari persilangan
Menunggu sampai terdapat larva, lalu memindahkan betina ke medium

baru (dianggap medium B) jika terdapat larva


Memindahkan betina sampai botol D (botol kekempat) jika pada botol

sebelumnya terdpat larva lalat seperti pada botol A tadi


Jika terdapat pupa (pada medium A) yang menghitam sebagiannya diampul
untuk persilangan P2 dan sebagian lagi dibiarkan menetas untuk diamatai
fenotipnya

17

4.6.5

Menghitung dan mencatat fenotip

persilangan untuk setiap ulangan selama 7 hari (hari ke-0 sampai ke-6)
Memasukkan data dalam tabel F1

F1 yang muncul pada tiap-tipe

Persilangan F2
Menyilangkan hasil ampulan dari F1 sesuai dengan fenotip yang muncul

pada tiap tipe persilangan untuk setiap ulangan, kemudian diberi label
Melepaskan jantan setelah 2 hari persilangan
Memindahkan induk betina pada medium yang baru (medium B) setelah

muncul pupa dan memberi label


Prosedur memindah betina sama dengan pada prosedur pada F1
Menghitung dan mencatat fenotip F2 yang muncul pada tiap tipe
persilangan untuk setiap ulangan selama 7 hari (hari ke-0 sampai ke-6).

4.7 Teknik Pengumpulan Data


Dalam teknik pengumpulan ditungan data dengan cara melakukan
pengamatan dan penghitungan jumlah fenotip Fi dan F2 yang muncul dari hari
ke-0 sampai hari ke-6 (selam 7 hari). Pengamatan jumlah anakan yang muncul
ini dilakukan pada botol A sampai botol D. Kemudian mencatat data hasil
pengamatan tersebut pada tabel pengamatan.
Tabel Data persilangan F1 Drosophila melanogaster
Parental

strain

N >< N

Pm><Pm

pm

N><Pm N

pm
N><Pm N
Pm

Ulangan

18


Tabel Data persilangan F1 Drosophila melanogaster
Parental

strain

N >< N

Pm><Pm

pm

N><Pm N

Ulangan
1

pm
N><Pm N
Pm

4. 8 Teknik Anlisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan rekonstruksi persilangan kromosom yang meliputi strain
N><N, Pm>< Pm, dan N >< Pm , dan N ><Pm dan juga untuk

menguji rasio hipotesisnya diterima atau tidak menggunakan uji statistika


berupa uji Chi-square.

19

BAB V
DATA DAN ANALISIS DATA
5.1 Hasil Pengamatan
Pada penelitian ini kami menggunakan Drosophila melanogaster dengan
strain Pm dan N. Dari hasil pengamatan fenotip yang kami lakukan diperoleh
data sebagai berikut:
1. Strain Pm

(dokumen pribadi, 2014)

Warna mata
Warna tubuh
Keadaan Sayap
Fasat mata

: Ungu
: kuning kecoklatam
: menutupi tubuh sempurna
: halus teratur

2. Strain N

20

(dokumen pribadi, 2014)

Warna mata
: merah
Warna tubuh
: kuninga kecoklatan
Keadaan Sayap : menutupi tubuh sempurna
Fasat mata
: halus teratur
Selain mengamati fenotip dari Drosophila melanogaster kita juga

menghitung rasio anakan yang dihasilkan dari masing-masing botol


persilanagn. Penghitungan dimualai dari hari pertama pupa menetas sampai
hari ketujuh. Berikut merupakan data sementara jumlah hasil anakan, akan
tetapi data ini masih sementara (belum lengkap) dikarenakan proses penelitian
belum selesai. Berikut adalah data pengamatan pada persilanagan F1:
No
Parental
1.
2

N >< N
Pm><Pm

strain
N
N
Pm

N><Pm

N
Pm

N><Pm

N
Pm

Ulangan

(jumlah)

