Anda di halaman 1dari 29

DosenPengampu :Dr. Lince R.P, SP., MP.

Disusun Oleh :
Nama : ALEX ANDICO PARLINDUNGAN LUMBANTORUAN
Npm : 218310042
Prodi : Agroteknologi – A
Mata kuliah : Teknologi benih

UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA


FAKULTAS PERTANIAN
AGROTEKNOLOGI
MEDAN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pohon aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) merupakan tanaman palma yang
memiliki potensi ekonomi yang tinggi karena hampir semua bagiannya dapat
memberikan keuntungan finansial. Manfaat yang dapat diperoleh dari tanaman
aren antara lain buahnya dapat dibuat kolang-kaling yang digunakan sebagai
bahan makanan ringan. Ijuk yang berasal dari batangnya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku anyaman untuk atap rumah, dekorasi, sapu lantai, jok mobil
dan lain-lain. Daun yang masih muda dapat digunakan sebagai rokok daun yang
disebut kawung, batang untuk peralatan bahan bangunan, dan akar aren
digunakan sebagai obat tradisional (Sunanto,1993).

Tandan bunga yang disadap menjadi nira untuk bahan pembuat gula, cuka dan
minuman. Selain itu, nira pohon aren dapat digunakan sebagai bioethanol. Aren
mampu memproduksi bahan bakar jenis bioethanol 40.000 L/ha setiap tahun.
Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan Bahan Bakar Nabati (BBN) dari kelapa
sawit dan kelapa (Andriewongso, 2008).

Nilai ekonomis yang dimiliki oleh produk-produk yang dihasilkan tanaman aren
tersebut sangat dibutuhkan oleh pasar internasional sehingga mampu
meningkatkan nilai ekspor yang berdampak pada peningkatan perekonomian
nasional. Produk yang paling besar nilai ekonomisnya adalah gula aren. Produk
gula aren selain dikonsumsi dalam negeri juga diminati oleh pasar ekspor
terutama dalam bentuk gula semut.

Menurut Rumokoi (2004) dari pengolahan data yang dikeluarkan Ditjenbun


tahun 2003 dan estimasi laju perkembangan areal beberapa provinsi yang
mengusahakan tanaman aren, total areal yang telah ditanami di seluruh
Indonesia mencapai 60.482 ha dengan produksi gula aren sebesar 30.376
ton/tahun. Areal dan produksi gula yang terbesar terdapat di provinsi Jawa Barat
13.135 ha dengan produksi 6.686 ton gula/tahun, Papua 10.000 ha dengan 2.000
ton gula/tahun, Sulawesi Selatan 7.293 ha dengan produksi 3.174 ton gula/tahun,
dan Sulawesi Utara 6.000 ha dengan produksi 3.000 ton gula/ha. Berdasarkan
data Disbun Sumatera Barat (2015), Sumatera Barat memiliki total areal tanaman
aren seluas 1.620 ha pada tahun 2014 yang merupakan perkebunan rakyat.

Luas lahan tanaman aren di Sumatera Barat terus berkurang setiap tahunnya.
Luas lahan yang tidak bertambah disebabkan oleh penebangan atau tanaman
mati karena telah tua. Sementara penanaman belum dilakukan kembali secara
tepat dan terencana (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumbar, 2016)
Manfaat dan kegunaan tanaman aren yang banyak tersebut tidak diikuti dengan
banyaknya persediaan tanaman aren di lapangan, karena benih aren memiliki
masa dormansi yang menyebabkan proses regenerasi pohon aren menjadi
lambat, sehingga terjadi permasalahan dalam pengadaan bibit aren
(Hadipoentyanti dan Luntungan, 1988).

Dormansi yang terjadi pada benih aren disebabkan oleh tebalnya kulit benih
aren dan ketidakseimbangan senyawa perangsang dan senyawa penghambat
dalam memacu aktivitas perkecambahan benih(Saleh, 2006). Sehingga secara
alami benih aren membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat
berkecambah. Menurut Mashud (1989) benih aren baru bisa berkecambah 5-6
bulan setelah semai. Dormansi pada benih dapat diatasi dengan berbagai
perlakuan pematahan dormansi benih. Salah satu diantaranya dapat dilakukan
secara mekanis, yaitu dengan melakukan skarifikasi. Skarifikasi ini dapat dilakukan
dengan cara melubangi benih, mengikir, menggosok dengan amplas, goncangan,
ataupun dengan cara perendaman dengan air panas dan dingin secara bergantian.
Hal ini bertujuan agar air, oksigen dan faktor lain yang mendukung untuk
mempercepat perkecambahan lebih mudah masuk sehingga membantu dalam
proses perkecambahan. Penelitian Widyawati et al.,(2009) menggambarkan
bahwa dengan pengamplasan, dapat secara efektif meningkatkan daya kecambah
benih aren. Pengamplasan pada setengah permukaan benih dapat meningkatkan
daya kecambah benih menjadi 72,5%, sedangkan dengan pengamplasan bagian
calon mata tunas (operkulum) benih dapat meningkatkan daya kecambah benih
menjadi 82,50%. Selain dengan perlakuan mekanis ini, pematahan dormansi
dapat juga dilakukan dengan perlakuan kimia, yaitu perendaman dengan bahan
kimia. Perlakuan kimia yang diberikan pada benih dapat menyebabkan kulit benih
menjadi lunak dan mudah dimasuki air dan udara. Menurut Sutopo (2006) bahan
kimia dapat digunakan sebagai perlakuan untuk memecahkan dormansi pada
benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air
pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat seperti asam sulfat, asam nitrat
dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat
dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia lain yang sering digunakan adalah
potassium hidrokside, asam hidrokhlorit, pottasium nitrat dan thiourea. Selain itu
juga dapat digunakan hormon tumbuh antara lain: sitokinin, gibberelin, dan asam
indolasetat (IAA)(Harahap, 2012).

Beberapa informasi hasil penelitian tentang pematahan dormansi telah


dilaporkan terkait perlakuan penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT). Maryani
(2008) membuktikan bahwa interaksi perlakuan pengamplasan dan perendaman
benih aren dalam ZPT 60 ppm GA3 selama 24 jam dapat meningkatkan daya
kecambah benih menjadi 89%.Menurut penelitian Purba (2014) perendaman
larutan giberelin 150 ppm selama 24 jam pada benih aren yang telah diskarifikasi
memberikan pengaruh yang paling baik terhadap daya kecambah, dengan rata-
rata persentase kecambah sebesar 65 %, dibandingkan dengan perendaman
larutan giberelin 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm dengan rata-rata persentase
kecambah sebesar 15 %, 34,5 %, 53,125 %, dan 26,875 %. Zat pengatur tumbuh
yang dapat membantu dalam pematahan dormansi ini selain dihasilkan secara
sintetik juga dapat dihasilkan secara alami pada tumbuhtumbuhan tertentu. Salah
satu tumbuhan yang mengandung hormon untuk pematahan dormansi tersebut
adalah bawang merah.Bawang merah (Allium cepa L.) selain memiliki kandungan
minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, flavonglikosida, kuersetin, saponin,
peptida, vitamin dan zat pati, juga mengandung fitohormon (Anonim, 2008).
Didukung juga oleh Marfirani (2014) bahwa hormon yang terkandung dalam
bawang merah yaitu hormon auksin dan giberelin, sehingga dapat memacu
pertumbuhan benih. Penggunaan bawang merah ini dapat menggantikan
penggunaan zat pengatur tumbuh sintetik yang harganya relatif mahal. Selain itu,
keberadaan bawang merah yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di
pasar-pasar tradisional yang menyediakan bawang merah sebagai rempah-
rempah pelengkap masakan, menjadikan bawang merah mudah untuk
didapatkan.

