Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyamuk Aedes Aegypti


a. Pengertian
Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa
virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. Selain dengue, Ae
Aegypti juga merupakan pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan
chikungunya. Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua
daerah tropis di seluruh dunia. Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif
pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk
betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu
dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk
memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan
memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini
menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah.
Adapun klasifikasi nyamuk Aedes Aegyti adalah sebagai berikut:
Kerajaan

: Animalia

Alam

: Haiwan

Filum

: Arthropoda

Sub Filum

: Mandibulata

Kelas

: Insecta

Sub Kelas

: Pterygota

Ordo

: Diptera

Sub Ordo

: Nematocera

Familia

: Culicidae

Subfamilia

: Culicinae

Genus

: Aedes

Sub Genus

: Stegomnya

Spesies

: Aedes Aegypti.

Nama Binominal

: Aedes Aeygpti.(15)

Di Indonesia, nyamuk Ae Aegypti umumnya memiliki habitat di


lingkungan perumahan, di mana terdapat banyak genangan air bersih
dalam bak mandi ataupun tempayan. Oleh karena itu, jenis ini bersifat
urban, bertolak belakang dengan Ae Albopictus yang cenderung berada di
daerah hutan berpohon rimbun.
b. Morfologi
Nyamuk Ae. Aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan sub tropis
yang banyak ditemui di bagian bumi 350 LU dan 350 LS.

(7)

Nyamuk Ae

Aegypti dewasa berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata


nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintikbintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Nyamuk Ae Aegypti
seperti juga nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna.(16)

Gambar 2.1
Gambar Nyamuk Aedes Aegypti(15).

Nyamuk dewasa Ae Aegypti morfologinya hampir mirip dengan


nyamuk Ae Albopictus. Perbedaan morfologis antara kedua jenis nyamuk
yang memang sepintas lalu sama ini, memang hanya akan terlihat jelas
ketika diamati dengan kaca pembesar (loupe) atau mikroskop. Yang

membedakan antara nyamuk Ae aegypti dengan nyamuk lain terutama Ae


albopictus adalah pada nyamuk Ae aegypti terdapat garis putih keperakan
yang tajam di bagian punggungnya (dorsal toraks) dan garis putih
keperakan lainnya yang berbentuk kecapi di kepalanya, sedangkan
nyamuk Ae Albopictus merupakan jenis nyamuk aedes yang paling sering
ditemui di negara-negara asia tenggara. (17)
Bila diamati tubuh nyamuk Ae Aegypti terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu : kepala, toraks (dada), dan abdomen (perut) yang beruasruas, selain itu mempunyai tiga pasang kaki untuk berjalan dan hinggap
serta sepasang sayap untuk terbang. Pada saat hinggap (landing) tubuh
nyamuk Ae Aegypti sejajar dengan permukaan benda yang dihinggapinya,
hal ini serupa dengan perilaku hinggap nyamuk culex dan mansonia.
Nyamuk jantan Ae aegypti mempunyai antena yang memiliki banyak bulu
yang disebut antena plumose, sedangkan pada nyamuk betina antena hanya
memiliki sedikit bulu yang disebut antena pilose. (18)
Ae aegypti dewasa mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut :
a. Nyamuk berukuran lebih kecil daripada nyamuk rumah (culex
quinquefasciatus).
b. Pada ujung abdomennya berbentuk lancip.
c. Berwarna dasar hitam dan belang-belang putih pada bagian-bagian
badannya termasuk kaki-kakinya.
d. Pada bagian dorsal toraks terdapat bulu-bulu halus berwarna putih
yang membentuk lire dan garis-garis putih keperakan yang mencolok.
e. Terdapat garis putih keperakan yang mirip dengan kecapi di bagian
kepalanya.(19)
c. Siklus Hidup Nyamuk Ae Aegypti
Nyamuk

Ae

aegypti

dalam

siklus

hidupnya

mengalami

metamorfosis sempurna dengan 4 stadium, yaitu : Telur - Jentik Pupa


Dewasa. Stadium telur, jentik dan pupa hidup dalam air dan stadium
dewasa aktif terbang.(16)

