PENDAHULUAN
Oesapa menunjukkan limbah padat yang terbuang masih didominasi oleh limbah
padat anorganik.
Efek dari kehadiran limbah padat anorganik di perairan dapat mengurangi
nilai oksigen terlarut, karena terambilnya oksigen oleh zat-zat yang dikandung di
dalam limbah padat anorganik tersebut melalui proses oksidasi. Limbah padat
anorganik mengalami proses pencucian di perairan, dimana zat-zat kimia yang
terkandung dalam limbah padat anorganik dapat dengan mudah melarut sehingga
justru menghambat organisme dekomposer untuk melakukan proses mineralisasi dan
pendaur ulang jenis limbah padat organik. Limbah padat anorganik seperti plastik
ditemukan mengapung dapat menghalangi penetrasi cahaya ke perairan, sehingga
menghambat fotosintesis organisme produsen yang berakibat menganggu siklus
energi dan materi di perairan. Selain itu, limbah plastik juga menempati dasar
perairan akan mengendap dan menutupi ruang hidup organisme dasar perairan yang
mobilitasnya rendah dan tidak resisten. Kehadiran limbah plastik di perairan jelas
mengakibatkan daya dukung lingkungan bagi kehidupan organisme
perairan
terancam.
Untuk menaksir adanya pencemaran di perairan, ada berbagai indikator yang
telah digunakan. Diantaranya kualitas air dan bioindikator. Kualitas air adalah
kondisi kualitatif air yang diukur dan atau di uji berdasarkan parameter-parameter
dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
1 keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas
suatu perairan dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi
parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi (Suriawira,1999). Untuk lebih efektif
mengetahui perubahan kualitas air di perairan adalah menggunakan bio
indikator/indikator
biologi.
Bioindikator
adalah
komponen
biotik
berupa
terbesar
di
Teluk
Kupang,
terutama
limbah
plastik
bekas
memiliki mobilitas rendah dan siklus hidup dari beberapa minggu atau tahun. Studi
menunjukkan berbagai kelompok makrobentos memiliki periode puncak kepadatan,
yang juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat yang berlaku pada saat itu
(Sanagoudra, 2013). Indeks-indeks biologi dari makrobentos dapat digunakan
sebagai indikasi kesehatan air. Hal ini karena organisme ini memiliki berbagai
macam tanggapan terhadap cekaman, seperti bahan pencemar yang mempengaruhi
kualitas air. Masukan zat pencemar dan beracun ke dalam air permukaan telah
dilaporkan menyebabkan gangguan serius dalam ekosistem perairan (Sarang dan
Sharma, 2004). Pencemaran telah mendegradasi kehidupan makrobentos dan
organisme laut lainnya. Aktivitas antropogenik pada ekosistem perairan pesisir
sangat mengubah struktur komunitas makrobentos (Sanagoudra, 2013). Terjadinya
dominansi organisme makrobentos menunjukkan kualitas air yang buruk dan
ketidakmampuan untuk mendukung kehidupan memadai. Oleh karena itu
makrobentos berguna sebagai bioindikator dalam memahami kesehatan ekologis dari
ekosistem perairan, daripada menggunakan bahan kimia dan data mikrobiologi, yang
setidaknya memberikan fluktuasi jangka pendek (Ravera, 2000; Ikomi et al, 2005;
George et al, 2009 dikutip dari Olomukoro dan Dirisu, 2014 ).
Mengingat makrobentos sebagai organisme indikator untuk melihat adanya
pencemaran di perairan,maka penelitian ini hendak mendeteksi apakah makrobentos
juga cocok digunakan untuk memantau pencemaran oleh limbah plastik.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dapatlah diajukan pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah limbah plastik mempengaruhi struktur komunitas makrobentos yang ada?
