Bismillahirrahmanirrahim
Konsep kepengasuhan santri (tadibu almuridin) menurut Syaikh Abdul Qadir Al Jilani
PENGANTAR
Naskah ringkas ini merupakan kutipan dari
kitab al-Ghun-yah li Thalibi Thariqi al-Haqq
Azza wa Jalla, II/284-286, karya Syekh Abdul
Qadir Al Jilani radhiyallahu anhu [selanjutnya,
disebut Syaikh]. Kitab ini, sebagaimana
tercantum dalam muqaddimah-nya, ditulis atas
permintaan salah seorang murid Syaikh, yang
didasari
keinginan
sang
murid
untuk ...mengetahui
adab-adab
syariyah
yang berupa faraidh (hal-hal yang wajib),
rukun-rukun, sunnah-sunnah, dan aneka hayat
(perilaku fisik, performa); juga mengenal Dzat
yang Maha Pembuat melalui berbagai ayat dan
pertanda;
kemudian
(keinginan)
untuk
mematuhi anjuran dan bimbingan Al-Quran
serta kata-kata Nabi yang sering kami
ungkap dalam majlis-majlis kami; serta
mengenal akhlaq orang-orang shalih yang
akan kami tunjukkan dalam kitab ini... Secara
singkat, Syaikh juga menyebutkan tujuan
penulisan kitab ini, yaitu ...agar menjadi
penolong baginya dalam menempuh jalan
Allah yang Maha Benar azza wajalla,
mematuhi perintah-perintah-Nya, berhenti dari
hal-hal yang dilarang-Nya...
Isi kitab ini secara keseluruhan sangat mirip
dengan Ihya
Ulumiddin atau Bidayatul
Hidayah karya Hujjatul Islam Abu Hamid alGhazali. Dan dari segi pemikiran, tampaknya
Syaikh memang mendapat pengaruh cukup
besar dari al-Ghazali, yang wafat pada tahun
505 H di saat Syaikh sendiri berusia 35 tahun.
Bahkan, ada banyak bagian di dalam kitab ini
dimana Syaikh mengutip pemikiran al-Ghazali
secara utuh huruf demi huruf. Riwayat-riwayat
juga menyebutkan bahwa jauh sebelum itu,
para guru Syaikh sendiri di Baghdad banyak
menganjurkan murid-murid mereka untuk
datang ke majlis-majlis ilmu yang diasuh sang
Hujjatul Islam. Sudah dimaklumi pula bahwa alGhazali adalah syaikh (rektor) dari Madrasah
Nizhamiyah Baghdad yang legendaris itu.
berdasar
sehingga
berbaur
dengan
yang shahih dan mutabar.
Semoga
Allah
mengampuni mereka dan kita semua.
Materi yang kami alihbahasakan ini termaktub
dalam Bagian Kelima dari kitab al-Ghun-yah,
yang membahas tentang at-tashawwuf. Oleh
karenanya, perlu diingat bahwa konteks
pendidikan yang dimaksud dalam naskah ini
adalah pendidikan Islam yang terintegrasi
secara ketat dengan adab-adab syariyah,
sebagaimana yang diterapkan oleh Syaikh
sendiri di Madrasahnya. Metode Syaikh
adalah at-tashawwuf as-sunniy, gabungan yang
ketat antara fiqh Ahli Hadits dengan jalan
hidup zuhud para
syaikh
sufi,
serta
meninggalkan kecenderungan menyimpang
yang mewabah saat itu dalam madzhabmadzhab fiqh, kalam (teologi) dan tasawuf.
Adapun tasawuf sendiri dalam kitab tersebut
dapat disimpulkan sebagai metode untuk
mempersiapkan fisik dan mental para murid
agar siap berkhidmat dan menerima ilmu,
melalui
beragam mujahadah (upaya
keras
melawan kecenderungan negatif dalam jiwa)
dan riyadhah (disiplin
latihan
untuk
menanamkan perilaku terpuji ke dalam jiwa).
