Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Masa remaja merupakan peralihan dari masa anak- anak ke masa dewasa,

yaitu saat-saat ketika anak tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi
dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia belum dapat dikatakan orang dewasa (Zulkifli
L, 2001 : 63). Banyak orang tua yang kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan
anak-anak remaja mereka. Selain sikap orang tua yang masih belum terbuka
tentang seks, sehubungan dengan masih berlaku tabu dengan masalah seks, orang
tua juga seringkali memang kurang paham perihal masalah yang satu ini.
Pengetahuan yang terbatas itulah yang menyebabkan orang tua kurang dapat
berfungsi sebagaimana narasumber dalam pendidikan seks (Sarlito, 2008 : 196).
Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku
seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku
seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini
terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan
oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua
dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan. Masalah
pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan
bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di
masyarakat (http://one.indoskripsi.com).

Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang
bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan,
bercumbu dan bersenggama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kalangan remaja telah merebak perilaku seksual menyimpang, seperti terungkap
dari penelitian yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya serta studi yang
dilaksanakan Universitas Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Atmajaya (1999) mengungkapkan 9,9% remaja telah melakukan
hubungan seks dengan pasangannya setelah menonton film porno. Sedangkan
riset studi yang dilaksanakan Universitas Indonesia pada tahun yang sama
diperoleh temuan bahwa 21,8% remaja di Bandung telah melakukan hubungan
seks sebelum menikah, di Sukabumi 26% dan Bogor 30,9% (http://one.
indoskripsi.com).
Menurut survei pendahuluan di MA Al-Abror yang merupakan salah satu
sekolah menengah umum yang identik dengan islam dimana diambil 5 remaja
kelas XI dengan hasil 3 orang (60%) menyatakan pernah berciuman dengan pacar
atau teman dekat dan tidak pernah membicarakan seputar seks itu dengan teman
sebaya atau orang tua, sedangkan sebanyak 2 orang (40%) menyatakan tidak
pernah berciuman dengan pacar atau teman dekat dan menyatakan pernah
membicarakan seputar seks itu dengan teman sebaya dan orang tua. Minimal
mereka pernah berbicara kepada orang tua tentang batasan-batasan dalam
berteman dekat ataupun berpacaran.
Secara umum pendidikan seks merupakan suatu informasi mengenai
persoalan seksualitas menusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses

terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual,


hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan.
Karena meningkatnya minat pada seks, remaja selalu berusaha mencari lebih
banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa
seluk beluk tentang seks dapat dipelajari dari orang tua. Oleh karena itu, remaja
mencari berbagai sumber. Informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya
membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks dapat dipelajari atau
mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau bersenggama.
Pada akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah
mempunyai cukup informasi tentang seks guna memuaskan keingintahuan mereka
(Hurlock, 2008 : 226).
Semua pihak, seperti orang tua, guru, tokoh agama dan masyarakat perlu
memahami masalah seks. Harapannya, yang pertama memberikan keterangan
tentang seks adalah orang tua. Orang tua bisa menjelaskan kepada anak-anaknya.
Ini penting untuk menghindari terjadi perilaku seks diluar kewajaran, seperti
kehamilan diluar nikah dan seks bebas. Tentu tindakan seperti itu tidak sesuai
dengan norma-norma adat dan norma-norma agama (http://pendidikanpapua.
blogspot.com). Sehingga banyak remaja mengetahui tentang seks akan tetapi
faktor budaya yang melarang membicarakan mengenai seksualitas didepan umum
karena dianggap vulgar. Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja
tentang seks tidak lengkap, dimana para remaja hanya mengetahui cara dalam
melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak yang akan muncul
akibat perilaku seks tersebut seperti hamil diluar nikah sehingga harus melakukan

pernikahan dini, ataupun jika remaja malu akan melakukan aborsi yang sangat
berbahaya bagi dirinya karena dapat berakibat kematian dan juga penyakit
menular seksual lainnya. Untuk itu perlu adanya pendidikan seks bagi remaja,
baik di sekolah, lingkungan maupun keluarga (http://one.indoskripsi.com).
Memberikan pendidikan seks pada remaja, maksudnya membimbing dan
menjelaskan tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus
dilalui dalam kehidupan manusia. Selain itu harus memasukkan ajaran agama dan
norma-norma yang berlaku. Cara-cara yang dapat digunakan misalnya dengan
mengajak berdiskusi masalah yang ingin diketahui oleh si anak. Orang tua harus
memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan terbuka, kapan saja, sampai si
anak benar-benar mengerti apa yang dimaksud. Cara seperti itu akan
menghilangkan perasaan segan dalam dirinya. Lebih baik dari orang tuanya
pendidikan seks ini diketahui, daripada si anak mendapatkannya dari pendapat
atau khayalan sendiri, teman, buku-buku, ataupun film-film porno yang kini dijual
bebas (Dianawati Ajen, 2003 : 8).
Dari fenomena di atas peneliti ingin mengetahui hubungan pendidikan seks
dalam keluarga dengan perilaku seksual pada remaja di MA AL-Abror Sukosewu
Bojonegoro.

1.2
1.2.1

Rumusan Masalah
Bagaimana pendidikan seks dalam keluarga pada remaja di MA Al-Abror
Sukosewu Bojonegoro ?

1.2.2

Bagaimana perilaku seksual pada remaja di MA Al-Abror Sukosewu


Bojonegoro ?

1.2.3

Bagaimana hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku


seksual pada remaja di MA Al-Abror Sukosewu Bojonegoro ?

1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku

remaja di MA Al-Abror Sukosewu Bojonegoro.


Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pendidikan seks dalam keluarga pada remaja di MA AlAbror Sukosewu Bojonegoro.
2. Mengidentifikasi perilaku seksual pada remaja di MA Al-Abror Sukosewu
Bojonegoro.
3. Menganalisa hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku
seksual pada remaja di MA Al-Abror Sukosewu Bojonegoro.
1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1

Bagi Peneliti
Untuk meningkatkan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam

menganalisa hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual


pada remaja. serta sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2

Bagi Instansi Terkait


Sebagai masukan bagi pihak sekolah tentang perilaku seksual siswa-

siswinya dan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun pola pengajaran yang
bisa meningkatkan pengetahuan siswa-siswinya tentang seksualitas.
1.4.3

Bagi Keluarga
Agar keluarga mengetahui batasan-batasan pendidikan seks yang akan

diberikan kepada anak-anaknya karena keluarga merupakan tempat pertama untuk


anak mendapatkan pendidikan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas mengenai konsep pendidikan seks, keluarga,
perilaku seksual, remaja, ciri-ciri remaja, kerangka konseptual dan hipotesis.

2.1 Pendidikan Seks


2.1.1

Pengertian pendidikan seks


Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas

manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan,
kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspekaspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang
diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat,
apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa
melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Sarlito, 2005 : 190).
2.1.2

Perlunya pendidikan seks


Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja nyata

dari penelitian WHO di 16 negara eropa yang hasilnya adalah sebagai berikut
(Sarlito, 2005 : 191) :
1. Lima negara mewajibkan disetiap sekolah.
2. Enam negara menerima dan mengesahkannya dengan Undang-Undang tetapi
tidak mengharuskan disetiap sekolah.

3. Dua negara secara umum menerima pendidikan tersebut, tetapi tidak


mengukuhkannya dengan Undang-Undang.
4. Tiga negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.
Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi
dengan pendidikan etika, pendidikan antara hubungan sesama manusia yang baik
dalam hubungan keluarga maupun didalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa
tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu
dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar
remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa
mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan
material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam
hal seksual sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan. Tujuan pendidikan
seksual sebagai berikut (http://tauvhk.wordpress.com/2008) :
1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik mental dan
proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada
remaja.
2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan
penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab).
3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua
manifestasi yang bervariasi.
4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa
kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.

5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk


memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan
dengan perilaku seksual.
6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar
individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu
kesehatan fisik dan mentalnya.
7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional
dan eksplorasi seks yang berlebihan.
8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan
aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya
sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Anak yang memiliki konsep beda mengenai seks akan terbawa hingga dewasa dan
mempengaruhi pola pikirnya kelak. Sebelum mencapai usia pubertas, hal-hal yang
perlu diketahui anak adalah (www.hanyawanita.com) :
1. Nama dan fungsi organ reproduksi.
2. Perubahan yang akan dialami saat memasuki masa puber (ditandai mimpi
basah pada laki-laki dan haid pada anak perempuan).
3. Masalah menstruasi (jelaskan sesuai dengan batas kemampuan anak
menerimanya).
4. Hubungan seksual dan kehamilan (imbangi pendidikan seks dengan moral dan
agama yang kuat).
5. Bagaimana mencegah kehamilan (berikan gambaran mengenai dampaknya,
jangan lupa memasukkan unsur moral dan agama).

10

6. Masturbasi (hal yang normal, namun berikan batasan-batasan pada anak).


7. Penyakit yang mungkin ditularkan melalui hubungan seksual.
8. Harapan dan nilai-nilai orang tua (mengenai pergaulan, yang boleh dan tidak
boleh).
Materi pendidikan seks sangat bervariasi, sebuah survei oleh Margareth
Terry Orr di Amerika yang dibicarakan di kalangan remaja adalah sebagai berikut
(http://one.indoskripsi.com) :
1. Perkosaan.
2. Masturbasi.
3. Homoseksual.
4. Disfungsi seksual.
5. Ekploitasi seksual.
Topik-topik lain :
1. Kehamilan pada remaja.
2. Kepribadian dan seksualitas.
3. Kesuburan.
4. KB.
5. Menghindari hubungan seksual.

10

11

2.1.3

Pedoman untuk pendidikan seks


Pendidikan seks harus dimulai secara tepat seiring dengan tingkat

perkembangan anak yang terlihat, menjawab pertanyaan mereka sesuai dengan


minat dan tingkat pemahaman mereka.
Morrison (1998) memberikan contoh pedoman disesuaikan dengan tingkat
perkembangan dan usia anak (http://one.indoskripsi.com) :
1. Anak usia 2-5 tahun.
a. Persamaan secara anatomi jenis kelamin dan perbedaan mengapa anak
laki-laki punya penis, sedangkan anak perempuan tidak ?
b. Nama bagian-bagian tubuh termasuk alat kelamin : secara ilmiah, nama
spesial yang dipakai di masyarakat, keluarga dan istilah yang digunakan di
lingkungan teman sebaya.
c. Diskusi dengan anak tentang dorongan kepuasan dari sentuhan pada alat
kelamin.
2. Anak usia 5-6 tahun.
a. Informasi yang diambil dari sumber yang kurang (seperti dari TV, berita
dan lain-lain).
b. Kosakata tentang definisi yang akurat untuk istilah yang di dengar dan
interprestasi orang tua.
3. Anak usia 7-12 tahun.
a. Perkembangan pribadi, perubahan tubuh dan emosi yang baru.
b. Informasi tentang perkembangan kawan sejenis.
c. Informasi tentang menstruasi.

