Anda di halaman 1dari 39

FENOMENA INTERAKSI GEN “EPISTASIS” PADA PERSILANGAN Drosophila

melanogaster STRAIN eym >< Bar3 dan cl >< wa

LAPORAN PROYEK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Genetika I
yang Dibina oleh Ibu Prof. Dr. Siti Zubaidah, M. Pd dan Bapak Andik Wijayanto, S.Si, M.Si

Oleh:
Kelompok 13 /Offering C/P.Biologi/ 2016
Elvira Harum Permatasari (160341606012)
Erlinda Eri (1303161820 )
Yulia Dewi Saputri (160341606020)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
April 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca , dan semoga ke depannya dapat menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharap saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaa makalah ini.

Malang, 11 Mei 2018


Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

Cover……………………………………………………………………………………………… i

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………. ii

Daftar Isi…………………………………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………….1


1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………....1
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………………..2
1.4 Manfaat ………………………………………………………………………………2
1.5 Batasan Masalah ……………………………………………………………………..2
1.6 Asumsi Penelitian ……………………………………………………………………3
1.7 Definisi Operasional………………………………………………………………….3
BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………………...5

2.1 Kajian Pustaka……………………………………………………………………….5

2.2 Kerangka Konseptual ………………………………………………………………..5

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ………………………………………………………………12

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………………………...12

3.3 Populasi dan Sampel ………………………………………………………………..12

3.4 Instrumen Penelitian ………………………………………………………………..12

3.4.1 Alat Penelitian ……………………………………………………………….12

3.4. 2 Bahan Penelitian ……………………………………………………………..12

3.5 Prosedur Kerja ………………………………………………………………………13

3.5.1 Pembuatan Medium ……………………………………………………………13


3.5.2 Pengamatan Fenotip…………………………………………………………13

3.5.3 Peremajaan …………………………………………………………………14

3.5.4 Pengampulan ………………………………………………………………..14

3.5.5 Penyilangan……………………………………..............................................14

3.6 Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………………..15

3.7 Teknik Analisis Data………………………………………………………………17

3.8 Hipotesis Penelitian ……………………………………………………………….17

BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA…………………………………………………….18

4.1 Data Pengamatan ………………………………………………………………….18

4.2 Analisis Data ………………………………………………………………………21

BAB V PEMBAHASAN ……………………………………………………………………...26

BAB VI PENUTUP …………………………………………………………………………..31

6.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………...31

6.2 Saran ……………………………………………………………………………….32

DAFTAR RUJUKAN …………………………………………................... ………………….33


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Genetika adalah ilmu yang mempelajari tentang pewarisan sifat yang mencakup struktur dan
fungsi gen serta pewarisan gen-gen dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Corebima
(1997) genetika merupakan suatu ilmu cabang biologi yang mengkaji materi genetic, reproduksi,
ekspresi, struktur, perubahan dan rekombinasi, keberadaan dalam populasi serta perekayasaan
gen. Genetika sebagai ilmu bioogi memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan sangat pernitng,
karena genetika merupakan inti dalam biologi.

Drosophila melanogaster banyak digunakan dalam penelitian genetika. Alasannya karena


populasi Drosophila melanogaster yang sangat besar, mempunyai daur hidup yang sangat cepat,
lalat buah mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, individu betina dapat menghasilkan ratusan
telur (Kimball, 1992). Selain itu ada satu hal yang menarik pada Drosophila melanogaster adalah
ditemukannya kromosom raksasa pada kelenjar ludah dan saluran malphigi pada tubuh hewan ini.
Drosophila melanogaster memiliki panjang tubuh sekitar 3 mm, berkembang biak secara seksual,
memiliki banyak variasi strain.
Interaksi gen adalah penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan
modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja
sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik. Selain terjadi interaksi antar alel, interaksi juga
dapat terjadi secara genetik. Selain mengalami berbagai modifikasi rasio fenotipe karena adanya
peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak
melibatkan modifikasi rasio fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan
hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik (Suryo, 2001).
Salah satu fenomena yang menunjukkan adanya interaksi gen adalah peristiwa epistasis,
Gardner, dkk (1984) dalam Corebima (2003) mengemukakan bahwa epistasis adalah interaksi
antara faktor-faktor (gen) yang berbeda (tidak sealela). Epistasis pertama kali ditemukan oleh
(Nelson dan Ehle). Pada fenomena epistasis, ekspresi suatu gen akan ditutupi oleh gen lain yang
mengkodekan sifat yang sama. (Klug, dkk, 2012)
Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan adanya interaksi gen pada persilangan
Drosophila melanogaster strain eym >< Bar3 dan wa >< cl.
.
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah fenotip yang muncul pada F1 dan F2 pada persilangan Drosophila
melanogaster strain eym >< Bar3 ?
2. Bagaimanakah fenotip yang muncul pada F1 dan F2 dari hasil persilangan Drosophila
melanogaster strain wa >< cl?
3. Bagaimanakah perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan Drosophila
melanogaster strain eym >< Bar3?
4. Bagaimanakah perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan Drosophila
melanogaster strain wa >< cl?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui fenotip yang muncul pada F1 dan F2 pada persilangan Drosophila
melanogaster strain eym >< Bar3 ?
2. Untuk mengetahui fenotip yang muncul pada F1 dan F2 dari hasil persilangan Drosophila
melanogaster strain wa >< cl?
3. Untuk mengetahui perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan Drosophila
melanogaster strain eym >< Bar3?
4. Untuk mengetahui perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan Drosophila
melanogaster strain wa >< cl?

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan tambahan pengetahuan dan informasi mengenai ciri atau fenotip dari
Drosophila melanogaster yang memiliki strain eym, Bar3, wa , cl.
1. Meningkatkan keterampilan dalam melakukan penelitian, terutama dalam bidang genetika
2. Meningkatkan pemahaman dalam kaitannya dengan persilangan, strain, dan fenotip.
3. Memberikan informasi mengenai adanya interaksi gen (faktor) yang mengatur beberapa
sifat dalam percobaan persilangan strain eym >< Bar3 dan wa >< cl.

1.5 Batasan Masalah


1. Percobaan ini hanya terbatas pada persilangan D. melanogaster strain strain eym, Bar3,w a
, cl yang berasal dari stok yang ada di laboratorium geetika UM

2
2 Percobaan ini hanya mengamati hasil persilangan berupa fenotip dari F1 dan F2 beserta
rasio fenotip F1 dan F2 dari persilangan D. melanogaster strain eym >< Bar3 dan wa >< cl
3 Pengamatan untuk F1 dan F2 dilakukan hingga hari ke tujuh dimana hari pertama dihitung
sebagai hari ke 1
4 Lalat betina hasil persilangan dari P1 dan F1 dipindahkan ke 4 botol yakni A sampai D,
lalat betina telur yang dihasilkan sudah menjadi larva.
5 Penelitian yang dilakukan hanya mengenai Interaksi Antar Gen.

