Anda di halaman 1dari 20

1 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pengelolaan Sampah Secara Umum


Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis,

menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan


dan

penanganan

sampah.

Sampai

saat

ini

paradigma

pengelolaan sampah yang digunakan di kebayakan kota di


Indonesia adalah kumpul-angkut-buang. Gambar 2.1 berikut
merupakan

skema

pengelolaan

sampah

secara

umum

di

Indonesia.
Sumber
Sampah

Kumpul

Pindah

Angkut

Angkut

Buang

Gambar 2.1 Skema pengelolaan sampah secara umum di


Indonesia
Berdasarkan data tahun 2008, jenis penanganan sampah yang
berlangsung di Indonesia adalah sebagai berikut:

Pengurugan
: 68,86%
Pengomposan
: 7,19%
Open burning
: 4,79%
Dibuang ke sungai : 2,99%
Insinerator skala kecil
: 6,59%
Non-pengurugan : 9,58%
Andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah

sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah


Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Pengelola kota cenderung
kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut,

sehingga muncullah kasus-kasus kegagalan TPA. Pengelola kota


tampaknya beranggapan bahwa TPA yang dipunyainya dapat
menyelesaikan
memberikan

semua

perhatian

persoalan
yang

sampah,

proporsional

tanpa

harus

terhadap

sarana

tersebut.
2.2

Timbulan Sampah
Timbulan sampah merupakan banyaknya sampah dalam

satuan tertentu. Satuan tersebut dinyatakan dalam satuan berat


atau satuan volume. Satuan berat antara lain kilogram per orang
perhari (kg/o/h), kilogram per meter-persegi bangunan perhari
(kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur perhari (kg/bed/h).
Sementara, satuan volume, yaitu liter/orang/hari (L/o/h), liter per
meter-persegi bangunan per hari (L/m 2/h), atau liter per tempat
tidur

perhari

(L/bed/h).

Kota-kota

di

Indonesia

umumnya

menggunakan satuan volume (Damanhuri & Padmi, 2010).


Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari
hari ke hari, antara satu daerah dengan daerah lainnya, juga
antara satu negara dengan negara lainnya. Variasi ini terutama
disebabkan oleh perbedaan, antara lain (Damanhuri & Padmi,
2010):
Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya
Tingkat hidup: makin tinggi tingkat hidup masyarakat, makin
besar timbulan sampahnya
Musim: di negara Barat, timbulan sampah akan mencapai
angka minimum pada musim panas
Cara hidup dan mobilitas penduduk
Iklim: di negara Barat, debu hasil pembakaran alat pemanas
akan bertambah pada musim dingin
Cara penanganan makanannya.
Beberapa studi memberikan angka timbulan sampah kota di
Indonesia berkisar antara 2-3 liter/orang/hari dengan densitas

200-300 kg/m3 dan komposisi sampah organik 70-80%. Pada


Tabel 2.1 menunjukkan informasi terakit timbulan sampah yang
berasal dari kota Bandung pada tahun 1994.

Tabel 2.1 Timbulan sampah kota Bandung tahun 1994


Sumber Sampah

Satuan

1.

Rumah permanen
Rumah semi

L/orang/hari

n
2,04

L/orang/hari

1,77

L/orang/hari

2,14

L/unit/hari
L/m2/hari
L/km/hari
L/unit/hari
L/unit/hari
L/unit/hari
L/bed/hari
L/pegawai/h

85,5
5,35
516,94
24,0
85,5
356,3
2,5

2.
3.

permanen
Rumah non-

4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

permanen
Kantor
Pasar
Jalan
Toko
Kantor
Rumah Makan
Hotel

11.

Industri

12.

2.3

Timbula

No.

0,54
ari
Rumah Sakit
L/bed/hari
7,86
Sumber : Damanhuri & Padmi, 2010

Komposisi Sampah
Pengelompokan sampah sering dilakukan

berdasarkan

komposisinya, misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya


berat basah) atau % volume (basah) dari kertas, kayu, kulit,
karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan lain-lain. Adapun
tujuan mengetahui komposisi sampah dapat dapat bermanfaat
dalam menentukan cara pengolahan yang tepat dan yang paling
efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya.
Penamaan sampah organik bersifat untuk mempermudah
pengertian umum, untuk menggambarkan komponen sampah

