Anda di halaman 1dari 15

JAKARTA, KOMPAS.

com -- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kala menilai, konsolidasi


demokrasi telah menyelamatkan Indonesia dari kerterpurukan ekonomi 1998. Sebagai negara
berpulau dan bersuku, dengan lebih dari 300 bahasa, Indonesia merupakan negara besar yang
bisa jadi contoh keberhasilan dalam menerapkan demokrasi mutikultural.
"Walaupun banyak perbedaan, namun karena demokrasi kita baik, maka kita dapat hidup dengan
damai," ujar Kalla dihadapan peserta World Peace Forum (WPF) ke-4, Sabtu (24/11/2012).
Dalam pemaparannya Kalla didampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din
Syamsuddin, dan pimpinan Cheng Ho Multi Culture Education Trus, Tan Sri Lee Kim Yew dari
Malaysia. "Demokrasi sangat baik dan penting bagi negara multikultural seperti Indonesia,
karena itu Indonesia memilih demokrasi sebagai alat pembangunan mencapai kesejahteraan,"
kata Kalla.
Setiap negara menjalankan demokrasi dengan kelebihannya masing-masing, tak ada yang bisa
klaim yang satu lebih baik dari yang lain. Di sinilah, menurut Kalla, perlunya melakukan
pendidikan demokrasi dengan baik dan kepemimpinan yang baik.
WPF merupakan forum tingkat dua tahunan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, bekerja sama dengan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations
(CDCC), dan Cheng Ho Multi Culture Education Trust dari Malaysia.
WPF ke-4 ini dibuka oleh Wakil Ketua MPR-RI Hajriyanto Y Tohari dan diikuti 200 peserta dari
dalam dan luar negeri. Peserta tersebut terdiri dari tokoh politik, pemimpin organisasi,
akademisi, dan aktivis perdamaian.
Acara ini menekankan pentingnya konsolidasi demokrasi multikultural, identitas dan
multikulturalisme, yang sangat menentukan bagi terciptanya perdamaian dan peningkatan
demokrasi. WPF akan diakhiri dengan pidato puncak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Minggu (25/11/2012) di Istana Bogor.

DEMOKRASI MULTIKULTURAL

Sabtu, 1 Desember 2012 15:47:53 - oleh : redaksi - views 225


http://mitranews.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=4056&judul=demokrasimultikultural.html, diunduh pada tanggal 19 Maret 2013, 9:08AM
Demokrasi multikultural yang kuat, teduh, dan stabil sangat diperlukan untuk menjamin
perdamaian sejati. Demikian ungkapan Susilo Bambang Yudoyono pada pembukaan The 4th
World Peace Forum (WPF) yang diprakarsai oleh Muhammamdiyah pada 23 - 25 November

2012 di Bogor Jawa Barat.


Pertemuan ini bagi seluruh kalangan sangat luar biasa di tengah bangsa Indonesia mengalami
krisis moral dan kontraksi sosial, terutama dalam perilaku demokrasi yang sedang kita anut
bersama. Bukan main, 50 tokoh dunia dari 21 negara dan 100 peserta dari berbagai kalangan
seperti tokoh agama, praktisi politik, intelektual, bisnis, dan media lokal maupun media
internasional.
Visi demokrasi multikultural adalah membangun peradaban dalam dialog dan mengedepankan
keharmonisan. Sisi lain, tantangan demokrasi kita saat ini krisis moral dan estetika sehingga
makna demokrasi sedikit ditinggalkan termasuk terjadinya gejala-gejala impunitas media,
korupsi, penjarahan, penyelewengan konstitusi dan lain-lain.
Menurut Robert W Hefner (2012) bahwa demokrasi multikultural harus disepadankan dengan
agama mayoritas maupun minoritas sebagai jalan menuju pengakuan kemajemukan diantara
masyarakat dunia. Indonesia pun menjadi lahan besar nan subur untuk memberikan kontribusi
positif dalam menciptakan tatanan perdamaian di seluruh dunia dengan ciri khas gaya
multikulturnya yang unik sehingga dapat menjadi contoh bagi negara lainnya seperti eropa, AS,
dan Timur Tengah.
Agama dan Multikultural
Konsep agama tentu harus diakui sebagai ujung tombak perbaikan sistem sosial (kulltur). Agama
mengajarkan kebaikan, saling memahami, menghormati, menghargai dan harmonis. Hubungan
dengan demokrasi tentu sangat erat kaitannya ketika kita membahas wacana demokrasi dan
realitas masyarakat multikultural.
Menurut Sri Lee Kim Yew (kompas 24/11/2012) mengatakan bahwa semua agama mengajarakan
kebaikan. Agama itu perlu terus di kampanyekan dalam ruang kehidupan masyarakat melalui
pendidikan yang benar. Karena dengan agamalah makna lain demokrasi akan tercapai
sebagaimana harapan. Untuk membangun hubungan antar agama harus melalui dialog, diskusi,
dan penciptaan kondisi harmonis sehingga pengembangan gaya hidup multikultural merupakan
syarat utama dalam sebuah negara damai dan harmonis.
Pendapat lain, Din Syamsuddin (2012) mengatakan bahwa tentu agama yang benar menekankan
pada penghargaan atas keberagaman sebagai hukum alam yang harus diterima ditengah
pergulatan realitas perbedaan. Maka karena itu, sangat perlu pengembangan demokrasi
multikultural dalam dimensi kemanusiaan.
Bagaimanapun demokrasi multikultural adalah produk bangsa Indonesia yang harus dijaga
kelestariaannya ditengah keberagaman masyarakat sehingga terciptanya kerukunan yang saling
mengisi dalam pembangunan bangsa ini. Jika kita bandingkan dengan Eropa dari dulu hingga
sekarang ini, bahwa Eropa tidak memiliki sejarah pluralismenya. Struktur sosial kemasyarakatan
cenderung di dominasi oleh kalangan menengah ke atas yang belatarbelakang ras satu sehingga
Eropa di kenal dengan "No Rasion". Begitu juga ditimur tengah saat ini yang sedang
menumbuhkan demokrasi di situasi serba sulit karena dominannya "religion rasism" (rasisme

