Anda di halaman 1dari 17

Risperidon sebagai Pengobatan dari Gejala Gangguan Tingkah

Laku pada Anak dengan Autistik dan Kelainan Perkembangan


Pervasif Lainnya
Sarah Shea,MD; Atilla Turgay,MD;Alan Carroll,MD; Miklos Schulz, PhD; Herbert Orlik, MD; Isabel
Smith, PhD; dan Fiona Dunbar, MBBCh

ABSTRAK. Tujuan. Untuk mengetahui efikasi dan keamanan risperidon untuk


pengobatan gejala gangguan tingkah laku dengan autistik dan kelainan perkembangan
pervasif lainnya (Pervasive Developmental Disorders/PDD).
Metode. Dalam 8 minggu, secara random, double-blind, uji kontrol plasebo,
menggunakan larutan risperidon/plasebo (0,01-0,06 mg/kg/hari) diberikan kepada 79
anak dengan umur 5-12 tahun dan memiliki PDD. Gejala gangguan tingkah laku dinilai
dengan menggunakan Ceklist Kebiasaan Aberrant (Aberrant Behavior Checklist/ABC),
format pengukuran kebiasaan anak Nisonger (Nisonger Child Behaviour Rating Form),
dan perubahan impresi umum klinik ( Clinical Global Impresion Change ). Penilaian
tingkat keamanan meliputi tanda-tanda vital, elektrokardiogram, gejala ekstrapiramidal,
efek samping, dan tes laboratorium.
Hasil. Subjek yang mendapat risperidon (dosis rata-rata : 0,04 mg/kg/hari; 1,17
mg/hari) mengalami penurunan yang lebih signifikan pada iritabilitas subskala dari
ABC dibandingkan dengan mereka yang mendapat plasebo. Pada akhir penelitian,
subjek yang diberi pengobatan risperidon menunjukkan suatu perbaikan sebesar 64%
pada skor iritabilitas, meningkat dua kali lipat dibandingkan subjek yang mendapat
plasebo yaitu sebesar 31%. Subjek yang mendapat risperidon juga menunjukkan
penurunan yang lebih signifikan pada 4 sub skala lainnya dari ABC; pada masalah
tingkah laku, merasa tidak aman/kecemasan, hiperaktif, dan meliputi sub skala sensitive
dari Nisonger Child Behavior Rating Form (menurut orang tua); dan pada Skala Analog
Visual pada gejala yang paling menyulitkan.Subjek yang mendapat risperidon (87%)
menunjukkan perbaikan yang menyeluruh dibandingkan dengan kelompok yang
mendapat placebo (40%). Somnolen, merupakan efek samping yang paling sering
dilaporkan , pada subyek dengan risperidon 72,5% dan pada subyek dengan plasebo
7,7%, dan dapat diatasi dengan modifikasi dosis/jadwal pemberian dosis. Subjek yang
mendapat risperidon mengalami peningkatan berat badan yang lebih besar secara

statistik ( risperidon sebesar 2,7 kg dan placebo meningkat sebesar 1,0 kg), denyut nadi,
dan tekanan darah sistolik. Skor Gejala ekstrapiramidal dibandingkan antar kelompok.
Kesimpulan. Risperidon dapat ditoleransi dan mempunyai efikasi yang lebih
baik dalam penanganan gejala gangguan kebiasaan yang berkaitan dengan PDD pada
anak.
Kelainan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorders/PDD)
merupakan suatu kelompok kelainan neuropsikiatrik yang meliputi kelainan autistik,
kelainan Asperger, kelainan disintregatif masa kanak-kanak, kelainan Rett, dan PDD
lainnya yang tidak spesifik. Kelainan-kelainan ini ditandai dengan perkembangan social
yang tidak khas, komunikasi, dan tingkah laku. Onsetnya muncul biasanya dalam usia 5
tahun kehidupan. Angka prevalensinya sebesar 63 per 10000 anak telah tercatat.
Walaupun secara umum berkaitan dengan retardasi mental, perkembangan dan
gambaran gejala kebiasaan dari PDD itu berbeda dan tidak menggambarkan tingkat
perkembangan.
PDD ditandai dengan deficit yang berat dan pervasive pada beberapa area
perkembangan. Meliputi keterampilan interaksi social timbal balik, keterampilan
berkomunikasi, atau adanya gerakan stereotype, ketertarikan, dan aktivitas. Anak
dengan PDD mungkin didapatkan kebiasaan yang sulit termasuk agresi, hiperaktivitas,
tidak perhatian atau sulit konsentrasi, impulsiv, stereotype, berteriak, dan kebiasaan
melukai diri sendiri. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat mengganggu baik di lingkungan
sekolah maupun di dalam keluarga; di samping itu, dapat mempengaruhi perkembangan
anak dan kesejahteraan anak dan pengasuhnya.
Akan tetapi, belum ada intervensi farmakologis yang memiliki target secara
spesifik pada deficit PDD. Namun, beberapa penelitian telah dibuat untuk memperbaiki
gejala kebiasaan yang berkaitan dengan PDD. Sejumlah penelitian, yang dikeluarkan
sejak 1960an, telah menunjukkan bahwa perbaikan gejala gangguan kebiasaan dapat
diperoleh dengan menggunakan neuroleptik konvensional, seperti antagonis reseptor
dopamine haloperidol. Namun karena frekuensi terjadinya diskinesia dan efek samping
ekstrapiramidal lainnya lebih besar membuat penggunaannya dibatasi. Sebagai data
awal keamanan dan efikasi atipikal antipsikosis yang baru tersedia di akhir tahun