yang cepat terdegradasi (cepat membusuk), terutama yang


berasal dari sisa makanan. Sampah yang membusuk (garbage)
adalah sampah yang dengan mudah terdekomposisi karena
aktivitas mikroorganisme. Dengan demikian pengelolaannya
menghendaki

kecepatan,

baik

dalam

pengumpulan,

pembuangan, maupun pengangkutannya. Pembusukan sampah


ini dapat menghasilkan bau tidak enak, seperti ammoniak dan
asam-asam volatil lainnya. Selain itu, dihasilkan pula gas-gas
hasil dekomposisi, seperti gas metan dan sejenisnya, yang dapat
membahayakan keselamatan bila tidak ditangani secara baik.
Penumpukan sampah yang cepat membusuk perlu dihindari.
Sampah kelompok ini kadang juga dikenal sebagai sampah
basah. Kelompok inilah yang berpotensi untuk diproses dengan
bantuan mikroorganisme, misalnya dalam pengomposan atau
gasifikasi.
Sampah yang tidak membusuk atau refuse pada umumnya
terdiri atas bahan-bahan kertas, logam, plastik, gelas, kaca, dan
lain-lain. Sampah kering (refuse) sebaiknya didaur ulang, apabila
tidak maka diperlukan proses lain untuk memusnahkannya,
seperti pembakaran. Namun pembakaran refuse ini

juga

memerlukan penanganan lebih lanjut, dan berpotensi sebagai


sumber pencemaran udara yang bermasalah, khususnya bila
mengandung plastik PVC. Kelompok sampah ini dikenal pula
sebagai sampah kering, atau sering pula disebut sebagai sampah
anorganik. Pada Tabel 2.2 dijabarkan terkait komposisi sampah
kota Bandung pada tahun 1998.
Tabel 2.2 Komposisi sampah kota Bandung berdasarkan sumber
(% berat basah)
Komposisi

Pasar

Sampah

86,36

Pertoko

Sapua

an
67,03

n
42,23

TPS

TPA

82,76

87,78

basah
Daun-daun

1,25

0,05

29,30

3,76

Kertas

5,77

0,05

18,16

4,94

4,60

Tekstil

0,45

17,38

0,19

1,03

0,76

Karet

0,14

2,89

0,07

0,35

Plastik

5,67

8,16

4,85

4,71

Kulit

11,96

0,06

0,10

Kayu

0,29

0,43

1,13

Kaca

0,19

0,29

0,28

0,10

Logam

0,09

0,10

0,19

0,12

Lain-lain
0,08
0,01
1,96
1,16
Sumber : Damanhuri & Padmi, 2010

1,35

Komposisi sampah cendrung tidak stabil. Komposisi sampah


dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
Cuaca
Daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban sampah
juga akan cukup tinggi.
Frekuensi pengumpulan
Semakin sering sampah dikumpulkan maka semakin tinggi
tumpukan sampah terbentuk. Tetapi sampah organik akan
berkurang

karena

membusuk,

dan

yang

akan

terus

bertambah adalah kertas dan dan sampah kering lainnya


yang sulit terdegradasi.
Musim
Jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan
yang sedang berlangsung.
Tingkat sosial ekonomi
Daerah ekonomi tinggi pada
sampah

yang

terdiri

atas

sebagainya.
Pendapatan per kapita

umumnya

bahan kaleng,

menghasilkan
kertas,

dan

Masyarakat dari tingkat ekonomi rendah akan menghasilkan


total sampah yang lebih sedikit dan homogen dibanding
tingkat ekonomi lebih tinggi.
Kemasan produk
Kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan
mempengaruhi. Negara maju cenderung tambah banyak
yang menggunakan kertas sebagai pengemas, sedangkan
negara berkembang seperti Indonesia banyak menggunakan
plastik sebagai pengemas.
2.4

Pengantar Mengenai RDF


Refuse derived fuel memiliki cakupan yang luas dari

material sampah yang ada, namun RDF yang digunakan harus


mengikuti petunjuk, peraturan, juga spesifikasi yang dibutuhkan
industri terutama terkait nilai kalor yang harus tinggi. Adapun
material sampah tersebut termasuk residu dari daur ulang,
sampah industri/perdagangan, lumpur pembuangan kotoran,
sampah berbahaya, biomassa, an lain-lain.
Istilah Refuse Derived Fuel (RDF) di Inggris biasanya
menjelaskan mengenai fraksi dari sampah perkotaan yang telah
terpilah dan memiliki nilai kalor yang tinggi. Adapun istilah lain
yang juga sering digunakan, yakni terms Recovered Fuel (REF),
Packaging Derived Fuel (PDF), Paper and Plastic Fraction (PPF),
dan Processed Engineered Fuel (PEF).
Istilah Secondary Fuel, Substitute Fuel, dan Substitute
Liquid Fuel (SLF) lebih biasa digunakan untuk fraksi sampah di
indusrti,

seperti

mendapatkan

ban

atau

pelarut

yang

kualitas

yang

konsisten

dan

diproses
cocok

untuk
dengan

keterangan proses yang yang dibutuhkan.