agama).
Faktor pendukung demokrasi multikultural adalah membangun kekuatan baru dengan kesamaan
visi baik secara ideologi politik, agama, ekonomi maupun budaya sehingga demokrasi dan
agama dalam proses perbedaan tersebut dapat saling mengisi satu sama lain atas spirit bersama
membangun perdamaian dunia. Susilo Bambang Yudoyono (2012) mengatakan bahwa
keberadaan demokrasi dan agama merupakan hasil reflektif perjalanan suatu bangsa. Kemudian
bangsa tersebut harus siap menerima segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan budaya.
Berbeda dengan demokrasi di negara homogen, dimana Indonesia akhir 1990-an memulai
reformasi dan demokratisasi yang kini masih berupaya mematang demokrasi dengan segala
aspek ekonomi, sosial, agama dan politik.
Demokrasi dan agama di Indonesia sudah bergerak maju ke arah yang lebih baik dan selalu
berkelindan sepanjang masa untuk memperbaiki segala perkembangan sosialitas masyarakat.
Walaupun disisi lainnya, demokrasi Indonesia mengalami pasang surut. Prinsip demokrasi harus
berupaya terus dikembangkan seiring pembentukan nilai-nilai moral dalam struktur kekuasaan
maupun masyarakat agar kualitas demokrasi dapat terjaga dengan baik. Problem lain demokrasi
kita adalah soal multi partai, pilkada langsung yang belum matang, kesiapan masyarakat dalam
memainkan peran demokrasi multikultural tersebut masih lemah. Dengan demikian, tantangan
tersebut harus secara terus menerus diperbaiki melalui imajinasi dalam lingkup damai, harmonis
dan etos kerja yang benar.
Koeksistensi
Fenomena menarik dari demokrasi multikultural adalah terjadinya koeksistensi, dimana tingkat
kesulitan demokrasi bertambah banyak karena Indonesia pasca reformasi menganut sistem
multipartai sehingga proses politik dan perjalanan panjang model birokrasi tak terhindarkan.
Memaksimalkan demokrasi multikultural harus memasang telinga pada dua tempat perbedaan
yakni kaum mayoritas dan minoritas. Keduanya ini harus diasosiasikan atau berada dalam
jaringan aspirasi politik yang dikombinasikan melalui pemahaman tentang penting multikultural
secara menyeluruh. Karena apapun namanya, bahwa kemajemukan itu tidak akan bisa dihindari
sampai kapan pun. Negara-negara demokrasi multikultural harus menggali dan melaksanakan
hidup rukun, aman berdampingan, harmonis, damai dan toleran serta koeksistensi.
Apalagi demokrasi multikultural Indonesia dipengaruhi oleh tatanan ekonomi global dan
jaringan komunikasi informasi. Dimana masyarakat Indonesia dituntut untuk mampu melawan
arus besar ini yang senantiasa membawa dampak negatif dengan merasuki dan membawa sistem
masyarakat pada materialisme hedonisme.
Selain itu juga menurut Azyumardi Azzahra (2012) mengungkapkan realitas fundamentalisme
dan ekstrimisme dalam khasanah demokrasi maupun aliran keagamaan yang mempengaruhi
tatanan kelas menengah. Sehingga sebagian kelas menengah agama mengalami disorientasi dan
kesadaran keIndonesiaan seolah hilang dalam pikiran generasi beragama tersebut.
Dengan demikian, kondisi ini tentu harus diperbaiki oleh seluruh kalangan baik itu
Muhammadiyah, NU, intelektual, pastur, patikan, kiyai, tuan guru, ulama, akademisi, ustad dan

