Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah. Salah satu

rempah-rempah yang banyak diminati di Indonesia adalah cabai rawit

(Statistik Pertanian, 2018). Cabai rawit (Capsicum frustescens L.) merupakan

tanaman holtikultura yang buahnya dimanfaatkan untuk keperluan aneka

pangan. Cabai rawit digunakan sebagai bumbu dapur, yakni sebagai bahan

penyadap berbagai masakan, antara lain sambal, saus, aneka sayur, acar,

lalap, asinan dan produk - produk makanan kaleng. Dalam industri makanan,

ekstrak bumbu cabai rawit digunakan sebagai lada untuk membangkitkan

selera m akanan bagi kebanyakan orang sebagai bumbu berbagai masakan dan

hidangan makanan, buah cabai diproses menjadi saus cabai dan pasta cabai

(cabai giling). Dalam industri minuman, ekstrak bubuk cabai rawit digunakan

sebagai bahan pembuatan minuman gingger beer (Bambang, 2003). Produksi

Cabai Rawit dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terus naik. Data BPS dan

Direktorat Jendral Holtikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2018

produksi cabai rawit mencapai 1.323.200 ton.

1
Tabel 1. Perkembangan produksi Cabai Rawit di Indonesia tahun 2014-2018

Tahun Produksi (ton)


2014 800.473
2015 869.938
2016 915.988
2017 1.153.155
2018 1.323.200
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jendral Hortikultura, 2018.

Meningkatnya tingkat produksi dari cabai rawit ini maka perlu adanya

penanganan pasca panen terhadap cabai rawit. Hal ini disebabkan karena

cabai rawit memiliki umur simpan yang relative pendek, yaitu 2-3 hari setelah

masa panen. Faktor yang menyebabkan pendeknya masa simpan pada cabai

rawit adalah terjadinya kontak atau respirasi (Suyonto et al., 2016). Menurut

(Pujimulyani, 2012) bahwa Respirasi merupakan satu proses metabolisme

yang menggunakan oksigen dalam pembongkaran senyawa makromolekul

seperti karbohidrat, protein, dan lemak yang akan menghasilkan CO₂, air, dan

energi. Selain respirasi, buah juga mengalami transpirasi, dimana transpirasi

adalah penguapan air dari dalm sel melalui lentisel dan stomata yang

mengakibatkan buah menjadi keriput dan perubahan tekstur. Buah yang

mengalami kelayuan dengan cepat berarti proses transpirasinya terjadi dengan

cepat.

Umumnya buah memiliki lapisan lilin alami yang dapat mengendalikan

proses transpirasi sehingga kerusakan seperti keriput dan layu tidak

berlangsung secara cepat. Namun, saat pemanenan dan pertambahan umur

buah terjadi gesekan pada lapisan alami tersebut sehingga terdegradasi dan

2
menghilang. Untuk itu diperlukan pelapisan (coating) untuk mencegah proses

transpirasi yang cepat dan pembusukan yang disebabkan oleh

mikroorganisme. Cara agar umur simpan buah dapat diperpanjang sehingga

tidak merusak mutu produk yaitu dengan pengaplikasikan lapisan tipis atau

edible coating pada buah.

Edible coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada

permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari

kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah

dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak

berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah (Gennadiousdan Weller, 1990

dalam Al- Juhaimi et al, 2012).

Lidah buaya adalah salah satu jenis yang dapat dijadikan edible coating.

Beberapa penelitian telah dilakukan pada buah untuk memperoleh pasca

panen yang baik. Pelapisan lidah buaya yang berasal dari gel tanaman lidah

buaya. Lidah buaya juga mengandung beberapa senyawa bioaktif yang

bersifat anti mikroba dan dapat menyembuhkan luka jaringan sehingga

diharapkan pada pelapisan gel lidah buaya mampu mempertahankan mutu

serta memperpanjang masa simpan cabai rawit. Lidah buaya dikenal memiliki

zat anti biotic dan anti jamur yang dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dan pembusukan pada buah dan sayur, sehingga menambah

umur simpan (Athmaselvi, 2013).

