Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Mual dan Muntah
Mual didefinisikan sebagai sensasi subyektif yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan rasa ingin muntah. Mual adalah suatu kontraksi ritmik dan
spasmodik dari otot-otot pernafasan termasuk diafragma, dinding dada dan otot-otot
abdomen, tanpa disertai ekspulsi isi lambung. Sedangkan muntha adalah keluarnya isi
lambung melalui mulut akibat dari kontraksi yang kuat dari otot-otot abdomen,
penurunan dari diafragma dan membukanya spinchter cardiac di gaster. (Habib dan Gan,
2006)
B. Fisiologi Mual dan Muntah
Muntah merupakan gerakan refleks alamiah terhadap stimulus, baik di perifer atau
sentral, dan melibatkan koordinasi yang komplek dai aktivitas gastrointestinal,
diafragma, otot-otot pernapasan dan jalan nafas. Stimulus di perifer dapat terjadi pada
bagian orofaring, mediastinum, saluran cerna atau peritoneum. Sedangkan di sentral
terjadi pada korteks serebri, labirin dan vestibuler. (Kovac, 2006; Cameroon dan Gan,
2003)
Secara umum terdapat lima sumber rangsangan atau input aferen (perifer dan
sentral) ke pusat muntah, yaitu (1) CTZ (chemoreseptor triger zone), (2) sistem
vestibularis, (3) stimulasi pada daerah faring, (4) stimulasi nervus vagus dan aferen
enterik, dan (5) pusat yang lebih tinggi di susunan saraf pusat. (Katzung,2004)
Pusat muntah meduler terletak di formatio retikularis lateralis dari medula, dekat
dengan ventrikel IV serebral. Pusat itu menerima impuls dari CTZ , apparatus
vestibularis, serebelum, korteks dan batang otak, dan nucleus tractus soliterius. Strukturstruktur ini sangat kaya dengan reseptor dopaminergik, muskarinik, serotoninergik,
histaminik dan opioid. Blokade pada reseptor-reseptor tersebut yang mendasari
mekanisme kerja obat-obat antiemetik. Jalur eferen dihantarkan melalui nervus kranila V,
VII, IX, X dan XII ke traktus gastrointestinal dan juga melalui nervus spinalis ke
6

diafragma dan otot-otot abdominal untuk menimbulkan mekanisme aksi muntah. (Ku
dan Ong, 2003)

Kecemasan

Nyeri

Bau, rasa,
pandangan

Pusat Korteks

Serebelum

Pusat Muntah

Sistem
vestibuler

Nucleus
Tractus
Solitarius

Input
glosofaringeal
dan
trigeminal

Stimulasi simpatis
Dan parasimpatis

Faring

CTZ

Anestesi umum
Penggunaan opioid
Abnormalitas
metabolik

Kardiak
Traktus bilier
Traktus
gastrointestinal
Traktus
genitourinarius

Gambar 1. Input aferen sentral dan perifer ke pusat muntah (Ho dan Gan, 2008)
C. Patofisiologi Mual dan Muntah Pasca Operasi
Fisiologi dari reflek mual dan muntah secara umum telah diketahui, tetapi jalurjalur yang ikut mengontrol terjadinya mual dan muntah pasca operasi belum dapat
diterangkan dengan jelas, karena patogenesis dari PONV adalah multifaktorial. Stimulasi
7

faring yang dihantarkan melalui nervus ke IX dapat menimbulkan reflek muntah.


