No. Berkas : 01
No. RM
: 000
Nama KK
: Ny.F
Tingkat
Pemahaman
Paraf Pembimbing
Paraf
Keterangan
: Ny.F
Alamat lengkap
Bentuk Keluarga
: nuclear family
Nama
U
F
Kedudukan
dalam
keluarga
KK
Istri
L/P
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
L
P
47th
45 th
SMA
SMP
Serabutan
Kerja
Pasien
Klinik
(Y/T)
T
Y
pabrik
3
MF
Anak
11 th
SMA
SD kls 5
Ket
-
Kusta
tipe MB
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
STATUS PASIEN
II.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Agama
Alamat
Suku
Tanggal pemeriksaan
: Ny.F
: 45 tahun
: Perempuan
: Kerja Pabrik
: SMP
: Islam
: Jumput Rejo RT.01/RT.01, kec.Sukodono kab. Sidoarjo
: Jawa
: 04 April 2015
II.2.ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh terdapat bercak di kulit berwarna putih di bagian kaki sebelah
kanan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya bercak berwarna merah, lama-kelamaan
menjadi putih, selain itu didapatkan adanya mati rasa pada bercak tersebut dan
tidak terasa gatal saat berkeringat.
Kulit di bercak tersebut masih dapat keluar keringat saat beraktifitas
dan tidak kering. Pasien juga mengeluh jari-jari kaki sebelah kanan kesemutan
tetapi masih dapat digerakan seperti biasa. Pasien masih bisa menutup mata dan
penglihatannya masih jelas. Pasien juga mengaku tidak ada rambut dan alisnya
yang rontok.
Kemudian pasien memeriksakan diri di pengobatan balai desa dan di
anjurkan ke Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
-
Riwayat kontak dengan penderita Kusta : (+) kontak dengan teman pasien saat
bekerja di pabrik
Riwayat Sakit Sebelumnya
Riwayat Imunisasi
Riwayat Sakit Gula
Riwayat Asma
Riwayat Darah tinggi
Riwayat Alergi Obat
Riwayat Sakit Jantung
: Tidak ada
: tidak ingat
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: (-)
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
5. Riwayat Kebiasaan
-
Kulit
2.
Kepala
: sakit kepala (-), pusing (-), rambut kepala tidak rontok, luka pada
kepala (-), benjolan/borok di kepala (-)
3.
Mata
4.
Hidung
5.
Telinga
6.
Mulut
7.
Tenggorokan
8.
Pernafasan
: sesak nafas (-), batuk lama (-), mengi (-), batuk darah (-)
9.
10. Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-), nyeri
perut (-), BAB tidak ada keluhan
11. Genitourinaria : BAK lancar, 4-5kali/hari.
12. Neuropsikiatri : Neurologik
Psikiatrik
13. Muskuloskeletal : kaku sendi (- ) dan kaki (-), nyeri otot (-)
14. Ekstremitas
: Atas
Bawah
Keadaan Umum
Tampak tidak sakit, kesadaran compos mentis (GCS E 4V5M6), status gizi kesan
cukup baik.
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu
: 36,8 oC
Tensi
: 120/80 mmHg
: 64 kg
TB
: 160 cm
Kulit
Warna
: ulkus (-)
Thorax:
Cor : I : ictus cordis tak tampak
P : ictus cordis tak kuat angkat
P : batas kiri atas
: ICS II PSS
: ICS II PSD
: ICS V MCS
Abdomen
I :dinding perut sejajar dengan dinding dada, venektasi (-)
P :supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
P :timpani seluruh lapang perut
A :peristaltik (+) normal
oedem
Fungsi motorik :
5 5
5 5
: appropriate
Psikomotor : normoaktif
Proses pikir : bentuk
Insight
: realistik
Isi
arus
: koheren
: baik
1.Sensoris
2.Motoris
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tidak tampak sakit, kesadaran
compos mentis,dan status gizi baik, Tanda Vital: TD 120/80 mmHg, Nadi : 82, RR 18,
Temp: 36,8C.
