Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi dikenal sebagai tekanan darah tinggi. Hipertensi adalah kondisi
peningkatan persisten tekanan darah pada pembuluh darah vaskular. Tekanan yang
semakin tinggi pada pembuluh darah menyebabkan jantung harus bekerja lebih
keras untuk memompa darah. Hipertensi telah mempengaruhi jutaan orang di
dunia karena sebagai silent killer.
WHO (World Health Organization) tahun 2013 penyakit kardiovaskular
telah menyebabkan 17 juta kematian tiap tahun akibat komplikasi hipertensi yaitu
sekitar 9,4 juta tiap tahun di seluruh dunia (A Global Brief on Hypertension,
2013). Untuk awal tahun 2013 terdapat lebih dari satu milyar penderita hipertensi.
Sebanyak dua pertiga penderita hipertensi berada di negara yang sedang
berkembang yang memiliki penghasilan rendah hingga sedang. Hal ini
menandakan kesejahteraan dan pekerjaan erat kaitannya dengan kejadian
hipertensi.
Menurut penelitian yang di publikasikan pada jurnal dari Hayes DK,
Denny CH, Keenan NL, Croft JB, Greenlund KJ (2008) menyebutkan bahwa 30%
responden yang menderita hipertensi cenderung menyebutkan bahwa dirinya
memiliki status kesehatan yang buruk dibandingkan dengan yang tidak hipertensi.
Status kesehatan yang buruk mengindikasikan kualitas hidup tidaklah baik.
Rakhmawati (2006) menyebutkan bahwa kualias hidup adalah persepsi individu
terhadap fungsi kehidupannya setelah terjadi perubahan status kesehatannya serta
dampak apa yang ia rasakan dalam hidup berkaitan dengan perubahan
kesehatannya, yang dinilai melalui komponen-komponen fungsi dan status fisik,
fungsi psikologis/mental, fungsi sosial, serta gejala yang berkaitan dengan
penyakit atau pengobatan yang dijalani dan persepsi terhadap kesehatan secara
umum. Setelah mengetahui diri terkena hipertensi, individu akan lebih waspada

terhadap

keluhan

yang

dirasakan

(terganggu

psikologis),

dan

keluhan

membuatnya merasa kurang pada aspek kesehatan secara keseluruhan.


1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan teori Precede-Proceed ?
2. Apa yang dimaksud diagnosa sosial ?
3. Bagaimana aplikasi diagnosa sosial dalam kehidupan ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian teori Precede-Proceed
2. Mengetahui pengertian diagnosa sosial
3. Mengetahui diagnosa sosial dalam kehidupan

BAB II
PEMBAHASAN
2

2.1 Model Precede-Proceed Digunakan dalam Promosi Kesehatan


Perilaku kesehatan dipengaruhi oleh faktor-faktor individu maupun
lingkungan, dan karena itu memiliki dua bagian yang berbeda. Pertama,
PRECEDE

(Predisposing,

Educational/Ecological,

Reinforcing,

Diagnosis,

Enabling,

Evaluation).

Constructs

Kedua,

in,

PROCEED

(Policy,Regulatory, Organizational, Constructs in, Educational, Enviromental,


Development). Salah satu yang paling baik untuk perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi program promosi kesehatan adalah model Precede- Proceed yang
dikemukakan oleh Green & Kreuter. Precede bagian dari fase (1-4) berfokus pada
perencanaan program, dan bagian Proceed fase (5-8) berfokus pada implementasi
dan evaluasi. Delapan fase dari model panduan dalam menciptakan program
promosi kesehatan, dimulai dengan hasil yang lebih umum dan pindah ke hasil
yang lebih spesifik. Secara bertahap, proses mengarah ke penciptaan sebuah
program, pemberian program, dan evaluasi program (Fertman, 2010).
PRECEDE/PROCEED adalah Model partisipasi masyarakat yang
berorientasi menciptakan masyarakat yang berhasil mengubah perilaku akibat
intervensi

promosi

kesehatan.