11

12

4. Anak usia 12 tahun ke atas.


a. Getaran/arrousal : sejenis atau lawan jenis.
b. Seks sebelum nikah.
c. Kontrasepsi.
d. Penyakit kelamin.
e. Seks dan hubungan (relationship).
f. Homoseksualitas.
Berikut ini ada beberapa cara pendidikan seks yang dapat dilakukan orang
tua kepada anaknya, antara lain (http://www.rajawana.com) :
1. Pendidikan seks sejak dini.
Sebenarnya mengenalkan identitas anak sejak dini adalah pengenalan awal
tantang seks. Misalnya anak laki-laki tubuhnya berbeda dengan anak
perempuan. Selain itu bila anak sudah agak besar ajaklah anak duduk bersama
sambil menonton TV. Kalau ada hal tertentu yang menyangkut seks sambil
dijelaskan dengan hati-hati sesuaikan dengan usianya.
2. Sesuaikan dengan usia anak.
Memberikan pendidikan seks harus disesuaikan dengan usia anak..
3. Orang tua menjadi role model.
Makna dari role model adalah orang tua dapat menjadi contoh yang baik
dalam membina keluarga. Untuk itu menonton televisi, video, internet dan
lain-lain dapat dipilih yang sesuai dan tidak mengarah tontonan yang vulgar.
Meski saat sekarang sulit mencari tontonan yang mendidik tetapi dapat
diminimalisir, maka pilihlah tontonan yang sesuai.

12

13

4. Ciptakan hubungan yang baik antara orang tua dengan anak..


Hubungan yang baik serta terbuka akan memudahkan seorang anak menerima
masukan yang diberikan orang tuanya. Hati-hati karena saat sekarang banyak
anak yang tidak mau didekati orang tuanya. Oleh karena itu pendekatan serta
sikap penerimaan akan memudahkan keterbukaan dan komunikasi.
5. Ketahuilah batas-batas pendidikan seks.
Selain hal tersebut diatas mengetahui batas-batas pendidikan seks juga perlu.
Sesuaikan dengan umur mereka serta sejauh mana informasi seks dapat
diberikan. Kalau mungkin tanyakan nilai-nilai hidup yang dianut oleh anak.
6. Kerjasama dengan pihak sekolah.
Masalah pendidikan seks ini tidak dapat ditangani sendiri oleh orang tua tetapi
memerlukan kerjasama yang baik dengan pihak sekolah, lembaga pengajian
atau lainnya. Melalui keterlibatan orang tua dengan pihak sekolah, dan
pengajian maka anak dapat terpantau baik di sekolah maupun di rumah.
2.1.4

Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan


Ruang lingkup pendidikan kesehatan berdasarkan jenis aspek pelayanan

kesehatan mencakup 4 (empat) pelayanan :


1. Tingkat Promotif
Sasaran promosi pada tingkat promotif adalah pada kelompok orang sehat,
dengan tujuan agar mereka mampu meningkatkan kesehatannya.
2. Tingkat Preventif
Adalah kelompok yang beresiko tinggi (high risk), misalnya kelompok ibu
hamil dan menyusui, para perokok, kelompok obesitas (kegemukan), pada

13

14

pekerja seks dan sebagainya. Tujuan utama pendidikan kesehatan pada tingkat
ini adalah untuk mencegah kelompok-kelompok tersebut agar tidak jatuh atau
menjadi/terkena sakit (primary prevention).
3. Tingkat Kuratif
Sasaran pada tingkat ini adalah para penderita penyakit (pasien) terutama
untuk penderita sakit kronis seperti : asma, diabetes melitus, tuberculosis dan
sebagainya. Tujuan promosi kesehatan pada tingkat ini adalah agar kelompok
ini mampu mencegah penyakit tersebut tidak menjadi lebih parah (secondary
prevention).
4. Tingkat Rehabilitative
Promosi kesehatan pada tingkat ini mempunyai sasaran pokok kelompok
penderita atau pasien yang baru sembuh (recovery) dari suatu penyakit. Tujuan
utama promosi kesehatan pada tingkat ini adalah agar mereka segera pulih
kembali kesehatannya, atau mengurangi kecacatan seminimal mungkin.
Dengan perkataan lain, pendidikan kesehatan pada tingkat ini adalah
pemulihan dan mencegah kecacatan akibat penyakit (tertiary prevention).

2.2 Keluarga
2.2.1

Pengertian keluarga
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui

pertalian darah, adopsi atau perkawinan (WHO, 1969).


Keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah

14

15

suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI,


1998).
2.2.2

Fungsi keluarga
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan sebagai

berikut (Wahit Iqbal Mubarak, 2006 : 264) :


1. Fungsi biologis.
a. Untuk meneruskan keturunan.
b. Memelihara dan membesarkan anak.
c. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
2. Fungsi psikologis.
a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga.
b. Memberikan perhatian diantara keluarga.
c. Memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga.
d. Memberikan identitas keluarga.
3. Fungsi sosialisasi
a. Membina sosialisasi pada anak.
b. Membentuk

norma-norma

tingkah

laku

sesuai

dengan

tingkat

perkembangan masing-masing.
c. Meneruskan nilai-nilai keluarga.
4. Fungsi ekonomi.
a. Mencari

sumber-sumber

penghasilan

keluarga.

15

untuk

memenuhi

kebutuhan

16

b. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang


akan datang.
5. Fungsi pendidikan.
a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan
membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang
dimilikinya.
b. Mempersiapakan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam
memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2.2.3

Struktur keluarga
Struktur keluarga terdiri dari bermacam-macam, diantaranya adalah (Wahit

Iqbal Mubarak, 2006 : 256) :


1. Patrilineal.
Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis
ayah.
2. Matrilineal.
Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah
dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu.
3. Matrilokal.
Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
istri.
4. Patrilokal.
Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah
suami.