2. Apa ada korelasi antara massa limbah plastik dengan struktur komunitas
makrobentos ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proporsi dan kepadatan jenis limbah plastik di perairan pesisir Teluk
Kupang
2. Mendeskripsikan korelasi antara massa limbah plastik dengan struktur komunitas
makrobentos
1.4 Manfaat
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1
Beragam jenis dan jumlah limbah padat yang dihasilkan oleh manusia
menghilang, dibuang atau dialirkan setiap hari ke lingkungan perairan pantai dan
lautan, atau masuk ke wilayah laut melalui aliran saluran pembuangan dan sumbersumber pencemaran dari daratan lainnya. Komposisi terbesar dari limbah padat ini
adalah plastik, termasuk gelas air mineral plastik atau polysterene, bahan pengepak
(packaging), karet, serta bahan-bahan buangan dari kamar mandi (kondom, diapers,
pembalut wanita, alat suntik, dan sebagainya), logam (kaleng bekas minuman, drum
minyak, penutup botol, kaleng aerosol), gelas (botol minuman, botol kecap, botol
parfum, dan sebagainya), keramik, jaring/tali alat tangkap ikan, pakaian bekas,
serpihan kayu, dan sebagainya.
Berdasarkan karakteristik limbah padat maka Kincloch dan Brock, (2007)
membagi kategori dan deskripsi limbah padat di pantai menjadi (1) plastik kasar
(kaku) mencakup drum plastik penampung dan mengapung (2) plastik halus
(fleksibel) mencakup tas polythen, bungkusan makanan atau minuman ringan (3)
kaca mencakup, botol, pecahan kaca, lampu (4) logam kaleng (makanan dan
minuman) mencakup, penampung minyak, kaleng pewangi (5) kain/kertas/karton
mencakup, kain rombengan, bungkus permen, tali pakaian, karton, tisu (6) tali
tambang mencakup, tali pancing, jaring, tali jerat (7) busa/karet. Contohnya,
polystyrene terapung dan mengapung, tali kulit, bola tenis.
Adanya limbah padat di daerah pesisir menunjukkan bahwa aktivitas manusia
di daratan dan sekitar perairan akan memberikan tekanan pada wilayah pesisir.
Limbah padat sangat berbahaya bagi seluruh biota laut, tertutama biota yang berada
di dasar perairan seperti bentos. Kehadiran limbah padat akan menutupi ruang
pergerakan organisme tersebut, apalagi seperti organisme lamun tentu akan
menghalangi penetrasi cahaya ketika fotosintesis, sehingga berakibat terjadinya
penurunan kadar oksigen terlarut. Hal ini jelas berpengaruh buruk terhadap
kehidupan organisme di laut.
limbah padat suatu kawasan yang ingin diketahui bergantung pada rencana
pengelolaan limbah padat yang akan dipakai atau digunakan. Atau sebaliknya,
komposisi limbah padat suatu kawasan harus diketahui lebih dulu untuk perencanaan
pengelolaan limbah padat selanjutnya (Kusnoputranto dan Susanna, 2000).
Salah satu cara untuk menentukan komposisi limbah padat yaitu
dengan menghitung jumlah bahan / materi limbah padat dalam gram atau persentase
(%). Benda yang termasuk limbah padat terdiri atas bahan-bahan berikut
(Kusnoputranto dan Susanna, 2000):
1. Logam: kaleng-kaleng, besi, paku, dan sejenisnya
2. Benda yang terbuat dari bahan kertas:kertas, koran, majalah, karton dan lain-lain
3. Benda yang terbuat dari bahan plastik: plastik pembungkus, bekas alat-alat
4.
5.
6.
7.
8.
