Anda di halaman 1dari 37

BAGAIMANA GURU MENDIDIK MURIDNYA?

Bismillahirrahmanirrahim
Konsep kepengasuhan santri (tadibu almuridin) menurut Syaikh Abdul Qadir Al Jilani

PENGANTAR
Naskah ringkas ini merupakan kutipan dari
kitab al-Ghun-yah li Thalibi Thariqi al-Haqq
Azza wa Jalla, II/284-286, karya Syekh Abdul
Qadir Al Jilani radhiyallahu anhu [selanjutnya,
disebut Syaikh]. Kitab ini, sebagaimana
tercantum dalam muqaddimah-nya, ditulis atas
permintaan salah seorang murid Syaikh, yang
didasari
keinginan
sang
murid
untuk ...mengetahui
adab-adab
syariyah
yang berupa faraidh (hal-hal yang wajib),
rukun-rukun, sunnah-sunnah, dan aneka hayat
(perilaku fisik, performa); juga mengenal Dzat
yang Maha Pembuat melalui berbagai ayat dan

pertanda;
kemudian
(keinginan)
untuk
mematuhi anjuran dan bimbingan Al-Quran
serta kata-kata Nabi yang sering kami
ungkap dalam majlis-majlis kami; serta
mengenal akhlaq orang-orang shalih yang
akan kami tunjukkan dalam kitab ini... Secara
singkat, Syaikh juga menyebutkan tujuan
penulisan kitab ini, yaitu ...agar menjadi
penolong baginya dalam menempuh jalan
Allah yang Maha Benar azza wajalla,
mematuhi perintah-perintah-Nya, berhenti dari
hal-hal yang dilarang-Nya...
Isi kitab ini secara keseluruhan sangat mirip
dengan Ihya
Ulumiddin atau Bidayatul
Hidayah karya Hujjatul Islam Abu Hamid alGhazali. Dan dari segi pemikiran, tampaknya
Syaikh memang mendapat pengaruh cukup
besar dari al-Ghazali, yang wafat pada tahun
505 H di saat Syaikh sendiri berusia 35 tahun.
Bahkan, ada banyak bagian di dalam kitab ini
dimana Syaikh mengutip pemikiran al-Ghazali
secara utuh huruf demi huruf. Riwayat-riwayat
juga menyebutkan bahwa jauh sebelum itu,
para guru Syaikh sendiri di Baghdad banyak
menganjurkan murid-murid mereka untuk
datang ke majlis-majlis ilmu yang diasuh sang
Hujjatul Islam. Sudah dimaklumi pula bahwa alGhazali adalah syaikh (rektor) dari Madrasah
Nizhamiyah Baghdad yang legendaris itu.

Secara genealogis, Syaikh adalah keturunan


Ahli
Bait
Rasulullah shallallahu
alaihi
wasallam. Nasab beliau dari jalur ayah (Abu
Shalih Musa) bersambung kepada al-Hasan bin
Ali
bin
Abi
Thalib radhiyallahu
anhu,
sementara
dari
jalur
ibu
(Fathimah)
bersambung kepada al-Husain radhiyallahu
anhu. Syaikh lahir tahun 470 H (1077 M) di
Jilan, sebuah kawasan berbukit-bukit dengan
desa-desa kecil yang tersebar di sana-sini,
terletak di balik Tabaristan di sebelah selatan
Danau Qazwin. Pada usia 18 tahun, setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Jilan,
Syaikh melanjutkan belajarnya ke Baghdad,
dan tidak pernah kembali lagi ke kampung
halamannya tersebut, karena menetap di
Baghdad sampai wafatnya pada tahun 561 H
(1166 M) dan dimakamkan disana.
Meskipun tampak adanya pengaruh al-Ghazali
yang kuat dalam diri Syaikh, namun ada halhal tertentu yang membuat metode Syaikh
lebih istimewa dibanding al-Ghazali. Diantara
benteng terkuat yang mengawal pemikiran
Syaikh adalah tsaqafah-nya dalam Madzhab
Hanbali yang dikenal ketat dalam berinteraksi
dengan hadits dan sangat menjauhi teologi
maupun filsafat, dimana dua hal ini masih
sering ditemukan dalam karya-karya alGhazali, selain dimasukkannya aneka hadits
dan berita yang lemah (dhaif) atau tidak

berdasar
sehingga
berbaur
dengan
yang shahih dan mutabar.
Semoga
Allah
mengampuni mereka dan kita semua.
Materi yang kami alihbahasakan ini termaktub
dalam Bagian Kelima dari kitab al-Ghun-yah,
yang membahas tentang at-tashawwuf. Oleh
karenanya, perlu diingat bahwa konteks
pendidikan yang dimaksud dalam naskah ini
adalah pendidikan Islam yang terintegrasi
secara ketat dengan adab-adab syariyah,
sebagaimana yang diterapkan oleh Syaikh
sendiri di Madrasahnya. Metode Syaikh
adalah at-tashawwuf as-sunniy, gabungan yang
ketat antara fiqh Ahli Hadits dengan jalan
hidup zuhud para
syaikh
sufi,
serta
meninggalkan kecenderungan menyimpang
yang mewabah saat itu dalam madzhabmadzhab fiqh, kalam (teologi) dan tasawuf.
Adapun tasawuf sendiri dalam kitab tersebut
dapat disimpulkan sebagai metode untuk
mempersiapkan fisik dan mental para murid
agar siap berkhidmat dan menerima ilmu,
melalui
beragam mujahadah (upaya
keras
melawan kecenderungan negatif dalam jiwa)
dan riyadhah (disiplin
latihan
untuk
menanamkan perilaku terpuji ke dalam jiwa).
Metode beliau tampak jelas sebagai pelatihan
dan penerapan adab-adabsyariyah (tadib)
dalam
keseharian
murid,
sebagaimana
disinggung
dalam
pembukaan
kitabnya

maupun
judul
dari
pasal
yang
kami
terjemahkan.
Dalam konteks Pesantren Hidayatullah, materi
semacam ini lebih tepat disebut sebagai
konsep kepengasuhan santri, dalam rangka
mempersiapkan mereka secara fisik maupun
mental
untuk
menerima
ilmu
dan
menyongsong buahnya, yakni hidayah. Tentu
saja ini masih bersifat parsial (juziyah), sebab
konsep ini sebenarnya harus dibaca secara
utuh sehingga adab seorang guru dalam
mengasuh muridnya yang dipaparkan disini
dapat ditempatkan secara proporsional dan
tepat pada tempatnya. Untuk itu, kami sengaja
menambahkan hasil analisis Dr. Majid Irsan Al
Kilani tentang metode pendidikan Syaikh yang
kami
terjemahkan
langsung
dari
buku
beliau, Hakadza Zhahara Jaylu Shalahiddin wa
hakadza Aadat al-Quds, hal. 186-195. Edisi
Indonesia dari buku ini diterjemahkan Asep
Shobari, Lc. dan Amaluddin, Lc., M.A.,
diterbitkan oleh Kalam Aulia Mediatama
(2007), di bawah judul Misteri Masa Kelam
Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi
50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk
Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina.
Apa yang kami kutip disini adalah satu dari dua
program utama pembaharuan umat yang
Syaikh lakukan, yaitu: (a) pengajaran yang
terencana
dan tarbiyah
ruhiyah yang