Karakteristik penting untuk RDF sebagai bahan bakar
antara lain nilai kalor, kadar air, kadar abu, kandungan sulfur,
dan kandungan klorin. Setiap negara menetapkam kriteria yang
cukup ketat terhadap kualitas RDF. Hal ini disebabkan oleh

heterogenitas dari Municipal Solid Waste (MSW). Untuk menjaga


homogenitas kualitas sampah masih sangat sulit karena MSW
berasal dari sumber yang beragam dan pengelolaan yang
dilakukan belumlah ideal. (Gendebien, 2003).
Ada dua jenis material yang terdapat dalam RDF, material
dengan nilai kalor tinggi dan nilai kalor rendah. Materila dengan
nilai kalor tinggi adalah kertas dan produk kertas serta platik
dengan nilai kalor rata-rata 18.600 J/gram. Sedangkan bahan
anorganik seperti kaca halus dan bahan organik basah memiliki
nilai kalor yang relatif rendah, yakni 10.800 J/gram. Jika kedua
material tersebut dicampur, nilai kalor RDF secara keseluruhan
akan menurun. Penghilangan bahan material bahan kaca dan
bahan organik basah akan meningkatkan nilai kalor RDF sebesar
20%. Sementara, penurunan nilai kalor dapt dikontrol melalui
pengaturan komposisi campuran (Putri, 2013).
2.5

Jenis-jenis RDF
Secara umum terdapat dua dasar proses RDF yang masing-

masing memproduksi produk khusus yang dikenal sebagai


densified RDF (dRDF) dan coarse RDf (cRDF). dRDF diproduksi
sebagai pelet yang biasanya berukuran dan berbentuk seperti
gabus pada botol minuman keras/anggur. Sebelum proses
pemeletan dilakukan pengeringan terlebih dahulu supaya relatif
stabil dan dapat dipindahkan, ditangani, serta disimpan seperti
bahan bakar padat lainnya. Tipe RDF ini dapat dibakar sendiri,
atau dengan bantuan bahan bakar lain (misal batubara),
sehingga dibutuhkan persyarataan tertentu dalam pemrosesan
energi. Sedangkan cRDF hadir dengan produk yang tercabikcabik dan lebih kasar. cRDF membutuhkan pemrosesan sedikit
juga tidak dibutuhkan pegeringan, namun tidak dapat disimpan
dalam

periode

waktu

yang

lama.

Berdasarkan

tingkatan

pemrosesannya,

RDF

tipe

ini

cocok

untuk

pembakaran

konvensional atau sistem fluidised bed (McDougall et.al, 2001).


Berdasar pada American Society for Testing and Material
(ASTM) E 856 mengenai Standard Definitions of Terms and
Abbreviations Relating to Physical and Characteristic of Refused
Derived Fuel terdapat tujuh tipe RDF yang diklasifikasikan
(Caputo & Pelagagge, 2002; Nithikul, 2007).

RDF-1
RDF-1 adalah RDF yang berasal dari berasal dari sampah

yang digunakan langsung dari bentuk terbuangnya.


RDF-2
RDF-2 berasal dari sampah yang diproses menjadi partikel
kasar dengan atau tanpa logam besi (ferrous metal) dimana 95%
berat awal akan melewati saringan berukuran 6 inch persegi.
RDF-2 biasa disebut dengan Coarse RDF.
RDF-3
RDF-3 merupakan bahan bakar yang dicacah yang berasal
dari MSW dan diproses untuk memisahkan logam, kaca, dan
bahan anorganik lainnya, dengan ukuran partikel 95% berat
awal yang dapat melewati saringan berukuran 2 inch

persegi (disebut juga sebagai Fluf RDF).


RDF-4
RDF-4 merupakan fraksi sampah

mudah

terbakar

(combustible) yang diolah menjadi serbuk, 95% berat awal


dapat melalui saringan 10 mesh (0,035 inch persegi). RDF-4

disebut juga sebagai Dust RDF atau p-RDF.