Darojat (2014) mengungkapkan bahwa perendaman dalam ekstrak bawang


merah dengan konsentrasi 10% mampu meningkatkan persentase daya
kecambah, kecepatan tumbuh, panjang hipokotil, dan panjang akar secara nyata
terhadap benih kakao. Ichsanudin(2013) menambahkan bahwa perendaman
benih pepaya dalam konsentrasi jus bawang merah 15ml/l atau setara dengan
1,5% selama 2 hari dapat memberikan hasil tertinggi dalam mempercepat
perkecambahan dan pertumbuhan awal bibit pepaya, serta memiliki pengaruh
yang sama dengan giberelin sintetik 10 ppm pada kecepatan berkecambah,
panjang akar, diameter batang, tinggi bibit, luas daun, berat segar, dan berat
kering. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis telah melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh LamaPerendaman dalam Ekstrak Bawang
Merah (Allium cepa L.)terhadap Pematahan Dormansi Benih Aren(Arenga pinnata
(Wurmb) Merr)yang Telah Diskarifikasi”.

B. Tujuan Penelitian Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui lama perendaman benih aren di dalam ekstrak
bawang merah yang efektif dalam mempercepat pematahan dormansi benih aren
yang telah diskarifikasi

C. Manfaat

Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk dunia pertanian, khususnya bagi


petani aren yang masih belum membudidayakannya. Bila usaha pemecahan
dormansi benih aren dapat teratasi maka budidaya tanaman aren akan lebih
cepat dilaksanakan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)

Bawang merah merupakan satu dari sekian banyak jenis bawang yang tersedia di
dunia. tanaman bawang merah merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak
dengan tinggi mencapai 15-40 cm (Rahayu, 1999). Klasifikasi tanaman bawang
secara botani menurut Tjitrosoepomo, (2010) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathopyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Liliales

Famili : Lilianceae

Genus : Allium

Spesies : Allium ascalonicum L.

Bawang merah merupakan salah satu komoditi hortikultura yang termasuk ke


dalam sayuran rempah yang digunakan sebagai pelengkap bumbu masakan guna
menambah citarasa dan kenikmatan masakan. Di samping itu, tanaman ini juga
berkhasiat sebagai obat tradisional, misalnya obat demam, masuk angin, diabetes
melitus, disentri dan akibat gigitan serangga (Samadi dan Cahyono, 2005).

Wibowo (2005) juga menyatakan bahwa, bawang merah banyak sekali


mengandung beberapa kandungan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yaitu seperti
protein sebanyak1,5 g, lemak 0,3 g, kalsium 36 mg, fosfor 40 mg vitamin C 2 g,
kalori 39 kkal, danair 88 g serta bahan yang dapat dimakan sebanyak 90%. 7
Syarat tumbuh tanaman bawang merah yang baik tumbuh di daerah beriklim
kering karena peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta
membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal (minimal 70%
penyinaran), suhu udara 25-32oC, dan kelembaban nisbi 50-70% (Nazarudin,
1999). Tanaman bawang merah memerlukan tanah yang bertekstur remah, tekstur
sedang sampai lit, drainase/aerasi baik, mengandung bahan otganik yang cukup
dan reaksi tanah yang tidak masam (pH tanah : 5,6 – 6,5). Tanah yang paling
cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah aluvial atau kombinasinya
dengan tanah Glei-Humus atau latosol (Sutarya dan Grubben, 1995).

Tanah yang cukup lembab dan air tidak menggenang disukai oleh tanaman
bawang merah (Rismunandar, 1986). Morfologi fisik bawang merah bisa
dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu akar, batang, daun, bunga, buah dan biji.
Bawang merah memiliki akar serabut dengan sistem perakaran dangkal dan
bercabang terpencar, pada kedalaman antara 15-20 cm di dalam tanah dengan
diameter akar 2-5 mm (AAK, 2004). Bawang merah memiliki batang sejati atau
disebut dengan discus yang berbentuk seperti cakram, tipis, dan pendek sebagai
melekatnya akar dan mata tunas, diatas discus terdapat batang semu yang tersusun
dari pelepah-pelepah daun dan batang semua yang berbeda didalam tanah berubah
bentuk dan fungsi menjadi umbi lapis (Sudirja, 2007).

Menurut Sudirja (2007), daun bawang merah berbentuk silindris kecil


memanjangantara 50-70 cm, berlubang dan bagian ujungnya runcing berwarna
hijau mudasampai tua, dan letak daun melekat pada tangkai yang ukurannya relatif
8 pendek, sedangkan bunga bawang merah keluar dari ujung tanaman (titik
tumbuh) yang panjangnya antara 30-90 cm, dan di ujungnya terdapat 50-200
kuntum bunga yang tersusun melingkar seolah berbentuk payung. Tiap kuntum
bunga terdiri atas 5-6 helai daun bunga berwarna putih, 6 benang sari berwarna
hijau atau kekuningkuningan, 1 putik dan bakal buah berbentuk hampir segitga
(Sudirja, 2007). Buah bawang merah berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul
membungkus biji berjumlah 2-3 butir. Biji bawang merah berbentuk pipih,
berwarna putih, tetapi akan berubah menjadi hitam setelah tua (Rukmana, 1995).
Umbi bawang merah dapat digolongkan menjadi tiga ukuran yaitu umbi besar
(diameter > 1,8 cm atau berbobot 10 g), umbi benih sedang (diameter 1,5 – 1,8 cm
atau berbobot 5-10 g) dan umbi benih kecil (diameter < 1,5 cm atau berbobot < 5
g). Benih bawang merah yang baik merupakan umbi yang telah melalui masa
dormansi, sehat, tidak cacat dan berukuran optimal (Sumarni dan Hidayat, 2005).
Produksi bawang merah yang melimpah di seluruh indonesia mengakibatkan
permintaan petani juga meningkat apalagi bawang merah yang yang dijadikan
benih memiliki kualitas yang sangat baik.
Menurut Dirjen Hortikultura (2017) menyebutkan bahwa proyeksi
pengembangan bawang merah pada tahun 2016-2019 mengalami peningkatan
produksi yang drastis pada tiap tahunnya karena penerapan manajemen pola tanam
sudah berjalan dengan baik dan inovasi teknologi (prapanen sampai pascapanen)
terus muncul yang menjadikan pasokan dan harga terus stabil.

2.2 Varietas Bawang Merah

Produktivitas bawang merah Jawa Timur di bawah 7,5 ton/ha, setelah adanya
pelepasan varietas unggul maka produktivitas di tahun 2012 menjadi rerata 9,6
ton/ha atau meningkat 27,63% (Dirjen Hortikultura 2013). Beberapa petani 9 maju
di Jawa Timur yang telah menggunakan varietas unggul dan benih bersertifikat
bahkan mampu menghasilkan produksi sekitar 15 hingga 20 ton/ha sesuai dengan
daya hasil varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah (Putrasameja & Suwandi
1994, Baswarsiati , 2005).