1.6 Asumsi Penelitian


Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa :
1. Pada seluruh aspek biologis setiap individu pada strain D. melanogaster yang disilangkan
selama penelitian adalah sama.
2. Faktor lingkungan seperti yakni seperti perubahan suhu, intesitas cahaya, kelembapan dan
pH dianggap sama dan tidak berpengaruh terhadapa persilangan strain-strain dari D.
melanogaster.

1.7 Definisi Operasional


1. Strain adalah sekelompok intraspesifik yang hanya memiliki satu atau sejumlah kecil ciri
yang berbeda, biasanya dalam keadaan homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau galur
murni (Corebima,2003). Pada penelitian ini strain yang dimaksud adalah strain eym,
Bar3wa , cl.
2. Proyek ini menggunakan empat strain D.melanogaster eym, Bar, wa , cl. Yaitu eym,
mutasi pada kromosom 4, mutasinya berupa mata buta, Bar3mutasi pada kromosom 3,
mutasinya berupa mata sipit, wa mengalami mutasi pada kromosom 1, mutasinya berupa
warna mata white apricot, sedangkan cl mutasi pada kromosom 2 yang menyebabkan
warna mata clot.
3. Fenotip merupakan karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu individu (yang
merupakan hasil interaksi antara genotip dan lingkungan tempat hidup dan berkembang)
(Corebima, 2003).
4. Genotip merupakan keseluruhan jumlah informasi genetik yang terkandung pada suatu
makhluk hidup

3
5. F1 adalah keturunan pertama, keturunan dari persilangan induk (Klug dan Cummings,
2000 : 756). Sedangkan F2 adalah hasil persilangan F1 pada ulangan yang sama.
6. Interaksi gen adalah gen yang berinteraksi dalam pengontrolan salah satu sifat yang sama,
akan tetapi tidak selalu satu sifat dikontrol oleh satu faktor gen (Suryo, 1996).
7. Epistasis adalah interaksi antara faktor-faktor (gen) yang berbeda tidak sealela.
(Corebima;2003)

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka


2.1.1 Klasifikasi Drosophila melanogaster
Filum : Arthropoda
Anak filum : Mandibulata
Kelas : Insekta
Anak kelas : Pterygota
Bangsa : Diptera
Anak bangsa : Cyclorrapha
Induk suku : Ephydroidea
Suku : Drosophilidae
Marga : Drosophila
Anak marga : Sophophora
Grup : Melanogaster
Jenis : Drosophila melanogaster
2.1.2 Morfologia
Pada Drosophila jantan dan betina dapat mudah dipisahkan dalam bentuk segmen-segmen
abdomen. Abdomen betina mempunyai ujung meruncing dan pola garis-garis yang berbeda dari
pada abdomen jantan. Kelamin lalat ditentukan sebagian oleh kromosom X yang dimiliki
individu. Nomalnya lalat betina akan memiliki 2 kromosom X. Sedangkan lalat jantan hanya
memiliki 1 kromosom X ditambah 1 Y heterokromatik. Pada lalat buah kromosom Y tidak
memiliki peranan penting dalam penentuan jenis kelamin (Shorrock, 1972). Ciri-ciri umum
Drosophila menurut Shorrock (1976) adalah bentuk tubuhnya bulat panjang yang terbagi atas 3
bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Drosophila melanogaster tergolong serangga, pada
umumnya ringan dan memiliki eksoskeleton atau integumen yang kuat. Ada beberapa tanda yang
dapat digunakan untuk membedakan lalat jantan dan betina, yaitu bentuk abdomen pada lalat
betina kecil dan runcing, sedangkan pada jantan agak membulat. Tanda hitam pada ujung
abdomen juga bisa menjadi ciri dalam menentukan jenis kelamin lalat ini tanpa bantuan
mikroskop. Ujung abdomen lalat jantan berwarna gelap, sedang pada betina tidak. Jumlah
segmen pada lalat jantan hanya 5, sedang pada betina ada 7. Lalat jantan memiliki sex comb,
berjumlah 10, terdapat pada sisi paling atas kaki depan, berupa bulu rambut kaku dan pendek.
Lalat betina memiliki 5 garis hitam pada permukaan atas abdomen, sedangkan pada lalat jantan
hanya 3 garis hitam (Wiyono, 1986). 5
Gambar 2.1: Drosophila melanogaster betina. (Sumber: Sylwester:2012)

Gambar 2 2 : Drosophila melanogaster jantan. (Sumber: Sylwester:2012)

2.1.3 Interaksi Gen


Salah satu kajian pewarisan sifat yang menyimpang dari rasio Mendel adalah adanya
interaksi gen. Sifat-sifat makhluk hidup muncul sebagai suatu produk dari rangkaian reaksi
biokimia yang bercabang-cabang, dan setiap tahap reaksi biokimia yang dikatalisis oleh enzim.
Enzim tersebut tersusun atas polipeptida–polipeptida yang pembentukannya dikontrol oleh gen.

6
Dengan demikian tidak ada satu sifat atau karakter yang dikontrol oleh satu faktor atau satu unit
karakter (gen), tetapi pengontrolan sifat (karakter) tersebut oleh satu faktor atau unit karakter
dianggap benar dalam batas satu unit tahap reaksi biokimia (Corebima, 2013). F1 akan
menunjukkan fenotip yang berbeda dengan kedua induknya namun jika disilangkan dengan
sesama F1 maka F2 akan memperlihatkan rasio 9:3:3:1 dan akan muncul dua tipe fenotip yang
tidak dimiliki oleh kedua induk. Hasil rasio ini menunjukkan bahwa persilangan yang telah
dilakukan tergolong persilangan dihibrida. Dalam hal ini disimpulkan bahwa kedua induk akan
menyumbangkan satu pasang gen (Corebima, 2013).

Gambar 2.3 : Bagan reaksi interaksi gen yang melibatkan enzim (Sumber: Miko,
2008)
Jenis interaksi antara efek gen pada lokus yang berbeda (gen yang tidak sealel) disebut
interaksi gen. Dengan interaksi gen, produk gen pada lokus yang berbeda bergabung untuk
menghasilkan fenotipe baru yang tidak dapat diprediksi dari efek tunggal lokus saja.Istilah
interaksi gen ini sering digunakan untuk mengekspresikan gagasan bahwa beberapa gen
mempengaruhi karakteristik tertentu. Fungsi seluler berbagai produk gen berkontribusi terhadap
pengembangan fenotipe umum. Sebagai contoh, pengembangan organ seperti mata serangga
sangat kompleks dan mengarah ke struktur dengan beberapa manifestasi fenotipik, misalnya,
untuk mata memiliki ukuran, bentuk, tekstur, dan warna tertentu. Proses ini menggambarkan
perkembangan konsep epigenesis, dimana setiap langkah pembangunan meningkatkan
kompleksitas organ atau fitur kemenarikan dan berada di bawah kendali seerta pengaruh banyak
gen (Klug and Cummings, 2012). Setiap jenis pigmen diproduksi oleh jalur biosintesis yang
terpisah. Setiap langkah dari masing-masing jalur dikatalisis oleh enzim yang terpisah dan
dengan demikian di bawah kendali gen yang terpisah.
Epistasis-hipostasis merupakan suatu peristiwa dimana suatu gen menutupi pengaruh gen
dominan lain yang bukan alelnya. Gen yang menutupi disebut epistasis, dan yang ditutupi disebut
hipostasis. Ketika dua gen terlibat dalam hasil satu karakteristik, sebuah persilangan dihybrid
yang melibatkan gen ini dapat menghasilkan rasio fenotipik yang sangat berbeda dari 9: 3: 3: 1.