3
Penelitian ini juga akan digunakan CMC (Carboxyil Methyl Cellulose),

CMC berperan sebagai pengemulsi dan pengstabil pada larutan edible

coating. Menurut Santoso (2004) pembuatan larutan edible coating komposit

antara bahan bersifat hidrofobik dengan hidrofilik harus ditambahkan

emulsifier agar larutan lebih stabil. Emulsifier yang dapat digunakan antara

lain CMC. Menurut Indriyani (2006) CMC (Carboxyil Methyl Cellulose)

merupakan derivate selulosa yang sifatnya mengikat air dan sifatnya dan

sering digunakan sebagai pembentuk tekstur halus. Menurut penelitian Harry

Susanto (2018) bahwa penambahan CMC (Carboxyil Methyl Cellulose)

terhadap edible coating Lidah buaya yang diaplikasikan pada buah tomat

berpengaruh nyata terhadap warna, kerusakan, vitamin C dan susut bobot

buah, dari hasil diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

konsentrasi lidah buaya yang ditambahkan CMC (Carboxyil Methyl

Cellulose) pada pembuatan lapisan edible coating yang akan diaplikasikan

pada Cabai rawit.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Berapa konsentrasi edible coating gel lidah buaya yang ditambahkan

CMC (Carboxyil Methyl Cellulose) yang dapat memperpanjang masa

simpan dari cabai rawit (Capsicum frustescens L.) ?

4
2. Bagaimana pengaruh edible coating gel lidah buaya yang ditambahkan

CMC (Carboxyil Methyl Cellulose) terhadap kualitas dari cabai rawit

(Capsicum frustescens L.) selama masa penyimpanan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui konsentrasi gel lidah buaya ditambahkan CMC (Carboxyil

Methyl Cellulose) yang dapat memperpanjang masa simpan cabai rawit

(Capsicum frustescens L.).

2. Mengetahui kualitas dari cabai rawit (Capsicum frustescens L.) setelah

diberikan perlakuan edible coating gel lidah buaya yang ditambahkan

CMC (Carboxyil Methyl Cellulose).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai ilmu pengetahuan baru dalam

ranah teknologi penanganan pasca panen pada cabai rawit (Capsicum

frustescens L.) dan dapat menjadi informasi bagi petani dan pihak yang terkait

dalam penyimpanan cabai rawit (Capsicum frustescens L.) pada suhu dingin

dengan perlakukan edible coating berbahan dasar lidah buaya terhadap

perubahan mutu cabai rawit (Capsicum frustescens L.) sehingga cabai rawit

(Capsicum frustescens L.) dapat tersedia secara kontinyu dengan mutu yang

dapat diterima oleh konsumen.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Cabai Rawit (Capsicum frustescens L.)

Cabai rawit adalah tanaman perdu yang tingginya hanya sekitar 50-135

cm. tanaman ini tumbuh tegak lurus ke atas. Akar cabai rawit merupakan akar

tunggang. Akar tanaman ini umumnya berada dekat dengan permukaan tanah

dan 10 melebar sejauh 30-50 cm secara vertikal, akar cabai rawit dapat

menembus tanah sampai kedalaman 30-60 cm. Batangnya kaku dan tidak

bertrikoma. Daunnya merupakan daun tunggal yang bertangkai. Helaian daun

bulat telur memanjang atau bulat telur bentuk lanset, dengan pangkal runcing

dan ujung yang menyempit (Tjandra, 2011).

Cabai rawit merupakan tanaman yang mempunyai banyak kandungan.

Kandungan-kandungan tersebut meliputi kapsaisin, kapsantin, karotenid,

alkaloid, resin, dan minyak atsiri. Selain itu, cabai ini juga kaya akan

kandungan vitamin A, B, C (Tjandra, 2011). Zat gizi seperti protein, lemak,

karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin (salah satunya adalah

vitamin C) dan mengadung senyawa - senyawa alkaloid, seperti kapsaisin,

flavonoid, dan minyak esensial juga kerkandung dalam tanaman ini (Prajnanta

(2007) dalam Arifin (2010)).

Menurut Suyonto et al (2016),Cabai Rawit mempunyai umur simpan

yang relative singkat, yaitu 2-3 hari setelah masa panen. Faktor yang

6
menyebabkan pendeknya masa simpan pada Cabai Rawit adalah terjadinya

kontak atau respirasi.

Menurut (Dermawan et al, 2010) tanaman Cabai Rawit memiliki sifat

yang tidak mengenal musim, artinya cabai rawit dapat ditanam kapanpun

tanpa tergantung musim. Cabai Rawit juga mampu tumbuh di rendengan

maupun labuhan, itulai sebabnya Cabai dapat ditemukan kapanpun di pasar

atau di swalayan.