Varietas tanaman bawang merah yang terdapat di indonesia mempunyai banyak


varietas yang unggul serta memiliki kelebihan masing masing. sejak tahun 1994
hingga 2011 Menteri pertanian telah melepas 25 varietas unggul bawang merah,
terdir atas hasil persilangan (lima varietas) asal kota serta introduksi 20 varietas,
termasuk di dalamnya yang diajukan BPTP Jawa Timur (Baswarsiati, 2009).
Sesuai dengan surat keputusan Menteri pertanian No. 902/kpts/TP.240/12/96
tentang pengujian, penilaian, dan pelepasan varietas dilakukan observasi untuk
dilakukan observasi, untuk dikaji, dievaluasi, dikarateriasasi, dan diadaptasikan di
beberapa sentra produksi untuk mendapatkan benih yang memiliki kualitas yang
baik (Manwan, 1997).

2.3 Varietas Bauji

Bawang merah varietas bauji merupakan varietas bawang unggul yang


dilepaskan oleh BBTP dengan nomor SK: No 65/Ktps/TP.240/2/2000, tgl 25-2-
2000. Varietas ini mulai berbunga pada umur 45 hari memiliki umur panen 58-60
hari setelah tanam dengan ditandai 60% batang melemas saat memasuki masa
panen dengan potensi hasil yang didapat 18 ton/ha, tinggi tanaman 35-43 cm, berat
per umbinya 6-10 g serta memiliki jumlah umbi perumpun mencapai 8-11 atau
lebih. Bentuk dan warna umbi yang dimiliki varietas ini yaitu bulat lonjong dengan
warna merah keunguan beraroma sedang tidak menyengat.
Bentuk daun yang 10 dimiliki silindris berlubang, banyak daun mencapai 40-45
helai/rumpun dengan warna hijau, bentuk bunga seperti payung berwarna putih,
banyak buah/tangkai 75- 100, banyak bunga/tangkai 115-150, banyak tangkai
bunga/rumpun 2-5, bentuk biji bulat, gepeng, berkeriput dengan warna biji hitam.
Daya simpan umbi mencapai 3 sampai 4 bulan dengan susut bobot umbi mencapai
25% (basah-kering) varietas Bauji toleransi terhadap serangan penyakit Fusarium
sp dan agak tahan terhadap ulat grayak (Spodoptera litura) serta daya adaptasinya
sesuai untuk musim hujan (Baswarsiati, 2005).

Gambar 1. Bawang Merah Varietas Bauji (Sumber : Balai Pengkajian Teknologi


Pertanian (BPTP) Jawa Timur)

2.4 Varietas Thailand

Bawang merah varietas Thailand (Tajuk) merupakan bawang merah hasil


introduksi dari Thailand yang memiliki umur panen 52 – 59 hari setelah tanam
ditandai daun dan batang sudah melemas (80%) dengan susut bobot umbi (basah –
kering simpan) 22 – 25%, serta mempunyai daya adaptasi dengan baik pada musim
kemarau dan tahan terhadap musim hujan, sesuai di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Memiliki aroma yang sangat tajam. Daya simpan 3 –7 bulan setelah
panen dengan warna umbi merah muda.

Berat perumbi 5 –12 gram dengan jumlah umbi perumpun 5 –15 umbi, bentuk
umbi bulat dengan diameter 1,7 – 3,2 mm, tinggi tanaman mencapai 26,4 – 40 cm,
panjang daun 27 – 32 cm dengan bentuk penampang silindris tengah berongga,
warna daun hijau sedang, jumlah daun 11 perumbi 3-8 helai, (Dinas Pertanian
Daerah Kabupaten Nganjuk, 2016). Menurut Sartono dan Suwandy (1996)
menyatakan bahwa budidaya bawang merah varietas Thailand yang dilakukan
didataran rendah memiliki hasil produksi umbi sebesar 17-22 ton/ha.

Gambar 2. Bawang Merah Varietas Thailand (Sumber: Dinas Pertanian Daerah


Kabupaten Nganjuk)

2.3 Mikroorganisme Lokal Buah

Mikroorganisme lokal (MOL) adalah larutan yang dibuat dari bahan – bahan
organik yang mengandung mikroorganisme dapat dimanfaatkan sebagai starter
dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Menurut Purwasasmita
dan Kunia (2009), larutan MOL adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan
dasar dari berbagai sumberdaya yang tersedia setempat. MOL berperan sebagai
pengurai selulotik, dapat memperkuat tanaman dari infeksi penyakit, dan
berpotensi sebagai fungisida hayati. Pemanfaatan pupuk cair MOL lebih murah,
ramah lingkungan, dan menjaga kesimbangan alam. Bahan utama MOL terdiri dari
beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme.
Bahan dasar untuk fermentasi larutan MOL dapat berasal dari hasil pertanian,
perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga (Darwis, 1992).

Karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari


limbah organik seperti air cucian beras, singkong, gandum, rumput 12 gajah, dan
daun gamal. Sumber glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir, sebagai
sumber energi, air kelapa dan urin sapi sebagai sumber mikroorganisme. Larutan
MOL yang telah mengalami proses fermentasi dapat digunakan sebagai
dekomposer dan pupuk cair untuk meningkatkan kesuburan tanah dan sumber
unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. (Darwis, 1992). Saat ini penggunaan
larutan MOL sebagai pupuk organik cair sudah berkembang tidak hanya untuk
tanaman padi tetapi juga tanaman pertanian lainnya seperti sayuran, palawija dan
buah-buahan. Menurut Purwasasmita (2009), larutan MOL merupakan larutan
hasil fermentasi dengan bahan baku berbagai sumber daya yang tersedia di sekitar
lingkungan, seperti nasi, daun gamal, keong mas, bonggol pisang, air kencing,
limbah buah-buahan, limbah sayuran dan lain-lain.

Bahanbahan tersebut merupakan tempat yang disukai oleh mikroorganisme


sebagai media untuk hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna
dalam mempercepat penghancuran bahan-bahan organik (dekomposer) atau
sebagai tambahan nutrisi bagi tanaman. Larutan MOL mengandung unsur hara
makro, mikro, dan mengandung mikroorganisme yang berpotensi sebagai
perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan
penyakit tanaman sehingga baik digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan
pestisida organik. Fermentasi dapat terjadi karena ada aktivitas mikroorganisme
penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai, proses ini dapat
menyebabkan perubahan sifat bahan tersebut. Lama fermentasi dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap
proses fermentasi.

Waktu fermentasi MOL berbeda-beda antara satu jenis bahan MOL 13 dengan
yang lainnya. Waktu fermentasi ini berhubungan dengan ketersediaan makanan
yang digunakan sebagai sumber energi dan metabolisme dari mikroorganisme. Hal
ini berhubungan dengan ketersediaan makanan dalam MOL. Proses fermentasi
yang lama menyebabkan cadangan makanan akan berkurang karena dimanfaatkan
oleh mikrobia di dalamnya (Suhastyo, 2011). Peran MOL sebagai dasar komponen
pupuk, mikroorganisme tidak hanya bermanfaat bagi tanaman namun juga
bermanfaat sebagai agen dekomposer bahan organik limbah pertanian, limbah
rumah tangga dan limbah industri. Upaya mengatasi ketergantungan terhadap
pupuk dan pestisida buatan, dapat dilakukan dengan meningkatkan peran
mikroorganisme tanah yang bermanfaat melalui berbagai aktivitasnya yaitu
meningkatkan kandungan beberapa unsur hara di dalam tanah, meningkatkan
ketersediaan unsur hara di dalam tanah, dan meningkatkan efisiensi penyerapan
unsur hara dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah yang bermanfaat
melalui aplikasi bahan organik (Rao, 1994 dalam Kementrian Pertanian 2014).

