Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Pandangan Islam Tentang Budaya


Dosen Pengajar:
Drs. Syamsul Arifin, M.Ag.

Disusun Oleh:
Rendy Ikhsantyo

(135060300111008)

Kevin Putra P. K. R

(135060300111010)

Yuda Irawan

(135060300111019)

Ryan Rama Putra

(135060300111027)

PRODI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Pendidikan Agama Islam Universitas Brawijaya. Judul yang diberi dalam makalah ini adalah
Pandangan Islam Terhadap Budaya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui 1) Asal-Usul Budaya, 2) Masuknya Budaya,
3) Budaya di Indonesia, 4) Pandangan Islam Terhadap Kebudayaan, 5) Hubungan Antara Islam dan
Budaya.
Dalam penyelesaian makalah ini, banyak pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak, yaitu:
1. Dosen mata kuliah yang terkait, yaitu Bapak Drs. H. Syamsul Arifin, M.Ag. yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyelesaian makalah ini.
2. Orang tua penulis yang telah memberi dukungan moril maupun materiil dalam pembuatan
makalah ini.
3. Teman-teman kelompok, yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Terima
kasih atas kerjasama tim yang solid dan kompak.
4. Website www.google.com yang sudah membantu menemukan referensi penulis.
Dalam pembuatan makalah ini, penulis sadar masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
maupun pembacanya.

Malang, 3 Desember 2013

Penulis

Pendahuluan

PANDANGAN ISLAM TERHADAP


KEBUDAYAAN
ASAL USUL BUDAYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah.
Merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan
disebut culture. Berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa juga diartikan mengolah tanah atau bertani. Kata culture, juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Dalam Islam, istilah ini disebut dengan adab. Islam telah menggariskan adabadab Islami yang mengatur etika dan norma-norma pemeluknya. Adab-adab Islami
ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tuntunannya turun langsung dari
Allah l melalui wahyu kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala
menjadikan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai teladan terbaik dalam
hal etika dan adab ini.
Sebelum kedatangan Islam, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Arab ketika itu ialah budaya jahiliyah. Di antara budaya jahiliyah yang dilarang oleh
Islam, misalnya tathayyur, menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan lain
sebagainya.
Dinul-Islam sangat menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju
prinsip kemanusiaan yang universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah
tradisi dan budaya yang membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari
peradaban dunia modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman:
"Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak-anaknya,
dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami
tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah
kami menyerahkan diri". Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imran/3:84-85]
PENETRASI BUDAYA
Proses penetrasi budaya merupakan suatu hal yang tak bisa dihindari. Karena
kehidupan manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Interaksi sosial di
antara manusia menyebabkan terjadinya proses penetrasi budaya ini. Yang
dimaksud dengan penetrasi kebudayaan, ialah masuknya pengaruh suatu
kebudayaan ke dalam kebudayaan lainnya.
Penetrasi budaya dapat terjadi dengan dua cara:
1. Penetrasi Damai (Penetration Pasifique).
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya
pengaruh kebudayaan Hindu ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan

tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya


masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan inipun tidak mengakibatkan
hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan akulturasi, asimilasi atau
sintesis.

Akulturasi, ialah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk


kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya,
bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dengan India.

Asimilasi, adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk


kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis, yaitu bercampurnya dua kebudayaan
yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat
berbeda dengan kebudayaan asli.

Dan sesudah tersebarnya agama Islam di Nusantara, pengaruh-pengaruh


kebudayaan yang telah berasimilasi itu masih tersisa dan dipertahankan oleh
sebagian orang. Oleh karena itu, kita melihat unsur-unsur budaya India ini pada
sebagian ritual keagamaan yang dilakukan oleh sebagian orang Islam, misalnya
dalam upacara-upacara selamatan, seperti halnya upah-upah di Mandailing,
peusijeuk di Aceh, dan tepung tawar di Melayu, serta upacara-upacara perkawinan
dan kematian.
2. Penetrasi Kekerasan (Penetration Violante).
Yaitu masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak.
Sebagai contoh, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan
disertai dengan kekerasan, sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang
merusak keseimbangan dalam masyarakat.
KEBUDAYAAN DI INDONESIA
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal
yang telah ada sebelum terbentuknya negara Indonesia pada tahun 1945. Seluruh
kebudayaan lokal yang berasal dari berbagai budaya suku-suku di Indonesia
merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya
terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya, seperti kebudayaan
Tionghoa dan kebudayaan India. Kebudayaan India terutama masuk dari
penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia
terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat
mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi, ditandai dengan berdirinya
kerajaan tertua di Nusantara, yakni kerajaan Kutai, sampai pada penghujung abad