16

17

5. Keluarga Kawinan.
Adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya
hubungan dengan suami istri.
2.2.4

Peranan keluarga
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat.

kegiatan, yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu.
Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari
keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam
keluarga adalah sebagai berikut (http://yenibeth.wordpress.com) :
1. Peranan ayah.
Ayah sebagai suami dari istri, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota
dari

kelompok

sosialnya,

serta

sebagai

anggota

masyarakat

dari

lingkungannya.
2. Peranan ibu.
Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya,
pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya, serta
menjadi anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga dapat
berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
3. Peranan anak.
Anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkat
perkembangannya, baik fisik, mental, sosial dan spiritual.

17

18

2.2.5

Tugas-tugas keluarga
Dalam sebuah keluarga ada beberapa tugas dasar di dalamnya terdapat 8

tugas pokok sebagai berikut (Wahit Iqbal Mubarak, 2006 : 265) :


1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2. Memelihara sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya
masing-masing.
4. Sosialisasi antar anggota keluarga.
5. Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.

2.3 Perilaku seksual


2.3.1

Definisi
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Bentukbentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam ,mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Obyek seksualnya
bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarlito,
2008 : 142).

18

19

2.3.2

Berbagai Perilaku Seksual Remaja


Berbagai perilaku seksual pada remaja yang belum saatnya untuk

melakukan hubungan seksual secara wajar antara lain (Gunarsa dan Gunarsa,
1996 : 42) :
1. Masturbasi atau onani yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap
alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk pemenuhan
kenikmatan yang sering sekali menimbulkan goncangan pribadi atau emosi.
2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan,
pegangan tangan sambil pada ciuman dan sentuhan seks yang pada dasarnya
adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.
3. Berbagai kegiatan yang mengarah kepada pemuasan dorongan seksual yang
pada

dasarnya

menunjukkan

ketidakberhasilan

seseorang

dalam

mengendalikan atau kegagalan untuk mengalahkan dorongan tersebut ke


kegiatan yang lain yang bersifat positif. Contoh dari perilaku ini adalah
pergaulan bebas, kesenangan mengintip untuk memperoleh kepuasan seksual
dan perilaku menyimpang lainnya.
Berbagai perilaku seksual remaja yang diharapkan yaitu yang didalamnya
terkandung makna positif, seperti pacaran yang bisa menambah gairah belajar dan
semangat hidup, melatih tanggung jawab dan kemandirian serta tanggung jawab,
misalnya (Gunarsa dan Gunarsa, 1996 : 41) :
1. Hanya bercakap-cakap saat berpacaran.
2. Mempertahankan keperjakaan atau kegadisan sebelum menikah.
3. Tidak melakukan hubungan seks dalam bentuk apapun sebelum menikah.

19

20

2.3.3

Penyimpangan perilaku seksual


Hubungan seksual yang abnormal dimaksudkan sebagai hubungan yang

menyimpang dari yang wajar baik dalam cara atau pasangan seksualnya
(Sarlito,2005 : 174) :
Hubungan seksual yang abnormal meliputi :
1. Sadisme
Mencapai kepuasan seksual dengan cara menimbulkan penderitaan psikologik
atau fisik pada pasangan seksnya.
2. Ekshibionisme
Mendapat kepuasan seks setelah memperlihatkan alat kelamin pada orang
asing.
3. Triolisme atau troilisme
Mendapat kepuasan seks setelah menonton orang lain melakukan aktivitas
seks juga.
4. Seksualarisme
Mendapatkan kepuasan seksual setelah melakukan aplikasi bibir pada lidah
dan mulut pasangannya.
5. Fellasio
Stimulasi penis dengan mulut, lidah dan bibir.
6. Kunnilingus
Stimulasi vagina dengan mulut dan bibir serta lidah.
7. Homoseksualitas
Kepuasan seks terjadi bila berhubungan dengan pasangan berjenis kelamin
sama.

20

21

8. Lesbian
Dikaitkan dengan kepuasan seksual antara sesama wanita.
9. Pedofilia
Perbuatan atau fantasi untuk melakukan aktivitas dengan anak prapubertas.
10. Bestalisme
Keinginan hubungan seks pada binatang.
11. Nekrofilia
Kepuasan seks didapat dari melihat dan berhubungan dengan mayat.
2.3.4

Faktor-faktor penyebab masalah seksualitas pada remaja.


Faktor-faktor penyebab masalah seksualitas pada remaja adalah sebagai

berikut (Sarlito, 2008 : 153) :


1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido
seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran
dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
2. Akan tetapi, penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya
penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya UndangUndang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya
16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial
yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk
perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain).
3. Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku. Seseorang
dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan,
larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku yang lain
seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan

21

22

diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan


tersebut.
4. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran
informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya
teknologi canggih (video cassette, fotocopy, satelit, vcd, telepon genggam,
internet dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang
dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat
atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya
belum pernah megetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
5. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya
yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak
terbuka terhadap anak. Malah, orang tua cenderung membuat jarak dengan
anak dalam masalah yang satu ini.
6. Di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang
makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat. Hal ini akibat
berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita
makin sejajar dengan pria.
2.3.5

Pola pada perilaku seksual remaja.