sistematis, (b) nasihat dan dakwah di tengahtengah masyarakat umum. Catatan kaki dari
buku
asli
tidak
kami
kutip
untuk
meringkaskannya.
Kata syaikh sendiri dalam kitab ini
sebenarnya lebih tepat jika diterjemahkan
sebagai guru besar, yakni pemimpin dan
tokoh
utama
dalam
sebuah
lembaga
pendidikan. Dalam konteks modern, mungkin
dapat disejajarkan dengan rektor universitas,
kyai utama di sebuah pesantren, direktur, atau
paling tidak kepala sekolah. Ini mengingat
bahwa madrasah di zaman itu biasanya diasuh
satu orang ulama kharismatis, dan dia sendiri
turun langsung mendidik murid-muridnya
dalam
berbagai halaqah ilmu
yang
diselenggarakan sejak pagi sampai malam.
Memang ada guru-guru lebih yunior (para
asisten) atau pejabat lain yang juga berperan
disana,
seperti mutawalli
alkutub (pustakawan), muadzin (semacam
takmir masjid), waizh (penasihat, semacam
guru BP atau motivator sekarang), dan
pengawas wakaf (yakni, bagian keuangan);
namun
kedudukan
serta
fungsi
seorang syaikh sangat vital dan nyaris tak
tergantikan.
Pada
naskah
terjemahan
ini,
untuk
memudahkan pemahaman, kami memberikan
penomoran dan sedikit perubahan pada gaya

bahasanya. Adapun materi inti kitab, kami


kutip sebagaimana adanya.
HAL YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG
GURU DALAM MENDIDIK MURIDNYA
(alladzi yajibu ala asy-syaikh fi tadibi almurid)
1.
Hendaknya
seorang
guru
(syaikh)
menerima
murid
semata-mata
karena
Allah azza wajalla, bukan karena dirinya
sendiri.
2.
Pergaulilah murid dengan nasihat yang
paling bijak.
3.
Perhatikan mereka dengan tatapan mata
penuh kasih-sayang.
4.
Bersikaplah lunak dan lemah-lembut ketika
mereka belum mampu menyelesaikan tugas
dan latihan (riyadhah) yang diberikan.
5.

Didik mereka seperti seorang ibu yang


mengasuh anaknya; seperti seorang ayah yang
penyayang,
bijak
dan
cerdik
ketika
menghadapi
anak-anak
dan
para
pembantunya.
6.
Berikan kepada mereka (beban dan tugas)
yang paling mudah, dan jangan memikulkan
kepada mereka sesuatu yang tidak mereka
mampui; setelah itu baru berikan kepada
mereka (beban dan tugas) yang lebih berat.

7.

Pertama-tama,
suruh
mereka
untuk
meninggalkan
kecenderungan
menuruti
kebiasaan dan tabiatnya dalam segala hal.
(Untuk itu), mulailah dengan kewajibankewajiban syari yang ringan-ringan (rukhashu
asy-syari), sehingga mereka bisa keluar dari
belenggu dan dominasi kebiasaan serta
tabiatnya itu, dan akhirnya bisa beralih
menjadi di bawah ikatan syariat dan
pengabdian di dalamnya.
8.
Kemudian, pindahkan mereka dari yang
bersifat ringan-ringan (rukhshah) itu kepada
yang bersifat lebih ketat (azimah) sedikit demi
sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang
bersifat rukhshah tadi, dan tempatkan sebagai
gantinya
sesuatu
bagian
lain
yang
bersifat azimah. Namun, jika sejak awal mula
seorang guru melihat dalam diri mereka
kesungguhan
dalam mujahadah serta azimah (shidqu
almujadahah wal azimah), dan dia sendiri
mendapati firasat tentang si murid itu berkat
cahaya
danmukasyafah dari
Allah,
serta
pengetahuan
dari-Nya
sebagaimana sunnatullah yang sudah lazim
terjadi di kalangan hamba-hamba-Nya yang
beriman dari kalangan para wali, kekasih serta
kepercayaan Allah dan ulama (orang-orang
yang mengenal-Nya) maka ketika itu seorang
guru tidak boleh memberikan dispensasi

barang sedikit pun kepada murid tadi untuk


mengerjakan sesuatu yang bersifat rukhshah.
Bahkan, seharusnya sang guru menugasinya
dengan latihan-latihan yang lebih berat (alasyadd min ar-riyadhaat) yang menurut
penilaiannya
masih
mampu
dijangkau
kekuatan kemauan (quwwatu al-iradah) dari si
murid. Sebab, sang guru sebenarnya telah
yakin bahwa si murid memang dilahirkan untuk
itu dan pantas menerima (perlakuan) yang
demikian,
dan
hal
itu
pun
sudah
merupakan syan (kondisi faktual) dalam diri si
murid. Maka, sudah selayaknya seorang guru
tidak
mengkhianati
muridnya
dengan
memberinya beban-beban yang enteng (yakni,
di bawah kemampuan si murid yang
sebenarnya).
9.

Tidak selayaknya seorang guru meminta


bantuan dari muridnya, dalam kondisi apapun,
baik dengan memanfaatkan harta maupun
pelayanan (khidmat) mereka.