Metode beliau tampak jelas sebagai pelatihan
dan penerapan adab-adabsyariyah (tadib)
dalam
keseharian
murid,
sebagaimana
disinggung
dalam
pembukaan
kitabnya
maupun
judul
dari
pasal
yang
kami
terjemahkan.
Dalam konteks Pesantren Hidayatullah, materi
semacam ini lebih tepat disebut sebagai
konsep kepengasuhan santri, dalam rangka
mempersiapkan mereka secara fisik maupun
mental
untuk
menerima
ilmu
dan
menyongsong buahnya, yakni hidayah. Tentu
saja ini masih bersifat parsial (juziyah), sebab
konsep ini sebenarnya harus dibaca secara
utuh sehingga adab seorang guru dalam
mengasuh muridnya yang dipaparkan disini
dapat ditempatkan secara proporsional dan
tepat pada tempatnya. Untuk itu, kami sengaja
menambahkan hasil analisis Dr. Majid Irsan Al
Kilani tentang metode pendidikan Syaikh yang
kami
terjemahkan
langsung
dari
buku
beliau, Hakadza Zhahara Jaylu Shalahiddin wa
hakadza Aadat al-Quds, hal. 186-195. Edisi
Indonesia dari buku ini diterjemahkan Asep
Shobari, Lc. dan Amaluddin, Lc., M.A.,
diterbitkan oleh Kalam Aulia Mediatama
(2007), di bawah judul Misteri Masa Kelam
Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi
50 Tahun Gerakan Dakwah Para Ulama untuk
Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina.
Apa yang kami kutip disini adalah satu dari dua
program utama pembaharuan umat yang
Syaikh lakukan, yaitu: (a) pengajaran yang
terencana
dan tarbiyah
ruhiyah yang
sistematis, (b) nasihat dan dakwah di tengahtengah masyarakat umum. Catatan kaki dari
buku
asli
tidak
kami
kutip
untuk
meringkaskannya.
Kata syaikh sendiri dalam kitab ini
sebenarnya lebih tepat jika diterjemahkan
sebagai guru besar, yakni pemimpin dan
tokoh
utama
dalam
sebuah
lembaga
pendidikan. Dalam konteks modern, mungkin
dapat disejajarkan dengan rektor universitas,
kyai utama di sebuah pesantren, direktur, atau
paling tidak kepala sekolah. Ini mengingat
bahwa madrasah di zaman itu biasanya diasuh
satu orang ulama kharismatis, dan dia sendiri
turun langsung mendidik murid-muridnya
dalam
berbagai halaqah ilmu
yang
diselenggarakan sejak pagi sampai malam.
Memang ada guru-guru lebih yunior (para
asisten) atau pejabat lain yang juga berperan
disana,
seperti mutawalli
alkutub (pustakawan), muadzin (semacam
takmir masjid), waizh (penasihat, semacam
guru BP atau motivator sekarang), dan
pengawas wakaf (yakni, bagian keuangan);
namun
kedudukan
serta
fungsi
seorang syaikh sangat vital dan nyaris tak
tergantikan.
Pada
naskah
terjemahan
ini,
untuk
memudahkan pemahaman, kami memberikan
penomoran dan sedikit perubahan pada gaya
7.
Pertama-tama,
suruh
mereka
untuk
meninggalkan
kecenderungan
menuruti
kebiasaan dan tabiatnya dalam segala hal.
(Untuk itu), mulailah dengan kewajibankewajiban syari yang ringan-ringan (rukhashu
asy-syari), sehingga mereka bisa keluar dari
belenggu dan dominasi kebiasaan serta
tabiatnya itu, dan akhirnya bisa beralih
menjadi di bawah ikatan syariat dan
pengabdian di dalamnya.
8.