RDF-5
RDF-5 dihasilkan dari fraksi sampah yang dapat dibakar
yang kemudian dipadatkan menjadi 600 kg/m 3 menjadi
bentuk pellet, slags, cubettes, briket, dan sebagainya

(disebut juga dengan Densified RDF atau d-RDF).


RDF-6
RDF-6 adalah RDF dalam bentuk cair atau liquid RDF. RDF-6
disebut juga sebagai RDF slurry.

RDF-7

RDF-7 adalah RDF yang berasal dari sampah yang dapat


dibakar. RDF-7 disebut juga sebagai RDF syntethic gas
(syngas).
2.6

Karakteristik Bahan Baku RDF


Pada umumnya sampah yang diolah menjadi RDF dilihat

berdasarkan beberapa karkteristik seperti nilai kalor, kadar air,


kadar abu, kadar volatil, kandungan sulfur, kandungan klorin,
dan sebagainya. Adapun karakteristik yang paling utama adalah
nilai kalor. Pada Tabel 2.3 ditunjukkan beberapa jenis sampah
yang dapat dijadikan bahan baku RDF beserta nilai kalor dari
masing-masing jenis sampah.
Tabel 2.3 Nilai Kalor Bahan Baku RDF
Low Heating

Jenis Sampah
Kertas
Kayu
Tekstil
Resin sintetis
Lumpur pengolahan air

Value (kcal/kg)
3.588
4.400
5.200
7.857

1.800
limbah
Karet dan kulit
7.200
Plastik
8.000
Lumpur
3.000
Sumber : Dong & Lee, 2009

2.7

Standar RDF
Berbagai macam referensi seperti Environment Protection

Authority (EPA) mengenai Standard for the production and use of


Refuse Derived Fuel dan European Commision terkait Refuse
Derived

Fuel,

current

3040/2000/306517/MAR/E3)

practice,

and

perspectives

menyebutkan

bahwa

(B4-

terdapat

beberapa karakteristik standar yang harus diperhatikan dalam


produksi RDF. Tabel 2.4 menjelaskan beberapa karakteristik RDF
di Finlandia yang berasal dari berbagai sumber.

Tabel 2.4 Karakteristik RDF


Sumber
Rumah
Tangga
Komersia
l
Industri
Konstruk
si

Nilai

Kadar

Kandung

Kandung

Kalor

Abu (%

an Klorin

an Sulfur

(MJ/kg)

w)

(% w)

(% w)

12 16

15 20

0,5 1

16 20

57

18 21

10 15

0.2
0,2 1

14 15

15

< 0,1

< 0,1

Kadar Air
(% w)
10 35

< 0,1

10 20
3 10

< 0,1

15 25

Sumber: European Commission, 2003


Adapun karakteristik tersebut akan dijelaskan lebih rinci
pada sub - sub bab sebagai berikut.
4.4.1 Nilai Kalor
Supaya bermanfaat, terus dapaat berjalan, dan efektif
sebagai bahan bakar tambahan atau pengganti, RDF akan
membutuhkan nilai kalor yang cukup tinggi (atau setidaknya
konsisten berada pada rentang nilai kalor yag tinggi)

dan

diproduksi pada spesifikasi yang akan menghasilkan pembakaran


yang efektif dan efisien. Selain itu, kecocokan dan efisiensi
pembakaran dari fasilitas penggunaan RDF termasuk teknologi
tungku pembakaran and pemantauan polusi harus ditujukan.
Beberapa penggunaan bahan bakar standar bisa jadi masih
membutuhkan

pengoptimalan

proses

pembakaran

untuk

memastikan bahwa keluaran emisi secara konsisten mencapai


suatu kondisi yang baik, sebagai produk dari pembakaran tidak
sempurna yangmana polutan akan mendominasi terutama saat
awal memulai juga pada akhir operasi.
4.4.2 Kadar Air
Kadar air dalam sampah lebih dikenal dengan istilah
humiditas. Keberadaan air dalam sampah sangat menentukan

jenis pengolahan sampah, terutama bila sampah diolah secara


biologi atau secara termal.
Kadar air yang terkadung dalam RDF dapat menurunkan
efektivitas pembakaran pada tahap awal, sebagaimana energi as
energy is taken up by the creation of steam. Demikian pula
dengan

nilai

kalor

atau

nilai

pemabakaran

dan

efisiensi

pembakaran harus diperhitungkan untuk kadar air yangmana


akan mengurangi sejumlah dari kesuluruhan energi yang bisa
diekstrak, sehingga dinyatakan sebagai nilai kalor bersih. Selain
itu, kandungan air yang lebih tinggi berarti material akan dibakar
pada

temperatur

yang

lebih

rendah,

jadi

memungkinkan

terjadinya pembentukan dioksin dan furan.