10. Tidak selayaknya pula seorang guru


berangan-angan
kepada
Allah azza
wajalla (agar diberi) kompensasi tertentu (oleh
murid) atas pendidikan yang diberikannya,
dalam bentuk apapun.
11. Akan tetapi, didiklah mereka sebagai wujud
keterpanggilan
diri
karena
Allah azza
wajalla semata, bentuk pelaksanaan dari
perintah-Nya, serta penerimaan terhadap

hadiah dan bingkisan dari-Nya. Sebab, setiap


murid yang datang kepada seorang guru
dengan tanpa dia seleksi dan rayu untuk
bergabung, akan tetapi murid itu datang
semata-mata
karena
takdir,
bimbingan
(irsyad), petunjuk (hidayah) dan izin Allah,
maka sesungguhnya murid itu adalah hadiah
dari Allah untuk sang guru. Maka, hendaknya
dia
menerima
hadiah
Allah
itu
dan
berbuat ihsan kepadanya, dengan cara mentadib serta
men-tarbiyah mereka
sebaikbaiknya.
12. Maka, hendaknya seorang guru tidak
meminta pertolongan dari diri pribadi muridnya
maupun hartanya, kecuali jika ada perintah
dari Allah untuk itu.
13. (Namun),
tidak
apa-apa
untuk
mempergunakan serta menerima harta yang
diberikan oleh si murid kepada gurunya,
dimana harta itu telah dijadikan oleh Allah
sebagai suatu karunia kebaikan bagi si murid
dan sarana keselamatan baginya, lalu dia
membaginya untuk sang guru. Dalam keadaan
ini, tidak pada tempatnya untuk berpaling
serta menolak.
14. Hendaklah seorang guru sangat amat
berhati-hati dari tindakan memilih (atau,
menyeleksi) murid yang berkenan menurut
seleranya sendiri. Akan tetapi, dalam masalah
ini, seharusnya dia menunggu tindakan dan

takdir Allah. Maka, siapa pun murid yang


datang kepadanya dengan tanpa ada paksaan
maupun seleksi darinya, dia akan menerima
dan men-tarbiyah-nya. Pada saat itulah dia
akan diberitaufiq oleh Allah dalam mentarbiyah-nya,
dan
keberhasilan
serta
kesuksesan si murid akan lebih cepat.
15. Maka, hendaklah seorang guru sangat
berhati-hati agar jangan sampai tindakan pilihpilih
tadi
terjadi,
yang
mengakibatkan
hilangnya taufiq dari Allah dan hak murid pun
tidak lagi bisa dipelihara.
16. Hendaknya
seorang
guru
mentarbiyah muridnya dengan penuh semangat
(himmah).
17. Hendaknya ia mengingatkan si murid secara
sembunyi-sembunyi (yakni, tidak di depan
orang banyak), jika didapatinya kelalaian
(khalal) atau kemerosotan (fatrah) dalam diri si
murid.
18. Hendaklah ia senantiasa memelihara rahasia
murid-muridnya.
Jangan
memberitahukan
kepada orang lain informasi-informasi yang ia
peroleh yang dapat dipergunakannya untuk
mengawasi serta memperhatikan keadaan
(ahwal) muridnya; baik pengetahuan tadi ia
dapatkan melalui ilmu ladunniyang berasal dari
karunia
Allah azza
wajalla,
atau
pemberitahuan
dari
si
murid
yang

bersangkutan, dan si murid sendiri meminta


agar hal itu dirahasiakan. Maka, tidak
selayaknya sang guru membuka rahasia murid
tadi
kepada
orang
lain,
sebab
itu
adalah amanah di sisinya. Ada dikatakan,
Dada orang merdeka adalah kuburan bagi
segala
rahasia.
Maka,
seorang
guru
hendaknya bisa menjadi tempat yang nyaman,
pemelihara dan penyimpan bagi rahasia muridmuridnya.
19. Hendaknya seorang guru bisa
tempat
bernaung
dan
gua
berlindung) bagi murid-muridnya.

menjadi
(tempat

20. Hendaknya
seorang
guru
merupakan
pemacu semangat, pemberi kekuatan, serta
penolong bagi murid-muridnya.
21. Guru juga hendaknya menjadi peneguh
mereka dalam menempuh jalan (menuju
Allah azza wajalla). Jangan sampai seorang
guru justru menjadi penyebab larinya si murid
dari jalan Allah, dari upaya mengakrabkan diri
dengan-Nya, dan dari keinginan untuk menujuNya.
22. Bila guru melihat sesuatu yang dimakruhkan
yakni, tidak disukai secara syari dalam diri
muridnya, maka nasihatilah dia secara
sembunyi-sembunyi, dan berikan pengarahan
(tadib) untuknya. Larang dia dari mengulangi
perbuatannya itu.

23. Jika hal yang tidak disukai secara syari tadi


merupakan
bagian
dari
masalah ushul, atau furu,
atau
mengklaim haal (keadaan,
tingkatan)
yang
sebenarnya tidak ada dalam diri si murid, atau
dia merasaujub (kagum, sok) dengan amal
dan penampilan dirinya, maka hendaklah sang
guru memelihara si murid dari (keadaan dan
tempat)
yang
mendorongnya
bersikap ujub tadi. Buka matanya agar sadar
betapa
kecil haal serta
amalnya
yang
sebenarnya, supaya dia tidak hancur dan
celaka.
Sebab, ujub akan
menjatuhkan
martabat seseorang di mata Allah azza
wajalla.
24. Bila seorang guru ingin menyampaikan
nasihat
secara
umum
kepada
seluruh
jamaahnya, maka kumpulkan mereka semua
dan katakanlah kepada mereka, Saya
mendengar berita, bahwa diantara kalian ada
yang mengklaim begini, berbicara seperti
ini,
melakukan
pelanggaran
itu,
dan
seterusnya, lalu uraikan kebaikan (mashalih)
maupun kerusakan (mafasid) apa saja yang
berhubungan
dengannya.
Ingatkan
dan
peringatkan mereka agar berhati-hati. Jangan
sampai seorang guru menunjuk secara
langsung kepada (nama atau ciri) pelakunya
diantara para jamaah, sebab hal itu akan

mendorong pelakunya berlari menjauhi (jalan


Allah).
25. Jika seorang guru menampilkan akhlaq dan
ucapan yang kasar kepada si murid pelaku
(pelanggaran
atau
kekeliruan),
juga
membongkar
rahasianya,
mempergunjingkannya (ghibah), mencela serta
mengumbar kejelekan-kejelekannya, maka hati
si murid justru akan menjauh dari (jalan) Allah
dan dari usaha mengakrabkan diri dengan-Nya.
Semua itu bahkan menjadi tuduhan dan cap
negatif baginya diantara sesama ahli aththariqah (yakni para guru, murid dan semua
orang lainnya dalam madrasah).
26. Dalam masalah ketika telah tumbuh rasa
cinta di hati manusia kepada para wali
Allah azza wajalla, maka hendaklah sang guru
sangat amat berhati-hati disini. Jika kecintaan
manusia
kepadanya
semakin
menguat
sementara ia sendiri tidak sanggup untuk
memperbaikinya, maka hendaklah seorang
guru melepaskan diri dari kedudukan dan
(derajat) wilayah tersebut, meninggalkan para
murid, mulai menyibukkan diri untuk bermujahadah memerangi dirinya sendiri dan
melatihnya (dengan anekariyadhah). Carilah
guru lain (yang lebih tinggi tingkatannya) yang
bisa
mengasuh,
meluruskan
dan
menggembleng dirinya. Seseorang tidak layak
untuk tampil sebagai syaikh jika bersamanya