Status lokalis:
Jari-jari tangan dan kaki sering digerakkan agar sendi-sendi tidak kaku.
2. Olah raga
Diharapkan penderita dapat menjaga kesehatan tubuhnya dengan melakukan olah
raga ringan seperti jalan pagi hari di lingkungan sekitar, dan latihan pernafasan
untuk menjaga daya tahan tubuh
3. Mengurangi stress tertentu
Diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga untuk
kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak memberikan
perhatian dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang atau bermain dan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Medikamentosa
Obat anti MH yang diberikan untuk tipe MB (Multi Basiler) pada penderita ini terdiri
dari :
Pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di depan petugas)
1. 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600mg).
10
BAB III
IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA
III.1 FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi Biologis.
Keluarga terdiri dari suami sebagai penderita (Tn,U), istri (Ny. F), Anak
Sdr.MF 11 thn.Penderita tinggal serumah dengan Suami dan anaknya. seharihari bekerja sebagai karyawan Pabrik sedangkan Suami penderita bekerja di
Serabutan.
11
2. Fungsi Psikologis.
Ny.F tinggal serumah dengan Suami dan anaknya .Hubungan keluarga
mereka terjalin dengan akrab terbukti dengan permasalahan-permasalahan yang
dapat diatasi dengan baik dalam keluarga ini. Hubungan diantara mereka cukup
dekat antara satu dengan yang lain. Penderita sehari-hari lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk berkerja, namun penderita selalu meluangkan waktu
pada malam hari untuk selalu mengajak ngobrol anggota keluarganya, bermain
dengan anaknya dan memperhatikan kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Penderita selalu merasa khawatir jika penyakti yang dideritanya tersebut
akan menular kepada suami dan anak-anaknya. Oleh karena itu ia sangat
berkeninginan untuk berobat dan sembuh dari penyakitnya.
3. Fungsi Sosial
Dalam masyarakat penderita dan keluarga hanya sebagai anggota
masyarakat biasa, tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat.
keluarga penderita cukup aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat. Dalam
kesehariannya penderita bergaul akrab dengan masyarakat di sekitarnya seperti
halnya anggota masyarakat yang lain.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penghasilan keluarga berasal dari penghasilan dari penderita dan istri yang
sama-sama bekerja sebagai karyawan pabrik. Dengan total penghasilan Rp.
1.500.000,- perbulannya.
Penghasilan tersebut juga digunakan untuk membiayai kehidupan keluarganya.
seperti makan, minum, atau iuran membayar listrik hanya mengandalkan uang yang
ada. Ditambah dengan angsuran 1 unit sepeda motor yang digunakan untuk bekerja.
Makanan sehari-hari terdiri dari lauk pauk, telor, daging ayam, frekuensi makan 2-3
kali. Secara keseluruhan, pemenuhan kebutuhan hidup keluarga cukup terpenuhi.
5. Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi
Penderita merupakan istri yang terbuka sehingga selalu menceritakan
masalah yang ada kepada seluruh anggota keluarganya terutama kepada istrinya
untuk mencari penyelesaian masalah bersama serta memperoleh dukungan dari
istrinya untuk menjalani pengobatan secara teratur.
12
III.2APGAR SCORE
ADAPTATION
Dalam menghadapi masalah keluarga, penderita selalu membicarakannya terlebih dahulu
kepada suaminya dan mengungkapkan apa yang diinginkannya dan segala hal yang menjadi
keluhannya. Penderita merasa bahwa penyakitnya ini kadang mengganggu aktivitasnya seharihari terutama saat bersosialisasi. Adanya dukungan yang besar dari istri dan petugas kesehatan
yang sering memberikan penyuluhan kepadanya baik secara langsung maupun melalui
handphone serta memberinya motivasi untuk sembuh dan teratur minum obat, karena
penderita dan keluarga yakin penyakitnya bisa sembuh total bila ia mematuhi aturan
pengobatan sampai sakitnya benar-benar sembuh dan tidak sampai terjadi putus obat agar tidak
terjadi relaps atau kambuh kembali. Hal tersebut menunjukkan bahwa penderita memiliki
keinginan kuat untuk sembuh dari penyakitnya.