Mikroorganisme lokal yang terbuat dari kumpulan buah yang terdiri dari pepaya,
pisang, dan tomat hasil dari sisa buah-buahan telah busuk sangat mudah untuk
difermentasikandan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam prosesnya karena
strukstur dari buah tersebut yang sudah lembek mampu mempercepat terurai, serta
miroorganisme yang terdapat dalam buah busuk tersebut juga mampu menambah
perombak bahan Mikroorganisme lokal tersebut.

Pengaplikasian dari Mikroorganisme Lokal yang sudah jadi sempurna setelah


difermentasi dapat diaplikasikan langsung ke tanaman dan dapat digunakan
sebagai dekomposer dalam pengomposan (Pranata, 2004). 14 Limbah buah-buahan
yang diolah menjadi mikroorganisme lokal terdapat beberapa bakteri yang dapat
berperan sebagai komponen probiotik. Menurut Subagiyo dan Djunaedi (2011)
dalam larutan MOL buah umumnya ada jenis bakteri dan jamur. Peran dan fungsi
mikroorganisme lokal pada pakan ikan terutama dari jenis Bacillus telah
dikemukakan oleh Zhou (2009).

2.4 Limbah Buah – buahan

Limbah buah-buahan dapat dijadikan sumber bahan baku alternatif yang


berpotensi menghasilkan pupuk organik cair dengan bentuk bubur sampah
buahbuahan (slurry) serta hasil air lindinya dapat digunakan sebagai pupuk organik
cair dan ampasnya dijadikan media pertumbuhan. Pupuk organik cair yang
dihasilkan kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. bahkan, senyawa
seperti protein, selulose, lignin, dan lain - lai yang tidak bisa digantikan oleh pupuk
kimia (Bayuseno, 2009). Bakteri yang terlibat dalam dekomposisi pedegradasi
sampah sayuran danbuah-buahan antara lain adalah bakteri selulolitik (Supriyatna
dkk., 2012).

Adapun contoh bakteri selulolitik yang telah diteliti sebagai penghasil selulosa
antara lain seperti Scopulariopsis brevicaulis, Ruminococcus albus, Closstridium,
Cellulomonas. Bakteri tersebut memiliki kemampuan aktivitas selulolitik dan
hemiseluloliti yang tinggi pada proses fermentasi untuk menghasilkan gula.
Bakteri selulolitik dalam kondisi aerobik memecah selulosa dan merubahnya
menjadi CO2 dan air, sedangkan pada kondisi anaerobik menjadi CO2, metana dan
air (Supriyatna dkk., 2012).
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian dan


Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Jl. HR. Soebrantas
KM 15 Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan, Pekanbaru. Penelitian ini
dilaksanakan bulan Maret hingga Juli 2014.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit umbi dan benih bawang
merah Varietas Tuk Tuk, bokashi, tanah topsoil, pasir, tanah gambut, pupuk
kandang kambing yang diambil dari Rumah Potong Hewan Pekanbaru dan polibeg
ukuran 40 x 50 cm. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rak
vertikultur, cangkul, sekop, media persemaian, gembor, pisau, sendok, meteran,
handsprayer, jangka sorong, penggaris, timbangan analitik, ember, kamera dan alat
tulis.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian di lapangan dengan menggunakan polibeg.


Penelitian ini mengunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 2
faktor. Faktor pertama adalah media tanam (M) yang terdiri dari 3 taraf yaitu: M1
= Topsoil M2 = Pasir M3 = Gambut Faktor kedua adalah bahan tanam (B) yang
terdiri dari 2 taraf yaitu: B1 = Umbi B2 = Benih

Dari rancangan tersebut diperoleh 3 x 2 = 6 kombinasi perlakuan. Setiap


kombinasi diulang 5 kali, sehingga terdapat 6 x 5 = 30 unit percobaan. Masing-
masing unit percobaan terdiri dari 3 tanaman bawang merah dalam satu polibeg,
sehingga berjumlah 90 tanaman. Masing-masing unit percobaan ditanam pada rak
vertikultur. Model linear menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006), adalah:

Yijk = μ + ρk + αi + βj + (αβ)ij + Eijk

dimana: Yijk : Hasil pengamatan pada faktor M pada taraf ke -i dan faktor B pada
taraf ke -j dan pada ulangan ke-k’

μ : Nilai tengah umum

ρk : Pengaruh kelompok pada taraf ke-k

αi : Pengaruh faktor M pada taraf ke-i

βj : Pengaruh faktor B pada taraf ke-j

(αβ)ij : Pengaruh interaksi dari faktor M pada taraf ke -i dan faktor B pada taraf ke-

j Εijk : Pengaruh galat percobaan faktor M pada taraf ke -i dan faktor B pada taraf
ke -j pada ulangan ke-k

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Persiapan tempat

Persiapan tempat dilakukan pada penelitian ini berupa pembersihan lahan,


perataan areal sekitar lahan dari semak belukar, sampah-sampah, gundukan kayu.
Drainase dibuat sebaik mungkin agar mudar mengalir.

3.4.2. Pembuatan rumah bayangan dan rak vertikultur

Naungan persemaian dibuat untuk mengindari cahaya matahari langsung yang


terlalu panas dan hujan yang dapat merusak pertumbuhan umbi bawang merah.
Naungan dibuat dari plastik transparant yang dibuat melingkar setengah lingkaran
dengan tinggi 1 meter dan lebar naungan panjang 1 meter. Rak vertikultur terbuat
dari kayu yang disusun bertingkat dengan penopang terbuat dari kayu dengan
model seperti anak tangga. Rak terdiri dari papan, papan kemudian disusun secara
vertikal menyerupai tangga sebanyak 4 tangga. Jarak tiap tingkatan 20 cm dan
tingkatan ke tanah yaitu 30 cm. Ukuran panjang rak papan masing-masing 200 cm
(2 meter) per tingkatan. Dalam satu papan tingkatan terdapat 6 polibeg. Setiap
tingkatan rak dijadikan sebagai ulangan. Karena pada percobaan ini menggunakan
6 perlakuan dan 4 ulangan ditanam pada polibeg yang disusun di rak, maka
terdapat 1 rak vertikultur.

3.4.3. Persiapan bahan tanam

Benih yang digunakan adalah benih unggul Varietas Tuk Tuk yang berasal dari
PT. East West Seed dan umbi bawang merah yang digunakan adalah Varietas Tuk
Tuk F1 yang berasal dari Bukit Tinggi Sumatera Barat.