B. Lidah Buaya (Aloe vera L.)

Lidah buaya merupakan tanaman asli Afrika, tepatnya Ethiopia. Lidah

buaya (Aloe vera), mempunyai beberapa kandungan adalah polisakarida dan

mannose-6-phosphate. Kedua senyawa itu berfungsi untuk mempromosikan

ploriferasi fibroblas produksi asam hialuronat dan hidroksiprolin pada

fibroblast, yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka. Dari segi

kandungan nutrisi, kandungan aloe vera bersumber dari gel lendirnya.

Kandungan aloe vera seperti zinc, zat besi, sodium, kalium, kalsium,

kromium, magnesium, vitamin A,C dan E, flavonoid dan fenol. Beberapa

vitamin dan mineral tersebut berguna sebagai pembentuk antioksidan alami

yang mencegah penuaan dini, penyakit degeneratif, hingga serangan jantung.

Pelepah tanaman lidah buaya terdiri dari dua bagian utama, yaitu

mucilage gel dan exudate (lendir). Bagian lidah buaya berbentuk gel sehingga

mudah diaplikasikan sebagai pelapis edible coating. Gel lidah buaya

berpotensi untuk dijadikan bahan edible coating karena gel terdiri dari

7
polisakarida yang mengandung banyak komponen fungsional yang mampu

menghambat kerusakan pasca panen produk pangan segar, seperti acemannan

yang memiliki aktivitas antiviral, anti diabetes, anti kanker, dan anti mikroba,

serta meningkatkan proliferasi sel-sel yang terluka. Selain itu, gel lidah buaya

mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol kehilangan air dan

pertukaran komponen-komponen larut air (Dweck dan Reynolds, 1999 dalam

Hary, 2018).

C. Edible Coating

Edible Coating merupakan lapisan tipis yang dibuat untuk melapisi

bahan makanan. Bahan ini digunakan di atas atau di antara produk dengan

cara membungkus, merendam, menyikat atau menyemprot, untuk

memberikan tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air, serta

memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Baldwin et al, 2012)

Edible coating adalah suatu metode pemberian lapisan tipis pada

permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari

kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah

dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak

berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah (Gennadious dan Weller, 1990

dalam al-Juhaimi et al, 2012).

Pemanfaatan Edible coating merupakan salah satu metode untuk

memperpanjang umur simpan dari produk pertanian,mengurangi penurunan

kualitas dan kehilangan hasil. Edible coating juga memberikan efek yang

8
hampir sama dengan penyimpanan modified atmosphere. Edible coating pada

buah dan sayuran berprospek untuk dapat memperbaiki kualitas tampilan dan

umur simpan buah atau sayuran (Baldwin et al, 2012).

Keuntungan penggunaan edible coating pada produk buah antara lain

adalah melindungi buah selama masa simpan, penampakan asli produk

meningkat, dapat langsung dimakan, dan aman untuk dikonsumsi (Alsuhendra

et al, 2011).

D. CMC (Carboxyil Methyl Cellulose)

Menurut De Man, (1989) dalam Hary (2018), CMC (Carboxyil Methyl

Cellulose) adalah polielektrolit amoniak turunan dari selulosa dengan

perlakuan alkali dan monochloro acetic acid atau garam natrium yang

digunakan luas dalam industri pangan. Rumus molekul yaitu C 6 H 16 NaO8

yang bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun,

berbentuk butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam

organic, stabil pada rentang pH 3-10 dan mengendap pada pH kurang dari 3,

serta tidak bereaksi pada senyawa organik.

Menurut Prasetyo et al (2015). CMC (Carboxyil Methyl Cellulose)

berfungsi mempertahankan kestabilan minuman agar partikel padatannya

tetap terdispersi merata keseluruh bagian sehingga tidak mengalami

pengendapan. CMC (Carboxyil Methyl Cellulose) juga berperan sebagai

pengikat air, pengental, stabilisator emulsi, dan tekstur gum. CMC (Carboxyil

9
Methyl Cellulose) mampu menggantikan produk-produk seperti gelatin, gum

arab, agar-agar, karageenan, tragacanth, dan lain-lain. Sebagai pengemulsi,

CMC (Carboxyil Methyl Cellulose) sangat baik digunakan untuk memperbaiki

kenampakan tekstur dari produk berkadar gula tinggi.