9.
pengelolaan. Salah satu jenis limbah padat yang berkontribusi dalam menambah
beban di kawasan pesisir berbahan plastik. Limbah plastik dibuat dari bahan sintetis,
umumnya menggunakan minyak bumi sebagai bahan dasar, ditambah bahan-bahan
tambahan yang umumnya merupakan logam berat (kadnium, timbal, nikel) atau
bahan beracun lainnya seperti Chlor. Racun dari plastik ini terlepas pada saat terurai
atau terbakar (Milyandra, 2009). Limbah padat (debri) laut menjadi masalah global
terutama yang berbahan dasar plastik dan sintetik. Data Direktorat PPLP (2015)
bahwa setiap tahun sekitar 8,8 juta ton limbah plastik dibuang ke laut. Hasil
penelitian Risamasu (2015) menunjukkan limbah padat anorganik berupa plastik,
kain dan tali di ekosistem pesisir Desa Oesapa sangat dominan.
2.4 Jumlah Produksi Limbah Padat
Jumlah produksi limbah padat bergantung pada beberapa faktor antara lain
sebagai berikut (Kusnoputranto dan Susanna, 2000):
1. Jumlah, kepadatan dan aktivitas penduduk
Bila kepadatan suatu daerah sangat tinggi, maka kemungkinan limbah padat
diserap oleh lingkungan secara alamiah akan berkurang karena
10
sempitnya atau
dimanfaatkan. Contohnya pecahan kaca atau gelas, besi, plastik, kertas, karton,
dan lainnya yang masih bernilai ekonomi. Dengan demikian, jenis limbah tersebut
yang dikumpulkan jumlahnya akan berkurang.
3. Sosial ekonorni
Faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap jumlah produksi limbah padat di
suatu daerah dalam hal adat istiadat, taraf hidup serta kebiasaan masyarakat.
Kebiasaan masyarakat tercermin dalam cara masyarakat tersebut mengelola
sampahnya.
4. Musim/iklim
Jumlah produksi limbah padat juga dapat dipengaruhi oleh musim atau
iklim, misalnya di daerah beriklim dingin pada musim gugur produksi limbah
padat dapat meningkat dibandingkan pada waktu musim dingin. Begitu pula pada
musim panas, dapat terjadi peningkatan produksi limbah padat terutama pada
daerah daerah pariwisata. Di Indonesia, jumlah produksi limbah padat juga dapat
mengalami peningkatan pada musim buah-buahan.
5. Kebiasaan masyarakat
Kebiasaan masyarakat dalam hal ini misalnya kegemaran suatu kelompok
masyarakat pada jenis makanan tertentu, sehingga produksi limbah padat yang
berasal dan makanan tersebut dominan.
6. Teknologi
Peningkatan produksi limbah padat dapat sejalan dengan peningkatan
teknologi. Dengan adanya kemajuan teknologi maka terdapat jenis limbah padat
yang pada saat ini menjadi masalah, namun dapat pula sebaliknya, kemajuan
11
teknologi dalam hal pengolahan limbah padat, akan dapat mengurangi beban
pengelolaan limbah padat sehingga menjadi lebih efisien.
10. Sumber limbah padat
Jumlah dan komposisi limbah padat bergantung pula pada sumber dari mana
limbah padat berasal. Limbah padat rumah tangga akan berbeda jumlah dan
komposisinya dengan limbah padat industri atau institusi lainnya. Komposisi
limbah padat mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan tersebut
diakibatkan adanya pola hidup masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan
sebagainya.
Perkembangan permukiman yang diiringi dengan semakin padatnya penduduk
menyebabkan semakin sulitnya pengelolaan limbah padat/sampah secara mandiri, di
samping itu meningkatnya aktivitas yang ada tentu membutuhkan suatu lingkungan
yang bersih dan sehat. Namun demikian, tanggung jawab untuk menyediakan
kebutuhan tersebut belum dapat diberikan dengan baik oleh pemerintah sebagai
penyedia. Hal tersebut merupakan tugas dan tanggungjawab bersama antara
pemerintah sebagai penyedia dan masyarakat yang membutuhkan. Pengelolaan
limbah padat secara efektif dan efisien harus dijalankan oleh semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah. Permasalahan limbah padat merupakan hal yang
krusial bahkan limbah padat dapat dikatakan sebagai masalah kultural karena
dampaknya terkena pada berbagai sisi kehidupan.