3.4.4. Persemaian

Tanah yang digunakan untuk media persemaian adalah tanah topsoil. Kemudian
tanah dicampurkan dengan pupuk bokasi dan pasir dengan perbandingan 1:1:1.
Setelah tanah, pupuk dan pasir teraduk rata, letakkan pada seed bed dan kemudian
diamkan selama 1 minggu. Pada tanaman bawang merah bahan tanam benih, benih
bawang merah disemai terlebih dahulu, persemaian dilakukan pada media
persemaian dengan membuat alur sebanyak 8 alur dengan jarak masing-masing 3
cm dan kedalaman 2 cm. Benih di taburkan secara merata dan tidak menumpuk.
Benih bawang merah yang telah disebar ditutup dengan kompos secara merata.
Media persemaian kemudian disiram dengan gembor halus sampai keseluruhan
media basah. Perawatan pada persemaian terus dilakukan sampai menjadi bibit
yang siap 17 dipindahkan ke polibeg pada rak vertikultur (40-45 hari setelah
semai). Perawatan pada persemaian meliputi penyiraman dan penyiangan gulma
yang dilakukan setiap hari, hal ini dilakukan untuk memastikan benih dapat
tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kekurangan air.

3.4.5. Pemberian

Label Pemberian label pada polibeg dilakukan sebelum pemindahan media tanam
dan bahan tanam ke polibeg atau satu hari sebelum pemberian perlakuan.
Pemberian label bertujuan untuk membedakan perlakuan yang diberikan pada
masing-masing tanaman bawang merah.

3.4.6. Persiapan Media Tanam


Persiapan media tanam dilakukan setelah pemberian label. Media tanam yang
dipersiapkan adalah tanah topsoil, pasir, tanah gambut dan pupuk kandang
kambing. Media tanah topsoil yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari
lahan percobaan Fakultas Pertanian dan Perternakan Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim, media pasir yang digunakan dibeli di toko bangunan dengan
kriteria pasir sungai, media untuk tanah gambut diambil dari lahan tanah gambut.

3.4.7. Perlakuan media tanam

Perlakuan media tanam dilakukan setelah persiapan media tanam. Media tanam
yang digunakan adalah media topsoil, pasir, dan gambut yang telah dipersiapkan
sebelumnnya. Masing-masing perlakuan media tanam diberikan pupuk kandang
kambing yang dimasukkan kedalam polibeg berukuran 3 kg (20 x 20 cm) dengan
menggunakan perbandingan 1:1. Setelah media tersebut dicampurkan sesuai
komposisi dan perbandingannya selanjutnya media dimasukkan ke dalam polibeg
yang berukuran 10 kg (40 x 50 cm) yang telah diberi label. Pemberian perlakuan
dilakukan dua minggu sebelum tanaman 18 bawang merah ditanam pada rak
vertikultur. Setelah itu polibeg disusun di rak vertikultur sesuai rancangan
(Lampiran 3) dan media yang telah diisi dibiarkan selama satu minggu.

3.4.8. Pemberian perlakuan bahan tanam

Pemberian perlakuan bahan tanam dilakukan seminggu setelah perlakuan media


tanam. Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit bahan tanam
benih dan bibit bahan tanam umbi menggunakan Varietas Tuk Tuk. Bibit bahan
tanam benih sebelumnya telah disemai selama 40 hari dan siap pindah tanam
dengan kriteria bibit mempunyai bentuk yang kokoh, berwarna hijau segar,
terdapat 5-6 helai daun yang sehat dan sedikit tonjolan umbi. Sedangkan bahan
tanam bibit umbi yang digunakan adalah umbi berukuran seragam dan dari
tanaman yang telah mencapai umur kurang lebih 80 hari dan disimpan selama 2-3
bulan. Bahan tanaman umbi bawang merah dilakukan pemotongan ujung umbi
seperempat bagiannya.

3.4.9.Pemindahan dan penanaman bibit bawang merah ke rak vertikultur

Pemindahan dan penanaman bibit bawang merah ke polibeg di rak vertikultur


dilakukan setelah perlakuan bahan tanam. Bibit yang ditanam menggunakan 3
lubang tanam per polibeg dengan jarak tanam antar umbi bibit 10 x 10 cm. Bibit
umbi bahan tanam benih yang telah disemai dipindahkan, bibit dicabut dari seed
bed sebaiknya dilakukan penyiraman terlebih dahulu pada seed bed untuk
mengurangi stress tanaman. Pemindahan bibit dilakukan dengan menggunakan
sendok makan dari tempat persemaian dan langsung dipindahkan ke polibeg rak
vertikultur. Bibit umbi bawang merah yang dipindah tanam ke polibeg rak
vertikultur sebelumnya dipotong sepertiga bagian pada ujung umbi sebelum
penanaman. Hal ini dimaksudkan agar umbi tumbuh lebih cepat dan seragam. Pada
bagian akarnya dibuang sedikit agar mudah muncul akar yang baru. Penanaman
umbi dilakukan pada polibeg sesuai perlakuan label yang telah disediakan.
Selanjutnya umbi siap 19 ditanam dipolibeg dengan cara membenamkan bagian
umbinya kedalam lubang tanam yang sudah dibuat sebelumnya. Jangan
membenamkan seluruh bagian umbi atau terlalu dalam. Bibit bawang merah bahan
tanam benih yang telah disemai dan umbi bawang yang telah pindah tanam ke
polibeg pada rak vertikultur harus rawat dan dipelihara sampai panen.

3.4.10. Pemeliharaan

a. Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu 2 kali sehari, pada pagi hari ±jam (6.30-
7.00) dan sore hari ±jam (16.30–17.00) sesuai kondisi kebutuhan air tanaman.
Penyiraman dihentikan seminggu sebelum panen. Penyiraman dilakukan
menggunakan gembor halus.

b. Pemupukan

Pemupukan dilakukan menggunakan Pupuk Organik Cair (POC Nasa).


Pemupukan dilakukan dengan menggunakan konsentrasi 5 ml POC Nasa dan
volume 100 ml/tanaman yang dicampurkan air dan dimasukkan ke dalam
handsprayer. Aplikasi POC Nasa diberikan ke media tanam pada saat sehari
sebelum bibit pindah tanam, dan dilanjutkan pada saat umur tanaman bawang
merah 7 hari setelah pindah tanam dengan interval 14 hari sekali. POC Nasa
diberikan melalui penyemprotan pada daun tanaman bawang merah, sehingga
diperoleh 5 kali pemberian pupuk. Pupuk diberikan dengan menggunakan
handsprayer. Pemupukan dihentikan hingga dua minggu sebelum panen.

c. Penyulaman

Penyulaman dilakukan pada tanaman yang mati atau tidak memenuhi syarat
pertumbuhan yang baik. Penyulaman dilakukan hingga tanaman dilapangan
berumur 7 hari setelah pindah tanam. Bibit yang digunakan untuk penyulaman
merupakan tanaman yang umur dan ukurannya bibitnya seragam dengan
menggunakan tanaman cadangan

d. Penyiangan dan pembumbunan

Penyiangan dilakukan secara manual terhadap tumbuhan penggangu (gulma)


yang tumbuh dalam polibeg dan sekitarnya. Penyiangan dilakukan sebanyak 2-3
kali dalam seminggu atau disesuaikan dengan pertumbuhan gulma. Penyiangan
gulma dilakukan agar tidak ada kompetisi dalam penyerapan unsur hara.
Pembumbunan dilakukan untuk menjaga agar tanaman tidak mudah rebah dan
untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Pembumbunan dilakukan pada waktu
yang bersamaan dengan penyiangan

e. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan dengan cara preventif,


yaitu dengan menjaga sanitasi lingkungan tanaman, baik dari gulma maupun dari
bahan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini
pengendalian organisme pengganggu tanaman tidak menggunakan zat-zat kimia,
melainkan menggunakan Ekstrak Tanaman Terfermentasi (ETT) dengan
menggunakan daun sirsak (125 g) + daun salam (125 g). Daun sirsak dan daun
salam dipotong-potong kemudian di blender dan dimasukkan ke dalam botol yang
memiliki ukuran 1,5 liter, setelah itu ditambahkan 1 liter air, 50 ml larutan gula,
dan 50 ml EM-4, aduk perlahan kemudian diamkan selama 10-14 hari pada tempat
yang tidak terkena cahaya matahari langsung. Selanjutnya dilakukan pengecekan
gas secara rutin, apabila gas tidak lagi terbentuk maka ETT dikeluarkan secara
perlahan. ETT sudah dapat digunakan apabila gas tidak lagi terbentuk. Penyiraman
ETT mulai dilakukan 3 hari setelah tanam dengan konsesntrasi 2,50 ml/liter air
dengan frekuensi penyiraman 3 hari sekali sampai seminggu menjelang panen.
Penyiraman ETT pada tanaman bawang merah diberikan sebanyak 20 ml per
tanaman.

3.4.11. Panen

Panen dilakukan pada umur 85 hari setelah tanam. Tanaman bawang merah siap
dipanen dengan ciri-ciri; tanaman daun mulai menguning, leher batang melunak,
sebagian besar umbi telah muncul ke permukaan tanah dan warna kulit umbi
merah mengkilap. Panen dilakukan dalam keadaan kering dan cuaca cerah.

3.5. Parameter Pengamatan

3.5.1. Tinggi Tanaman (cm)

Pengamatan pada tanaman bawang merah dilakukan ketika tanaman berumur 8


MST. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang sampai ke ujung daun
terpanjang.

3.5.2. Jumlah Daun per Rumpun (helai)

Pengamatan pada tanaman bawang merah dilakukan ketika tanaman berumur 8


MST. Jumlah daun yang diamati dengan menghitung jumlah daun tanaman
bawang merah yang muncul.

3.5.3. Jumlah Anakan

Pengamatan pada tanaman bawang merah dilakukan ketika tanaman berumur 8


MST. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah anakan yang
muncul.

3.5.4. Jumlah Umbi

per Polibeg (Umbi) Pengamatan dilakukan setelah panen dengan cara


menghitung jumlah umbi yang terbentuk.
3.5.5. Bobot Basah Umbi per Polibeg (g)

Pengamatan dilakukan setelah panen. Umbi yang telah dipanen dibersihkan dari
tanah yang menempel dan dipotong daunnya. Pengukuran bobot basah per tanaman
diukur dengan cara menimbang hasil umbi bawang merah di polibeg dan dibagi
dengan jumlah tanaman per polibeg. Pengukuran dilakukan menggunakan
timbangan analitik.

3.5.6.Bobot Basah Umbi per Polibeg (g)

Pengamatan dilakukan setelah panen dengan cara menimbang hasil semua umbi
setelah dipotong daunnya, yang sebelumnya telah dibersihkan dari tanah yang
menempel. Kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

3.5.7. Diameter Umbi (cm)

Pengamatan diameter umbi dilakukan pada saat setelah panen dengan


menggunakan jangka sorong

3.5.8.Tinggi Umbi (cm)

Pengamatan dilakukan setelah panen dengan mengukur tinggi umbi


menggunakan penggaris dari bagian paling bawah umbi hingga ujung umbi yang
tertinggi, apabila setelah dilakukan pemotongan daun.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Brebes terletak disepanjang pantai utara Laut Jawa, merupakan salah
satu daerah otonom di Provinsi Jawa Tengah, memanjang keselatan berbatasan
dengan wilayah Karesidenan Banyumas. Sebelah timur berbatasan dengan Kota
Tegal dan Kabupaten Tegal, serta sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa
Barat. Letaknya antara 6044’-7 021’ Lintang Selatan dan antara 108041’-109011’
Bujur Timur (BPS, 2016).

Kabupaten Brebes mempunyai luas wilayah sebesar 166.296 ha terdiri dari 17


Kecamatan dan 297 desa perkelurahan yang terdiri dari 62.703 ha lahan sawah dan
103.593 ha bukan lahan sawah. Kecamatan Wanasari merupakan kecamatan di
Kabupaten Brebes yang dilalui oleh jalur pantura.

Kecamatan Wanasari memiliki batas wilayah:

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Selatan : Kecamatan Larangan

Sebelah Barat : Kecamatan Bulakamba

Sebelah Timur : Kecamatan Jatibarang dan Kecamatan Brebes

Kabupaten Brebes merupakan kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki 17


kecamatan dengan luas lahan 166.296 ha yang terdiri dari 62.703 ha merupakan
lahan sawah dan 103.593 ha bukan lahan sawah. Luas penggunaan lahan menurut
kecamatan di Kabupaten Brebesdilihat
4.2. Lokasi, Penduduk, Dan Mata Pencaharian

Kecamatan Wanasari merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Brebes


yang memiliki 20 desa dengan luas lahan 7.444,42 ha yang terdiri dari 3.926,24 ha
merupakan lahan sawah dan 3.518,18 ha bukan lahan sawah. Luas penggunaan
lahan menurut desa di Kecamatan Wanasari Jumlah penduduk 15 tahun ke atas
menurut mata pencaharian di Kecamatan Wanasari empat tahun terakhir, yaitu
pada tahun 2012 berjumlah 72.777 penduduk yang terdiri dari 18.448 penduduk
dengan mata pencaharian sebagai petani atau peternak, 29.101 penduduk dengan
mata pencaharian sebagai buruh tani, 5.611 penduduk dengan mata pencaharian
sebagai nelayan, 806 penduduk dengan mata pencaharian sebagai pengusaha,
1.539 penduduk dengan mata pencaharian sebagai buruh industri, 4.389 penduduk
dengan mata pencaharian sebagai buruh bangunan, 6.184 penduduk dengan mata
pencaharian sebagai pedagang, 1.141 penduduk dengan mata pencaharian sebagai
supir atau kernet angkot, 956 penduduk dengan mata pencaharian sebagai PNS
atau TNI atau polisi, 294 penduduk sebagai pensiunan, dan 4.308 penduduk
dengan mata pencaharian lain-lain.

Tahun 2013 berjumlah 73.519 penduduk yang terdiri dari 18.636 penduduk
dengan mata pencaharian sebagai petani atau peternak, 29.370 penduduk dengan
mata pencaharian sebagai buruh tani, 5.674 penduduk dengan mata pencaharian
sebagai nelayan, 815 penduduk dengan mata pencaharian sebagai pengusaha,
1.556 penduduk dengan mata pencaharian sebagai buruh industri, 4.439 penduduk
dengan mata pencaharian sebagai buruh bangunan, 6.254 penduduk dengan mata
pencaharian sebagai pedagang, 1.154 penduduk dengan mata pencaharian sebagai
supir atau kernet angkot, 967 penduduk dengan mata pencaharian sebagai PNS
atau TNI atau polisi, 297 penduduk sebagai pensiunan, dan 4.357 penduduk
dengan mata pencaharian lain-lain.