Tindakan yang berhubungan dengan reflek ini adalah intubasi, manipulasi selang
endotrakheal, serta operasi yang berada di daerah faring (misalnya operasi tonsilektomi).
Iritasi pada mukosa usus akibat distensi, stimulasi operasi pada daerah perut dan
kemoterapi akan mengeluarkan serotonin dan mengaktifkan reseptornya sehingga
menimbulkan respon vagal menuju pusat muntah dan chemoreceptor triger zone / CTZ.
(Stoelting dan Hillier, 2001)
Berdasarkan dari model penelitian terbaru, struktur pada otak saling berikatan
dalam menentukan terjadinya mual dan muntah, tidak hanya terpusat pada pusat mual
dan muntah atau yang biasa disebut dengan vomiting centre yang berada di medulla
oblongata di batang otak. (Diemunsch, Joshi dan Brichant, 2009). Beberapa struktur
seperti CTZ yang terletak di sisi kaudal dari ventrikel ke-4 di area postrema dan pada
struktur nukleus traktus solatarius / NTS yang berada di area postrema dan dibawah pons
berpengaruh dalam menimbulkan mual dan muntah. Sinyal yang didapatkan oleh CTZ
dapat berupa dari sinyal aferen vagal yang berada di traktus gastrointestinal, dan juga
toksin emetogenic, gangguan metabolik dan sirkulasi obat dalam darah dan cairan
serebrospilan (LCS).
D. Faktor Resiko Terjadinya Mual dan Muntah Pasca Operasi
Pasien yang mendapat terapi antiemetik beresiko untuk timbulnya efek samping
pasca pemberian antiemetik, sehingga identifikasi faktor resiko untuk terjadinya mual
dan muntah pasca operasi sangat bermanfaat untuk mengurangi efek samping obat.
Beberapa faktor resiko tersebut dapat dikelompokkan menjadi. (Fish, 2007)
1. Faktor pasien Jenis kelamin wanita dan anak, pasien yang tidak merokok dan
riwayat mual dan muntah sebelumnya, pasien cemas dan nyeri preoperatif dan
beberapa

penyakit

yang

mempengaruhi

pengosongan

lambung

akan

mempengaruhi kejadian mual dan muntah pasca operasi.


2. Faktor pembedahan Operasi strabismus, operasi pada daerah kepala dan leher,
prosedur

laparoskopi

ginekologi,

operasi

pelastik

terutama

payudara,
8

adenotonsilektomi, orkidopeksi juga mempengaruhi kejadian mual dan muntah


pasca operasi.
3. Faktor anestesi penggunaan cairan pengganti puasa yang tidak adekuat, durasi
anestesi, anestesi umum dengan agen inhalasi, penggunaan N2O, opioid dan
beberapa obat hipnotik, dan neostigmin mempengaruhi mual dan muntah pasca
operasi.
4. Faktor pascaoperasi nyeri pasca operasi dan suddent motion mempengaruhi
kejadian mual dan muntah pasca operasi.
E. Strategi Pencegahan dan Pengobatan PONV
Pencegahan terhadap timbulnya mual dan muntah pasca operasi lebih baik
daripada mengobati. Adapun beberapa strategi untuk mencegah dan menangani mual dan
muntah pasca operasi diantara lain berupa (1) idenifikasi pasien dengan resiko tinggi
untuk terjadinya mual dan muntah pasca operasi, (2) menurunkan batas ambang mual
dan muntah dengan menggunakan obat profilaksis, (3) terapi antiemetik pada beberapa
kelompok tertentu, (4) berikan terapi antiemetik pada pasien mual muntah pasca operasi
yang sebelumnya belum mendapatkan terapi profilaksis atau profilaksis sebelumnya
gagal. (Gan et al, 2003)
Beberapa obat antiemetik di klasifikasikan berdasarkan tempat kerjanya, berupa
(1) obat golongan antihistamin dan antikolinergik yang bekerja di reseptor H1, (2)
Dopamine antagonist yang bekerja pada reseptor D2 di chemoreseptor triger zone (CTZ),
(3) Serotonin antagonis yang bekerja di 5-hydroxytryptamine3 (5-HT3). Berikut
Klasifikasi antiemetik berdasarkan jenis dan tempat kerjanya. (Flake, Scalley dan Balley.
2004).
Antiemetik
Antihistamin
Buclizine
Cyclizine
Dimenhydrinate
Diphenhydrinate
Meclizine

