Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota Kupang merupakan ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak
di kawasan pesisir tepatnya di Teluk Kupang. Kawasan pesisir Teluk Kupang terletak
antara 991LS-12323BT dan 1040 LS-12333 BT, mempunyai luas 126.95 km2
dan panjang garis pantai 22,7 km, termasuk dalam lingkup kawasan Taman Wisata
Alam Laut Teluk Kupang. Topografi kawasan pesisir Teluk Kupang datar
bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 3-15 %. Secara hidrologi
kawasan pesisir Teluk Kupang mempunyai tipe pasang surut tunggal, dengan tinggi
muka air rata-rata berkisar antara 1-3 meter dan memiliki salinitas yang cukup
tinggi, terutama pada musim kemarau (RPJMD Kota Kupang, 2013). Kota Kupang
sebagai Kota pesisir dalam kawasan Teluk Kupang, dengan segenap potensi yang
dimilikinya telah menjadi daya tarik bagi berbagai pihak untuk melakukan berbagai
kegiatan perekonomian terutama dengan memanfaatkan ruang pesisir Teluk Kupang
sebagai perwujudan rencana tata ruang meliputi kegiatan pembangunan fisik, sosial
ekonomi dan budaya yang secara visual, historis sebagai bagian ruang yang masih
dipengaruhi oleh air laut. Perkembangan pemanfaatan ruang pesisir Teluk Kupang
secara intensif, mengakibatkan terlampauinya daya dukung sehingga berpeluang
terjadinya pencemaran di perairan.
Aktivitas di kawasan pesisir Teluk Kupang terus meningkat dari waktu ke
waktu seperti pembangunan permukiman, pelabuhan, industri, pariwisata, restauran,
perhotelan, pusat perdagangan dan jasa. Kehadiran bangunan-bangunan di kawasan
pesisir Teluk Kupang mempunyai permasalahan tersendiri, karena sebagian besar
terletak dalam kawasan jalur hijau sempadan pantai dan seharusnya, sesuai
peraturan, merupakan kawasan bebas bangunan agar tidak mengancam sumber daya
kawasan pesisir. Letak bangunan di kawasan pesisir Teluk Kupang langsung
membelakangi laut, ini berarti kemungkinan besar bangunan tersebut akan
membuang berbagai macam bahan pencemarnya ke perairan. Menurut Lutfi (2009),
pada dasarnya bahan pencemar yang mencemari perairan dapat dikelompokkan
1

menjadi: bahan pencemar organik; bahan pencemar penyebab terjadinya penyakit;


bahan pencemar senyawa anorganik/mineral; bahan pencemar organik yang tidak
dapat diuraikan oleh mikroorganisme; bahan pencemar berupa zat radioaktif; bahan
pencemar berupa endapan/sedimen dan bahan pencemar panas. Kehadiran bahan
pencemar/limbah di kawasan pesisir Teluk Kupang juga berasal dari aktivitas
daratan, dibawa oleh badan-badan air menuju ke muara kawasan pesisir.
Limbah di Pesisir Teluk Kupang berasal dari limbah domestik, pertanian,
perkapalan dan pelabuhan. Jenis limbah ini dapat berupa limbah padat, cair, gas dan
B3. Pertumbuhan permukiman padat di kawasan pesisir tentu akan berpengaruh
terhadap buangan limbah. Hasil penelitian Baun (2008) menunjukkan permukiman
pesisir di Kota Kupang umumnya membuang limbah langsung ke kawasan pesisir,
penelitian Bani (2014) menunjukkan kebiasaan masyarakat pesisir di Teluk Kupang
membuang limbah ke laut karena ketiadaan sarana penampung dan ketidaksadaran
masyarakat, sedangkan hasil penelitian Megarini (2014) menunjukkan hotel-hotel di
pesisir Teluk Kupang sebagian besar membuang efluen limbah cairnya ke laut.
Buangan limbah ke pesisir Teluk kupang terus meningkat terutama limbah domestik
hasil buangan rumah tangga.
Limbah domestik seperti limbah padat/sampah mudah masuk ke perairan
karena tidak tertangani secara baik. Data dinas kebersihan dan pertamanan Kota
Kupang (2015) menunjukkan bahwa produksi limbah padat Kota Kupang adalah
1,152 m/hari atau 460,856kg/hari. Secara nasional produksi limbah padat adalah
151.921 ton per hari. Ini berarti, setiap penduduk membuang limbah padat rata-rata
0,85 kg per hari. Dari total limbah padat yang dihasilkan, hanya 80% berhasil
dikumpulkan, sisanya tidak tertangani, termasuk yang berada di wilayah pesisir
(World Bank, 2012). Limbah padat dibuang langsung oleh masyarakat yang tinggal
dekat kawasan pesisir atau terbawa dari tempat lain di daratan melewati badan-badan
air seperti sungai, kali dan selokan ke perairan pesisir . Sesuai pengamatan awal
lapangan di kawasan pesisir Teluk Kupang ditemukan beberapa jenis limbah padat
seperti: kertas, kayu, kain, karet, kulit tiruan, plastik, metal, gelas, pecahan kaca,
busa dan B3. Sesuai hasil penelitian Risamasu (2015) di ekosistem pesisir Desa

Oesapa menunjukkan limbah padat yang terbuang masih didominasi oleh limbah
padat anorganik.
Efek dari kehadiran limbah padat anorganik di perairan dapat mengurangi
nilai oksigen terlarut, karena terambilnya oksigen oleh zat-zat yang dikandung di
dalam limbah padat anorganik tersebut melalui proses oksidasi. Limbah padat
anorganik mengalami proses pencucian di perairan, dimana zat-zat kimia yang
terkandung dalam limbah padat anorganik dapat dengan mudah melarut sehingga
justru menghambat organisme dekomposer untuk melakukan proses mineralisasi dan
pendaur ulang jenis limbah padat organik. Limbah padat anorganik seperti plastik
ditemukan mengapung dapat menghalangi penetrasi cahaya ke perairan, sehingga
menghambat fotosintesis organisme produsen yang berakibat menganggu siklus
energi dan materi di perairan. Selain itu, limbah plastik juga menempati dasar
perairan akan mengendap dan menutupi ruang hidup organisme dasar perairan yang
mobilitasnya rendah dan tidak resisten. Kehadiran limbah plastik di perairan jelas
mengakibatkan daya dukung lingkungan bagi kehidupan organisme

perairan

terancam.
Untuk menaksir adanya pencemaran di perairan, ada berbagai indikator yang
telah digunakan. Diantaranya kualitas air dan bioindikator. Kualitas air adalah
kondisi kualitatif air yang diukur dan atau di uji berdasarkan parameter-parameter
dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
1 keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas
suatu perairan dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi
parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi (Suriawira,1999). Untuk lebih efektif
mengetahui perubahan kualitas air di perairan adalah menggunakan bio
indikator/indikator

biologi.

Bioindikator

adalah

komponen

biotik

berupa

(tanaman/hewan/mikrobial) yang dapat dijadikan indikator kondisi/komposisi


komponen biotik dan abiotik dari waktu ke waktu. Bioindikator dapat digunakan
untuk menentukan kualitas lingkungan, karena biondikator memiliki toleransi
moderat terhadap variabilitas lingkungan, dibandingkan dengan spesies lainnya.
Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap
perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok

makro invertebrata. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrobentos (Rosenberg


dan Resh, 1993).
Makrobentos dapat dijadikan indikator kualitas dari lingkungan perairan
karena mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan termasuk tingkat
pencemaran lingkungan dari waktu ke waktu (Sanagoudra, 2013). Makrobentos
sebagai organisme indikator mempunyai kepekaan yang berbeda-beda terhadap
berbagai jenis limbah, termasuk limbah padat anorganik yang berada di perairan.
1.2 Perumusan Masalah
Limbah plastik di Teluk Kupang merupakan hasil dari buangan permukiman
pesisir dan aktivitas daratan. Data The National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOOA) marine debris program menunjukkan bahwa 60-80% dari
sampah laut berupa limbah plastik, dimana terakumulasi pada pantai, perairan pesisir
dan di dasar laut. Limbah plastik di perairan umumnya dikenal memiliki daya apung.
Namun, hanya 46% dari tipe plastik yang diproduksi mengapung di laut, sedangkan
plastik sendiri bisa kehilangan daya apung dari waktu ke waktu oleh berat karena
penempelan organisme perairan pada akhirnya sejumlah besar plastik ini tenggelam
ke dasar laut. Hasil penelitian di Teluk Tokyo mengatakan pengaruh limbah plastik
mencapai 80-85% terhadap kehidupan komunitas bentos,sedangkan hasil penelitian
di perairan Baltik,Celtik dan Teluk Biscay menunjukkan 70% organisme bentos
mengalami perubahan komposisi komunitas karena dasar perairan tertutup oleh
limbah plastik (California Ocean Science trust,2011). Kehadiran Limbah plastik di
dasar perairan pada kawasan pesisir Teluk Kupang akan menggangu pertukaran gas
antara sedimen dengan air laut dan dapat mempengaruhi jenis organisme bentos
yang hidup di lingkungan tersebut serta kemungkinan perubahan flora dan fauna
dari perairan.
Akumulasi limbah plastik pada kawasan pesisir semakin meningkat.
Umumnya limbah plastik ini berasal dari kegiatan domestik seperti rumah tangga,
kegiatan perdagangan, perkantoran dan tempat-tempat umum lainnya. Buangan
plastik

terbesar

di

Teluk

Kupang,

terutama

limbah

plastik

bekas

kemasan/pembungkus. Sebagai sisa buangan limbah domestik dari kegiatan rumah


tangga, limbah plastik kemasan akan

mengancam ekosistem perairan sebagai

dampak dari peningkatan jumlah penduduk di kawasan pesisir Teluk Kupang.