4.3. Karakteristik

Responden Gambaran umum karakteristik responden petani bawang merah di


Kecamatan Wanasari 2017 yang diperoleh dari penelitian disajikan data mengenai
profil responden yang dikelompokkan berdasarkan usia, jumlah anggota keluarga,
tingkat pendidikan, dan pengalaman bertani.
Jumlah anggota keluarga yang berjumlah 4-6 orang sebanyak 68 orang atau
sebesar 74,8%, sebagian besar anggota keluarga petani yang masih menjadi
tanggungan kepala keluarga petani adalah istri, anak, serta orangtua. Tanggungan
keluarga petani yang terbanyak berjumlah 7 orang. Tanggungan tersebut terdiri
dari istri, orang tua, dan anak-anak yang sebagian masih bersekolah. Semakin
banyak jumlah anggota keluarga biasanya mempengaruhi jumlah konsumsi dalam
keluarga.

Artinya, menuntut jumlah pendapatan keluarga, pada akhirnya petani


berorientasi mengusahakan hasil sawahnya sebagai pemenuh kebutuhan keluarga.
Menurut Asih (2009) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan
sumber tenaga kerja dalam keluarga dalam berusahatani bawang merah,
ketersediaan tenaga kerja 100% berasal dari dalam keluarga dimana semakin
banyak tenaga kerja maka semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkan untuk
konsumsi sehingga semakin kecil dana yang dapat dialokasikan untuk biaya
usahatani. Jumlah petani responden sebagian besar berasal dari latar belakang
pendidikan yang rendah. Latar belakang pendidikan yang rendah tersebut dilihat
dari lamanya waktu menempuh sekolah yang sangat singkat, dan sebagian besar
responden bersekolah hanya sampai tamat SD yaitu sebanyak 48 responden atau
sebesar 52,8%, tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara berpikir dan
pengambilan keputusan seorang petani.

Menurut Aldila et al., (2015) menyatakan bahwa pendidikan akan


mempengaruhi cara berpikir petani dan tingkat penyerapan teknologi serta ilmu
pengetahuan. Jumlah petani responden yang memiliki lama bertani 11-20 tahun
sebanyak 30 responden atau sebesar 33,0%, yang artinya usahatani bawang merah
di Kabupaten Brebes salah satunya Kecamatan Wanasari merupakan usahatani
yang sejak dulu dikembangkan dan dibudidayakan oleh masyarakat tersebut.
Menurut Aldila et al., (2015) menyatakan bahwa usahatani bawang merah di
Kabupaten Brebes relatif lebih lama dikembangkan sehingga banyak petani yang
sudah lama membudidayakan bawang merah baik secara mandiri maupun dari
usaha turun temurun orangtua.

4.4. Status Usahatani


Status usahatani bawang merah di Kecamatan Wanasari 2017 yang diperoleh dari
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jumlah petani yang memiliki
status usahatani utama sebagai petani bawang merah berjumlah 90 responden atau
sebesar 100% yang artinya pekerjaan sebagai petani bawang merah merupakan
pekerjaan utama bukan sampingan. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan
Wanasasri memiliki penduduk yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani
bawang merah.

Menurut BPS (2013) menyatakan bahwa Kecamatan Larangan, Kecamatan


Bulakamba, dan Kecamatan Wanasari merupakan tiga kecamatan dengan urutan
teratas yang mempunyai jumlah usaha pertanian terbanyak kususnya usaha
pertanian bawang merah. Luas lahan merupakan faktor utama dalam usahatani
karena terkait dengan keberlangsungan usahatani. Lahan sebagai media tumbuh
tanaman merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam
pengelolaan usahatani. Luas lahan responden petani bawang merah di Kecamatan
Wanasari rata-rata adalah seluas 0,17 ha dengan penggunaan bibit rata-rata 194,78
kg/MT, rata-rata penggunaan pupuk organik 28,33 kg/MT, rata-rata penggunaan
pupuk NPK 50,89 kg/MT, dan penggunaan pestisida rata-rata 108,01 liter/MT.
Dengan luas lahan yang relatif sempit 0,17 ha maka petani responden harus
menyesuaikan tenaga kerja pula yang digunakan dalam mengolah lahan. Luas
lahan jika tidak diimbangi dengan teknik penanaman, perawatan dan pengolahan
yang baik dan benar maka tidak akan menghasilkan output yang maksimal. Hal ini
sesuai pendapat Andriyani (2014) yang menyatakan bahwa semakin luas lahan
yang ditanami bawang merah maka semakin tinggi pula produksi yang dihasilkan.
Sebaliknya semakin sempit lahan yang ditanami maka semakin rendah pula
produksi yang dihasilkan.

4.5. Tenaga Kerja

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat produksi usahatani adalah tenaga kerja.
Faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi penting lainnya dan perlu
diperhitungkan. Tenaga kerja bawang merah di Kecamatan Wanasari rata-rata
adalah 18,48 HKSP/MT (Hari Kerja Setara Pria). Petani responden rata-rata
menggunakan tenaga kerja yang cukup banyak, sehingga biaya yang dikeluarkan
untuk membayar tenaga kerja cukup tinggi.
MenurutNovitasari (2017) menyatakan bahwa faktor produksi tenaga kerja
merupakan faktor produksi penting lainnya dan perlu diperhitungkan dalam proses
produksi. Usahatani sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani.
Tenaga kerja yang berasal dari keluarga merupakan sumbangan keluarga pada
produksi secara keseluruhan yang tidak diperhitungkan. Sebaliknya tenaga kerja
luar keluarga diperoleh dengan cara upah. Semakin banyak tenaga kerja yang
digunakan maka upah yang harus dikeluarkan akan semakin banyak. Perhitunga
analisis petani perempuan dihitung dalam HKSP (Hari Kerja Setara Pria).

Perhitungan analisis alokasi tenaga kerja petani dalam HKSP (Hari Kerja Setara
Pria) yaitu dengan perhitungan jumlah tenaga kerja laki-laki dikali 1 dan
perhitungan jumlah tenaga kerja perempuan dikali 0,8 (Madina, 2015). Alokasi
penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pertanian bawang merah, rata-rata jumlah
alokasi waktu kerja 296,625 HOK/MT selama 60 hari dan setara dengan alokasi
waktu kerja 5 jam/hari. Petani responden rata-rata menggunakan tenaga kerja
perawatan yang cukup banyak, ini dikarenakan usahatani bawang merah
membutuhkan perawatan yang sangat intens pada perawatan seperti penyiraman
yang dilakukan setiap pagi dan sore hari, pembersihan gulma, pemberian pupuk,
dan pemberian pestisida. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagus et al., (2014) yang
menyatakan bahwa budidaya bawang merah meskipun tidak terlalu membutuhkan
air namun penyemprotan air pada tanaman tetap dilakukan pada pagi hari untuk
membersihkan dan mengantisipasi penularan penyakit utama bawang merah
seperti fusarium.

Periode kritis kekurangan air bagi tanaman bawang merah adalah pada saat
pembentukan umbi, yang dapat menurunkan hasil. Pemeliharaan tanaman yang
juga penting adalah penyiangan atau pengendalian gulma. Gulma dikendalikan
secara manual, terutama pertanaman menggunakan mulsa. Perhitungan analisis
waktu kerja digunakan rumus HOK = dengan keterangan, HOK adalah Hari Orang
Kerja, JO adalah Jumlah Orang, JK adalah Jam Kerja, HK adalah Hari Kerja dan
JKS adalah Jam Kerja Standar (Madina, 2015).