13
81.000 km lebih, maka kawasan ini masih merupakan kawasan yang luas. Sesuai
dengan letaknya, kawasan ini merupakan pertemuan antara pengaruh daratan dan
samudra. Hal ini terlihat nyata pada mintakat pasut dan daerah estuari. Perubahanperubahan sifat lingkungan terjadi secara cepat dalam waktu dan ruang sehingga
untuk melakukan penelitian sifat-sifat lingkungan diperlukan ulangan waktu yang
lebih kerap dan jarak tempat observasi lebih dekat daripada samudra bebas,
(Romimohtarto dan Juwana. 2001). Menurut Tarigan (2009), dasar lautan dapat di
bedakan menjadi tiga daerah atau Zona yaitu :
a. Zona litoral yaitu daerah yang masih dapat ditembus oleh cahaya sampai dasar
perairan 0 200 meter.
b. Zona neritik yaitu daerah perairan yang masih ada cahaya, tetapi remang-remang
200 2000 m.
c. Zona abisal yaitu daerah perairan yang tidak lagi dapat ditembus oleh cahaya,
daerah ini mencapai kedalaman lebih dari 2000 meter.
di
substrat
berpasir
misalnya
Moluska-Bivalvia,
beberapa
jenis
15
2.
Kelompok
Contoh Organisme
Jenis yang tahan terhadap Cacing cacing Tubificid,
bahan pencemar (Jenis
fakultatif)
(Jenis intoleran)
Bryozoa,
serangga
air
dan
Crustacea.
3.
Amnicolidae,
serangga
dari
(Jenis toleran)
toleransi diantara spesies dalam lingkungan perairan (Gray dan Pearson, 1982
dikutip dari Casalduero,2001) mengatakan spesies dianggap sebagai indikator
pencemaran bisa dominan karena: i) spesies ini langsung cocok dengan bahan-bahan
terbuang kaya organik yang dijadikan sumberdaya nutrisi; ii) ada beberapa spesies
dapat mewujudkan ketahanan diri lebih tinggi terhadap efek bahan pencemar dan
memiliki kemampuan berkompetisi di antara spesies. Rondo (1982) mengemukakan
bahwa suatu takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus
eksklusif dengan frekuensi kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi
kehadiran 50%, dan predominan. Suatu takson dikatakan predominan jika kepadatan
relatifnya minimal 10%.
Menurut Tarigan (2009 ) alasan pemilihan makrobentos sebagai indikator biologis
adalah sebagai berikut:
a. Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan di identifikasi.
b. Mobilitas terbatas sehingga mudah dalam pengambilan sampel.
c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah
(exposed) oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobentos dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan.
Kelebihan makrobentos sebagai indikator pencemaran adalah jumlahnya relatif
banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan di identifikasi, bersifat immobil,
dan
memberikan
tanggapan
berbeda
terhadap
kandungan
bahan
penelitian
Darojah
(2005)
menunjukkan
indeks
keanekaragaman
dalam baku mutu air kelas III. Jika nilai indeks dominansi mendekati 0 berarti tidak
terdapat famili yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam
keadaan stabil. Bila indeks dominan mendekati 1 berarti terdapat famili yang
mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan
ekologis. Hasil penelitian Asriani (2013) menunjukkan indeks keanekaragaman
makrobentos di perairan Desa Motui kabupaten Konawe Utara adalah 0,224-0,514.
Penelitian ini menunjukkan makrobentos yang ditemukan terdiri dari 2 kelas yakni
18 spesies kelas gastropoda dan 8 spesies kelas bivalvia. Hasil penelitian Darojah
(2005) menunjukkan indeks keanekaragaman makrobentos di perairan Rawa Pening
Kabupaten Semarang adalah 0,59-0,89. nilai tersebut termasuk dalam kategori
rendah,karena nilainya >1.
