Tutorial - Blok THT - Sken2 - Fix Bangett
Tutorial - Blok THT - Sken2 - Fix Bangett
KELOMPOK 2
ABDURRAHMAN AFFA
AHMAD LUTHFI
ARLINDAWATI
ASMA AZIZAH
AYATI JAUHAROTUN NAFISAH
CICILIA VIANY
FHANY GRACE LUBIS
HANA INDRIYAH DEWI
KHANIVA PUTU YAHYA
RADEN ISMAIL
SANTI DWI CAHYANI
SHENDY WIDHA
G 0013001
G 0013011
G 0013039
G 0013043
G 0013051
G 0013065
G 0013095
G00013105
G 0013129
G 0013193
G 0013213
G 0013217
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario pertama ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1. Post nasal drip
Pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan biasanya
terjadi pada rhinitis alergica. Concha di dekat septum nasi umumnya dapat
mengompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat) dengan
memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan mengecil pada sisi yang
lainnya, sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga udara
yang optimum. Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih
ada dan masih normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum
berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang
berbeda (Hilger, 1997). Pada pemeriksaan, keadaan concha perlu dinilai
untuk menentukan ada tidaknya edema atau perubahan warna mukosa,
misalnya mukosa yang pucat, dan lapisan dasar mukosa concha yang
basah. Mukosa hidung pada pasien alergi biasanya basah, pucat dan
berwarna merah jambu keabuan. Concha tampak membengkak. Jika
terdapat infeksi penyerta, sekret dapat bervariasi mulai dari encer dan
mukoid hingga kental dan purulen. Pada saat yang sama, mukosa menjadi
merah dan meradang, terbendung, atau bahkan kering sama sekali.
Radiogram sinus paranasalis tidak spesifik, namun dapat terlihat penebalan
lapisan mukosa dan terkadang pengumpulan sekret. Bila ostia alami
menjadi tersumbat akibat pembengkakan hebat, maka suatu gambaran air
fluid level atau bahkan bayangan opak total, dapat nyata dalam rongga
sinus (Hilger, 1997).
3. Spina septi :
Suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum dapat
menyebabkan obstruksi hidung jika deviasi yang terjadi berat.
4. Skin prick test
Salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnostik untuk membuktikan
adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mast kulit. Untuk pasien yang
ingin melakukan skin prick test, hindari konsumsi antihistamin atau obatobatan lain sebelum tes ini dilakukan. Long acting antihistamin harus
dihentikan 5 hari sebelum tes dilakukan, sedangkan short acting
antihistamin dihentikan 48 jam sebelum tes. Pasien juga harus memberi
tahu dokter yang memeriksanya tentang obat yang telah diminum pasien
beberapa hari terakhir sebelum test. Adanya campuran antihistamin pada
suatu obat dapat memberikan hasil yang tidak akurat.
nasal drip?
Mengapa pasien bersin-bersin saat pagi hari?
Bagaimanakah reflex bersin?
Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu dengan keluhan pasien?
Bagaimana hubungan antara sakit gigi dan keluhan pasien?
4
yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Sedangan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
a. sepasang cartilago nasalis lateralis superior
b. sepasang cartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai cartilago alar mayor
c. beberapa pasang cartilago ala minor
d. tepi anterior cartilago septum.
5
Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi,
tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini
dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior, dan
superior.
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah:
a.
b.
c.
d.
mukosa,
perubahan
badan
vaskular
yang
dapat
mengembang pada concha dan septum atas, adanya krusta, dan deposit
atau sekret mukosa. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan
muara sinus frontalis, ethmoidalis, dan sinus maksillaris. Sel-sel sinus
ethmoidalis posterior bermuara pada recessus sphenoethmoidalis.
2. Sinus Paranasales
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan
bagian lateral rongga udara hidung dengan jumlah, bentuk, ukuran,
dan simetri bervariasi. Sinus-sinus paranasales, yaitu sinus maksillaris,
sphenoidalis, frontalis, dan ethmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh
epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia. Sekret akan disalurkan ke dalam
rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Sinus maksillaris rudimenter atau antrum umumnya telah
ditemukan pada saat lahir. Sinus paranasalis lainnya timbul pada anakanak dalam tulang wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi
cranium yang menyangganya. Dengan teresorpsinya bagian tengah
yang keras, maka membran mukosa hidung menjadi tersedot ke dalam
rongga yang baru terbentuk.
Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel
membran sel, dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah
pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur
silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan
pasang
mikrotubulus
luar.
Masing-masing
mikrotubulus
dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan jarijari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat di
bawah permukaan sel (Higler 1989; Ballenger 1996; Weir 1997).
