Full Text Final-Revisi 2 Perbandingan Ripasa Dan Alvarado Score Fix
Full Text Final-Revisi 2 Perbandingan Ripasa Dan Alvarado Score Fix
Diajukan Oleh:
Tofik Rahmanto
08/302912/PKU/11350
Kepada
BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
LEMBAR PERSETUJUAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa karya akhir ini: tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 12 Februari 2014
Tofik Rahmanto
KATA PENGANTAR
Dr.Sardjito maupun di seluruh rumah sakit jejaring, yang selama ini telah
memberikan bekal berupa ilmu dan pengetahuannya kepada penulis dalam
meraih derajat spesialis bedah.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
ii
PERNYATAAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ABSTRAK
xi
BAB I. PENDAHULUAN..............................................................................
A.
B.
C.
D.
E.
F.
1
4
4
4
5
5
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
Sejarah
......................................................................................
Embryologi dan Anatomi Apendiks
......................................
Fisiologi ......................................................................................
Epidemiologi
..........................................................................
Etiologi ......................................................................................
Patofisiologi
..........................................................................
Gambaran Klinis ..........................................................................
1. Gejala Apendisitis Akut
..................................................
2. Tanda Apendisitisi Akut
..................................................
Pemeriksaan Khusus Pada Apendisitis Akut
..........................
Pemeriksaan Penunjang ..............................................................
Differensial Diagnosis Apendisitis Akut ......................................
Terapi
......................................................................................
Sistem Skoring Klinis Untuk Apendisitis Akut ..........................
7
8
11
11
13
14
17
18
20
22
23
25
26
27
28
31
33
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
33
33
33
34
34
35
36
36
37
40
41
41
58
A. Simpulan ......................................................................................
B. Saran
......................................................................................
58
58
60
LAMPIRAN
46
49
53
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skor RIPASA
..............................................................................
30
..............................................................................
32
......................................................
..........................................
41
42
..................
45
47
48
...............................
50
Tabel 9. Area Under Curve skor RIPASA Dengan Cut Off Point 7,5 ...........
54
Tabel 10. Area Under Curve skor Alvarado Dengan Cut Off Point 7 ...........
55
...................
56
...............................
57
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks Vermiformis
...........................................
10
...........................................
...................
13
Gambar 5. Grafik ROC Untuk Skor RIPASA Cut Off Point 7,5
...................
53
...................
54
...............................
55
compared to the gold standard of histopathology findings. The analysis for ordinal or nominal
data uses Chi square test (Table 2x2) and Wilcoxon test. The significant difference is defined
as P0.05. ROC (Receiver Operating Curve) is used to describe the performance of both
scoring system in diagnosing acute appendicitis.
Result
The RIPASA score has a higher sensitivity, accuracy and negative predictive value compared
to the Alavarado Score; 92.94% vs. 83.52% (p=0.028), 75.24% vs. 67.61% (p=0.220), and
66.67% vs. 48.15% (p=0.007) respectively. The ROC for the RIPASA score was 0.815 (CI
95%, 0.711 0.920) and for the Alvarado score was 0.745 (CI 95%, 0.622 0.862). This
showed that the RIPASA score had a 7.3% higher capability in diagnosing acute appendicitis
than the Alvarado score.
Conclusion
The RIPASA score is a scoring system in diagnosing acute appendicitis with higher accuracy,
sensitivity, and negative predictive value compared to the ALVARADO score in Sardjito
General Hospital of Yogyakarta. Further studies with a prospective design is needed to have a
better conclusion of the result.
Keyword: acute appendicitis, RIPASA score, ALVARADO score, Sardjito General Hospital
10
Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik dengan desain potong lintang untuk
menentukan system skoring mana yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dalam penentuan diagnosis apendisitis akut, dengan menggunakan data retropsektif yang
diambil dari rekam medis di RSUP Dr. Sardjito, mulai Januari 2012 sampai dengan November
2013, dan hasil kedua sistem scoring akan dibandingkan dengan standar baku emas
histopatologi. Untuk data dengan skala ordinal maupun nominal dianalisis menggunakan Chi
square test (Tabel 2x2), dan uji Wilcoxon. Tingkatan perbedaan yang bermakna, didefinisikan
sebagai nilai P0,05. ROC (Receiver Operating Curve) dibuat untuk menilai performa dari
kedua sistem skoring dalam diagnosis apendisitis akut.
Hasil:
Skor RIPASA memiliki sensitivitas, akurasi serta nilai duga negatif (NDN) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan skor Alvarado; 92,94% vs 83,52% (p=0,028), 75,24% vs 67,61%
(p=0,220) dan 66,67% vs 48,15% (p=0,007), secara berurutan. Sedangkan luaran yang
membandingkan grafik ROC (Receiving Operator Curve) pada masing-masing system scoring
tersebut adalah sebesar 0,815 (CI 95%, 0,711 0,920) untuk skor RIPASA dan 0,745 (CI 95%,
0,622 0,862) untuk skor Alvarado, dengan perbedaan keduanya sebesar 0,073 (7,3%), yang
menunjukan bahwa dengan skor RIPASA, 7,3% pasien mampu terdeteksi lebih banyak
dibandingkan dengan skor Alvarado.
Simpulan:
Skor RIPASA merupakan system scoring apendisitis yang lebih baik karena mempunyai
akurasi, sensitivitas serta nilai duga negatif (NDN) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
skor Alvarado di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Penelitian lanjut dengan desain prospektif,
perlu dilakukan berikutnya untuk menghindari bias yang cukup bermakna.
Kata kunci: apendisitisakut, RIPASA, ALVARADO, RSUP Dr. Sardjito
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis
(umbai cacing).1,2 Penyakit ini diduga inflamasi dari caecum (usus buntu) sehingga
11
12
keputusan yang salah dalam diagnosis apendisitis akut, akan meningkatkan angka
apendektomi negatif yang berkisar antara 2% - 41%.4 Penelitian lain menyebutkan
kisaran apendektomi negatif yang lebih tinggi yaitu 20%-40%.3
Dalam tiga dekade terakhir, banyak sistem skoring apendisitis dikembangkan
dalam membantu para klinisi dalam penegakan diagnosis pasien-pasien dengan nyeri
perut yang dicurigai sebagai apendisitis akut. Beberapa sistem skoring lebih
dikhususkan untuk digunakan pada pasien anak-anak, dan beberapa sistem skoring lain
dikembangkan untuk populasi campuran, baik dewasa maupun anak-anak.5
Sistem skoring yang sudah sangat dikenal adalah sistem skoring Alvarado.