7
Dalam keadaan seperti ini, ada lebih dari dua produk gen yang mempengaruhi fenotipe yang
sama, dan produk ini mungkin memiliki hubungan yang kompleks. (Miko, 2008).
Epitasis tidak hanya terbatas pada interaksi antara dua gen saja, Sebaliknya, epistasis terjadi
pada semua peristiwa berikut:
1. Saat dua atau lebih lokus berinteraksi untuk menciptakan fenotipe baru.
2. Saat alel pada satu lokus menutupi efek alel pada satu lokus lain atau lebih.
3. Kapanpun alel pada satu lokus memodifikasi efek alel pada satu lokus lain atau lebih (Miko,
2008).
2.1.4 Terjadinya Interaksi Gen Pada Pembentukan Warna Mata D. melanogaster
Warna mata merah D. melanogaster disebabkan oleh adanya pteridin yaitu pigmen-
pegmen mata. Pteridin pada lalat buah terdiri atas Drosopterin yang menyebabkan warna merah
pada mata dan Ommokrom yang menyebabkan warna coklat pada mata (Rong, 1998). Apabila
gen yang berperan dalam pembentukan pteridin termutasi, maka warna mata Drosophila
melanogaster akan berubah sesuai dengan kombinasi jenis pteridin. Terdapat
kecacatan/kerusakan satu atau beberapa enzim yang dibutuhkan dalam jalur biokimia dalam
sintesis pigmen. Sebagai konsekuensinya, pigmen menjadi hilang dan atau terdapat pigmen
berbeda yang terakumulasi karena kerusakan pada jalur biosintesis pigmen tersebut (Pierce,
2005).
Selain pigmen mata tersebut, ada pula kehadiran granula protein yang akan melekatkan
pigmen sehingga terkumpul menjadi ommatidia. Pelekatan pigmen pada granula dicegah oleh
adanya mutasi mata putih. Lalat yang kehilangan kedua pigmen tersebut akan menjadi tidak
berwarna dan mucul warna putih seperti pada mutan White (Rong, 1998).

8
Gambar 2.4: Jalur biosintesis pembentukan warna mata pada D.melanogaster (Sumber:
Tara C. Thiemann, 2001).

Gambar 2.6 : Conversion of dihydroneopterin triphosphate (H2-NTP) to


pyrimidodiazepine (PDA) (Sumber: Giordano:2003)

9
2.2 Kerangka Konseptual

Drosophila melanogaster merupakan jenis insekta (Diptera) penelitian bidang genetika, karena lalat
buah ini memiliki daur hidup yang cepat selama kurang lebih satu minggu dalam satu generasi.
Populasinya besar karena lalat betina menghasilkan ratusan telur hasil pembuahan, serta mudah
dipelihara di Laboratorium (Kimball, 1992)

Untuk mengetahui peristiwa yang terjadi dalam persilangan Drosophila maka digunakan penanda ciri
morfologi yang nampak (fenotip) pada keturunan yang dihasilkan. Fenotip yang muncul merupakan hasil
interaksi antara faktor genotip dengan lingkungan mahluk hidup. Interaksi gen adalah penyimpangan
semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotip, tetapi menimbulkan
fenotip yang merupakan hasil interaksi dua pasang non alelik ( Suryo, 2001)

.
Epistasis merupakan peristiwa dimana suatu gen dominan menutupi pengaruh gen dominan lain yang
bukan alelnya. Gen yang menutupi disebut epistasis, dan yang ditutupi disebut hipostasis ( Miko,2008).
Fenotip yang muncul pada Drosophila dikontrol oleh suatu gen spesifik yang dimilikinya.

Gen spesifik yang dimiliki Drosophila akan akan mengontrol fenotip baru hasil interaksi gen dengan
dibantu enzim sebagai agen katalis dalam proses biosintesis yang akan memengaruhi fenotip generasi F1
atau F2 pada setiap persilangan Drosophila dengan perbandingan rasio menyimpang dari hukum mendel
9:3:3:1

Persilangan antara strain cl >< wa, pada FI menghasilkan Persilangan antara strain bar3 >< eym , pada FI
100% normal heterozigot . Sedangkan F2 N : wa : cl : wacl menghasilkan 100% normal heterozigot. Sedangkan F2 N :
dengan rasio perbandingan 9 : 3 : 3 : 1 , dengan ketentuan eym : bar3 dengan rasio perbandingan 9 : 3 : 3 : 1, dengan
9 fenotip rekombinan Drosophila melanogaster normal; ketentuan 9 fenotip rekombinan Drosophila melanogaster
3 fenotip parental ke-1 (strain wa); 3 fenotip parental ke-
2 (strain cl) dan 1 fenotip baru (wacl) normal; 3 fenotip parental ke-1 (strain eym); 3 fenotip
parental ke-2 (strain bar3) dan 1 fenotip (eymbar3)

10
Terjadinya peristiwa interaksi epistasis yang menghasilkan rasio
F2 9 : 3 : 3 : 1 ini terjadi karena faktor gen dan biosintesis yang
mengendalikan karakter pada masing-masing strain Drosophila
tersebut mengalami pautan kromosom tubuh (sesuai
rekontruksi), sehingga kromosom-kromosom tersebut tidak
mengalami pemisahan bebas Mendel.