Pola pada perilaku seksual remaja dapat dibedakan sebagai berikut :

(http://one.indoskripsi.com) :
1. Ada perbedaan persentase antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan
masturbasi. Hampir 82% dari laki-laki usia 15 tahun yang melakukan
masturbasi, sedangkan hanya 20% dari perempuan usia 15 tahun yang

22

23

melakukan masturbasi. Perilaku masturbasi ini sendiri secara psikologis


menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan bersalah dan perasaan
puas. Masturbasi itu sendiri bila dilakukan secara proporsional sebenarnya
memiliki nilai positif, yaitu : melepaskan tekanan seksual yang menghimpit,
merupakan eksperimen seksual yang sifatnya aman, untuk meningkatkan rasa
percaya diri dalam membuktikan kemampuan seksualnya, mengendalikan
dorongan seksual yang tidak terkontrol, mengatasi rasa kesepian, memulihkan
stres dan tekanan hidup.
2. Petting. Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual
antara jenis kelamin dengan tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia 15
tahun ditemukan bahwa 39% remaja perempuan melakukan petting,
sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
3. Oral-genital seks. Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk
menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model oral genital
ini merupakan alternatif aktifitas seksual yang dianggap aman oleh remaja
masa kini.
4. Seksual intercourse. Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja
pertama kali melakukan seksual intercourse. Pertama muncul perasaan
nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi lain muncul perasaan
cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan bersalah.
5. Pengalaman homoseksual. Adakalanya perilaku homoseksual bukan terjadi
pada remaja yang orientasi seksualnya memang homo, namun berbagai jenis
kasus menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sarana latihan remaja untuk
menyalurkan dorongan seksual yang sebenarnya dimasa yang akan datang.
Pada remaja yang memiliki orientasi seksual homo, biasanya sejak dini

23

24

melakukan proses pencarian informasi mengenai kondisi yang menimpa


dirinya. Informasi bisa diperoleh dari bacaan, sesama teman homo atau justru
sangat ketakutan dengan kondisi dirinya sehingga mencoba-coba melakukan
hubungan seksual secara hetero. Tidak mudah bagi remaja jika ia mengetahui
bahwa orientasi seksualnya bersifat hetero, sebab pada dirinya kemudian akan
timbul konflik yang menyangkut nilai-nilai kultural mengenai hubungan antar
jenis.
Berikut beberapa bahaya utama akibat seks pranikah dan seks bebas :
1. Menciptakan kenangan buruk. Apabila seseorang terbukti telah melakukan
seks pranikah atau seks bebas maka secara moral pelaku dihantui rasa bersalah
yang berlarut-larut. Keluarga besar pelaku pun turut menanggung malu
sehingga menjadi beban mental yang berat.
2. Mengakibatkan kehamilan. Hubungan seks satu kali saja bisa mengakibatkan
kehamilan bila dilakukan pada masa subur. Kehamilan yang terjadi akibat seks
bebas menjadi beban mental yang luar biasa. Kehamilan yang dianggap
kecelakaan ini mengakibatkan kesusahan dan malapetaka bagi pelaku
bahkan keturunannya.
3. Menggugurkan kandungan (aborsi) dan pembunuhan bayi. Aborsi merupakan
tindakan medis yang ilegal dan melanggar hukum. Aborsi mengakibatkan
kemandulan bahkan kanker rahim. Menggugurkan kandungan dengan cara
aborsi tidak aman, karena dapat mengakibatkan kematian.
4. Penyebaran penyakit. Penyakit kelamin akan menular melalui pasangan dan
bahkan keturunannya. Penyebarannya melalui seks bebas dengan bergontaganti pasangan. Hubungan seks satu kali saja dapat menularkan penyakit bila
dilakukan dengan orang yang tertular salah satu penyakit kelamin. Salah satu
virus yang bisa ditularkan melalui hubungan seks adalah HIV.

24

25

5. Timbul rasa ketagihan.


2.3.6

Upaya pencegahan seks bebas dalam keluarga.

Beberapa upaya dalam pencegahan seks bebas adalah sebagai berikut


(http://fitrada.wordpress.com):
1. Keluarga harus mengerti tentang permasalahan seks sebelum menjelaskan
kepada anak.
2. Jangan menjelaskan masalah seks kepada anak laki-laki dan perempuan pada
waktu dan ruang yang sama.
3. Hindari hal-hal yang berbau porno saat menjelaskan masalah seks.
4. Tanamkan etika memelihara diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.
5. Membangun sikap saling percaya antara orang tua dan anak.
2.4 Remaja
2.4.1

Pengertian remaja
Masa remaja merupakan masa peralihan atau masa anak-anak menuju ke

arah kedewasaan. Jika digolongkan sebagai anak-anak sudah tak sesuai lagi, tapi
jika digolongkan dengan orang dewasa juga belum sesuai (http://one.
indoskripsi.com). Istilah remaja berasal dari kata latin adolescentia yang berarti
tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa dan dianggap dewasa apabila sudah
mampu mengadakan reproduksi (Hurlock, 2008 : 206).
2.4.2

Batasan usia remaja


BKKBN memberikan batasan bahwa remaja adalah anak yang berusia

antara 11-21 tahun (BKKBN, 1998).


WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja dan
membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal usia10-14 tahun
dan remaja akhir usia 15-20 tahun (Sarlito, 2008 : 10).

25

26

2.4.3

Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia


Untuk mayarakat Indonesia pengertian remaja menggunakan batasan usia

12-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut (Sarlito,
2005 : 14) :
1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda seksual sekunder
mulai tampak (kriteria fisik).
2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik,
baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa
seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson),
tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan
tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg)
(kriteria psikologi).
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang
bagi mereka sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada
orang tua, belum mempunyai hak penuh sebagai orang dewasa (secara
adat/tradisi), belum dapat memberikan pendapat sendiri dan sebagainya.
Dengan perkataan lain, orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat
memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologik, masih
dapat digolongkan remaja. Golongan ini cukup banyak terdapat di Indonesia,
terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas yang
mempersyaratkan berbagai hal (terutama pendidikan setinggi-tingginya) untuk
mencapai kedewasaannya sebelum usia tersebut.
Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan, karena arti
perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh.