Nilaikalor umumnya dinyatakan dengan istilah Calorific
Value atau Heating Value. Nilai kalor terbagi atas 2 jenis, yakni
High Heating Value (HHV) atau Gross Calorific Value (GCV) dan
Low Heating Value (LHV) atau Net Calorific Value (NCV) .
Perbedaan diantara keduanya adalah pada keberadaan air di
dalam proses pembakaran. Pada perhitungan HHV, air yang
berada di dalam sampah dan air yang terbentuk dari hidrogen
diasumsikan berada dalam fasa terkondensasi. Sedangkan pada
perhitungan

LHV,

air

tidak

diasumsikan

terkondensasi,

namunberada dalam fasa uap. Sehingga nilai LHV sudah


mencakup panas untuk penguapan air. Sampah di Indonesia
memiliki rata-rat kadar air yang tinggi, sehingga sangat penting
menghitung nilai kalor hasil olahannya dalam LHV (Novita, 2010).
Oleh karena itu, niali kalor yang digunakan dalam pembakaran
RDF

adalah

LHV

karena

air

tidak

terkondensasi

setelah

pembakaran. Namun, jika nilai HHV yang diketahui, ,LHV dapat


dhitung dengan Persamaan 2.1 (Nithikul, 2007).
LHV =HHV

0,0244 (W +9 H )
( MJ
Kg )
...... Persamaan 2.1

Keterangan:
W = Persentse berat uap air (%ww)
H = Persentase hidrogen (&dw)
4.4.3 Kadar Abu
Abu adalah residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan total
mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Aprilianto, 1988). Mineral itu
sendiri terbagi menjadi 4, yaitu:

1.
2.
3.
4.

Garam organik: garam-garam asam malat, oksalat, asetat, pektat


Garam anorganik: garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat
Senyawa komplek: klorofil-Mg, pektin-Ca, mioglobin-Fe, dll
Kandungan abu dan komposisinya tergantung macam bahan dan cara
pengabuannya.
Penentuan kandungan mineral dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan

dua cara yaitu dengan penentuan abu total dan penentuan individu komponen
mineral (makro &trace mineral) menggunakan titrimetrik, spektrofotometer, AAS
(atomic absorption spectrofotometer) ( Aprilianto, 1988).
4.4.4 Kadar Volatil
Materi volatil merupakan materi yang akan menguap bila
dipanaskan pada temperatur 6000C dan dikonversi menjadi CO2.
Selain itu, materi volatil adalah materi yang mudah dikomposisi
oleh bakteri.
4.4.5 Kandungan Sulfur dan Klorin
Kandungan
pembakaran
Misalnya,

RDF

klorin

dan

perlu

kandungan

sulfur

dijadikan
klorin

serta

hasil

sebagai

dapat

emisi

dari

pertimbangan.

berkontribusi

pada

pembentukan dioksin. Teknologi terbaik secara ekonomi dan


performa

atau

Best

Available

Technology

Economically

Achievable (BATEA) harus disediakan dan diimplementasikan


untuk memastikan efektivitas penangkapan gas klorin dan emisi
polutan lainnya. Kebanyakan klorin terkandung dalam residu
inert. Selain itu, RDF tidak boleh mengandung klorin dalam
jumlah tinggi, dengan batas maksimal pada umumnya ialah
sebesar 1%. Kandungan klorin yang tinggi dapat mempengaruhi
kualitas semen yang dihasilkan oleh industri semen. Semen
dengan kadungan klorin tinggi bisa memperlemah kuat tekan
beton dalam waktu 2, 7, dan 28 hari.
4.4.6 Distribusi Ukuran Partikel
Konsistensi karakteristik fisik seperti distribusi ukuran
partikel akan dibutuhkan agar efisiensi pembakaran mencukupi
dan sesuai dengan yang diharapkan. Ukuran diameter saringan
harus mengikuti standar ASTM. Adapun ukuran saringan yang
standar dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Ukuran diameter saringan berdasarkan ASTM
Nomor Saringan
2 inci
1 inci
3/8 inci
No.4
No.10
No.40
No.100
2.8