1980an dan awal tahun 1990an, membuat kecenderungan pemakaian obat tersebut
semakin meningkat.
Risperidon merupakan suatu antagonis reseptor dopamine (D2) dan serotonin
(5HT2A dan lainnya). Secara khusus penggunaan pada dosis yang lebih rendah,
risperidon sangat kecil menyebabkan gejala ekstrapiramidal (Extrapyramidal
symptoms/EPSs) dibanding pada penggunaan obat-obat konvensional. Sejumlah
penelitian dilakukan untuk mengetahui kegunaan risperidon pada anak dengan PDD.
Bukti awal dari penelitian ini menunjukkan bahwa risperidon aman dan efektif dalam
menurunkan gejala gangguan kebiasaan pada anak dalam populasi ini. Namun, untuk
penelitian yang lebih baik, desain penelitian dibutuhkan untuk mengkonfirmasi
penemuan-penemuan ini. Pada saat penelitian ini dilakukan, tidak ada uji control yang
dilaporkan. Penelitian ini memerlukan evaluasi kritis mengenai efikasi dan keamanan
risperidon untuk pengobatan gejala gangguan kebiasaan pada anak dengan PDD.
METODE
Desain Penelitian dan Tujuan
Dalam 8 minggu ini, secara random, double-blind, kelompok pararel, orang
Kanada, desain penelitian multisenter untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan
risperidon versus placebo dalam pengobatan gejala gangguan kebiasaan pada anak
dengan PDD. Subjek mengunjungi klinik selama 7 kali : pada kunjungan skrining/awal
dan pada akhir pengobatan minggu 1, 2, 3, 5, 7, dan 8. Penelitian dilaksanakan sesuai
dengan Deklarasi Helsinki yang direvisi pada tahun 1996 dan dibuktikan oleh Badan
Review Institusional pada tiap-tiap pusat penelitian. Orang tua anak/pengasuh/wali yang
sah diminta untuk menandatangani inform konsen. Pendekatan yang mendukung
tersebut biasanya untuk mendapatkan persetujuan anak apabila memungkinkan. Orang
yang bertanggung jawab diperlukan untuk menemani subjek penelitian saat kunjungan
ke klinik, menyediakan keterangan yang jelas, dan memberikan pengobatan.
Subyek
Pasien yang secara fisik sehat baik laki-laki maupun perempuan dengan usia 512 tahun yang dimasukkan dalam penelitian ini dengan criteria inklusi yang didiagnosis

axis I PDD menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi
keempat dengan skor total 30 atau lebih pada skala angka autis pada masa kanak-kanak
(Childhood Autism Rating Scale/CARS), dengan atau tanpa retardasi mental. Subjek
dengan skizofrenia, abnormalitas laboratorium yang secara klinik signifikan, atau
kejang bagi mereka yang mendapat >1 antikonvulsan atau jika mereka telah mengalami
kejang selama 3 bulan tidak dimasukkan kriteria. Subjek yang memiliki riwayat
hipersensitivitas neuroleptik, tardive diskinesia, sindrom malignan neuroleptik,
penyalahgunaan obat atau alkohol, atau infeksi virus HIV tidak dimasukkan criteria.
Subjek juga dieksklusi apabila mendapat risperidon pada 3 bulan terakhir, yang
sebelumnya terbukti tidak berespon terhadap risperidon, atau yang menggunakan obatobatan yang dilarang.
Penelitian dan Pengobatan lainnya
Setelah skrining pada kunjungan awal, subjek yang terseleksi dipilih secara acak
(1:1) untuk mendapatkan risperidon atau placebo larutan per oral 1,0 mg/mL diberikan
sehari sekali di pagi hari pada 0,01 mg/kg/hari pada pengobatan di hari ke-1 dan 2 dan
ditingkatkan menjadi 0,02 mg/kg/hari pada hari ke 3. Tergantung dari respon terapi pada
hari ke 8, dosis dapat dinaikkan maksimal 0,02 mg/kg/hari. Sesudah itu, dosis dapat
disesuaikan

oleh

kebijakan

peneliti

dengan

rentang

mingguan

dimana

penambahan/penurunannya tidak lebih dari 0,02 mg/kg/hari. Dosis maksimal yang


diperbolehkan adalah 0,06 mg/kg/hari. Karena menyebabkan mengantuk, pemberian
obat dalam penelitian diberikan sekali pada sore hari, atau total dosis hariannya dapat
dibagi dan diberikan dengan jadwal pagi hari dan sore hari.
Pengobatan yang digunakan untuk mengobati EPSs tidak dilanjutkan pada awal
penelitian. Namun, selama penelitian, antikolinergik dapat digunakan untuk mengatasi
EPSs setelah Skala Pengukuran Simptom Extrapiramidal (Extrapyramidal Symptom
Rating Scale/ESRS) dilengkapi. Pemberian pengobatan yang dilarang meliputi
antipsikosis selama penelitian, antidepresan, lithium, 2-antagonis, klonidin, guanifasin,
inhibitor kolinesterase, psikosimultan, dan naltrexon. Suatu antikonvulsan tunggal
dan/atau obat untuk tidur atau cemas diperbolehkan hanya pada kasus di mana subjek
telah mendapat obat pada dosis stabil selama 30 hari sebelum penelitian. Pembatasan
juga pada terapi intervensi tingkah laku. Pengobatan untuk kelainan organik yang telah