Menurut Akkarachaneeyakorn dan Tinrat (2015), Jumlah CMC

(Carboxyil Methyl Cellulose) yang diperlukan untuk menjaga stabilitas yang

baik tergantung pada tingkat kekentalan sebelum dikonsumsi. Produk yang

mengandung sejumlah besar padatan yang kental hanya membutuhkan

penambahan CMC (Carboxyil Methyl Cellulose) dalam jumlah sedikit.

Sebaliknya, penambahan CMC (Carboxyil Methyl Cellulose) dalam jumlah

besar dapat digunakan untuk menciptakan tekstur produk yang mengandung

beberapa zat padat terlarut

Menurut Kusbiantoro (2015), CMC (Carboxyil Methyl Cellulose)

mempunyai beberapa kelebihan salah satunya yaitu kapasitas mengikat air

yang lebih besar dan harganya yang relatif murah

E. Penyimpanan Suhu Rendah

Berbagai kerusakan sayuran yang diakibatkan oleh mikroba dapat

dihindari dengan menyimpan pada suhu rendah, karena sebagian mikroba

tidak dapat hidup pada suhu rendah.

Menurut Sumoprastowo (2004), Salah satu cara agar buah dan sayuran

tetap segar dalam waktu yang lama adalah menekan kerja enzim yang

dilakukan dengan cara menyimpan di suhu rendah.

10
Menurut Koswara (2009), Penyimpanan di suhu rendah dapat

memperpanjang masa hidup jaringan pada bahan bangan karena aktivitas

respirasi menurun dan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme.

Menurut Wahyuningsih (2010), Penyimpanan pada suhu rendah

diperlukan karena dapat menekan aktivitas respirasi dan metabolisme,

mengurangi proses penuaan karena adanya proses pematangan, menekan

kehilangan air dan pelayuan, perubahan warna dan tekstur, menunda proses

pelunakan dan pembusukan, mencegah kerusakan karena aktivitas mikroba,

serta mengurangi proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki. Suhu

penyimpanan optimum untuk masing - masing buah berbeda – beda.

Menurut Rachmawati (2009), Pendinginan dapat memperlambat

kecepatan reaksi-reaksi metabolisme dimana pada dasarnya setiap penurunan

suhu 8oC kecepatan reaksi akan berkurang menjadi setengahnya”.

Penyimpanan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup dari

jaringan-jaringan dalam bahan pangan. Hal ini tidak hanya disebabkan karena

transpirasi dan respirasi yang menurun, tetapi juga karena terhambatnya

perkembangan mikroba yang menyebabkan kerusakan serta kebusukan.

Menurut Rusendi (2010), Pendinginan atau refrigerasi adalah

penyimpanan pada suhu yang digunakan rata-rata masih di atas titik beku

bahan. Suhu yang digunakan biasanya berkisar antara -1°C sampai +4°C pada

suhu tersebut pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat.

Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari

11
atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya.

Pendinginan yang biasanya dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam

lemari es yang mempunyai suhu -2°C sampai +16°C.

Pendinginan bertujuan sebagai perubahan biokimia dan menekan tingkat

perkembangan mikrooganisme. Menurut Anis (2009). Penyimpanan pada

suhu rendah adalah cara terbaik untuk mempertahankan kualitas cabai dengan

suhu optimal dan tingkat kematangannya.

12
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Maret

2020 di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,

Universitas Gorontalo dan Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

Gorontalo.

B. Bahan dan Alat


Bahan utama yang telah digunakan yaitu cabai rawit (Capsicum

frustescens L.). Bahan yang digunakan untuk membuat edible coating adalah

lidah buaya (Aloe vera L.), dan aquades.

Alat yang digunakan adalah timbangan digital, blender, cawan

alumunium, sendok pengaduk, panci, saringan, kompor, chromameter,

refrigator, seperangkat uji kadar vitamin C, alat pendukung (alat tulis, buku

catatan dan label).