ke-15 Masehi.
Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia
karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa
dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantauperantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di
Nusantara. Mereka menetap dan menikah dengan penduduk local, hingga akhirnya
menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan
seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal
modern di Indonesia, semisal kebudayaan Jawa dan Betawi.

Adapun adab-adab Islam masuk ke Indonesia seiring dengan


perkembangannya di Nusantara, yang dibawa oleh dai-dai dari Timur Tengah dan
Asia Selatan.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEBUDAYAAN
'Aisyah Radhiyalahu 'anha menceritakan: "Sesungguhnya pernikahan pada
masa jahiliyah ada empat macam. Pernikahan sebagaimana yang dilakukan oleh
orang-orang sekarang. Yaitu seseorang datang meminang wanita atau anak gadis
kepada walinya, lalu ia memberi mahar kepadanya kemudian menikahinya".
Jenis pernikahan lainnya, seorang lelaki berkata kepada istrinya apabila telah
suci dari haidhnya, pergilah menemui si Fulan lalu ambillah benih darinya,
kemudian suaminya menjauhi dan tidak menyentuhnya lagi hingga jelas
kehamilannya dari benih si fulan tadi. Jika ternyata hamil, maka si suami boleh
menyetubuhinya bila ia mau. Ia melakukan itu untuk mendapatkan anak.
Pernikahan jenis ini disebut nikah istibdh`.
Pernikahan jenis lain, yaitu berkumpullah beberapa orang lelaki yang
berjumlah sekitar sepuluh orang. Mereka semua menyetubuhi seorang wanita.
Apabila wanita itu hamil atau mengandung, dan telah lewat beberapa hari setelah
melahirkan kandungannya, maka iapun mengirim bayinya kepada salah seorang
dari laki-laki itu. Maka mereka pun tidak bisa mengelak. Kemudian mereka semua
berkumpul dengan wanita itu, lalu si wanita berkata kepada mereka: Tentunya
kalian telah mengetahui urusan kalian. Aku telah melahirkan seorang anak, dan
anak ini adalah anakmu hai Fulan. Si wanita menyebutkan nama salah seorang dari
mereka yang ia sukai, dan anak tersebut dinisbatkan kepada lelaki itu tanpa bisa
menolaknya lagi.
Pernikahan jenis lain, yaitu sejumlah lelaki menyetubuhi seorang wanita
tanpa menolak siapapun lelaki yang datang kepadanya. Dia ini ialah perempuan
pelacur. Mereka menancapkan bendera pada pintu-pintu rumah sebagai tanda.

Siapa saja lelaki yang ingin menyetubuhinya, ia bebas mendatanginya. Jika


perempuan ini hamil dan melahirkan anak, maka para lelaki itupun dikumpulkan.
Lalu dipanggilah qfah [1] kemudian anak tersebut dinisbatkan kepada salah
seorang dari mereka yang telah ditunjuk oleh qfah tersebut. Maka anak itupun
dinisbatkan kepadanya tanpa bisa menolaknya.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus menjadi rasul
dengan membawa kebenaran, dihapuslah seluruh jenis pernikahan jahiliyah kecuali
penikahan yang dilakukan oleh orang-orang sekarang ini.[2]
Dari riwayat ini, kita dapat mengetahui bahwa Islam membiarkan beberapa
adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab
Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab yang ada
sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang budaya-budaya yang mengandung unsur syirik, seperti pemujaan
terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang bertentangan
dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
silakan melakukannya. Namun jika bertentangan dengan ajaran Islam, seperti
memamerkan aurat pada sebagian pakaian adat daerah, atau budaya itu berbau
syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan pemujaan atau penyembahan kepada
dewa-dewa atau tuhan-tuhan selain Allah, maka budaya seperti itu hukumnya
haram.
BEBERAPA CONTOH KEBUDAYAAN MASYARAKAT INDONESIA
A. Budaya Tumpeng.
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk
kerucut. Itulah sebabnya disebut nasi tumpeng. Olahan nasi yang dipakai,
umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau
nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan
Jawa, dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting.
Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah tradisional) dan dialasi daun
pisang.
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai
tumpengan. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi tumpengan pada
malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk
mendoakan keselamatan negara. Ada tradisi tidak tertulis yang menganjurkan
bahwa pucuk dari kerucut tumpeng dihidangkan bagi orang yang profesinya
tertinggi dari orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa
hormat kepada orang tersebut.

Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut:


1. Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam
pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai
sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang
merah dan cabai.
2. Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh
bulan, dan terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini
juga dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah
yang dialasi daun pisang.
3. Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang
masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran.
Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
4. Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam
adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
5. Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang
luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran,
pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
6. Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk
peringatan Maulud Nabi.
Dari situ dapat kita ketahui bila tumpeng dibuat dalam rangka acara-acara atau
ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Namun kalau sekedar
membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai acara dan ritual tersebut,
maka tidaklah mengapa.
B. Peusijeuk, upah-upah (manyonggot), tepung tawar dan selamatan.
Adat istiadat ini biasa diadakan apabila seseorang memiliki hajatan atau
hendak pergi jauh untuk menghilangkan kesialan. Di daerah Aceh, acara ini disebut
peusijeuk. Di pesisir Melayu disebut tepung tawar, dan di Jawa dikenal dengan
sebutan selamatan. Di daerah Tapanuli Utara dan Asahan dikenal dengan sebutan
upah-upah atau manyonggot.
Tepung tawar biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada

orang yang ditepung tawari. Adapun upah-upah, juga merupakan upacara menolak
kesialan. Biasanya dilakukan terhadap orang yang sakit agar spiritualnya (roh)
kembali ke jasadnya. Yaitu dengan memasak ayam kemudian diletakkan di piring
lalu dibawa mengitari orang yang akan diupah-upahi, kemudian disuapkan kepada
orang tersebut. Tujuannya ialah mengembalikan semangat pada orang sakit itu.
Acara-acara seperti tersebut di atas, tidak lepas dari unsur-unsur
kepercayaan animisme, dan konon asal-usulnya berasal dari ritual-ritual nenek
moyang.
C. Sungkeman.
Biasanya, kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan
pada saat Hari Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan
juga setiap kali bertemu. Dilakukan dengan cara sujud kepada orang tua atau orang
yang dianggap sepuh (Jawa, tua atau dituakan). Adat ini mengandung unsur sujud
dan rukuk kepada selain Allah, yang tentunya dilarang dalam Islam.
D. Beberapa adat-istiadat dalam upacara perkawinan adat Jawa yang bertentangan
dengan syariat Islam, karena mengandung unsur syirik atau maksiat atau lainnya.
1. Tarub atau janur kuning. Sehari sebelum pernikahan, biasanya gerbang rumah
pengantin perempuan akan dihiasi tarub atau janur kuning yang terdiri dari
bermacam tumbuhan dan daun-daunan, dua pohon pisang dengan setandan pisang
masak pada masing-masing pohon, melambangkan suami yang akan menjadi
kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia
dimanapun mereka berada (seperti pohon pisang yang mudah tumbuh di
manapun).
Tebu Wulung atau tebu merah, yang berarti keluarga yang mengutamakan pikiran
sehat.
Cengkir Gading atau buah kelapa muda, yang berarti pasangan suami istri akan
saling mencintai dan saling menjagai dan merawat satu sama lain.
Berbagai macam daun seperti daun beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap serep,
sebagai simbol kedua pengantin akan hidup aman dan keluarga mereka terlindung
dari mara bahaya. Selain itu di atas gerbang rumah juga dipasang belketepe, yaitu
hiasan dari daun kelapa untuk mengusir roh-roh jahat dan sebagai tanda bahwa ada
acara pernikahan sedang berlangsung di tempat tersebut.
Sebelum tarub dan janur kuning tersebut dipasang, sesajen atau persembahan
sesajian biasanya dipersiapkan terlebih dahulu. Sesajian tersebut antara lain terdiri
dari pisang, kelapa, beras, daging sapi, tempe, buah-buahan, roti, bunga,
bermacam-macam minuman termasuk jamu, lampu, dan lainnya. Arti simbolis dari