PARTNERSHIP
Penderita memberikan pengertian yang cukup baik kepada istrinya atas penyakitnya
tersebut dan meyakinkan istrinya bahwa ia akan berobat secara teratur dan berkeinginan kuat
untuk sembuh. Meskipun demikian penderita tetap merasa khawatir jika anak dan suami akan
tertular penyakit yang dideritanya tersebut. Sedangkan suami penderita sangat memahami
keadaan istri. Dan selalu mendukung serta memberikan motivasi kepada suaminya untuk
selalu sabar dalam menjalani pengobatan dan yakin bahwa penyakit yang dideritanya bisa
disembuhkan.
GROWTH
Ny.F menyadari bahwa dirinya harus bersabar dalam menjalani pengobatan yang teratur
meskipun terkadang penderita merasa kurang percaya diri saat menjalani aktifitas sehari-hari.
Namun sedikit demi sedikit hal tersebut segera di hilangkan. Karena penderita tidak ingin jika
penyakitnya tersebut dapat menghalangi aktifitasnya sehari-hari terutama dalam bekerja untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya.
AFFECTION
13
Ny.F merasa hubungan kasih sayang dan interaksinya dengan keluarganya cukup
meskipun ia sedang menderita sakit. Bahkan perhatian yang dirasakannya bertambah. Ia
menyayangi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Namun ia merasa sangat khawatir dan takut
jika penyakitnya tersebut akan menular pada anak dan istrinya. Sehingga ia memiliki semangat
yang cukup besar untuk bisa segera sembuh dari penyakitnya tersebut.
RESOLVE
Ny.F merasa cukup puas dengan kebersamaan dan waktu yang ia dapatkan dari
keluarganya, walaupun waktu yang tersedia tidak banyak karena istri beliau harus bekerja dan
hanya bisa bertemu saat malam hari. Namun penderita sangat memaksimalkan waktu yang ia
miliki bersama suami dan anaknya.
APGAR Tn.U Terhadap Keluarga
Sering/
selalu
Kadangkadang
Jarang/tidak
Sering/
selalu
Kadangkadang
Jarang/tidak
14
saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya
membagi waktu bersama-sama
PATHOLOGY
Interaksi sosial yang baik antar anggota
Sosial
keluarga juga dengan saudara partisipasi
mereka dalam masyarakat cukup baik.
Cultural
Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya
baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan
sehari-hari baik dalam keluarga maupun di
lingkungan, banyak tradisi budaya yang
masih diikuti. Sering mengikuti acara-acara
yang bersifat hajatan, sunatan, dll.
Menggunakan bahasa jawa, tata krama dan
kesopanan.
Religius
Pemahaman agama cukup baik. Hal ini
Agama
menawarkan nampak dengan adanya ruangan sholat di
pengalaman spiritual yang baik dalam rumah. Meskipun cukup sederhana,
untuk ketenangan individu yang namun hal tersebut menunjukkan bahwa
tidak didapatkan dari yang lain
keluarga Tn.M cukup taat dalam
menjalankan agama.
Ekonomi
Ekonomi keluarga ini tergolong menengah,
untuk kebutuhan primer sudah bisa
terpenuhi, meskipun demikian mereka tetap
hidup dengan sederhana untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang lainnya.
Edukasi
Pendidikan anggota keluarga cukup
memadai. Penderita lulus pendidikan S1
KET
_
_
15
sedangkan
istrinya
lulusan
sekolah
menengah atas.
Medical
Penderita cukup mampu untuk berobat ke
Pelayanan kesehatan puskesmas dokter spesialis bahkan untuk membeli obatmemberikan perhatian khusus obatan merk paten. Namun penderita
terhadap kasus penderita
memilih untuk berobat dan kontrol ke
puskesmas dan mengikuti aturan pengobatan
berdasarkan program pemerintah.