Pada tahun 1986, Alvarado mempublikasikan penelitiannya tentang skoring
apendisitis. Penelitian awal dilakukan pada dewasa dan anak-anak dengan range umur
dari 4 s/d 80 tahun (rerata 25,3). Skor 7 digunakan sebagai cut off untuk suatu resiko
tinggi apendisitis. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan tentang batas nilai
ambang tersebut, akan tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai angka 81% dan
74%.6
Skor RIPASA merupakan anggota terbaru dalam golongan sistem skoring
apendisitis yang berkembang. Dinamakan sesuai dengan rumah sakit tempat penelitian
di Brunei Darussalam. Dalam penelitian yang dilakukan secara retrospektif ini, Skor
RIPASA juga menggunakan populasi campuran baik dewasa maupun anak-anak yang
masuk unit gawat darurat (UGD) dengan nyeri perut kanan bawah dan dilakukan
13
apendektomi. 15 parameter tetap digunakan dalam sistem skoring ini dengan bobot
nilai antara 0,5, 1 dan 2, total skor maksimal yang dihasilkan adalah 16. Nilai ambang
(cut off point) yang digunakan pada skor RIPASA adalah 7,5 dimana pada angka
tersebut menunjukan sensitivitas 88% dan spesifisitas 67%, 3 Chong dkk pada tahun
2011 kemudian melanjutkannya dengan suatu penelitian yang membandingkan antara
skor RIPASA dan skor Alvarado. Hasil dari penelitian ini secara statistik menunjukan
bahwa skor RIPASA lebih superior dibanding dengan skor Alvarado dalam sensitivitas
(98% vs 68%), nilai duga negatif
Spesifisitas, nilai duga positif dan angka apendektomi negatif diantara keduanya tidak
bermakna secara statistik.7
Indonesia dan Brunei Darussalam adalah negara serumpun, dengan posisi
geografis terletak pada daerah Asia Tenggara, kedua negara ini relatif mempunyai
sebaran populasi masyarakat dengan etnis yang sama. Skor RIPASA di klaim
mempunyai keunggulan akurasi dibanding dengan skor Alvarado pada populasi
masyarakat Asia dan etnis oriental. Sampai saat ini belum banyak penelitian untuk
menguji realibilitas skor RIPASA ini pada pusat pendidikan dan kedokteran di wilayah
Asia terutama Asia Tenggara.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
14
nilai duga negatif serta menurunkan angka apendektomi negatif lebih baik
dibandingkan dengan skor Alvarado terutama pada populasi masyarakat di Yogyakarta
yang relatif sama dengan populasi sampel yang digunakan dalam penelitian
sebelumnya.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat sensitivitas, spesifisitas,
nilai duga positif, nilai duga negatif serta akurasi diantara sistem skoring RIPASA dan
sistem skoring Alvarado dalam diagnosis apendisitis akut di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut:
15
1. Mengetahui tingkat akurasi, sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga
negatif serta angka apendektomi negatif untuk kedua sistem skoring terutama di
RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta pada tahun 2012 s/d 2013.
2. Membantu evaluasi terhadap para peserta Program Pendidikan Spesialis Bedah I FK
UGM yang sedang menjalani residensi dalam menghadapi pasien-pasien dengan
kecurigaan apendisitis akut yang masuk ke UGD RSUP Dr.Sardjito dalam
penegakan diagnosisnya.
F. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya:
1. Comparison of RIPASA and Alvarado scores for the diagnosis of acute
appendicitis, oleh Chong CF dkk, tahun 2011, Penelitian prospektif ini
membandingkan skor Alvarado dan skor RIPASA dalam diagnosis apendisitis
akut terutama pada ras oriental dan etnis Asia. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa, skor RIPASA dengan nilai ambang 7,5 adalah sistem skoring untuk
apendisitis yang lebih baik dibandingkan dengan skor Alvarado. Yaitu dengan
sensitivitas sebesar 98% vs 68%, nilai duga negatif adalah 97% vs 71% dan
tingkat akurasi sebesar 92% vs 87%. Spesifisitas, nilai duga positif dan angka
apendektomi negatif diantara keduanya tidak terdapat perbedaan bermakna.
2. Alvarado versus RIPASA score in diagnosing acute appendicitis, oleh Ismail
Alnjadat dkk, tahun 2013, menyebutkan bahwa sensitivitas skor RIPASA dan
16
Alvarado adalah sebesar 93.2% vs 73,7%, nilai duga negatif untuk skor
RIPASA adalah 7,8% sementara skor Alvarado mempunyai nilai 8%. Peneliti
menyimpulkan bahwa, kedua sistem skoring tersebut dapat menurunkan angka
negatif apendektomi secara signifikan. Akan tetapi, menurut penelitian ini, skor
RIPASA mampu mengidentifikasi secara lebih signifikan proporsi pasienpasien apendisitis akut yang terlewat oleh skor Alvarado.
3. Akurasi sistem skor alvarado dalam menegakan diagnosis apendisitis akut,
oleh Untung Tranggono
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah
Apendiks vermiformis telah dikenal sebagai organ sejak akhir abad ke lima
belas, hal itu dengan jelas digambarkan dalam gambar anatomi yang dibuat oleh
Leonardo da Vinci pada tahun 1492, pertama dijelaskan secara rinci oleh Berengario
da Carpi pada tahun 1521, dan akhirnya, organ berbentuk seperti cacing diberi nama
apendix vermiform pada tahun 1530 oleh Vido Vidius (Guido Guidi).9
Apendiks awalnya tidak di identifikasi sebagai organ yang mampu
menyebabkan penyakit sampai abad ke sembilan belas. Pada tahun 1824, LouyerVillermay mempresentasikan sebuah makalah di Royal Academy of Medicine Paris.
Dia melaporkan pada dua kasus otopsi apendisitis. Pada tahun 1827, FranoisMelier,
seorang dokter Perancis, menguraikan kerja Louyer-Villermay's. Dia melaporkan enam
kasus otopsi dan yang pertama menunjukkan data antemortem dari apendisitis.8
Baron Guillaume Dupuytren percaya bahwa peradangan sekum itu adalah
penyebab utama patologi kuadran kanan bawah. Istilah dari typhlitis atau perityphlitis
digunakan untuk menggambarkan peradangan kuadran kanan bawah. Pada1839, buku
yang ditulis oleh Bright dan Addison berjudul Elements of Practical Medicine
18
19
20
21
22
hidupnya. 13,14 Dengan tingkat insidensi 1,5 sampai dengan 1,9 per 1000 pada pria dan
wanita. Kejadian apendisitis akut 1,4 kali lebih banyak pada pria dibanding wanita.3
Tingkat apendektomi adalah 12% untuk pria dan 25% untuk wanita, dengan
sekitar 7% dari semua golongan mempunyai resiko mengalami apendisitis akut selama
masa hidup mereka. Selama periode 10 tahun dari 1987 sampai 1997 jumlah operasi
apendektomi secara keseluruhan menurun secara paralel dengan penurunan
apendektomi insidental. Namun, jumlah operasi apendektomi pada apendisitis tetap
konstan sebesar 10 per10.000 pasien pertahun.
literatur disebut berkisar dari 2 41% dan beberapa peneliti menganggap, negatif
apendektomi yang tinggi dapat diterima dalam rangka meminimalisir kejadian
perforasi.4
Meskipun peningkatan penggunaan USG, computed tomography (CT), dan
laparoskopi, misdiagnosis apendisitis tetap konstan (15,3%). Prosentase kasus
misdiagnosis kasus apendisitis secara signifikan lebih tinggi pada wanita (22,2%)
dibandingkan pada pria (9,3%). Tingkat apendektomi negatif untuk wanita usia
reproduksi adalah 23,2%, dengan tingkat tertinggi pada wanita berusia 40 hingga 49
tahun. Tingkat apendektomi negatif tertinggi dilaporkan untuk wanita usia lebih dari
80 tahun. 8
Gambar 4. Angka apendektomi negatif pada kelompok umur 8
23
E. Etiologi
Obstruksi lumen adalah faktor dominan dalam etiologi apendisitis akut. Fekalit
merupakan penyebab paling umum dari obstruksi appendiks. Penyebab kurang umum
adalah hipertrofi jaringan limfoid, barium dari pemeriksaan x-ray sebelumnya, tumor,
biji sayuran dan buah, dan parasit usus. Frekuensi obstruksi meningkat dengan tingkat
keparahan proses radang. Fekalit ditemukan dalam 40% kasus apendisitis akut simpel,
65% kasus apendisitis gangren tanpa ruptur, dan hampir 90% kasus apendisitis
gangren dengan ruptur. 8
24
25
Ada dua faktor utama yang menyebabkan timbulnya apendisitis akut yaitu
faktor obstruksi dan faktor infeksi, dan dalam patofisiologisnya dapat dibagi menjadi 3
fase. 1
Fase Obstruksi
Dengan terjadinya obstruksi pada lumen apendiks menyebabkan mukus yang
diproduksi tidak dapat keluar dan menumpuk di dalam lumen apendiks sebelah distal
sumbatan. Akibatnya akan terjadi kenaikan tekanan intra lumen yang menekan dinding
apendiks. Dengan naiknya tekanan pada dinding apendiks maka vasa yang ada di
dinding juga ikut tertekan. Yang paling awal terkena adalah vasa limfatika, kemudian
vena, dan yang terakhir adalah arteri. Dengan adanya obstruksi akibat tekanan pada
saluran limfa dan vena menyebabkan ekstravasasi cairan dan terjadi edema dan
hemorrhagic edema.