sesajian ini ialah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini
diletakkan di tempat-tempat dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan,
seperti kamar mandi, dapur, pintu gerbang, di bawah tarub, di jalanan di dekat
rumah, dan sebagainya. Dekorasi lain yang dipersiapkan adalah Kembar Mayang
yang akan digunakan dalam upacara panggih.
2. Upacara Siraman. Acara yang dilakukan pada siang hari sebelum ijab atau
upacara pernikahan ini, bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Siraman
biasanya dilakukan di kamar mandi atau taman keluarga masing-masing dan
dilakukan oleh orang tua atau wakil mereka.
Ada tujuh Pitulungan atau penolong (Pitu artinya tujuh) -biasanya tujuh orang yang
dianggap baik atau penting- yang membantu acara ini. Airnya merupakan
campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari, yang jika
memungkinkan diambil dari tujuh mata air dan melambangkan kehidupan. Keluarga
pengantin perempuan akan mengirim utusan dengan membawa Banyu Perwitosari
ke kediaman keluarga pengantin pria dan menuangkannya di dalam rumah
pengantin pria.
3. Pecah Kendi. Yaitu ibu pengantin perempuan atau Pameas (untuk siraman
pengantin pria) atau orang yang terakhir akan memecahkan kendi dan mengatakan
"wis pecah pamore", artinya sekarang sang pengantin siap untuk menikah.
4. Pangkas Rikmo lan Tanam Rikmo. Acara memotong sedikit rambut pengantin
perempuan dan potongan rambut tersebut ditanam di rumah belakang.
5. Ngerik, Yaitu pengantin perempuan duduk di dalam kamarnya. Pameas lalu
mengeringkan rambutnya dan memberi pewangi di rambutnya. Rambutnya lalu
disisir dan digelung atau dibentuk konde. Setelah Pameas mengeringkan wajah dan
leher sang pengantin, lalu ia mulai mendandani wajah sang pengantin. Lalu sang
pengantin akan dipakaikan baju kebaya dan kain batik. Sesajian untuk upacara
Ngerik pada dasarnya sama untuk acara siraman. Biasanya supaya lebih mudah
sesajian untuk siraman digunakan / dimasukkan ke kamar pengantin dan dipakai
untuk sesajian upacara Ngerik.
6. Gendhongan. Kedua orangtua pengantin perempuan menggendong anak mereka
yang melambangkan ngentaske, artinya mengentaskan seorang anak.
7. Dodol Dhawet. Kedua orangtua pengantin wanita berjualan minuman dawet,
yaitu minuman manis khas Solo, tujuannya agar banyak tamu yang datang.
8. Temu Panggih. Penyerahan pisang sanggan berupa gedung ayu suruh ayu
sebagai tebusan atau syarat untuk pengantin perempuan.