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu
arah (active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga
menggerakan lapisan ini.. Kemudian, silia bergerak kembali lebih lambat
dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah
menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak
secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical
waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996) .
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu
sama lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP
berasal dari pemecahan ADP oleh ATP-ase. ATP berada di lengan dinein
yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan antara
pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan elastis
yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger 1996).
Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2
m dan diameternya 0,1 m atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak
bergerak seperti silia. Semua epitel kolumnar bersilia atau tidak bersilia
memiliki mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400
buah tiap sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan
bakal silia. Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah
luas permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan
2.
Palut Lendir
10
Membrana Basalis
Lamina Propia
11
b. Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, concha
superior dan sepertiga bagian atas septum, Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan
resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau
(rinolalia). Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum molle turun
untuk aliran udara.
d. Fungsi Statik
Hidung memiliki fungsi statik dan mekanik untuk meringankan
beban kepala, proteksi terhadap trauma, dan perlindungan terhadap
panas.
e. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti.
Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.
2. Fungsi Sinus Paranasales
a. Pengatur Kondisi Suara (Air Conditioning)
12
13
14
15
Mekanisme rhinorhea.
Mekanisme refleks bersin.
Kelainan pada hidung dan sinus (diagnosis banding, diagnosis pasti,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, terapi, faktor resiko,
4.
16
5.
6.
Temperatur dingin
Rinore kerap dijumpai selama musim dingin. Salah satu tujuan mucus nasal
adalah untuk menghangatkan udara yang dihirup ke suhu tubuh ketika memasuki
tubuh. Agar hal ini terjadi, cavum nasi harus terus menerus dilapisi dengan cairan
mucus. Selama cuaca dingin, lapisan lendir hidung cenderung kering sehingga
membran mucus harus bekerja keras memproduksi lebih banyak mucus untuk
menjaga cavum nasi. Akibatnya, cavum nasi terisi penuh oleh mucus.
Pada saat yang sama, ketika udara dihembuskan, uap air mengembun ketika udara
hangat bertemu dengan temperatur luar yang lebih dingin dekat lubang hidung.
Hal ini menyebabkan jumlah air yang berlebihan yang mengisi cavum nasi. Pada
kasus ini, kelebihan cairan biasanya tumpah keluar melalui lubang hidung.
Infeksi
17
Rinore dapat merupakan gejala dari penyakit lain, seperti common cold atau
influenza. Selama infeksi tersebut, membran mucus nasal memproduksi mucus
yang berlebih sehingga memenuhi cavum nasi. Hal ini untuk mencegah infeksi
dari penyebaran ke paru dan traktus respiratori, yang dapat menyebabkan
kerusakan lebih lanjut. Sinusitis merupakan alasan yang signifikan untuk
penyebab rinore yang dapat bermanifestasi dalam bentuk akut maupun kronik.
Alergi
Rhinore dapat juga terjadi ketika seseorang dengan alergi bahan tertentu, seperti
pollen, debu, latex, atau binatang oleh alergen ini. Pada orang dengan sistem imun
tersensitisasi, substansi bahan tersebut dapat memicu produksi antibodi IgE,
terikat sel mast dan basofil sehingga menyebabkan pengeluaran mediator
inflamasi seperti histamin. Selanjutnya, hal ini menyebabkan inflamasi dan
pembengkakan jaringan dari rongga nasal dan juga peningkatan produksi nasal.
Lakrimasi
Rhinore juga berhubungan dengan keluarnya air mata, baik dari emosional
maupun iritasi mata. Ketika sejumlah airmata diproduksi berlebihan, cairan
mengalir melalui sudut dalam kelopak mata, melalui ductus nasolakrimalis lalu ke
dalam rongga hidung. Semakin banyak air mata dikeluarkan, banyak cairan juga
yang mengalir ke dalam rongga hidung. Penumpukan cairan biasanya diatasi via
ekspulsi mucus melalui lubang hidung.
Trauma kepala
Jika disebabkan oleh trauma kepala, rinore dapat menjadi kondisi yang serius.
Fraktur basis cranii dapat menyebabkan ruptur barier antara kavum sinonasal dan
fossa cranial anterior atau fossa cranial media. Kondisi ini dikenal dengan
cerebrospinal fluid rhinorrhoea atau CSF rhinorrhea, yang dapat menyebabkan
18
nasal tumors,
19
sinus paranasal. Pada anak, bila sekret yang terdapat hanya satu sisi dan berbau
kemungkinan terdapat benda asing di hidung. (Elise, et al, 2007).