Peristiwa hasil persilangan di atas merupakan hasil dari interaksi


gen yang menyimpang hukum Mendel yang tidak melibatkan
modifikasi nisbah fenotip, tetapi menimbulkan fenotip yang
merupakan hasil interaksi dua pasang non alelik ( Suryo,
2001)

11
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan rancangan penelitian deskriptif kuantitatif karena dalam
penelitian ini tidak dilakukan perlakuan khusus terhadap persilangannya. Dimana dalam
penelitian ini strain stok D. melanogaster diidentifkasi macam strainnya terlebih dahulu
berdasarkan penampakan morfologinya seperti : warna mata, faset mata, keadaan sayap, ujung
ekor dan warna tubuh, setelah mengetahui strainnya kemudian disilangkan antara Bar3 >< eym ,
dan persilangan kedua yaitu antara cl >< wa tanpa memperhatikan jenis kelamin pada setiap
persilangan karena merupakan jenis persilangan resiprok dengan setiap persilangan dilakukan 6
kali ulangan. Persilangan dilakukan sampai generasi ke dua (F2).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Genetika (ruang BIO 301 Gedung 05)
Biologi FMIPA Malang, pada bulan Februari 2018 sampai bulan April 2018.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah D. Melanogaster yang terdapat di
Laboratorium Genetika Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang. Adapun sampel penelitian
yang digunakan pada penelitian ini adalah D. melanogaster strain eym (eye missing), cl (Clot), wa
(white apricot), dan hh (Hedgehog) atau Bar3 yang diperoleh dari Laboratorium Genetika Biologi
FMIPA Universitas Negeri Malang.
3.4 Instrumen Penelitian
3.4.1 Alat :
1. Mikroskop Stereo 8. Kuas

2. Botol Selai (kurang lebih 60 botol) 9. Cotton bud

3. Spons Busa 10. Kertas Label

4. Selang Plastik (diameter besar dan kecil) 11. Bolpoint

5. Kain Kasa 12. Kamera

6. Kertas Pupasi 13. Kardus

12
7. Cutter 14. Plastik

3.4.2 Bahan :
1. Stok D.melanogaster (Strain cl, Bar3, wa, eym)
2. Pisang Raja Mala
3. Gula Merah
4. Tape Singkong
5. Air
6. Yeast

3.5 Prosedur Kerja


3.5. 1 Pembuatan Medium
1.Menimbang pisang raja mala yang telah dikupas, gula merah yang sudah diiris, dan tape
singkong yang sudah dibuang seratnya dengan perbandingan 7: 2 : 1 atau (700 : 200 : 100)
gram.
2.Menghaluskan pisang dan tape dengan cara diblender sampai halus dan menambahkan air
secukupnya sebagai pelarutnya.
3. Memasak bahan yang telah dihaluskan dengan menambahkan gula merah yang telah
dicairkan sebelumnya dan sedikit air kemudian memasaknya sambil diaduk-aduk selam 45
menit.
4.Memasukkan medium ke dalam botol selai yang sebelumnya telah disterilisasikan terlebih
dahulu dan menutupnya dengan spons jika medium tersisa makan medium diletakkan
dibawadah yang tertutup dan dimasukkan ke dalam lemari es, dan dapat digunakan
maksimal 3 hari).
5.Mendinginkan medium dengan merendamnya di wadah yang berisi air dan menambahkan
yeast setelah dingin sebanyak 4-5 butir.
6.Memasukkan kertas pupasi dalam botol selai tersebut dan menutupnya dengan spons.
7. Menunggu hingga medium dingin selanjutnya medium dapat digunakan
3.5.2 Pengamatan Fenotip
1.Mengambil satu ekor lalat dari masing-masing strain botol stok dan masukkan ke
dalam plastik bening
2.Mengamati fenotip yang ada pada lalat menggunakan mikroskop stereo
3.Pengamatan mulai dari warna mata, faset mata, keadaan sayap, ujung ekor dan warna
tubuh.

13
4.Mencatat hasil pengamatan yang diperoleh
3.5.3 Prosedur Peremajaan
1.Menyiapkan 4 botol selai yang telah diisi medium untuk meremajakan stok induk
strain cl, Bar3, wa, eym
2.Memasukkan minimal 3 pasang lalat D. melanogaster pada setiap botol ,dengan tiap
botol satu strain.
3.Memberi label pada botol sesuai strain dan tanggal memasukannya.
3.5.4 Prosedur Pengampulan
1. Menyiapkan botol selai yang berisi medium
2. Memasukkan 4-6 pasang D.melanogaster untuk masing-masing strain pada botol yang
berbeda.
3. Memberikan label sesuai strain dan tanggal peremajaannya
4. Setelah muncul pupa yang menghitam, pupa hitam tersebut diampul dengan cara
memindahkan menggunakan kuas ke dalam selang ampul.
5. Selang ampul tersebut telah diberi potongan pisang dibagian tengahnya dan masing-
masing sisi selang ampul hanya berisi 1 pupa
6. Kedua ujung selang ampul ditutup dengan spon agar D. melanogaster yang nantinya
menetas tidak terlepas.

3.5.5 Penyilangan
1. Menyiapkan botol selai sebanyak pasangan lalat yang akan disilangkan , kemudian diisi
dengan medium yang sudah siap pakai

2. Memasukkan masing-masing strain setelah ampulan menetas sesuai dengan persilangan


yang diinginkan , diberi label dan ditulis tanggal persilangan.

Nb : - usia lalat yang digunakan maksimal 3 hari setelah menetas

-persilangan dilakukan antara eym >< Bar3 dan wa >< cl

3. Setelah 2 hari persilangan , induk (P1) jantan dilepaskan

4. Botol tersebut diberi label “A” setelah induk jantan dilepas, lalu ditunggu beberapa hari
sampai muncul larva

14
5. Setelah muncul larva di botol “A” , lalat induk betina dipindahkan ke botol baru yang
diberi label botol “B” , hingga nantinya sampai botol “D”

6. Setelah larva berubah menjadi pupa berwarna hitam , beberapa pupa hitam dari P1
botol A diampul untuk dijadikan induk persilangan selanjutnya (P2)

7. Larva hitam diampul dan lalat yang sudah menetas diamati fenotip dan menghitung dan
menentukan strainnya, termasuk di dalam selang ampul sesuai jenis persilangan dan
ulangan asalnya (anakan lalat yang menetas disebut generasi F1) perhitungan dilakukan
sampai 7 hari mulai hari ke 0 – 6

8. Prosedur persilangan di atas dilakukan sampai generasi F2 dengan menyesuaikan


generasi yang menetas yang akan dijadikan induk pada persilangan selanjutnya

9. Setiap jenis pesilangan dilakukan sebanyak 6x ulangan pada setiap jenis persilangan

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Data pada penelitian ini diperoleh melalui pengamatan secara langsung dengan menghitung
dan mencatat semua fenotip yang muncul pada generasi F1 hasil persilangan D.
Melanogaster strain Bar3 >< eym dan D. Melanogaster strain wa >< cl serta generasi F2
nya selama 7 hari setelah pupa pertama kali menetas.
Tabel 3.6.1 Data Pengamatan Ulangan 1 F1 dari Persilangan D. Melanogaster strain Bar3 >< eym (tabel
untuk F1 dengan ulangan berikutnya sama halnya dengan tabel di bawah)

Jumlah Hari Ke
Fenotip Botol
1 2 3 4 5 6 7
A
N B
C
D

Tabel 3.6.2 Data Pengamatan Ulangan 1 F1 dari Persilangan D. Melanogaster strain wa >< cl (tabel
untuk F1 dengan ulangan berikutnya sama halnya dengan abel di bawah )