1
33

2
55

3
36

4
70

5
72

6
75

7
75

21
3
3
25
27
11

93
63

42
48

57
75

74
2
3
21
23
9

83
1
1
14
28
24

62
59

22
2
76
80
12
11

51
18
13
89
90
19
30

40
5
7
13
7
1
-

75
16
20
55
84
8
19

18
2
4
32
46
1
6

28
3
5
87
51
12
14

49
17
17
-

Hasil perhitungan anakan persilangan F2 sebagai berikut:

21

849
151

703

853

No

Parental

strain

Ulangan

(jumlah
)

N >< N

Pm><Pm

N
Pm

N><Pm

N
Pm

N><Pm

N
Pm

1
50

2
-

3
-

4
35

5
-

6
-

7
-

71
54

42

37

51
15

75

55

28

36
11
2
104
132
21
27

72
7
11
60
55
11
16

26
2
8
64
54
8
19

7
1
2
78
93
25
22

97
16
18
-

46
14
9
-

26
10
12
-

5.2 Analisis Data


5.2.1 Rekontruksi Kromosom
a. Persilangan N ><N
P1 : N x N
Pm Pm
Pm Pm
G1 :
x
Gamet: Pm , Pm
F1:

Pm

Pm

Pm
Pm

(N)

Rasio: 100% N

P2 : N x N
Pm
Pm
Pm
Pm
G1 :
x
22

207
0

636
123
789

Gamet : Pm , Pm
F2 :

Pm

Pm

Pm
Pm

(N)

Rasio: 100% N
b. Persilangan Pm >< Pm
P1 : Pm x Pm
Pm
Pm
Pm
Pm
G1 :
x
Gamet : Pm+, Pm , Pm+, Pm
F1 :

Pm+

Pm+

Pm

Pm
Pm

Pm
Pm
(Pm

homozigot

(Pm heterozigot)

lethal)

Pm

Pm
Pm

Pm
Pm
(Pm heterozigot)

(N)

Hasil rasio 1 : 2 : 1 apabila dikaji berdasarkan hukum mendel I, tetapi

dengan adanya gen dominan letal (

Pm
Pm

2:1

P2 : Pm x Pm
Pm
Pm
Pm
Pm
G2 :
x
Gamet: Pm+ Pm , Pm+ Pm
F2 :

23

) maka rasionya menjadi Pm : N =

Pm+

Pm+

Pm-

Pm
Pm

Pm
Pm
(Pm

homozigot

(Pm heterozigot)

lethal)

Pm

Pm
Pm

Pm
Pm
(Pm heterozigot)

(N)

Hasil Rasio 1 : 2 : 1 apabila berdasarkan hukum mendel I, dengan adanya

gen letal dominan (

Pm
Pm

) maka rasio menjadi Pm : N = 2 : 1

c. Persilangan N >< Pm
P1 : N x Pm
Pm
Pm
Pm
Pm
G1 :
x
Gamet : Pm , Pm+ , Pm
F1 :

Pm+

Pm

Pm

Pm

Pm
Pm

Pm
Pm

(Pm

heterozigot)

heterozigot)

Pm
Pm

Pm
Pm

(N)

Rasio: Pm : N = 1 : 1

(Pm

P2 : N x Pm
Pm
Pm
Pm
Pm
G2 :
x
Gamet : Pm+ , Pm ,Pm, Pm

24

(N)

F2 :

Pm+

Pm

Pm

Pm

Pm
Pm

Pm
Pm

(Pm

heterozigot)

heterozigot)

Pm
Pm

Pm
Pm

(N)

Rasio: Pm : N = 1 : 1
d.