Dalam

perencanaan

program,

model

PRECEDE/PROCEED berfungsi sebagai frame. Tujuannya untuk membangun


program, menyediakan struktur organisasi & proses perencanaan, pelaksanaan
serta evaluasi.
Tiga hal dalam perencanaan program menggunakan Precede/Proceed
1. Fluiditas : menggunakan langkah secara berurutan dan konsisten
2. Fleksibilitas : beradaptasi dengan kebutuhan stakeholder
3. Fungsi : berguna untuk menaksir perubahan perilaku

Gambar 1. Model Precede-Proceed


2.2 Diagnosa Sosial
Diagnosis sosial adalah proses penentuan persepsi masyarakat terhadap
kebutuhan kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat untuk meningkatkan
kualitas hidupnya, melalui partisipasi dan penerapan berbagai informasi yang
dibentuk untuk meluaskan pemahaman masyarakat yang didesain sebelumnya.
Dalam fase ini, program menentukan bagaimana kualitas hidup dari
masyarakat tersebut secara spesifik. Diagnosis sosial membantu masyarakat
menilai kualitas hidupnya tidak hanya pada kesehatan. Untuk mengetahui masalah
itu maka sering digunakan indikator sosial dari kesehatan dalam populasi spesifik.
Hubungan sehat kualitas hidup, hubungan sebab akibat. Input (pendidikan
kesehatan, kebijakan, regulasi dan organisasi) menyebabkan perubahan outcome
(kualitas hidup).

Mengukur masalah sosial digunakan indikator sosial yaitu :

Absenteeism (Ketidakhadiran)
Achievement (Penghargaan)
Aesthetics (Estetika)
Alienation (Pengasingan)
Comfort (Kenyamanan)
Crime (Kejahatan)
Employment (Pekerjaan)
Discrimination (Diskriminasi)
Happiness (Kesenangan)

Hostility (Permusuhan)
Legitimacy (Hak Kekuasaan)
Performance (Penampilan)
Riots (Kerusuhan)
Self Esteem (Harga Diri)
Unemployment (Pengangguran)
Votes (Hak Suara)
Welfare (Kesejahteraan)

Kualitas hidup sulit didefinisikan dan sulit diukur. Ukuran

objektif (indikator sosial) : angka pengangguran, kepadatan hunian,


kualitas air. Ukuran subjektif : informasi anggota masyarakat tentang
kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu dan sumber
daya sosial. Misalnya informasi dari anggota masyarakat tentang kepuasan
hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu dan sumber daya
sosial.

Penilaian dapat dilakukan atas dasar data sensus ataupun

vital statistik yang ada, maupun dengan melakukan pengumpulan data


secara langsung dari masyarakat. Bila data langsung dikumpulkan dari
masyarakat, maka pengumpulan datanya dapat dilakukan dengan cara :
Review literature (hasil-hasil penelitian), data (misal BPS, media massa),
wawancara,

metode

grup

Nominal

Group

Process

(NGP),

Delphitechnique (angket), Focused Group Discussion (FGD)

Tujuan Diagnosis Sosial :

1. Menentukan masalah yang menyangkut kualitas hidup masyarakat


2. Memeriksa dan menjernihkan masalah dengan analisis indikator sosial
yang ada dan data yang tersedia
3. Membuat dokumentasi tentang status masyarakat dalam hubunganya
dengan prioritas masalah yang berhubungan dengan kesehatan
4. Mengungkapkan alasan penentuan prioritas masalah
5. Membuat dokumentasi dan rasionalisasi dalam memutuskan penggunaan
sumber daya
6. Menggunakan dokumentasi dan alasan tersebut sebagai dasar untuk
mengevaluasi program daam hal biaya dan manfaat

2.3 Aplikasi
2.3.1 Hubungan Hipertensi dengan Diagnosa Sosial

Hipertensi adalah suatu penyakit yang kronis, peningkatan

tekanan darah di atas tekanan darah normal (Kabo, 2010). Secara umum
hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah tinggi
menjadi masalah hanya bila tekanan darah tersebut persisten. Tekanan
darah tersebut membuat sistem sirkulasi dan organ yang mendapat suplai
darah termasuk jantung dan otak menjadi tegang (Palmer, 2005).