Tempat dan Efek Kerja


Obat ini bekerja
menghambat mekanisme
aksi histamin di reseptor
H1 di CTZ, sedangkan
obat golongan
antikolinergik
menghambat kerja aksi

Efek Samping
Kedua obat memiliki
efek samping mukosa
mulut mengering, retensi
urin, pandangan kabur
Sedasi, pusing, bingung,
tinitus, insomia, sampai
tremor
9

Antikolinergik
Scopalamine

Dopamine Antagonis
Chlorpromazine
Droperidol
Haloperidol
Metoclopramide
Prochlorperazine
Promethazine
Serotonine Antagonis
Dolasetron
Granisetron
Ondansetron

dari asetilkoline di
reseptor muskarinik.
Bekerja di pusat muntah,
minimal efek pada
stimulasi aferen viseral
Meminimalisir efek
dopamine di reseptor D2
yang berada di CTZ

Obat-obat lain :
Dexamethasone
Methylprednisolone
Trimethobenzamide

Antagonis serotonin
selektif menghambat
kerja aksi serotonin di
reseptor 5-HT3 yang
berada di usus halus,
nervus vagus, dan CTZ
Menghambat stimulasi di
pusat muntah
Mengurangi reaksi
inflamasi, menghambat
prostaglandin
Belum diketahui

Sedasi, Hipotensi
ortostatik,
ekstrapiramidal sindrome
(tardive diskinesia),
Harga obat murah

Nyeri kepala, badan


lemas (fatigue), diare
Reaksi anafilaksis
Asimptomatik QTprolongation dan
pelebaran segmen QRS
Harga obat mahal
Ansietas, perubahan
prilaku, depresi

Saat ini tersedia beberapa produk obat antiemetik yang memiliki efek antagonis
terhadap neurotransmiter di batang otak, seperti yang dapat dilihat di tabel berikut.
Tabel.2 Daerah reseptor obat mual dan muntah serta afinitasnya (Fish,2007)
Obat

Dopamin

Muskarinik

Histamin

Serotonin

+++
+++

++
+

+++
++

+
+

+
++

++
+++

+++
++++

++++

++

++++
++++
++++

++++

Phenotiazine
Chlorpromazine
Prochlorperaine
Antihistamin
Dipenhidramin
Promethazin
Buthyropenon
Droperidol
Benzamide
Metoclopramid
Antiserotonin
Ondansetron
Dolasetron
Granisetron
Anticolinergik
Socopalamin

10

Gambar 2. Algoritme tatalaksana PONV (Gan et al,2003)


F. Haloperidol
Haloperidol merupakan derivat butyrophenone yang sering digunakan sebagai
antipsikotik dan sangat berbeda dengan thixantine dan phenothiazine terutama dari
bidang struktur kimianya. Haloperidol memiliki kecenderungan menimbulakan efek
ekstrapiramidal, akan tetapi obat golongan butyrophenone memiliki efek antispikotik
lebih baik dibandingan phenothiazine akan tetapi efek ekstrapiramidalnya juga tinggi.
(Meltzer,2012)
11