4

Pemantauan terhadap kualitas perairan harus dilakukan secara rutin dan


berkesinambungan untuk menghindari bahaya lanjut pencemaran perairan. Kualitas
perairan dapat diketahui dan tetap terjaga dari resiko pencemaran yang dapat terjadi
baik secara alami maupun akibat aktivitas antropogenik. Kegiatan yang terus
meningkat akan mempengaruhi perairan ada. Kualitas perairan terus mengalami
perubahan dari waktu ke waktu, untuk itu kegiatan pemantauan kualitas perairan
terus dilakukan. Kegiatan ini meliputi pengukuran terhadap beberapa parameter
mutu air dan menetapkan status mutu air untuk semua klasifikasi berdasarkan baku
mutu air yang ditetapkan. Adapun penentuan parameter penting yang diukur
tergantung dari jenis dan jumlah sumber pencemar yang ada di daerah sekitar
perairan.
Pengujian kualitas air yang telah diberlakukan adalah uji fisik, kimia, biologi,
atau uji kenampakan (bau dan warna). Kualitas air dapat diketahui dengan
melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut. Pengelolaan kualitas air adalah
upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai
peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam kondisi alamiahnya.
Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah suhu, pH
atau konsentrasi ion hidrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan
oksigen biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD), kebutuhan oksigen
kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD) serta penggunaan bioindikator seperti
fitoplankton. Organisme fitoplankton mempunyai banyak kelebihan sebagai tolak
ukur biologis yaitu mampu menunjukkan tingkat ketidakstabilan ekologi dan
mengevaluasi berbagai bentuk pencemaran. Setiap jenis fitoplankton berbeda reaksi
fisiologis dan tingkah lakunya terhadap perubahan kualitas lingkungan.
Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kondisi ketercemaran perairan
adalah dengan menggunakan bioindikator (Birje dan Gravez, 1991). Biondikator
digunakan untuk mendeteksi perubahan lingkungan alam, memantau pencemaran
dan efeknya pada ekosistem di mana organisme hidup, memonitor kemajuan
pembersihan lingkungan dan uji zat seperti air minum, untuk kehadiran kontaminan.
Makrobentos merupakan organisme yang sebagian besar atau seluruh hidupnya
berada di dasar perairan. Olomukoro dan Dirisu, (2014) mengatakan makrobentos

memiliki mobilitas rendah dan siklus hidup dari beberapa minggu atau tahun. Studi
menunjukkan berbagai kelompok makrobentos memiliki periode puncak kepadatan,
yang juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat yang berlaku pada saat itu
(Sanagoudra, 2013). Indeks-indeks biologi dari makrobentos dapat digunakan
sebagai indikasi kesehatan air. Hal ini karena organisme ini memiliki berbagai
macam tanggapan terhadap cekaman, seperti bahan pencemar yang mempengaruhi
kualitas air. Masukan zat pencemar dan beracun ke dalam air permukaan telah
dilaporkan menyebabkan gangguan serius dalam ekosistem perairan (Sarang dan
Sharma, 2004). Pencemaran telah mendegradasi kehidupan makrobentos dan
organisme laut lainnya. Aktivitas antropogenik pada ekosistem perairan pesisir
sangat mengubah struktur komunitas makrobentos (Sanagoudra, 2013). Terjadinya
dominansi organisme makrobentos menunjukkan kualitas air yang buruk dan
ketidakmampuan untuk mendukung kehidupan memadai. Oleh karena itu
makrobentos berguna sebagai bioindikator dalam memahami kesehatan ekologis dari
ekosistem perairan, daripada menggunakan bahan kimia dan data mikrobiologi, yang
setidaknya memberikan fluktuasi jangka pendek (Ravera, 2000; Ikomi et al, 2005;
George et al, 2009 dikutip dari Olomukoro dan Dirisu, 2014 ).
Mengingat makrobentos sebagai organisme indikator untuk melihat adanya
pencemaran di perairan,maka penelitian ini hendak mendeteksi apakah makrobentos
juga cocok digunakan untuk memantau pencemaran oleh limbah plastik.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dapatlah diajukan pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah limbah plastik mempengaruhi struktur komunitas makrobentos yang ada?
2. Apa ada korelasi antara massa limbah plastik dengan struktur komunitas
makrobentos ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proporsi dan kepadatan jenis limbah plastik di perairan pesisir Teluk
Kupang
2. Mendeskripsikan korelasi antara massa limbah plastik dengan struktur komunitas
makrobentos

1.4 Manfaat
6

1. Memberikan informasi ilmiah tentang proporsi dan kepadatan limbah plastik


serta dampak yang ditimbulkan terhadap makrobentos di perairan pesisir Teluk
Kupang
2. Informasi bagi masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan dan
pengelolaan limbah plastik ke depan lebih baik
3. Pemerintah sebagai rujukan untuk menyusun perencanaan penanggulangan
pencemaran di perairan pesisir Teluk Kupang khusus tentang penanganan dan
pengelolaan limbah plastik yang dibuang oleh masyarakat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1

Pengertian Limbah Plastik


Bishop (2000) mendefinisikan limbah (waste) adalah sebagai: A waste is a
resource out of place. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka limbah merupakan
sesuatu yang dibuang dari sumbernya. Menurut Kristanto (2004), limbah adalah
buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Selain itu limbah adalah
material atau barang yang dibuang karena tidak diinginkan (Unicef, 2006 dikutip
dari Putri, 2009).
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah,
menyatakan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat. Sedangkan menurut American Public Health Association,
limbah atau sampah (waste) diartikan sebagai sesuatu yang tidak digunakan, tidak
terpakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia
dan tidak terjadi dengan sendirinya (Kusnoputranto dan Susanna,2000).
Dari beberapa pengertian di atas, maka limbah dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang dibuang dari sumbernva karena tidak digunakan, tidak diinginkan yang
berasal dari kegiaan manusia.

2.2 Limbah Padat Pesisir


Limbah padat atau sampah merupakan salah satu bentuk limbah
yang terdapat di lingkungan (Kusnoputranto dan Susanna, 2000). Menurut Kristanto
(2004), mengartikan limbah padat adalah hasil buangan berupa padatan,lumpur dan
bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. FKM UI mendefinisikan limbah
padat adalah bahan padat yang terjadi karena berhubungan dengan aktivitas manusia
yang tak terpakai lagi, tak disenangi dan dibuang dengan cara-cara saniter kecuali
buangan yang berasal dan tubuh manusia (Kusnoputranto dan Susanna, 2000).
Sementara Hadiwiyoto (1983) menyatakan limbah padat adalah sisa-sisa bahan yang
telah mengalami perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya.

Beragam jenis dan jumlah limbah padat yang dihasilkan oleh manusia
menghilang, dibuang atau dialirkan setiap hari ke lingkungan perairan pantai dan
lautan, atau masuk ke wilayah laut melalui aliran saluran pembuangan dan sumbersumber pencemaran dari daratan lainnya. Komposisi terbesar dari limbah padat ini
adalah plastik, termasuk gelas air mineral plastik atau polysterene, bahan pengepak
(packaging), karet, serta bahan-bahan buangan dari kamar mandi (kondom, diapers,
pembalut wanita, alat suntik, dan sebagainya), logam (kaleng bekas minuman, drum
minyak, penutup botol, kaleng aerosol), gelas (botol minuman, botol kecap, botol
parfum, dan sebagainya), keramik, jaring/tali alat tangkap ikan, pakaian bekas,
serpihan kayu, dan sebagainya.
Berdasarkan karakteristik limbah padat maka Kincloch dan Brock, (2007)
membagi kategori dan deskripsi limbah padat di pantai menjadi (1) plastik kasar
(kaku) mencakup drum plastik penampung dan mengapung (2) plastik halus
(fleksibel) mencakup tas polythen, bungkusan makanan atau minuman ringan (3)
kaca mencakup, botol, pecahan kaca, lampu (4) logam kaleng (makanan dan
minuman) mencakup, penampung minyak, kaleng pewangi (5) kain/kertas/karton
mencakup, kain rombengan, bungkus permen, tali pakaian, karton, tisu (6) tali
tambang mencakup, tali pancing, jaring, tali jerat (7) busa/karet. Contohnya,
polystyrene terapung dan mengapung, tali kulit, bola tenis.
Adanya limbah padat di daerah pesisir menunjukkan bahwa aktivitas manusia
di daratan dan sekitar perairan akan memberikan tekanan pada wilayah pesisir.
Limbah padat sangat berbahaya bagi seluruh biota laut, tertutama biota yang berada
di dasar perairan seperti bentos. Kehadiran limbah padat akan menutupi ruang
pergerakan organisme tersebut, apalagi seperti organisme lamun tentu akan
menghalangi penetrasi cahaya ketika fotosintesis, sehingga berakibat terjadinya
penurunan kadar oksigen terlarut. Hal ini jelas berpengaruh buruk terhadap
kehidupan organisme di laut.