Standar Ukuran (mm)


50
25
9,25
4,75
2,0
0,425
0,075

Produksi RDF
Refuse derived fuel (RDF) dapat diproduksi dari berbagai

sumber mulai dari limbah padat perkotaan, industri, dan


komersial. Dengan demikian harus ada beberapa tahapan yang
berbeda

dari

pengelolaan

sampah

yang

diimplementasikan. Adapun tahapan tersebut antara lain:

Pemilahan di sumber
Pemisahan secara mekanis

kerap

Reduksi ukuran sampah (pencacahan, pemotongan, dan

penggilingan)
Pemilahan dan penyaringan
Pencampuran
Pengeringan
Penyajian
Penyimpanan
Untuk memproduksi RDF, terdapat beberapa jenis sampah

yang tidak dapat dimasukkan ke dalam proses pengolahan,


antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Asbestos
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Limbah medis
Limbah radioaktif
Sampah yang bisa digunakkan kembali atau didaur ulang
Sampah yang memiliki kandungan mineral tinggi, misal

7.

tanah
Sampah yang memiliki kandungan sulfur dan klorin (EPA,
2010).

2.9

Biodrying
Biodrying yang belakangan ini berkembang di lapangan

sebagai perwujudan upaya pengelolaan sampah, merupakan


perlakuan yang memanfaatkan proses aerasi yang menghasilkan
panas melalui biokonservasi aerobik secara alami. Biodrying
bertujuan untuk mengeringkan sampah dengan memanfaatkan
material organik sebagai nutrisi mikroorganisme. Sebagian besar
panas

yang

dihasilkan

digunakan

untuk

mengevaporasi

permukaan dan ikatan air yang terasosiasi dalam matriks


sampah.
Keuntungan yang paling nyata dari biodrying adalah
mereduksi bau, volume, dan berat dari sampah, yangmana bisa
merubah

penanganan,

transportasi,

dan

pembuangan

dari

sampah organik ketika volume sampah yang besar menjadi suatu

isu.

Selanjutnya, biodrying juga menawarkan solusi sebagai

langkah efektif untuk mengeliminasi beberapa bakteri patogen.


Penyediaan udara secara terkontrol dapat digunakan
untuk

menignkatkan

kecepatan

pengeringan

melalui

meningkatnya pula kecepatan evaporasi. Bahkan kecepatan dan


temperatur udara pun harus dikontrol agar terus mencukupi,
karena

tujuan

utama

dari

biodrying

adalah

untuk

memaksimalkan kehilangan air agar kandungan sampah menjadi


lebih

homogen,

stabil,

dan

menjadi

produk

yang

dapat

digunakan. Biodrying secara khas diterapkan melalui terowongan


atau reaktor biologis, dimana udara disediakan dan dalam
kondisi

temperatur

ideal,

serta

kelembaban

dijaga

untuk

emmastiakn kesetimbangan antara kecepatan pengeringan dan


kecepatan degradasi materi organik secara aerob (Martizen et.al,
2012).
2.10 Effective Microorganisme 4
1.10.1

Pengertian Effective Microorganisme 4

Efective

Microorganism4

(EM4)

merupakan

mikroorganisme (bakteri) pengurai yang dapat membantu dalam


pembusukan

sampah

organik

(Suparman,

1994).

Efective

Microorganism4 (EM4) berisi sekitar 80 genus mikroorganisme


fermentasi, di antaranya bakteri fotositetik, Lactobacillus sp.,
Streptomyces sp., Actinomycetes sp. dan ragi (Agromedia, 2007).
EM4 digunakan untuk pengomposan modern. EM4 diaplikasikan
sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan populasi
mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman yang selanjutnya
dapat meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kualitas dan
kuantitas produksi tanaman (Suparman, 1994). Kompos yang
dihasilkan dengan cara ini ramah lingkungan berbeda dengan
kompos anorganik yang berasal dari zat-zat kimia. Kompos ini
mengandung zat-zat yang tidak dimiliki oleh pupuk anorganik

yang baik bagi tanaman. EM4 terdiri dari berbagai komposisi


seperti mikroba dan unsur hara. Adapun komposisi dari dapat
dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Komposisi Bioaktivator EM4
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