10

Gambar 2.2
Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti(16).
a. Stadium Telur
Setelah beristirahat

dan proses pematangan telur selesai,

nyamuk betina akan meletakkan telurnya di dinding tempat


perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Telur Ae Aegypti
berwarna hitam dengan ukuran 0,80 mm. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam
air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur
sebanyak 100 butir. Telur di tempat yang kering (tanpa air) dapat
bertahan berbulan-bulan pada suhu -20C sampai 420C. Dan bila tempat
tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur
dapat menetas lebih cepat.(17)
b. Stadium Jentik
Jentik memerlukan empat tahap perkembangan yang disebut
instar. Jangka waktu perkembangan jentik tergantung pada suhu,
ketersediaan makanan, dan kepadatan jentik dalam kontainer.
Sedangkan pada suhu rendah, dibutuhkan beberapa minggu. Habitat
jentik yang alami jarang ditemukan, tetapi sering ditemukan pada
lubang pohon, ketiak daun dan tempurung kelapa.(18) Stadium jentik
biasanya berlangsung 6-8 hari kemudian jentik berubah menjadi
pupa.(17)

11

Ciri yang khas dari jentik Ae. Aegypti adalah sebagai berikut :
1) Adanya corong udara (siphon) pada segmen terakhir.
2) Pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya rambut
rambut berbentuk kipas (palmate hair).
3) Pada corong udara terdapat pecten.
4) Adanya sepasang rambut serta jumbai pada corong udara.
5) Pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan ada comb scale
sebanyak 8-21 atau berjejer 1-3.
6) Bentuk individu dari comb scale seperti duri.
7) Pada sisi toraks terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva
dan ada sepasang rambut kepala.(19)
c. Stadium Pupa
Pupa Ae. Aegypti mempunyai ciri morfologi yang khas yaitu
memiliki tabung / terompet pernafasan yang berbentuk segitiga. Jika
pupa diganggu oleh gerakan atau tersentuh, akan bergerak cepat untuk
menyelam dalam air selama beberapa detik kemudian muncul kembali
dengan

cara

mengantungkan

badannya

menggunakan

tabung

pernafasan pada permukaan air di wadah / tempat perindukan.(16)


Masa stadium pupa Ae. Aegypti normalnya berlangsung antara
2-4 hari.

(17)

. Setelah itu pupa tumbuh menjadi nyamuk dewasa jantan

atau betina. Biasanya nyamuk jantan muncul / keluar lebih dahulu,


walaupun pada akhirnya perbandingan jantan betina (sex ratio) yang
keluar dari kelompok telur yang sama, yaitu 1 : 1.(16)
d. Stadium Dewasa
Nyamuk Ae. Aegypti adalah sub genus stegomnya dengan ciriciri belang-belang putih pada bagian badan dan kakinya, warna putih
pada tubuh Ae. Aegypti kelihatan mengkilap.(17) Dalam kondisi
optimal, waktu yang dibutuhkan dari telur menetas hingga menjadi
nyamuk dewasa adalah 7 hari, termasuk dua

hari masa pupa.(18)

Namun biasanya pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa


mencapai 9 10 hari. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

12

perkembangan mulai dari nyamuk menghisap darah hingga bertelur


umumnya antara 3 4 hari, jangka waktu ini disebut siklus gonotropik
(gonotropic cycle). (20)

Gambar 2.3
Gambar Nyamuk Aedes Aegypti Dewasa
d. Bionomik Nyamuk
a. Tempat Perindukan
Tempat perindukan nyamuk Ae. Aegypti yang utama adalah
tempat-tempat penampungan air di dalam atau sekitar rumah atau di
tempat-tempat umum yang biasanya tidak melebihi jarak 500 m dari
rumah. Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan air yang
tertampung disuatu tempat atau wadah, nyamuk ini tidak dapat
berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan
tanah.
Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk Ae. Aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Tempat Penampungan Air (TPA), untuk keperluan sehari-hari,
seperti : drum, tangki, reservoir, tempayan, bak mandi / WC,
ember dan lain lain.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari hari,
seperti : tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan
barang barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik, dan lain - lain).