2.3 Komposisi Limbah Padat


Komposisi limbah padat/sampah bervariasi tergantung dari sumbernya, ada
berbentuk sangat padat (seperti besi) hingga yang berbentuk busa/gabus. Komposisi

limbah padat suatu kawasan yang ingin diketahui bergantung pada rencana
pengelolaan limbah padat yang akan dipakai atau digunakan. Atau sebaliknya,
komposisi limbah padat suatu kawasan harus diketahui lebih dulu untuk perencanaan
pengelolaan limbah padat selanjutnya (Kusnoputranto dan Susanna, 2000).
Salah satu cara untuk menentukan komposisi limbah padat yaitu
dengan menghitung jumlah bahan / materi limbah padat dalam gram atau persentase
(%). Benda yang termasuk limbah padat terdiri atas bahan-bahan berikut
(Kusnoputranto dan Susanna, 2000):
1. Logam: kaleng-kaleng, besi, paku, dan sejenisnya
2. Benda yang terbuat dari bahan kertas:kertas, koran, majalah, karton dan lain-lain
3. Benda yang terbuat dari bahan plastik: plastik pembungkus, bekas alat-alat
4.
5.
6.
7.
8.
9.

rumah tangga, dan lainnya


Benda yang terbuat dari bahan karet: ban, sandal dan lain-lain
Benda yang terbuat dari bahan kain: sobekan kain dan sejenisnya
Benda yang terbuat dari kaca/beling pecahan gelas, lampu, botol dan lainnya
Benda yang terbuat dari bahan kayu: kayu, ranting, kursi, meja dan lain- lain
Sisa-sisa makanan, sayuran, buah-buahan dan lainnya
Bahan-bahan dari batu: tanah, abu dan lain-lain
Komposisi limbah padat penting untuk diketahui

dalam perencanaan dan

pengelolaan. Salah satu jenis limbah padat yang berkontribusi dalam menambah
beban di kawasan pesisir berbahan plastik. Limbah plastik dibuat dari bahan sintetis,
umumnya menggunakan minyak bumi sebagai bahan dasar, ditambah bahan-bahan
tambahan yang umumnya merupakan logam berat (kadnium, timbal, nikel) atau
bahan beracun lainnya seperti Chlor. Racun dari plastik ini terlepas pada saat terurai
atau terbakar (Milyandra, 2009). Limbah padat (debri) laut menjadi masalah global
terutama yang berbahan dasar plastik dan sintetik. Data Direktorat PPLP (2015)
bahwa setiap tahun sekitar 8,8 juta ton limbah plastik dibuang ke laut. Hasil
penelitian Risamasu (2015) menunjukkan limbah padat anorganik berupa plastik,
kain dan tali di ekosistem pesisir Desa Oesapa sangat dominan.
2.4 Jumlah Produksi Limbah Padat
Jumlah produksi limbah padat bergantung pada beberapa faktor antara lain
sebagai berikut (Kusnoputranto dan Susanna, 2000):
1. Jumlah, kepadatan dan aktivitas penduduk
Bila kepadatan suatu daerah sangat tinggi, maka kemungkinan limbah padat
diserap oleh lingkungan secara alamiah akan berkurang karena

10

sempitnya atau

tidak tersedianya lahan yang memungkinkan penyerapan limbah padat tersebut.


Dengan demikian jumlah sampah yang dikumpulkan akan semakin banyak.
2. Sistem pengumpulan dan pembuangan limbah padat
Sistem pengumpulan, pengangkutan limbah padat yang dipakai sangat
mempengaruhi jumlah limbah padat yang dikumpulkan. Semakin baik
sistem pengumpulan dan pengangkutan limbah padat, maka banyak jumlah
produksi limbah padatnya.
3. Material yang dapat dimanfaatkan kembali
Adanya bahan-bahan tertentu pada limbah padat yang masih mempunyai
nilai ekonomi, oleh kelompok tertentu akan diambil kembali

untuk dijual dan

dimanfaatkan. Contohnya pecahan kaca atau gelas, besi, plastik, kertas, karton,
dan lainnya yang masih bernilai ekonomi. Dengan demikian, jenis limbah tersebut
yang dikumpulkan jumlahnya akan berkurang.
3. Sosial ekonorni
Faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap jumlah produksi limbah padat di
suatu daerah dalam hal adat istiadat, taraf hidup serta kebiasaan masyarakat.
Kebiasaan masyarakat tercermin dalam cara masyarakat tersebut mengelola
sampahnya.
4. Musim/iklim
Jumlah produksi limbah padat juga dapat dipengaruhi oleh musim atau
iklim, misalnya di daerah beriklim dingin pada musim gugur produksi limbah
padat dapat meningkat dibandingkan pada waktu musim dingin. Begitu pula pada
musim panas, dapat terjadi peningkatan produksi limbah padat terutama pada
daerah daerah pariwisata. Di Indonesia, jumlah produksi limbah padat juga dapat
mengalami peningkatan pada musim buah-buahan.
5. Kebiasaan masyarakat
Kebiasaan masyarakat dalam hal ini misalnya kegemaran suatu kelompok
masyarakat pada jenis makanan tertentu, sehingga produksi limbah padat yang
berasal dan makanan tersebut dominan.
6. Teknologi
Peningkatan produksi limbah padat dapat sejalan dengan peningkatan
teknologi. Dengan adanya kemajuan teknologi maka terdapat jenis limbah padat
yang pada saat ini menjadi masalah, namun dapat pula sebaliknya, kemajuan

11

teknologi dalam hal pengolahan limbah padat, akan dapat mengurangi beban
pengelolaan limbah padat sehingga menjadi lebih efisien.
10. Sumber limbah padat
Jumlah dan komposisi limbah padat bergantung pula pada sumber dari mana
limbah padat berasal. Limbah padat rumah tangga akan berbeda jumlah dan
komposisinya dengan limbah padat industri atau institusi lainnya. Komposisi
limbah padat mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan tersebut
diakibatkan adanya pola hidup masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan
sebagainya.
Perkembangan permukiman yang diiringi dengan semakin padatnya penduduk
menyebabkan semakin sulitnya pengelolaan limbah padat/sampah secara mandiri, di
samping itu meningkatnya aktivitas yang ada tentu membutuhkan suatu lingkungan
yang bersih dan sehat. Namun demikian, tanggung jawab untuk menyediakan
kebutuhan tersebut belum dapat diberikan dengan baik oleh pemerintah sebagai
penyedia. Hal tersebut merupakan tugas dan tanggungjawab bersama antara
pemerintah sebagai penyedia dan masyarakat yang membutuhkan. Pengelolaan
limbah padat secara efektif dan efisien harus dijalankan oleh semua pihak, baik
masyarakat maupun pemerintah. Permasalahan limbah padat merupakan hal yang
krusial bahkan limbah padat dapat dikatakan sebagai masalah kultural karena
dampaknya terkena pada berbagai sisi kehidupan.

2.5 Jenis Limbah Plastik


Plastik merupakan bahan yang dianggap berbahaya bila dihubungkan dengan
dampaknya terhadap lingkungan. Plastik tidak dapat terurai dengan mudah oleh
organisme di lingkungan. Secara kimia plastik adalah polimer rantai panjang dari
atom yang mengikat satu sama lain. Rantai ini membentuk banyak unit molekul
berulang, atau monomer. Suharto (2011) mengatakan secara garis besar plastik dapat
digolongkan menjadi dua golongan besar, yakni plastik yang bersifat termoplastik
dan yang bersifat termoset. Termoplastik dapat dibentuk kembali dengan mudah dan
diproses menjadi bentuk lain, sedangkan jenis thermoset bila telah mengeras tidak
dapat dilunakkan kembali. Plastik yang paling umum digunakan dalam kehidupan
12

sehari-hari adalah dalam bentuk termoplastik. Saat ini plastik diklasifikasikan


menjadi 7 (tujuh) kelompok. Ciri masing-masing kelompok plastik dibedakan atas
nama populernya, rumus molekul, kegunaan dan bisa didaur-ulang atau tidak.
Pengelompokan plastik berdasarkan Suharto (2011) itu adalah: i) PET adalah
singkatan dari Polyethylene Terephthalate; merupakan resin polyester yang tahan
lama, kuat, ringan dan mudah dibentuk ketika panas. Rumus molekulnya adalah (CO-C6H5-CO-O-CH2-CH2-O-)n. PET dapat ditemukan pada botol air, botol soda,
botol jus, botol minyak goreng, kemasan makanan dan lain-lain, ii) HDPE adalah
singkatan dari High Density Polyethylene merupakan resin yang liat, kuat dan kaku
yang berasal dari minyak bumi. Rumus molekulnya adalah (-CH 2- CH2-)n. HDPE
dapat ditemukan pada cerek, botol detergen, botol obat, botol oli, botol shampoo,
kemasan juice, botol sabun cair, kemasan kopi dan botol sabun bayi, iii) PVC adalah
singkatan dari Polyvinyl Chloride merupakan resin yang liat dan keras yang tidak
terpengaruh oleh zat kimia lain. Rumus molekulnya adalah (-CH 2- CHCl-)n. PVC
dapat ditemukan pada tanda lalu lintas, botol minyak goreng, kabel listrik, botol
pembersih kaca, mainan, botol shampoo, pipa air dan kemasan makanan cepat saji,
iv) LDPE adalah singkatan dari Low Density Polyethylene merupakan plastik yang
mudah dibentuk ketika panas, terbuat dari minyak bumi, memiliki rumus
molekulnya adalah (-CH2- CH2-)n. LDPE dapat ditemukan pada tas plastik, botol,
kotak penyimpanan, mainan, perangkat komputer dan wadah cetakan,v) PP
singkatan dari Polypropylene merupakan plastik polymer yang mudah dibentuk
ketika panas, rumus molekulnya adalah (-CHCH3-CH2-)n. Polypropylene dapat
ditemukan pada wadah makanan, kemasan, pot tanaman, tutup botol obat, tutup
margarin, tutup lainnya, sedotan, mainan, tali, pakaian dan berbagai bentuk yang
bukan botol. vi) PS singkatan dari Polystyrene merupakan plastik polymer yang
mudah dibentuk bila dipanaskan, rumus molekulnya adalah (-CHC6H5-CH2-)n.
Polystyrene dapat ditemukan pada perkakas dari plastik, kotak CD, gelas plastik,
wadah makanan dan nampan.
2.6 Karaktristik Ekosistem Pantai
Kawasan perairan pantai ini merupakan bagian samudra yang sempit sekali
jika dibandingkan dengan luas perairan kita. Akan tetapi dengan panjang pantai