26

27

Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan
sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan
masyarakat dan keluarga. Karena itu definisi remaja di sini dibatasi khusus untuk
yang belum menikah.
2.4.4

Ciri-ciri remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode

sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain (Hurlock, 2008 : 207) :
1. Masa remaja sebagai periode penting, karena terjadi perkembangan fisik dan
mental yang cepat.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak
ke masa dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, terjadi perubahan emosi, tubuh,
minat dan peran, perubahan nilai-nilai dan tanggung jawab.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam mengatasi masalah dan remaja merasa sudah mandiri
sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas diri yang dicari
remaja berupa usaha untuk mencari siapa dirinya, apa peranannya dalam
masyarakat, apakah ia seorang anak atau orang dewasa.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, anggapan sterotipe
budaya yang bersifat negatif terhadap remaja, mengakibatkan orang dewasa
tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis, remaja melihat dirinya dan
orang lain sebagaimana yang mereka inginkan.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, remaja berperilaku yang
dihubungkan dengan status dewasa seperti merokok, minum-minuman keras,

27

28

obat-obatan dan terlibat seks, agar mereka memperoleh citra yang mereka
inginkan.
2.4.5

Tahap perkembangan remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap


perkembangan remaja, yaitu (http://one.indoskripsi.com) :
1. Remaja awal (early adolescence).
Pada tahap ini remaja masih terheran-heran pada perubahan yang terjadi
pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan itu,
tertarik pada lawan jenis, mudah terangsang oleh erotis dan berkurangnya kendali
terhadap ego.
2. Remaja madya (middle adolescence).
Pada tahap ini remaja membutuhkan kawan-kawan, ada kecenderungan
narcistic atau mencintai diri sendiri.
3. Remaja akhir (late adolescence).
Pada tahap ini remaja mengalami konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian :
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam
pengalaman-pengalaman baru.
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri
dan orang lain.
e. Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum.

28

29

2.5 Kerangka Konseptual


Kerangka konseptual adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang
ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan
(Notoatmojdo, 2005 : 69).
Keluarga

Pendidikan seksual :
Promotif

Pendidikan seks
Remaja
1. Remaja awal
2. Remaja madya
3. Remaja akhir

Preventif
Kuratif
Rehabilitatif

Perilaku seksual :
1. Masturbasi atau onani
2. Petting
3. Oral-genital
4. Seksual intercourse
5. Homoseksual
Menyimpang

Tidak menyimpang

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Pendidikan Seks Dalam Keluarga
Dengan Perilaku Seksual Remaja di MA Al-Abror Sukosewu
Bojonegoro Tahun 2009.

29

30

2.6 Hipotesa
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pernyataan
penelitian (Nursalam, 2003 : 57).
Dalam penelitian ini hipotesis awal (H0) yang digunakan adalah tidak ada
hubungan pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seksual pada remaja di
MA AL-Abror Sukosewu Bojonegoro tahun 2009.

30

31

BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara untuk memecahkan masalah berdasarkan
metode keilmuan atau ilmiah (Nursalam dan Siti Partini,2001 : 135).
Pada bab ini akan dibahas tentang desain penelitian, kerangka kerja,
populasi, sampel dan sampling, identifikasi variabel, definisi operasional,
pengumpulan data dan analisa data, waktu dan tempat penelitian, etika penelitian
dan keterbatasan.
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat
oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan
(Nursalam,2003 : 80).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik yaitu penelitian
yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi,
kemudian melakukan analisa dinamika korelasi antara fenomena, baik antara
faktor resiko dengan faktor efek, antara faktor resiko, maupun antar faktor efek
(Notoatmodjo S, 2002 : 145).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional yaitu
jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data
variabel independent dan variabel dependent dinilai satu saat. Tentunya tidak
semua subjek penelitian harus di observasi pada hari atau waktu yang sama akan
tetapi baik variabel independent maupun variabel dependent dinilai hanya satu
kali (Nursalam,2003 : 85).

31

32

3.2 Kerangka Kerja


Kerangka kerja adalah pentahapan (langkah-langkah dalam aktifitas ilmiah)
mulai dari penetapan populasi, sampel dan seterusnya, yaitu kegiatan sejak awal
penelitian akan dilaksanakan (Nursalam, 2003 : 56).
Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa MA Al-Abror Sukosewu
Bojonegoro tahun 2009 dengan jumlah 79 siswa
Penelitian ini menggunakan stratified proporsional random sampling
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian siswa MA Al-Abror Sukosewu
Bojonegoro tahun 2009 yang memenuhi kriteria inklusi dengan jumlah 66 siswa
Identifikasi variabel
Variabel dependent
Perilaku seksual pada remaja MA
Al-Abror Sukosewu Bojonegoro

Variabel independent
Pendidikan seks dalam
keluarga

Pengumpulan data dengan kuesioner


Setelah data terkumpul kemudian ditabulasi dan dianalisa data
dengan menggunakan tabel distribusi untuk data kuantitatif
Dilakukan uji korelasi Chi-Square
Penyajian hasil
Kesimpulan

Ada hubungan

Tidak ada hubungan

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Hubungan Pendidikan Seks Dalam Keluarga Dengan
Perilaku Seksual Remaja Di MA Al-Abror Sukosewu Bojonegoro
Tahun 2009.

32

33

3.3 Populasi, Sampel dan Sampling


3.3.1

Populasi
Populasi

adalah

keseluruhan

objek

penelitian

atau

objek

diteliti

(Notoatmodjo S, 2005 : 79). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa MA. Al-Abror Sukosewu Bojonegoro tahun 2009 dengan jumlah 79
siswa.
3.3.2

Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo S, 2005 : 79).


Penentuan besar sampel :

N .Z 21 / 2 .P(1 P)
n
( N 1)d 2 Z 21 / 2 .P(1 P)
n

79.(1,96) 2 .0,5(1 0,5)


(79 1)(0,05) 2 (1.96) 2 .0,5(1 0,5)

79(3,8416).0,5(0,5)
(78)(0,0025) (3,8416).0.5(0,5)

75,8716
0,195 0,9604

75,8716
1,1554

n 65,6669 =

66 responden.