13

3) Tempat penampungan air alamiah seperti : lubang pohon, lubang


batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan
bambu dan lain lain.
Tempat perindukan nyamuk ini biasanya terlindung dari
pancaran langsung sinar matahari dan mengandung air bersih dengan
pengertian clear water bukan clean water.(17)
b. Kebiasaan Menghisap Darah
Nyamuk Ae. Aegypti betina menyukai darah manusia daripada
darah binatang atau bersifat antropofilix, darah diperlukan proteinnya
untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma nyamuk jantan
dapat menetas. Nyamuk Ae. Aegypti jantan menghisap cairan
tumbuhan manusia atau sari bunga sebagai makanannya.(20)
Biasanya nyamuk betina mencari darah pada siang hari jarang
sekali pada malam hari, aktifitas menghisap darah biasanya mulai pagi
sampai petang hari, dengan puncak aktifitas menggigit antara pukul
09.00 10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain, nyamuk
Ae. Aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah beberapa orang
secara bergantian dalam waktu yang singkat (mutiple biter), sehingga
nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit DBD.(17)
c. Kebiasaan Beristirahat
Nyamuk Ae. aegypti lebih menyukai beristirahat di tempat
yang gelap, lembab dan tersembunyi baik di dalam rumah maupun
bangunan, tempat beristirahat di dalam rumah biasanya di bawah
perabotan rumah tangga, gantungan pakaian, korden / tirai, di bawah
tempat tidur, dinding, termasuk kloset, kamar mandi, dan dapur.(21)
Setelah menghisap darah, nyamuk Ae. aegypti betina
beristirahat tidak jauh dari tempat berkembangbiaknya sampai
menunggu proses pematangan telurnya.(17)
d. Jarak Terbang
Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 m, maksimal
100 m. Namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa

14

kendaraan nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh lagi.(17)


Penyebaran nyamuk Ae. aegypti dewasa dipengaruhi oleh
sejumlah faktor termasuk keberadaan tempat berkembangbiak dan
kebutuhan akan darah sebagai makanannya, tetapi biasanya radius
penyebaran nyamuk Ae. aegypti tidak melebihi jarak 100 m dari
tempat perindukannya.(21)
e. Lama Hidup
Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup
hanya 8 hari.(5) Namun umur nyamuk betina di alam dapat mencapai
2-3 bulan.(17) Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih
panjang, resiko penyebaran virus juga semakin besar.(5)

B. Metode pengendalian vektor


Pengendalian adalah suatu usaha untuk mengekang suatu hal dengan
pengaturan sumber daya, agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai
dengan cara membandingkan antara usaha dengan suatu standar tertentu yang
telah ditetapkan. Tujuan pengendalian vektor adalah menurunkan kepadatan
vektor pada tingkat yang tidak membahayakan kesehatan. Cara pengendalian
DBD yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan memberantas nyamuk
penularnya, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi belum
ada. Pada dasarnya pengendalian vektor DBD dapat dilakukan dengan 4 cara
1. Pertama, pengendalian lingkungan
Langkahnya terdiri dari pengendalian terhadap nyamuk dewasa
dan pradewasa. Pada prinsipnya pengelolaan lingkungan ini adalah
mengusahakan agar kondisi lingkungan tidak/kurang disenangi oleh
nyamuk sehingga umur nyamuk berkurang dan tidak mempunyai
kesempatan untuk menularkan penyakit atau mengusahakan agar untuk
nyamuk dan manusia berkurang.
Usaha ini dapat dilakukan dengan cara menambah pencahayaan
ruangan dalam rumah, lubang ventilasi, mengurangi tumbuhan perdu,
tidak membiasakan menggantungkan pakaian di kamar serta memasang

15

kawat kasa. Pengendalian terhadap nyamuk pradewasa. Pengelolaan


lingkungan tempat perindukan ini adalah usaha untuk menghalangi
nyamuk meletakkan telurnya atau menghalangi proses perkembangbiakan
nyamuk.
2. Kedua, pengendalian secara biologis.
Yakni berupa intervensi yang dilakukan dengan memanfaatkan musuhmusuh (predator) nyamuk yang ada di alam seperti ikan kepala timah dan
goppy.
3. Ketiga, pengendalian secara kimia.
Yakni berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan
kimia sebagai racun, sebagai bahan penghambat pertumbuhan ataupun
sebagai hormon. Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian vektor
harus mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida yang digunakan,
bisa diterima masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lainnya,
stabilitas dan aktivitas pestisida, dan keahlian petugas dalam penggunaan
pestisida.
4. Keempat, pengendalian terpadu.
Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang
dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun
lintas sektoral dan peran serta masyarakat.(12)

C. Resistensi
1. Definisi
Resistensi adalah kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan
hidup terhadap pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Dengan
kata lain, hama mengembangkan resistensi terhadap bahan kimia melalui
seleksi alam sehingga kebanyakan organisme yang bertahan hidup dan
meneruskan genetik / keturunannya.(20)