ada sebelumnya diperbolehkan bila dosis dan waktu pemberianannya dapat


dipertahankan dengan stabil.
Hasil Pengukuran
Efikasi penilaian menggunakan skor pada masing-masing kunjungan klinik
meliputi Abberant Behavior Checklist (ABC), versi orang tua dari Nisonger Child
Behavior Rating Form (N-CBRF), suatu Visual Analog Scale (VAS) bagi gejala yang
paling menyulitkan, dan Clinical Global Impression-Change (CGI-C). ABC terdiri atas
58 item yang terbagi dalam 5 skala : iritabilitas, letargi dan penarikan diri dari sosial,
kebiasaan stereotipik, hiperaktivitas/tidak menurut, dan tutur bicara yang tidak sesuai.
Versi orang tua dari N-CBRF terdiri atas 60 item yang terbagi dalam 6 skala : masalah
tingkah laku, merasa tidak aman/kecemasan, hiperaktif, melukai diri sendiri/stereotipik,
mengurung diri/ritualistic, dan terlalu sensitif. Subskala dari ABC dan N-CBRF
dilengkapi oleh orang tua atau pengasuh di bawah petunjuk dari peneliti, skor untuk
kedua pengukuran tersebut berkisar antara 0 sampai 3, dengan 0 = tidak ada gangguan
dan 3 = gangguan berat. Pada kunjungan awal, orang tua/pengasuh melaporkan gejalagejala apa yang paling bermasalah. Beratnya gejala dicatat pada VAS yang dilengkapi
oleh orang tua/pengasuh dengan tanda vertical pada garis 100mm, dengan skor yang
lebih rendah mengindikasikan suatu kondisi yang lebih baik. Pada kunjungan awal,
tingkat beratnya CGI dari subjek penelitian dengan PDD diskor oleh peneliti pada 7
item skala pengukuran dari yang tidak ada sampai sangat berat. Pada kunjungan
berikutnya, perubahan pada kondisi keseluruhan subjek penelitian diukur oleh peneliti
pada 7 item skala (CGI-C) dengan rentang dari sangat meningkat sampai sangat buruk.
Penilaian tingkat keamanan, yang termasuk data efek lanjutan, tanda vital, dan
berat badan, dikumpulkan pada masing-masing kunjungan. Di samping itu, adanya dan
beratnya EPSs dinilai pada tiap-tiap kunjungan oleh peneliti menggunakan ESRS. EKG
12 lead dan biokimia rutin, hematologi, dan urinalisis dilakukan pada kunjungan
pertama dan akhir pengobatan.

Analisis Statistik
Populasi awal untuk penilaian keamanan merupakan populasi yang berkeinginan
untuk berobat (intention to treat/ITT), terbatas pada subjek yang mendapat minimal 1
dosis pengobatan. Populasi awal untuk penilaian efikasi merupakan populasi efikasi
ITT,semua subyek yang diacak yang mendapat minimal 1 dosis penelitian dan bagi
yang mendapat minimal 1 kali penilaian efikasi. Parameter efikasi primer adalah
perubahan iritabilitas dari awal penelitian hingga akhir (ie, pengamatan terakhir)
sebagaimana terukur pada subskala iritabilitas dari ABC. Ini terdapat 15 item subskala
yang meliputi item seperti melukai diri sendiri, agresif terhadap pasien lainnya dan
petugas, temper tantrum, mudah tersinggung, mood yang menurun, dan menangis
dan berteriak tidak jelas. Parameter efikasi sekunder meliputi perubahan dari awal
hingga akhir penelitian dalam 4 subskala dari ABC, 6 subskala dari N-CBRF dan dalam
VAS dianalisis dengan analisis kovarians dengan menggunakan model jenis pengobatan,
pusat, dan skor dasar. Suatu analisis responder juga dilakukan, yang mana
responder merupakan mereka yang mendapat 50% atau lebih penurunan dari skor
awal pada minimal 2 atau 5 subskala ABC dengan tidak ada satupun subskala yang
mendapat peningkatan 10% atau lebih. Tes Cochran-Mantel-Haenszel, mengontrol sisi
penelitian, digunakan untuk membandingkan angka respon antara kelompok risperidon
dan placebo; ini juga digunakan untuk membandingkan skor GCI-C. kejadian/efek
lanjutan ditabulasikan dengan tipe dan kejadiannya. Denyut jantung, tekanan darah
sistolik dan diastolic, dan berat badan dianalisis menggunakan analisis varians.
Perubahan pada skor ESRS dianalisis menggunakan tes Cochran-Mantel-Haenszel yang
dimodifikasi skor ridit (tes Van Elterens). Statistic deskriptif

digunakan untuk

melaporkan hasil tingkat keamanan lainnya. Semua tes diinterpretasikan pada 5% level
signifikan (2-tailed) tanpa penyesuian untuk tes yang mulitipel.

HASIL
Subyek
Total 80 subjek penelitian pada 7 tempat penelitian memenuhi criteria yang telah
ditentukan dan ikut ke dalam penelitian. Dari jumlah ini, 41 orang terpilih secara acak
untuk mendapat risperidon dan 39 orang terpilih secara acak untuk mendapat placebo.

Seorang subjek yang terpilih secara acak mendapat risperidon tidak mengikuti
penelitian dan tidak mendapat pengukuran awal. Jadi, 79 subjek (40 orang kelompok
risperidon, 39 kelompok placebo) termasuk ke dalam populasi ITT, populasi penilaian
keamanan primer. Di samping itu, karena 1 subjek pada masing-masing kelompok tidak
memiliki data efikasi akhir, 77 subjek (39 risperidon, 38 plasebo) termasuk ke dalam
populasi efikasi ITT, populasi penilaian tingkat efikasi primer.
Dalam populasi ITT, subjek yang mendapat risperidon maupun placebo, sama
dalam data awal dan demografisnya (tabel 1). Rata-rata umur responden 7,5 tahun, dan
lebih dari nya adalah laki-laki. Sebagian besar (88,6%) tinggal bersama orang tua.
Semua subjek memiliki skor CARS 30 atau lebih, yang merupakan indikasi autism.
Lebih dari separuh (55,7%) dari seluruh peserta merupakan kategori autis yang berat
yang ditentukan berdasarkan CARS. Sedang berdasarkan Manual Diagnostik dan
Statistik Kelainan Mental, Edisi ke-4, sebelum CARS, merupakan system diagnosis
yang kurang inklusif., 69% subjek terdiagnosis dengan kelainan autistic. Dua puluh tiga
dari 40 subjek yang mendapat risperidon dan 25 dari 39 subjek yang mendapat placebo
mengikuti tes IQ standar; 15 (65,2%) pada kelompok sebelumnya dan 12 (48,0%) pada
kelompok berikutnya memiliki retadarsi mental yang ringan dan sedang. Tujuh belas
subjek (8 pada kelompok risperidon, 9 pada kelompok placebo), yang memiliki
kemampuan intelektual menggunakan tes IQ standar