Keterangan :
N

: Besar populasi

: Besar sampel minimum

Z1-/2

: Nilai standar normal untuk : 0,05 (1,96)

33

34

: Harga proporsi dipopulasi

: Kesalahan (absolut yang dapat ditolerir)

Proporsi Sampel :
n

jumlah siswa satu kelas


responden
jumlah siswa keseluruhan

29
66 24,227 24
79

II

30
66 25,063 25
79

III

20
66 16,708 17
79

Kriteria sampel :
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003 : 96). Dalam
penelitian ini kriteria inklusinya adalah responden yang bersedia diteliti.
3.3.3

Sampling
Sampling adalah suatu proses menyeleksi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam, 2003 : 97).


Pada penelitian ini menggunakan stratified proporsional random sampling
yaitu strata atau kedudukan subjek (seseorang). Jenis sampling dipergunakan
peneliti untuk mengetahui beberapa variabel yang representatif (Nursalam,
2003 : 97).

34

35

3.4 Identifikasi Variabel


Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu
kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh
kelompok tersebut (Nursalam, 2003 : 102). Variabel dalam penelitian ini ada dua
yaitu variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).
1. Variabel independent atau variabel bebas.
Variabel independent adalah stimulus aktivitas yang dimanipulasi peneliti
untuk menciptakan suatu dampak pada variabel dependent (Nursalam, 2003 :
102). Dalam penelitian ini variabel independentnya adalah pendidikan seks
dalam keluarga.
2. Variabel dependent atau variabel terikat.
Variabel dependent adalah merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat karena variabel bebas (Alimul Aziz, 2003 : 37). Dalam penelitian ini
variabel dependentnya adalah perilaku seksual pada remaja di MA. Al-Abror
Sukosewu Bojonegoro.

35

36

3.5 Definisi operasional


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati
dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2003 : 106).
Tabel 3.1

Definisi operasional Hubungan Pendidikan Seks Dalam Keluarga


Dengan Perilaku Seksual Remaja di MA Al-Abror Sukosewu
Bojonegoro Tahun 2009.

Variabel

Definisi
operasional
Variabel
Sesuatu
independent informasi
Pendidikan mengenai
seks dalam persoalan
keluarga.
seksualitas
manusia yang
jelas dan benar,
yang meliputi
proses
terjadinya
pembuahan,
kehamilan
sampai
kelahiran,
tingkah laku
seksual,
hubungan
seksual dan
aspek-aspek
kesehatan,
kejiwaan dan
kemasyaratan.

Indikator
1. Pendidikan seks
sejak dini.
2. Pendidikan
disesuaikan
dengan usia anak.
3. Orang tua
menjadi role
model.
4. Menciptakan
hubungan yang
baik antara orang
tua dengan anak.
5. Mengetahui
batas-batas
pendidikan seks.
6. Bekerja sama
dengan pihak
sekolah.

Alat ukur

Skala

Kuesioner Ordinal

Skor
Ya : 1
Tidak : 0
Dengan kriteria :
1. Baik jika orang
tua melakukan
semua cara
pendidikan seks
sebesar (76100%).
2. Cukup jika
orang tua
melakukan
semua cara
pendidikan seks
sebesar (5675%).
3. Kurang jika
orang tua
melakukan
semua cara
pendidikan seks
sebesar (<56%).
Kode :
1 untuk kurang.
2 untuk cukup.
3 untuk baik.

Variabel
dependent
Perilaku
seksual
pada remaja

Segala tingkah
laku yang
didorong oleh
hasrat seksual,
baik dengan

1.
2.
3.
4.

Masturbasi/ onani
Petting
Oral-genital seks.
Seksual
intercourse

36

Kuesioner Nominal Ya : 1
Tidak : 0
Dengan kriteria :
1. Menyimpang,

37

Variabel
di MA AlAbror
Sukosewu
Bojonegoro

Definisi
Indikator
operasional
lawan jenisnya 5. Homoseksual
maupun dengan
sesama jenis.

Alat ukur

Skala

Skor
jika menjawab
ya hanya satu
atau lebih
pertanyaan.
2. Tidak
menyimpang,
jika jawaban
tidak pada
semua
pertanyaan.
Kode :
- Menyimpang : 0
- Tidak
menyimpang : 1

3.6 Pengumpulan Data dan Analisa Data


3.6.1

Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan

proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian


(Nursalam, 2003 : 115).
3.6.1.1 Proses Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data peneliti mendapatkan ijin Direktur
Akademi Kesehatan Rajekwesi Bojonegoro, Kepala Dinas Kesbaglinmas
Bojonegoro, Dinas Pendidikan Bojonegoro, Kepala Sekolah MA Al-Abror
Sukosewu

Bojonegoro

dan

responden.

Sebelumnya

peneliti

melakukan

pendekatan kepada responden untuk mendapatkan persetujuan (informent


concent) sebagai responden. Cara pengumpulan data dengan memberikan lembar
pertanyaan kepada responden. Jika ada kesulitan dalam pengumpulan data,

37

38

peneliti memberikan penjelasan pada responden tentang tujuan dan manfaat


penelitian.
3.6.1.2 Instrument Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dengan mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik dalam arti lebih cermat, lengkap, sistematis sehingga mudah diolah (Arikunto
S,

2002 : 151).
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini

untuk variabel independent dan dependent menggunakan kuesioner. Kuesioner


adalah daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang dimana
responden

tinggal

memberikan

jawaban

atau

memberi

tanda

tertentu

(Notoatmodjo Soekidjo, 2002 : 16). Dalam penelitian ini kuesioner berbentuk


pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup (closed ended question) jenis
dichotomous choice yaitu pertanyaan yang hanya menyediakan 2 jawaban atau
alternatif, dan responden hanya memilih satu diantaranya (Notoatmodjo S, 2005 :
124).
3.6.1.3 Waktu dan Tempat Pengumpulan Data
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di MA. Al-Abror Sukosewu Bojonegoro.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada 23 Juni sampai dengan 27 Juni tahun 2009.