Jumlah Hari Ke
Fenotip Botol
1 2 3 4 5 6 7
A
N B
C
D

15
Tabel 3.6.3 Data Pengamatan Ulangan 1 F2 dari Persilangan D. Melanogaster strain Bar3 >< eym (tabel
untuk F2 dengan ulangan berikutnya sama halnya dengan abel di bawah )

Jumlah Hari Ke
Fenotip Botol
1 2 3 4 5 6 7
N A
B
C
D
A
Bar3 B
C
D
A
B
eym C
D
A
Bar3 eym B
C
D

3.6.4. Tabel Data Pengamatan Ulangan 1 F2 dari Persilangan D. Melanogaster strain strain wa >< cl (tabel
untuk F2 dengan ulangan berikutnya sama halnya dengan abel di bawah )

Jumlah Hari Ke
Fenotip Botol
1 2 3 4 5 6 7
N A
B
C
D
A
B
wa C
D
A
B
C
Cl D
wa cl A
B
C
D

16
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji statistika non parameterik
karena data yang didapat tidak homogen atau heterogen dan tidak normal. Sehingga nanti
dilanjutkan dengan mnggunakan Uji Chi Square.

3.8 Hipotesis Penelitian


3.8.1 Fenotip F1 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain Bar3 >< eym 100%
normal heterozigot. Sedangkan fenotip F2 yang muncul pada persilangan strain Bar3 ><
eym adalah N (normal), Bar3 atau hh (Hedgehog) , eym (eye missing) dan Bar3 eym.
3.8.2 Fenotip F1 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain cl >< wa 100%
normal heterozigot . Sedangkan fenotip F2 yang muncul pada persilangan strain cl ><
wa adalah N (normal), wa (white apricot), cl (cloth) dan wacl.
3.8.3 Perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain Bar3 ><
eym yaitu menyimpang dari perbandingan 9 : 3 : 3 : 1 .Dengan ketentuan 9 (normal), 3
(Bar3), 3 (eym) dan 1 (Bar3 eym).
3.8.4 Perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain cl ><
wa yaitu menyimpang dari perbandingan 9 : 3 : 3 : 1 .Dengan ketentuan 9 (normal), 3
(wa), 3 (cl) dan 1 (wacl).

17
BAB IV
DATA DAN ANALIS DATA

4. 1 Data Pengamatan
Tabel 4.1.1 Data Pengamatan Identifikasi Strain Drosophila melanogaster
Jenis Drosophilla melanogaster yang kami gunakan pada praktikum kali ini adalah strain
Bar3, eym, cl dan wa. Berikut hasil identifikasi beberapa strain tersebut :

No. Gambar Keterangan


1. Strain eym - Mata mereduksi (buta)
- Tubuh berwarna coklat
- Sayap lebih panjang dari
sayap tubuh

2. Strain Bar3 - Mata merah kecoklatan


(ukuran relatif kecil)
- Tubuh berwarna coklat
- Sayap lebih panjang dari
sayap tubuh

3. Strain Wa - Mata berwarna orange


- Tubuh berwarna coklat
- Sayap menutupi seluruh
tubuh

18
4. Strain cl - Mata berwarna coklat
- Tubuh berwarna coklat
- Sayap menutupi seluruh
tubuh

Tabel 4.1.2 Data Pengamatan Ulangan 1 F1 dari Persilangan D. Melanogaster strain Bar3
>< eym (Data dari Ofering B)

Fenoti Jumlah Hari Ke Total


Botol
p 1 2 3 4 5 6 7
N A 29 23 30 17 9 5 0 113
B 3 4 14 4 2 1 2 30
C 2 1 3 4 3 2 0 15
D 4 3 1 0 0 0 0 8

Tabel 4.1.3 Data Pengamatan Ulangan 1 F2 dari Persilangan D. Melanogaster strain Bar3
>< eym (Data dari Ofering B)

Fenoti Jumlah Hari Tota


p Botol 1 2 3 4 5 6 7 l
N A 2 20 10 5 15 15 15 82
B 5 0 0 0 0 0 0 5
C 0 0 0 0 0 0 0 0
D 0 0 0 0 0 0 0 0

19
Bar 3 A 2 6 6 4 18 18 18 72
B 2 0 0 0 0 0 0 2
C 0 0 0 0 0 0 0 0
D 0 0 0 0 0 0 0 0
eym A 1 5 0 3 5 5 5 24
B 3 0 0 0 0 0 0 3
C 0 0 0 0 0 0 0 0
D 0 0 0 0 0 0 0 0

Tabel 4.1.4 Data Pengamatan Ulangan 1 F1 dari Persilangan D. Melanogaster cl >< wa

Jumlah Hari Ke
Fenotip Botol
1 2 3 4 5 6 7
N A 3 2 8 1 1 3 1
B 3 4 14 4 2 1 2
C 2 1 3 4 3 2 0
D 4 3 1 0 0 0 0
cl A 0 4 3 1 1 1 0
B 0 0 0 0 0 1 0
C 0 0 0 1 0 1 0
D 2 0 0 0 0 0 0

Tabel 4.1.5 Data Pengamatan Ulangan 1 F2 dari Persilangan D. Melanogaster cl >< wa

Tota
Fenoti Jumlah Hari Ke
Botol l
p
1 2 3 4 5 6 7
N A 48 9 11 8 76
B 8 3 5 1 17
C 1 17 12 7 8 4 1 50
D 0
Cl A 18 3 3 1 25

20
B 4 2 3 0 9
C 0 4 0 1 2 0 0 7
D 0
wa A 11 5 3 2 21
B 3 2 1 0 6
C 2 3 5 1 1 0 0 12
D 0

Tabel 4.1.6 Data Pengamatan Ulangan 2 F2 dari Persilangan D. Melanogaster cl >< wa

Tota
Fenoti Jumlah Hari Ke
Botol l
p
1 2 3 4 5 6 7
N A 14 5 5 5 29
B 12 3 1 2 1 0 0 19
C 0
D 0
cl A 8 2 3 2 15
B 2 2 2 0 0 0 0 6
C 0
D 0
wa A 7 1 1 3 12
B 3 1 2 1 1 0 0 8
C 0
D 0

4.2 Analisis Data


Tabel 2.1 Rekontruksi Kromosom F1 Persilangan Bar3 >< eym

P1 : eym >< Bar3


𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚− 𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+
Genotip : >< 𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+
𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚−

Gamet : Bar3+ eym- , Bar3- eym+

21
𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+
F1 : (100% N Heterozigot)
𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚−

Paretal Bar3- eym+ Bar3- eym+

Bar3+ eym- 𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+


− −
𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚

Bar3+ eym- 𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3− 𝑒𝑦𝑚+


− −
𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚

Tabel 4.2.2 Rekontruksi Kromosom F1 Persilangan cl >< wa

P1 : wa >< cl
𝑐𝑙+ 𝑤𝑎− 𝑐𝑙 𝑤𝑎+
Genotip : + 𝑤𝑎− ><𝑐𝑙 𝑤𝑎+
𝑐𝑙

Gamet : cl+wa- , clwa+


𝑐𝑙 𝑤𝑎+
F1 : (100% N Heterozigot)
𝑐𝑙+ 𝑤𝑎

Paretal clwa+ clwa+

cl+wa- 𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎+


+
𝑐𝑙 𝑤𝑎
+
𝑐𝑙 𝑤𝑎

cl+wa- 𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎+


+
𝑐𝑙 𝑤𝑎
+
𝑐𝑙 𝑤𝑎

Tabel 4.2.3 Rekontruksi Kromosom F2 Persilangan N >< N dari Bar3 >< eym
P2 : N >< N
𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+
Genotip : 3 𝑒𝑦𝑚 ><
𝐵𝑎𝑟 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚

Gamet : Bar3+ eym+, Bar3eym+, Bar3+eym, Bar3eym><Bar3+ eym+,


Bar3eym+, Bar3+eym, Bar3eym

F2 = N : Bar3 :eym :Bar3eym = 9 : 3 :3 :1

22
Paretal Bar3+ eym+ Bar3eym+ Bar3+eym Bar3eym
Bar3+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+
eym+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚
(N) (N) (N) (N)

Bar3eym+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+


+
𝐵𝑟3 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+
(N) (Bar3) (N) (Bar3)

Bar3+eym 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚


𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚
(N) (N) (eym) (eym)

Bar3eym 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚+ 𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚


𝐵𝑎𝑟3+ 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚 𝐵𝑎𝑟3 𝑒𝑦𝑚
(N) (Bar3) (eym) (Bar3eym)

Tabel 4.2.4 Rekontruksi Kromosom F2 Persilangan cl >< wa


P2 : N >< N
𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎+
Genotip : ><
𝑐𝑙+ 𝑤𝑎 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎

Gamet : cl+wa+, cl+wa, clwa+, clwa >< cl+wa+, cl+wa, clwa+, clwa
F2 : Rasionya, N : cl : wa : clwa = 9 : 3 : 3 : 1
PARETAL cl+wa+ cl+wa clwa+ clwa
cl+wa+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+
𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤诪+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎

23
cl+wa 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎
𝑐𝑙+ 𝑤𝑎 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎

(N) (wa) (N) (wa)


clwa+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎+
𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎

(N) (N) (cl) (cl)


clwa 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙+ 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎+ 𝑐𝑙 𝑤𝑎
𝑐𝑙 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎 𝑐𝑙 𝑤𝑎

(N) (wa) (cl) (clwa)

4.3 Uji Chi Square

Tabel 4.3.1 Uji Chi Square Persilangan U3 F2 N >< N dari FI (Bar3><eym)


Fo Chi
Fenotip Fo Rasio Ratio Fh Fo-Fh Fo-Fh2 Fo-Fh/F Tabel
N 87 9 5,4375 48,9375 38,0625 1448,754 29,60417
Bar 3 74 3 4,625 13,875 60,125 3615,016 260,5417
Eym 27 3 1,6875 5,0625 21,9375 481,2539 95,0625
Bar 3
eym 0 1 0 0 0 0 0
Jumlah 188 16 385,2083
Didapatkan x2 hitung adalah 385,2083 sedangkan x2 tabel adalah 49,802. Jadi, x2 hitung >
dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D.
melanogaster strain Bar3><eym menyimpang dari rasio 9:3:3:1

Tabel 4.3.2 Uji Chi Square Persilangan U1 F2 N >< N dari FI (cl><wa)


Fenoti Fo Fo - Fh / Chi
p Fo Rasio Ratio Fh Fo - Fh Fo - Fh2 Fh Tabel

24
80,437 62,562 3914,06 48,6597
N 143 9 8,9375 5 5 6 2
33,312 1109,72 144,354
Cl 41 3 2,5625 7,6875 5 3 2
31,687 1004,09 137,312
wa 39 3 2,4375 7,3125 5 8 5
clwa 0 1 0 0 0 0 0
330,326
Jumlah 223 16 4

Didapatkan x2 hitung adalah 330,3264 sedangkan x2 tabel adalah 49,802. Jadi, x2 hitung >
dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D.
melanogaster strain cl><wa menyimpang dari rasio 9:3:3:1

Tabel 4.3.3 Uji Chi Square Persilangan U2 F2 N >< N dari FI (cl><wa)


Fo Fo - Fh / Chi
Fenotip Fo Rasio Ratio Fh Fo - Fh Fo - Fh2 Fh Tabel
16,3333
N 48 9 3 27 21 441 3
17,062 291,128
Cl 21 3 1,3125 3,9375 5 9 73,9375
264,062 70,4166
wa 20 3 1,25 3,75 16,25 5 7
clwa 0 1 0 0 0 0 0
160,687
Jumlah 89 16 5

Didapatkan x2 hitung adalah 160,6875 sedangkan x2 tabel adalah 49,802. Jadi, x2 hitung >
dari x2 tabel sehingga Ho diterima. Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D.
melanogaster strain cl><wa menyimpang dari rasio 9:3:3:1

25
BAB V
PEMBAHASAN

Pada pengamatan yang kami lakukan yakni persilangan Drosophila melanogaster strain
Bar3 >< eym dan cl>< wa. Dimana pada strain wa dan cl mengalami mutan pada bagian mata
yakni memiliki mata coklat dan wa atau white apricot memiliki mata putih kekuningan. Menurut
Klug dan Clumming (2012) strain wa terletak pada kromosom 1 lokus 1,5 sedangkan strain cl
terletak pada kromosom 2 lokus 16,5. Sedangkan strain Bar3 >< eym mengalami mutan pada
bentuk mata. Dimana strain Bar3 atau memiliki mata sipit, berdasarkan peta kromosom strain
Bar3terletak pada kromosom nomor 3 lokus ke 16. Sedangkan strain eym terletak pada kromosom
nomor 4 lokus 2,0.
Hasil rekonstruksi kromosom yang telah dilakukan pada analisis data diketahui bahwa F1
hasil persilangan Bar3 >< eym diperoleh anakan N yang mana strain normal (N) memiliki ciri-
ciri warna mata merah, faset mata halus,sayap panjang dan menutupi panjang tubuh dan warna
tubuh kuning kecoklatan. Hal tersebut sesuai dengan rekontruksi kromosom yang menunjukkan
anakan F1 100% N. Sedangkan pada persilangan cl>< wa menghasilkan anakan N dan cl, yang
mana strain normal (N) memiliki ciri-ciri warna mata merah, faset mata halus,sayap panjang dan
menutupi panjang tubuh dan warna tubuh kuning kecoklatan. Sedangkan strain cl memiliki ciri
mata berwarna coklat, tubuh berwarna coklat, dan sayap menutupi seluruh tubuh. Hasil anakan
FI pada perilangan cl>< wa tidak sesuai dengan rekontruksi yang seharusnya, dalam rekontruksi
seharusnya anakan FI memiliki rasio 100% Normal heterozigot , dalam hal ini kami menduga
munculnya strain cl diakibatkan oleh beberapa hal salah satunya yaitu faktor medium yang kita
gunakan. Pada persilangan tersebut kami menggunakan bahan medium yang berbeda yaitu pisang
raja mala dan pisang ambon. Kami berasumsi bahwa perbedaan jenis pisang yang digunakan
memengaruhi kandungan nutrisi yang tersedia sehingga akan sehingga memengaruhi proses
persilangan F1 strain cl>< wa. Selain itu, keberadaan strain cl dapat terjadi karena adanya
perbedaan kondisi medium pada setiap persilangan tidak sama ada yang menggunakan medium
terlalu cair dan ada yang terlalu kental hal ini kami beranggapan akan memengaruhi juga
terhadap persilangan persilangan F1 strain cl>< wa.