Persilangan N >< Pm
P1 : N >< Pm
Pm
Pm
Pm
Pm
G1 :
x
Gamet : Pm , Pm+ Pm
F1 :

Pm+

Pm
Pm
Pm

(Pm

heterozigot)

Pm

Pm
Pm

(N)

Rasio : Pm : N = 1:1

(Pm

P2 : N x Pm
Pm
Pm
Pm
Pm
G:
x
Gamet : Pm , Pm+ , Pm
F2:

25

(N)

Pm+

Pm
Pm
Pm

(Pm

heterozigot)

Pm

Pm
Pm

(N)

Rasio : Pm : N = 1 : 1

P2 : N >< Pm
Pm Pm
Pm
Pm
G:
x
Gamet : Pm , Pm+ , Pm
F2:

Pm+

Pm
Pm
Pm

(Pm

heterozigot)

Pm

Pm
Pm

(N)
Rasio : Pm : N = 1:1
5.2.2

Uji 2 (Chi-Square)
1. Persilangan P1: N x N
N x N
1
N

53

2
14
8

3
78

12

14

158 137

F0
Total
849
849

26

Fh

(fo-fh)2

(fo-fh)2/fh

2 tabel (0,05) =12,592


2 hitung (0) < 2 tabel (0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2

hitung

lebih kecil dari 2tabel

(0,05).

Jadi, hipotesis penelitian

diterima. Bahwa persilangan Drosophila melanogaster P1 : N >< N


menghasilkan F1 dengan fenotip N dengan rasio 100% N.
2. Persilangan P1: Pm x Pm
Pm x Pm

N
Pm

6
52

0
0

0
0

0
0

5
44

2
42

0
0

F0
Total
13
138
151

Fh
50,3333
100,667

(fo-fh)2

(fo-fh)2/fh

1393,778 27,6909492
1393,778 13,8454746
41,5364238

2 tabel (0,05) =12,592


2 hitung (41,5364238) > 2 tabel (0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2

hitung

lebih besar dari 2tabel

(0,05).

Jadi, hipotesis penelitian

ditolak. Bahwa persilangan Drosophila melanogaster P1: pm x pm


menghasilkan F1 dengan fenotip Pm : N rasio perbandingannya bukan 2 : 1
3. Persilangan P1: N x Pm (mengacu pada Hukum Mendel I)
N x Pm
F0
1
N
Pm

33
2

2
114
31

88 150
12 36

5
27
6

6
52
8

Tota

Fh

(fo-fh)2

108
34

l
574
129
703

351,5
351,5

49506,25 140,842817
49506,25 140,842817
281,685633

2 tabel (0,05) = 12,592


2 hitung (281,685633) > 2 tabel (0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2

hitung

lebih besar dari pada 2tabel (0,05). Jadi, hipotesis penelitian

ditolak. Bahwa persilangan Drosophila melanogaster pada P1: N x Pm


menghasilkan F1 dengan fenotip N : Pm dengan rasio perbandingan 1 : 1.

27

(fo-fh)2/fh

4. Persilangan P1: Pm x N (mengacu pada Hukum Mendel I)


Pm x N
1
N
Pm

156 179
23 49

21 139
1
27

80 138
7
26

7
0
0

F0
Total
710
143
853

Fh

(fo-fh)2

(fo-fh)2/fh

426,5
426,5

80372,25 188,446073
80372,25 188,446073
376,8921454

2 tabel (0,05) = 12,592


2 hitung (376,8921454) > 2 tabel (0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2

hitung

lebih besar dari 2tabel

Jadi, hipotesis penelitian

(0,05).

ditolak. Bahwa persilangan Drosophila melanogaster pada P1: Pm x N


menghasilkan F1 dengan fenotip N : Pm dengan rasio perbandingan 1 : 1.
5. Persilangan P2: N >< N
N x N

121

86

F0
Total
207
207

Fh

(fo-fh)2

(fo-fh)2/fh

207

0
0

2 tabel (0,05) = 12,592


2 hitung (0) < 2 tabel (0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2

hitung

lebih kecil dari 2tabel

Jadi, hipotesis penelitian

(0,05).

diterima. Bahwa persilangan Drosophila melanogaster P2 :

N x N

menghasilkan F2 dengan fenotip N dengan rasio 100% N.