Fase Inflamasi
Dengan adanya edema maka celah antar sel-sel epitel mukosa akan
merenggang, akibatnya terjadi translokasi mikroorganisme dari dalam lumen masuk ke
submukosa. Dengan masuknya kuman-kuman tersebut, akan terjadi inflamasi, akibat
inflamasi terbentuk pus (kumpulan kuman, neutrofil dan jaringan lain yang mati) yang
masuk ke dalam lumen (supurasi). Selanjutnya tekanan intraluminer bertambah tinggi
lagi sehingga arteri yang ada di dinding juga ikut tertekan.
26
Fase Perforasi
Dengan ikut tersumbatnya arteri di dinding apendiks menyebabkan iskemia
kemudian infark pada tempat yang sudah terinfeksi (gangren), sehingga terjadi
perforasi. Setelah perforasi dapat muncul komplikasi seperti periapendikuler infiltrat,
periapendikuler abses, atau peritonitis umum.
Penyebab obstruksi apendiks dapat bermacam-macam, diantaranya :
a. Sumbatan dalam lumen apendiks oleh fecalith/stercolith. Ini yang paling
banyak dijumpai sebagai penyebab apendisitis akut. Sumbatan dalam lumen
juga dapat oleh korpus alienum, misalnya biji-bijian, parasit atau telur parasit.
b. Tekukan/bengkokan/kingkin apendiks yang disebabkan oleh mesoapendiks
yang pendek atau adhesi dengan sekitarnya
c. Pembesaran folikel limfoid pada submukosa.
d. Stenosis/obliterasi pangkal apendiks yang biasa terjadi pada umur tua.
e. Pseudoobstruksi karena peristaltik yang melemah secara keseluruhan.
Infeksi pada apendiks yang dapat juga terjadi akibat penyebaran kuman secara
hematogen dari tempat lain, misalnya pada phenomia, tonsilitis, dan sebagainya. Pada
keadaan ini seluruh apendiks edema, tegang dan mengeras sehingga sering disebut
erectil apendiks 1
G. Gambaran Klinis
27
Apendisitis akut sering tampak dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apenditis ialah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Di sini nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatiksetempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.12
Bila letak apendiks reterosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh
sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan karena kontraksi muskulus psoas mayor yang meregang dari
dorsal.12
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena
28
29
Urutan gejala, meskipun tidak konstan, memiliki arti besar untuk diagnosis
banding. Pada > 95% dari pasien dengan apendisitis akut, anoreksia adalah gejala
pertama, diikuti dengan nyeri perut, yang diikuti, pada gilirannya, oleh muntah (jika
muntah terjadi). Jika muntah mendahului timbulnya rasa sakit, diagnosis usus buntu
harus dipertanyakan. 8
Keluhan pada apendisitis akut. 1
a. Nyeri Abdomen.
Nyeri abdomen adalah keluhan yang paling menonjol pada apendisitis akut. Pada
fase obstruksi nyeri dirasakan di epigastrium atau sekitar umbilikus, atau kadangkadang diseluruh abdomen, dan sifat nyerinya adalah kolik atau kadang-kadang
penderita sulit menjelaskan. Pada fase inflamasi nyeri bergeser ke kuadran kanan
bawah atau tepatnya di titik Mc Burney, dan ini terjadi sekitar 8 jam dari awal
keluhan nyeri. Pada penderita dengan caecum di dalam rongga pelvis, rasa nyeri
tidak di kanan bawah melainkan di supra pubis, dan pada apendiks letak retro cecal
atau terutama yang retroperitoneal rasa nyeri di pinggang kanan.
b. Mual dan muntah.
Mual dan muntah biasa terjadi pada awal, atau setelah terjadi komplikasi.
c. Obstipasi.
Obstipasi terjadi karena rasa nyeri sehingga takut untuk mengejan. Pada anak-anak
yang sering disertai diare karena rangsangan inflamasi pada rectosigmoid.
30
d. Febris.
Pada apedisitis akut biasanya subfebril. Bila panas tinggi mendahului rasa nyeri
abdomen kemungkinan bukan apendisitis akut, tetapi bila panas tinggi setelah nyeri
abdomen kemungkinan apendisitis akut sudah mengalami komplikasi.
Keluhan-keluhan lain yang biasa terjadi apabila apendiks yang mengalami inflamasi
menyentuh organ disekitarnya, misalnya keluhan disuria bila menyentuh kandung
kencing dan keluhan leucorrhea pada wanita bila menyentuh tuba atau uterus.
2. Tanda Apendisitis Akut
Temuan pemeriksaan fisik ditentukan terutama oleh posisi anatomi apendiks
yang meradang, ataupun juga apakah organ sudah pecah saat pasien pertama kali
diperiksa. Vital sign minimal sekali berubah oleh apendisitis tanpa komplikasi. Suhu
meningkat jarang >1 C dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Perubahan
lebih besar biasanya menunjukkan bahwa komplikasi telah terjadi atau yang diagnosis
lain harus dipikirkan. Pasien dengan apendisitis biasanya lebih suka untuk berbaring
telentang, dengan paha di fleksikan, khususnya paha kanan, karena setiap gerakan
meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk bergerak, mereka melakukannya secara
perlahan dan dengan hati-hati. (5)
31
memegangi perut sebelah kanan. Waktu terlentang tidak ada yang khas terlihat
pada abdomen.
b.
Palpasi:
Pada fase inflamasi dapat dijumpai, nyeri tekan pada iliaca kanan atau tepatnya
pada titik Mc Burney.
Kadang dijumpai kekakuan pada palpasi muskulus rektus kanan (right rectus
rigidity)
c.
Perkusi:
d. Auskultasi:
32
dalam
keadaan
lurus.
Pemeriksa
menekan
lutut
kanan
33
c. Obturator Sign.
Penderita dalam posisi terlentang, fleksi pada pangkal paha dan lutut kanan,
kemudian dilakukan endo eksorotasi paha. Bila positif penderita akan merasa
nyeri di perut kanan bawah.
d. Ten Horn Sign.
Ini khusus pada penderita pria. Penderita dalam posisi terlentang kemudian
testis kanan ditarik ke bawah, bila positif penderita akan merasa nyeri di perut
kanan bawah.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Biasanya
dijumpai
leukositosis
dan
neutrofilia.
Peningkatan
leukosit
merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk apendisitis akut, walaupun tidak spesifik.