13

81.000 km lebih, maka kawasan ini masih merupakan kawasan yang luas. Sesuai
dengan letaknya, kawasan ini merupakan pertemuan antara pengaruh daratan dan
samudra. Hal ini terlihat nyata pada mintakat pasut dan daerah estuari. Perubahanperubahan sifat lingkungan terjadi secara cepat dalam waktu dan ruang sehingga
untuk melakukan penelitian sifat-sifat lingkungan diperlukan ulangan waktu yang
lebih kerap dan jarak tempat observasi lebih dekat daripada samudra bebas,
(Romimohtarto dan Juwana. 2001). Menurut Tarigan (2009), dasar lautan dapat di
bedakan menjadi tiga daerah atau Zona yaitu :
a. Zona litoral yaitu daerah yang masih dapat ditembus oleh cahaya sampai dasar
perairan 0 200 meter.
b. Zona neritik yaitu daerah perairan yang masih ada cahaya, tetapi remang-remang
200 2000 m.
c. Zona abisal yaitu daerah perairan yang tidak lagi dapat ditembus oleh cahaya,
daerah ini mencapai kedalaman lebih dari 2000 meter.

Gambar 1. Diagram Bagian-Bagian Lingkungan Laut


Sumber : Romimohtarto dan Juwana ( 2001).
2.6 Makrobentos
Makrobentos adalah salah satu spesies dari kelompok invertebrate, ditemukan
sebagai hewan yang tertahan pada suatu saringan berukuran 300m. Makrobentos
14

kebanyakan tersusun dari polychaeta,crustaceae,molusca dan banyak kelompok


taksonomi lainnya. Menurut Olomukoro dan Dirisu, (2014), makrobentos adalah
organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar
endapan. Organisme ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti
dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki
perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai
makanan (Pearson dan Rosenberg,1978). Makrobentos ini merupakan organisme
kunci dalam jaring makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai
predator, suspension feeder, detritivor, scavenger dan parasit.
Makrobentos adalah salah satu kelompok penting dalam ekosistem perairan.
Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan detritus, karnivor
atau sebagai pemakan plankton. Berdasarkan cara makannya, makrobentos
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring
air;
2. Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat
dasar.
Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) umumnya terdapat
dominan

di

substrat

berpasir

misalnya

Moluska-Bivalvia,

beberapa

jenis

Echinodermata dan Crustacea. Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada


substrat berlumpur seperti jenis Polychaeta. Menurut Fachrul (2006), daya toleransi
bentos terhadap pencemaran bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian yaitu :
a) Jenis Intoleran
Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran
dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga hanya hidup dan
berkembang di perairan yang belum atau sedikit tercemar.
b) Jenis Toleran
Jenis toleran mempunyai daya toleran yang lebar, sehingga dapat
berkembang mencapai kepadatan tertinggi di perairan yang tercemar berat. Oleh
karena itu, untuk mengetahui kehadiran atau ketidakhadiran organisme pada

15

lingkungan perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat


kualitas suatu habitat.
c) Jenis Fakultatif
Jenis fakultatif dapat bertahan hidup di lingkungan yang agak lebar, antara
perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat
hidup pada perairan yang tercemar berat, jenis ini dibedakan pula menjadi
fakultatif intoleran dan fakultatif toleran.

Tabel 1. Kelompok Bentos Berdasarkan Derajat Toleransinya Terhadap


Pencemaran
No.
1.

2.

Kelompok
Contoh Organisme
Jenis yang tahan terhadap Cacing cacing Tubificid,
bahan pencemar (Jenis

larva nyamuk, siput, terutama

fakultatif)

Masculium sp dan Psidium sp.

Jenis yang lebih jernih/bersih

Siput siput yang senang arus,

(Jenis intoleran)

Bryozoa,

serangga

air

dan

Crustacea.
3.

Jenis yang hanya senang Siput dari suku Vivinatidae dan


bersih

Amnicolidae,

serangga

dari

(Jenis toleran)

bangsa Ephemeridae, Odoanta,


Hemiptera dan Coleptera.

Sumber : Fachrul (2006)


2.7 Makrobentos sebagai Indikator Pencemaran
Makrobentos umumnya sangat peka terhadap perubahan lingkungan perairan
yang ditempatinya, karena itulah makrobentos sering dijadikan sebagai indikator
biologis di suatu perairan karena cara hidupnya, ukuran tubuh dan perbedaan kisaran
16

toleransi diantara spesies dalam lingkungan perairan (Gray dan Pearson, 1982
dikutip dari Casalduero,2001) mengatakan spesies dianggap sebagai indikator
pencemaran bisa dominan karena: i) spesies ini langsung cocok dengan bahan-bahan
terbuang kaya organik yang dijadikan sumberdaya nutrisi; ii) ada beberapa spesies
dapat mewujudkan ketahanan diri lebih tinggi terhadap efek bahan pencemar dan
memiliki kemampuan berkompetisi di antara spesies. Rondo (1982) mengemukakan
bahwa suatu takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus
eksklusif dengan frekuensi kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi
kehadiran 50%, dan predominan. Suatu takson dikatakan predominan jika kepadatan
relatifnya minimal 10%.
Menurut Tarigan (2009 ) alasan pemilihan makrobentos sebagai indikator biologis
adalah sebagai berikut:
a. Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan di identifikasi.
b. Mobilitas terbatas sehingga mudah dalam pengambilan sampel.
c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah
(exposed) oleh air sekitarnya.
d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobentos dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan.
Kelebihan makrobentos sebagai indikator pencemaran adalah jumlahnya relatif
banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan di identifikasi, bersifat immobil,
dan

memberikan

tanggapan

berbeda

terhadap

kandungan

bahan

organik. Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi


oleh faktor hidrologi seperti arus dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).
2.8 Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrobentos
Keanekaragaman jenis makrobentos menurut Krebs (1985), keanekaragaman
jenis yang paling sederhana adalah menghitung jumlah jenis (kekayaan jenis). Ada
dua konsep keanekaragaman (keragaman) jenis yang terdapat dalam komunitas,
yakni :
1. Kekayaan spesies (species richness), yakni jumlah atau cacahan spesies yang ada
di komunitas tersebut.
2. Heterogenitas, yakni penggabungan dari konsep kelimpahan relatif (nisbi).
Artinya dalam menganalisa keanekaragaman spesies yang terdapat pada suatu
17

komunitas, di samping faktor jumlah (cacah) spesies yang ada di komunitas


tersebut, faktor kelimpahan relatif dari masing-masing spesies yang terdapat pada
komunitas itu turut diperhitungkan (Ginting, 2010). Menurut Handayani (2006),
menyatakan bahwa keanekaragaman jenis sebagai jumlah jenis dan jumlah
individu dalam satu komunitas. Jadi keanekaragaman jenis adalah menunjuk pada
jumlah jenis dan jumlah individu setiap jenis.
Kelimpahan adalah kerapatan atau kepadatan populasi dalam area yang
ditempatinya. Dalam membandingkan dua atau lebih komunitas dengan indeks
keanekaragaman yang berbeda, jumlah spesies yang ada dan jumlah individu dalam
tiap-tiap spesies biasanya tampak, akan tetapi derajat kesamaan dalam distribusi
individu atas spesies tidak tampak. Hasil penelitian Asriani (2013) menunjukkan
indeks keanekaragaman makrozoobentos di perairan Desa Motui Kabupaten Konawe
Utara adalah 0,224-0,514. Penelitian ini menunjukkan makrobentos yang ditemukan
terdiri dari 2 kelas yakni 18 spesies kelas gastropoda dan 8 spesies kelas bivalvia.
Hasil

penelitian

Darojah

(2005)

menunjukkan

indeks

keanekaragaman

makrozoobentos di perairan Rawa Pening Kabupaten Semarang adalah 0,59-0,89.


Nilai tersebut termasuk dalam kategori rendah,karena nilainya >1.
Nilai indeks keanaekaragaman 2,5-2,0 maka kualitas perairan dalam baku
mutu air kelas I dan II, jika nilai indeks keanaekaragaman 1,9-1,0 maka kualitas
perairan dalam baku mutu air kelas III. Jika nilai indeks dominansi mendekati 0
berarti tidak terdapat famili yang mendominasi spesies lainnya atau struktur
komunitas dalam keadaan stabil. Bila indeks dominan mendekati 1 berarti terdapat
famili yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena
terjadi tekanan ekologis.
Dominansi adalah jenis individu yang paling banyak jumlahnya. Dominansi
merupakan pengendalian nisbi yang diterapkan makhluk atas komposisi spesies
dalam komunitas. Hasil penelitian Asriani (2013) menunjukkan indeks Dominansi
makrobentos di perairan Desa Motui kabupaten Konawe Utara adalah 0,535-0,814.
Nilai indeks dominansi ini menunjukkan nilai dominansi yang tinggi.
Nilai indeks keanekaragaman 2,5-2,0 maka kualitas perairan dalam baku mutu
air kelas I dan II, jika nilai indeks keanaekaragaman 1,9-1,0 maka kualitas perairan
18