16

2. Jenis - jenis resistensi


a. Resistensi Tunggal
Fenomena dimana hama resisten terhadap satu jenis pestisida
yang telah digunakan.
b. Multipel resistensi
Multiple resistensi adalah fenomena di mana OPT resisten
terhadap lebih dari satu kelas pestisida. Hal ini dapat terjadi jika salah
satu pestisida digunakan sampai menampilkan resistensi hama dan
kemudian lain digunakan sampai mereka resisten terhadap yang satu
itu, dan sebagainya pada
c. Resistensi silang
Resistensi silang / Cross, sebuah fenomena yang terkait, terjadi
ketika mutasi genetik yang membuat tahan hama ke salah satu
pestisida juga membuatnya tahan terhadap pestisida lain, terutama
yang dengan mirip mekanisme aksi.(23)
3. Penyebab resistensi
Kecenderungan populasi hama untuk mengembangkan resistensi
disebabkan oleh :
1) Pertama
Spesies hama biasanya mampu menghasilkan sejumlah besar
keturunan. Hal ini meningkatkan kemungkinan mutasi genetik dan
memastikan cepat build-up dalam jumlah mutan tahan sekali mutasi
seperti pernah terjadi.
2) Kedua
Jenis hama telah terkena racun alam untuk waktu yang lama
sebelum timbulnya peradaban manusia. Misalnya, banyak tanaman
menghasilkan phytotoxins untuk melindungi mereka dari herbivora.
Sebagai hasilnya, evolusi bersama herbivora dan tanaman inang
mereka diperlukan perubahan fisiologis dan metabolisme untuk
detoksifikasi atau mentolerir racun.

17

3) Ketiga
Adaptasi perilaku adalah kemampuan hama berperilaku dalam
menghindari insektisida yang ada di suatu tempat yang telah
dipaparkan dalam hal ini yaitu hama akan pergi ketika suatu tempat
mengandung insektisida dan akan kembali lagi ketika insektisida
tersebut telah hilang .(20)
Menanggapi resistensi pestisida, manajer hama / pengendali hama
yang meningkatan penggunaan pestisida akan memperburuk masalah.
Selain itu, ketika pestisida beracun terhadap spesies yang makan pada atau
bersaing dengan hama, populasi hama kemungkinan akan berkembang
lebih lanjut, membutuhkan lebih pestisida. Hal ini kadang-kadang disebut
sebagai pestisida perangkap, atau treadmill pestisida, karena petani terus
membayar lebih untuk kurang menguntungkan.
Serangga predator dan parasit yang hidup pada serangga lain
umumnya memiliki populasi yang lebih kecil dan karena itu sangat kecil
kemungkinannya untuk mengembangkan resistansi daripada sasaran utama
dari pestisida, seperti nyamuk dan mereka yang makan tanaman. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya masalah hama karena spesies ini biasanya
menjaga populasi hama di cek. Tapi predator tahan spesies hama dapat
dibiakkan di laboratorium, yang dapat membantu menjaga populasi hama
bawah.
Sumber lebih sedikit makanan hama semakin besar kemungkinan
adalah untuk mengembangkan perlawanan, karena konsentrasi yang lebih
tinggi terkena pestisida dan memiliki kesempatan lebih sedikit untuk
berkembang biak dengan populasi yang belum terkena. Faktor-faktor lain
dalam kecepatan dengan yang suatu spesies mengembangkan perlawanan
generasi waktu dan fekunditas (generasi lebih pendek dan menyebabkan
lebih banyak keturunan untuk perlawanan lebih cepat).(20)

18

4. Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya resistensi


Faktor-faktor

yang

menyebabkan

berkembangnya

resistensi

meliputi faktor genetik, biologi dan operasional (Georgiou, 1983). Faktor


genetik antara lain meliputi frekuensi, jumlah dan dominansi resisten.
Faktor biologi-ekologi meliputi perilaku hama, jumlah generasi per tahun,
keperidian, mobilitas dan migrasi. Faktor operasional meliputi jenis dan
sifat insektisida yang digunakan, jenis-jenis insektisida yag digunakan
sebelumnya, persistensi, jumlah aplikasi dan stadium sasaran, dosis,
frekuensi dan cara aplikasi, bentuk formulasi ,dan yang lain. Faktor
genetik dan biologi-ekologi lebih sulit dikelola dibandingkan faktor
operasional. Faktor genetik dan biologi merupakan sifat asli serangga
sehingga di luar pengendalian kita. Dengan mempelajari sifat-sifat tersebut
dapat dihitung risiko munculnya populasi resisten suatu jenis serangga.(21)
5. Proses terjadinya resistensi
Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh
menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam
waktu singkat. Resistensi pestisida berkembang setelah adanya proses
seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan
suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga hama
yang diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.
Di alam frekuensi individu rentan lebih besar dibandingkan
frekuensi individu resisten, dan frekuensi homosigot resisten (RR) berkisar
antara 10-2 sampai 10-13 (Georgiou dan Taylor 1986). Karena adanya
seleksi yang terus- menerus jumlah individu yang peka dalam suatu
populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten.
Individu resisten ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga
menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup
pada aplikasi pestisida permulaan akan menambah proporsi individu yang
tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka.
Karena pengguna pestisida sering menganggap bahwa individuindividu hama yang tetap hidup belum menerima dosis letal, petani