Kemudian, pindahkan mereka dari yang
bersifat ringan-ringan (rukhshah) itu kepada
yang bersifat lebih ketat (azimah) sedikit demi
sedikit. Hapuskan sesuatu bagian yang
bersifat rukhshah tadi, dan tempatkan sebagai
gantinya
sesuatu
bagian
lain
yang
bersifat azimah. Namun, jika sejak awal mula
seorang guru melihat dalam diri mereka
kesungguhan
dalam mujahadah serta azimah (shidqu
almujadahah wal azimah), dan dia sendiri
mendapati firasat tentang si murid itu berkat
cahaya
danmukasyafah dari
Allah,
serta
pengetahuan
dari-Nya
sebagaimana sunnatullah yang sudah lazim
terjadi di kalangan hamba-hamba-Nya yang
beriman dari kalangan para wali, kekasih serta
kepercayaan Allah dan ulama (orang-orang
yang mengenal-Nya) maka ketika itu seorang
guru tidak boleh memberikan dispensasi
menjadi
(tempat
20. Hendaknya
seorang
guru
merupakan
pemacu semangat, pemberi kekuatan, serta
penolong bagi murid-muridnya.
21. Guru juga hendaknya menjadi peneguh
mereka dalam menempuh jalan (menuju
Allah azza wajalla). Jangan sampai seorang
guru justru menjadi penyebab larinya si murid
dari jalan Allah, dari upaya mengakrabkan diri
dengan-Nya, dan dari keinginan untuk menujuNya.
22. Bila guru melihat sesuatu yang dimakruhkan
yakni, tidak disukai secara syari dalam diri
muridnya, maka nasihatilah dia secara
sembunyi-sembunyi, dan berikan pengarahan
(tadib) untuknya. Larang dia dari mengulangi
perbuatannya itu.
kelompok-kelompok
masyarakat).
yang
dominan
(di
Ia
harus
berkomitmen
menjalankan sunnah dalam segala hal.
a)
Tidak bersumpah dengan nama Allah,
baik sungguhan atau bohongan, sengaja
maupun tidak. Sebab, jika ia telah memastikan
sesuatu hal atas dirinya sendiri maka itu bisa
mendorongnya untuk meninggalkannya secara
keseluruhan. Dengan berkomitmen pada sifat
ini maka Allah akan membukakan pintu
Bersikap
rendah
hati
(tawadhu).
Dengannyalah kedudukan seorang hamba akan
menjadi terhormat. Tawadhu adalah sesuatu
yang menjadi landasan utama seluruh akhlaq.
Dengan ini seorang hamba akan mencapai
kedudukan orang-orang shalih (manazil ashshalihin) yang selalu ridha kepada Allah dalam
kondisi
senang
maupun
susah.
Inilah
kesempurnaan taqwa. Tawadhu menurut
Syaikh adalah sama dengan apa yang
didefinisikan oleh al-Ghazali, yaitu jika
hubungan
mereka
dengan
lingkungan
masyarakat sekitar.
[Pertama] Terkait dengan kehidupan pribadi si
murid secara khusus, maka metode Syaikh (alminhaj al-qadiriyah) menggariskan secara
tegas adab-adab yang mengatur detail-detail
tingkah-laku
keseharian
bagi
seseorang,
seperti cara berpakaian, tidur, keluar-masuk,
berhias, duduk, berjalan, makan, minum,
berinteraksi dengan pasangan, anak, dan
kedua orangtua, dalam kondisi bermukim
maupun musafir. Dalam keseluruhan adab ini
Syaikh mengambil bimbingannya dari apa yang
diajarkan dalam sunnah nabawiyah. Demikian
pula Syaikh menganjurkan murid-muridnya
agar menjauhi segala sesuatu yang dapat
menjatuhkan derajat mereka di mata umum,
seperti lontang-lantung tidak
jelas
yang
dikerjakan, menopang hidup dengan bersandar
pada pemberian orang, dan meminta-minta.
Syaikh
menganjurkan
mereka
untuk
menyibukkan diri bekerja keras dan berdagang,
dengan senantiasa memperhatikan kaidahkaidah akhlaq dan sifat amanah.