dalam baku mutu air kelas III. Jika nilai indeks dominansi mendekati 0 berarti tidak
terdapat famili yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam
keadaan stabil. Bila indeks dominan mendekati 1 berarti terdapat famili yang
mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan
ekologis. Hasil penelitian Asriani (2013) menunjukkan indeks keanekaragaman
makrobentos di perairan Desa Motui kabupaten Konawe Utara adalah 0,224-0,514.
Penelitian ini menunjukkan makrobentos yang ditemukan terdiri dari 2 kelas yakni
18 spesies kelas gastropoda dan 8 spesies kelas bivalvia. Hasil penelitian Darojah
(2005) menunjukkan indeks keanekaragaman makrobentos di perairan Rawa Pening
Kabupaten Semarang adalah 0,59-0,89. nilai tersebut termasuk dalam kategori
rendah,karena nilainya >1.
2.9 Faktor Fisika Kimia Lingkungan Perairan
Pengukuran faktor fisik kimia air yang diukur dalam penelitian ini adalah:
Suhu, Kecerahan, pH, salinitas dan DO (Dissolved Oxygene). Menurut Setyono, dkk
(2008), timbulnya variasi dalam suatu populasi tergantung pada sensitifitasnya
terhadap fluktuasi perubahan lingkungan, yakni interaksi antar spesies yang ada.
Setiap spesies akan menunjukkan efek yang berbeda dalam menanggapi suatu
kompetisi dan biodiversitas yang meningkat pada suatu komunitas akan sangat
mendukung terwujudnya stabilitas komunitas tersebut. Bioindikator adalah
kelompok atau komunitas organisme yang saling berhubungan, yang keberadaannya
atau perilakunya sangat erat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu,
sehingga dapat digunakan sebagai satu petunjuk atau uji kuantitatif . Struktur
komunitas organisme perairan dipengaruhi oleh sifat fisika dan kimia air, antara lain:
a. Suhu
Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian
kelautan. Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan distribusi
makhluk hidup (Odum, 1984). Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan
organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu
akan mempercepat perkembangbiakkan organisme perairan. Suhu mempengaruhi
proses

morfologi

seperti

bentuk
19

cangkang

Mytilus

edulis,

pertumbuhan,reproduksi,metabolisme dan konsumsi oksigen,. Suhu air pada


kisaran 27-31C juga dianggap cukup layak untuk kehidupan molusca seperti
tiram mutiara.
Seluruh spesies yang hidup dalam lingkungan laut, terbatas pada satu
kisaran sempit dari suhu. Umumnya sebagian besar spesies lautan adalah
stenothermal, yaitu organisme yang hanya mampu untuk mentoleransi pada satu
kisaran suhu sempit. Adanya variasi temperatur dalam harian atau variasi
musimaan sangat mempengaruhi metabolisme dan aktivitas spesies. Tenyata
kebanyakan spesies dapat bertahan hidup dalam temperatur turun daripada suhu
naik, dengan perubahan suhu yang sama (misalnya suhu turun 10C, lebih tahan
daripada suhu naik 10C) (Brahmana, 2001). Hasil penelitian Rasyid (2003)
mengenai kualitas perairan Teluk Kupang menunjukkan kisaran suhu perairan
pada lokasi perairan Kelapa Lima berada pada kisaran suhu antara 28C-29C
dengan rata-rata 28C, lokasi perairan Oeba kisaran suhu antara 27C-28C
dengan rata-rata 28C dan lokasi perairan LLBK kisaran suhu antara 27C-28C
dengan rata-rata 28C. Suhu hasil penelitian dari tiga lokasi tersebut tergolong
layak bagi kehidupan organisme perairan. Hasil penelitian Lopo (2012) mengenai
jenis gastropoda sebagai bioindikator kualitas air menunjukkan kisaran nilai suhu
pada

perairan

Kecamatan

Kota

Lama

Kota

Kupang

adalah

28,6

29,3C. Penelitian Sari (2013) mengenai kualitas air di perairan Teluk Kupang
menunjukkan kisaran suhu perairan pada lokasi pantai Paradiso pada saat air surut
berada pada kisaran suhu antara 28C-29C dengan rata-rata 28,33C, sedangkan
pada saat air pasang berkisar 28C-30C dengan rata-rata 29C, lokasi pantai
Oeba pada saat air surut berada pada kisaran suhu antara 27C-29C dengan ratarata 28C, sedangkan pada saat air pasang berkisar 28C-29C dengan rata-rata
28,67C dan di Muara Kali Dendeng pada saat air surut berada pada kisaran suhu
antara 27C-28C dengan rata-rata 27,33C, sedangkan pada saat air pasang
berkisar 28C-30C dengan rata-rata 29C. Suhu hasil penelitian bila
dibandingkan dengan suhu standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut menurut
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 adalah 28C-32C
untuk kehidupan biota laut,maka suhu hasil penelitian di perairan Teluk kupang
tersebut tergolong layak bagi kehidupan organisme perairan.

20

b. Kecerahan Air
Kejernihan sangat ditentukan oleh partikel-partikel terlarut dalam lumpur.
Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan
meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan
menurunkan efisiensi makan dari organisme pemakan suspensi . Menurut
Romimohtarto dan Juwana (1985), kekeruhan tidak hanya membahayakan ikan
tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar
matahari untuk fotosintesis. Hasil penelitian Rasyid (2003) menunjukkan tingkat
kecerahan perairan Teluk Kupang berkisar 5-11 meter. Penelitian Sari (2013)
menunjukkan tingkat kecerahan pada saat air pasang di Teluk Kupang pada lokasi
pantai Paradiso berkisar 1,5-2,5 meter dengan nilai rata-rata 2,17 meter, pantai
Oeba berkisar 1,5-2,5 meter dengan nilai rata-rata 1,83 meter dan Muara Kali
Dendeng berkisar 1,5-2,0 meter dengan nilai rata-rata 1,67 meter. Dalam
Keputusan MENLH No.51 Tahun 2004,disebutkan bahwa baku mutu kecerahan
air laut yang layak untuk kehidupan biota laut adalah di atas 5
meter,dibandingkan data hasil penelitian, maka perairan Teluk Kupang tergolong
layak bagi kehidupan organisme perairan.
c. pH
Nilai

pH

menunjukkan

derajat

keasaman

atau

kebasaan

suatu

perairan. Nilai pH perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam
pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan mempunyai kemampuan
berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa
toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Nilai pH, biasanya dipengaruhi
oleh laju fotosintesis, buangan industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya,
2000). Pada perairan alami, nilai pH umumnya adalah sebesar 7.80-8.40.
Perubahan nilai pH akan mempengaruhi sebaran faktor kimia perairan, hal ini
juga akan mempengaruhi sebaran organisme yang metabolismenya tergantung
pada sebaran faktor-faktor kimia tersebut (Odum 1993). Perairan dengan pH yang
terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang
hidup didalamnya. Hasil penelitian Rasyid (2003) menunjukkan pH rata-rata
perairan

Teluk

Kupang

berkisar

7,06-8,2,

penelitian

Kangkan

(2006)

menunjukkan pH rata-rata perairan Teluk Kupang berkisar 7.97- 8.59,penelitian


21

yang dilakukan Lopo (2012) menunjukkan pH rata-rata di perairan Kecamatan


Kota Lama Kota Kupang berkisar 6,8-7,sedangkan penelitian Sari (2013)
menunjukkan pH perairan Teluk Kupang pada saat air surut di pantai Paradiso
berkisar 7,9-8,1 dengan nilai rata-rata 8,0, pantai Oeba berkisar 7,6-7,9 dengan
nilai rata-rata 7,8 dan Muara Kali Dendeng berkisar 7,5-7,9 dengan nilai rata-rata
7,69,dan pada saat air pasang di pantai Paradiso berkisar 7,9-8,1 dengan nilai ratarata 8,03, pantai Oeba berkisar 7,7-7,9 dengan nilai rata-rata 7,83 dan Muara Kali
Dendeng berkisar 7,6-7,8 dengan nilai rata-rata 7,7. Berdasarkan Baku Mutu Air
Laut, maka perairan Teluk Kupang sesuai dengan kegiatan perikanan,pariwisata
dan rekreasi.
d. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan makrobentos dan
organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Tiap-tiap spesies biota
akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi
oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi
lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran
toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja. Berdasarkan
kandungan oksigen terlarut (DO), Lee et al. (1978) mengelompokkan kualitas
perairan atas empat yaitu; tidak tercemar (> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5 6,5
mg/l), tercemar sedang (2,0 4,4 mg/l) dan tercemar berat (< 2,0 mg/l). Kadar
oksigen terlarut dapat dihubungkan dengan tingkat kecerahan perairan. Semakin
cerah suatu perairan maka semakin memudahkan penetrasi cahaya ke perairan.
Kehadiran limbah di perairan tentu akan menyulitkan organisme produsen
menyediakan oksigen bagi kebutuhan perairan.
e. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi ion yang terdapat di perairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat di konversi menjadi
oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan
organik telah dioksidasi (Effendi, 2003). Salinitas air laut umumnya berkisar
antara 33-38 . Hewan yang hidup di habitat laut pada umumnya bersifat
isotonik terhadap salinitas air laut sehingga tidak ada peresapan air ke dalam
tubuh hewan. Di samping itu, di laut banyak hewan yang bersifat hipotonik