2.9 Faktor Fisika Kimia Lingkungan Perairan
Pengukuran faktor fisik kimia air yang diukur dalam penelitian ini adalah:
Suhu, Kecerahan, pH, salinitas dan DO (Dissolved Oxygene). Menurut Setyono, dkk
(2008), timbulnya variasi dalam suatu populasi tergantung pada sensitifitasnya
terhadap fluktuasi perubahan lingkungan, yakni interaksi antar spesies yang ada.
Setiap spesies akan menunjukkan efek yang berbeda dalam menanggapi suatu
kompetisi dan biodiversitas yang meningkat pada suatu komunitas akan sangat
mendukung terwujudnya stabilitas komunitas tersebut. Bioindikator adalah
kelompok atau komunitas organisme yang saling berhubungan, yang keberadaannya
atau perilakunya sangat erat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu,
sehingga dapat digunakan sebagai satu petunjuk atau uji kuantitatif . Struktur
komunitas organisme perairan dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia air, antara lain:
a. Suhu
Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian
kelautan. Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi
makhluk hidup (Odum, 1984). Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan
organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu
akan mempercepat perkembangbiakkan organisme perairan. Suhu mempengaruhi
proses
morfologi
seperti
bentuk
19
cangkang
Mytilus
edulis,
perairan
Kecamatan
Kota
Lama
Kota
Kupang
adalah
28,6
29,3C. Penelitian Sari (2013) mengenai kualitas air di perairan Teluk Kupang
menunjukkan kisaran suhu perairan pada lokasi pantai Paradiso pada saat air surut
berada pada kisaran suhu antara 28C-29C dengan rata-rata 28,33C, sedangkan
pada saat air pasang berkisar 28C-30C dengan rata-rata 29C, lokasi pantai
Oeba pada saat air surut berada pada kisaran suhu antara 27C-29C dengan ratarata 28C, sedangkan pada saat air pasang berkisar 28C-29C dengan rata-rata
28,67C dan di Muara Kali Dendeng pada saat air surut berada pada kisaran suhu
antara 27C-28C dengan rata-rata 27,33C, sedangkan pada saat air pasang
berkisar 28C-30C dengan rata-rata 29C. Suhu hasil penelitian bila
dibandingkan dengan suhu standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut menurut
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 adalah 28C-32C
untuk kehidupan biota laut,maka suhu hasil penelitian di perairan Teluk kupang
tersebut tergolong layak bagi kehidupan organisme perairan.
20
b. Kecerahan Air
Kejernihan sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut dalam lumpur.
Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan
meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan
menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi . Menurut
Romimohtarto dan Juwana (1985), kekeruhan tidak hanya membahayakan ikan
tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar
matahari untuk fotosintesis. Hasil penelitian Rasyid (2003) menunjukkan tingkat
kecerahan perairan Teluk Kupang berkisar 5-11 meter. Penelitian Sari (2013)
menunjukkan tingkat kecerahan pada saat air pasang di Teluk Kupang pada lokasi
pantai Paradiso berkisar 1,5-2,5 meter dengan nilai rata-rata 2,17 meter, pantai
Oeba berkisar 1,5-2,5 meter dengan nilai rata-rata 1,83 meter dan Muara Kali
Dendeng berkisar 1,5-2,0 meter dengan nilai rata-rata 1,67 meter. Dalam
Keputusan MENLH No.51 Tahun 2004,disebutkan bahwa baku mutu kecerahan
air laut yang layak untuk kehidupan biota laut adalah di atas 5
meter,dibandingkan data hasil penelitian, maka perairan Teluk Kupang tergolong
layak bagi kehidupan organisme perairan.
c. pH
Nilai
pH
menunjukkan
derajat
keasaman
atau
kebasaan
suatu
perairan. Nilai pH perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam
pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan
berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa
toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Nilai pH, biasanya dipengaruhi
oleh laju fotosintesis, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya,
2000). Pada perairan alami, nilai pH umumnya adalah sebesar 7.80-8.40.