Kadang-kadang angka leukosit masih dibawah 10.000 mmk, namun hemogram sudah
bergeser ke kiri (neutrofilia).16 Selain leukosit dan neutrophil, pemeriksaan urin juga
harus dilakukan. Urinalisis dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi saluran
kemih, walaupun 40% kasus apendisitis dapat mempunyai urinalisis yang abnormal
jika apendiks menempel dengan organ traktus urinarius.17
34
35
36
Dapat salpingitis, oophoritis atau tuboovarial abses. Adanya riwayat fluor albus
yang berbau, dan nyeri biasanya di supra pubic. Pada rectal toucher penderita
kesakitan waktu cervic uteri/portio digoyangkan.
h. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET).
Biasanya ada riwayat terlambat menstruasi. Klinis selain nyeri hebat pada perut
kanan bawah juga ada tanda-tanda kehilangan darah seperti anemia, dan syok.
Pada pemeriksaan test kehamilan biasanya positif.
i. Kolik ureter kanan.
Nyeri bergelombang sesuai arah perjalanan ureter, mulai dari angulus
costovertebralis kanan ke inguinal. Pada analisis urine dijumpai hematuria,
baik mikroskopis maupun makroskopis.
K. Terapi
Herbert Fitz (1886) adalah seorang peneliti yang pertama mempublikasikan
perlunya diagnosis dini dan operasi segera pada apendisitis akut. Resusitasi yang
cukup, diikuti dengan apendektomi yang dilakukan secara bijaksana adalah pilihan
terapi. Tidak ada bukti yang kuat untuk menunda pemberian analgetik pada pasien
apendisitis akut karena ketakutan akan mengaburkan gejala klinis. Semua pasien harus
mendapat antibiotik spektrum luas sebagai profilaksis untuk menurunkan insidensi
infeksi luka operasi serta pembentukan abses intra-abdominal paska operasi. Bila
sudah terdiagnosis apendisitis akut, harus dilakukan apendektomi segera. Teknik
konvensional yaitu dengan apendektomi terbuka melalui irisan pada titik McBurney
menjadi teknik yang selama ini dilakukan sebelum berkembangnya teknik laparoskopi
apendektomi.
37
menurun
secara
signifikan.
Sebuah
sistemik
review
tentang
perbandingan
38
suatu kejadian.23 Dalam karya akhir ini peneliti ingin menitik beratkan pada dua
sistem skoring yang akan dibahas, yaitu: skor RIPASA dan skor Alvarado. Kedua
sistem skoring ini, baik RIPASA dan Alvarado mempunyai item parameter yang
mudah dan dapat dilakukan dengan cepat dalam setting emergensi di ruang gawat
darurat.
1. Skor RIPASA 3
Merupakan sistem skoring apendisitis akut terbaru yang dikembangkan
dan mempunyai signifikansi yang lebih tinggi dalam sensitivitas, spesifisitas
dan akurasi dibanding skor Alvarado atau Skor Alvarado Modifikasi,
khususnya ketika di aplikasikan pada populasi masyarakat Asia atau Etnis
Oriental. Meskipun skor RIPASA lebih luas dibandingkan skor Alvarado, akan
tetapi skor RIPASA cukup sederhana untuk di aplikasikan dan ada beberapa
parameter pada skor RIPASA yang tidak ada pada skor Alvarado, seperti umur,
gender dan durasi gejala sebelumnya yang menyertai. Parameter-parameter
tersebut terbukti mempengaruhi sensitivitas dan spesifisitas.5
Raja Isteri Pengiran Anak Saleha (RIPAS) Hospital nama rumah sakit di
Brunei Darussalam dimana tempat penelitian ini dilakukan, dijadikan sebagai
nama sistem skoring apendisitis ini. 312 populasi campuran antara dewasa dan
anak-anak yang telah dilakukan apendektomi diteliti secara retrospective. Pada
skor RIPASA terdapat 14 parameter yang muncul pada gejala dan tanda, serta 1
parameter tambahan yang unik berupa data demografi dari pasien. Foreign
National Registration Identity Card (FNRIC) dijadikan salah satu parameter
39
pada skor RIPASA karena di Brunei Darussalam banyak warga asing (non
ASIA/etnis non oriental) yang bekerja dan terlingkupi asuransi.
Skor RIPASA mempunyai nilai maksimal adalah 16, dengan ambang ni
lai 7,5, sensitivitasnya adalah 88%, spesifisitasnya mencapai 67%, nilai duga
positif 93% dan nilai duga negatifnya adalah 53%. Untuk tingkat akurasi skor
ini yaitu pada angka 81%.
Skor RIPASA di klaim sebagai sistem skoring apendisitis baru yang
menjanjikan karena mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi diagnostik
untuk apendisitis akut yang baik.
Diagnostic Criteria
Sex
Value
Male 1.0
RLQ pain
Migration of RLQ pain
Anorexia
Nausea and Vomiting
Duration of Symptoms
Female 0.5
1.0 = < 39,9 years
1.5 = > 40 years
0.5
0.5
1.0
1.0
1.0 = < 48 hours
RLQ Tenderness
RLQ Guarding
Rebound Tenderness
Rovsing Sign
Fever (>37 - <39)
Raised WBC (not defined)
Negatif Urinalysis (no blood, neutrophils, bacteria)
Foreign National Registration Identity Card
Age
40
< 5,0
5,0 7,0
7,5 11,5
> 12
41
Diagnostic Criteria
Value
Anorexia
Nausea-Vomiting
Tenderness in RLQ
Rebound Tenderness
1`
42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik dengan rancangan cross sectional
untuk membandingkan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif
serta akurasi diantara dua sistem skoring diagnosis apendisitis akut yaitu skor RIPASA
dan skor Alvarado secara retrospektif.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Bedah FK UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
pada periode Januari 2012 sampai dengan November 2013.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini berasal dari data rekam medik, yang diambil dengan
cara consecutive non probability sampling. Dimana populasi terjangkau dalam
penelitian ini adalah semua penderita nyeri perut kanan bawah (Right Lower Quadrant
Pain/Right Illiac Fossa Pain) dicurigai sebagai apendisitis akut yang diterima oleh
bagian bedah di unit gawat darurat (UGD) RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta antara Januari
43
2012 sampai dengan November 2013, dan seluruh pasien tersebut menjalani operasi
apendektomi emergensi di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Terdapat total 144 sampel
sesuai data rekam medis dari komputer, dan hanya 105 pasien yang dimasukan dalam
penelitian ini.
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi adalah pasien dari semua kelompok umur yang masuk UGD
RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah dan
dicurigai sebagai apendisitis akut, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium, yang ditandai dengan ICD-X K35.9 pada pencatatan rekam
medik, dan telah dilakukan tindakan oeperasi apendektomi emergensi.
Kriteria Eksklusi adalah pasien dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah
dan dicurigai sebagai apendisitis akut, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium, yang ditandai dengan ICD-X K35.9 pada pencatatan rekam
medik, akan tetapi data-data rekam medis tidak lengkap, tidak terlacak atau tidak
terdapat hasil histopatologinya.
E. Besar Sampel Penelitian
Sampel yang diambil, merupakan keseluruhan populasi pasien dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah yang dicurigai sebagai apendisitis akut, yang masuk melalui
UGD dan dilakukan operasi apendektomi emergensi di RSUP Dr.Sardjito, selama
44
periode Januri 2013 sampai dengan November 2013. Besar sampel yang diteliti pada
penelitian ini adalah sebesar 105.