22

sehingga air cenderung keluar dari dalam tubuh. Maka dari itu regulasi
konsentrasi larutan garam di dalam cairan tubuh sangat vital dan proses itu
memerlukan banyak energi. Pengaruh salinitas terhadap distribusi hewan di
lingkungan perairan tampak pada perbedaan macam jenis dan populasi hewan
yang hidup di lingkungan air tawar, payau dan laut (Susanto, 2000). Salinitas
merupakan ciri khas perairan pantai atau laut yang membedakannya dengan air
tawar.
Hampir semua organisme laut hanya dapat hidup pada perairan yang
memiliki perubahan salinitas sangat kecil. Hasil penelitian Rasyid (2003)
menunjukkan salinitas perairan Teluk Kupang rata-rata 33-35 ,penelitian Lopo
(2006) menunjukkan salinitas perairan Kecamatan Kota lama Kota Kupang ratarata 41,7545,47 ,sedangkan hasil penelitian Sari (2013) menunjukkan salinitas
perairan Teluk Kupang rata-rata 29-33 . Menurut Gross (1972) menyatakan
bahwa gastropoda umumnya mentoleransi salinitas berkisar antara 2540 .
Berdasarkan perbedaan salinitas, dikenal biota yang bersifat Stenohaline dan
Euryhaline. Biota yang mampu hidup pada kisaran yang sempit disebut sebagai
biota bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang mampu hidup pada kisaran
luas disebut sebagai biota Euryhaline (Marbun, 2007). Keadaan salinitas akan
mempengaruhi penyebaran organisme, baik secara vertikal maupun horizontal.
Menurut Barnes (1980) dikutip dari Marbun (2007), pengaruh salinitas secara
tidak langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi dalam suatu
ekosistem. Menurut Gross (1972) dikutip dari Marbun (2007), menyatakan bahwa
hewan bentos umumnya dapat mentoleransi salinitas berkisar antara 25 40 .
f. Tipe substrat
Dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu
juga oleh kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997),
Barnes dan Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam
tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir dan berbatu. Pada daerah pesisir
dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung
berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai
terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang

23

mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam,
maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu.
Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga
cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun,
berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap di dataran lumpur
juga

mempunyai

kemampuan

untuk

menyumbat

permukaan

alat

pernafasan. Bentos yang dominan hidup di daerah substrat berlumpur tergolong


dalam

suspended

feeder. Diantara

kelompok Polychaeta,
Bakteri. Disamping

Bivalvia,
itu

juga

yang

umum

Crustaceae,

ditemukan

ditemukan

adalah

Echinodermata dan

gastropoda

dengan

indeks

keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran


bentos.
Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi
organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel
substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat
pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu
menggali liang di dalam pasir dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1
1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau dari
kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan
adalah kelompok suspended feeder dan karnivor. Organisme yang dominan
adalah Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea.
Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat
makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies
hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih
kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang
disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan
yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor
lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang
banyak

ditemukan

termasuk

kelompok herbivora,

scavenger, suspended

feeder dan predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna,
seperti gastropoda, crustacea, bivalvia dan echinodermata.

24

2.10 Kerangka Penelitian

Pesisir Teluk Kupang


Aktivitas Manusia

Permukiman

Pelabuhan

Pariwisata

Limbah Plastik
Pengukuran Proporsi,
Kepadatan Mutlak dan

Pencemaran Perairan

Kepadatan Relatif
Penurunan Kualitas Air

Pengukuran Fisik dan Kimia

Suhu, Kecerahan, pH,


DO dan Salinitas
Baku Mutu Air Laut Sesuai
Kepmen. LH No.51 Tahun
25
2004

Pengukuran Biologi

Indeks Komunitas
Makrobentos Meliputi:
1. Kepadatan
2. Keanekaragaman
3. Dominansi
4. Kemerataan
5. Kemiripan
6. Kekayaan

Struktur Komunitas Makrobentos

2.11 Hipotesis
1. Tidak ada pengaruh limbah plastik terhadap struktur komunitas makrobentos
2. Tidak ada korelasi limbah plastik tertentu dan makrobentos

26

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi


Waktu penelitian akan berlangsung selama tiga bulan dari bulan Mei
sampai Juli 2016. Lokasi penelitian di 5 (lima) titik sepanjang pesisir Teluk
Kupang. Lokasi yang dipilih memiliki limbah plastik yang sangat banyak,
yaitu kawasan sekitar pelabuhan Ferry Bolok sebagai (titik A), pesisir pantai
Namosain (titik B), muara kali Dendeng LLBK (titik C), pesisir pantai Oeba
(titik D) dan pesisir pantai Oesapa titik E.

Sumber :
BBKSDA NTT

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Limbah Plastik Pada titik A,B,C,D dan E
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa
sampah/limbah plastik, sampel air, sampel sedimen dasar perairan dan
formalin 4% .
Peralatan yang digunakan berupa GPS, roll meter, Ekman grab 15 x 15
cm2, sedimen sieve 300 m, termometer, refraktometer, pH meter, oxymeter,

27

sechi disc, kantong sampel, sarung tangan, masker, kantong plastik,


timbangan, sekop, sepatu boat, linggis, parang, kamera dan alat tulis menulis.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
3.4.1

Sampah Plastik

a. Proporsi
b. Kepadatan mutlak
c. Kepadatan relatif
3.4.2 Makrobentos
a. Kepadatan
b. Keanekaragaman
c. Dominansi
d. Kemerataan
e. Kemiripan
f. Kekayaan Jenis
3.4 Parameter
3.4.1 Fisika
a. Kecerahan
b. Suhu perairan
3.4.2 Kimia
a. pH
b. DO
c. Salinitas
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Limbah Plastik
Tahapan kerja antara lain:
1. Menentukan lokasi penelitian.
Sebelum sampel diambil terlebih dahulu melakukan survei di
areal pesisir Teluk Kupang, selanjutnya menentukan stasiun
pengambilan sampel berada pada lima titik yaitu : sekitar pelabuhan
Ferry Bolok (titik A), sekitar pesisir pantai Namosain (titik B),
muara kali Dendeng LLBK (titik C), pesisir pantai Oeba (titik D)
dan pesisir pantai Oesapa titik E.
2. Menarik garis transek dan mendata
Pada setiap titik dibuat tiga (3) transek tegak lurus garis pantai,
dengan jarak antar transek 50 m dan panjang transeknya 100 m.
28

Setiap garis transek ditempatkan kuadran dengan luasan 10 x 10 m


untuk pengambilan sampel dengan jarak antar kuadran 20 m, dimana
1 transek ditempatkan di daratan (pantai berpasir kering), 1 transek
di zona tengah (lamun) dan 1 transek (terumbu karang). Dari setiap
kuadran data limbah plastik yang ditemukan dicatat pada data sheet
meliputi jenis limbah plastik, jumlah limbah plastik per jenis dan
berat per jenis limbah plastik (Risamasu, 2015). Data limbah plastik
yang diperoleh kemudian dikelompokkan menurut kategori limbah
plastik mengikuti petunjuk (Risamasu, 2015).
3.5.2

Makrobentos
Sampel sedimen akan diambil dengan Ekman Grab dengan

bukaan 15 x 15 cm2 (dalam kuadran 1 x 1 m ditampilkan pada gambar


3.2). Di laboratorium,sampel segera di saring dengan ayakan sedimen
berukuran mesh size 1 mm (0,04 inci). Untuk membantu memisahkan
bentos dari lumpur atau pasir, maka dialirkan air ke mulut saringan.
Bentos yang terkumpul dimasukkan ke botol sampel, diawetkan dalam
larutan formalin 4% dan diberi label.
Identifikasi makrobentos dilakukan menurut petunjuk Robert et
al. (1982) dan Dharma (2005), di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan Universitas Nusa Cendana.

29

Keterangan :
= Titik pengambilan sampel
dengan alat Ekman Grab
bukaan 15 x 15 cm2
Gambar 3.2. Skema Transek Limbah Plastik dan Makrobentos
Pada Setiap Titik Pengambilan Sampel
3.5.3

Pengukuran parameter fisik dan kimia


Pengukuran

parameter

fisik

seperti:

suhu

(temperatur)

menggunakan termometer. Pengukuran suhu air permukaan dilakukan


pada saat pengambilan sampel. Kecerahan diukur menggunakan sechi
disk, sedangkan parameter kimia seperti: salinitas menggunakan
refraktometer, pH diukur menggunakan pH meter, oksigen terlarut
diukur menggunakan DO meter. Pengukuran parameter lingkungan
dilakukan sebagai berikut:
a. Suhu (temperatur)
Untuk mengukur suhu perairan pada lokasi penelitian ini
digunakan termometer, dengan cara sebagai berikut: Termometer
dimasukkan ke dalam badan air setiap titik penelitian, kemudian
diangkat untuk melihat posisi air raksa pada termometer Celcius.
Hasil pengamatan dicatat dalam data sheet.
30

b. Salinitas (kadar garam)


Untuk mengukur kadar garam (salinitas) perairan dari lokasi
penelitian ini digunakan refraktometer. Cara pengukurannya sebagai
berikut : Air laut dari setiap titik diambil lalu diteteskan pada lensa
depan refraktometer kemudian perhatikan angka yang ditunjukkan
pada refraktometer melalui teropong.
c. Tingkat keasaman (pH)
pH diukur dengan menggunakan pH meter, dengan cara
sebagai berikut: Masukkan kabel terminal dan peralatan pH meter ke
dalam sampel air laut, lalu menekan tombol on, pada saat itu
terlihat angka pada peralatan pH meter.
d. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut pada lokasi penelitian diukur menggunakan
Oxymeter. Caranya : masukkan kabel terminal dan oxymeter ke
dalam sebuah botol yang berwarna gelap yang terisi air laut
sebanyak 50 mililiter yang diambil dan setiap titik, lalu menekan
tombol on pada oxymeter, sehingga angka-angka pada alat itu
bermunculan. Angka tetap yang muncul menggambarkan besarnya
DO. Angka ini dicatat dalam data sheet.
e. Kecerahan air
Kecerahan air ditentukan dengan menggunakan alat sechi disc.
Cara mengamati kecerahan air pada perairan lokasi penelitian ini
sebagai berikut: Masukkan sechi disc ke dalam perairan pada setiap
titik sambil melihat piringan yang terpasang pada ujung peralatan
sechi disc yang bercat putih hitam apabila pada kedalaman tertentu
sechi disc masih dapat terlihat maka daerah itu mempunyai
kecerahan yang cukup bagus atau sebaliknya.
Pengambilan sampel air pada setiap stasiun pengamatan
dilakukan 3 kali,interval waktu antar sampling 14 hari.