Perubahan nilai pH akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini
juga akan mempengaruhi sebaran organisme yang metabolismenya tergantung
pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut (Odum 1993). Perairan dengan pH yang
terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang
hidup didalamnya. Hasil penelitian Rasyid (2003) menunjukkan pH rata-rata
perairan
Teluk
Kupang
berkisar
7,06-8,2,
penelitian
Kangkan
(2006)
22
sehingga air cenderung keluar dari dalam tubuh. Maka dari itu regulasi
konsentrasi larutan garam di dalam cairan tubuh sangat vital dan proses itu
memerlukan banyak energi. Pengaruh salinitas terhadap distribusi hewan di
lingkungan perairan tampak pada perbedaan macam jenis dan populasi hewan
yang hidup di lingkungan air tawar, payau dan laut (Susanto, 2000). Salinitas
merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang membedakannya dengan air
tawar.
Hampir semua organisme laut hanya dapat hidup pada perairan yang
memiliki perubahan salinitas sangat kecil. Hasil penelitian Rasyid (2003)
menunjukkan salinitas perairan Teluk Kupang rata-rata 33-35 ,penelitian Lopo
(2006) menunjukkan salinitas perairan Kecamatan Kota lama Kota Kupang ratarata 41,7545,47 ,sedangkan hasil penelitian Sari (2013) menunjukkan salinitas
perairan Teluk Kupang rata-rata 29-33 . Menurut Gross (1972) menyatakan
bahwa gastropoda umumnya mentoleransi salinitas berkisar antara 2540 .
Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat Stenohaline dan
Euryhaline. Biota yang mampu hidup pada kisaran yang sempit disebut sebagai
biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang mampu hidup pada kisaran
luas disebut sebagai biota Euryhaline (Marbun, 2007). Keadaan salinitas akan
mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal.
Menurut Barnes (1980) dikutip dari Marbun (2007), pengaruh salinitas secara
tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi dalam suatu
ekosistem. Menurut Gross (1972) dikutip dari Marbun (2007), menyatakan bahwa
hewan bentos umumnya dapat mentoleransi salinitas berkisar antara 25 40 .
f. Tipe substrat
Dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu
juga oleh kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997),
Barnes dan Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam
tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir dan berbatu. Pada daerah pesisir
dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung
berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai
terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang
23
mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam,
maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu.
Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga
cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun,
berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap di dataran lumpur
juga
mempunyai
kemampuan
untuk
menyumbat
permukaan
alat
suspended
feeder. Diantara
kelompok Polychaeta,
Bakteri. Disamping
Bivalvia,
itu
juga
yang
umum
Crustaceae,
ditemukan
ditemukan
adalah
Echinodermata dan
gastropoda
dengan
indeks
ditemukan
termasuk
kelompok herbivora,
scavenger, suspended
feeder dan predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna,
seperti gastropoda, crustacea, bivalvia dan echinodermata.
24
Permukiman
Pelabuhan
Pariwisata
Limbah Plastik
Pengukuran Proporsi,
Kepadatan Mutlak dan
Pencemaran Perairan
Kepadatan Relatif
Penurunan Kualitas Air
Pengukuran Biologi
Indeks Komunitas
Makrobentos Meliputi:
1. Kepadatan
2. Keanekaragaman
3. Dominansi
4. Kemerataan
5. Kemiripan
6. Kekayaan
2.11 Hipotesis
1. Tidak ada pengaruh limbah plastik terhadap struktur komunitas makrobentos
2. Tidak ada korelasi limbah plastik tertentu dan makrobentos
26
BAB III
METODE PENELITIAN
Sumber :
BBKSDA NTT
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Limbah Plastik Pada titik A,B,C,D dan E
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa
sampah/limbah plastik, sampel air, sampel sedimen dasar perairan dan
formalin 4% .