Bagaimanapun juga, jika running nose didasari oleh komplikasi traumatik serius,
menunjukkan gejala seperti pingsan, perdarahan yang tidak terkendali, dan sering
muntah. Itu dipicu akibat cedera kepala atau cedera pada tulang belakang, sehingga
mempengaruhi sistem saraf (The Prime Health, 2010).
DIAGNOSIS
Gejala-gejala rinore adalah sumber indikasi untuk sifat dan jenis rinore yang diderita.
Pemeriksaan fisik rinore meliputi inspeksi wajah dan hidung, terutama sinus
maksillaris dan sinus frontalis. Sifat dan warna mukosa hidung juga diinspeksi. Tes
rinore melibatkan kultur sel dari sekret. Namun, pasien yang menderita sinusitis
invasive, diabetes, dan penyakit immunocompromised sebaiknya menjalani CT scan
untuk diagnosis tepat untuk memahami apakah menderita rinore kronik atau berulang.
TATALAKSANA
Penatalaksanaan rinore bergantung pada penyakit yang mendasari. Biasanya tidak
membutuhkan pengobatan dan dapat berhenti dengan sendirinya tetapi harus
ditangani serius pada kasus yang dipicu oleh komplikasi fisik dan saraf yang serius
(The Prime Health, 2010).
Refleks bersin mirip dengan refleks batuk, tetapi refleks bersin di saluran
hidung bukan di saluran nafas bagian bawah. Rangsang yang memulai refleks
bersin adalah iritasi pada saluran hidung, impuls aferennya berjalan di saraf
maksilaris ke medulla oblongata dimana refleks ini digerakkan. Terjadi
serangkaian reaksi yang mirip dengan dengan yang terjadi difeleks batuk. Disini
20
uvula tertekan sehingga sejumlah besar udara mengalir dengan cepat melalui
hidung dan mulut, sehingga membersihkan saluran hidung dari benda asing.
(Muluk, 2009).
3. Kelainan pada hidung dan sinus (diagnosis banding, diagnosis pasti, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, terapi, faktor resiko, komplikasi, epidemiologi,
prognosis, pathogenesis, kausa)
a. RHINITIS ALLERGICA
Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi
atau terpapar dengan alergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi)
21
yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan allergen yang serupa (Von Pirquet, 1986). Rhinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO
ARIA tahun 2001).
Epedemiologi
Di amerika serikat terdapat hampir sekitar 20 % rata-rata angka kejadian
penderita rhinitis alergi.
Etiologi/Patofisiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap
sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua
fase, yaitu :
22
tersier,
yaitu
reaksi
imunologik
yang
tidak
meguntungkan.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang
berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah debu. Sebenarnya, bersin adalah mekanisme normal dari hidung
untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari
lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis
alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
23
Syndrome alergi
24
Lama
berminggu-minggu,
bulan,
gejala
tahun, semusim.
Berulang-ulang: pagi sakit, siang
sembuh, besoknya kumat lagi
Tidak ada
Umum
Alergen Tidak ada
SINUSITIS
Definisi
Sinusitis adalah radang selaput permukaan sinus paranasalis, sesuai dengan
rongga yang terkena sinusitis dibagi menjadi sinusitis maksilla, sinusitis
ethmoid, sinusistis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila radang mengenai
beberapa sinus disebut sebagai multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinusitis yang paling sering ditemukan
adalah sinusitis maksilla dan sinusitis ethmoid. Gejala sinusitis berupa
terbentuknya sekret yang kental, obstruksi hidung, dan nyeri yang timbul
akibat penekanan pada wajah.
Virus, bakteri, dan alergi merupakan penyebab umum yang mengakibatkan
terjadinya inflamasi tersebut. Terjadinya inflamasi dan pembengkakan pada
mukosa
rongga
hidung
dan
sinus
dapat
menyebabkan
obstruksi
25
dikenal dengan istilah rhinitis, maka dokter THT lebih menyukai penggunaan
istilah rhinosinusitis dibandingkan dengan penggunaan istilah sinusitis saja.
Berdasarkan durasi (lama) terjadinya inflamasi, rhinosinusitis diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu :
a) Akut, bila lama terjadinya gejala 4 minggu
b) Subakut, bila lama terjadinya gejala antara 4-12 minggu
c) Kronik, bila lama terjadinya gejala 12 minggu
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, terdapat sekitar 0.4% dari pasien yang datang ke rumah
sakit terdiagnosis dengan sinusitis.