1.10.2

Jenis Mikroba dan Unsur


Hara
Lactobacillus
Bakteri Pelarut Fosfat
Ragi/Yeast
Actinomycetes
Bakteri Fotosintetik
Ca (ppm)
Mg (ppm)
Fe (ppm)
Al (ppm)
Zn (ppm)
Cu (ppm)
Mn (ppm)
Na (ppm)
B (ppm)
N (ppm)
Ni (ppm)
K (ppm)
P (ppm)
Cl (ppm)
C (ppm)
pH
Sumber : Laboratorium

Nilai
8,7 x 105
7,5 x 106
8,5 x 106
+
+
1,675
597
5,54
0,1
1,90
0,01
3,29
363
20
0,07
0,92
7,675
3,22
414,35
27,05
3,9
Japan, 2007

Sifat-sifat Effective Microorganisme 4

Efective Microorganism4 (EM4) adalah suatu larutan kultur


(biakan) dari
mikroorganisme yang hidup secara alami di tanah yang
subur serta bermanfaat untuk peningkatan produksi (Suparman,
1994). Menurut Maman Suparman, sifat-sifat dari EM4 adalah
sebagai berikut:
1. EM4 adalah suatu cairan berwarna coklat dengan bau yang
enak. Apabila baunya busuk atau tidak enak, berarti

mikroorganisme-mikroorganisme tersebut telah mati dan


harus dicampur dengan air untuk menghentikan tumbuhnya
gulma (rumput liar).
2. EM4 harus disimpan di tempat teduh dalam wadah yang
ditutup rapat.
3. Bahan-bahan organik dapat difermentasikan dalam waktu
yang singkat oleh EM4.
4. Makanan-makanan untuk EM4 termasuk bahan organik,
molase, rabuk hijau, kotoran hewan, dan bekatul.
5. EM4 mampu bekerja secara efisien tanpa bahan kimia.
1.10.3

Pemanfaatan Effective Microorganisme 4

Efective Microorganism4 (EM4) dapat ditambahkan dalam


pengomposan sampah organik karena ia dapat mempercepat
proses pengomposan. EM4 diaplikasikan sebagai inokulan untuk
meningkatkan keragaman dan populasi mikroorganisme di dalam
tanah dan tanaman. Selain itu, EM4 dapat digunakan untuk
mempercepat

dekomposisi

sampah

organik

juga

dapat

meningkatkan pertumbuhan serta dapat meningkatkan kualitas


dan kuantitas produksi tanaman (Suparman, 1994).
2.11 Pemanfataan RDF
Konversi sampah menjadi energi merupakan suatu hal
yang sangat potensial di masa yang akan mendatang. Adapun
beberapa kegunaan RDF ialah sebagai berikut:

pengolahan setempat (on-site) pada perlengkapan konversi


termal

teringrasi

termasuk

grate

or

fluidised

bed

combustion, gasifikasi atau pirolisis


pengolahan of-site pada remote facility berupa grate or

fluidised bed combustion, gasifikasi atau pirolisis


co-pembakaran pada boiler batu bara
co-insenerasi pada alat pembakaran dan pengeringan
produsen semen

co-gasifikasi dengan batu bara atau biomassa.


Adapun penjelasan lebih rinci terkait penggunaan Refused

Drived Fuel (RDF) sebagai berikut.


a.

Insinerator
Insinerator fluidised bed merupakan perkembangan dari

penemuan aplikasi untuk pembakaran RDF,

dengan beberapa

keuntungan yang diberikan seperti mengurangi emisi pada saat


pembakaran. Insinerator ini juga sensitif terhadap variasi nilai
kalor yang berasal dari bahan bakar. Proses pra-pengolahan
sampah (misal

pemisahan dan

pencacahan) meningkatkan

tingkat konsistensi dari nilai kalor. Pembakaran, energi yang


dihasilkan, dan operasi dari insinerator ini dapat menjadi lebih
efisien. Selain itu, dengan ukuran partikel yang kecil, maka
peralatan pembakaran juga menjadi lebih kecil, lebih sehat
namun sedikit mahal.
Ada satu negara di United Kingdom yang memanfaatkan
RDF sebagai penerapan dari konsep waste to energy melauli
fasilitas pembakaran/insinerasi. Selain itu, Itali juga sedang
dalam tahap pembangunan waste to energy plants sejumlah dua
bangunan. Sementara, beberapa bangunan waste to energy
pada beberapa daerah di Swedia telah berhasil memproduksi
panas melalui insinerator fluidised bed.
b.