C. Metode Penelitian
Metode penelitian dari penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

A0 = Sebagai Kontrol

A1 = Carboxyil Methyl Cellulose (CMC) 0,5%

A2 = Carboxyil Methyl Cellulose (CMC) 1%

A3 = Carboxyil Methyl Cellulose (CMC) 1,5%

13
D. Prosedur Penelitian

a. Pembuatan Gel Lidah Buaya

Lidah buaya dibersihkan dengan air bersih. Setelah itu, dilakukan

proses trimming dan filleting. Kemudian dilakukan proses pembilasan

untuk menghilangkan yellow sap (lendir kuning). Setelah itu dilakukan

penghancuran dengan blender. Kemudian dilakukan pengenceran gel lidah

buaya dengan penambahan aquades dengan perbandingan 2,5 liter gel

lidah buaya dengan 5 liter aquades. Setelah itu, Lidah buaya disaring

dengan saringan yang berukuran 100 mesh dan dipanaskan pada suhu

75°C selama 15 menit.

b. Pembuatan Larutan Lidah buaya + Perlakuan

Setelah itu, gel lidah buaya yang sudah dipanaskan kemudian

ditambahkan konsentrasi Carboxyil Methyl Cellulose (CMC) sebesar

0,5%, 1%, dan 1,5%. Setelah itu, didinginkan sampai suhu ruang.

c. Pelapisan dan Penyimpanan Cabai Rawit

Cabai rawit setelah panen disortir untuk mendapatkan buah dengan

ukuran yang seragam dan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang melekat

pada kulit cabai rawit. Cabai rawit dicelupkan kedalam larutan gel lidah

buaya. Kemudian dikeringkan dan anginkan selama kurang lebih 30 menit

(sampai kering) dan selanjutnya disimpan didalam refrigerator. Sebagian

cabai rawit tanpa diberi lapisan edible coating untuk control pembanding.

14
Cabai rawit disimpan selama 12 hari dan dan di analisis dan di amati sifat

fisik kimianya setiap 6 hari sekali

Proses pembuatan Larutan Lidah Buaya


Daun Lidah Buaya

Sortasi dan Pencucian dengan air

Trimming dan filleting

Pembilasan dengan air untuk menghilangkan lendir kuning

Penghancuran dengan blender

Pengenceran gel lidah buaya dengan perbandingan 5 liter aquades


dan 2.5 liter gel lidah buaya

Disaring pada saringan 100 mesh

Dipanaskan suhu 75°C selama 15 menit

Larutan lidah buaya

Gambar 1. Prosedur Pembuatan Larutan Lidah Buaya (Ida Humaeroh, 2016)

15
Larutan Lidah Buaya
Perlakuan
R0 = Kontrol
R1 = 12 g
Pengadukan R2 = 25 g
R3 = 37 g
Edible Coating Lidah Buaya

Gambar 2. Proses Pembuatan Edible Coating Lidah Buaya

Cabai Rawit

Sortasi dan Pembersihan

Cabai rawit tanpa edible coating Cabai rawit dengan edible coating

Pencelupan selama 7 menit

Penirisan ±30 menit

Penyimapan pada suhu rendah selama 12


hari

Gambar 3. Prosedur Pelapisan Edible Coating Lidah Buaya pada Cabai

16
E. Parameter Pengamatan

1. Pengukuran Susut Bobot (Hary Susanto, 2018)

Susut bobot adalah salah satu faktor yang mengindikasikan mutu buah

cabai rawit. Penentuan susut bobot dilakukan dengan mengukur bobot buah

cabai rawit setiap 6 hari sekali. Bobot awal (W0) ditentukan pada bobot buah

cabai sebelum perlakuan, sedangkan bobot akhir (W1) ditentukan pada bobot

buah setelah perlakuan. Jadi susut bobot yaitu selisih dari bobot pada sebelum

perlakuan dan setelah perlakuan (Hary Susanto, 2018).

Persamaan yang digunakan untuk mengukur susut bobot adalah

sebagai berikut :

W 0−W 1
Sb= X 100 %
W0
Keterangan :

Sb = Susut Bobot (%)

W0 = Bobot Awal (gram)

W1 = Bobot Akhir (gram)

2. Pengukuran Kerusakan

Kerusakan bahan pangan merupakan perubahan karakteristik fisik dan

kimiawi suatu bahan pangan yang tidak diinginkan atau penyimpangan dari

karakteristik normal. Kerusakan bahan pangan dapat menyebabkan

17
kebusukan. Ciri-ciri Kebusukan antara lain bau tidak sedap, perubahan warna,

perubahan bentuk, dan perubahan tekstur .

Indikator kerusakan cabai rawit pada penelitian ini berdasarkan visual

yaitu terdapat tekstur yang sudah lunak, tangkai buah sudah layu bahkan

kering dan terjadi kebusukaan. Pengamatan kerusakan dilakukan setiap 6 hari

sekali.