4.6. Budidaya Bawang Merah

Gambaran umum kegiatan budidaya bawang merah di Kecamatan Wanasari


2017 yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan meliputi penyiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pasca
panen bawang merah.

4.6.1. Penyiapan Lahan

Persiapan lahan dilakukan pada lahan kering dengan pencangkulan lahan


sedalam 20 cm, kemudian dibuat bedengan-bedengan dengan lebar 1,2 meter,
tinggi 25 cm, sedangkan panjangnya tergantung pada kondisi lahan. Di sela-sela
bedengan dibuat parit yang lebarnya 40-50 cm, kedalaman parit antara 50-60 cm.

Parit nantinya berfungsi sebagai pemasukan air atau pun pengeluaran air yang
berlebihan. Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering kemudian diolah lagi
2-3 kali sampai gembur sebelum dilakukan perbaikan bedengan-bedengan dengan
rapi. Waktu yang diperlukan mulai dari pembuatan parit, pencangkulan tanah
(ungkap 1, ungkap 2, cocrok) sampai tanah menjadi gembur dan siap untuk
ditanami bibit bawang merah sekitar 3-4 minggu.

4.6.2. Penanaman

Umbi bibit ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 15 cm, bibit yang akan ditanam
dirompes ujungnya. Perompesan ujung bibit berfungsi untuk memecahkan masa
dormansi bibit. Lubang tanaman dibuat sedalam rata-rata tinggi umbi. Umbi
bawang merah dimasukkan kedalam lubang tanaman sampai rata dengan
permukaan tanah. Penanaman bibit tidak dianjurkan terlalu dalam, karena umbi
mudah mengalami pembusukan. Umbi bibit yang digunakan di Kecamatan
Wanasari rata-rata menggunakan varietas bima brebes karena mudah didapatkan
dan memiliki daya adaptasi yang bagus untuk ditanam disemua wilayah.

4.6.3. Pemeliharaan

1. Penyiraman; Penyiraman tetap dilakukan pada saat musim kemarau yaitu


dengan penyiraman setiap hari dari mulai tanam sampai satu minggu sebelum
panen. Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore, dan biasanya dilakukan pada
pagi hari saja.

2. Penyiangan; Penyiangan dilakukan sejak awal tanam sampai tanaman bawang


merah berumur 2 minggu, gulma tumbuh dengan cepat sehingga mengganggu
pertumbuhan bawang merah, untuk itu perlu dilakukan tindakan penyiangan.
Penyiangan yang dilakukan yaitu penyiangan secara manual dengan mencabut
langsung gulma atau memakai alat seperti parit.

3. Pemupukan; Tanaman bawang merah membutuhkan pupuk organik sebagai


pupuk dasar yang diberikan sebelum tanam yaitu saat melakukan pengolahan,
biasanya pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang. Pupuk kandang
diberikan 1 minggu sebelum tanam dengan dosis sedikit antara 10-100 kg/ha sesuai
kebutuhan. Petani bawang merah memberikan dosis pupuk kandang yang sangat
sedikit karena dinilai tidak memberikan dampak secara langsung terhadap produksi
bawang merah. Pemupukan susulan dilakukan pada umur 10-15 hari dan 30-35
hari setelah tanam. Jenis dan dosis pupuk yang diberikan adalah NPK sebanyak
50,89 kg/ha. Pupuk diaduk rata dan diberikan disepanjang garitan tanaman.

4.6.4. pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara melakukan


penyemprotan pestisida menggunakan sprayer pada saat minggu kedua setelah
tanam sampai minggu ke enam sebelum pemanenan. Pestisida yang digunakan
oleh petani yaitu jenis insektisida. Jenis insektisida digunakan karena petani
menanam bawang merah pada musim kemarau atau biasa disebut masa tanam II
(MT II) pada bulan Mei-Juli, pada musim kemarau serangan hama relatif lebih
banyak, hama yang biasanya munculyaitu ulat grayak. Pengendalian utama
sebelum dilakukan penyemprotan dengan pestisida yaitu dengan cara
mengumpulkan telur dan ulat yang ada didaun kemudian dimusnahkan. Jika
kerusakan daun lebih besar atau sebesar 5% per rumpun atau terdapat 1 paket telur
per 10 tanaman baru dilakukan penyemprotan dengan insektisida.

4.6.5. Panen dan Pasca Panen

Pemanenan yang dilakukan ada dua macam yaitu pemanenan untuk bawang
konsumsi, waktu panen ditandai dengan 60-70% daun telah rebah, sedangkan
pemanenan yang digunakan untuk bibit dimasa tanam selanjutnya ditandai dengan
kerebahan daun lebih dari 90%. Pemanenan dilakukan pada waktu udara cerah dan
pada waktu panen, bawang merah diikat dalam ikatan kecil (1-1,5 kg/ikat)
kemudian dijemur selama 5-7 hari, setelah kering 3-4 ikatan bawang bawang
merah diikat menjadi satu, kemudian bawang merah dijemur dengan posisi
penjemuran bagian umbi di atas selama 3-4 hari. Pada penjemuran tahap kedua
dilakukan pembersihan umbi bawang dari tanah dan kotoran. Jika sudah cukup
kering (kadar air kurang lebih 85%), umbi bawang merah siap untuk dipasarkan
atau disimpan di gudang.Jumlah rata-rata produksi bawang merah di Kecamatan
Wanasari sebesar 9,261 ton perhektar.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah dilakukannya percobaan pematahan dormansi benih aren dengan lama


perendaman dalam ekstrak bawang merah dapat disimpulkan bahwa lama
perendaman yang berbeda dalam ekstrak bawang merah memberikan respon
berbeda terhadap pematahan dormansi benih aren. Perlakuan perendaman selama
72 jam menjadi perlakuan terbaik dalam pengamatan waktu pematahan dormansi
(uji T50) dengan rata-rata 15,67 hari; persentase daya berkecambah dengan ratarata
85,33%.

B. Saran

Perendaman dalam ekstrak bawang merah selama 72 jam sudah bisa digunakan
untuk mematahkan dormansi benih aren.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1990. Dasar-Dasar Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung. Penerbit


Angkasa.

Andriewongso. 2008. Corner-Aren. Jakarta. http://www..andriewongso.com.

Anonim. 2008. Tanaman Obat. http://chombro.blogspot.com. [15 Januari 2017).

Apandi, Y. 2008. Aren / Enau Tanaman Pemanis Alami. Jakarta. Intimedia


Ciptanusantara.

Badan Standar Nasional. 2006. Uji Cepat Viabilitas Benih Tanaman Kehutanan:
Tusam, Mangium, Sengon, Mahoni, Gmalina. Standar Nasional Indonesia.

Copeland, L.O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Burgess


Publishing Company. Minneapolis, Minnesota. 369 p.

Darmawan, J. dan J.S. Baharsjah. 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Penerbit


SITC.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumbar. 2016. Laporan Tahunan. 35 hal.

Dinas Perkebunan Sumatera Barat. 2015. Data dan Statistik Tanaman Perkebunan.
Padang.

Harahap, F. 2012. Fisiologi Tumbuhan. Medan. Unimed Press. 162 hal.

Harjadi, S. S. 1991. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 195 hal.

Anda mungkin juga menyukai