31

3.5 Analisis Data


3.5.1 Untuk Limbah Plastik
Data yang diperoleh dari lapangan di analisis untuk
menentukan dampak limbah plastik terhadap perairan pesisir di Teluk
Kupang. Informasi

ini

diperoleh

melalui

perhitungan

proporsi,

kepadatan mutlak dan kepadatan relatif limbah plastik untuk


menentukan dampak limbah plastik terhadap perairan pesisir di Teluk
Kupang (Risamasu,2015). Adapun perhitungannya sebagai berikut:
1. Proporsi limbah plastik (%)

ni
X 100%
N
dimana:
ni

Jumlah jenis limbah plastik ke-i

Jumlah total seluruh jenis limbah plastik

2. Kepadatan Mutlak (KM) (jumlah potongan limbah plastik)


=

Jumlah potongan limbah plastik dalam tiap kategori


2
Luas area (m )

KM
=

(berat

limbah

Berat limbah plastik dalam tiap kategori


2
Luas area (m )

3. Kepadatan Relatif (KR) (jumlah potongan limbah plastik)

Jumlah potongan limbah plastik dalam tiap kategori


X 100%
Jumlah total potongan limbah plastik dalam semua kategor i

32

plastik)

Jumlah total potongan limbah plastik dalam semua kategori KR


(berat limbah plastik)

Berat limbah plastik dalam tiap kategori


X 100%
Jumlah total berat potongan limbah plastik dalam semua kategori
3.5.2

Untuk makrobentos
Makrobentos yang telah didefinisikan dihitung kepadatannya

dengan rumus Shannon-Wieener dikutip dari Odum, 1993.


1. Kepadatan

Ki=

10000
X ai
b
Dimana :
Ki

Kepadatan makrobentos (ind/ m)

ai

Jumlah individu makrobentos jenis ke-i


pada setiap bukaan paralon

Luas bukaan paralon (cm2)

10000

Konversi dari cm ke m

2. Indeks keanekaragaman
Indeks

keanekaragaman

penggambaran

secara

adalah

matematik

suatu

yang

pernyataan

melukiskan

atau

struktur

kehidupan dan dapat mempermudah dalam menganalisis informasi


tentang

jenis

dan

jumlah

organisme.

Pengolahan

data

keanekaragaman menggunakan indeks keanekaragaman Shannonwiener dikutip dari Odum (1993) sebagai berikut:
s

H' = pi log2 P i
i=1

33

Dimana :
H

Indeks diversitas Shannon-Wiener

Pi

ni/N

ni

Jumlah individu ke-i

Jumlah total individu

Log2 pi

3.321928 x log pi

3. Indeks dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya
organisme makrobentos yang mendominasi suatu lingkungan
perairan. Rumus indeks dominasi digunakan rumus Simpson Odum
(1993) sebagai berikut:
s

ni
C= [ ] =
i=1 N

P i
i=1

Dimana :
C

Indek dominansi

ni =

Jumlah individu ke-i

Jumlah total individu

Pi

Perbandingan jumlah individu jenis ke-I dengan jumlah


individu total yang telah ditemukan

Jumlah spesies/genus

4. Indeks kemerataan /keseragaman


Kemerataan dikatakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi
individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Nilai
kemerataan dihitung dengan menggunakan indeks kemerataan
Evennes Pielou (Krebs, 1985), sebagai berikut:
E=

H'
H max

34

Dimana :
E

Indeks kemerataan

Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

H max

3,3219 log S

Menurut Odum (1993) nilai indeks kemerataan berkisar antara


0-1. Semakin kecil nilai E, menunjukkan penyebaran kelimpahan
jumlah individu tiap spesies tidak sama atau ada kecenderungan atau
spesies mendominasi. Nilai E mendekati 1 artinya sebaran jumlah
individu tiap jenis cenderung merata.
5. Indeks kemiripan/kesamaan
Indeks kemiripan adalah indeks yang digunakan untuk
membandingkan antara dua komunitas pada suatu lokasi penelitian
(Odum, 1993).
S=

2C
X 100%
A+B

Dimana :
S

Indeks kemiripan

Jumlah spesies di stasiun A

Jumlah spesies di stasiun B

Jumlah spesies yang sama di kedua stasiun

Tabel 3.1 Kriteria Kemiripan Jenis Makrobentos


Kriteria
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah

Indeks
> 90%
90%
60%
30%
35

6. Indeks kekayaan jenis (richness) Margalef


Indeks kekayaan jenis adalah indeks yang digunakan untuk
mengetahui

kekayaan

jenis/spesies

dalam

suatu

habitat

(Odum,1993).

D Mg =

(S-1)
ln N

Dimana :

3.5.3

DMg

Indeks kekayaan jenis

Jumlah takson dalam satu sampel

Jumlah total keseluruhan spesies

Analisis Statistik
Bandingkan antar lokasi A, B, C, D dan E dengan ANOVA satu

arah pada taraf 5 %, lalu uji Tukey pada 0,05. Sedangkan untuk
melihat korelasi antara massa limbah plastik, jenis substrat dan indeksindeks makrobentos, dilakukan uji korelasi Spearman (Zar,1996).

DAFTAR PUSTAKA

36

Asriani, W.O. 2013. Studi Kualitas Lingkungan di Sekitar Pelabuhan Bongkar


Muat Nikel (Ni) dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas
Makrozoobentos di Perairan Desa Motui Kabupaten Konawe Utara.
Jurnal Mina Laut Indonesia. Vol. 03 No.12. Hlm 22-35.
Bani, T. 2014. Laporan Observasi Lapangan Pencemaran Pesisir Oesapa
https://www.academia.edu,tanggal akses 10 Pebruari 2016.hlm1-15.
Barnes RSK dan Hughes RN. 1999. An Introduction to Marine Ecology. 3rd ed.
London: Blackwell Science Ltd.
Baun, P. I. 2008. Kajian Pengembangan Pemanfaatan Ruang Terbangun di
Kawasan Pesisir Kota Kupang. [Tesis] Universitas Diponegoro.
Semarang.Hlm1-158.
BBKSDA NTT. 2012. Peta Kerja Kawasan Konservasi Taman Wisata Laut Teluk
Kupang Kota Kupang dan Kabupaten Kupang Provinsi NTT Seluas
50.000 Ha.
Birje, J.W. and Gravez, V. (1991). Bio-indicateurs et diagnostic des systmes
cologiques. Notes from a Master course, Port-Cros, 15-26 July 1991
(unpublished).
Bishop,Paul,L.2000.Pollutan Prevention: Fundmental and practice.U.S: The
McGrawa-hill.
Brahmana, P. 2001. Ekologi Laut. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta.
California Ocean Science Trust, 2011. Plastics Debris In The California Marine
Ecosyestem. Sea Grant University Southern California.p 82
Casalduero, F.G. 2001. Biondicators . Tools for the impact assessment of
aquaculture activities on the marine communities. CIHEAM Cahiers
Options Mditerranennes. Unidad de Biologa Marina, Dpto.
Ciencias Ambientales y Recursos Naturales.Universidad de
Alicante,Spain.pp 147-157.
Darojah, Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrobentos di Ekosistem Perairan
Rawapening Kabupaten Semarang [Skripsi] Universitas Negeri
Semarang.Hlm1-71.
Dharma, B. 2005. Recent & fossil Indonesian shells. Hackenheim, Germany:
Conch Books.
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Kupang, 2015. Dokumen Pribadi.
Direktorat Pengembangan Penyehatan Pemukiman.2015. 10 Negara Pencemar
Sampah Plastik Terbanyak Ke Lautan [Hasil Rangkuman]. Dirjen
Cipta Karya.1Hlm.

37

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Ginting, F. 2010. Studi Kelimpahan dan Keanekaragaman Nekton pada Perairan
Laut Tanjung Tiram Kabupaten Batubara.[Skripsi] Biologi, FMIPA,
Unimed, Medan.
Gross, M.G. 1972. Oceanography A View of The Earth. Prentice Hall, Inc.
Englewood Cliffs, New Jersey.
Handayani, E.A. 2006. Keanekaragaman Jenis Gastropoda di Pantai Randusanga
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Jurnal Saintek Perikanan Vol.4 No.
1.Hlm 76-83.
Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Jakarta
Idayu.
Hawkes, H.A. 1978. Invertebrate as Indicator of River Water Quality. University
of Newcastle. Upon Tyae, Newcastle.
Ikomi RB, Arimoro FO and Odihirin OK. 2005. Composition, distribution and
abundance of macroinvertebrates of the upper reaches of River
Ethiope Delta State, Nigeria. The Zoologist, 3:pp 68 81.
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology With Special Refrence to Animal and Mans.
Pretince-Hall of India Private Limited. New Delhi.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 Tentang
Baku Mutu Air Laut. http://www.menlh.go.id, tanggal akses 09
Pebruari 2016.
Kinloch,B.K. M. A. and Brock, D. J. 2007. Intertidal Reef Biodiversity on
Kangaroo Island. KI NRM Board Coast and Marine Program Report
No. CMP07/00.pp 1-33.
Krebs, C.J. 1985. Ecology : The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Third Edition. New York: Harper and Row Publisher Inc.
Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Penerbit Andi,Yogyakarta. Viii + 352 Hlm.
Kusnoputranto, H. dan Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan. Penerbit
Universitas Indonesia,Jakarta. 211 hlm.
Lind, O.T. 1985. Handbook of Common Methods in Limnology. Kendall/Hunt
Publishing Company. Iowa.