6. Persilangan P2: N x Pm (mengacu pada Hukum Mendel I)


N x Pm
F0
1

Tota
l

28

Fh

(fo-fh)2

(fo-fh)2/fh

90

114

73

22

Pm

13

18

10

17

10

2
34

1
23

54

636

379,5

65792,3

173,365613

22

123
759

379,5

65792,3

173,365613
346,7312253

2tabel(0,05) = 12,592
2hitung (346,7312253) > 2tabel (0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2hitung lebih besar dari 2tabel (0,05). Jadi, hipotesis penelitian ditolak.
Bahwa persilangan D. melanogaster pada P2: N x pm menghasilkan F2
dengan fenotip N : Pm dengan rasio perbandingan 1 : 1.
7. Persilangan P2: Pm x N (mengacu pada Hukum Mendel I)
Pm x N
1
N
Pm

236 115
48 27

118
27

171
47

0
0

0
0

0
0

F0
Total
640
149
789

Fh

(fo-fh)2

(fo-fh)2/fh

394,5
394,5

60270,3
60270,3

152,776299
152,776299
305,5525982

2tabel(0,05) = 12,592
2hitung (305,5525982) > 2tabel(0,05) (12,592)
Kesimpulan: 2hitung lebih besar dari 2tabel (0,05). Jadi, hipotesis penelitian ditolak.
Bahwa persilangan Drosophila melanogaster pada P2 : Pm x N
menghasilkan F2 dengan fenotip N : Pm dengan rasio perbandingan.
BAB VI
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data yang telah dilakukan
dengan rekonstruksi kromosom dan uji 2 (Chi-Square) untuk melihat pengaruh
rasio fenotip dengan hukum mendel I.

Drosophila melanogaster strain N

memiliki ciri warna mata merah, tubuh kuning kecoklatan, sayap menutupi tubuh
dengan sempurna, dan fasat mata halus teratur. Strain N ini merupakan strain yang
termasuk dalam wild type. Sedangkan Drosophila melanogaster strain Pm
memiliki ciri warna mata ungu kemerahan, tubuh kuning kecoklatan, sayap

29

menutupi tubuh dengan sempurna dan fasat mata halus teratur. Strain Pm ini
terletak pada kromosom 3.
Dari hasil analisis data berupa rekonstruksi kromosom dan uji Chi-square
diperoleh hasil bahwa strain N berada dalam keadaan homozigot resesif.
Sedangkan strain Pm berada dalam keadaan heterozigot dominan. Pada
persilangan N><N menghasilkan keturunan F1 dan F2 dengan fenotip N
homozigot resesif dengan rasio 100% N. Setelah diuji menggunakan uji 2 (ChiSquare) menghasilkan 2

hitung

(0) lebih kecil dari 2

tabel (0,05)

(12,592). Hal ini

berarti hipotesis penelitian diterima, bahwa rasio N 100%. Bukti yang


menunjukkan bahwa strain N dalam keadaan homozigot yaitu pada hasil anakan
dari persilangan F1 dan F2 N><N memilki fenotip 100% N homozigot. Bukti
yang menunjukkan bahwa gen pada strain N bersifat resesif adalah dari hasil
rekonstruksi persilangan N><Pm beserta resiproknya yang menghasilkan
keturunan F1 dan F2 dengan rasio perbandingan antara N : Pm (1:1).
Rasio perbandingan fenotip tidak akan 1:1 jika N dalam keadaan
homozigot dominan melainkan akan menghasilkan anakan yang 100% N
heterozigot. Padahal dari pengamatan hasil anakan menunjukkan bahwa
persilangan N><Pm beserta resiproknya menghasilkan strain N dan Pm. Strain
N ini juga merupakan galur murni seperti yang dikemukakan oleh J.G. Mendel
berpendapat bahwa galur murni bersangkut paut dengan homozigositas pasangan
galur gen. Sedangkan menurut gardner dkk. (1984) pada tahun 1903 Johannsen
mengemukaakn postulatnya, dikatakan galur murni adalah populasi-populasi yang
merupakan turunan murni tanpa adanya variasi genetik yang berarti. Bukti lain
yang menunjukkan strain N bersifat resesif yaitu pada persilangan Pm><Pm
yang menghasilkan keturunan F1 dan F2 dengan ratio perbandingan N : Pm (1 :
2). Ratio perbandingan fenotip tidak akan 1 : 2 apabila N dalam keadaan
homozigot dominan.
Pada persilangan strain N><Pm beserta resiproknya menunjukkan
bahwa strain Pm pada Drosophila melanogaster bersifat dominan. Dominan
merupakan suatu sifat yang mengalahkan sifat yang lain (Corebima; 2013). Hal
ini ditunjukkan pada persilangan N><Pm dan resiproknya menghasilkan
keturunan dengan rasio 1 : 1. Apabila strain Pm ini bersifat resesif maka pada