19

mengambil tindakan dengan meningkatkan dosis pestisida dan frekuensi


aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya
proporsi individu yang peka. Tindakan ini meningkatkan proporsi
individu-individu yang tahan dan tetap hidup. Dari generasi ke generasi
proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan semakin meningkat
dan akhirnya populasi tersebut akan didominansi oleh individu yang
resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi
didominansi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian
hama menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi
adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga.
Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang
lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu
yang lebih singkat dibandingkan populasi hama yang menerima tekanan
seleksi yang lemah. (21)
6. Fisiologi Resistensi
Sering

hama

menjadi

resisten

terhadap

pestisida

karena

mengembangkan perubahan fisiologis yang melindunginya dari bahan


kimia. Dalam beberapa kasus, sebuah hama mungkin memperoleh
peningkatan jumlah salinan dari gen, yang memungkinkan untuk
menghasilkan lebih dari sebuah pelindung enzim yang memecah pestisida
ke dalam bahan kimia beracun yang kurang. enzim tersebut termasuk
esterases , transferases glutathione , dan oksidase mikrosoma dicampur.
Bergantian, jumlah reseptor biokimia untuk bahan kimia dapat dikurangi
dalam hama, atau reseptor mungkin diubah, mengurangi OPT kepekaan
terhadap kompleks tersebut.
Perilaku resistensi juga telah dijelaskan untuk beberapa bahan
kimia; contoh, beberapa Anopheles nyamuk dikembangkan untuk
preferensi istirahat luar yang mencegah mereka dari kontak dengan
pestisida disemprotkan pada interior. dinding untuk mekanisme lain
meliputi peningkatan tingkat ekskresi molekul beracun, penyerapan dan

20

penyimpanan dalam tubuh serangga menjauh dari jaringan rentan dan


organ, dan penurunan penetrasi toksin melalui dinding tubuh serangga.
Dalam kasus lain, beberapa gen yang terlibat tahan gen biasanya
autosom. Akibatnya, resistensi diwariskan sama pada laki-laki dan
perempuan, resistensi biasanya diwariskan sebagai sifat dominan tidak
lengkap. Ketika tahan dan setiap pasangan rentan dengan satu sama lain,
keturunan mereka memiliki tingkat menengah perlawanan (lebih tahan
dari orang tua rentan, tetapi tidak tahan sebagai induk tahan).
Tahan individu sering telah mengurangi output reproduksi, harapan
hidup, mobilitas. Oleh karena itu, relatif sedikit dari mereka bertahan
dalam suatu populasi yang tidak terkena insektisida tertentu yang mereka
telah mengembangkan resistansi.
Para ilmuwan telah meneliti cara untuk menggunakan enzim ini
untuk memecah pestisida di lingkungan, yang akan detoksifikasi mereka
dan mencegah dampak lingkungan yang merugikan. Kemudian mereka
menemukan sebuah enzim serupa yang dihasilkan oleh bakteri tanah yang
juga memecah organochloride insektisida, tetapi yang bekerja lebih cepat
dan tetap stabil dalam berbagai kondisi. Produk, yang disebut Landguard
digunakan di Australia untuk dekontaminasi peralatan semprot, tanah dan
air setelah penyemprotan pestisida dan tumpahan.(20)
7. Mekanisme Resistensi
Mekanisme resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat
dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh
karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase
(terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP,
piretroid), glutation transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase
(terhadap OP).
b. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga
seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf
(Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.