masih terdapat aneka macam potensi bahaya


besar seperti ini.
27. Hendaklah seorang guru tidak memutus
jalan para muridnya untuk menuju Allah azza
wajalla (yakni, karena dalam dirinya masih
terdapat banyak ketidakberesan sehingga ia
justru menjadi penghalang mereka untuk
mendekat kepada Allah, bukannya membantu
dan menunjukkan kepada mereka jalan yang
benar menuju-Nya).
[*]
METODE (MANHAJ), MANAJEMEN
(TANZHIM), CARA (USLUB) DAN
PERANGKAT (WASILAH) TARBIYAH
MENURUT SYAIKH ABDUL QADIR AL-JILANI
Syekh Abu Said Al Makhramy telah mendirikan
sebuah madrasah kecil di Bab al-Azaj (salah
satu pemukiman di Baghdad). Setelah wafat,
madrasah itu diserahkan kepada muridnya,
yakni Abdul Qadir selanjutnya cukup disebut
Syaikh. Maka, Syaikh bermaksud memperluas
dan
memugar
bangunannya,
serta
menambahkan sejumlah rumah dan fasilitas
lain
di
sekitarnya.
Orang-orang
kaya
menyumbangkan harta mereka dalam proses
pembangunan ini, sementara kaum fakir
berpartisipasi
dengan
menyumbangkan

tenaganya secara langsung. Para sejarawan


mencatat bagaimana bentuk pengorbanan dan
partisipasi yang menunjukkan sejauh mana
keterikatan para pengikut dengan Syaikh.
Diantaranya adalah kisah seorang wanita
miskin yang bertekad untuk turut berpartisipasi
dalam pembangunan Madrasah Syaikh, namun
dia
tidak
punya
apa-apa
yang
bisa
disumbangkan. Suami dari wanita ini adalah
seorang pekerja bangunan (tukang). Wanita ini
pun mendatangi Syaikh dengan ditemani
suaminya, katanya, Ini adalah suami saya. Ia
masih mempunyai tanggungan mahar untuk
saya senilai 20 dinar emas. Saya telah
membebaskan separuh mahar itu dengan
syarat ia mau bekerja (dalam) pembangunan
madrasah Anda dengan (pekerjaan) senilai
separuhnya lagi. Wanita itu kemudian
menyerahkan sepucuk surat kesepakatan yang
telah ia tandatangani bersama suaminya.
Syaikh pun mempekerjakan laki-laki itu sehari
dengan tidak diupah, dan sehari berikutnya
dengan diupah karena mungkin saja ia sangat
fakir dan tidak punya apa-apa (untuk
menghidupi keluarganya). Ketika ia telah
bekerja dengan upah senilai 5 dinar, Syaikh
pun mengambil dan mengembalikan surat
kesepakatan yang diserahkan istrinya dulu itu.
Beliau berkata, Engkau telah bebas dari
tanggungan selebihnya.

Madrasah ini selesai direnovasi pada tahun 528


H (1133 M), dan secara resmi dikenal dengan
nama Madrasah Syaikh Abdul Qadir. Beliau
menjadikan Madrasah ini sebagai pusat
berbagai
kegiatan
seperti
pengajaran,
berfatwa, dan menyampaikan nasihat.
Untuk mendanai operasional Madrasah, para
pengikut dan orang-orang kaya menyerahkan
wakaf-wakaf permanen yang dibelanjakan
untuk menggaji para guru dan murid. Sebagian
orang juga mewakafkan buku-buku untuk
koleksi perpustakannya. Madrasah ini juga
mempunyai banyak karyawan (khadam) yang
bertugas merawat madrasah dan membantu
para guru serta murid, diantara mereka
terdapat Ahmad bin al-Mubarak al-Marqaati
dan Muhammad bin al-Fath al-Harawi.
Di
samping
Madrasah
ini
terdapat
sebuah ribath (pemondokan, asrama) yang
ditinggali para murid yang berasal dari luar
Baghdad. Pada suatu masa, yang bertugas
mengawasi bagian ini adalah salah seorang
murid Syaikh yang telah lulus dalam bidang
fiqh dan tasawuf sekaligus, yakni Mahmud bin
Utsman bin Makarim an-Naal.
Catatan-catatan
yang
berkaitan
dengan
Madrasah ini menginformasikan bahwa ia
memainkan peran utama dalam menyiapkan
generasi yang siap menghadapi bahaya kaum
Salibis di kawasan Syam. Madrasah ini

menerima anak-anak para pengungsi yang


melarikan diri dari penindasan kaum Salibis,
menyiapkan dan kemudian mengirim mereka
kembali di bawah kepemimpinan keluarga
Zanki ke wilayah-wilayah yang berbatasan
langsung dengan kekuasaan kaum Salibis.
Kelak, sebagian murid-murid itu ada yang
terkenal, seperti Ibnu Naja al-Waizh yang
belakangan
menjadi mustasyar (penasihat)
Shalahuddin al-Ayyubi dalam bidang politik
maupun militer; kemudian al-Hafizh ar-Rahawi,
juga Musa putra Syaikh sendiri yang akhirnya
berhijrah ke Syam untuk turut serta dalam
gerakan
pemikiran
disana.
Ada
juga
Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi
penulis kitab al-Mughni dan salah seorang
penasihat
Shalahuddin;
beserta
kerabat
dekatnya al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi.
Mereka berdua dikirim untuk belajar di
Madrasah Syaikh setelah keluarga mereka
menyingkir dari Jamail (termasuk wilayah
Nablus) ke Damaskus. Ibnu Qudamah sendiri
menceritakan bagaimana metode Syaikh
dalam pendidikan dan seperti apa pengaruh
beliau terhadap murid-muridnya, Kami masuk
ke Baghdad tahun 361 H, dan disana kami
dapati Syaikh Abdul Qadir adalah sosok yang
kepadanya berpuncak seluruh otoritas dalam
ilmu, amal, haal, dan fatwa. Cukup sudah bagi
seorang pelajar untuk belajar kepada beliau

dan tidak perlu mencari guru lainnya


dikarenakan sedemikian banyaknya ilmu yang
beliau kuasai, juga karena kesabaran serta
kelapangan dada beliau dalam menghadapi
murid-muridnya.
Tidak
bosan
mata
memandangnya. Allah menyatukan dalam diri
beliau berbagai macam sifat yang baik dan
keadaan yang mulia. Saya tidak mendapati lagi
orang seperti itu setelahnya.
Kami akan memaparkan peran para alumni
Madrasah ini juga orang-orang yang
sepemikiran dengan mereka dalam paparan
mengenai hubungan antara gerakan alQadiriyah dengan gerakan jihad yang dipimpin
oleh (Sultan) Nuruddin (Zanki) dan Shalahuddin
(al-Ayyubi).
Syaikh sendiri menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk mengelola Madrasah. Beliau
tidak pernah keluar darinya kecuali di hari
Jumat ke Masjid Jami atau ke ribath. Metode
beliau dalam pendidikan dan pengajaran
berpijak kepada prinsip memperhatikan
kesiapan setiap individu murid dan bersabar
dalam
membimbingnya.
Beliau
membanggakan profesinya sebagai pendidik
ini dan menganggapnya sebagai sifat paling
mulia dan kedudukan paling hebat, dan
bahwa seorang guru adalah makhluk tercinta
diantara segenap penghuni bumi, dan bahwa ia
akan disendirikan pada hari kiamat kelak dari