[Kedua] Untuk mengatur hubungan antara
murid dan guru, maka Syaikh mewajibkan
murid untuk: (1) mematuhi gurunya secara
lahir maupun batin; (2) tidak memisahkan diri
darinya; (3) meminta saran dan bimbingannya
dalam segala urusan hidupnya. Sebaliknya,
Syaikh
mewajibkan
guru
untuk:
(1)
memperlakukan
murid-muridnya
dengan
bijaksana dan penuh kasih; (2) mendidik
mereka semata-mata demi mencari keridhaan
Allah; (3) menjadi tempat bernaung, tempat
bersandar, dan pengembala bagi muridmuridnya. Jika seorang guru belum mampu
mencapai tingkatan ini, maka hendaknya ia
mengundurkan diri dari kedudukannya dan
kembali kepada gurunya agar dididik ulang.
[Ketiga] Untuk mengatur hubungan diantara
sesama murid, maka Syaikh mewajibkan
kepada para pelajar dan muridnya agar:
Berinteraksi
serta
berteman
diantara
mereka
dengan
menerapkan
sikap itsar (mendahulukan
orang
lain), futuwwah (murah hati), dan lapang dada.
a)
Setiap pribadi berusaha untuk melayani
orang lain dalam segala hal dan berusaha
untuk
membantu
memenuhi
kebutuhan
mereka.
b) Tidak
beranggapan
bahwa
dirinya
mempunyai hak (yang harus dipenuhi orang
lain) dan tidak menuntut orang lain atas
sesuatu hak.
c)
Menampakkan
kecocokan
(muwafaqah)
dengan mereka dalam segala yang mereka
katakan maupun lakukan.
d) Berusaha
men-tawil kesalahan
(mukhalafah) yang mereka lakukan, menerkanerka udzur (alasan yang bisa membenarkan
tindakan) mereka, tidak membuat mereka
ketakutan dan menjauh, tidak mendebat
mereka, dan pura-pura tidak tahu terhadap
kejelekan-kejelekan mereka.
e) Menghindari melakukan suatu perbuatan
yang tidak mereka sukai (di hadapan mereka)
dan menjaga ikatan kasih sayang dengan
mereka.
f)
Tidak merasa iri-dengki kepada seorang pun
dari mereka. Jika suatu saat salah satu dari
mereka merasa tidak senang kepadanya, maka
ia harus berusaha mengambil hati mereka
sehingga perasaan tidak senang itu pun
akhirnya hilang.
g)
Selalu menyambung hubungan dan berbuat
baik kepada mereka.
h) Jangan
sekali-kali
menyakiti
atau
mempergunjingkan (ghibah) mereka.
i)
Bagi yang kaya, ia harus mendahulukan
(itsar) teman yang fakir diatas dirinya sendiri
dalam hal makanan, minuman, tempat duduk,
dan dalam segala sesuatu yang lain, dengan
tanpa memandang bahwa ia mempunyai
keutamaan (diatas si fakir) karena sikap itsarnya itu. Dia juga tidak perlu mengungkitungkitnya. Bahkan, seharusnya ia bersyukur
kepada Allah yang telah menjadikan dirinya
bisa melayani orang-orang fakir itu, sebab
orang-orang fakir itu adalah keluarga Allah
(ahlullah) dan orang-orang istimewa-Nya.
j)
k)
-------------Sumber:
Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqi al-Haqq Azza wa Jalla [Bekal yang
Memadai bagi Pencari Jalan Allah], karya Syekh Abdul Qadir Al Jilani,
penerbit Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut, cet. ke-1, 1417 H 1997 M,
dengan tambahan penjelasan ringkas (hasyiyah) oleh Abu
Abdirrahman Shalah bin Muhammad bin Uwaidhah; 2 jilid.
Hakadza Zhahara Jaylu Shalahiddin wa hakadza Aadat alQuds (Beginilah Tampilnya Generasi Shalahuddin [al-Ayyubi] dan
Beginilah Kembalinya al-Quds [ke pangkuan kaum muslimin]), karya
Dr. Majid Irsan Al Kilani, penerbit Darul Qalam, Dubai, Uni Emirat Arab,
cet. ke-3, 1423 H 2002 M.
Al-Alam, IV/47, karya Khayruddin az-Zirikly, penerbit Darul Ilm lil
Malayin, cet. ke-15, Mei 2002 M.