Prevalensi hipertensi masih tergolong sangat tinggi untuk


kasus penyakit tidak menular. Prevalensi hipertensi di Indonesia yang
didapat melalui pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 25,8% (Depkes
RI, 2013). Menurut badan penelitian kesehatan dunia World Health
Organization (WHO), untuk awal tahun 2013 terdapat lebih dari satu
milyar penderita hipertensi. Sebanyak dua pertiga penderita hipertensi
berada di negara yang sedang berkembang yang memiliki penghasilan
rendah hingga sedang. Hal ini menandakan tingkat kesejahteraan
seseorang berpengaruh besar terhadap kejadian

hipertensi. Semakin

rendah tingkat kesejahteraan seseorang maka akan mengakibatkan


bertambahnya tekanan/stressor.

Diantara faktor risiko yang mendorong seseorang terkena

hipertensi, stres lah yang menjadi faktor utamanya. Adapun stress ini dapat
berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik
personal. Stres yang berlarut larut dan dalam intensitas yang tinggi dapat
menyebabkan penyakit fisik dan mental seseorang, yang akhirnya dapat
menurunkan produktifitas kerja dan buruknya hubungan interpersonal.

Globalisasi dan perubahan arus pekerjaan menyebabkan

work-related stress pada penduduk di negara berkembang. Akibatnya,


banyak sekali diasosiasikan dengan beberapa penyakit tertentu, seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular, affective disorders, depresi, gangguan
metabolisme

(risiko

Diabetes

Melitus

Tipe

2)

dan

gangguan

muskuloskeletal (Akiwuni O, dkk., 2012). Work-related stress meliputi

satu pola reaksi yang muncul saat pekerja dihadirkan dengan tuntutan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan skill (Houtma I, dk.,
2007).

Stres

diasosiasikan

dengan

peningkatan

risiko

kardiovaskular sehingga penanganan stres penting untuk pencegahan


hipertensi. Stres karena pekerjaan mempunyai prevalensi 21-32% menjadi
hipertensi. Menurunkan tekanan darah sistolik 3 mmHg saja dapat
menurunkan mortalitas stroke sebesar 8% dan penyakit jantung koroner
sebesar 5% (Sima G, dkk., 2012).

Beberapa faktor yang meningkatkan risiko hipertensi dan

diabetes melitus pada penduduk yang tinggal di kota meliputi perubahan


pola diet (tinggi lemak, makanan hewani, konsumsi fast food, konsumsi
buah dan sayur yang rendah), aktivitas fisik yang kurang, stres karena
pekerjaan dan lingkungan. Determinan lain yang penting adalah perbedaan
dalam kualitas dan akses untuk mencari pelayanan kesehatan. Kedua
determinan ini banyak terdapat pada penduduk yang tinggal di perkotaan
sehingga deteksi dini dapat lebih ditingkatkan (Tareen M, dkk., 2011)

Status sosial ekonomi mempunyai korelasi kuat terhadap

kejadian hipertensi. Hal ini dinyatakan dalam penelitian Leigh J, dkk.,


tahun 2012. Hal ini ditentukan oleh status dalam pekerjaan dan tingkat
pendidikan. Faktor lain yang menentukan adalah seberapa berat pekerjaan
yang dilakukan, sehingga mengganggu kesehatan.

Bodenheimer TS, dkk., tahun 2009 mempunyai hipotesis,

yaitu seberapa besar tingkat pendapatan seseorang. Individu dengan


tingkat pendapatan yang rendah, terutama di Amerika Serikat; jarang
mempunyai asuransi kesehatan. Hipotesis oleh Clark AE, dkk., tahun 2008
menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang rendah mengakibatkan
kepercayaan diri yang rendah dan tidak bahagia. Pendapat ini didukung
oleh Blanchflower DG, dkk., pada tahun yang sama.

Steptoe A, dkk., tahun 2005 dalam penelitian menyebutkan

kebahagiaan dengan pekerjaan mempunyai hubungan dengan proses


neuroendokrin dan kardiovaskular, sehingga meningkatkan risiko kejadian
hipertensi. Faktor psikologis menstimulasi sistem biologis lewat sistem
saraf pusat dan mengaktivasi neuroendokrin, inflamasi, dan respons imun.