9. Penyerahan Cikal. Sebagai tanda agar kehidupan mendatang menjadi orang


berguna dan tak kurang suatu apapun.
10. Penyerahan Jago Kisoh. Sebagai tanda melepaskan anak dengan penuh ikhlas.
11. Tukar Manuk Cengkir Gading. Acara tukar menukar kembang mayang diawali
tukar menukar manuk cengkir gading, sebagai simbol agar kedua pengantin
menjadi pasangan yang berguna bagi keluarga dan masyarakat.
12. Upacara Midodaren. Acara ini dilakukan pada malam hari sesudah siraman.
Midodaren berarti menjadikan sang pengantin perempuan secantik dewi Widodari.
Pengantin perempuan akan tinggal di kamarnya mulai dari jam enam sore sampai
tengah malam dan ditemani oleh kerabat-kerabatnya yang perempuan. Mereka
akan bercakap-cakap dan memberikan nasihat kepada pengantin perempuan.
Orang tua pengantin perempuan akan memberinya makan untuk terakhir kalinya,
karena mulai besok ia akan menjadi tanggung jawab suaminya.
13. Peningsetan. Peningsetan yang berasal dari kata singset atau langsing,
memiliki arti untuk mempersatukan. Kedua keluarga mempelai setuju untuk kedua
anak mereka disatukan dalam tali pernikahan. Keluarga pengantin pria datang
berkunjung ke kediaman keluarga pengantin perempuan membawa berbagai
macam hantaran sebagai berikut:
Satu set Suruh Ayu (semacam daun yang wangi), mendoakan keselamatan. Pakaian
batik dengan motif yang berbeda-beda, mendoakan kebahagiaan. Kain kebaya,
mendoakan kebahagiaan. Ikat pinggang kain (setagen) bewarna putih,
melambangkan kemauan yang kuat dari mempelai perempuan. Buah-buahan,
mendoakan kesehatan. Beras, gula, garam, minyak, dll, melambangkan kebutuhan
hidup sehari-hari. Sepasang cincin untuk kedua mempelai. Sejumlah uang untuk
digunakan di acara pernikahan.
Acara ini disebut juga acara serah-serahan. Bisa diartikan bahwa sang calon
mempelai perempuan diserahkan kepada keluarga calon mempelai pria sebagai
menantu mereka atau calon mempelai pria nyantri di kediaman keluarga calon
mempelai perempuan.
Pada masa kini, demi alasan kepraktisan, kedua belah pihak kadang-kadang dapat
berbicara langsung tanpa upacara apapun. Selain menghemat waktu dan uang,
juga langsung pada pokok persoalan.
14. Nyantri. Selama acara midodaren berlangsung, calon mempelai pria tidak boleh
masuk menemui keluarga calon mempelai perempuan. Selama keluarganya berada
di dalam rumah, ia hanya boleh duduk di depan rumah ditemani oleh beberapa

teman atau anggota keluarga. Dalam kurun waktu itu, ia hanya boleh diberi segelas
air, dan tidak diperbolehkan merokok. Sang calon mempelai pria baru boleh makan
setelah tengah malam. Hal itu merupakan pelajaran bahwa ia harus dapat menahan
lapar dan godaan. Sebelum keluarganya meninggalkan rumah tersebut, kedua
orangtuanya akan menitipkan anak mereka kepada keluarga calon mempelai
perempuan, dan malam itu sang calon mempelai pria tidak akan pulang ke rumah.
Setelah mereka keluar dari rumah dan pulang, calon mempelai pria diijinkan masuk
ke rumah namun tidak diijinkan masuk ke kamar pengantin. Calon mertuanya akan
mengatur tempat tinggalnya malam itu. Ini disebut dengan Nyantri. Nyantri
dilakukan untuk alasan keamanan dan praktis, mengingat bahwa besok paginya
calon pengantin akan didandani dan dipersiapkan untuk acara Ijab dan acara-acara
lainnya.
15. Upacara panggih/temu (mengawali acara resepsi). Pada upacara ini kembar
mayang dibawa keluar rumah dan diletakan di persimpangan dekat rumah yang
tujuannya untuk mengusir roh jahat. Kembar mayang adalah karangan bunga yang
terdiri dari daun-daun pohon kelapa yang ditancapkan ke sebatang tanggul kelapa.
Dekorasi ini memiliki makna:
Berbentuk seperti gunung, tinggi dan luas, melambangkan seorang laki-laki harus
berpengetahuan luas, berpengalaman, dan sabar. Hiasan menyerupai keris,
pasangan harus berhati-hati di dalam hidup mereka. Hiasan menyerupai cemeti,
pasangan harus selalu berpikir positif dengan harapan untuk hidup bahagia. Hiasan
menyerupai payung, pasangan harus melindungi keluarga mereka. Hiasan
menyerupai belalang, pasangan harus tangkas, berpikir cepat dan mengambil
keputusan untuk keselamatan keluarga mereka. Hiasan menyerupai burung,
pasangan harus memiliki tujuan hidup yang tinggi. Daun beringin, pasangan harus
selalu melindungi keluarga mereka dan orang lain. Daun kruton, melindungi
pasangan pengantin dari roh-roh jahat. Daun dadap serep, daun ini dapat menjadi
obat turun panas, menandakan pasangan harus selalu berpikiran jernih dan tenang
dalam menghadapi segala permasalahan (menenangkan perasaan dan
mendinginkan kepala). Bunga Patra Manggala, digunakan untuk mempercantik
hiasan kembar mayang.
Sebagai hiasan, sepasang kembar mayang diletakkan di samping kanan dan kiri
tempat duduk pengantin selama resepsi pernikahan. Kembar mayang hanya
digunakan jika pasangan pengantin belum pernah menikah sebelumnya.
Dan kemudian melanjutkan upacara dengan melakukan beberapa ritual:
16. Balangan Suruh. Setelah pengantin laki-laki (dengan ditemani kerabat dekatnya,
dan orang tuanya tidak boleh menemaninya dalam acara ini) tiba di depan gerbang
rumah pengantin perempuan dan pengantin perempuan keluar dari kamar
pengantin dengan diapit oleh dua orang tetua perempuan dan diikuti dengan