sesama manusia, dan akan dianugerahi derajat


tertinggi dibanding lainnya. Syaikh sendiri
menghabiskan 33 tahun dari usianya dalam
aktifitas mengajar ini, yang dimulai tahun 528
H (1133 M) sampai wafatnya pada tahun 561 H
(1166 M).
Madrasah ini masih tegak berdiri sampai
sekarang, dengan sebuah perpustakaan yang
menyimpan manuskrip-manuskrip termasyhur
di dalamnya, dan dikenal sebagai Maktabah
Qadiriyah.
Analisis mendalam terhadap sistem pendidikan
(nizham tarbawi) yang dipraktikkan Syaikh
menunjukkan adanya pengaruh besar dari
metode (manhaj) yang dirumuskan oleh alGhazali. Syaikh sendiri telah membangun
sebuah metode komprehensif yang ditujukan
untuk: (1) menyiapkan para pelajar dan
santrinya
baik
secara ilmiah (intelektual), ruhiyah (spiritual),
maupun ijtimaiyah (sosial
kemasyarakatan);
serta (2) membekali mereka agar sanggup
memikul risalah amar maruf nahi munkar.
Syaikh juga, (3) menyiapkan secara memadai
untuk metode ini suatu rangkaian waktu yang
dipakai untuk melatih penerapan praktisnya
(tathbiq amali) di dalam ribath yang dikenal
dengan nama beliau, dimana di dalamnya
diselenggarakan
praktik-praktik tarbiyah,
pengajaran,
dan
tradisi
sufi,
termasuk

pelurusan (terhadap penyimpangan) yang


terjadi di kalangan murid dan santrinya.
Berikut ini adalah paparan metode diatas
secara lebih rinci.
PERSIAPAN RELIGIUS DAN INTELEKTUAL
(al-idad ad-diini wa ats-tsaqafi)
Penyiapan ini sangat tergantung kepada usia
dan keadaan murid atau santri yang
bersangkutan.

Jika ia hanya menginginkan pembetulan


aspek ibadah (tashhih al-ibadah), maka
kepada kelompok orang dewasa dan kaum
awam
akan
diajarkan:
(1)
akidah
selaras sunnah,
(2)
fiqh
ibadah,
yang
dikandung dalam kitab al-Ghun-yah li Thalibi
Thariqi al-Haqq yang beliau susun mengikuti
alur pemikiran kitab Ihya Ulumiddin milik alGhazali, dan bahkan kedua karya ini mirip satu
sama lain dalam hal topik-topik kajiannya.

Selain itu, ditambahkan pula: (3) studi-studi


khusus yang ditujukan untuk mempersiapkan
tokoh-tokoh terkenal dari kalangan awam ini
agar bisa tampil sebagai seorang juru dakwah
di tengah-tengah masyarakat. Tema-tema itu
misalnya tentang urgensi amar maruf nahi
munkar, juga sarana (wasilah) dan cara
melakukannya
(uslub);
studi
tentang
pemikiran-pemikiran
kontemporer
dan

kelompok-kelompok
masyarakat).

yang

dominan

(di

Selain itu disertakan pula latihan-latihan:


(4) memberikan nasihat (mauizhah), (5)
ceramah (khithabah), (6) dan mengajar
(tadris).

Adapun jika peserta didiknya adalah pelajar


Madrasah
sendiri,
maka
mereka
akan
memperolehgemblengan yang lebih luas lagi,
yang mencakup tidak kurang dari 13 macam
ilmu, yaitu: (7) tafsir, (8) hadits, (9) fiqh
madzhab
Hanbali,
(10) khilaf (perbedaan
pendapat dalam furu fiqh), (11) ushul fiqh,
(12)nahwu, dan (13) qiraat (ragam yang diakui
dalam periwayatan bacaan al-Quran); selain
enam macam ilmu yang sudah disebutkan
sebelumnya.

Dalam hal ini, Syaikh sangat menjauhi ilmu


kalam (teologi) dan filsafat. Beliau juga
melarang murid-muridnya membaca karyakarya penting di kedua bidang ini.

Menyatukan antara fiqh dengan tasawuf


yang selaras sunnah adalah syarat paling
mendasar bagi para murid. Ibnu Taimiyah
meriwayatkan dalam jilid khusus membahas
tasawuf dan ilmu suluk dalam kitab al-Fatawa
tentang
bagaimana
caranya
mengaitkan
metode Syaikh Abdul Qadir dengan pokokpokok ajaran yang terdapat dalam Al Quran

dan sunnah, serta bagaimana Syaikh secara


konsisten menjalankan tazkiyatu an-nafs di
sepanjang metode pendidikannya.
PERSIAPAN SPIRITUAL
(al-idad ar-ruhiy)
Persiapan spiritual ini ditujukan: (1) untuk mentarbiyah kemauan (iradah) pelajar atau murid
agar bersih tanpa noda; (2) agar mereka selalu
bersama
Nabi shallallahu
alaihi
wasallam dalam
pikiran
(aql),
perasaan
(masyair) dan spirit kehidupannya (mana); (3)
agar Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadi
penunjuk jalan (dalil) dan teladan (qudwah)
bagi mereka.
Agar murid bisa mencapai tujuan tersebut,
maka:

Ia
harus
berkomitmen
menjalankan sunnah dalam segala hal.