Di Indonesia terdapat Undang-Undang No.13 tahun 2003

yang mengatur tentang ketenagakerjaan. Karyawan yang bekerja 6 hari


dalam 1 minggu; jam kerja adalah 7 jam dalam 1 hari. Sedangkan untuk
karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu; jam kerja adalah 8 jam
dalam 1 hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi T, dkk., tahun 1996

menyatakan bahwa ABPM baik sistolik dan diastolik meningkat pada


individu yang bekerja lebih dari 88 jam per bulan. Hal ini didukung oleh
penelitian Charles, dkk., tahun 2012 bahwa individu yang bekerja lebih
lama mengalami peningkatan CIMT. Penebalan tunika intima media
menyebabkan perubahan struktural dari dinding pembuluh darah arteri.
Penebalan pada tunika intima media menyebabkan peningkatan tekanan
akibat lumen yang menyempit. Hal inilah yang memicu kejadian
hipertensi.

47,2%

individu

dengan

hipertensi

di

atas,

diduga

disebabkan karena subjek bekerja secara penuh 7-8 jam per hari selama 1
bulan. Sehingga bila dikalkulasikan, didapatkan hasil individu-individu
tersebut bekerja 210-240 jam per bulan. Kedua, subjek tersebut diduga
bekerja lembur; sehingga jam bekerja ditambah paling banyak 3 jam/hari,
yang

telah

diatur

dalam

Pasal

ayat

Peraturan

Menteri

no.102/MEN/VI/2004. Kedua hal ini diduga menyebabkan peningkatan


kejadian hipertensi.

menyatakan

Yang H, dkk., tahun 2006 dalam hasil penelitian


perbandingan

jam

kerja

dengan

risiko

hipertensi.

Dibandgingkan dengan individu yang bekerja 11-39 jam per minggu,


individu yang bekerja 40 jam per minggu 14% mempunyai hipertensi.

Individu yang bekerja 41-50 jam per minggu 17% mempunyai hipertensi,
dan individu yang bekerja > 51 jam 29% mempunyai hipertensi.

Ketiga, pekerjaan memberikan efek stresor bagi tubuh,

seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Sihombing M tahun 2010.


Stres yang bersifat kronis dapat mempengaruhi fungsi aksis hipotalamushipofisis-adrenal yang melepaskan norepinefrin dan memicu peningkatan
kortisol. Peningkatan kortisol dapat menyebabkan perubahan psikologis
berupa peningkatan nafsu makan. Kedua hal ini dapat memicu timbulnya
penyakit lain, seperti penyakit kardiovaskular; obesitas; sindrom
metabolik; dan lain-lain. Pekerjaan yang dilakukan dapat memicu
inaktivitas fisik dan perubahan pola makan. Tuntutan pekerjaan yang
tinggi, menyebabkan individu-individu mencari makanan cepat saji yang
less healhty atau mengandung banyak lemak.

Stres yang terus menerus dapat mencetuskan kejadian

depresi, terutama bila individu tersebut tidak dapat melakukan coping


mechanism (mekanisme adaptasi terhadap stres). Steptoe A, dkk.,
menyatakan bahwa mood yang depresi dikorelasikan dengan peningkatan
CRP dan sitokin pro-inflamasi sehingga mengakibatkan respons
norepinefrine secara terus menerus akibat stres dan defisiensi imun.
Plasma fibrinogen sebagai pertanda inflamasi dan kejadian penyakit
jantung koroner ditemukan meningkat > 12 kali pada individu yang
mempunyai tingkat kebahagiaan yang rendah. Peningkatan plasma
fibrinogen dapat menyebabkan viskositas darah meningkat, infiltrasi ke
dinding arteri, proliferasi sel aterogenik, dan aggregasi platelet.