: Nuclear Family
16
- Ny.F
- 45 tahun
-
- karyawan
pabrik
- etnis Jawa
- Tn. U
- 49th
-
- Serabutan
- etnis Jawa
Sdr. MF
11thn
Tn. U 47th
Ny. F 45th
Sdr. F 11 thn
Keterangan :
: hubungan baik
: hubungan tidak baik
Hubungan antara Ny.F sebagai penderita dengan suami dan anaknya berjalan baik
dan dekat. Dalam keluarga ini tidak sampai terjadi konflik atau hubungan buruk antar
anggota keluarga.
17
18
Tidak ada
BAB IV
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN
19
20
pembuangan sampah yang ada dibelakang rumah dan dibakar. Namun terdapat jamban
pribadi yang cukup bersih dengan septik tank. Anggota keluarga juga terbiasa mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum makan. Serta mencuci bahan makanan
juga dengan air yang mengalir sebelum memasak.
II.
Denah Rumah
Denah Rumah
21
Dapur
kamar
mandi
Kamar tidur I
ruang TV
S
Kamar tidur II
Ruang Tamu
Keterangan :
: dinding
: pintu
: jendela
: Ruang tamu
22
BAB V
DAFTAR MASALAH
1. Masalah aktif :
a. Kusta Kasus lama (dalam pengobatan)
b. Kondisi ekonomi cukup
c. Pengetahuan keluarga cukup baik tentang penyakit penderita
d. Resiko penularan pada anggota keluarga yang lain
2. Faktor resiko :
a. Status gizi Cukup
b. Lingkungan dan tempat tinggal yang kurang sehat
3. pandangan
masyarakat
terhadap
penyakit kusta
1.Lingkungan kerja
dan rumah yang
kurang sehat dan
memadai
2. Prevensi untuk
anggota keluarga
lainnya
Ny.F
4.Pengaruh social
ekonomi pada
penderita kusta
23
BAB VI
PATIENT MANAGEMENT
A. PATIENT CENTERED MANAGEMENT
1. Suport Psikologis
Penderita memerlukan dukungan psikologis mengenai faktor-faktor yang
dapat menimbulkan kepercayaan baik pada diri sendiri maupun kepada dokternya.
Antara lain dengan cara :
a. Memberikan perhatian pada berbagai aspek masalah yang dihadapi.
b. Memberikan perhatian pada pemecahan masalah yang ada. Memantau kondisi
fisik dengan teliti dan berkesinambungan.
c. Memantau kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan.
d. Timbulnya kepercayaan dari pasien, sehingga timbul pula kesadaran dan
kesungguhan untuk mematuhi nasihat-nasihat dari dokter.
Pendekatan Spiritual, diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan
YME, misalnya dengan rajin ibadah, berdoa dan memohon hanya kepada Tuhan
YME.
Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang
harus dilakukan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial,
dapat dijadikan titik tolak program terapi psikososial.
2. Penentraman Hati
Menentramkan hati diperlukan untuk pasien dengan problem psikologis
antara lain yang disebabkan oleh persepsi yang salah tentang penyakitnya,
kecemasan, kekecewaan dan keterasingan yang dialami akibat penyakitnya.
Menentramkan hati penderita dengan memberikan edukasi tentang penyakitnya
bahwa penyakitnya tersebut bukan penyakit turunan dan dapat disembuhkan.
Faktor yang paling penting untuk kesembuhannya adalah ketekunan dalam
menjalani pengobatan sesuai petunjuk dokter. Selain itu juga didukung dengan
makan makanan yang bergizi tinggi meskipun sederhana, istirahat yang cukup.
Diharapkan pasien bisa berpikir positif, tidak berprasangka buruk terhadap
penyakitnya, dan membangun semangat hidupnya sehingga bisa mendukung
penyembuhan dan meningkatkan kualitas hidupnya.