F. Cara Kerja
Penelitian ini meliputi 105 pasien dengan diagnosis apendisitis akut yang
datanya diambil dari rekam medis dengan cara komputerisasi dengan memasukan kode
ICD-X untuk apendisitis akut (K35.9). Diagnosis apendisitis akut, ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksan fisik dan laboratorium, dan dilakukan oleh
seorang chief residen bedah senior yang bertugas saat pasien datang. Operasi
apendektomi emergensi yang dilakukan, diambil berdasarkan keputusan klinis dari
chief residen bedah dan sudah melalui hasil konsultasi dan persetujuan Dokter
Penanggung Jawab Pasien (DPJP) yang berwenang pada saat itu. Spesimen hasil
operasi apendektomi kemudian dikirim ke bagian Patologi Anatomi RSUP Dr.Sardjito
Yogyakarta untuk kemudian diperiksa histopatologinya. Kesimpulan dari bagian
Patologi Anatomi digunakan sebagai standar acuan untuk menentukan diagnosis
apendisitis akut. Dari data pasien-pasien tersebut, kemudian dicocokan dengan skor
RIPASA dan skor Alvarado untuk menilai apakah keputusan klinis yang diambil sudah
sesuai dengan kriteria masing-masing skoring. Selanjutnya, data yang didapat,
dianalisis menggunakan chi-square dengan tabel 2 x 2 untuk menentukani akurasi,
sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan Receiver Operating
Curve (ROC) untuk melihat performa akurasi diagnosis dari masing-masing skoring.
45
46
I. Definisi Operasional
Apendisitis akut, dalam penelitian ini didefinisikan positif jika hasil histopatologi
menyimpulkan suatu jenis peradangan akut, supuratif, perforasi, gangren, infiltrat
ataupun abses.
Apendektomi negatif, dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hasil histopatologi
dari suatu apendektomi yang tidak termasuk dalam definisi apendisitis akut diatas.
Jenis kelamin (sex), dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua, yaitu pria dan
wanita.
Umur (age), dalam skor RIPASA, umur dibagi menjadi dua kelompok, yaitu < 39,9
tahun dan > 40 tahun.
RIF pain (Right Illiac Fossa Pain) didefinisikan sebagai keluhan nyeri perut kanan
bawah.
Durasi gejala dalam penelitian ini didefinisikan sebagai lamanya gejala dari onset
nyeri perut kanan bawah timbul pertama kali sampai saat dilakukan tindakan
apendektomi
Migration to RIF (Right Illiac Fossa) / RLQ (Right Lower Quadrant) dalam
penelitian ini didefinisikan sebagai keluhan nyeri atau dispepsia pada daerah epigastrik
atau periumbilikal yang kemudian berpindah ke perut kuadran kanan bawah.
47
48
Leukocytosis dalam penelitian ini menggunakan angka > 10.000 mmk baik untuk
sistem skoring Alvarado. Pada sistem skoring RIPASA, dalam literatur tidak
disebutkan jelas batas peningkatan angka leukosit. Sehingga peneliti menggunakan
standar skoring Alvarado yaitu >10.000 untuk menunjukan suatu keadaan leukocytosis
untuk kedua sistem skoring pada penelitian ini.
Negatif urinalysis pada penelitian ini, didefinisikan negatif jika hasil urinalisa tidak
menunjukan hasil eritrosituria, leukosituria ataupun bakteriuria
Pergeseran Hemogram (Shift to left) pada penelitian ini, didefinisikan jika terdapat
peningkatan Neutrophil > 75%
Foreign National Registration Identity Card (FNRIC) pada penelitian ini tidak diberi
nilai, karena sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah populasi masyarakat
lokal.
Kriteria Skor RIPASA positif (+) dalam penelitian ini menggunakan nilai 7,5 sebagai
ambang batas dianggap apendisitis akut, merujuk pada panduan total skor RIPASA,
yaitu:
<5
57
7,5 11
> 12
49
Kriteria Skor Alvarado positif (+) dalam penelitian ini, menggunakan nilai ambang
Akut
Non Akut
Laboratoris
ALVARADO
Pemeriksaan Fisik
50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
OUTCOME: Spesifisitas, Sensitivitas, Nilai duga negatif, nilai duga positif dan akurasi.
RIPASA : ALVARADO
105
39
144
Didapatkan data pada penelitian ini, pasien sebanyak 144 yang diambil dari
data rekam medis di komputer dengan memasukan kode ICD-X K 35.9 selama 23
bulan sejak Januari 2012 sampai dengan November 2013. Data bulan Desember 2013
tidak diikutsertakan, karena pengambilan data dilakukan pada awal bulan Desember
2013. Dari 144 data rekam medis pasien yang tercatat di Instalasi Catatan Medis RSUP
Dr.Sardjito Yogykarta, 14 pasien di eksklusi dari penelitian ini karena hasil
histopatologi tidak ditemukan. Kemudian terdapat 7 rekam medis yang tidak lengkap
51
datanya, dan 18 rekam medis tidak bisa dianalisa karena data rekam medis tidak
terlacak. Sehingga total sampel pada penelitian ini adalah 105.
Data karakteristik subyek penelitian ini ditunjukan melalui tabel berikut:
Tabel 4. Data Karakteristik Subyek Penelitian (N = 105)
Demografi
Jumlah (%)
Gender
Pria
Wanita
48 (45,7%)
57 (54,3%)
26,27 12,83
24,92 12,38
27,42 13,19
Kelompok Umur
<18 thn
18 thn
22 (20,95%)
83 (79,05%)
7 75
4,133 2,03
1 15
85 (80,95%)
20 (19,05%)
p=0,321
52
Dari Tabel 4 diatas, dari jumlah total pasien sebanyak 105 yang datang ke
UGD RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta dengan keluhan nyeri perut kanan bawah dan
didiagnosis sebagai apendisitis akut pada pria dibandingkan dengan wanita secara
berurutan adalah 48 (45,7%):57 (54,3%). Hal ini menandakan bahwa, pada penelitian
ini; terdapat lebih banyak populasi wanita didiagnosis menderita apendisitis akut
dibandingkan dengan pria, sehingga tidak bersesuaian dengan landasan teori yang ada,
bahwa rasio pria didiagnosis apendisitis akut lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
Penelitian ini mengambil sampel seluruh pasien dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah yang dicurigai sebagai apendisitis akut yang dirawat oleh bagian bedah,
berdasarkan data rekam medis dari komputer dengan memasukan kode ICD-X K 35.9,
sehingga cakupannya meliputi seluruh kelompok umur, baik anak-anak maupun
dewasa. Klasifikasi disebut anak-anak adalah pasien dengan umur <18 tahun (sesuai
kriteria WHO) dan 18 tahun disebut sebagai dewasa. Pasien anak-anak berjumlah 22
(20,95%) sedangkan dewasa sebesar 83 (79,05%).
penelitian ini adalah dari 7 hingga 75 tahun dengan rerata umur ( SD) adalah 26,27
12,8 (Pria = 24,917 12,4 / Wanita = 27,421 13,2). Dengan p=0,321(lebih dari
p=0,05) tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara rerata umur pria dan
wanita.