21

c. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum


seperti

yang

terjadi

pada

ketahanan

terhadap

kebanyakan

insektisida.(21)
8. Manajemen Resistensi
Hama yang resistensi terhadap pestisida dapat dikelola dengan
mengurangi tekanan seleksi oleh pestisida pada populasi hama. Dengan
kata lain, situasi ketika semua hama kecuali yang paling tahan dibunuh
oleh kimia yang diberikan harus dihindari. Hal ini dapat dicapai dengan
menghindari aplikasi pestisida yang tidak perlu, dengan menggunakan
bahan kimia non-teknik kontrol, dan meninggalkan tempat perlindungan
diobati dimana hama rentan dapat bertahan hidup Mengadopsi manajemen
hama terpadu (PHT) pendekatan biasanya membantu dengan pengelolaan
resistensi. (21)
Bila pestisida metode tunggal atau dominan pengendalian hama,
resistensi umumnya dikelola melalui rotasi pestisida dengan cara
melibatkan bergantian antara kelas pestisida dengan modus yang berbeda
tindakan untuk menunda atau mengurangi timbulnya resistensi hama yang
ada. Kelas pestisida yang berbeda mungkin memiliki dampak yang
berbeda pada hama. The US Environmental Protection Agency (EPA atau
USEPA) menunjuk berbeda kelas fungisida, herbisida dan insektisida.
Pestisida produsen dapat, pada label produk, mengharuskan tidak lebih
dari jumlah tertentu aplikasi berturut-turut dari kelas pestisida dilakukan
sebelum bergantian untuk kelas pestisida yang berbeda. Hal ini
dimaksudkan untuk memperpanjang masa manfaat suatu produk .(21)
Tankmixing pestisida adalah kombinasi dari dua atau lebih
pestisida

dengan

modus

yang

berbeda

tindakan

dalam

rangka

meningkatkan hasil aplikasi pestisida individu dan menunda awal


terjadinya atau mengurangi yang ada resistensi hama.(21)

22

D. Resistensi Nyamuk Aedes Terhadap Insektisida


Resistensi larva dan nyamuk Ae. Aegypti terjadi pada insektisida
temefos dan malathion. Temefos adalah larvasida yang paling banyak
digunakan untuk membunuh larva Ae. Aegypti. Penggunaan temefos sudah
dipakai sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian yakni 1980, temefos 1%
(abate) ditetapkan sebagai bagian dari progam pemberantasan massal Aedes
aegypti di Indonesia. Jadi bisa dikatakan, temefos sudah digunakan hampir 30
tahun. Bukan tidak mungkin penggunaan dalam waktu lama memicu
resistensi(22).
Larva

Ae.

Aegypti

dikatakan

resisten

apabila

LC

(Lethal

Concentration) 99 24 jam melebihi 0,02 mg/l temefos 1%. Laporan resistensi


larva Aedes aegypti terhadap temefos sudah ditemukan di beberapa negara
seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Venezuela, Kuba, French Polynesia,
Karibia, dan Thailand. (22)
Bertolak belakang dengan temuan di negara-negara tersebut, bahwa
larva Ae. Aegypti dari 5 kelurahan di Banjarmasin Utara masih rentan terhadap
temefos 1%. LC99 24 jam jauh lebih rendah dari 0,02 mg/l. Namun demikian,
sudah mulai terlihat adanya indikasi penurunan kerentanan larva terhadap
temefos. Hal itu mengimplikasikan perlunya evaluasi berkala terhadap
keefektivitasan temefos di kemudian hari. Hasil itu dimuat dalam Bioscientiae
2006. (22)
Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang
berarti berikatan irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf
serangga. Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian
lumpuh, dan akhirnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan
(fogging). Dosis yang dipakai adalah 5% yaitu campuran antara malathion dan
solar sebesar 1:19. (22)
Uji kerentanan Ae. Aegypti terhadap malathion pada lokasi yang tidak
pernah, pernah, dan sering difogging dengan konsentrasi pengujian adalah
0,04%, 1%, dan 5%. Pada konsentrasi malathion 0,04%, tingkat kematian
100% nyamuk pada lokasi yang tidak pernah dan sering terpapar malathion

23

terjadi pada menit ke-15 dan ke-20. Selanjutnya, pada konsentrasi malathion
1%, tingkat kematian 100% pada lokasi yang tidak pernah dan pernah adalah
menit ke-10 dan ke-15. Dari kedua konsentrasi itu, statistik tidak
menunjukkan perbedaan bermakna tingkat kematian 100% antara ketiga lokasi
sampel nyamuk tersebut (p>0,05). (22)
Terakhir, pada konsentrasi malathion 5% perbedaan tingkat kematian
baru terlihat. Pada menit ke-5 setelah dipapari konsentrasi malathion 5%,
seluruh nyamuk yang berasal dari lokasi tidak pernah difogging mati;
sedangkan nyamuk yang mati dari lokasi pernah dan sering difogging hanya
71,3% dan 65,1%. Setelah mencapai menit ke-10, barulah semua nyamuk dari
lokasi pernah difogging mati. Sementara itu, seluruh nyamuk dari lokasi
sering difogging baru mati setelah menit ke-15. (22)
Larva nyamuk Ae. Aegypti diduga juga resistens larva terhadap
beberapa jenis insektisida. Penelitian di Rio de Janeiro dan Espirito Santo,
Brazil