Pendapat dari Owolabi A, dkk., tahun 2012, hasil penelitian

di Nigeria 26,2% subjek mengalami stres karena pekerjaan dengan


hipertensi sebagai akibat terutama yang timbul. Hal ini terjadi karena
globalisasi dan perubahan karakteristik bekerja menyebabkan peningkatan
work-related stress pada individu di negara berkembang. Stres akibat
pekerjaan merupakan masalah epidemi dari kehidupan modern, dan dapat
menimbulkan hipertensi; penyakit kardiovaskular; gangguan afektif;

depresi; gangguan metabolisme (risiko diabetes melitus tipe 2); dan


gangguan muskuloskeletal.

Faktor keempat yang diduga meningkatkan kejadian

hipertensi adalah lokasi tempat tinggal. Indonesia termasuk dalam negara


dengan tingkat pendapatan rendah-sedang. WHO menyatakan negara
dengan tingkat pendapatan tinggi mempunyai prevalensi kejadian
hipertensi 35% lebih rendah dibandingkan negara dengan tingkat
pendapatan yang lebih rendah, yaitu sebesar 40%. Hipertensi lebih banyak
didapatkan pada negara dengan tingkat pendapatan rendah sampai sedang
karena populasi penduduk lebih banyak didapatkan pada negara dengan
tingkat pendapatan rendah-sedang (A Global Brief on Hypertension,
2013).

Faktor kelima yang diduga terjadi adalah karena sistem

kesehatan yang rendah pada negara dengan tingkat pendapatan rendahsedang, sehingga banyak individu dengan hipertensi tidak terdiagnosis,
tidak mendapatkan pengobatan, tidak terkontrol. Negara dengan tingkat
pendapatan yang tinggi memiliki kemampuan dalam mendeteksi dan
mengobati hipertensi serta faktor risiko lain sehingga tingkat mortalitas
menurun (A Global Brief on Hypertension, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Fan L, dkk., tahun 2013

menyatakan laki-laki dengan beban pekerjaan yang tinggi mempunyai


tekanan darah sistolik 5,4 mmHg lebih tinggi dan 3,5 mmHg tekanan nadi
lebih tinggi dibandingkan laki-laki dengan beban kerja rendah.

Banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan hubungan

antara karakteristik pekerjaan atau stres akibat pekerjaan dengan kesehatan


kardiovaskular, tetapi studi lain menunjukkan hubungan kesehatan
kardiovaskular dengan stres di lingkungan keluarga.

Penelitian yang dilakukan oleh Thurston RC, dkk., tahun

2011 menyatakan bahwa pemberian tanggung jawab yang semakin besar


dalam tugas rumah tangga diasosiasikan dengan peningkatan ABP, baik
pada tekanan darah sistolik maupun diastolik, terutama pada individu
dengan tingkat pendapatan yang rendah. Kewajiban dalam melakukan

pekerjaan rumah tangga dapat mengganggu kesehatan kardiovaskular.


Pada penelitian tersebut, jenis kelamin tidak menentukan stres di
lingkungan keluarga. Tetapi studi lain menyebutkan, perempuan
mempunyai risiko lebih besar karena ada faktor anak.

2.3.2

Hubungan Hipertensi dengan Kualitas Hidup

Di samping implikasi terhadap organ, hipertensi dapat

memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi dan kualitas


hidup seseorang. Beberapa studi menyebutkan, individu dengan hipertensi
memiliki skor yang lebih rendah di hampir semua dimensi yang diukur
berdasarkan kuesioner WHOQOL dibandingkan dengan populasi. Hal ini
disebabkan hipertensi memberikan pengaruh buruk terhadap vitalitas,
fungsi sosial, kesehatan mental, dan fungsi psikologis. Pada beberapa studi
lain menyebutkan, individu dengan hipertensi mengalami gejala-gejala
seperti sakit kepala, depresi, cemas, dan mudah lelah yang mempengaruhi
kualitas hidup seseorang pada berbagai dimensi. Oleh karena itu, dalam
menangani individu dengan hipertensi sangat penting untuk mengukur
kualitas hidup agar dapat dilakukan manajemen yang optimal.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

PRECEDE/PROCEED

adalah

Model

partisipasi

masyarakat yang berorientasi menciptakan masyarakat yang berhasil


mengubah

perilaku

akibat

intervensi

promosi

kesehatan.