melibatkan struktur besar masyarakat. Maka karena itu, koeksistensi sangat perlu diantara
berbagai kalangan diatas. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam peradaban dunia yang damai
dapat terwujud.
Multiculture Visit Indonesia
Membentuk wawasan demokrasi dan tatanan kebangsaan Indonesia ditengah perkembangan
dunia tanpa batas, utamanya soal kemajuan faktor teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi
kebutuhan bangsa ini pada sisi batas negara dan ras kebangsaan yang jelas. Tanpa identitas
tersebut, boleh jadi nilai demokrasi multikultural dan kekuatan kebangsaan akan hilang dalam
perjalanan waktu.
Multiculture Visit To Democracy Of Indonesia merupakan rangkaian refleksi sejarah, untaian
suara rakyat sebagai alur aspirasi politik, tradisi serta potensi sumber daya alam yang memikat
dan terpancar dalam prilaku demokrasi bangsa Indonesia. Kebersamaan yang sungguh-sungguh
dalam membangun negara demokrasi multikultural.
Membenahi institusi politik dan demokrasi merupakan tugas yang sangat penting saat ini.
Seluruh rakyat dan pemerintahan harus mendedikasikan secara penuh untuk memperbaiki
demokrasi dan keharmonisan dalam keberagaman. Maka oleh karena itu, setiap warga negara
yang peduli dengan masa depan bangsa, maka wajib memikirkan keberlangsungan demokrasi
persfektif multikultural ini. Kunci kemajuan suatu bangsa adalah ditentukan oleh keberhasilan
mendidik asas multikultural sebagai maenstream peradaban damai. Keberhasilan itupun tolak
ukurnya tentu didasarkan pada perkembangan politik, ekonomi, sosial dan hukum.
Demokrasi multikultural akan berjalan efektif apabila keragaman yang berkemajuan itu sebagai
pemaknaan dari aturan main (etika) dari struktur masyarakat. Karakter vital demokrasi
multikultural ini adanya keterbukaan dan melibatkan institusi agama, ormas, tokoh dan lainnya
dalam pengambilan keputusan. Institusi ormas yang mendukung demokrasi multikultural adalah
institusi yang pro-kemajuan dengan menjadikan demokrasi substantif, transendental, dan bukan
hanya prosedural.
Meski demikian, untuk memastikan kemajuan bangsa juga membutuhkan peran civil community,
dimana civil community ini sebagai bagian dari pendidikan caracter building dan pembentukan
generasi clean goverment, seperti Muhammadiyah dengan kekuatan lembaga pendidikan (amal
usaha)-nya.
Menurut Mitsuo Nakamura seorang antropolog dan peneliti Islam Universitas Chiba Jepang
(2012), mengatakan Muhammadiyah telah mendorong gagasan keagamaan yang kuat dan
bersifat moderat. Kendati dorongan itu masih menyisakan tantangan berat dan rumit. Haris Azhar
(2012) dalam sebuah diskusi mengungkapkan bahwa konflik sosial terus berulang dengan pola
dan model kekerasan yang identik rasis. Kasus-kasus serangan terhadap minoritas dan tawuran
institusi pendidikan merupakan ketegangan komunal sepanjang tahun 2012 ini. Berbagai pihak
yang teridentifikasi terlibat dalam konflik tersebut yakni antar kampung, dusun dan kelurahan
atau desa yang masuk dalama wilayah territorial. Tercerabutnya modal multikultural ini yang
kemudian menjadi konflik adalah soal identitas, sosial dan budaya yang rentan dengan

kepentingan politik seperti pemilukada maupun konflik sampang madura antara syiah sunni.
Dengan demikian, kesadaran multikulral itu perlu dipupuk agar subur sehingga tidak terjadi
konflik rasis yang justru menghabiskan energi.
Sekali lagi mengutip apa yang disampaikan oleh Din Syamsuddin ketika membuka WPF itu
dibogor (2012) mengatakan aksi-aksi kekerasan yang terjadi dan meletup di Indonesia maupun
dibanyak negara lainnya dipicu oleh gesekan rasialis dengan latarbelakang etnik, agama, suku,
dan kelompok, padahal sebagian negara telah menempatkan sistem demokrasi. Bagi bangsa
Indonesia sistem demokrasi telah diterima sebagai mekanisme politik bernegara. Sistem ini
menempatkan kedaulatan rakyat sebagai kekuatan utama, dalam masyarakat yang majemuk tentu
demokrasi sangat perlu semangat multikultural.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang akan menjadi laboratorium besar bagi proses
demokratisasi dalam masyarakat multikultural. Tak mudah untuk menjalankan proses itu, karena
memiliki letak geografis yang sangat luas.
Energi Multikultural
Bangsa ini hidup dalam sekian episode perjalanan sejarah yang masing-masing membawa
dampak positif maupun negatif. Terbukti dengan kekuatan pemahaman multikultural bangsa ini
mampu melewati seluruh fase tersulit. Maka kedepan, bangsa ini harus mampu memengaruhi
tatanan sosial untuk diarahkan pada pembangunan visi bersama dalam konteks multikultural
sehingga tujuan bangsa itu sendiri tercapai. Selain itu juga, pemimpin sebuah bangsa dengan
pemahaman multikulturalnya harus berkelindan dan menyatu dalam konsep kebangsaan.
Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki keteguhan, visi, dan tanggungjawab yang besar atas
nasib bangsanya sendiri.
Mengutip Yusuf Kalla (kompas, 27/11/12) mengatakan bahwa ada dua masalah besar yang
menghambat kemajuan suatu bangsa dalam konteks membangun energi sosial multikultural
adalah pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan aparat pemerntahan.
Kemudian kedua, kemampuan ekonomi Indonesia harus lebih baik untuk mengatasi kesenjangan.
Kemajuan bangsa dan negara dalam ranah pembangunan modal multikultural sebagai ujung
tombak pemeliharaan demokrasi sangatlah vital. Sistem apapun yang dianut oleh suatu negara
tetap akan bisa maju apabila di pimpin secara baik dan benar, katakan saja sistem otoriter China,
sistem demokrasi liberal Amerika Serikat, sistem semiotoriter Malaysia dan Singapura dan masih
banyak contoh bangsa lain yang mengalami kemajuan bukan karena sistemnya namun daya
upaya pemimpin bangsa untuk atas nama rakyat dan keputusannya pun untuk rakyat semata.
Maka oleh karena itu, Syafi'i Ma'arif (2012) mengatakan bahwa multikultural merupakan tenda
besar bangsa indonesia untuk mewujudkan tatanan sosial kemanusiaan. Seluruh kekuatan
potensial rakyat wajib memperluas pergaulan baik dengan kelompok mayoritas maupun
minoritas dengan dasar kebangsaan. Semangat multikultural harus diwujudkan secara otentik
dalam kehidupan masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Selain itu juga, bangsa ini harus
mengakui segala macam bentuk perbedaan karena semuanya memiliki hak hidup dan hak
berkarya. Instrument demokrasi multikultural ini adalah energi besar yang harus direalisasikan

secara bersama agar rakyat dapat hidup penuh damai. Negara juga harus mendorong kesadaran
patuh terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan.
Dengan kesadaran energi multikultural maka semua komponen akan bisa diajak kerjasama untuk
mencapai kemajuan demi memformulasikan keragaman itu sesuai zaman dengan berbagai
bentuk aliansi harmonis antar semua kelompok dan corak perbedaan.
Penulis adalah Rusdianto Direktur Segitiga Institute Jakarta Dan Alumni Universitas
Muhammadiyah Mataram 2008, Sekarang sedang menempuh Pasca Sarjana di Universitas
Muhammadiyah Jakarta.

Dipo Alam: Hormatilah Pluralisme


http://mitranews.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=147&judul=dipo-alam:-hormatilahpluralisme.html, diunduh tanggal 19 Maret 2013, 9:12AM

Rabu, 9 Maret 2011 12:11:10 - oleh : redaksi - views 493


Jakarta (Mitra
News) - Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan, tidak hanya kelompok

mayoritas yang dituntut harus paham serta melindungi hak dan kewajiban
kelompok minoritas beragama, tetapi sebaliknya minoritas juga harus
paham serta melindungi hak dan kewajiban mayoritas.
"Agar sama-sama mencegah penistaan agama, dan bersama pula mencegah kekerasan
antarumat beragama," katanya di Jakarta, Rabu (9/3)
Dipo mengingatkan agar kelompok lintas
agama eksklusif kalau mau melakukan gerakan politik terselubung,
janganlah mengusung soal agama, dan menamakan sebagai gerakan moral.
Ia meminta semua pihak menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan
UUD dan turunannya dalam SKB Tiga Menteri, tetapi bukan dengan
mengorbankan kepahaman setara antara hak dan kewajiban minoritas dan
mayoritas.
Dipo menegaskan bahwa pemerintah jelas sangat serius
dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik
berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik
kekerasan.
"Tidak perlu lagi diajari, kita masing-masing tahu makna dalam asas Pancasila. Janganlah satu
dua kejadian, yang bersama kita kutuk sebagai kekerasan dengan alasan keyakinan agama,
kemudian seolah dengan mudah digeneralisasikan menganggap pemerintah lalai dan
melakukan pembiaran kekerasan," ujarnya.
Konflik umat Islam dengan Ahmadiyah sudah berlangsung lama, tidak hanya terjadi di
pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dipo
Alam mengingatkan, tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan
pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai
pemangku kekuasaan --termasuk juga media-- untuk bersama-sama menyejukan
kerukunan beragama.
"Bukan sebaliknya, gaduh memperkeruh
kerukunan beragama antara minoritas dan mayoritas. Konflik horizontal
yang pernah kita alami sangatlah pahit dan memilukan. Itu memerlukan
waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya," tegas Dipo.
Sebelumnya,
diberitakan bahwa dalam konferensi pers di Kantor Maarif Institute,
Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Lintas Agama, Fajar Riza Ul Haq
mengatakan, gerakan tokoh lintas agama sama sekali tidak pernah secara
kolektif bicara polemik Ahmadiyah.

"Tetapi kekerasan terhadap


kelompok minoritas harus disikapi serius oleh negara, karena melindungi
minoritas adalah amanat konstitusi, dan yang menjadi titik tekan gerakan
ini," kata Fajar. (AR)

Empat Sikap Tuntutan Masyarakat Multikultural


http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/03/empat-sikap-tuntutan-masyarakat.html#more, diunduh tgl 19
Maret 2013, 9:52AM

Bangsa-bangsa di dunia ini memang diciptakan beraneka ragam. Mereka kadang


kala tidak hanya hidup tersebar di sejumlah tempat tetapi juga kadang hidup di
suatu tempat yang tak jarang menimbulkan masalah tersendiri jika diantara mereka
tidak sadar akan adanya multikultural di luar budaya yang ia anut sendiri.
Untuk bisa hidup dalam sebuah masyarakat yang multikultural, paling tidak ada
empat sikap yang harus dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Empat sikap
tuntutan masyarakat multikultural tersebut, menurut Dr Mulyadhi Kartanegara,
antara lain inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.
Adakah hal itu terlihat dalam pemerintahan Islam di masa lalu?
Inklusivisme. Sikap inklusif ini, menurut Mulyadhi, sebenarnya telah dipraktekkan
oleh para adib, ilmuwan, filosof Muslim, Sufi dan Guru dalam proses belajar
mengajar. Para Adib ketika menyusun adab mempraktekkan inklusivisme ini.
Karena selain menggunakan al-Quran dan hadits sebagai sumber yang paling
otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber lain dari kebudayaan
lain. Dalam puisi, misalnya, mereka menggunakan dan menghargai warisan
Jahiliyah sebagai tolok ukur bagi kualitas dan kesuksesan sebuah karya
puitis.Demikian juga ketika mereka mengambil pelajaran moral dari karakter
hewan-hewan, mereka tidak ragu menggunakan karya fable India (missal Kitab
Kalilah wa al-Dimnah karya pujangga India Bidpei). Sedangkan teladan moral dari
pahlawan dan raja-raja mereka ambil dari Persia, sebagaimana tercermin dari karya
Firdawsi, Shah namah (kisah para raja). Demikian juga dengan kata-kata hikmah,
mereka himpun dari berbagai hikmah para pujangga Persia, Arab, Yunani dan India
sebagaimana tercermin dalam karya Miskawayh, al-Hikmah al-Khalidah.
Para ilmuwan Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif dalam karya-karya
mereka. Dalam hal matematika, para ahli matematika Muslim telah banyak belajar
dari matematika India. Misalnya al-Fazari (atau al-Khwarizmi dalam versi lain) telah
menterjemahkan karya matematika India Siddhanta al-Kubra ke dalam versi bahasa
Arab. Karya ini mendorong ahli-ahli matematika muslim untuk berkarya lebih kreatif

lagi sehingga banyak penemuan-penemuan penting di bidang matematika ini


mereka temukan. Misalnya Al-Khawarizmi sendiri, ia dakui sebagai penemu angka
nol atau sifr atau zero. Tentu ini merupakan sebuah revolusi matematik yang besar,
karena tidak dapat dibayangkan matematika tanpa angka nol.
Demikian juga para filosof Muslim (falasifa) telah dengan jelas memperlihatkan
sikap inklusif ini. Mereka telah menunjukkan sikap lapang dada dan konfiden yang
luar biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak tampak
sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Menyikapi para pengritiknya yang lebih
eksklusif tentang sumber kebenaran, al-Kindi (w.866) dengan elegan mengatakan:
Kebenaran dari manapun asalnya harus kita terima, karena tidak ada yang lebih
dicintai oleh pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.
Para sufi muslim pun, di dalam memilih murid atau guru juga mengembangkan
sikap inklusivisme. Misalnya Jalal al-Din Rumi (w.1273) seorang sufi dan penyair
Persia terbesar memiliki murid Muslim, Yahudi, Kristen dan bahkan Zoroaster.
Mereka diperlakukan secara adil tanpa dipaksa untuk melakukan konversi
agama.Sikap inkluisif dalam memilih guru bisa dilihat dari al-Farabi (w.950), seorang
peripetik Muslim, yang dikenal sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Ketika alFarabi datang ke Bagdad pada dasawarsa ketiga abad kesembilan masehi, ia belajar
logika dan filsafat dari guru logika yang terkenal. Yohanna bin Haylan dan Bisyr
Matta bin Yunus. Keduanya beragama Kristen.
Humanisme (Egalitarianisme). Yang dimaksud dengan humanisme di sini adalah
cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena
sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan
atau bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah
sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya.
Sejarah Kebudayaan Islam, menurut Mulyadhi, sarat dengan contoh-contoh sifat
humanis ini. Nabi kita sendiri pernah menyatakan dengan tegas, bahwa tidak ada
kelebihan seorang Arab daripada non Arab. Al Hujwiri, seorang penulis mistik
Islam, dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub menunjukkan sikap humanis Nabi
Muhammad saw. Dikatakan bahwa ketika seorang kepala suku datang menemuinya,
secara spontan Nabi Muhammad melepas dan menghamparkan jubahnya untuk
duduk sang kepala suku, (padahal ia tahu bahwa ia bukanlah seorang Muslim),
seraya berkata kepada sahabat-sahabatnya: Hormatilah setiap kepala suku,
(apapun agamanya). Ini adalah contoh yang jelas dari pandangan humanis
seorang Muhammad, yang memandang manusia, bukan karena keturunan maupun
agamanya, tetapi karena kemanusiannya.
Toleransi. Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di
bawah ini: Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah
menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika
para penguasa Islam itu menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana telah ada

dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun mereka
tidak mengganggu kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada sebelum
Islam datang. Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti Antioch, Harran dan
Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang menaklukkan Siria dan Iraq. Di pusatpusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap
berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berpikir yang
diberikan oleh para penguasa Muslim.
Dari pusat-pusat ilmu inilah justru umat Islam banyak belajar tentang ilmu-ilmu
rasional seperti ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan juga ilmu-ilmu filsafat.
Banyak sarjana-sarjana Muslim yang belajar di pusat-pusat ilmu ini dengan sarjanasarjana Kristen. (Kadang murid-murid Muslim ternyata mengungguli guru-guru
Kristen mereka, seperti yang terjadi pada kasus al Farabi dan Ibn Sina). Selain itu,
umat Islam, terutama para penguasanya, bahkan telah menjadikan system
pendidikan mereka sebagai model. Dikatakan bahwa observatory astronomis dan
rumah sakit Baghdad, (dan bahkan menurut yang lain Bayt al Hikmah yang telah
mulai dirintis oleh Harun al-Rasyid dan didirikan oleh putranya al Mamun),
dibangun dengan mengikuti model Yundishapur, sebuah pusat ilmu pengetahuan
terbesar Persia.
Selanjutnya, komunitas non Muslim seperti Kristen, Yahudi dan bahkan Zoroaster
dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas
di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Di sebelah Barat kota Baghdad pada
sekitar abad kesepuluh terdapat 8 biara dan 6 gereja Kristen, sedangkan di sebelah
timur terdapat 3 biara dan 5 gereja. Demikian juga komunitas Yahudi di Baghdad
menikmati sikap toleran penguasa Muslim. Baghdad pada abad kedua belas
terdapat sekitar 40.000 orang Yahudi, 28 sinagog dan 10 akademi ilmu
pengetahuan.
Demikian juga keadaan orang-orang non Muslim yang hidup di Andalusia, terutama
kota Kordoba, saat dikuasai Penguasa Muslim, mereka menikmati kebebasan
beragama dan dapat hidup tenang dan bebas dalam menjalankan ibadah dan
aktivitas mereka sehari-hari.
Demokrasi. (Kebebasan Berpikir) Menurut Abdolkarim Soroush, sebagaimana
dikutip Mulyadhi dari buku Soroush berjudul Reason, Fredom and Democracy in
Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah
kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada
kebebasan berpikir. Nah bagaimana kebebasan berpikir ini dilaksanakan oleh
masyarakat kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaannya, dapat dilihat
dari contoh-contoh di bawah ini.
Kebebasan untuk menyampaikan kritik terhadap penguasa, dalam hal ini para
perdana menteri (wazir), dapat dengan gamblang dilihat dalam karya Abu Hayyan
al-Tawhidi mengkritik karakter dan bahkan administrasi dari dua wazir Buyid, Ibn

Amid dan Ibnu Sadan. Ibn Amid, misalnya, dikatakan terlalu pelit dalam menggaji
bawahannya, bahkan bawahan yang penting seperti Ibn Miskawayh (w.1010),
seorang filosof etik yang terkenal, hanya dibayar dengan gaji yang pas-pasan.
Kadang kritik itu juga ditujukan oleh sarjana, terhadap orang-orang penting (tidak
mesti penguasa) yang punya pengaruh besar di masyarakat, karena menurut
penilaiannya orang-orang itu mempunyai cacat moral. Demikian juga dalam hal
ilmiah kebebasan berpikir juga mendapatkan peran, sehingga ilmuwan yang satu
bebas mengkritik ilmuwan yang lain. Dengan demikian ilmu pun akan terus
berkembang. (lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004
Diposkan oleh juandapoltek di 01.31