24
penyakit,
25
pencahayaan cukup dan kebersihan lingkungan rumah dan luar rumah yang bersih
dengan disapu 2x/hari), meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara diet makanan
bergizi dan olah raga yang teratur. Dengan demikian paradigma yang salah tentang
penyakit KUSTA di masyarakat dapat diluruskan.
B. PREVENSI BEBAS KUSTA UNTUK KELUARGA LAINNYA (SUAMI,ANAK,
DAN KELUARGA LAINNYA)
Pada prinsipnya secara umum prevensi untuk bebas KUSTA adalah sama
dengan prevensi bebas KUSTA untuk penderita, namun dalam hal ini diutamakan
untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya dengan cara sebagai berikut :
1. Bagi keluarga jangan terlalu dekat cukup intim dengan anggota keluarga yang lain
(Istri dan Anak-anak), apalagi saat berbicara atau batuk, agar tidak tertular
langsung kuman Kusta dari penderita. Saat batuk sebaiknya di tutup kain atau
masker.
2. Diusahakan
agar
penderita
tidak
meludah
di
sembarang
tempat
yang
26
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA MORBUS HANSEN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit Morbus Hansen/Kusta/Lepra adalah salah satu penyakit menular yang
sifatnya kronik dan dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang
dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular
karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin
ditularkan melalui tanah, armadillo (sejenis trenggiling yang mudah dipakai untuk
pembiakkan kuman kusta, tetapi hingga kini belum berhasil dibiakkan dalam medium
buatan), kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh kuman kusta tidak
menderita kusta karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat terjadi
pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20-an dan 30-an.
Kuman kusta (Morbus Hansen) biasanya menyerang saraf tepi kulit dan jaringan
tubuh lainnya. Penyebab penyakit Morbus Hansen ialah suatu kuman yang disebut
Mycobaterium leprae. Sumber penularan penyakit ini adalah penderita kusta Multi Basiler
(MB) atau kusta basah.
Penyakit Morbus Hansen pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang
sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian
pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit Morbus Hansen
sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan.
Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, kepercayaan yang keliru terhadap kusta
dan cacat yang ditimbulkannya.
Di Indonesia penderita Morbus Hansen terdapat hampir di seluruh daerah dengan
penyebaran yang tidak merata. Suatu kenyataan bahwa di Indonesia bagian Timur terdapat
angka kesakitan Morbus Hansen yang lebih tinggi. Penderita Morbus Hansen 90 % tinggal
diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal di Rumah Sakit
Kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta.
27
B. DEFINISI
Morbus hansen adalah suatu penyakit infeksi kronis oleh Mycobacterium leprae
yang menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, saluran nafas bagian
atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan alat reproduksi, kecuali sistem saraf
pusat.
C. EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui
pasti, hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antarkulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa
hari dalam droplet.
28
Masa tunasnya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5
tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara
penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan
dengan kerentanan perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan ASI, jarang didapat di urin. Tempat implantasi tidak selalu menjadi
tempat lesi pertama. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh
karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita
karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitar. Hal ini akibat
kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik,
serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anastetik disertai paralisis
dan atrofi otot.
Menurut data WHO, jumlah kasus kusta diseluruh dunia menurun sekitar 21% dari
tahun 2003-2004. Penurunan ini konsiten selama 3 tahun berturut-turut.
D. ETIOLOGI
Morbus Hansen merupakan basil tahan lama asam (BTA), bersifat obligat intraselular,
menyerang saraf ferifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran pernapasan bagian
atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri Morbus
Hansen 12-21 hari dan masa tunasnya antara empat puluh hari hingga empat puluh
tahun.
E. PATOFIOLOGI
Setelah M.Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit Morbus Hansen
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular medated immune) pasien. Kalau
system imuntas selular tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkoloid dan bila rendah,
berkembang ke arah Lepromatosa M.Leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relative
lebih dingin, yaitu di daerah akral dengan vaskularsasi yang sedikit.