Menerapkan sifat-sifat pribadi yang berpijak


kepada: (1) mujahadah, (2) menghiasi diri
dengan amal-amal ulul azmi, yaitu:

a)
Tidak bersumpah dengan nama Allah,
baik sungguhan atau bohongan, sengaja
maupun tidak. Sebab, jika ia telah memastikan
sesuatu hal atas dirinya sendiri maka itu bisa
mendorongnya untuk meninggalkannya secara
keseluruhan. Dengan berkomitmen pada sifat
ini maka Allah akan membukakan pintu

cahaya-Nya yang bekasnya dapat dirasakan di


hati. Hal itu pun akan mendatangkan
ketinggian derajat, keteguhan dan kemuliaan
di antara sesama manusia.
b) Menjauhi
berbohong,
baik
main-main
atau sungguhan. Bila ia telah membiasakan hal
ini maka Allah akan melapangkan dadanya,
ilmunya menjadi jernih, seluruh keadaan
dirinya akan penuh kejujuran (shidq), dan
pengaruhnya akan tampak jelas dalam
kepribadiannya.
c)

Menepati janji yang telah diucapkan, dan


pada
dasarnya
ia
harus
berusaha
meninggalkan berjanji, sebab hal itu akan
membuka
peluang
terjerumus
dalam
pengingkaran dan kebohongan. Bila ia mampu
melakukan hal ini, maka akan dibukakan
baginya pintu kedermawanan, (pintu menuju)
derajat rasa malu, dan akan dikarunia rasa
cinta dari orang-orang yang jujur (ashshadiqin).

d) Menjauhi melaknat apapun sesama makhluk


Allah, dan menghindari menyakiti sebutir biji
sawi atau bahkan yang lebih kecil darinya. Ini
adalah akhlaq orang-orang yang hidupnya
penuh
kebajikan
(al-abrar)
dan ashshiddiqin. Buah dari sikap ini adalah terpelihara
dari jebakan-jebakan penghancur dan selamat
darinya, menimbulkan rasa kasih sayang dari
sesama hamba Allah, disamping menarik

karunia-Nya berupa kedudukan yang tinggi dan


dekat dengan-Nya.
e) Menjauhi mendoakan keburukan kepada
siapapun, walau ia menzhaliminya. Jangan
memutuskannya dari rahmat Allah dengan
lisan (yakni, doa); jangan pula membalas
dengan ucapan maupun tindakan. Jika ia bisa
melakukan dan memastikannya sebagai salah
satu adab peribadinya, maka ia akan mulia di
mata Allah dan akan memperoleh kecintaan
dari seluruh manusia.
f)

Tidak bersaksi (yakni, memastikan) atas


seorang pun dari ahli qiblat (yakni, sesama
muslim) sebagai musyrik, kafir, atau munafiq.
Hal ini lebih dekat kepada sifat kasih sayang
dan akhlaq yang selaras sunnah, lebih jauh
dari sikap sok punya ilmu, dan lebih dekat
kepada keridhaan Allah. Ini adalah pintu yang
sangat mulia yang akan mendorong kecintaan
seluruh umat manusia kepada seseorang.
g)
Menjauhi
dari
melihat
kemaksiatankemaksiatan dan menahan anggota tubuhnya
dari maksiat. Ini merupakan bagian dari hal-hal
yang akan mempercepat naiknya jiwa menuju
kedudukan spiritual (maqam) yang lebih tinggi
dan membantu mempermudah penggunaan
anggota badan dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah.

h) Menghindari bersandar kepada sesama


makhluk
dalam
memenuhi
keperluankeperluan pribadi, baik besar maupun kecil. Ini
merupakan kehormatan yang paling paripurna
bagi seorang ahli ibadah dan kemulian bagi
orang yang bertaqwa. Dengan ini ia akan kuat
dalam mengemban amar maruf nahi munkar.
Hendaklah ia meminta kecukupan dari Allah
dan percaya penuh kepada pemberian-Nya.
Hendaklah ia merasa bahwa semua makhluk
punya hak yang sama di hadapannya. Semua
ini akan lebih dekat kepada pintu keikhlasan.
i)
Hendaklah memutus pengharapannya dari
sesama manusia. Ini adalah kekayaan murni
(al-ghina al-khalish), kehormatan terbesar
(al-izz al-akbar), tawakkal yang sebenarnya
(at-tawakkul ash-shahih). Ini merupakan satu
diantara pintu-pintu zuhud, dan dengannya
pula sikap wara bisa diraih.
j)

Bersikap
rendah
hati
(tawadhu).
Dengannyalah kedudukan seorang hamba akan
menjadi terhormat. Tawadhu adalah sesuatu
yang menjadi landasan utama seluruh akhlaq.
Dengan ini seorang hamba akan mencapai
kedudukan orang-orang shalih (manazil ashshalihin) yang selalu ridha kepada Allah dalam
kondisi
senang
maupun
susah.
Inilah
kesempurnaan taqwa. Tawadhu menurut
Syaikh adalah sama dengan apa yang
didefinisikan oleh al-Ghazali, yaitu jika

seseorang tidak menjumpai orang lain kecuali


ia merasa bahwa orang lain itu punya
kelebihan diatas dirinya; jika orang lain itu
masih kecil maka ia berkata kepada dirinya
sendiri: orang ini belum bermaksiat kepada
Allah, sementara aku telah bermaksiat kepadaNya, maka tidak diragukan lagi bahwa dia lebih
baik dibanding diriku; jika orang lain itu sudah
tua, dia berkata kepada dirinya sendiri: orang
ini telah beribadah kepada Allah jauh sebelum
aku;
jika
orang
lain
itu
adalah
seorang alim, maka dia berkata kepada dirinya
sendiri: orang ini telah dikaruniai sesuatu yang
aku sendiri belum bisa mencapainya, dan ia
telah memperoleh apa yang aku belum
memilikinya, ia mengetahui apa yang aku tidak
tahu, dan dia juga mengamalkan ilmunya; jika
orang lain itu adalah orang yang jahil maka ia
berkata kepada dirinya sendiri: orang ini
mendurhakai Allah sementara dia tidak tahu
(jahil), tapi aku mendurhakai-Nya sedangkan
aku berilmu; aku pun tidak tahu bagaimana
kelak akhir kehidupanku dan kehidupannya;
jika orang lain itu seorang kafir maka dia
berkata kepada dirinya sendiri: aku tidak tahu,
bisa
saja
dia
masuk
Islam
sehingga
kehidupannya diakhiri dengan amal terbaik,
dan bisa saja aku menjadi kafir sehingga
kehidupanku diakhiri dengan amal terburuk.

Ini adalah pintu khawatir (syafaqah) dan takut


(wajal) (jika tertimpa keburukan).
Diantara wasilah (sarana) Syaikh dalam mentarbiyah muridnya
adalah
berupaya
mengentaskan mereka dari memperturutkan
nafsu syahwat. Beliau meminta muridmuridnya untuk menahan diri dari: (1)
menikah, dan (2) mengumpulkan harta,
melebihi yang dapat dipergunakan untuk
memenuhi
kebutuhan
dan
mencegah
terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang.
Dalam hal ini terdapat tradisi-tradisi spiritual
yang
melampaui
batasan
individual

sebagaimana telah kami paparkan di muka


sehingga berubah menjadi tradisi jamai;
dimana para pengikut juga ikut serta di
dalamnya dengan bimbingan Syaikh secara
langsung. Diantaranya adalah: (1) majlis dzikir,
dan (2) menunaikan ibadah bersama-sama.
Syaikh juga menyertakan kepada tradisi-tradisi
amaliyah
ini
pelajaran-pelajaran
teoritis
(dirasah nazhariyah) seputar maksud dan
tujuan dari beraneka ragam mujahadah serta
ibadah yang dilakukan murid dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Dengan inilah beliau
menyelenggarakan suatu penyucian jiwa
(tazkiyah ruhiyah) yang berpijak diatas kaidah
pemikiran (qaidah fikiriyah) yang ditujukan
untuk memastikan murid merasa puas dan bisa
menerima semua aktifitas yang dilakukannya.