Obat golongan butyrophenone sudah sering digunakan untuk tatalaksana


postoperative nausea and vomiting (PONV) beberapa diantaranya adalah droperidol dan
haloperidol. Haloperidol dan droperidol memiliki kesamaan dengan phenothiazine dalam
mengobati PONV. Obat ini bekerja melakukan blokade reseptor dopaminergik D2 dan
chemoreseptortrigerzone (CTZ) dan di area postrema. Adapun efek samping yang sering
timbul setelah pemberian obat golongan ini adalah sedasi ansietas, gelisah, hipotensi dan
sindroma ekstrapiramidal. Sedangkan droperidol menimbulkan pemanjangan interval QT
pada gambaran EKG yang bergantung dari jumlah obat yang diberikan.(Kovac,2003)
Pada tatalaksana mual dan muntah di ruangan pemulihan (Postanesthesia care
unit/PACU) yang penting adalah memberikan profilaksis mual dan muntah tanpa
memberikan banyak obat berulang. Pemberian obat golongan butyropenenon dosis
rendah seperti droperidol 0,625 mg IV atau haloperidol 1 mg IV merupakan profilaksis
mual dan muntah yang sedang berkembang, sedangkan obat seperti deksamethason dan
scopalamin transdermal tidak begitu cocok dikarenakan onset yang terlalu lama.
(Vacanti,2011)
Adapun urutan tatalaksana mual dan muntah di ruang pemulihan (Vacanti,2011) :
1. Jangan mengulang pemberian obat profilaksis sebelumnya
2. Gunakan obat yang memiliki efek antiemetik yang baik yang belum
diberikan seperti pemberian butyropenon dosis rendah
3. Pemberian 5-HT3 seperti ondansetron hanya pada saat muntah
4. Beberapa obat lama seperti promethazine 6,25 mg IV mungkin akan
memiliki efek antiemetic

Farmakodinamik
Butirophenon sudah terbukti sangat efektif dalam tatalaksana mual dan muntah

terutama pada pasien pasca operasi. Dulu penggunaan obat ini hanya terbatas sebagai
obat antipsikosa yang memiliki efek sedatif dan antiemetik. (Smith,2005)
Obat ini berupa penghambatan dopamine dengan cara memblokade reseptor
dopamine, sehingga efek samping yang ditimbulkan dapat berupa sedasi dan sindroma
12

ekstrapiramidal. Obat ini biasanya digunakan untuk mengontrol pasien dengan psikosa
dan agitasi baik pada pasien dewasa dan anak-anak. (Koe et al, 2014)
Haloperidol merupakan obat antipsikotik golongan butirophenon yang bekerja
memblokade resepotr dopaminergik di daerah postsinaptik mesolimbik di otak. Obat ini
dipercaya dapat mendepresi sistem aktivasi di retikular sehingga akan mempengaruhi
metabolism sistem basal, suhu tubuh, kesadaran, tonus vasomotor serta mual dan
muntah. (Donnelly,2008 dan Tindall,2014)
Farmakokinetik
Pada obat ini lebih baik diserap oleh tubuh apabila diberikan melalui mukosa
gastrointestinal, dengan waktu paruh yang lebih panjang. Haloperidol sendiri
dimetabolisme di hepar dan dieksresikan melalui urin dan feses. (Koe et al, 2014)
Dikarenakan adanya larangan penggunaan droperidol oleh FDA pada tahun 2003,
sehingga sebagai alternatif beberapa klinisi menggunakan haloperidol sebagai obat antiemetik yang memiliki efek yang sama dengan droperidol. Penggunaan haloperidol yang
disetujui FDA sampai tahun 2007 berupa pemberian melalui intramuskuler. (Yi Lee dan
Auoad, 2007)
G. Ondansetron
Banyak penelitian yang membandingkan efektifitas ondansetron dengan jenis obat
lainnya dikarenakan harga ondansetron yang cukup tinggi dibandingkan dengan obat
lainnya.

Sebagai

contoh

penelitian

Subramaniam

pada

tahun

2001

dengan

membandingkan ondansetron dengan deksamethason dari sisi efektifitas harga sebagai


alternatif dari pemberian ondansetron pasca operasi. Material penelitian dengan
menggunakan teknik randomized double blind control trial pada pasien anak usia 2
hingga 15 tahun setelah dilakukan operasi repair strabismus dengan menggunakan
teknik anestesi umum. Dengan hasil penggunaan deksamethason dapat menghemat
pengeluaran dana sebesar 22%. (Subramaniam et al, 2001)
13