yang dilengkapi tes kognitif

Leiter International Performance Scales atau Ravens Progressive Matrices. Anak-anak


ini berada pada retardasi mental sedang sampai berat. 59 responden (75%) mempunyai
masalah kondisi kesehatan, paling banyak masalah telinga, hidung atau tenggorokan,
mata, gastrointestinal, kelainan kulit, genitourinary, pernafasan, alergi atau kelainan
imunologi.
Tujuh puluh dua (91,1%) subjek berhasil melengkapi 8 minggu penelitian. Tujuh
(8,9%) subjek keluar sebelum penelitian selesai; dari jumlah ini, 2 telah dipilih secara
random untuk mendapat risperidon dan 5 telah dipilih secara random mendapat placebo.
Di antara subjek yang mendapat risperidon, 1 keluar karena efek/kejadian lanjutan
(sebagai akibat overdosis pada hari ke-2) dan 1 keluar karena respon yang tidak sesuai.
Di antara subjek yang mendapat placebo, 1 keluar karena efek/kejadian lanjutan
(sebagai akibat overdosis pada hari ke-16), 2 keluar karena respon yang tidak sesuai,
dan 2 menarik persetujuan.

Tabel 1. Demografi dan karakteristik penyakit untuk populasi ITT


Karakteristik
Umur (tahun)
Rata-rata
Median
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Ras
Kulit Hitam
Kulit putih
Lainnya
Berat badan (kg), rata-rata
VAB score, rata-rata
DSM-IV Axis I diagnosis of
PDD, n (%)
Kelainan Autistic
Kelainan Asperger
Kelainan disintegrative anakanak
Kelainan Rett
PDD tidak spesifik
CARS, rata-rata
Nonautistik skor <30,n(%)
Ringan/sedang, skor 31-36, n(%)
Berat, skor 37-60,n(%)
IQ test, n(%)
IQ
Normal, skor 85,n(%)
Borderline, skor 71-84,n(%)
Ringan, skor 50-70, n(%)
Sedang,skor 35-49,n(%)

Risperidone (n=40)

Placebo (n=39)

7,62,3
7,0(5-12)

7,32,3
7,0(5-12)

29(72,5)
11(27,5)

32(82,1)
7(17,9)

6(15,0)
27(67,5)
7(17,5)
31,214,5
46,613,1

6(15,4)
28(71,8)
5(12,8)
27,68,6
52,219,8

27(67,5)
5(12,5)
1(2,5)

28(71,8)
7(17,9)
0(0)

0(0)
7(17,5)
38,95,3
0(0)
17(42,5)
23(57,5)
31(77,5)

0(0)
4(10,3)
39,16,7
0(0)
18(46,2)
21(53,8)
35(87,9)

3(9,7)
6(19,4)
12(38,7)
10(32,3)

11(31,4)
4(11,4)
8(22,9)
12(34,3)

VAB (Vineland Adaptive Behaviour ), DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of mental Disorders, edisi
keempat)

Penelitian dan Medikasi Lainnya


Subjek mendapat pengobatan double-blind dengan placebo selama 49,6 hari
(range: 7-63 hari) atau dengan risperidon selama rata-rata 52,7 hari (range: 2-62 hari).
Rata- rata dosis harian pemberian risperidon selama periode pengobatan, yang termasuk
pada minimum 1 minggu periode titrasi, adalah 1,17 mg; rata-rata dosis adalah 0,04
mg/kg/hari. Pada penelitian akhir, rata-rata dosis harian risperidon adalah 1,48 mg, dan
rata-rata dosis adalah 0,05 mg/kg/hari. Dalam kelompok risperidon, sebagian besar
subjek (n=37) memulai dengan dosis sekali sehari pada pagi hari; 8 dari subjek ini tetap
dengan jadwal tersebut selama penelitian. Jadwal pemberian dosis dimodifikasi bagi 29
subjek sisanya (14 subjek berubah menjadi sore dan 15 lainnya dengan dosis dua kali
sehari) karena efek somnolen.

Total 62 subjek (78,5%) mendapat minimal 1 pengobatan lain selama percobaan.