29
F. PENULARAN
Penyakit kusta menular dari penderita Kusta tipe basah yang tidak di obati, ke
orang lain melalui pernapasan atau kontak kulit yang erat dan lama.
Apa faktor resiko penularannya?
timbulnya penyakit Kusta pada sesorang tidaklah mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor antara lain sumber penularan, kuman
kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim.
Adapun faktor resiko penularanya adalah :
1.
Kontak serumah
2.
3.
G. GEJALA
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis dan
histopatologis. Hasil bakterioskopi memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit
sedangkan histopatolik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
(Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya dapat diketahui setelah 3 minggu.
Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai..
Gejala klinis yang timbul pada seseorang bergantung pada Sistem Imunitas Seluler
(SIS). SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebalikya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa.
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta
yang terdiri atas :
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil.
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberkuloid
BB : Mid Borderline
30
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil sehingga tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga dengan LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa
100%, merupakan tipe yang stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Ti dan Li
merupakan tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50% tuberkuloid dan 50%
lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya dan BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih
tipe ke arah TT maupun kea rah LL.
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Multibasilar
berarti banyak mengandung basil, yaitu tipe LL, BL dan BB dengan indeks bakteri lebih
dari 2+. Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT dan I dengan
indeks bakteri kurang dari 2+.
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995
PB
Lesi kulit (makula datar, - 1-5 lesi
papul
yang
meninggi,
MB
- >5 lesi
- hipopigmentasi/eritema
- distribusi tidak
semetris
- hilangnya sensasi
kurang jelas
nodus)
Kerusakan
(menyebabkan hilangnya
senses/ kelemahan otot
yang
dipersarafi
oleh
31
H. DIAGNOSIS
Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit diseluruh tubuh
diperhatikan. Seperti adanya makula, nodul, jaringan parut kulit yang keriput penebalan
kulit dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis)
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba).
Jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan air dingin dalam
tabung reaksi (rasa suhu).
Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n.
ulnarus, n. radiasi, n. medianus, n. peroneus dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan
yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan dan adanya nyeri tekanan.
Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu pemeriksaan ada tidaknya kekeringan pada lesi
akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji
Gunawan).pertumbuhan rambut terganggu.
Ditemukan kuman tahan asam ,bahan pemeriksaanadalah hapusan kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif.kadang bahan di peroleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakan diagnosis penyakit kusta,paling sedikit harus di temukan satu tanda
cardinal,bila tidak di temukan ,maka kita hanya dapat mengatakan tersangkan kusta dan
pasien perlu di amati dan di periksa ulang setelah 3-6 bulan samapai diagnosis kusta dapat
di tegakan atau di singkirkan
I.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa hal penting dalam menentukandiagnosis banding lepra :
32
utama
pemberantasan
Morbus
Hansen
adalah
pengobatan
menurut
buku
panduan
setelah
selesai
minum
tidak
lagi
dinyatakan
RFT
tetapi
Tipe MB
33
Klofazimun
300
mg/bulan
diminum
di
depan
petugas
34
yang diharapkan, sehingga. Hal tersebut memberikan sinyal semakin kuatnya kejadian
kusta akan terjadi (Chin, 2000).
Kepadatan hunian rumah
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam
rumahnya. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,
semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab
itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan
dalam kejadian kusta (Chin, 2000).
Kepadatan hunian kamar
Tingkat kepadatan hunian kamar yang tinggi memiliki risiko kali lebih besar
untuk terjadinya kusta dibandingkan dengan kepadatan hunian kamar yang tidak tinggi
(Chin, 2000).
Suhu Dalam Rumah
Tingkat suhu dalam rumah yang tidak sesuai (31oC37oC) memiliki risiko lebih
besar untuk terjadinya kusta dibandingkan dengan suhu dalam rumah yang sesuai
(20oC30oC). Sedangkan menurut Gould & Brooker, bakteri yang bersifat BTA seperti
kusta dan M. tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang
ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Kuman ini merupakan
bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40C, akan tetapi akan tumbuh
secara optimal pada suhu 31-37C (Notoadmodjo, 2007).