Dalam

perencanaan program, model PRECEDE/PROCEED berfungsi sebagai


frame. Tujuannya untuk membangun program, menyediakan struktur
organisasi & proses perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi.

Diagnosis

sosial

adalah

proses

penentuan

persepsi

masyarakat terhadap kebutuhan kualitas hidupnya dan aspirasi masyarakat


untuk meningkatkan kualitas hidupnya, melalui partisipasi dan penerapan
berbagai informasi yang dibentuk untuk meluaskan pemahaman
masyarakat yang didesain sebelumnya. Dalam fase ini, program
menentukan bagaimana kualitas hidup dari masyarakat tersebut secara
spesifik. Untuk mengetahui masalah itu maka sering digunakan indikator

sosial dari kesehatan dalam populasi spesifik. Ada 17 indikator yang


digunakan untuk mengukur masalah sosial.

Aplikasi diagnosa sosial dalam kehidupan salah satunya

adalah kejadian hipertensi. Diantara faktor risiko yang mendorong


seseorang terkena hipertensi, stres lah yang menjadi faktor utamanya.
Adapun stress ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial,
ekonomi, dan karakteristik personal. Stres yang berlarut larut dan dalam
intensitas yang tinggi dapat menyebabkan penyakit fisik dan mental
seseorang, yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas kerja dan
buruknya hubungan interpersonal. Jadi, hubungan antara hipertensi,
diagnosa sosial, dan kualitas hidup yaitu hipertensi dipengaruhi oleh
pekerjaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan, dimana variabel tersebut
merupakan indikator masalah sosial yang bisa berpengaruh pada kualitas
hidup individu.

DAFTAR PUSTAKA

Santoso, Stephanie Aurelia (2014) Profil penderita hipertensi di rumah


sakit Gotong Royong Surabaya. Undergraduate thesis, Widya Mandala
Catholic University Surabaya.

Merancang Program Promosi Kesehatan Berbasis Teori S A P 5


Precede/Proceed Model

http://helvetia.ac.id/elearning/file.php/1/SAP5_MERANCANG_PROGRAM.pdf

Diagnosa Sosial dan Epidemiologi

http://eprints.dinus.ac.id/6377/1/3.Dx_sosial_dan_Epidemiologi.pdf

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1002006214-3-bab%202.pdf
https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1002106016-3-BAB%20II.pdf
http://digilib.unila.ac.id/2379/8/BAB%20II.pdf

LAMPIRAN

SOAL

1. Lakukan diagnosa sosial Dan epidemiologi dilingkungan tempat tinggal


saudara. Lingkup masalah kecil saja. Misal RT/RW

2. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Propinsi Jawa Tengah


tahun 2013 diketahui bahwa :

a. Sebutkan indikator sosial yang dapat terlihat dari diagram tersebut!

Jawab : - Employment

- Unemployment

- Welfare

b. Kategori mana yang berhubungan dengan masalah kesehatan di

masyarakat?

Jawab : Kurang Aktif


c. Bagaimana alur permasalahan yang Anda pilih?
Jawab : Berdasarkan diagram di atas, diketahui bahwa usia non
produktif (10-14 dan 64+) sangat tinggi. Penduduk yang tidak sekolah
paling banyak, disusul dengan tidak tamat SD. Penduduk yang tidak
bekerja lebih juga paling banyak. Penduduk sebagian besar tinggal di
perkotaan. Hubungannya dengan aktivitas fisik yaitu tingginya jumlah
penduduk usia non produktif, penduduk tidak sekolah, penduduk tidak
bekerja, menyebabkan proporsi penduduk kurang aktif sebanyak 20,5%.

d. Sebutkan indikator sosial yang terlihat dari diagram tersebut!

Jawab : - Perfomance

- Comfort
e. Bagaimana alur permasalahan berdasarkan diagram tersebut?
Jawab : Berdasarkan diagram di atas, kualitas fisik air minum
rumah tangga yang termasuk dalam kategori baik paling rendah
dibandingkan kategori lain. Masalah yang timbul kemungkinan antara lain
rendahnya kualitas fisik air minum rumah tangga menyebabkan tingginya
angka kejadian diare di provinsi Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai