Anda di halaman 1dari 4

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Wilayah Indonesia meliputi banyak kepulauan sehingga berpotensi
besar untuk memperluas hasil pertanian dari berbagai jenis bahan pangan.
Salah satu jenis tanaman pangan yang sudah lama dikenal dan
dibudidayakan oleh petani di wilayah Indonesia adalah singkong atau
lebih dikenal dengan ubi kayu. Singkong atau ubi kayu merupakan
komoditas pertanian yang mempunyai multifungsi. Sebagai tanaman yang
cukup potensial, tanaman singkong dikembangkan dan hasilnya selain
dapat

digunakan

sebagai

penganekaragaman

menu

rakyat,

juga

mempunyai prospek yang penting sebagai bahan dasar industri (Lingga


Pinus, 1992, Rukmana.H.Rahmat, 1997).
Singkong banyak tumbuh di daerah tropis dan merupakan salah
satu bahan pangan sumber karbohidrat yang disukai masyarakat dengan
berbagai macam olahannya mulai dari keripik, kudapan, sayuran hingga
tape. Bahkan bisa juga dibuat tepung singkong yaitu tepung tapioka yang
dapat

digunakan

untuk

mengganti

tepung

(http://keripikkukong.com/article/28615/untung-menjual-keripiksake.html).

gandum

Ubi kayu atau ketela pohon dapat dikelompokkan menjadi dua,


yaitu sebagai bahan baku tapioka dan sebagai pangan langsung. Ubi kayu
sebagai pangan langsung harus memenuhi syarat utama, yaitu tidak
mengandung racun HCN (<50 mg per kg umbi basah). Sementara itu,
umbi kayu untuk bahan baku industri sebaiknya memiliki kandungan
protein rendah dan kandungan HCN (asam sianida) yang tinggi (Purwono,
2007).
Menurut Kuncoro (1993), salah satu jenis singkong yang
mengandung senyawa beracun yaitu asam sianida (HCN) adalah singkong
SPP (San Pedro Petro), orang juga menyebutnya singkong gendruwo
(suatu jenis hantu) mungkin karena dapat mendatangkan rasa takut
(keracunan) bila dimakan atau sering juga disebut singkong karet atau
ketela karet (Manihot glaziovii Muell).
Mengingat banyaknya manfaat yang terkandung dalam singkong,
maka masyarakat banyak mengkonsumsinya. Namun demikian, tumbuhan
yang termasuk kelas Dicotyledonae ini baik didalam daun, umbi dan
kulitnya mengandung zat glikosida cyanogenik dimana zat ini dapat
menghasilkan asam sianida (HCN) atau senyawa asam biru yang bersifat
racun. Asam sianida yang masih diperkenankan untuk waktu penghisapan
dalam jangka waktu yang panjang adalah 10 ppm, bila kadar melebihi
batas tersebut maka akan mengakibatkan kepala pusing, mual, perut terasa
perih, badan gemetar, bahkan bisa mengakibatkan pingsan. Bila kadar
racun yang dikonsumsi cukup banyak, selain gejala tersebut, gejala lain

yang dapat timbul antara lain mata melotot, mulut berbusa, kejang dan
sesak napas. Oleh karena itu perlu penanganan cara menurunkan kadar
HCN yaitu dengan

pengolahan secara tradisional seperti direndam

sebelum dimasak atau dengan pengolahan lain (Gultom.P.P.Batunahal,


1995, Johan, 2005, Winarno F.G, 2004 ).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka didapat permasalahan :
Berapakah penurunan kadar HCN pada ketela karet karena pengaruh lama
perendaman dalam air.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adanya kandungan HCN dalam ketela karet segar.
2. Untuk menetapkan kadar HCN dalam ketela karet dengan variasi
waktu perendaman 0 jam, 2 jam, 4 jam, 8 jam dalam air.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta dapat mengetahui
kadar asam sianida dalam ketela karet.

2. Bagi Akademi
Dapat

menambah

perbendaharaan

karya

tulis

ilmiah

di

perpustakaan Universitas Muhammadiyah Semarang.


3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi pada masyarakat bahwa penurunan kadar
HCN yang terdapat dalam ketela karet dapat dilakukan dengan
pengolahan yang sederhana seperti direndam.

Anda mungkin juga menyukai