Dinding rumah
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin
serta melindungi dari pengaruh panas. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari
35
kayu, bambu, pasangan batu bata dan lain sebagainya, tetapi dari beberapa bahan
tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang
tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan.
Dinding rumah yang kurang baik memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya
kusta dibandingkan dengan dinding rumah yang baik. Kondisi dinding rumah yang
jelek, akan mempermudah bakteri berdiam di dalam dinding tersebut karena dinding
yang terbuat dari selain tembok sulit untuk dibersihkan sehingga bakteri tentunya akan
terus
berkembang
ditambah
dengan
keadaan
yang
mendukung
terhadap
Ventilasi rumah
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang <10% dari
luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya
konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun
bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukup ventilasi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
dan penyerapan.Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi mediayang baik untuk
tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman kusta.
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
36
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis dan kusta, karena di situ
selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan
selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003).
Pencahayaan
Ruangan dengan pencahayaan alami yang tidak ada atau kurang memberikan
risiko lebih besar untuk terjadinya kusta dibandingkan ruangan pencahayaan alami
yang baik. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan.
Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis
dibanding penghuni yang memenuhi persyaratan di Jakarta Timur dan pada kusta pun
terjadi hal yang sesuai dengan TB tersebut. Semua cahaya pada dasarnya dapat
mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut. Pencahayaan
alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami),
yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah,
misalnya melalui jendela atau genteng kaca (Notoatmodjo, 2003).
Kelembaban
Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia
dan virus (Notoadmodjo, 2003)
Kontak dengan penderita lain
Kontak merupakan suatu media untuk menularkan penyakit kusta. Dua pintu
keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah
organisme di dermis kulit. Bagaimana pun masih belum dapat dibuktikan bahwa
organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan
bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al
(2000) melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.
Dalam penelitian terbaru, Job et al (2004) menemukan adanya sejumlah
Mycobacterium leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta
37
lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat
keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh
Schaffer pada 1988. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa,
menurut Shepard (1988), antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley (1990)
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri
di sekret hidung mereka. Davey dan Rees (1991) mengindikasi bahwa sekret hidung
dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Sehingga
hal tersebut jelas bahwa kontak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
kejadian kusta (Widoyono, 2005).
38
BAB VII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Segi Biologis :
Status gizi Ny.F berdasarkan NCHS termasuk dalam kategori Gizi Cukup
2. Segi Psikologis :
3. Segi Sosial :
4. Segi fisik :
B. SARAN
1. Untuk masalah medis (Kusta) dilakukan langkah-langkah :
39
Promotif
Kuratif
2. Untuk masalah lingkungan tempat tinggal dan rumah yang tidak sehat dilakukan
langkah-langkah :
40
DAFTAR PUSTAKA
Chin, J., Nyoman, K.I. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. 17th ed. Jakarta:
Depkes RI
Darmada, Gusti K. 2000. Multi Drug Theraphy Regimen WHO Pada Kusta Selama 1
Tahun. Vol 12. Surabaya. Airlangga University Press
Depkes RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2005.
Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta
Djuanda, Adhi. dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta. FKUI
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. II. Jakarta :Media
Aeuscualpius.
Marwali, Harahap. 2000. Kusta dalam Ilmu Penyaki Kulit Cetakan I. Jakarta. Hipokrates
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga University Press
Notoadmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta. Rineka
Rosita, Cita. dkk. 2000. HLA Pada Kusta Vol 12. Surabaya : Airlangga University Press
A. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasan. Jakarta: Salemba Medica
41
LAMPIRAN
42
43
Pemeriksaan motorik
44
Lesi
45
46
47
48
Ruang tengah
49
50
51
52