30

persilangan ini strain Pm tidak akan muncul, melainkan akan menghasilkan


anakan N 100% heterozigot.
Pada persilangan Pm><Pm, Drosophila melanogaster strain Pm berada
dalam keadaan heterozigot. Suatu karakter heterozigot adalah yang dikontrol oleh
dua gen (sepasang) tidak identik (berlainan) (Corebima, 2013). Strain Pm dalam
keadaan heterozigot dapat terbukti pada hasil persilangan Pm><Pm yang
diperoleh, menghasilkan anakan Pm dan yang memilki rasio fenotip 2 : 1. Rasio
perbandingan ini setelah di analisis dengan uji 2(Chi-Square) menghasilkan 2
hitung

lebih besar dari 2tabel (0,05) sehingga hipotesis penelitian ditolak bahwa rasio

perbandingan fenotip F1 dan F2 pada Pm : N yaitu 2 : 1. Hal ini bisa terjadi


karena data yang diperoleh belum lengkap pada beberapa ulangan. Pada
persilangan Pm><Pm rasio anakan pada F1 dan F2 jika dianalisis dengan
rekonstruksi kromosom maka akan menghasilkan perbandingan fenotip Pm
(homozigot dominan) : Pm (heterozigot) : N(homozigot resesif) yaitu 1 : 2 : 1.
Apabila dikaji berdasarkan hukum Mendel I rasio perbandingan tersebut
seharusnya 3 : 1.
Akan Tetapi berdasarkan uji 2 (Chi-Square), hasil yang diperoleh
menyimpang dari rasio perbandingan hukum Mendel I karena generasi keturunan
yang memiliki gen homozigot dominan bersifat lethal sehingga fenotipnya tidak
bisa diamati. Menurut Corebima (1997) interaksi yang berlangsung antara faktorfaktor yang sama-sama dominan disebut interaksi lethal dominan yang
menyebabkan individu yang memiliki gen tersebut mengalami kematian. Pada
strain Pm homozigot dominan berada dalam keadaan letal, hal ini menyebabkan
kematian pada Drosophila melanogaster. Lethal dominan sendiri adalah gen yang
pengaruh kematiannya terjadi karena alel dominan dalam individu heterozigot
(Crowder; 1990;66). Sehingga pada persilangan Pm><Pm hasil fenotip anakan
yang dapat teramati adalah Pm heterozigot dan N homozigot resesif dengan rasio
perbandingan 2:1. Pm heterozigot disini dapat hidup karena masih terpaut sifat
resesif yang dari sifat N homozigot resesif.
Pada strain Pm, warna mata ungu ini disebabkan karena terjadinya
kerusakan pada kromosom somatis nomor 2 yang mana terdapat gen rosy. Gen
rosy merupakan gen yang mengkode sintesis enzim Xanthine dehydrogenase

31

(XDH). XDH ini berperan dalam sintesis pigmen warna mata merah pada
Drosophila melanogaster (Reaume, Knecht, dan