3. Pengukuran Kadar Vitamin C (Hary Susanto, 2018)

Pengukuran vitamin C dilakukan dengan menggunakan metode titrasi

dengan Menimbang 10 gram bahan yang sudah ditumbuk halus, kemudian

menambahkan aquades, setelah itu disaring menggunakan kertas saring untuk

memisahkan filtratnya, mengambil 5 ml fitrat dengan pipet tetes ke dalam

gelas ukur kemudian memasukkan ke dalam Erlenmeyer 259 ml dan

menambahkan indikator amilum 1% sebanyak 1-2 tetes, kemudian melakukan

titrasi dengan 0.01 n yodium sampai berwarna abu-abu atau biru, 1 ml N

yodium= 0.88 mg asam askorbat.

Ml titrasi X 0.88= ...... mg

4. Pengukuran Warna (Pradhana et al, 2013)

Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat

Chromameter,chromameter merupakan alat yang digunakan untuk

memperoleh tingkatan cahaya dengan notasi warna dibedakkan menjadi 3

18
huruf yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkatkan untuk kecerahan

[L=100 (putih) dan L=0 (hitam)]. Nilai a terdiri dari a= yang menunjukkan

warna merah dengan nilai 0 hingga 60 dan –a yang menunjukkan warna hijau

dengan nilai 0 hingga -60. Nilai L, a*, dan b* yang semakin meningkat

pada buah cabai merah menunjukkan adanya proses pemasakan cabai rawit.

Gambar 4. Representasi warna dari nilai hue

Pengukuran dilakukan dengan menenpelkan kulit buah pada alat

yang telah dikalibrasi. Pengukuran warna dilakukan pada tiga titik yaitu, sisi

bagian pangkal, sisi bagian tengah, dan sisi bagian ujung. Pengukuran

dilakukan setiap 6 hari sekali. Hasil dari pengukuran untuk nilai a dan b

dikonversi kedalam satuan kromatik 0hue. Representasi warna dari nilai

0hue dapat dilihat pada gambar 4. Nilai 0hue menandakan warna murni

yang menunjukkan warna dominan dalam campuran beberapa warna.

Nilai 0hue diperoleh dari rumus sebagai berikut :

0Hue = tan – 1 b/a

Keterangan :

a = warna merah (positif), warna hijau (negatif)

19
b = warna kuning (positif), warna biru (negatif).

20
DAFTAR PUSTAKA

Akkarachaneeyakorn, S, and S. Tinrat. 2015. Effects of types and amounts of


stabilizers on physical and sensory characteristics of cloudy ready-to-
drink mulberry fruit juice. Journal of Food Science & Nutrition, 2015;
3(3): 213–220

Al-Juhaimi, F., Kashif G dan Elfadil EB. 2012. Effect of Gum Arabic Edible
Coating on Weight Loos, Firmness and Sensory Characteristics of
Cucumber (Cucumis SativusL.) Fruit During Storage. J.Bot,.Vol
4(4):1439-1444.
Alimatul, H. 2017. Aplikasi Pelapisan Lidah Buaya (Aloe Vera L.) Untuk
Meningkatkan Daya Simpan Buah Pepaya Callina (Carica Papaya L.
IPB9). Skripsi. Insitut Pertanian Bogor.

Alsuhendra, Ridawati, & Santoso, A. I. 2011. Pengaruh Penggunaan Edible


Coating Terhadap Susut Bobot, pH Dan Karalteristik Organoelektik
Buah Potong Pada Penyajian Hidangan Dessert. Skripsi Jurusan Ilmu
Kesehatan. Keluarga Fakultas Teknik Universitas Negri Jakarta.

Arifin, I., 2010, Pengaruh Cara dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Cabai
Rawit (Capsicum frutencens L var. Cengek), Skripsi. Universitas Islam
Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.

Athmaselvi,K.A, Sumitha, P. and Revathy, B. 2013. Development of Aloe vera


based edible coating for tomato; Int.Agrophys, 27, 369-375.

Badan Pusat Statistik, 2018. Produksi Cabai Rawit Menurut Provinsi 2014-2018.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Baldwin, EA. 1999. Edible Coating For Fresh Fruit and Vegetables: Past, Present
and Future. Dalam : Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, Eds.
Edibles Coatings and films To Improve Food Quality. Lancaster. Techtomic
Pub. CO. Inc
Bambang. 2003. Cabai Rawit : Teknik Budi Daya & Analisis Usaha Tani.
Penerbit Kanisius. Jakarta. Hal. 6, 34.