orangtua dan keluarganya. Di depannya dua anak perempuan (yang disebut Patah)
berjalan dan dua remaja laki-laki berjalan membawa kembar mayang. Pada saat
jarak mereka sekitar tiga meter, mereka saling melempar tujuh bungusan yang
berisi daun sirih, jeruk, yang ditali dengan benang putih. Mereka melempar dengan
penuh semangat dan tertawa. Dengan melempar daun sirih satu sama lain,
menandakan bahwa mereka adalah manusia, bukan makhluk jadi-jadian yang
menyamar jadi pengantin. Selain itu ritual ini juga melambangkan cinta kasih dan
kesetiaan.
17. Wiji Dadi. Mempelai laki-laki menginjak telur ayam hingga pecah dengan kaki
kanan, kemudian pengantin perempuan akan membasuh kaki sang suami dengan
air bunga. Proses ini melambangkan seorang suami dan ayah yang bertanggung
jawab terhadap keluarganya dan istri yang taat melayani suaminya.
18. Pupuk. Ibu pengantin perempuan yang mengusap pengantin laki-laki sebagai
tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.
19. Sindur Binayang. Di dalam ritual ini ayah pengantin perempuan menuntun
pasangan pengantin ke kursi pelaminan, ibu pengantin perempuan menyampirkan
kain sindur sebagai tanda bahwa sang ayah menunjukkan jalan menuju
kebahagiaan dan sang ibu memberikan dukungan moral.
20. Timbang/Pangkon. Di dalam ritual ini pasangan pengantin duduk di pangkuan
ayah pengantin perempuan, dan sang ayah akan berkata bahwa berat mereka
sama, berarti bahwa cinta mereka sama-sama kuat dan juga sebagai tanda kasih
sayang orang tua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
21. Tanem. Di dalam ritual ini ayah pengantin perempuan mendudukkan pasangan
pengantin di kursi pengantin sebagai tanda merestui pernikahan mereka dan
memberikan berkat.
22. Tukar Kalpika. Mula-mula pengantin pria meninggalkan kamarnya dengan diapit
oleh anggota laki-laki keluarga (saudara laki-laki dan paman-paman). Seorang
anggota keluarga yang dihormati terpilih untuk berperan sebagai kepala
rombongan. Pada waktu yang sama, pengantin perempuan juga meninggalkan
kamar sambil diapit oleh bibi-bibinya untuk menemui pengantin pria. Sekarang
kedua pengantin duduk di meja dengan wakil-wakil dari masing-masing keluarga,
dan kemudian saling menukarkan cincin sebagai tanda cinta.
23. Kacar-Kucur/Tampa Kaya/Tandur. Dengan bantuan Pemaes, pasangan pengantin
berjalan dengan memegang jari kelingking pasangannya, ke tempat ritual kacarkucur atau tampa kaya. Pengantin pria akan menuangkan kacang kedelai, kacang
tanah, beras, jagung, beras ketan, bunga dan uang logam (jumlahnya harus genap)
ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah. Pengantin perempuan