Peralatan yang digunakan berupa GPS, roll meter, Ekman grab 15 x 15
cm2, sedimen sieve 300 m, termometer, refraktometer, pH meter, oxymeter,
27
Sampah Plastik
a. Proporsi
b. Kepadatan mutlak
c. Kepadatan relatif
3.4.2 Makrobentos
a. Kepadatan
b. Keanekaragaman
c. Dominansi
d. Kemerataan
e. Kemiripan
f. Kekayaan Jenis
3.4 Parameter
3.4.1 Fisika
a. Kecerahan
b. Suhu perairan
3.4.2 Kimia
a. pH
b. DO
c. Salinitas
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Limbah Plastik
Tahapan kerja antara lain:
1. Menentukan lokasi penelitian.
Sebelum sampel diambil terlebih dahulu melakukan survei di
areal pesisir Teluk Kupang, selanjutnya menentukan stasiun
pengambilan sampel berada pada lima titik yaitu : sekitar pelabuhan
Ferry Bolok (titik A), sekitar pesisir pantai Namosain (titik B),
muara kali Dendeng LLBK (titik C), pesisir pantai Oeba (titik D)
dan pesisir pantai Oesapa titik E.
2. Menarik garis transek dan mendata
Pada setiap titik dibuat tiga (3) transek tegak lurus garis pantai,
dengan jarak antar transek 50 m dan panjang transeknya 100 m.
28
Makrobentos
Sampel sedimen akan diambil dengan Ekman Grab dengan
29
Keterangan :
= Titik pengambilan sampel
dengan alat Ekman Grab
bukaan 15 x 15 cm2
Gambar 3.2. Skema Transek Limbah Plastik dan Makrobentos
Pada Setiap Titik Pengambilan Sampel
3.5.3
parameter
fisik
seperti:
suhu
(temperatur)
31
ini
diperoleh
melalui
perhitungan
proporsi,
ni
X 100%
N
dimana:
ni
KM
=
(berat
limbah
32
plastik)
Untuk makrobentos
Makrobentos yang telah didefinisikan dihitung kepadatannya
Ki=
10000
X ai
b
Dimana :
Ki
ai
10000
Konversi dari cm ke m
2. Indeks keanekaragaman
Indeks
keanekaragaman
penggambaran
secara
adalah
matematik
suatu
yang
pernyataan
melukiskan
atau
struktur
jenis
dan
jumlah
organisme.
Pengolahan
data
keanekaragaman menggunakan indeks keanekaragaman Shannonwiener dikutip dari Odum (1993) sebagai berikut:
s
H' = pi log2 P i
i=1
33
Dimana :
H
Pi
ni/N
ni
Log2 pi
3.321928 x log pi
3. Indeks dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya
organisme makrobentos yang mendominasi suatu lingkungan
perairan. Rumus indeks dominasi digunakan rumus Simpson Odum
(1993) sebagai berikut:
s
ni
C= [ ] =
i=1 N
P i
i=1
Dimana :
C
Indek dominansi
ni =
Pi
Jumlah spesies/genus
H'
H max
34
Dimana :
E
Indeks kemerataan
H max
3,3219 log S
2C
X 100%
A+B
Dimana :
S
Indeks kemiripan
Indeks
> 90%
90%
60%
30%
35
kekayaan
jenis/spesies
dalam
suatu
habitat
(Odum,1993).
D Mg =
(S-1)
ln N
Dimana :
3.5.3
DMg
Analisis Statistik
Bandingkan antar lokasi A, B, C, D dan E dengan ANOVA satu
arah pada taraf 5 %, lalu uji Tukey pada 0,05. Sedangkan untuk
melihat korelasi antara massa limbah plastik, jenis substrat dan indeksindeks makrobentos, dilakukan uji korelasi Spearman (Zar,1996).
DAFTAR PUSTAKA
36
37
38
39
41
42