Lebih banyak subjek pada kelompok risperidon yang mendapat pengobatan lain untuk
kondisi medis lainnya daripada kelompok placebo: 36 (90%) dibanding 26 (66,7%).
Obat yang paling sering digunakan adalah analgetik (37,5% dan 17,9%, berturut-turut),
obat batuk dan flu (25% dan 10,3%), antibiotic (12,5% dan 12,8%), obat anti asma
(15% dan 10%). Sedative dan hipnotik diberikan pada 11 subjek (27,5%) kelompok
risperidon dan 9 subjek (23,1%) kelompok placebo sesuai dengan kebutuhan dasar
untuk mengatasi cemas selama tes laboratorium. Antikolinergik diberikan pada 3 subjek
(7,5%) kelompok risperidon dan 1 subjek (2,6%) pada kelompok placebo untuk
mengatasi EPSs yang emergensi.
Hasil efikasi
Skor rerata subskala iritabilitas dari ABC, parameter efikasi yang utama,
dibandingkan antara 2 kelompok : kelompok dengan risperidone 18,9 dan kelompok
placebo 21,2. Pada tiap kunjungan berikutnya terjadi penurunan nilai rerata pada kedua
kelompok, bagaimanapun penurunan rerata kelompok risperidone secara konsisten lebih
besar dibandingkan kelompok plasebo. Lebih jauh, terdapat perbedaan yang bermakna
secara statistik pada penurunan rerata ini pada setiap kunjungan mulai dari pengobatan
minggu ke 2 ( P0,05 )hingga ke 8 (P0,001). Pada akhir penelitian, didapatkan rerata
menurun dari skor iritabilitas pada subjek dengan terapi resperidone 12,1, hampir dua
kali lipat dibandingkan dengan kelompok plasebo sebesar 6,5 (P 0,001, Tabel 2). Pada
akhir penelitian, subjek dengan terapi risperidone menunjukkan peningkatan sebesar 64
% di atas garis dasar iritabilitas dibandingkan kelompok plasebo yang hanya 30,7% .
Pola respon yang mirip diamati ketika serangkaian analisis dari nilai subskala
iritabilitas dilakukan diantara 54 subjek ( 26 termasuk kelompok risperidone, 28
termasuk kelompok plasebo ) yang memiliki diagnosis gangguan autis. Nilai dasar
reratanya pada kelompok risperidone 20,6 8,1 dan pada kelompok plasebo 21,6
10,2. Terdapat

perbedaan bermakna pada penurunan rerata secara statistik pada

pemberian risperidone sejak pengobatan minggu ke 2 ( P 0,05). Pada akhir penelitian,


rerata menurun pada skor iritabilitas, pada kelompok risperidon -13,5 5,2 dan pada
kelompok plasebo -7,5 7.6, memperlihatkan peningkatan pada kelompok risperidon
sebesar 65,6% dan kelompok placebo sebesar 34,7%.

Pada uji akhir penelitian, subjek dengan terapi resperidone juga menunjukkan
perubahan yang lebih besar, yang bermakna secara statistik pada setiap 4 subskala
lainnya dari ABC ( P 0,005, Tabel 2 ). Perbedaan terbesar ditemukan pada subskala
hiperaktivitas / ketidakpatuhan dimana subjek dengan terapi resperidone menurun 14,9
pada nilai rerata dan subjek dengan plasebo menurun 7,4 ( P 0,001). Dibandingkan
dengan 15 subjek ( 39,5 % ) pada kelompok plasebo, 27 subjek ( 69,2 % ) dari
kelompok risperidon ditemukan seorang responder( P = 0.01 ).
Subjek dengan terapi risperidon menunjukkan perbaikkan yang lebih besar pada
subskala masalah tingkah laku dari versi orang tua yang terdapat pada N-CBRF : rerata
menurun pada akhir penelitian pada kelompok risperidon 10,4 dengan 6,6 untuk
kelompok dengan plasebo ( P 0,01, tabel 2 ). Kelompok dengan terapi resperidone
juga menunjukkan penurunan rerata yang lebih signifikan secara statistik pada subskala
perasaan tidak aman/ kecemasan (P = 0,039), hiperaktif ( P = 0,035 ), dan sensitivitas
berlebihan ( P = 0,038 ). Penurunan rerata yang lebih besar terlihat pada subskala
menyakiti diri sendiri / stereotipik dan mengisolasi diri/ritualistik, bagaimanapun
perbedaan antara kedua terapi tersebut tidak bermakna secara statistik.
Untuk semua subjek, gejala yang paling menyulitkan adalah agresivitas ( 23,4 %
), diikuti dengan kemarahan / mood negatif ( 18,2 % ), seperti yang dinilai dengan VAS.
Pada uji akhir penelitian, rerata VAS dari gejala yang paling menyusahkan, menurun
dengan rerata dari kelompok terapi risperidon sebesar 38,4 dan rerata kelompok plasebo
26,2 ( Tabel 2 ). Dengan 5 subskala ABC dan masalah tingkah laku, subskala perasaan
tidak aman / kecemasan, hiperaktivitas, dan sensitifitas berlebihan dari N-CBRF,
peningkatan rerata dari peringkat VAS lebih bermakna pada kelompok terapi risperidon.
Lebih dari dua kali jumlah subjek dengan terapi risperidon menunjukkan peningkatan
secara klinis sebesar 34(87,2), seperti saat dinilai CGI-C, dibandingkan dengan subjek
yang diberi placebo sebesar 15 (39,5%). Dari tiga kali penilaian pada subjek dengan
terapi risperidone juga pada subjek yang diberi plasebo, terdapat peningkatan yang
bermakna pada kelompok risperidon sebesar : 21 ( 54% ) sedang pada kelompok
placebo sebesar 7 ( 18 % ) dengan ( P 0,001 ). Perbedaan yang bermakna secara
statistik pada CGI-C diantara subjek dengan terapi risperidone dan yang diberi plasebo,
terbukti pada setiap kunjungan (P 0,05).