MULTIKULTURALISME, DEMOKRASI, DAN PENDIDIKAN


http://meurunoteumuleh.blogspot.com/2012/03/multikulturalisme-demokrasidan.html, diunduh tgl 19 Maret 2013, 9:55AM
1

Oleh : Shodiq M. Hum


Multikulturalisme
Dilihat dari proses terjadinya, proses menjadi multikultural berbeda dengan
akulturasi dan akomodasi. Akulturasi atau disebut juga asimilasi adalah konsep
untuk merujuk roses di mana seseorang pendatang luar, imigran, aturan kelompok
subordinate menjadi menyatu secara tak kentara lagi ke dalam masyarakat tuan
rumah yang dominan. Sedangkan akomodasi adalah proses di mana subordinate
group menyetujui harapan-harapan dari kelompok masyarakat dominan. Baik dalam
asimilasi maupun akomodasi, keduanya mendasarkan pada asumsi adanya
kelompok masyarakat yang lemah (subordinate group) dan kelompok masyarakat
yang kuat (dominant group). Dalam multikulturalisme, asumsi tentang subordinate
dan dominant
group tidak ada karena setiap kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk
mengekspresikan diri, hidup berdampingan, dan bekerjasama dengan kelompok
1

lain. Masyarakat multikulturalisme juga mungkin harus dibedakan dari konsep


melting pot culture. Dalam melting pot, konsep dasarnya ialah adanya suatu
kesatuan budaya baru yang terbentuk akibat pertemuan budaya dan suku yang
ada. Melting pot culture perlu dibedakan dari masyarakat multikultural karena
dalam melting pot culture, seolah-olah diasumsikan bahwa keragaman budaya yang
ada tersebut dalam rentang waktu tertentu akan semakin menghilang.
Multikulturalisme, paling kurang pada awalnya, tidak sama dengan sekadar
pluralisme masyarakat. Plural societies pada awal penggunaannya merujuk pada
masyarakat-masyarakat Negara berkembang pada sebelum dan awal zaman
penjajahan dahulu, seperti Burma dan Indonesia, di mana di dalamnya hidup
sejumlah masyarakat yang hidup berdasarkan kesamaan kelompok kesukuan dan
mendiami wilayah tertentu serta memiliki sistem pembagian kerja sendiri-sendiri
yang satu sama lain tidak saling memerlukan bahkan tidak saling berhubungan
sehingga tidak ada keperluan membangun rasa kebangsaan. Sedangkan dalam
masyarakat multikultural, konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu
hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama, tetapi dengan tetap
menghargai, mengedepankan, dan mengembangkan pluralisme masyarakat itu
(multiculturalism celebrate culture variety). Dengan demikian, ada tiga syarat bagi
adanya suatu masyarakat multikultural, yaitu: 1) adanya pluralisme masyarakat; 2)
adanya cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama; 3)
adanya kebanggaan mengenai pluralisme itu.

Multikultural dan Demokrasi


Adanya prinsip-prinsip kesamaan kesempatan mengekspresikan diri, hidup
berdampingan, dan bekerjasama antarberbagai kelompok masyarakat membuat
konsep masyarakat multikultural berdekatan dengan sejumlah konsep yang
didengungkan oleh masyarakat demokrasi dan masyarakat sipil. Konsep-konsep
yang berdekatan itu, atau bahkan menjadi landasan bagi penegakan masyarakat
multikultural ialah demokrasi, hak asasi manusia, keadilan dan hukum, nilai-nilai
budaya dan etos, kebersamaan, kesederhanaan, penghargaan atas keyakinan,
kesempatan berprestasi dan mobilitas sosial, penghindaran tindak kekerasan fisik,
dan keyakinan rasa aman dengan identitas dan eksistensi. Dengan menyebut
sejumlah konsep yang berdekatan itu, kita sudah dapat melihat bagaimana
dekatnya konsep multikulturalisme masyarakat dengan upaya peningkatan
kesempatan masyarakat memperoleh kesejahteraan sosial. Untuk mewujudkan citacita mulia ini diperlukan niat baik dan upaya serius dari segenap komponen bangsa.
Secara konseptual, multikulturalisme sebenarnya relatif baru jika
dibandingkan dengan konsep pluralis (plurality) maupun keragaman (diversity).
Sekitar tahun 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan
Australia kemudian di Amerikan Serinkkat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Selain itu,
ketiganya memiliki perbedaan titik tekan. Konsep pluralitas mengandaikan adanya