PATOFISIOLOGI / ETIOLOGI
Timbulnya pembengkakan di kompleks osteomeatal, selaput permukaan yang
berhadapan akan segera menyempit hingga bertemu, sehingga silia tidak dapat
bergerak untuk mengeluarkan sekret. Gangguan penyerapan dan aliran udara
di dalam sinus, menyebabkan juga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang
diproduksi oleh selaput permukaan sinus akan menjadi lebih kental dan
menjadi mudah untuk bakteri timbul dan berkembang biak. Bila sumbatan
terus-menerus berlangsung, akan terjadi kurangnya oksigen dan hambatan
lendir. Hal ini menyebabkan tumbuhnya bakteri anaerob, selanjutnya terjadi
perubahan
jaringan
Pembengkakan
menjadi
lebih
hipertrofi
hingga
26
GEJALA KLINIS
Sinusitis diklasifikasikan menjadi Tiga, yakni
a. Sinusitis akut
Bila gejala berlangsung selama beberapa hari hingga 4 minggu.
b. Sinusitis subakut
Bila gejala berlangsung selama 4 minggu hingga 3 bulan.
c. Sinusitis Kronis
Bila gejala berlangsung lebih dari 3 bulan.
d. Beberapa gejala subjektif dibagi menjadi gejala sistemik dan gejala
lokal. Gejala sistemik yang dimaksud adalah demam dan lesu. Gejala
lokal yang muncul adalah ingus kental dan berbau, nyeri di sinus,
reffered pain (nyeri yang berasal dari tempat yang lain), yang
bervariasi pada tiap sinus, seperti sinusitis maksilla terdapat nyeri pada
kelopak mata dan kadang-kadang menyebar ke alveolus. Pada sinusitis
ethmoid, rasa nyeri dirasakaan di pangkal hidung dan kantus medius.
Pada sinusitis frontal, rasa nyeri dirasakan di seluruh kepala,
sedangkan sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan di belakang bola mata
dan mastoid.
Pada pemeriksaan beberapa gejala obyektif bisa didapatkan:
d.
e.
f.
27
28
Komplikasi
Infeksi pada sinus dapat menyebar ke struktur organ lainnya di luar rongga
sinus seperti mata dan otak. Komplikasi jarang terjadi namun apabila sudah
terjadi komplikasi biasanya dibutuhkan tindakan pembedahan darurat yang
membutuhkan penanganan sesegera mungkin untuk mengeluarkan sumber
infeksi dan memperbesar saluran keluar dari sinus yang tersumbat.
TATALAKSANA
Seperti infeksi virus pada umumnya, sinusitis akut yang disebabkan oleh
infeksi virus dapat sembuh tanpa pengobatan. Karena virus tidak memberikan
respon terhadap pemberian obat-obatan antibiotik, maka sinusitis yang
disebabkan oleh infeksi virus pada dasarnya ditangani dengan terapi suportif,
seperti pemberian cairan pencuci hidung. Pemberian obat-obatan berupa
antihistamin, dekongestan hidung, dan pereda nyeri dapat diberikan oleh
dokter untuk membantu mengurangi keparahan gejala yang terjadi.
Sementara pengobatan untuk sinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri tetap
berupa pemberian antibiotik yang sesuai dengan jenis bakteri penyebabnya.
Dokter akan menentukan pemilihan antibiotik berdasarkan beberapa faktor
antara lain:
29
obat-obat
tambahan
seperti
antiinflamasi,
antihistamin,
31
32
Etiologi
Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding
Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital,
trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara
septum dan palatum. Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika
persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga
kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk
pengaman ketika berkendara.
33
Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada
batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk
memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat
penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada
deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. Deviasi septum yang ringan
tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat,
menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat
mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Gejala yang sering
timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral.
Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu,
penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas
septum.
Penatalaksanaan
Penatalaksaan untuk kasus septum deviasi adalah :
a)
b)
c)
d)
e)
Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan
ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.
34
35
4. Mengapa keluar lendir kuning kehijauan sedangkan saat sujud berwarna kuning?
Pada kasus skenario, pasien diduga menderita rinosinusitis kronis. Selain dari
tanda-tanda dan onset, hal ini juga mendukung kemungkinan sudah adanya
infeksi sekunder pada mukosa hidung yang menyebabkan tampak gambaran
36
mukosa lendir kuning kehijauan saat kondisi biasa. Sekret yang keluar saat
sujud diduga merupakan sekret yang berasal dari sinus maxillaris karena
ostium sinus maxillaris lebih tinggi dari dasar sinus. Sekret berwarna kuning
saat bersujud kemungkinan terjadinya inflamasi pada sinus belum disertai
infeksi sekunder.
37
ultrasonografi.