Farmakodinamik
Reseptor 5-HT 3 pada saluran pencernaan dapat mengaktivasi sensai nyeri viseral

aferen melalui neuron sensoris di usus menuju corda spinalis dan menuju sistem
persarafan pusat. Inhibisi pada jalur aferen reseptor 5-HT 3 akan mengurangi perasaan
yang tidak nyaman termasuk mual, muntah, kembung dan nyeri. Blokade reseptor 5-HT
3 di sentral juga akan mengurangi respon sentral terhadap stimulasi aferent viseral.
Sebagai tambahan blokade reseptor 5-HT 3 pada neuron terminal kolinergik enteral
dapat menghambat motilitas kolon, terutama kolon sisi sebelah kiri sehingga
meningkatkan total waktu transit di kolon. Alosteron merupakan antagonis 5-HT 3 sudah
disetujui sebagai obat untuk tatalaksana iritable bowel syndrome (IBS) yang disertai
dengan diare. (Donnerer,2003)
Jenis lain dari antagonis 5-HT 3 (seperti ondansetron, granisetron, dolasetron dan
palonosetron) juga sudah disetujuin sebagai obat untuk mencegah dan mengobati mual
dan muntah, akan tetapi efektifitas dalam tatalaksana IBS masih belum ditemukan.
Sedangkan perbedaan dari masing-masing obat tersebut dari segi farmakodinamik masih
belum banyak diketahui.(McQuaid,2012)
Reseptor 5-HT3 terutama berada pada daerah dengan densitas yang tinggi di
batang otak bagian bawah seperti kompleks vagal dorsal, nukleus dari traktus solitari,
nukleus spinal trigeminal dan melingkari area posrema dan meluas di kornu dorsalis dari
korda spinalis. Sebagian besar lainnya seperti daerah korteks dan limbik memiliki
densitas yang lebih rendah terhadap reseptor 5-HT 3. Reseptor ini sangat berhubungan
dalam menimbulkan reflek mual dan muntah akibat agen khemoterapi, radiasi X-ray,
iritasi mekanik atau kimia pada sistem gastrointestinal.(Donnerer,2003)

Farmakokinetik
14

o Absorbsi : Penyerapan obat ondansetron 100% lebih baik pada pemberian IM


dan IV, sedangkan pada pemberian melalui oral hanya 50%. Untuk waktu paruh
ondansetron berkisar 3 hingga 6 jam didalam tubuh.
o Distribusi obat ini masih belum bisa dijelaskan dengan sempurna terkecuali
bekerja di reseptor 5-HT3
o Kebanyakan obat ini dimetabolisme didalam hepar, dan sekitar 95% obat yang
sudah di metabolism di ekskresikan melalui ginjal, hanya sekitar 5% obat yang
belum dimetabolisme langsung dikeluarkan melalui ginjal. (Tindall,2014)

H. PONV pada Anestesi Umum


Selama operasi dengan menggunakan teknik anestesi umum, berbagai reseptor
berinteraksi dengan obat-obatan anestesi, mulai dari premedikasi, pemeliharaan anestesi
dan saat pemulihan dari anestesi (emergence). Obat-obat anestesi yang berhubungan
dengan terjadinya mual dan muntah pasca operasi diantara lain berupa (Craigo, 1996;
Stoelting dan Hiller, 2006):
N2O akan mempengaruhi tekanan pada telinga tengah yang akan
mengstimulasi muntah melalui sistem vestibuler. Disamping itu difusi gas ke
lambung dan usus menyebabkan distensi dari usus dan memicu muntah.
Peningkatan aktivitas simpatis yang berhubungan dengan N2O mungkin juga

berkontribusi dalam terjadinya mual dan muntah pasca operasi.


Agen Inhalasi agen inhalasi meningkatkan katekolamin endogen, penggunaan
obat ini tidak menimulkan perbedaan yang bermakna dalam insidensi terjadinya

mual dan muntah pasca operasi.