De Man, John. M. 1989. Kimia Makanan. Penerjemah Kosasih Padmawinata ITB.


Bandung. 550 hlm

21
Dermawan, Asep & Harpenas, 2010. Budidaya Cabai Unggul. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Dweck AC and Reynold T. 1999. Aloe vera Leaf Gel : a review update. J
Ethnopharmacology. 68:3-37.\
Hary S. 2018. Pengaruh Lapisan Lidah Buaya (Aloe vera L.) Dengan
Penambahan CMC (Carboxy Methyl Cellulose) Yang Berbeda Terhadap
Daya Simpan Buah Tomat (Lycopersicon esculentum) Di Suhu Rendah.
Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Gorontalo.
Indriyani, L. Indrarti, & E. Rahimi, 2006. Pengaruh Carboxyl Methyl Cellulose
(CMC) dan Gliserol Terhadap Sifat Mekanik Lapisan Tipis Komposit
Bakterial Selulosa. Jurnal Sains Materi Indonesia.
Krotcha JM. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality.
Departement Of Food Science and Technology. Departement Of Biological
and Agricultural Engineering University of California. Davis, California,
U.S.A.
Marpudi SL, Abirami LSS, Pushkala R, Srividya N. 2011. Enhacemment Of
Storage Life And Quality Maintenance Of Papaya Fruits Using Aloe
Vera Based Antimicrobial Coating. Indian Jurnal Of Biotechnology. 10:83-
89
Pantastico, E.R. 1989. Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan
Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropik dan Subtropik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Prajnanta, Final. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Jakarta: Penebar Swadaya.

Prasetyo, B.B, Purwadi dan D. Rosyidi, 2015. Penambahan CMC Pembuatan


Minuman Madu Sari Buah Jambu. Universitas Brawijaya, Malang. P.1-8.
Pujimulyani, D. 2012. Teknologi Pengolahan Sayur-Sayuran dan Buah-buahan.
Graha Ilmu. Yogyakarta. 288 Hlm.
Reynolds, T and A.C. Dweck. 1999. Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of
Ethnopharmacology. Vol 68, pp 3-37
.
Rachmawati, R., Defiani, M. R., & Suriani, N. L. 2009. “Pengaruh Suhu Dan Lama
Penyimpanan Terhadap Kandungan Vitamin C Pada Cabai Rawit
Putih (Capsicum frustescens)”. Jurnal Biologi, Vol. 13, No. 2.

22
Rusendi, Dadi. Sudaryanto. Nurjannah, Sarifah. Widyasanti, Asri. Rosalinda, S.
2010. Penuntun Praktikum MK. Teknik Penanganan Hasil Pertanian.
Unpad.

Santoso, B., D. Saputra., & R. Pambayun, 2004. Kajian Teknologi Coating Dari
Pati dan Aplikasinya Untuk Pengemas Priner Lempok Durian. Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan, 15(3):239-244./

Setiadi. 2006. Cabai Rawit, Jenis dan Budidaya. Jakarta : Penebar Swadaya.

Sumoprastowo, 2004. Memilih dan Menyimpan Sayur Mayur, Buah Buahan, dan
Bahan Makanan. Jakarta. Bumi Aksara.

Suyonto, M., Fettiyuna, dan Tiara, J. 2016. Kajian Iradiasi Gamma Terhadap
Karakteristik Cabai Rawit Untuk Memperpanjang Masa Simpan
[skripsi]. Fakultas Teknologi Industri Pertanian. Universitas Padjadjaran.
Tjandra, E., 2011. Panen Cabai Rawit Di Polybag. Cahaya Atma Pustaka.
Yogyakarta

Winarno FG, MA Wirakartausumah. 1980. Mutu Daya Simpan, Transportasi dan


Penanganan Buah-buahan dan Sayur-sayuran, Makalah pada Konfrensi
Pengolahan Bahan Pangan “Swasembada dan Ekspor”. 22-23 Oktober 1986.
Jakarta.
Yuriska, D. 2019. Pengaruh Lapisan Lilin Lebah Dengan Penambahan CMC
(Carboxy Methyl Cellulose) Yang Berbeda Terhadap Daya Simpan Buah
Cabai Rawit (Capsicum frustescens) Di Suhu Rendah. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Universitas Gorontalo.

23

Anda mungkin juga menyukai