Radiografi
konvensional,
yaitu
dengan
proyeksi
38
akan terlihat densitas udaranya melalui CT scan. Oleh karena itu, hasil CT scan
akan menunjukkan warna hitam di area sinus.
MRI dapat memperlihatkan soft-tissue-discrimination dengan sangat baik.
Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk gangguan yang melibatkan sinus
paranasalis, cavum cranii, dan orbita. MRI dapat membedakan lesi soft tissue
pada sinus paranasalis, seperti mucocele, kista, dan polip. Membedakan antara
solid tumor tissue dan reaksi inflamasi perifokal juga dapat dilakukan melalui
MRI. MRI dikontraindikasikan untuk pasien dengan electrically controlled
device, seperti cardiac pacemaker, pompa insulin, pompa statik, dan cochlear
implant. Pemeriksaan ultrasound juga dapat dilakukan untuk memeriksa sinus
paranasalis dengan A and B mode. Pemeriksaan ini berguna untuk follow up
proses inflamasi akut. Sinus frontalis dan sinus maxillaris adalah daerah yang
paling terakses dalam pemeriksaan ultrasound. Sel ethmoidalis anterior dapat
diperiksa melalui canthus medial orbita, tetapi hanya dapat diperiksa
menggunakan small A-mode transducer, atau yang lebih mahal, specialized Bmode transducer. Sinus sphenoidalis tidak dapat diperiksa dengan pemeriksaan
ini karena posisinya.2
BAB III
KESIMPULAN
39
Riwayat pasien dengan bersin-bersin di pagi hari atau bila terpapar debu
mengarahkan pasien kemungkinan mempunyai riwayat rhinitis alergi, namun untuk
memastikannya diperlukan tes cukit kulit (skin prick test). Pemeriksaan fisik adanya
deviasi septum nasi diduga memperberat keluhan pasien atau dapat juga karena pilek
terus-menerus menyebabkan terjadinya septum deviasi. Untuk mengetahui diagnosis
pasti keluhan pasien dilakukan pemeriksaan radiologi.
40
BAB IV
SARAN
Saran untuk kelompok kami agar kami dapat datang tepat waktu. Hal ini
supaya diskusi tutorial dapat berjalan dengan tepat waktu sehingga banyak materi
yang dapat dibahas dalam diskusi. Selain itu, kami harus dapat memberikan pendapat
dengan lebih aktif dan tidak takut salah sehingga kami dapat saling sharing ilmu dan
belajar bersama. Kami juga harus lebih berkoordinasi tugas satu sama lain,
menghargai pendapat, dan mengerti tanggung jawab masing-masing. Saran untuk
pembaca diharap bisa mengambil informasi sebanyak-banyaknya dan menyebarkan
pada yang masyarakat lain sehingga pengetahuan mengenai masalah gangguan pada
hidung dan tenggorok dapat diketahui oleh masyarakat.
Kami menyadari bahwa tugas ini tersusun dalam bentuk yang masih
sederhana sehingga masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Kami berharap
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kami semua sendiri dan bahkan bagi
pembaca yang lain. Kami juga menerima kritik, saran, dan tambahan ilmu lainnya
sehingga kami dapat bersama-sama belajar dan ilmu tersebut dapat bermanfaat bagi
kami di saat ini atau masa depan.
41
DAFTAR PUSTAKA
Elise K, dkk (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Elizabeth A et al (2010). Management of allergic and non-allergic rhinitis: a primary
care
summary
of
the
BSACI
guideline.
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.
Mangunkusumo, Endang. Wardani, Retno S. 2007. Polip Hidung dalam Soepardi,
Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Mansjoer, Arif. et. al. 2009. Kapita SelektaKedokteran Ed 3 Jilid 1.Jakarta : Media
Aesculapius
Nizar NW.2007. Anatomik Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofiologi
Sinusitis. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kursus, Pelatihan dan Demo
BSEF, Makassar, 1-11.
Probst, R, Grevers, G & Iro, H 2006, Basic Otorhinolaryngology : A Step-By-Step
Learning Guide, Thieme, New York.
Sakakura.1997. Mucociliary Transport inRhinologic Disease,In : Bunnag C
Munthabornk, Asean Rhinologic Practice, Bangkok : Siriyot Co.Ltd., 137Sherwood, Lauralle (2015). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke 8. Jakarta:
EGC.
Soepardi EA (ed) (2007). Buku ajar ilmu kesehatan: Telinga, hidung, tenggorok,
kepala, dan leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI.
The Prime Health (2010). Rhinorrhea Definition, Symptoms, Causes, Diagnosis
and
Treatment.
www.primehealthchannel.com/rhinorrhea-definition-
43