Opioid Obat ini dapat memicu mual dan muntah yang disebabkan akibat
stimulasi langsung ke daerah CTZ di dasar ventrikel 4

I. Efektivitas Biaya antara Ondansetron dan Haloperidol


Banyak studi penelitian di beberapa senter menunjukkan angka resiko untuk
terjadinya mual dan muntah pasca operasi berkisar 40%, dan insidensi tersebut dapat

15

dikurangi menjadi berkisar 26% dengan menggunakan obat-obatan seperti ondansetron 4


mg, droperidol 1.25 mg dan deksamethason 4 mg. Dikarenakan FDA (federasi obat dan
makanan amerika serikat) menunjukkan adanya bahaya pada penggunaan droperdiol,
maka penggunaan obat tersebut dilarang walaupun obat tersebut lebih efektif dari segi
biaya dibandingkan agen lainnya. Beberapa studi terbaru, haloperidol 1 hingga 2 mg
yang diberikan melalui intravena dapat dijadikan obat alternatif pengganti droperidol dan
memeliki harga yang juga jauh lebih murah dibandingkan dengan agen lainnya.
(Fleisher,2009)
Penelitian Lee Yi pada tahun 2007 menyimpulkan untuk kebutuhan dosis
haloperidol sebagai obat antiemetik lebih rendah dibandingkan pada saat digunakan
sebagai antipsikotik. Pada penelitiannya antara haloperidol dan ondansetron pada semua
pasien jenis operasi elektif dengan teknik anestesi umum menyimpulkan bahwa
ondansetron dan haloperidol sama efektifnya pada saat digunakan untuk tatalaksana mual
dan muntah pasca operasi. Akan tetapi di rumah sakit tempat dilakukan penelitian
haloperidol 2 mg memiliki harga jual yang lebih murah dibandingkan dengan
ondansetron 4 mg, dimana harga ondansetron berkisar $26,9 dibandingkan dengan harga
haloperidol yang berkisar $0,41. (Yi Lee et al, 2007)
Pada penelitian yang dilakukan Aouad pada tahun 2007 tentang perbandingan
efektivitas haloperidol dengan ondansetron pada pasien operasi ginekologi ditemukan
bahwa angka terjadinya mual dan muntah pada saat 0 2 jam pertama insidensi mual
dan muntah pada kelompok yang diteliti (haloperidol) sebesar 13.7%, pembanding
(ondansetron) sebesar 26.6% dan kelompok placebo sebesar 36.6% dengan kebutuhan
obat penyelamatan apabila terjadi mual dan muntah pada masing-masing kelompok
secara berurutan 6.8%, 26.6% dan 36.6%. walaupun tidak ditemukan angka yang
signifikan antara haloperidol dengan ondansetron, akan tetapi insidensi mual dan muntah
pada kelompok haloperidol lebih rendah dibandigkan dengan ondansetron. (Aouad,2007)

16

J. Hipotesis
Pemberian haloperidol 2 mg IM mempunyai daya guna yang lebih baik (pada sisi
efektifitas dan biaya) dibandingkan dengan pemberian ondansetron 4 mg IV terutama
pada saat 24 jam pertama pasca operasi sebagai tatalaksana mual dan muntah pasca
operasi elektif dengan anestesi umum pada pasien dengan tanpa komorbid penyakit
tertentu sebelumnya (riwayat mual muntah, obesitas, penggunaan haloperidol dalam
jangka waktu lama). Penggunaan haloperidol 2 mg IM dapat menekan pengeluaran biaya
berlebih dari penggunaan obat emergency apabila ditemukan mual dan muntah pasca
operasi dibandingkan dengan ondansetron 4 mg IV.

K. Kerangka Teori

Tindakan Operasi
Rangasangan nervus
vagus

Antihistamin

Antikolinergik

Keterangan :
Jalur proses terjadinya mual dan muntah pascaoperasi :
Tempat kerja penghambatan oleh haloperidol
:
17

Tempat kerja penghambatan oleh ondansetron

L. Kerangka Konsep

18

Anda mungkin juga menyukai