Semua pasien pada penelitian ini (N=105) menjalani operasi apendektomi
emergensi. Operasi yang dilakukan didasarkan pada keputusan klinis bersumber pada
hasil anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium saja. Terdapat
53
85 pasien atau 80,95% mempunyai hasil histopatologi positif (+) apendisitis akut,
sedangkan sisanya yaitu 20 pasien atau 19,05% hasilnya menunjukan bukan suatu
keadaan apendisitis akut. 18 pasien dengan histopatologi berupa apendisitis kronis, dan
2 pasien dengan ruptur abses tubo ovarial. Sesuai dengan terminologi, suatu
apendektomi dikatakan apendektomi negatif adalah jika hasil histopatologi jaringan
apendiks yang ditemukan dalam keadaan normal. Akan tetapi, dalam penelitian ini
sesuai dengan definisi operasional yang telah peneliti kemukakan di bab sebelumnya,
peneliti menganggap bahwa diluar hasil apendisitis akut, peneliti mengkategorikan
temuan histopatologi apendisitis non akut sebagai apendektomi negatif. Menurut
pendapat peneliti, hal tersebut mungkin sekali berkaitan dengan masalah medicolegal,
dimana jika suatu operasi dilakukan dan kemudian hasil dari histopatologi ternyata
tidak bersesuaian dengan diagnosis yang digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan operasi, hal tersebut ditakutkan akan menimbulkan permasalahan hukum
dikemudian hari. Sehingga untuk menghindari tuntutan hukum paska operasi, hasil
histopatologi berupa apendiks yang normal pada penelitian ini tidak ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Chong dkk tahun 2013,menyatakan lama
perawatan untuk suatu kasus apendisitis akut yang dilakukan apendektomi di RIPAS
Hospital Brunei Darussalam adalah 4,3 2 hari.7 Sedangkan pada penelitian ini, rerata
hari perawatan adalah 4,133 2,03 hari (Tabel 4). Dengan kisaran hari perawatan
antara 1 sampai dengan 15 hari.
54
False Positif
Ripasa Alvarad
7,5
True negative
Ripasa Alvarad
< 7,5
False negative
Ripasa Alvarado
< 7,5
< 7,0
Sampel Size
Male:femal
79
43:36
7,0
71
38:33
8
2:6
7,0
7
0:7
12
2: 10
< 7,0
13
4 :9
6
1 :5
14
6:8
e
Mean age
24,658
25,1127
31,5
31,143
29
29,385
35,166
26,857
SD(yrs)
12,826
13,4616
13,104
14,118
10,514
10,1615
13,272
11,1207
MeanTotal
1
9,7532
8,5366
6,417
5,154
8
6,50
5,643
Score SD
1,531
1,052;
1,1547
1,463 ;
0,8419
;range
; 7,50-
7-10
1,102 ; ; 7-10
0,6337
2-6
; 4,5
;3-6
Mean
13,50
4,165
4,1549
7-10
3,875
3,7143
; 5-7
3,667
3,769
7
5
4,5714
hospital
2,115
2,149
1,72
1,3801
1,15
1,423
2,757
2,2434
stay SD
; 1-15
;1-15
;2-6
;2-7
;2-9
;2-9
;range
;2-7
;2-6
(days)
Tabel 5 memperlihatkan distribusi dari 105 pasien yang dibagi menjadi empat
kelompok menurut cut off point 7,5 untuk skor RIPASA dan 7 untuk skor Alvarado.
Skor RIPASA dapat menggolongkan secara benar 79 (92,95%) pasien dengan
histopatologi positif (+) untuk apendisitis akut kedalam kelompok beresiko tinggi
(skor RIPASA 7,5) dibandingkan dengan 71 (83,52%) pasien dengan skor Alvarado
7. Kedua sistem skoring, baik skor RIPASA dan skor Alvarado dapat secara tepat
55
menggolongkan 12 (60%) dan 13 (65%) pasien yang tidak menderita apendisitis akut
kedalam kelompok true negative.
Rerata total skor RIPASA pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada
tabel 5. Kelompok True Positive mencapai rerata total skor RIPASA sebesar 9,7532
1,531 dengan kisaran skor 7,5-13,5, sementara kelompok kasus True Negative
mempunyai rerata total skor 6,417 0,6337 (kisaran skor 5 7).
Lama perawatan (lenght of stay) tampak lebih lama pada kelompok true
positive dan false positive dibandingkan dengan kelompok true negative. (Lihat tabel
5). Walaupun perbedaan tidak signifikan, dengan p=0,336 dan p=0,978 (lebih dari
p=0,05) tampaknya hal tersebut diakibatkan karena perawatan post operatif.
B. Hubungan Skor RIPASA dan Skor Alvarado TerhadapKelompok Umur
Sistem skoring RIPASA dan Alvarado, pada awalnya dikembangkan dengan
menggunakan populasi campuran dari semua umur untuk menyaring pasien-pasien
dengan apendisitis akut, baik pada anak-anak maupun dewasa. Dengan menggunakan
uji Wilcoxon, dapat dicari hubungan antara diagnosis dengan hasil histopatologi untuk
masing-masing kelompok umur. Dari total 105 pasien (100%), 22 (20,95%) pasien
adalah pasien anak-anak, dan 83(79,04%) pasien adalah dewasa. Karena terdapat
perbedaan proporsi antara diagnosis positif dan negatif pada kelompok umur < 18
tahun (anak-anak) tahun dan 18 tahun (dewasa) pada masing-masing skoring, maka
56
dapat ditentukan uji diagnostik mana yang lebih sensitif terhadap kelompok umur jika
dihubungkan dengan hasil histopatogi seperti tampak pada tabel 6 dan 7 dibawah ini;
Usia
RIPASA (+)
Skor 7,5
Positif
Diagnosis
< 18
Negatif
Total
Positif
Diagnosis
18
Total
Negatif
Histo PA
Positif
Negatif
21
0
(95,5%)
(0%)
0
1
(0%)
(4,5%)
21
1
(95,5%)
(4,5%)
58
8
(69,9%)
(9,6%)
6
11
(7,2%)
(13,3%)
64
19
(77,1%)
(22,9%)
Total
21
(95,5%)
1
(4,5%)
22
(100%)
66
(79,5%)
17
(20,5%)
83
(100%)
OR
IC 95%
Lower Upper
0,000
0,000
13,292
3,849
45,899
57
17 (20,5%). Dari data tersebut dinyatakan bahwa p=0,000 (kurang dari p=0,05)
sehingga terdapat hubungan bermakna antara skor RIPASA dengan hasil
histopatologis. Dengan ukuran resiko 13,292 (CI 95%, 3,849 45,899), menyatakan
bahwa resiko orang yang didiagnosis positif dengan skor RIPASA akan memiliki hasil
histopatologi yang positif adalah sebesar 13,292 kali lebih besar daripada diagnosis
negatif oleh skor RIPASA. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa skor RIPASA
sensitif untuk kelompok umur dewasa.
Usia
ALVARADO (+)
Skor > 7
Positif
Diagnosis
< 18
Negatif
Total
Positif
Diagnosis
18
Total
Negatif
Histo PA
Positif
20
(90,9%)
1
(4,5%)
21
(95,5%)
51
(61,4%)
13
(15,7%)
64
(77,1%)
Negatif
0
(0%)
1
(4,5%)
1
(4,5%)
7
(8,4%)
12
(14,5%)
19
(22,9%)
Total
20
(90,9%)
2
(9,1%)
22
(100%)
58
(69,9%)
25
(30,1%)
83
(100%)
OR
IC 95%
Lower
Upper
2,209
20,477
0,001
0,000
6,725
58
diagnosis dan hasil histopatologi dalam kelompok umur < 18 tahun. Ukuran resiko
tidak dapat diukur karena terdapat sel yang tidak ada nilainya. Sedangkan pada
kelompok umur 18 tahun (dewasa), dari total 83 pasien, terdapat kelompok true
positive sebanyak 51 (61,4%), false positive 7 (8,4%), false negative 13 (15,7%) dan
true negative sebesar 12 (14,5%). Terdapat hubungan yang bermakna antara diagnosis
dan hasil histopatologi pada kelompok umur 18 tahun dengan p=0,000 (kurang dari
p=0,05). Dengan ukuran resiko dinyatakan sebesar 6,725 (CI 95%, 2,209 20,477),
berarti bahwa resiko orang yang didiagnosis positif dengan skor Alvarado positif pada
histopatologi yang positif adalah sebesar 6,725 kali lebih besar daripada didiagnosis
negatif. Sehingga dapat dikatakan bahwa skor Alvarado juga sensitif untuk pasien
dewasa.