menunjukkan resistensi terhadap temefos (0,012 mg/L), dengan

mortalitas hanya 74% sampai 23,5%. Sementara itu, resistensi juga terlihat
pada nyamuk betina dewasa terutama terhadap temefos dan fenitrothion.
Dalam penelitiannya, malathion masih cukup mempan membunuh nyamuk
dewasa. (22)
Nyamuk Ae. Aegypti terhadap beberapa kelompok besar insektisida
yaitu DDT, fenitrothion, malathion, deltamethrin, dan permethrin. Setelah
dipapari selama 1jam (kecuali 4 jam untuk DDT), nyamuk Culex (nyamuk
yang paling sering ditemukan di rumah-rumah) menunjukkan resistensi yang
tinggi terhadap DDT 4%, deltamethrin 0,05%, fenitrothion 1%, dan
permethrin 0,75% dengan persentase kematian berturut-turut adalah 0%, 11%,
21,2%, dan 10,1%. Resistensi sedang Culex ditemukan pada paparan propoxur
0,1% dengan persentase kematian 66%. Fakta menarik, Culex masih
didapatkan sensitif terhadap malathion 5% dimana tingkat kematiannya
mencapai 100%. (22)
Di sisi lain, Aedes masih rentan 100% terhadap fenitrothion 1% dan
malathion 0,8%. Pada deltamethrin 0,05%, tingkat kematian Aedes mencapai

24

82,7%, dan pada permethrin 0,75% hanya 34,8%. Selain itu, WHO 1996
melaporkan, di banyak negara nyamuk Culex telah resisten terhadap
insektisida golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid. Salah satu
penjelasan mengapa nyamuk Culex banyak mengalami resistensi adalah
adanya

kemungkinan

tempat

perindukan

(breeding

places)

Culex

terpapar/terkontaminasi oleh insektisida yang digunakan saat fogging untuk


membasmi Aedes. (22)
Dari data-data penelitian diatas, terlihat sudah ada tanda-tanda
resistensi larva dan nyamuk dewasa Ae. Aegypti terhadap insektisida. Di
Jakarta, sebagian besar larva Ae. Aegypti di Tanjung Priok telah resisten
terhadap insektisida organofosfat yaitu 44,8 % resisten sedang dan 50% sangat
resisten. Di Mampang Prapatan, sebagian besar larva Ae. Aegypti juga telah
resisten terhadap insektisida organofosfat yaitu 57,2% resisten sedang dan
9,8% sangat resisten. (22)
Ada beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk
terhadap suatu pestisida. Variabel-variabel tersebut antara lain konsentrasi
pestisida, frekuensi penyemprotan, dan luas penyemprotan pestisida.
Fenomena resistensi itu, lanjutnya, dapat dijelaskan dengan teori evolusi.
Ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida, nyamuk yang peka
akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap melangsungkan hidupnya.
Paparan pestisida yang terus menerus menyebabkan nyamuk beradaptasi
sehingga jumlah nyamuk yang kebal bertambah banyak. Apalagi, nyamuk
yang kebal tersebut dapat membawa sifat resistensinya ke keturunannya. Tak
berhenti sampai disitu, nyamuk yang sudah kebal terhadap satu jenis pestisida
tertentu akan terus mengembangkan diri agar bisa kebal terhadap jenis
pestisida yang lain.(22)

E. Insektisida Malathion
Insektisida Malathion temasuk kelompok insektisida organofosfor
yang dipergunakan secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang
kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga, dan mempunyai daya

25

racun yang tinggi pada serangga sedangkan toksisitasnya terhadap mammalia


relatif rendah, sehingga banyak digunakan.
Malathion membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak
langsung dan dengan uap/pernapasan. Malathion, mempunyai sifat yang
sangat khas, dapat menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin
(Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh. Insektisida mengalami proses
biotransformation di dalam darah dan hati. Sebagian malathion dapat
dipecahkan dalam hati mamalia dan penurunan jumlah dalam tubuh terjadi
melalui jalan hidrolisa esterase.
Adapun

kelebihan

insektisida

malathion

adalah

efektif

mengendalikan nyamuk Ae. Aegypti, hemat, dosis yang rendah, beraroma


lembut dan relatif tidak berbahaya kepada operator, memiliki toksisitas rendah
terhadap mamalia, murah diaplikasikan dengan cold fogging / pengkabutan,
thermal fogging / pengasapan. (23)
Adapun spesifikasi malathion adalah sebagai berikut :
1.. Bahan aktif