Data yang diperoleh dari persilangan F1 N ><N dari strain Bar3 >< eym didapatkan F2
dengan fenotip N, Bar3, dan eym. Hal ini tidak sesuai dengan hasil rekontruksi F2 yang dibuat

26
berdasarkah Hukum Mendel II yang diperoleh rasio dengan perbandingan 9:3:3:1 dengan
ketentuan 9 strain normal, 3 strain Bar3, 3 strain eym, dan 1 strain Bar3eym. Sehingga hal ini
membuktikan adanya penyimpangan dari hukum Mendel II. Peristiwa ini disebut interaksi gen
(epistasis). Interaksi adalah penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan
modifikasi nisbah fenotop tetapi menimbulkan fenotip yang merupakan hasil kerjasama atau
interaksi dua pasang gen non alelik. (Suryo:2001)

Interaksi gen yang pertama terjadi pada persilangan strain Bar3 >< eym. Dalam
persilangan terebut terjadi proses morfogenesis bentuk mata yang akan dipengaruh oleh adanya
interaksi gen. Dalam hal ini gen Bar3 dan eym berperan penting dalam mengawali proses
tersebut. Dimana gen eym berkerja lebih dahulu dibanding gen Bar3.. Dalam morfogenesis mata
diawali dengan terbentuknya eyebud , yang nantinya akan berkembang menjadi oseli yaitu bakal
mata menjadi oselus. Perkembangan eyebud menjadi oseli dipengaruhi oleh adanya gen eym, jika
gen eym mengalami mutasi maka akan menyebabkan fenotip F2 D. Melanogaster muncul strain
eym dengan ciri yang khas yaitu berdasarkan pengamatan yang telah kami lakukan terlihat
seperti titik kecil (mata tereduksi atau buta) karena yang mengkode pembentukan oseli telah
mengalami mutasi terlebih dahulu (Sutton:1942).

Selanjutnya, tahap morfogenesis setelah terbentuk oseli maka oseli tersebut akan
berkembang menjadi oselus yang nantinya akan menjadi mata yang bulat besar menjadi mata
normal. Namun dalam proses perkembangan oseli menjadi oselus yang matang dipengaruhi oleh
kerja dari gen Bar3. (Sutton:1942).

Jika gen Bar3 tidak mengalami mutasi selama morfogeneis sampai tahap akhir maka
akan didapat F2 D. Melanogaster normal. Sedangkan jika dalam proses ini gen Bar3 terganggu
maka akan memunculkan fenotip F2 strain Bar3 yang memiliki ciri mata merah kecoklatan
(ukuran relatif kecil). Untuk fenotip lain pada F2 yaitu strain eymBar3 merupakan fenotip hasil
kerjasama atau interaksi dua pasang gen yaitu anatara gen eym dengan gen Bar3 yang keduanya
merupakan gen yang terletak pada kromososom dan lokus yang berbeda.

Berdasarkan data yang diperoleh pada persilangan Bar3 >< eym tidak ditemukan strain
Bar3eym karena ketika gen eym mengalami mutasi, secara otomatis eyebud tidak dapat
berkembang menjadi oseli sehingga walaupun terdapat gen Bar3 yang fungsional, namun
kegagalan terbentuknya oseli menyebabkan gen Bar3 tidak fungsional.

27
Selanjutnya yaitu peristiwa interaksi gen pada persilangan cl>< wa. Berdasarkan data
yang diperoleh dari persilangan F1 N ><N dari strain cl>< wa didapatkan F2 dengan fenotip N,
wa, dan cl. Hal ini tidak sesuai dengan hasil rekontruksi F2 yang dibuat berdasarkan Hukum
Mendel II yang diperoleh rasio dengan perbandingan 9:3:3:1 dengan ketentuan 9 strain normal, 3
strain wa, 3 strain cl, dan 1 strain wa cl,. Sehingga hal ini membuktikan adanya penyimpangan
dari hukum Mendel II. Hal ini menunjukkan peristiwa interaksi gen.

Dalam hal ini berkaitan dengan bosintesis warna mata D.melanogaster. Berdasarkan
rujukan bahwa warna mata dapat terjadi dengan dua jalur utama yaitu Drosopterin yang
menyebabkan warna merah pada mata dan Ommokrom yang menyebabkan warna coklat pada
mata (Rong, 1998). Apabila gen yang berperan dalam pembentukan biosintesis termutasi, maka
warna mata Drosophila melanogaster akan berubah. Selain pigmen mata, kehadiran granula
protein berfungsi memasukkan trytophan ke badan malpighi. Apabila tryptophan gagal masuk ke
badan malpighi maka akan tampak warna mata putih.

Dalam persilangan strain cl>< wa terjadi biosintesis Drosopterin. Tahap pertama yaitu
granula protein yang akan memasukkan tryptophan ke dalam badan malpighi, apabila proses ini
gagal maka akan muncul warna mata putih atau disebut mutan white. Mutasi pada wa dan cl
diakibatkan karena terganggunya atau tidak tercodenya gen wa dan cl pada jalur biosintesis
pembentukan warna mata yang berakibat terekspresinya gen we dan cl menjadi mata putih
kekuningan (white apricot) dan mata coklat (cloth). Berikut jalur biosisntesis pembentukan
warna mata pada D.melanogaster :

28
Gambar 5.1 Jalur biosisntesis pembentukan warna mata pada D.melanogaster (Sumber:
Tara C. Thiemann, 2001).
Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui bahwa setiap jalur biosintesis ada gen tertentu
yang mengkode warna mata, gen tersebut adalah gen wa dan cl . Jika salah satu dari gen tersebut
mengalami mutasi maka akan menunjukkan fenotip mutan hal ini akan dijelaskan dalam jalur
biosintesis warna mata yang pertama dikode oleh gen white yang menyebabkan prekursor
tryptofan masuk ke dalam badan malphigi, sehingga nanti jalur biosintesi akan dapat dimulai.
Namun jika gen white tidak tersedia atau mengalami mutasi makan jalur biosintesis tidak dapat
dimulai sehingga muncul fenotip warna mata putih atau white.
Selanjutnya jika gen white mampu memulai jalur biosintesis maka akan dilanjutkan
biosintesis protein yang dibantu oleh kovaktor enzim. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:
Gambar 5.2 Jalur biosintesis Drosopterin pada D.melanogaster (Sumber : Kim: 2013)

Ketika tryptophan sudah masuk pada badan malpighi, maka biosintesis akan dimulai
dengan terbentuknya GTP, kemudian GTP diubah menjadi 7,8-dihydroneopterin triphospat
dengan bantuan enzim GTP cyclohydrolase I. Selanjutnya diubah menjadi 6 PTP dengan bantuan
enzim PTP sintase, 6PTP diubah menjadi pyrimidodiazepine (PDA) dengan bantuan PDA sintase
dengan dibantu oleh kovaktor cloth. Selanjutnya pyrimidodiazepine (PDA) akan diubah menjadi
Drosopterin yang memunculkan warna mata merah. Warna merah ini menunjukkan warna mata
normal pada D.melanogaster terjadi interaksi antara gen cloth dan white berhasil.

29
Apabila gen cloth mengalami mutasi, maka pengubahan 6PTP menjadi pyrimidodiazepine (PDA)
hanya dibantu oleh enzim PDA sintase, sehingga kinerja enzim tidak maksimal karena tidak
adanya kovaktor cloth, sehingga memunculkan fenotip warna mata coklat tua (strain cl).

30
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari hasil persilangan D.melanogasterstrain Bar3><eym dancl>< wa dapat ditarik
kesimpulan, sebagai berikut :

6.1.1 Fenotip F1 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain Bar3><eym 100%
normal heterozigot. Sedangkan fenotip F2 yang muncul pada persilangan strain Bar3><eym
adalah N (normal), Bar3atau hh (Hedgehog) , eym (eye missing) sedangkan strain Bar3 eym
tidak ditemukan.

6.1.2 Fenotip F1 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain cl><wa tidak 100%
normal heterozigot.Fenotip F1 terdiri atas strain normal dan cl namun dengan raso
perbandingan strain normal lebih banyak dibanding strain cl ditemukannya strain cltersebut
dimungkinkan akibat adanya perbedaan kondisi medium pada setiap persilangan tidak sama
ada yang menggunakan medium terlalu cair dan ada yang terlalu kental , selain itu pisang
yang digunkan dalam pembuatan medium ada dua jenis yaitu pisang raja mala dengan
pisang ambon dimungkinkan bahwa perbedaan tersebut akan memengaruhi nutrisi yang
tersedia Sedangkan fenotip F2 yang muncul pada persilangan strain cl>< wa adalah N
(normal), wa (white apricot), cl (cloth) dantidak ditemukannya strain wacl. Hal ini
diakibatkan oleh proses yang ada pad biosintesis protein di atas.

6.1.3 Perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain


Bar3><eym yaitu menyimpang dari perbandingan 9 : 3 : 3 : 1.

6.1.4 Perbandingan fenotip F2 yang muncul pada persilangan D. Melanogaster strain cl ><
wa yaitu menyimpang dari perbandingan 9 : 3 : 3 : 1.

6.2 Saran
Berdasrakan penelitian yang telah kami lakukan , ada beberapa saran yang disampaikan
sebagai berikut :
6.2.1 Pada penelitian ini sepenuhnya dilakukan didalam ruang genetika dengan minim
peralatan dan fasilitas yang menunjang penilitian, sebaiknya ruang genetika yang

31
digunkan penelitian proyek dibuatkan khusus dengan fasilitas seperti kompor gas, panci,
timbangan, blender dimaksimalkan agar penelitian berjalan dengan baik dan lancar.

6.2.2 Alangkah baiknya rak tempat penelitian D.melanogaster diletakkan pada suatu
ruang khusus sehingga proyek penlitian tidak terganggu dnegan adanya aktivitas yang lain
seperti berlajar mengajar di kelas, dan kecerobohan mahasiswa yang ada di dalam
ruangan tersebut.

32
DAFTAR RUJUKAN

Chyb S and Gompel N.2012. Atlas of drosophila Morphology. University of Cambridge, UK

Corebima, A.D. 2013. Genetiaka Mendel. Surabaya: Airlangga University Press

Corebima, AD. 2003. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press

Demerec dan Kaufmann. 1961. Drosophila Guide. Introduction to the Genetics and Cytology of
Drosophila melanogaster. Carnegie Institution of Washington, Washington D.C.

Frost, S.W. 1959. Insect Life and Insect Natural History. Second Revised Edition. Dover
Publication, INC., New York.

Giordano E.2003. The clot gene of Drosophilamelanogaste rencodes a conserved member of the
Thioredoxin-like protein superfamily. Mol Gen Genomics (2003) 268: 692–697

Kim, H,. Kim,K,. Yim,J,. 2013. Critical Review Biosynthesis of Drosopterins, the Red Eye
Pigments of Drosophila melanogaster. Soul: School of Biological Sciences, Seoul National
University,
Kimball, J. W. 1983.Biologi. Edisi Kelima. Jilid I. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Klug, William. 2012. Concept of Genetics. New Jersey: Prentice Hall Inc

Miko, Ilona. 2008. Epistasis describes how gene interactions can affect phenotypes. Did you
know that genes can mask each other's presence or combine to produce an entirely new
trait?. Nature Education. 1(1):197

Pierce, B.A. 2005. GENETICS: Conceptual Approach, 2nd ed. New York: McGraw-Hill
Corporation
Rong, Y. S., Kent G. Golic. 1998. Dominant Defects in Drosophila Eye Pigmentation
Resulting From a Euchromatin-Heterochromatin Fusion Gene. New York: xxiii

Shorrocks, B. 1972. Drosophila melanogaster.London: Ginn and Company Limited

Suryo. 2001. Genetika. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Suryo.1996. Genetika. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi.

33
Sutton,E,.1942. BAR EYE IN DROSOPHILA MELANOGASTER: A CYTOLOGICAL ANALYSIS
OF SOME MUTATION AND REVERSE MUTATIONS. Cornegie Institution of
Washington

Wiyono, H.T. 1986. Studi mengenai pentingnya lalat buah Drosophila Melanogaster sebagai
bahan praktikum genetika di SMA. Tesis. Fakultas Pasca sarjana Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan, Malang.

34

Anda mungkin juga menyukai