C. Perbandingan Skor RIPASA vs Skor Alvarado
Skor Alvarado, yang ditemukan oleh Alfredo Alvarado tahun 1986, merupakan
sistem skoring tambahan yang sederhana untuk membantu diagnosis apendisitis akut. 6
Meskipun memperlihatkan sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik pada populasi
Barat, akan tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa skor Alvarado mempunyai
keterbatasan terutama jika diaplikasikan pada populasi masyarakat di Asia atau etnis
oriental.7 Sehingga perlu dikembangkan suatu sistem skoring apendisitis yang cocok
dengan populasi masyarakat Asia dan etnis oriental. Chong CF dkk, tahun 2010
kemudian mengembangkan suatu sistem skoring untuk apendisitis yang di klaim
mempunyai keunggulan melebihi skor Alvarado. Walaupun memiliki parameter yang
59
lebih banyak, akan tetapi skor RIPASA mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
baik dibanding skor Alvarado (88% dan 67% vs 59% dan 23%) pada populasi
masyarakat Asia dan etnis oriental.3,6
Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik, sehingga ditujukan terutama
untuk mencari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi
dan tingkat apendektomi negatif antara dua sistem skoring apendisitis yaitu skor
RIPASA dan skor Alvarado. Peneliti menetapkan untuk memakai nilai ambang batas
(cut off point) 7,5 untuk skor RIPASA dan 7 untuk skor Alvarado, sesuai dengan
batas cut off point yang disarankan dalam literatur penelitian ini.7
ALVARADO (%)
Sensitivitas
92,94%
83,52%
0,028
Spesifisitas
60%
65%
0,391
Akurasi
75,24%
67,61%
0,220
NDP
90,80%
91,03%
0,810
NDN
66,67%
48,15%
0,007
PLR
2,323
2,3862
NLR
0,11766
0,2535
NA
17,1%
25,7%
0,128
60
*NDP: Nilai Duga Positif, NDN: Nilai Duga Negatif, PLR:Positive likelyhood Ratio,
NLR: Negative Likelyhood Ratio, NA: Negative Appendectomy, Confident Interval
(CI) 95%.
Uji validitas menggunakan tabel 2 x 2 digunakan untuk mencari nilai
sensitivitas, spesifisitas, akurasi, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio
kemungkinan positif, rasio kemungkinan negatif dan angka apendektomi negatif. Pada
tabel 7 diatas, dengan cut off point 7,5 untuk skor RIPASA dan 7 untuk skor
Alvarado, pasien dapat menjadi dua, yaitu kelompok beresiko tinggi dan beresiko
rendah. 92,94% pasien dapat tepat didiagnosis dengan skor RIPASA dan hanya
83,52% tepat dapat didiagnosis dengan skor Alvarado (0,0952381, 95%CI 0,0101455
0,180331, p=0,028). Yang berarti, skor RIPASA lebih sensitif karena dapat
menyaring pasien dengan apendisitis akut lebih baik dibandingkan dengan skor
Alvarado.
Nilai spesifisitas dari skor RIPASA dan Alvarado secara berturut adalah 60% vs
65% dengan p=0,391(lebih dari p=0,05). Sehingga dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan statistik yang bermakna diantara kedua
sistem skoring dalam spesifisitasnya.
Akurasi diagnosis skor RIPASA dalam mendiagnosis secara tepat suatu
apendisitis akut lebih tinggi dibandingkan dengan skor Alvarado yaitu mencapai angka
75,24% vs 67,61%. Walaupun demikian, tidak terdapat perbedaan bermakna antara
akurasi dari kedua sistem skoring tersebut, ditunjukan dengan p=0,220 (lebih dari
p=0,05).
61
Nilai duga positif (NDP) untuk skor RIPASA adalah 90,80%, sedangkan skor
Alvarado adalah 91,03%. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik ditunjukan
dengan p=0,810 (lebih dari p=0,05). Ini berarti masing-masing sistem skoring mampu
mendeteksi pasien yang benar-benar menderita apendisitis akut (true positive) pada
seluruh populasi sampel yang memiliki hasil skor RIPASA dan Alvarado positif (+)
dengan sama baiknya.
Nilai duga negatif (NDN) dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk
mendeteksi pasien yang tidak menderita apendisitis akut pada populasi sampel yang
mempunyai skor RIPASA dan Alvarado negatif (-). NDN untuk skor RIPASA adalah
sebesar 66,67%, sedangkan untuk skor Alvarado sebesar 48,15%. Terdapat perbedaan
statistik yang bermakna antara dua sistem skoring, yaitu ditunjukan dengan p=0,007
(kurang dari p=0,05).
Rasio kemungkinan positif (positive likelyhood ratio) dan Rasio kemungkinan
negatif (negative likelyhood ratio) pada skor RIPASA dan skor Alvarado adalah 2,323
vs 2,386 dan 0,11766 vs 0,2535. Nilai RKP lebih dari 1, yang berarti menunjukan
bahwa skor RIPASA dan skor Alvarado mempunyai hubungan dengan adanya
apendisitis akut pada populasi sampel.
Hasil dari output data yang dianalisa, menunjukan angka apendektomi negatif
pada kedua sistem skoring tidak bermakna secara statistik, yaitu dengan p=0,128 (lebih
dari p=0,05), apendektomi negatif untuk skor RIPASA adalah sebesar 17,1%,
sedangkan untuk skor Alvarado adalah sebesar 25,7%. Mengacu berdasarkan
62
keputusan klinis, akan didapatkan nilai apendektomi negatif adalah sebesar 19,05%
(n=20). Walaupun secara statistik angka tersebut tidak terdapat perbedaan secara
bermakna, akan tetapi apabila dibandingkan dengan hasil dari pada penelitian ini,
angka apendektomi negatif akan turun sebanyak 1,95% untuk skor RIPASA, dan naik
sebanyak 6,65% untuk skor Alvarado.
R
O
C
u
r
v
e
.0
1
0
.8
63
Sensitvy
.0
0
6
.0
4
.0
2
.0
.D
0
.
2
0
.
4
0
.
6
0
.
8
1
.
0
1
S
p
e
c
i
f
t
y
ia
g
o
n
a
lse
g
m
e
n
tsa
ro
d
u
ce
d
b
tie
s.
Gambar 5 . Grafik ROC Untuk Skor RIPASA Cut Off Point 7,5
R
O
C
u
r
v
e
.0
1
0
.8
64
Sensitvy
.0
0
6
.0
4
.0
2
.0
.D
0
.
2
0
.
4
0
.
6
0
.
8
1
.
0
1
S
p
e
c
i
f
t
y
ia
g
o
n
a
lse
g
m
e
n
tsa
ro
d
u
ce
d
b
tie
s.