Chovnick, 1991). Gen rosy

membawa informasi koding untuk Xanthine dehidrogenase ( XDH ) yang


merupakan homodimer dengan berat molekul subunit 150.000 dalton. Aktivitas
XDH yang besar dibutuhkan saat pembentukan pigmen mata. Beberapa zat
dipancarkan dari jaringan rosy yang mampu memproduksi pigmen warna mata
normal pada cakram mata yang mutan (Handorn and Schwinck, 1956). Apabila
gen rosy pada salah satu kromosom homolog tersebut rusak maka enzyme XDH
tidak dapat disintesis secara optimum sehingga pigmen mata tidak lagi diproduksi
dalam keadaan warna merah melainkan berubah menjadi warna lain dan salah
satunya warna mata yang terekspresi adalah ungu .
Apabila gen rosy pada kedua kromosom homolog tersebut rusak maka
enzyme XDH tidak dapat disintesis sama sekali yang dapat menyebabkan
kematian pada Drosophila melanogaster. Enzim Xanthine dehidrogenase (XDH)
mengkatalisis oksidasi xanthine menjadi asam urat. asam urat telah terbukti
memilki sifat anti-oksidatif penting menjaga terhadap kerusakan oksidatif pada
lipid, protein dan asam nukleat (Zhou dan Riddiford, 2012). Gen Rosy mengkode
XDH pada Drosophila melanogaster. XDH memilki efek perlindungan yang
berhubungan dengan ROS dimana Enzim XDH menghambat pembentukan ROS.
ROS adalah molekul yang tidak berpasangan dan oleh karena itu sangat tidak
stabil dan sangat reaktif.
Kerusakan dominan akibat serangan ROS dikenal dengan stress oxidative,
sedangkan faktor yang dapat melindungi jaringan terhadap ROS disebut
antioksidant. ROS secara kimia dapat memodifikasi secara langsung asam amino
dalam protein, antibody yang dihasilkan akan bereaksi silang dengan protein dari
jaringan normal, sebagai awal munculnya berbagai penyakit autoimune. (Bender
DA, 2009). XDH memiliki peran penting dalam respon imun bawaan/ kekebalan
tubuh lalat terhadap infeksi atau radikal bebas. Selain itu XDH juga berperan
penting dalam respon imun bawaan dan usia yang terkait proses penuaan.
Penuaan terjadi sebagi akibat efek buruk dari radikal bebas oksigen yang
dihasilkan selama metabolisme. Proses penuaan juga terkait respon imun bawaan

32

yang mungkin disebabkan hilangnya sebagian, aktivitas XDH. (Zhou dan


Riddiford, 2012).
Penyebab terjadinya lethal disebabkan adanya mutasi biokimiawi. Mutasi
ini dapat menimbulkan variasi nutrisional atau biokimiawi yang menyimpang dari
kondisi normal. Efek mutasi lethal dapat terekspresi pada berbagai tingkat
perkembangan selanjutnya sepanjang hayat makhluk hidup dan mutasi tersebut
dapat mempengaruhi berbagai jaringan, pola perilaku ataupun proses metabolik.
(Levine, 1986).
Tamarin (2002) mengungkapkan biasanya organisme heterozigot dari gen
letal adalah normal karena salah satu dari gen dapat memproduksi enzim yang
fungsional. Sifat lethal dapat muncul apabila gen rosy pada kedua kromosom
homolog tersebut rusak maka enzyme XDH tidak dapat disintesis sama sekali
sehingga terjadi kegagalan dalam membentuk sistem imun yang dapat
menyebabkan kematian pada

Drosophila melanogaster. Penyebab terjadinya

lethal disisni karena adanya mutasi biokimiawi. Mutasi ini dapat menimbulkan
variasi nutrisional atau biokimiawi yang menyimpang dari kondisi normal gen
organisme tersebut.
Hal-hal

tersebut

menyebabkan

ketidakmampuan

organisme

untuk

mensintesis suatu asam amino atau protein sehingga dapat mengakibatkan suatu
sel atau organisme tidak dapat hidup atau mati pada saat tahap perkembangan.
Protein yang seharusnya dihasilkan sangat berperan penting untuk metabolisme di
dalam tubuh dan perkembangan fisiknya, viabilitas serta imunitas tubuh, karena
terjadi mutasi letal sehingga keseimbangan metabolisme dalam tubuh makhluk
hidup terganggu. Kerena tidak dihasilkannya protein tertentu yang berperan dalam
menjaga viabilitas dan imunitas tubuh, maka organisme tersebut akan mati.
Kematian ini dapat terjadi segera setelah terjadi fertilisasi namun bisa juga embrio
dapat bertahan sampai beberapa tingkat perkembangan tertentu.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa Drosophila
melanogaster strain Pm dalam keadaan heterozigot dominan, sehingga dia dapat