Tabel 2. Perubahan data dasar menggunakan ABC, N-CBRF (mnrt org tua) dan VAS pada akhir
penelitian
Ukuran efikasi

Risperidone
Awal*

Subskala ABC
Iritabilitas
18,98,8
Hiperaktif
27,39,7
Bicara tdk sesuai
4,63,4
Letargi/penarikan diri dr
social
13,77,0
Tingkah laku stereotipik 7,95,0
Subskala N-CBRF(mnrt
ortu)
Masalah tingkah laku
16,89,4
Hiperaktif
17,25,8
Menarik diri
7,54,1
Kecemasan
8,78,1
Hipersensitivitas
6,93,4
Menyakiti diri sendiri
4,24,2
VAS (gejala yg plg
menyulitkan)
81,013,3
*Mean SD
rata-rata perubahan dari awal SD
P .001 vs placebo
P .05 vs placebo
P .01 vs placebo

akhir

Placebo
Awal*

-12,15,8
-14,96,7
-2,62,6

21,29,7
30,98,8
4,83,7

-6,58,4
-7,49,7
-1,63,0

-8,65,9
-4,33,8

14,38,2
8,15,6

-5,76,9
-2,44,0

-10,47,4
-8,14,6
-4,83,9
-4,66,5
-3,82,8
-2,63,3

23,312,0
18,95,3
8,24,5
10,67,6
7,43,5
3,54,2

-6,69,5
-5,66,6
-3,64,6
-3,55,5
-2,73,2
-1,32,8

-38,428,9

84,814,1

-26,229,2

akhir

Gbr 1. Subskala iritabilitas dari ABC dibanding waktu penelitian, *P.05 perubahan kedua kelompok dari data awal,
P<.01 perubahan kedua kelompok dari data awal, P< .001 perubahan kedua kelompok dari data awal

Hasil keamanan obat


Risperidone, pada dosis rata-rata sebesar 0.04 mg/kg/hari ditoleransi dengan
baik oleh anak-anak yang ikut pada penelitian yang berlangsung selama 8 minggu ini.
Efek samping yang dilaporkan paling sering muncul pada subjek dengan terapi
risperidone adalah somnolen ( 72,5 %), infeksi saluran napas atas ( 37,5 %), rhinitis
( 27,5 %), dan peningkatan nafsu makan ( 22,5 %; Tabel 3). Kejadian paling sering pada
subjek yang diberi plasebo adalah reaksi agresif ( 20,5 % ), demam ( 17,9 % ), infeksi
saluran napas atas ( 15,4 % ), insomnia ( 15,4 % ), muntah ( 15,4 % ), diare ( 15,4 % ),
dan ketidakseimbangan emosi ( 15,4 % ).
Tingkat keparahan kebanyakan efek samping ini ringan. Hanya 5 subjek dengan
terapi risperidone yang mengalami efek samping yang parah dan berkaiatan dengan uji
obat : 1 kasus hiperkinesia dan somnolen, 1 kasus kenaikan berat badan, somnolen,
reaksi agresif dengan gangguan konsentrasi dan kelainan ekstrapiramidal sebagai akibat
overdosis yang tidak disengaja. Dua ( 5,1 % ) subjek plasebo memperlihatkan efek
samping yang diduga berkaitan dengan uji obat : 1 kasus insomnia dan mata cekung dan
1 kasus overdosis obat yang tidak disengaja. Dua subjek ditarik dari penelitian karena
efek samping : kasus kelainan ekstrapiramidal sebagai akibat dari overdosis yang tidak
disengaja pada kelompok risperidon dan kasus overdosis yang tidak disengaja pada
kelompok plasebo. Kedua kejadian ini sesudah itu membaik tanpa gejala sisa.
Dua puluh lima subjek ( 72,5 % ) dengan terapi risperidon dan 3 subjek ( 7,7
% ) yang diberi plasebo terlihat somnolen selama penelitian dengan rata-rata waktu
onset pada kejadian pertama yaitu masing-masing selama 8 dan 15 hari. Dari 29 subjek
dengan terapi risperidon, somnolen membaik pada 18 dari 20 subjek yang jadwal
pemberian obatnya berubah, baik yang satu kali sehari pada malam hari dan yang dua
kali sehari. Somnolen juga membaik pada 2 subjek yang dosis obatnya diturunkan dan
pada 5 dari 7 subjek yang tidak dibuatkan penyesuaian dosis.
Sehingga, total somnolen 86,2 % ( 25 dari 29 subjek ) dengan terapi risperidon.
Sebuah analisis subgrup diantara subjek dengan terapi risperidon dengan dan tanpa
somnolen menunjukkan peningkatan yang sama pada nilai iritabilitas dari ABC,
menunjukkan bahwa efek positif risperidon pada hasil efikasi primer tidak tergantung
terhadap somnolen.

Tabel 3. Insiden efek samping obat yang dilaporkan > 10% dari kelompok risperidone
Kejadian, n(%)
Risperidone (n=40)
Placebo(n=39)
Setiap kejadian
40(100)
31 (79,5)
Somnolen
29(72,5)
3(7,7)
ISPA atas
15(37,5)
6(15,4)
Rhinitis
11(27,5)
4(10,3)
Peningkatan nafsu makan
9(22,5)
4(10,3)
Nyeri abdomen
8(20,0)
3(7,7)
Demam
8(20,0)
7(17,9)
Imsonia
6(15,0)
6(15,4)
Muntah
6(15,0)
6(15,4)
Batuk
6(15,0)
4(10,3)
Nyeri kepala
5(12,5)
2(5,1)
Konstipasi
5(12,5)
1(2,6)
Apatis
5(12,5)
0(0,0)
Takikardi
5(12,5)
0(0,0)
Influenza like symptom
4(10,0)
2(5,1)
Anoreksia
4(10,0)
1(2,6)
Fatigue
4(10,0)
1(2,6)
Hipersalivasi
4(10,0)
1(2,6)
Peningkatan BB
4(10,0)
1(2,6)
Tremor
4(10,0)
0(0,0)