: malathion

2. Golongan

: sintetik piretroit

3. Rumus molekul

: C22 H19 CL2 NO3

4. Kandungan bahan aktif

: 10% (100 gram per liter)

5. Dosis aplikasi

: 10 ml / liter solar

6. No reg komisi pestisida

: R1. 1848/4-2003/T

7. Sifat fisik

: cairan emulsi

8. Warna

: kuning pucat

9. Aplikasi

: thermal fogging

10. Serangga sasaran

: Ae. Aegypti dan Culex sp

F. Penentuan / Uji Resistensi


Untuk menentukan resistensi nyamuk Ae. Aegypti ada dua cara, yaitu
secara konvensional menggunakan uji bio assay / susceptibility standar WHO
dan uji biokimia / uji enzimatis dengan metode Lee. (24)
1. Uji bio assay (impragnated paper)

26

Uji bioassay untuk menentukan kerentanan nyamuk Ae. Aegypti


terhadap insktisida sipermetrin dalam bentuk impragnated paper dengan
konsentrasi 0,05% yang dibuat oleh WHO. Uji dilakukan dengan
menggunakan WHO susceptibility test kit yang berbentuk tabung..
Tingkat resistensi nyamuk dihitung berdasarkan rata-rata kematian
nyamuk dari empat kali pengulangan. Ada tiga kriteria kerentanan, yaitu :
1) Rentan, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 95-100%. Artinya
nyamuk yang diuji masih bisa diberantas dengan insektisida dalam
dosis anjuran.
2) Perlu verifikasi atau toleran bila rata-rata kematian nyamuk sebesar
80-95%. Artinya insektisida masih bisa digunakan tetapi harus ada
peningkatan dosis.
3) Resisten, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar <80%. Artinya sudah
tidak bisa digunakan dan harus diganti dengan jenis insektisida yang
lain.(24)
2. Uji bio kimia dengan metode Lee
Jentik nyamuk instar IV awal digerus secara individual untuk
dibuat homogenat dan dilarutkan dengan 0,5 ml larutan phosphat buffer
saline (PBS) 0,02 M, pH = 7. Homogenat kemudian dipindahkan ke dalam
microplate menggunakan micropipette sebanyak 50 l bahan substrat
naftil asetat dalam aceton (6 g/l) dicampur dengan 50 ml

buffer

phosphate (0,02 M; pH=7) dan dibiarkan selama 60 detik. Selanjutnya


pada setiap microplate ditambahkan 50 l bahan coupling reagent berupa
150 mg garam Fast blue B (o-dianisidine, tetrazotized; sigma) dalam 15
ml akuades dan 35 ml aquous (5%;w/v) sodium dodecyl sulphate (Sigma).
Segera setelah reaksi berlangsung 10 menit, warna merah yang mula mula
timbul berangsur-angsur berubah menjadi biru. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 50 l asam asetat 10% ke dalam tiap-tiap microplate yang
berisi homogenat. Intensitas warna akhir produk reaksi menggambarkan
aktivitas enzim esterase nonspesifik dan tingkatannya dapat dibedakan
secara visual. Aktivitas enzim secara kuantitatif kemudian dibaca dengan

27

Elisa reader pada panjang gelombang 450 nm.(25)


G. Kerangka Teori
Insektisida
Rumah Tangga

Status Endemisitas

Tindakan/ program
Fogging

Intensitas
Paparan
Insektisida

Variasi jenis
insektisida

Perilaku
menghindar

Masa
Penggunaan
insektisida

Mutasi Genetik

Perubahan
Fisiologis dan
Metabolisme

Status Resistensi nyamuk


Aedes Aegypti terhadap
insektisida malathion
Gambar 2.4 Kerangka Teori

28

H. Kerangka Konsep
Mengacu kepada kerangka teori yang telah dipaparkan, kerangka konsep
penelitian ini adalah :
Variabel bebas

Variabel terikat

Status Endemisitas DBD

Status Resistensi

1. Endemis Tinggi
2. Endemis Sedang
3. Tidak Endemis

1. Rentan
2. Toleran
3. Resisten

1. Frekuensi Fogging
2. Riwayat Fogging
3. Dosis Insektisida
Fogging
Variabel Pengganggu
Gambar 2.5 Kerangka Konsep

I.Hipotesis
1. Terjadi resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap malathion pada daerah
endemis dan tidak endemis di Kota Semarang.
2. Ada perbedaan status resistensi nyamuk Ae. Aegypti terhadap insektisida
malathion berdasarkan endemisitas DBD.

29

Anda mungkin juga menyukai