38

Lopo h. 2013. Diversitas Jenis Gastropoda Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan


Pantai
Kecamatan
Kota
Lama
Kota
Kupang.[Skripsi]
http://hanchlopoblogspot.blogspot.co.id diakses 10 Pebruari 2016.
Lutfi,A. 2009. Sumber dan Bahan Pencemaran Air Tanpa Nama Jurnal Vol 1 No I
http://www.chem-is-try.org diakses 9 Pebruari 2016.
Marbun, H.W. 2007. Kualitas Perairan Di Pantai Kota Bandar Lampung
Berdasarkan
Komunitas
Hewan
Makrobenthos,
[Sikripsi],
UniversitasDiponegoro, Semarang.
Medrano,M.G.T. 2015. Diversity of Macrobenthic Invertebrates In The Intertidal
Zone of Brgy Tagpangahoy Tubay Agusan Del Norte Philippines.
International Journal of Technical Research and Applications. Natural
Science and Mathematics Division, Arts and Sciences Program,
Father Saturnino Urios University, 8600 Butuan City, Philippines. pp
05-09.
Megarini, I., R. Gimin dan Suwari 2015. Model Prediksi Pengaruh Limbah Cair
Hotel Terhadap Kualitas Air Laut di Pesisir Teluk Kupang.Jurnal
Manusia dan Lingkungan. Vol. 22, No. 3. Hlm 289-297.
Milyandra,. 2009. Sampah. http://mily.wordpress.com tanggal akses 11 Februari
2016.
Nyabaken, James H. 1997. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT.
Gramedia. Jakarta.
Nkwoji, J.A. 2010. Implications of bioindicators in ecological health: study of a
coastal lagoon, Lagos, Nigeria. Nigerian Institute for Oceanography
and Marine Research, Lagos, Nigeria. Agriculture and Biology
Journal of North America.pp 683-689.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University
Pess. Yogyakarta.
1984. Energy analysis evaluation of coastal alternatives. Water
Science Technology, Rotterdam, Netherlands.pp717-734.
Olomukoro, O. J and Dirisu A. 2014. Macroinvertebrate Community and
Pollution Tolerance Index in Edion and Omodo Rivers in Derived
Savannah Wetlands in Southern Nigeria. Jordan Journal of Biological
Sciences Volume 7, Number 1.
Department of Animal and
Environmental Biology, Faculty of Life Sciences,University of
Benin.pp 19-24.
Pearson, T.H., Rosenberg, R., 1978. Macrobenthic Succession in Relation to
Organic Enrichment and Pollution of The Marine Environment.
Oceanography and Marine Pollution Annual Review 16.pp 229311.

39

Pescod, M. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for


Tropical Countries. AIT, London.
Putri, R.E. 2009. Analisis Potensi Minimalisasi Limbah Padat Domestik di
Instalasi Gizi dan Tata Boga Rumah Sakit Kanker Dharmais Tahun
2009.[Skripsi] Universitas Indonesia.72 Hlm.
Rasyid, S.H.I. 2003. Analisis Kualitas Perairan di Teluk Kupang. [Tesis] Program
Pascasarjana Universitas Nusa Cendana. Kupang.
Ravera O. 2000. Ecological monitoring for water body management. Proceedings
of monitoring Tailor made III. International Workshop on Information
for Sustainable Water Management. pp 157 167.
Risamasu, F.J.L. dkk. 2015. Identifikasi Sampah Domestik dan Dampaknya
Terhadap Ekosistem Pesisir Pada Wilayah Pesisir Desa Oesapa.
Dokumen Hasil Penelitian.Hlm 1-9.
Roberts, D.S. Soemodihardjo dan Wardhana Kastoro, 1982. Shallow Water
Marine Molluscs of North-West Java. LON-LIPI Jakarta.143pp.
Rolston, A and Sabine D. 2009. The Distribution and Abundance of Macrobenthic
Invertebrates in the Murray Mouth and Coorong Lagoons 2006 to
2008. Water for a Healthy Country National Research Flagship.
School of Biology, Department of Science and Engineering, Flinders
University, Adelaide.pp i + 82.
Romimohtarto,K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut.Puslitbang Oseanologi LlPI. Jakarta. 527 hlm.
1991. Pengantar Pemantauan Pencemaran Laut dikutip dari
D.H.Kunarso dan Ruyitno (Eds). Status pencemaran Laut di Indonesia
dan Teknik Pemantauannya. Puslitbang Oceanologi -LIPI, Jakarta.
Hlm 1-13.
Rondo, M. 1982. Hubungan Bentos Sebagai Indikator Ekologi di Sungai
Cikapundung [Tesis] Jurusan Biologi Institut Teknologi,Bandung.
Rosenberg D.M, and Resh V.H. 1993. Introduction to Freshwater Biomonitoring
and Benthic Macroinvertebrates. Chapman dan Hall, New York (US).
RPJMD Kota Kupang 2013-2017,2013. Perda Kota Kupang No. 3 Tahun 2013.
Salas, F., Marcos, C. and Prez-Ruzafa, A. (1999). Los bioindicadores de
contaminacin orgnica en la gestin del medio marino. In:
Contaminacin Marina: Orgenes, Bases ecolgicas, Evaluacin de
Impactos y Medidas Correctoras, Perez-Ruzafa, A., Marcos, C. Salas,
F. and Zamora, S. (eds). Universidad Internacional del Mar,
Universidad de Murcia, Cartagena.
Sanagoudra, S.N. 2013. Species Diversity and Environmental Relationships of
Marine Macrobenthic in Gulf of Kutch, Gujarat, West Coast of India.
40

American Journal of Marine Science. Vol. 1, No. 1. Department of


Studies
and
Research
in
Marine
Biology, Karnataka
University,India.pp 33-37.
Sarang, N. and L.L. Sharma. 2004. Macrobenthic fauna as bioindicator of water
quality in Kishore Sagar Lake, Kota (Rajasthan) India. Department of
Aquaculture, College of FisheriesMaharana Pratap University of
Agriculture & Technology.pp 1-17.
Sari, K. 2013. Pengaruh Aktivitas Manusia Terhadap Kualitas Air di Perairan
Teluk Kupang.[Tesis] Universitas Nusa Cendana.
Sastrawijaya, A.T. 2000.Pencemaran Lingkungan. Edisi kedua. Rineka Cipta,
Jakarta.
Sharma, K. K. and Samita C. 2011. Macroinvertebrate assemblages as biological
indicators of pollution in a Central Himalayan River, Tawi (J&K).
International Journal of Biodiversity and Conservation Vol. 3(5).
Department of Zoology, University of Jammu-180006, Jammu and
Kashmir, India.pp. 167-174.
Septiani, A.Y.B. 2014. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos Sebagai Penentu
Kualitas Air Sungai Mruwe Yogyakarta. Jurnal Fakultas Teknobiologi
Universitas Atma Jaya.Yogyakarta. 11p.
Setyono, P. 2008. Cakrawala Memahami Lingkungan. Surakarta. UNS Press
Sihombing, F. 2009. Distribusi dan Karakteristik Sampah Berdasarkan Aktivitas
Pengunjung Di Pantai Marina City Kota Batam Provinsi Kepulauan
Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Simamora, D.R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai
Padang Kota Tebing Tinggi.[skripsi] Universitas Sumatera
Utara,Medan.67 Hlm.
Snelgrove, P. 1998. The Biodiversity of Macrofaunal Organism in Marine
Sediments. Biodiversity and Conservation, Vol. 7, pp. 1123-1132.
Suharto,.2011. Rancangan Produk Bahan Plastik Daur Ulang Sebagai Upaya
Peningkatan Industri Kreatif. Jurnal rekayasa. Jurusan Teknik Mesin
Politeknik Negeri Semarang.
Sumich, J.L and H. Dudley. 1992. Marine Biology. Wm. C. Brow Publisher.
Lowa.
Suriawira, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Edisi 1.
Alumni. Bandung. Hlm 1-6.

41

Susanto, R. D., A. L. Gordon, J. Sprintall and B. Herunadi, 2000. Intraseasonal


variability and tides in Makassar Strait. Geophysical Research
Letters, 27(10).pp 1499-1502.
Tarigan, M.S. 2009. Aplikasi Satelit Aqua MODIS untuk Memprediksi Model
Pemetaan Kecerahan Air Laut di Perairan Teluk Lada, Banten. Ilmu
Kelautan. Hlm 126-131.
Tchobanoglous, Theisen, and Vigil. 1993. Integrated Solid Waste : Enggineering
Principle and Management Issue., McGraw-Hill,Inc.
Tchobanoglous and Frank K. 1993. Integrated Solid Waste : Hand Book of Solid
Waste Management Second Edition, McGraw-Hill,Inc.pp i + 833
Word Bank,2012. What A Waste : A Global Review Of Solid Waste Management
Urban Development and Local Government Unit World Bank 1818 H
Street, NW Washington, DC 20433 USA
Zar, J.H. 1996. Biostatistical Analysis. 3rd Edition, Snavely, S.L., Ed., PrenticeHall, Upper Saddle River. 662 p.
Zhang, Y. et al. 2013. Status of Macrobenthic Community and Its Relationships to
Trace Metals and Natural Sediment Characteristics. Journal Clean
Soil, Air,Water. Marine Fisheries Research Institute Yantai Shandong,
P. R. China. pp 1027-1034.

42

Anda mungkin juga menyukai