Pada akhir penelitian, subjek dengan terapi risperidon denyut jantung meningkat
dengan rerata 8,9 kali/menit dibandingkan dengan kelompok placebo denyut nadi
menurun 0,6 kali/menit. Lima kasus dari takikardi yang ringan hingga berat pada
kelompok risperidon dilaporkan pada akhir penelitian (table 3).
Perubahan pada rekaman elektrokardiogram dianggap penting secara klinis
untuk satu subjek pada kelompok risperidon, perubahan ini termasuk takikardi dan
kemungkinan kelainan konduksi ringan. Pada akhir penelitian, tekanan darah sistolik
meningkat dengan rerata 4,0 mmHg pada subjek dengan terapi risperidon dibandingkan
dengan penurunan rerata 0,7 mmHg pada subjek yang diberi plasebo. Tidak satu pun
dari kasus peningkatan tekanan darah sistolik yang dianggap bermakna secara klinis
oleh peneliti. Pada akhir penelitian, subjek dengan terapi risperidon menunjukkan rerata
peningkatan berat badan sebesar 2,7 kg dibandingkan dengan peningkatan pada subjek
dengan plasebo yang hanya sebesar 1 kg ( P 0,001 ).
Terbukti tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada
skor total ESRS. Rerata skor total ESRS pada akhir bervariasi mulai dari 0,2 sampai 0,9
pada kelompok risperidon dan dari 0,3 sampai 1,1 pada kelompok plasebo. EPSs
dilaporkan sebagai efek samping pada 11 subjek ( 27,5 % ) dengan terapi risperidon
dan 5 subjek ( 12,8 % ) dengan plasebo. Pada subjek dengan terapi risperidon, tremor
( 4 kasus ), kelainan ekstrapiramidal, dan hipokinesia ( 2 kasus ) adalah EPSs yang

paling sering. Enam kejadian EPSs ini dilaporkan terjadi pada 5 subjek dengan plasebo
termasuk adanya 1 pada masing-masing dari diskinesia tardive, cara berjalan yang
abnormal, ataxia, diskinesia, hipertonia, dan kontraksi otot involunter. Kebanyakan
kejadian ini bersifat ringan dan sementara dan tidak membutuhkan intervensi. Dua
subjek pada kelompok dengan risperidon dan 1 pada kelompok pasebo menerima obat
anti EPS, pada semua kasus, EPS membaik pada akhir penelitian. Akhirnya, semua
pasien memiliki parameter hematologi, biokimiawi, dan urinalisis dalam batas normal.
Tidak ada perbedaan pada nilai laboratorium yang perlu diperhatikan diantara kedua
kelompok.
Tabel 4. Perubahan tanda vital dan berat badan
Variabel keamanan

Risperidone (n=40)

Placebo(n=38)

Awal*

akhir

Awal*

akhir

Nadi(permenit)

90,212,0

8,913,9

95,013,7

-0,613,1

Diastolik(mmHg)

68,19,8

0,79,1

67,810,3

-0,78,8

Sistolik(mmHg)

100,49,6

4,010,4

100,410,5

-0,710,7

Berat badan (kg)

31,214,2

2,72,0

27,58,7

1,01,6

*mean SD
rata-rata perubahan dari awal SD
P .01 vs placebo
P .001 vs placebo

DISKUSI
Penelitian plasebo-kontrol, 8 minggu, random, multisenter, double-blind ini,
menyatakan penemuan yang dilaporkan dari sejumlah penelitian kecil, open-label, dan
dari penelitian double-blind yang baru-baru ini diadakan oleh Research Unit on
Pediatric Psychopharmacology ( RUPP ) Autism Network. Dinyatakan bahwa
risperidone terbukti sebagai obat yang secara konsisten efektif untuk mengurangi
banyak gejala tingkah laku berkaitan dengan PDD pada anak-anak. Seperti diukur

dengan ABC, N-CBRF, dan VAS, risperidon secara bermakna lebih efektif
dibandingkan

plasebo

pada

semua

pengurangan

iritabilitas,

hiperaktifitas

ketidakpatuhan, pembicaraan yang tidak sesuai, lethargi / menarik diri, kepribadian


stereotipik, masalah tingkah laku, hiperaktif, perasaan tidak aman / ketakutan, dan
sensitivitas berlebihan dan gejala-gejala yang dianggap paling menyusahkan. Sebagai
tambahan, seperti yang diukur dengan CGI-C, subjek dengan terapi risperidon
menunjukkan perbaikan klinis secara bermakna. Sebagai tambahan, meskipun
perbedaan rerata pada perubahan dari garis dasar pada akhir penelitian tidak bermakna
secara statistik, subjek dengan terapi risperidon secara konsisten mendapat skor yang
lebih rendah dibandingkan subjek dengan plasebo pada setiap subskala yang diukur
pada penelitian ini. Termasuk subskala N-CBRF yang menilai isolasi diri / ritualistik
dan menyakiti diri sendiri / kebiasaan stereotipik.
Pada awal dari hasil efikasi primer ( perubahan rerata dari skor iritabilitas ),
risperidon secara bermakna lebih efektif dibanding plasebo pada setiap kunjungan,
dimulai dengan penilaian kedua setelah randomisasi pada terapi minggu kedua. Pada
akhir penelitian, subjek dengan terapi risperidon menunjukkan peningkatan sebesar 64
% diatas garis dasar pada skor iritabilitas, sebuah peningkatan yang hampir dua kali
lipat dari subjek dengan plasebo. Hasil yang sama ditemukan pada subset dari subjek
autis. Perbaikan iritabilitas pada akhir penelitian untuk anak-anak dan dewasa dengan
autis dan yang mendapat terapi risperidon sebesar 66 %, sedangkan untuk kelompok
plasebo menunjukkan peningkatan sebesar 35 %. Perbedaan respon yang mirip
dilaporkan dari 101 anak, dengan rerata usia 8,8 tahun, yang didiagnosis gangguan autis
dengan kemarahan, agresif, atau kebiasaan menyakiti diri sendiri yang berat, dan
berpartisipasi pada penelitian RUPP selama 8 minggu, random, double-blind, plasebokontrol. Pada penelitian ini, subjek dengan terapi risperidon menunjukkan perbaikan
sebesar 57 % pada rerata skor iritabilitas mereka, dimana subjek dengan plasebo hanya
menunjukkan perbaikan 14 % ( P 0,001 ). Hasil dari penelitian ini serupa dengan
penelitian dari RUPP dan bersama-sama mendukung efektivitas dari risperidon dalam
memperbaiki beberapa gejala-gejala kepribadian yang terganggu pada anak autis dan
PDD yang lainnya. Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah durasi terapi yang
relatif singkat.