Maka, disana ada: (1) pelajaran seputar wirid


dan
dzikir;
(2)
pelajaran
tentang taqwa dan wara; (3) pelajaran tentang
keadaan-keadaan jiwa (ahwal an-nafs) dan
pintu-pintu
masuk
syetan
(untuk
menggodanya); (4) pelajaran tentang akhlaqakhlaq yang wajib dipraktikkan oleh seorang
murid.
Kitab al-Ghun-yah dan Futuhul
Ghaib yang
beliau tulis dipenuhi dengan pasal-pasal
panjang lebar yang menunjukkan dari mana
saja Syaikh mengambil rujukannya atas setiap
pelajaran yang beliau berikan. Puncak seluruh
rangkaian tazkiyah tersebut
adalah
terraihnya maqam
fana. Maqam
fana itu
sendiri adalahmaqam faqr. Syaikh pun telah
menjelaskan
sendiri
apa
yang
beliau
maksudkan dengan maqam faqrtersebut, Alfaqr adalah
memelihara
kehormatankehormatan guru dan bergaul dengan sebaikbaiknya kepada sesama saudara; memberi
nasihat kepada yang lebih muda maupun lebih
tua; serta meninggalkan permusuhan kecuali
dalam
masalah-masalah
agama
...
hakikat faqr adalah jika engkau tidak merasa
butuh
kepada
sesamamu,
dan
hakikat
kekayaan (al-ghina) adalah jika engkau merasa
cukup dari (bantuan) orang lain sesamamu.
Maksudnya, faqr adalah jika Anda tidak merasa
butuh kepada sesama manusia dan merasa

cukup (dari bantuan) mereka, lebih tepatnya


lagi merasa butuh (faqr) hanya kepada Allah
dan merasa cukup dengan Allah saja.
Maqam faqr ini kemudian menjadi ciri khas
dimana
para
ahli zuhud berlomba-lomba
melekatkannya kepada nama mereka sendiri.
Salah seorang dari mereka kemudian ada yang
menyebut dirinya al-faqir ilallah.
PERSIAPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
(al-idad al-ijtimai)
Penyiapan
ini
ditujukan
untuk:
(1)
memperkokoh hubungan diantara seorang
individu dengan masyarakatnya; (2) memutus
sebab-sebab timbulnya disintegrasi sosial yang
mendominasi masyarakat dimana seseorang
hidup.
Kawasan yang menjadikan persiapan ini dapat
terlaksana secara sempurna adalah kompleks
Madrasah al-Qadiriyah sendiri, dimana disana
para murid melatih dirinya dengan berbagai
hal yang harus diterapkan oleh seseorang
kelak di luar sana dalam ruang lingkup
komunitas yang lebih luas. Penyiapan ini
mencakup
pengaturan
(tanzhim):
(1)
kehidupan pribadi si murid secara spesifik; (2)
hubungan antara murid dengan komando
kepemimpinan
(qiyadah)
yang
direpresentasikan oleh Syaikh sendiri; (3)
hubungan diantara sesama murid; dan (4)

hubungan
mereka
dengan
lingkungan
masyarakat sekitar.
[Pertama] Terkait dengan kehidupan pribadi si
murid secara khusus, maka metode Syaikh (alminhaj al-qadiriyah) menggariskan secara
tegas adab-adab yang mengatur detail-detail
tingkah-laku
keseharian
bagi
seseorang,
seperti cara berpakaian, tidur, keluar-masuk,
berhias, duduk, berjalan, makan, minum,
berinteraksi dengan pasangan, anak, dan
kedua orangtua, dalam kondisi bermukim
maupun musafir. Dalam keseluruhan adab ini
Syaikh mengambil bimbingannya dari apa yang
diajarkan dalam sunnah nabawiyah. Demikian
pula Syaikh menganjurkan murid-muridnya
agar menjauhi segala sesuatu yang dapat
menjatuhkan derajat mereka di mata umum,
seperti lontang-lantung tidak
jelas
yang
dikerjakan, menopang hidup dengan bersandar
pada pemberian orang, dan meminta-minta.
Syaikh
menganjurkan
mereka
untuk
menyibukkan diri bekerja keras dan berdagang,
dengan senantiasa memperhatikan kaidahkaidah akhlaq dan sifat amanah.
[Kedua] Untuk mengatur hubungan antara
murid dan guru, maka Syaikh mewajibkan
murid untuk: (1) mematuhi gurunya secara
lahir maupun batin; (2) tidak memisahkan diri
darinya; (3) meminta saran dan bimbingannya
dalam segala urusan hidupnya. Sebaliknya,

Syaikh
mewajibkan
guru
untuk:
(1)
memperlakukan
murid-muridnya
dengan
bijaksana dan penuh kasih; (2) mendidik
mereka semata-mata demi mencari keridhaan
Allah; (3) menjadi tempat bernaung, tempat
bersandar, dan pengembala bagi muridmuridnya. Jika seorang guru belum mampu
mencapai tingkatan ini, maka hendaknya ia
mengundurkan diri dari kedudukannya dan
kembali kepada gurunya agar dididik ulang.
[Ketiga] Untuk mengatur hubungan diantara
sesama murid, maka Syaikh mewajibkan
kepada para pelajar dan muridnya agar:

Berinteraksi
serta
berteman
diantara
mereka
dengan
menerapkan
sikap itsar (mendahulukan
orang
lain), futuwwah (murah hati), dan lapang dada.