33

hidup. Sedangkan fenotip Pm homoziot dominan

Pm
Pm

bersifat letal sehingga

tidak ditemukan dalam keadaan hidup pada hasil persilangan Pm><Pm.

BAB VII
PENUTUP

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat dapat ditarik
kesimpulan bahwa:

34

1.

Fenotip yang muncul pada F1 dan F2 dari persilangan Drosophila


melanogaster strain N ><N adalah N (homozigot resesif), persilangan
Pm >< Pm adalah Pm (heterozigot) dan N (homozigot resesif) dan
persilangan N >< Pm beserta dengan resiproknya adalah Pm
(heterozigot) dan N (homozigot resesif).

2.

Rasio perbandingan fenotip pada F1 dan F2 dari persilangan


Drosophila melanogaster strain N ><N adalah 100% N (normal),
persilangan Pm >< Pm adalah Pm : N rasio 2 : 1 dan persilangan N
>< Pm beserta dengan resiproknya adalah Pm : N rasio 1 : 1.

3.

Fenomena yang terjadi dari persilangan Drosophila melanogaster


strain Pm >< Pm adalah fenomena lethal dimana yang membawa sifat
lethal adalah strain Pm homozigot dominan yang merupakan lethal
dominan.

7.2 Saran

Dalam melakukan penelitian medium yang dipakai diusahakan selalu


baru atau segar, sehingga Drosophila melanogaster cepat bertelur dan

tidak mati.
Membersihkan dan mencuci botol dengan bersih dan melakukan proses

sterilisasi dengan baik agar medium tidak terkena kutu.


Pengamatan fenotip dilakukan dibawah mikroskop atau lup agar hasilya

lebih akurat.
Peneliti harus lebih teliti, sabar, dan cermat pada saat menghitung anakan
hasil persilangan agar data yang diperoleh akurat.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim.

2012.

Penampakan

Lalat

Buah

betina

dan

Jantan.

http://www.taniorganik.com/lalat-buah-bactrocera-sp/penampakan-lalatbuah-betina-kiri-dan-jantan-kanan/ (online) diakses 15 April 2014

35

Bender DA. Free Radicals An Antioxidant Nutrients. In: Murray K, Bender DA,
Botham KM, et al. Eds. Harpers Illuustrated Biochemistry, Ed 28th Mc
Graw Hill Lange2009;48286
Chovnick, A., S. H. Clark, F. L. Dutton, Jr. and A. G. Reaume. 1990. The rosy
locus and xanthine dehydrogenase in Drosophila melanogaster. Prog.
Clin. Biol. Res. 344: 118.
Corebima, A.D. 1997. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press
Corebima, A. D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya : Airlangga University Press
Elrod, S , Stansfield, W. 2002. Schaums Outlines of theory Problems of Genetics,
fourth edition. The Mc. Graw-Hill Companies.
Gardner, E.J., Snustad, D.E. & Simmons, M.J. 1991. Principles of Genetics
.Kanada: John Willey & Sons, Inc. hlm 289-317.
Goodenough. 1988. Genetika Edisi ke tiga. Jilid I. Terjemahan oleh Adisoemarto.
Jakarta : Erlangga
Storer, Tracy I and usinger, Robert L. 1957. General Zoologi 3rd edition. New
York: Mc Graw Hill Book Company.
Suryo. 2004. Genetika. Yogyakarta: Gajah Mada Universuty press
Tamarin. R. H, 2002. Genetics A Molekuler Approach. Fong and Song Pouled
Ltd. Singapore

36

37

Anda mungkin juga menyukai