Dari kedua grafik tersebut, didapatkan nilai AUC untuk skor RIPASA dengan
cut off point 7,5 adalah sebesar 0,850 (CI 95%, 0,739 0,961) yang berarti, akurasi
dari skor RIPASA dengan cut off point 7,5 adalah sebesar 85%, dan skor Alvarado
dengan cut off point 7 adalah sebesar 0,880 ( CI 95%, 0,800 0,959) yang berarti,
akurasi skor Alvarado adalah sebesar 88%. (Lihat Tabel 10 dan Tabel 11)
65
Area
,850
Std. Error
,057
Asymptotic
b
Sig.
,000
The test result variable(s): Total RIPASA has at least one tie between the
positive actual state group and the negative actual state group. Statistics
may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
Tabel 9. Area Under Curve Skor RIPASA Dengan Cut Off Point 7,5
Area
,880
Std. Error
,041
Asymptotic
b
Sig.
,000
The test result variable(s): Total Alvarado has at least one tie between
the positive actual state group and the negative actual state group.
Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
Tabel 10. Area Under Curve Skor ALVARADO Dengan Cut Off Point 7
Hasil analisa data memperlihatkan optimal cut off point yang menurut
penelitian ini jika mengacu pada output ROC yang dihasilkan adalah 7,75 untuk skor
RIPASA, karena memiliki sensitivitas tertinggi 0,824 (82,4%) dan nilai spesifisitas
yang juga tinggi yaitu 0,650 (65%). Sedangkan untuk skor Alvarado, cut off point yang
dihasilkan adalah 6,5 dengan sensitivitas 0,812 (81,2%) dan nilai spesifisitas 0,550
(55,0%). (Gambar 7)
R
O
C
u
r
v
e
S
o
u
r
c
e
o
f
t
h
e
C
u
r
v
e
.0
1
0
T
o
t
a
l
R
I
P
A
S
v
a
r
d
o
R
e
f
r
n
c
e
L
i
n
e
.8
66
Sensitvy
.0
0
6
.0
4
.0
2
.0
.0
.2D
.ia
0
4
0
.
6
0
.
8
1
.
0
-gonaS
1
ilsgm
p
e
c
fntsy
a
re
p
o
d
u
ce
d
b
ytie
s.
Gambar 7. Grafik Receiver Operating Curve (ROC) skor RIPASA vs skor Alvarado
Berdasar Data Penelitian
Dari output ROC tersebut didapatkan nilai AUC (Area Under Curve) untuk
total skor RIPASA sesuai dengan data penelitian (tanpa memperhatikan cut off point
7,5 untuk skor RIPASA dan 7 untuk skor Alvarado) (Lihat Tabel 11) adalah sebesar
0,815 (CI 95%, 0,711 0,920)) dan AUC untuk skor Alvarado adalah 0,745 (CI 95%,
0,622 0,862). Terdapat perbedaan sebesar 0,073 (7,3%), yang menunjukan bahwa
dengan skor RIPASA, sebanyak 8 = 7,3% pasien mampu terdeteksi lebih banyak
dibandingkan dengan skor Alvarado. Sehingga menurut penelitian ini, dapat
67
disimpulkan bahwa akurasi diagnosis skor RIPASA lebih baik dibandingkan dengan
skor Alvarado.
Tabel 11. Area Under Curve skor RIPASA vs skor Alvarado
Are a Unde r the Curve
Asymptotic
b
Sig.
,000
,001
Area
,815
,742
Std. Error
,053
,061
The test result variable(s): Total RIPASA, Total Alvarado has at least one tie between the positive
actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5
Sehingga, jika dibandingkan antara cut off point antara literatur dan penelitian
ini, dengan p=0,567 (lebih dari p=0,05) berarti, antara skor RIPASA dengan cut off
point 7,5 dan 7,75 memberikan akurasi diagnosis yang sama. Sedangkan pada skor
Alvarado dengan p=0,016 (kurang dari p=0,05), disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan skor Alvarado dengan cut off point 7 dan 6,5. Sehingga sebaiknya dalam
melakukan diagnosis menggunakan skor Alvarado, digunakan cut off point 7 karena
lebih besar nilai akurasinya. (Lihat Tabel 11)
Alat Tes
AUC
IC 95%
Lower
Upper
0,815
0,711
0,920
7,75
Ripasa cut off 7,5
0,850
0,739
0,961
0,745
0,622
0,862
6,5
Alvarado Cut off
0,880
0,800
0,959
p
0,567
0,016
68
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Skor RIPASA merupakan sistem skoring apendisitis yang lebih baik karena
mempunyai akurasi, sensitivitas serta nilai duga negatif (NDN) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan skor Alvarado di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta.
2. Tidak terdapat perbedaan statistik yang bermakna untuk nilai spesifisitas, nilai
duga positif maupun angka apendektomi negatif diantara dua sistem skoring
apendisitis tersebut. Walaupun demikian, jika menggunakan skor RIPASA
angka apendektomi negatif akan turun sebanyak 1,95%.
B. Saran
1. Skor RIPASA sebagai sistem skoring apendisitis yang baru, mempunyai
parameter sederhana yang mudah diaplikasikan dan terbukti mempunyai
kelebihan dalam akurasi dan sensitivitas dibandingkan dengan skor Alvarado.
Sehingga sebagai sistem skoring tambahan dalam proses penegakan diagnosis
pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang dicurigai sebagai
apendisitis akut, penggunaannya dalam proses pendidikan residen di bagian
bedah sangat bermanfaat.
2. Ketelitian dan pencatatan data klinis berupa anamnesis, pemeriksaan fisik,
laporan operasi serta laboratorium yang lengkap oleh peserta didik harus
69
DAFTAR PUSTAKA
70
71
9. Ansaloni L, Catena F, Pinna AD. What is the function of the human vermiform
appendix? Eur Surg Res 2009;43:67-71
10. Geethanhali HT, Laksmi PS. A study of variations in the position of vermiform
appendix. Anatomica Karnataka 2011; Vol-5,(2) p. 17-23
11. Ellis H. Applied anatomy of abdominal incision. Br J Hosp Med
2010;71(3):M36-M37
12. Hamami AH (alm), Pieter J, Riwanto Ign., Tjambolang T. Usus halus,
apendiks, kolon dan anorektum. In:Sjamsuhidajat R, De Jong W, editors. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997,
p.833-924
13. Alnjadat I, Abdallah B. Alvarado versus ripasa score in diagnosing acute
appendicitis. Rawal Medical Journal 2013; Vol.38.No.2
14. Dholia K R, Shaikh M S, Abro A A, Shaikh S A, Soomro S H, Abbasi M A.
Evaluation of alvarado score in diagnosis of acute appendicitis. Pakistan
Journal of Surgery 2009; Vol.25, Issue 3
15. Chong CF, Thien A, Mackie AJA, Tin AS, Tripathi S, Ahmad MA et al.
Evaluation of the ripasa score: a new scoring system for the diagnosis of acute
appendicitis. Brunei Int Med J 2010; 6(1):17-26
16. Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ 2006;333;520-534
17. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, Rallis GE, Tshioulus DI,
Chatzivasiliou A et al. A new approach to accurate diagnosis of acute
appendicitis. World J. Surg. 2005; 29,1151-1156
18. Kalliakmanis V, Pikoulis E, Karavokyros IG, Felekouras E, Morfaki P,
Haralambopoulou G et al. Acute appendicitis: the reliability of diagnosis by
clinical assesment alone, Scandinavian Journal of Surgery 2005;94:201-206
72