Berinteraksi dengan menerapkan hal-hal,


sebagai berikut:

a)
Setiap pribadi berusaha untuk melayani
orang lain dalam segala hal dan berusaha
untuk
membantu
memenuhi
kebutuhan
mereka.
b) Tidak
beranggapan
bahwa
dirinya
mempunyai hak (yang harus dipenuhi orang
lain) dan tidak menuntut orang lain atas
sesuatu hak.

c)

Menampakkan
kecocokan
(muwafaqah)
dengan mereka dalam segala yang mereka
katakan maupun lakukan.

d) Berusaha
men-tawil kesalahan
(mukhalafah) yang mereka lakukan, menerkanerka udzur (alasan yang bisa membenarkan
tindakan) mereka, tidak membuat mereka
ketakutan dan menjauh, tidak mendebat
mereka, dan pura-pura tidak tahu terhadap
kejelekan-kejelekan mereka.
e) Menghindari melakukan suatu perbuatan
yang tidak mereka sukai (di hadapan mereka)
dan menjaga ikatan kasih sayang dengan
mereka.
f)
Tidak merasa iri-dengki kepada seorang pun
dari mereka. Jika suatu saat salah satu dari
mereka merasa tidak senang kepadanya, maka
ia harus berusaha mengambil hati mereka
sehingga perasaan tidak senang itu pun
akhirnya hilang.
g)
Selalu menyambung hubungan dan berbuat
baik kepada mereka.
h) Jangan
sekali-kali
menyakiti
atau
mempergunjingkan (ghibah) mereka.
i)
Bagi yang kaya, ia harus mendahulukan
(itsar) teman yang fakir diatas dirinya sendiri
dalam hal makanan, minuman, tempat duduk,
dan dalam segala sesuatu yang lain, dengan
tanpa memandang bahwa ia mempunyai

keutamaan (diatas si fakir) karena sikap itsarnya itu. Dia juga tidak perlu mengungkitungkitnya. Bahkan, seharusnya ia bersyukur
kepada Allah yang telah menjadikan dirinya
bisa melayani orang-orang fakir itu, sebab
orang-orang fakir itu adalah keluarga Allah
(ahlullah) dan orang-orang istimewa-Nya.
j)

Seorang murid tidak seharusnya melarang


teman-temannya memanfaatkan peralatan
yang dimilikinya. Jika dia meminjam sesuatu
dari
mereka
maka
dia
harus
mengembalikannya. Anggap saja bahwa apa
yang ada di tangannya itu adalah milik Allah.
Adapun apa yang ada di tangan orang lain
maka ia berusaha menerapkan hukum-hukum
syariat terhadapnya dan dengan dilandasi
sikapwara.

k)

Jika dia singgah di ribath atau madrasah,


maka ia harus beradab kepada guru dan muridmurid yang ada disana. Jangan memperbanyak
ibadah nafilah di hadapan mereka, dan jangan
pula mengajak mereka memperbincangkan
urusan-urusan
duniawi.
Pergauli
mereka
dengan adab-adab syari dalam segala situasi
dan kondisi.
[Keempat] Untuk
mengatur
hubungan
diantara murid dan santri dengan masyarakat
sekitar, maka Syaikh telah menetapkan kaidahkaidah tertentu. Beliau meminta muridmuridnya untuk: (1) bersikap wala(loyal, cinta,

akrab) atau keras dan menjauhi siapa saja


dengan mempertimbangkan sejauh mana
kadar ketaatan maupun kemaksiatan mereka
kepada Allah; (2) tidak berakrab-akrab dengan
para muqshirin(orang yang sembarangan dan
tidak perduli pada amalnya), serta menjauhi
orang-orang
yang
hidupnyalontanglantung tidak jelas. Tidak berarti bahwa Syaikh
menganjurkan mereka memusuhi semua
orang, sebab yang beliau maksudkan adalah
kecintaan maupun kebencian di dalam hati.
Adapun
dalam
interaksi
sosial,
maka
seharusnya manusia: (1) dipergauli dengan
penuh kasih sayang dan kelembutan; (2)
memelihara kehormatan-kehormatan mereka;
(3) bersabar terhadap keburukan akhlaq
mereka; (4) tidak membicarakan kejelekan
mereka di belakang mereka; (5) tidak mencaricari kejelekan mereka; (6) mengerjakan shalat
4 rakaat dan menjadikan pahalanya untuk
siapa saja orang yang memusuhinya dengan
harapan agar Allah menyudahi urusannya di
hari kiamat kelak dengan pahala shalat itu.
Beliau juga menggariskan suatu kaidah yang
harus dipegangi oleh murid dalam bergaul
dengan orang kaya maupun orang fakir, yaitu:
(1) berinteraksi dengan orang kaya dengan
sikap penuh harga diri (taazzuz); (2)
sementara dengan orang fakir dengan sikap
penuh kerendahan (tadzallul); (3) hendaklah

murid bergaul dengan orang-orang fakir,


bersikap tawadhu, menerapkan adab yang
baik (husnul adab), dan dermawan; (4) seorang
murid hendaknya mewaspadai sikap lemah
ketika berhadapan dengan pemberian orangorang kaya, atau harapan mendapat bantuan
mereka; sebab bujukan mereka (untuk
menerima pemberiannya) merupakan perkara
yang paling membahayakan agama dan akhlaq
seseorang; (5) dipersyaratkan agar murid tidak
boleh merasa iri-dengki kepada orang-orang
kaya itu, selalu berbaik sangka kepada mereka,
dan tidak merasa lebih tinggi lagi mulia
dibanding mereka.
Wallahu alam.
(*) 19 Jum. Tsaniyah 1430 H

-------------Sumber:
Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqi al-Haqq Azza wa Jalla [Bekal yang
Memadai bagi Pencari Jalan Allah], karya Syekh Abdul Qadir Al Jilani,
penerbit Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, cet. ke-1, 1417 H 1997 M,
dengan tambahan penjelasan ringkas (hasyiyah) oleh Abu
Abdirrahman Shalah bin Muhammad bin Uwaidhah; 2 jilid.
Hakadza Zhahara Jaylu Shalahiddin wa hakadza Aadat alQuds (Beginilah Tampilnya Generasi Shalahuddin [al-Ayyubi] dan
Beginilah Kembalinya al-Quds [ke pangkuan kaum muslimin]), karya
Dr. Majid Irsan Al Kilani, penerbit Darul Qalam, Dubai, Uni Emirat Arab,
cet. ke-3, 1423 H 2002 M.
Al-Alam, IV/47, karya Khayruddin az-Zirikly, penerbit Darul Ilm lil
Malayin, cet. ke-15, Mei 2002 M.

Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian atas Lembaga-lembaga


Pendidikan, karya Hasan Asari, penerbit Mizan, Bandung, cet. ke-1,
Dzulqadah 1414 H (Mei 1994 M).
Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, karya Mehdi Nakosteen, penerbit Risalah Gusti,
Surabaya, cet. ke-2, Februari 2003. Diterjemahkan oleh Joko S. Kahhar
dan Supriyanto Abdullah, dari History of Islamic Origins of Western
Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim
Education; Colorado: University of Colorado Press, Boulder, 1964.
Kamus Arab-Indonesia, karya Prof. H. Mahmud Yunus, penerbit Hida
Karya Agung, Jakarta, cet. ke-8, 1411 H 1990 M.

Anda mungkin juga menyukai