menerima hadiah ini dengan dibungkus kain putih yang ada di pangkuannya
sebagai simbol istri yang baik dan peduli.
24. Dahar Kembul/Dahar Walimah. Kedua pengantin saling menyuapi nasi satu
sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah
dan senang dan saling menikmati milik mereka bersama. Pemaes akan memberikan
sebuah piring kepada pengantin perempuan (berisi nasi kuning, telur goreng,
kedelai, tempe, abon, dan hati ayam). Pertama-tama, pengantin pria membuat tiga
bulatan nasi dengan tangan kanannya dan menyuapkannya ke mulut pengantin
perempuan. Setelah itu ganti pengantin perempuan yang menyuapi pengantin pria.
Setelah makan, mereka lalu minum teh manis.
25. Rujak Degan. Acara pembuka untuk anak pertama, memohon supaya segera
memiliki anak. Rujak degan artinya agar dalam pernikahan selalu sehat sejahtera.
26. Bubak Kawah. Acara perebutan alat-alat dapur untuk anak pertama. Artinya
agar pernikahan keduanya sehat dan sejahtera.
27. Tumplak Punjen. Acara awal untuk anak bungsu. Artinya segala kekayaan
ditumpahkan karena menantu yang terakhir.
28. Mertui. Orang tua pengantin perempuan menjemput orang tua pengantin lakilaki di depan rumah untuk berjalan bersama menuju tempat upacara. Kedua ibu
berjalan di muka, kedua ayah di belakang. Orangtua pengantin pria duduk di
sebelah kiri pasangan pengantin, dan sebaliknya.
29. Sungkeman. Kedua pengantin bersujud memohon restu dari masing-masing
orangtua. Pertama-tama ayah dan ibu pengantin perempuan, kemudian baru ayah
dan ibu pengantin pria. Selama sungkeman, Pemaes mengambil keris dari
pengantin pria, dan setelah sungkeman baru dikembalikan lagi.
Itulah beberapa adat istiadat dan kebudayaan di kalangan masyarakat Jawa yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Di antaranya ada yang berupa syirik, dan di
antaranya ada yang berupa maksiat dan penghambur-hamburan harta dan
pemberatan atas manusia. Maha Benar Allah yang mengatakan:
"Kami tidak menurunkan Al-Qur`n ini kepadamu agar kamu menjadi susah"
[Thaha 20:2].
Siapa saja yang berpaling dari pedoman dan syariatnya pasti sempit dan susah
hidupnya, Allah berfirman:
"Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat

dalam keadaan buta". [Thaha/20:124].


E. Tabot atau Tabuik.
Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk
mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan
Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid
di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Perayaan di Bengkulu pertama kali dilaksanakan oleh Syaikh Burhanuddin yang
dikenal sebagai Imam Senggolo pada tahun 1685. Syaih Burhanuddin (Imam
Senggolo) menikah dengan wanita Bengkulu kemudian anak mereka, cucu mereka
dan keturunan mereka disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan
dari 1 sampai 10 Muharram (berdasar kalendar islam) setiap tahun.
Pada awalnya, inti upacara Tabot ialah untuk mengenang upaya pemimpin Syi'ah
dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak dan
memakamkannya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab, tabut,
yang secara harfiah berarti kotak kayu atau peti.
Dalam Al-Qur`n, kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab
Taurat. Bani Israil pada masa itu percaya bahwa mereka akan mendapatkan
kebaikan bila Tabot ini muncul dan berada di tangan pemimpin mereka. Sebaliknya
mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang.
Tidak ada catatan tertulis sejak kapan upacara Tabot mulai dikenal di Bengkulu.
Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut
paham Syi'ah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought
(1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggris
dari Madras dan Bengali di bagian selatan India yang kebetulan merupakan
penganut Islam Syiah.
Para pekerja yang merasa cocok dengan tata kehidupan masyarakat Bengkulu,
dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syaikh Burhanuddin, memutuskan tinggal dan
mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang dikenal dengan nama
Kelurahan Tengah Padang. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan
kepada keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli
dan menghasilkan keturunan yang dikenal dengan sebutan orang-orang Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi
dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan
dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenal dengan sebutan upacara Tabot.
Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman,
Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil. Namun dalam
perkembangannya, kegiatan Tabot menghilang di banyak tempat. Hingga pada

akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Bengkulu dengan nama Tabot dan
di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Keduanya
sama, namun cara pelaksanaannya agak berbeda.
Jika pada awalnya upacara Tabot (Tabuik) digunakan oleh orang-orang Syiah untuk
mengenang gugurnya Husain bin Ali bin Abi Thalib, maka sejak orang-orang Sipai
lepas dari pengaruh ajaran Syiah, upacara ini dilakukan hanya sebagai kewajiban
keluarga untuk memenuhi wasiat leluhur mereka. Belakangan, sejak satu dekade
terakhir, selain melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga dimaksudkan sebagai
wujud partisipasi orang-orang Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya
daerah Bengkulu setempat.
Dengan alasan melestarikan budaya itulah, banyak kaum muslimin melakukannya.
Padahal tidak diragukan lagi bahwa adat dan budaya seperti itu sangat jelas
bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan mengandung unsur syirik dan bidah.
Sehingga wajib bagi kaum muslimin untuk menjauhinya.
F. Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan.
Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang
berdasarkan persahabatan dan teritorial. Berbagai upacara adat yang
diselenggarakan antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.

Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.
Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.
Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.
Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.
Sunatan yaitu acara khinatan.

Masyarakat di Jawa Timur umumnya menganut perkawinan monogami. Sebelum


dilakukan lamaran, pihak laki-laki melakukan acara nako'ake (menanyakan apakah
si gadis sudah memiliki calon suami), setelah itu dilakukan peningsetan (lamaran).
Upacara perkawinan didahului dengan acara temu atau kepanggih. Untuk
mendoakan orang yang telah meninggal, biasanya pihak keluarga melakukan acara
kirim donga (kirim doa) pada hari ke-1, ke-3 (telung dino), ke-7 (pitung dino), ke-40
(patang puluh dino), ke-100 (satus dino), 1 tahun (pendak pisan), 2 tahun (pendak
pindo) dan 3 tahun atau 1000 hari setelah kematian (nyewu).
Acara-acara seperti ini berbau budaya Hindu yang masih dipertahankan oleh
sebagian masyarakat.
Kesimpulannya : Sebenarnya masih banyak lagi adat dan budaya yang menyebar di
tengah-tengah masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang benar.
Adapun yang kami sebutkan itu hanyalah sebagai contoh, dan bentuknya bisa
berubah-ubah dan bervariasi sesuai dengan perkembangan budaya itu sendiri.

Oleh karena itu, hendaklah kaum muslimin secara cermat meneliti asal usulnya,
apakah budaya itu mengandung unsur yang dilarang dalam agama atau tidak?
Sebab, kita harus menjadikan syariat Islam sebagai barometernya, bukan
sebaliknya. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, dan sebenarbenar pedoman adalah pedoman para salaf.
Marji`:
1. dbul-Khithbah wa Ziff Minal-Kitb wa Shahhis-Sunnah, Amru Abdul-Mun'im
Salim.
2. dbusy-Syar'iyyah, Ibnu Muflih.
3. Fathul-Bri, Ibnu Hajar al-Asqalni.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5. Mausuah Adab Islami, Abu Umar Abdul-Aziz bin Fathi bin as-Sayyid Nid`.
6. Ritual Budaya Tabot Sebagai Media Penyiaran Dakwah Islam di Bengkulu,
Bambang Indarto, Skripsi Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006.
7. Wikipedia Indonesia.

PENUTUP

Kesimpulan:
Dari makalah ini dapat kami simpulkan bahwan:
Berdasarkan beberapa riwayat yang telah disampaikan sebelumnya, kita
dapat mengetahui bahwa Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan
manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam
atau sejalan dengannya.
Kaum muslimin harus secara cermat meneliti asal usul suatu Budaya,
apakah budaya itu mengandung unsur yang dilarang dalam agama Islam
atau tidak. Sebab, kita harus menjadikan syariat Islam sebagai
barometernya, bukan sebaliknya. Karena sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Rasulullah, dan sebenar-benar pedoman adalah pedoman para
salaf.

Memfungsikan Masjid sebagai salah satu pusat kebudayaan (kebudayaan


Islam pada khususnya). Karena pada jaman sekarang ini, fungsi
kebanyakan masjid sebagai salah satu pusat kebudayaan mulai
menyempit. Kebanyakan masjid hanya digunakan sebagai tempat ibadah
saja. Jadi, kita seharusnya mengembangkan masjid-masjid sekarang
sebagai salah satu pusat kebudayaan.

Sumber:
http://almanhaj.or.id/content/2643/slash/0/pandangan-islam-terhadap-kebudayaan/
Buku Dasar Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya

Anda mungkin juga menyukai