38

39

Tehnik analisa data


1. Editing
Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan data yang
telah dikumpulkan . juga memonitor jangan sampai terjadi kekosongan data yang
dibutuhkan.
2. Coding
Setiap responden diberi kode sesuai dengan nomor urut. Pada variabel
independent jika tingkat pendidikan responden baik diberi kode 3, jika tingkat
pendidikan responden cukup diberi kode 2, jika tingkat pendidikan kurang
diberi kode 1. Dan untuk variabel dependent jika terjadi penyimpangan diberi
kode 2 dan jika tidak menyimpang diberi kode 1.
3. Skoring
Pada variabel independent diberi skor 1 jika jawaban ya dan diberi skor 0
jika jawaban tidak dan variabel dependent diberi skor 1 jika jawaban ya dan
diberi skor 0 jika jawaban tidak, dengan menggunakan rumus :
N

Sp
x100%
Sm

Keterangan :
N

: nilai yang didapat

Sp

: jumlah skor yang didapat

Sm : jumlah skor maksimal atau tertinggi


Setelah dilakukan prosentase, kemudian diinterprestasikan dengan :
1. Variabel independent

: Pendidikan seks dalam keluarga

Baik

: jika mendapat skor 76-100 %

Cukup

: jika mendapat skor 56-75 %

Kurang

: jika mendapat skor < 55 %

39

40

2. Variabel dependent
Menyimpang

: Perilaku seksual pada remaja


: jika menjawab ya pada satu atau lebih

pertanyaan.
Tidak menyimpang

: jika menjawab tidak pada semua pertanyaan.

Dari pengolahan data hasil penelitian yang telah dilaksanakan, data


kemudian dimasukkan dalam tabel distribusi yang dikonfirmasi dalam bentuk
prosentase dan narasi, kemudian dilakukan tabulasi silang untuk mengetahui
hubungan variabel independent dengan variabel dependent.
Intepretasi data sebagai berikut :
1) 90%-100%

: mayoritas

2) 70%-89%

: sebagian besar

3) 51%-6%

: lebih dari sebagian

4) 50%

: sebagian

5) < 50%

: kurang dari sebagian

4. Tabulating
Teknik pengolahan dan analisa data pada penelitian ini adalah data yang
sudah terkumpul ditabulasi dan diprosentasekan dalam tabel distribusi
frekuensi,kemudian dianalisa untuk mengetahui hubungan antar variabel
independent dengan variabel dependent dihitung dengan komputerisasi SPSS
menggunakan uji Chi-Square. Hal ini bertujuan untuk menyampaikan ada
tidaknya hubungan antara variabel yang diteliti. Uji ini menggunakan derajat
kemaknaan = 0,05, dengan syarat :
1. Data yang dianalisis merupakan data nominal.
2. Data yang dianalisis harus berasal dari dua variabel yang terpisah.

40

41

(Arikunto, 1998 : 462).


Dari uji statistik akan diperoleh 2 kemungkinan hasil yaitu :
1. Signifikan atau bermakana, adanya hubungan perbedaan atau pengaruh antara
sampel yang diteliti pada taraf signifikan tertentu. Derajat kemaknaan atau =
0,05.
2. Tak signifikan atau tidak bermakna artinya tidak ada hubungan.
Ada dua kemungkinan yaitu :
1. (Hipotesa alternatif = Hi/Ha) diterima dan dihipotesis penelitian atau nihil (Ho
diterima) berarti ada hubungan.
2. Hipotesis tidak terbukti (Ho diterima) berarti tidak ada hubungan.
3.7 Etika Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti mendapat rekomendasi dari
Akademi Kesehatan Rajekwesi Bojonegoro dan lahan yang akan diteliti untuk
mendapat persetujuan, kemudian lembar observasi diberikan kepada subjek yang
akan diteliti oleh peneliti dengan menekankan pada masalah etika meliputi :
Informent concent atau lembar persetujuan penelitian
Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada responden dengan tujuan
subjek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti
selama pengumpulan data jika subjek bersedia diteliti maka harus mendatangani
persetujuan, jika subjek menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa
dan tetap menghormati haknya.
Anonimity atau tanpa nama

41

42

Untuk

menjaga

kerahasiaan

identitas

subjek,

peneliti

tidak

akan

mencantumkan nama subjek lembar pengumpulan data (lembar observasi) yang


disi oleh subjek lembar tersebut hanya diberi nomer kode tertentu.
Confidentiality atau kerahasiaan
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subjek dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, data tersebut hanya akan disajikan atau dilaporkan
kepada yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.8 Keterbatasan.
Limitasi adalah keterbatasan dalam suatu penelitian dan mungkin
mengurangi kesimpulan secara umum (Nursalam, 2003:45). Peneliti menyadari
penelitian ini masih jauh dari sempurna dan masih ada beberapa kekurangan,
ini disebabkan karena :
Keterbatasan desain, karena desain yang digunakan adalah cross sectional
sehinggta responden diobservasi hanya sekali saja dengan hasilnya kurang akurat.
3.8.1

Pengumpulan data dengan kuesioner memiliki jawaban lebih dipengaruhi


sikap dan harapan-harapan yang bersifat subjektif, sehingga hasilnya
kurang bisa mewakili secara kualitatif.

3.8.2

Instrumen penelitian data dirancang oleh peneliti sendiri tanpa melakukan


uji coba oleh karena validitas dan rehabilitasnya masih kurang.

42

Anda mungkin juga menyukai