hal-hal yang lebih dari satu. Keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang
lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan.
Sedangkan multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala
perbedaan itu mereka adalah sama di dalam ruang publik sehingga dibutuhkan
kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
memedulikan perbedaan agama, budaya, etnik, gender, maupun bahasa. Sikap
semacam itu membutuhkan keterbukaan hati semua pihak. Tanpa sikap yang
terbuka, masing-masing kelompok masyarakat akan membangun berlapis-lapis
kecurigaan.
Multikulturalisme merupakan pengikat dan jembatan yang
mengakkomodasi
perbedaan-perbedaan,
termasuk
perbedanperbedaan
kesukubangsaan dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan-perbedaan itu
terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekkonomi, dan sosial.
Parsudi Suparlan, berpendapat bahwa landasan budaya masyarakat
Indonesia yang bercorak masyarakat majemuk sudah saatnya dikaji kembali.
Masyarakat multikultural adalah bentuk yang dirasa mampu menjawab tantangan
perubahan zaman. Multikulturalisme, adalah sebuah ideologi yang mengagungkan
perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong
terwudjudnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehiduan dan masyarakat. Di
sisi lain, munculnya konsep multikulturalisme juga sesuai dengan tuntutan era
reformasi. Datangnya era reformasi telah membuka jalan bagi rakyak Indonesia
untuk membetuntuk Indonesia Baru. Konsep Indonesia Baru pada hakikatnya adalah
sebuah tatanan masyarakat sipil yang demokratis yang ditandai dengan
berjalannya penegakan hukum untuk supremasi keadilan, terciptanya pemerintahan
yang bersih dari KKN, terwujudnya keteratuarn sosial dan rasa aman dalam
masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat serta
terwujudnya kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Sebagai
strategi dari integrasi sosial maka multikulturalisme mengakui dan menghormati
keanekaragaman budaya. Hal ini membawa implikasi dalam bersikap bahwa realitas
sosial yang sangat majemuk tak akan menjadi kendala dalam membangun pola
hubungan sosial antarindividu yang penuh toleransi. Bahkan, akan tumbuh sikap
yang dapat menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace
co existence) satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada tiap
entitas sosial dan politiknya. Perlu ditegaskan bahwa multikulturalisme merupakan
suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian,
tanpa ada konflik dan kekerasan, meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan.
Oleh karena itu, untuk menerapkan multikulturalisme agaknya menuntut kesadaran
dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati
keanekaragaman identitas budaya yang dibalut semangat kerukunan dan
perdamaian. Bisa diibaratkan, keanekaragaman budaya ini bagai bintang-bintang di
langit yang bertebaran bak mutiara menghiasi jagat raya. Konsekuensinya, peranan
Negara pada konteks ini hanya memfalitasi peran terciptanya toleransi antaretnis

sosial budaya, dan bukan memainkan peran intervensi-represif yang dapat


menimbulkan resistensi dan radikalisasi kultural sebagaimana terjadi pada rezim
Orde Baru. Diharapkan dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kenyataan
kemajemukan, pluralisme bangsa baik dalam etnis, agama, budaya maupun
orientasi politik akan bisa mereduksi berbagai potensi yang dapat memicu konflik
sosial di belakang hari.

Menggagas pendidikan multikultural


Mengikuti konsep psikologi pendidikan, sesuatu yang paling banyak
memengaruhi pribadi seseorang adalah orang atau lingkungan yang mempunyai
makna baginya significant others/affective others).

Ingat sajak Dorothy Law Nolte:


Jika anak hidup dengan kecaman, ia belajar untuk menyalahkan
Jika anak hidup dengan permusuhan, ia belajar untuk berkelahi
Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar untuk jadi pemalu
Jika anak hidup dengan rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah
Jika anak hidup dengan toleransi, ia belajar untuk menjadi penyabar
Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar untuk percaya diri
Jika anak hidup dengan pujian, ia belajar untuk menghargai
Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar untuk bersikap adil
Jika anak hidup dengan perlindungan, ia belajar untuk memiliki keadilan
Jika anak hidup dengan restu, ia belajar untuk menyukai diri sendiri
Jika anak hidup dengan penerimaan dan persahabatan, ia belajar menemukan
cinta di dunia

Pendidikan multikultural, perlu menegaskan paradigma interkoneksitas:

Learning to think

Lerning to do
Learning to be
Learning to live together

Visi pendidikan
spiritualisasi.

yang

dibangun

bukanlah

ideologisasi,

tetapi

humanisasi-

1. Paradigma pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk


membangun cara pandang cara hidup. Oleh karena itu,
paradigma
multikulturalisme sebetulnya ingin menawarkan bahwa cara pandang kita
sebagai umat dalam kehidupan berbangsa tidak lagi logosentris, terpusat,
tetapi desenter.
2. Dalam kehidupan umat sendiri ada beban baik beban teologis maupun

Anda mungkin juga menyukai