District heating plant


Scandinavia juga merupakan negara yang memanfaatkan

RDF sebagai andalan produksi panas melalui metode insinerasi


dan

co-insinerasi.

Bangunan

insinerator

yang

dioperasikan

memiliki ukuran yang lebih kecil dari ukuran normal yang


digunakan untuk menghasilkan listrik. Sementara peralatan
pemantauan emisi tidak sekeras untuk insinerator sampah
perkotaan.

Co-incinerasi dari bahan bakar sampah dengan biomassa


sampah (misal tanah, sampah kayu, dan lain-lain) pada skala
kecil (kurang diari 20 MW) sebagai bangunan pemanas kawasan
sudah mulai berkembang di Finlandia dan dipencaya sebagai
teknologi pembakaran terintergrasi. Adapun jumlah RDF yang
biasa digunakan ialah sekitar 10 sampai 30% dari aliran massa
bahan bakar yang digunakan pada boiler. Implementasi dari
arahan baru mengenai insenerasi ini diekspektasikan untuk
mengurangi ketertarikan terhadap co-pembakaran. Hal ini juga
dilaporkan bahwa sampah rumah tangga yang menjadi copembakaran di Denmark, Swedia, dan beberapa heating plants in
wilayah Belgia.
c.

Multi-fuel power plant


Inggris memiliki sebuah CHP plant untuk memproduksi

energi melalui metode co-pembakaran dari RDF berbentuk dari


sampah perkotaan. Sementara di Itali tiga buah power plants
akhir-akhir ini sedang diuj atau dipertimbangkan sebagai bahan
bakar sekunder. Coal power plants di Jerman juga dilaporkan
menggunakan

RDF

yang

bersumber

sampah

perkotaan.

Sedangkan di Finlandia, sebagaian CHP plants (50 sampai 500


MW) menggunakan teknologi pembakaran fluidised bed dan copembakaran

yang

divariasikan

bahan

bakarnya,

seperti

munggunakan biomassa dan sampah seperti kulit buah, debu,


lumpur, kertas, serta kemasan.
dekat

dengankota

Berdasarkan

atau

laporan,

Teknologi tersebut berlokasi

perusahaan

fluidised

bed

penghasil
boilers

di

kertas.
Finlandia

menggunakan lebih banyak yakni lebih dari 200.000 t per annum


(tpa) sampah dan insdustri kertas juga menggunakan sekitar
300-400.000 tpa lumpur.
d.

Cement kiln

Sebagaian besar pabrik semen tidak secara langsung


membakar sampah yang tidak terpilah, namun seharusnya
sampah heterogen yang berasal dari alam beserta komponen
yang memiliki kualitas baik dan ramah lingkungan. Sampah
perkotaan

digunakan

setelah

ada

proses

pemisahan

dan

pembungkusan menjadi RDF di cement kilns di Austria, Belgia,


Denmark, Itali, dan Belanda. Pembengkusan secara khusus
dilakukan pada kiln pertengahan atau pada tahap kalsinasi.
Berdasarkan laporan, sekitar 115.000 tpa dari sampah perkotaan
dilakukan co-insinerasi pada cement kilns di Eropa pada tahun
1997 (RDC & Kema, 1999). Selain itu, diestimasikan pula bahwa
lebih

dari

300,000

tpa

dari

RDF

yang

berasal

sampah

perkotaaan. Di Belgia dan Denmark co-insinerasi RDF diproduksi


setelah beberapa pemisahan secara mekanik dari sampah rumah
tangga yang awalnya tercampur. Sementara di Austria, Jerman,
dan

Itali

residu

dari

proses

pemisahan

secara

mekanik

tersebutlah yang dijadikan RDF. Sedangkan di Belanda, setelah


dilakukan pemisahan dibuatlah pelet juga kertas dan plastik yang
dikompres. Namun sangat disayangkan penggunaan RDF dari
sampah perkotaan pada pabrik semen di Inggris tidak berlanjut.
e.

Lainnya
RDF dari sampah perkotaan juga dilaporkan digunakan

pada sistem gasifikasi atau pirolisis di beberapa negara seperti


Finlandia, Jerman, Itali, Belanda, Swedia, dan Inggris. Ada
beberapa perencanaan juga untuk memproduksi arang dari
sampah perkotaan di Perancis melalui termolisis.

Anda mungkin juga menyukai