Terapi dengan risperidon secara umum ditoleransi dengan baik : hanya 1 subjek
dengan terapi risperidon yang ditarik dari penelitian karena efek samping, efek samping
ini disebabkan overdosis yang tidak disengaja pada uji obat, dan telah mengalami
perbaikan. Somnolen dilaporkan sebagai efek yang paling besar padakelompok
risperidon (86%). Somnolen membaik dengan sendirinya atau yang ditangani secara
efektif dengan menurunkan dosis menjadi dua kali setiap hari atau menjadi malam saja.
Hal ini sangat menarik untuk diperhatikan bahwa adanya somnolen tidak mempengaruhi
peningkatan pada iritabilitas,yang merupakan parameter primer efikasi.
Selama 8 mniggu perjalanan, denyut nadi meningkat pada subjek dengan terapi
risperidon, dengan takikardi ringan sampai sedang, telah dilaporkan sebagai efek
samping pada 5 subjek. Takikardia membaik pada 1 subjek. Sebagai tambahan, 1 subjek
pada kelompok risperidon dilaporkan memiliki kemungkinan abnormalitas ringan pada
konduksi ( pada lead 1) yang dianggap relevan secara klinis. Disana juga ada
peningkatan kecil tetapi signifikan secara statistik pada tekanan darah sistol kelompok
risperidon, meskipun tidak satu pun dari kasus yang diangap bermakna secara klinis.
Peningkatan kecil pada denyut jantung dan tekanan darah pada subjek dengan terapi
risperidon dibanding subjek dengan plasebo tidak terlihat pada percobaan kontrol yang
dilaporkan akhir-akhir ini, pada anak dengan gangguan autis dan hubungan yang
relevan diantara kedua juga tidak diketahui.
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada total skor mingguan ESRS antara
kelompok risperidon dan placebo baik pada penelitian ini maupun penelitian 8 minggu
RUPP yang berisi anak-anak dengan gangguan autis. Meskipun lebih banyak subjek
dengan terapi risperidon dibandingkan subjek dengan plasebo mengalami setidaknya 1
EPS, kebanyakan gejalanya dinilai bersifat ringan dan sementara dan tidak
membutuhkan intervensi. Pada subjek yang menerima terapi, kejadian ini diatur dengan
efektif. Tidak ada kasus diskinesia tadive yang dilaporkan pada subjek dengan terapi
risperidon. Diperlukan penelitian yang lebih panjang untuk memantau EPSs dan hasil
keamanan lainnya.
Akhirnya, subjek dengan terapi risperidon mengalami peningkatan berat badan
2,7 kg dibandingkan dengan kenaikan yang dialami subjek dengan plasebo sebesar 1,0
kg. Derajat serupa dari peningkatan berat badan ditemukan pada penelitian RUPP.
Penelitian dengan durasi yang panjang pada penggunaan risperidon pada anak-anak

selama 1 tahun menunjukkan bahwa derajat peningkatan berat badan lebih berat selama
1 bulan pertama terapi. Meskipun begitu sebagai langkah awal untuk mencegah atau
menurunkan kenaikan berat badan yang mungkin terjadi, anak yang memiliki PDD dan
diberi resep risperidon seharusnya didorong untuk membuat aturan diet dan rencana
aktivitas fisik.
Seperti pada beberapa kasus pada antipsikotik lainnya, hiperglikemia dan
eksaserbasi dari diabetes yang telah ada sebelumnya, telah dilaporkan sebagai kejadian
aneh pada penggunaan risperidon; hal ini tidak ditemukan pada penelitian ini maupun
penelitian RUPP. Diabetes ketoasidosis juga pernah dilaporkan. Pemantauan klinis
dengan tepat dianjurkan pada pasien diabetes dan mereka yang memiliki faktor risiko
diabetes melitus.
Sebagai kesimpulan, larutan risperidon ( rerata dosis : 0,04 mg/kg/hari ; 1,17
mg/day ) memiliki efikasi dan ditoleransi baik dalam terapi gejala-gejala berkaitan
kepribadian., termasuk agresifitas, pada anak usia 5-12 tahun dengan PDD, seperti yang
dinilai dengan subskala-subskala ABC ( irritabilitas, hiperaktifitas / ketidakpatuhan,
pembicaraan yang tidak sesuai, letargi / menarik diri, kepribadian stereotipik ) dan
subkala-subskala N-CBRF dari masalah-masalah tingah laku, hiperaktifitas, perasaan
tidak aman / ketakutan, dan kepribadian yang terlalu sensitif. Kebanyakan efek samping
akan hilang dengan sendirinya atau siap diatur dengan memodifikasi dosis. Hasil efikasi
yang menggembirakan didapatkan, dimana agen ini menawarkan harapan baru untuk
memenejemen gejala kepribadian yang ditunjukan anak-anak dengan PDD.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini didukung oleh Janssen-Ortho Inc, Canada, dan Johnson & Johnson
Pharmaceutical Research and Development.
RIS-CAN-23 Study Group: A. Carroll, W. Fleisher, S. Shea, M. Steele, K.
Streilein, A. Turgay, dan H. White.
Kami mengucapkan terimakasih pada Margaret Light, PhD dan Colleen Duncan,
MSc (Janssen-Ortho Inc.)

Anda mungkin juga menyukai