Disusun oleh:
P27834114006 Kholisna Nur Iskadiriana
P27834114007 Berlian Duta Krisna
P27834114008 Nindy Febriana Safitri
P27834114009 Arum Shofya Panca Rahma Romunza
P27834114010 Desyrta Dwi Harwidya
DIV SEMESTER 4
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr, Wb.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Penyakit yang Disebabkan oleh Sarcoptes scabiei dan Demodex sp. . Makalah ini
terdiri atas tiga bab yang memuat pendahuluan, isi, dan kesimpulan seputar judul yang
dibahas.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi masukan dan arahan
selama kami menyusun makalah ini. Kamimenyadari masih banyaknya kekurangan
dalam penyusunannya. Untuk itu kami sangat terbuka atas kritik dan saran dari semua
pihak. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak di masa yang akan datang.
Wabillahi taufiq walhidayah, Wassalamualaikum Wr, Wb.
Penyusun
DAFTAR ISI
.............................................................................................. i
.............................................................................................. ii
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang
.............................................................................................. 1
1.1.1
Scabies
..............................................................................................
1.1.2
Demodecosis
..................................................................................
Scabies
1.2.2
Demodecosis
1.3 Tujuan
.............................................................................................. 4
.................................................................................. 4
.......................................................................................................... 4
1.3.1
Scabies
.............................................................................................. 4
1.3.2
Demodecosis
.................................................................................. 5
BAB II Isi
2.1 SCABIES
.......................................................................................................... 6
2.1.1
2.1.2
Epidemiologi Scabies
2.1.3
2.1.4
Patogenesis Scabies
2.1.5
2.1.6
Diagnosis Banding
2.1.7
...................................................................... 6
...................................................................... 8
...................................................... 10
...................................................................... 18
.............................................. 26
2.2.2
...................... 27
2.2.3
Patogenesis Demodex
2.2.4
...................... 30
2.2.5
...................... 32
2.2.6
Prognosis.............................................................................................. 33
...................................................................... 28
.............................................................................................. 34
SCABIES
.................................................................................. 34
.................. 35
Daftar Pustaka.......................................................................................................... 36
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Scabies
Penyakit Scabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
kutu yang bernama Sarcoptes scabiei varian hominis (Harahap, 2000). Kutu
tersebut memasuki kulit stratum korneum membentuk kanalikuli atau
terowongan lurus atau berkelok sepanjang 0,6 sampai 1,2 cm. Akibatnya,
penyakit ini menimbulkan rasa gatal yang panas dan perih yang disebabakan
oleh garukan. Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik atau gatal
agogo. Saat ini Badan Dunia menganggap penyakit Scabies sebagai pengganggu
dan perusak kesehatan yang tidak dapat dianggap lagi hanya sekedar
penyakitnya orang miskin karena penyakit Scabies masa kini telah merebak
menjadi penyakit kosmopolit yang menyerang semua tingkat sosial (Agoes,
2009). Menurut Sungkar (2000) mengatakan bahwa penyakit Scabies di seluruh
dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang
belum diketahui sepenuhnya. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan
dewasa, tetapi dapat mengenai semua umur. Penyakit ini telah ditemukan
hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang
bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar
antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia
sekolah dan remaja.
1.1.2
Demodecosis
Canine demodecosis adalah inflamasi akibat serangan parasit Demodex
sp. yang berkaitan dengan status imunodefisiensi sehingga tungau berkembang
secara luar biasa dan menyebabkan furunculosis dan infeksi sekunder bakterial.
Kasus dermatologi menempati urutan kedua terbesar yaitu sekitar 17%
dari seluruh kasus yang ditangani Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP),
setelah kasus gastrointestinal. Sedangkan demodekosis umumnya merupakan
kasus pada anjing, sekitar 12% dari keseluruhan kasus dermatologi di RSHP.
Jenis kelamin penderita demodecosis 51% jantan dan 49% betina.
Sedangkan bangsa anjing yang terserang umumnya berbulu pendek 67%,
sedangkan anjing yang berbulu sedang atau panjang 33%.
Sedangkan umur penderita demodekosis umumnya berumur di bawah 1
tahun, yaitu sebesar 58% dan kejadian demodekosis di atas umur 1 tahun
sebesar 42%. Hal ini perlu kewaspadaan pada dokter hewan praktisi maupun
pemilik hewan, karena permulaan kejadian demodekosis seringkali terjadi di
bawah umur 1 tahun. Sebanyak 24% dari keseluruhan kasus berumur di bawah
6 bulan. Bahkan dari catatan, ada yang menderita demodekosis pada umur 2
bulan. Pada umumnya kejadian demodecosis di RSHP merupakan demodekosis
general (Canine Generalized Demodecosis, CGD).
Sementara itu berdasarkan waktu kejadian, berfluktuasi dari bulan ke
bulan, namun berdasarkan rataan jumlah berdasarkan waktu umumnya banyak
kasus demodekosis ditemukan pada bulan Pebruari dan meningkat hingga bulan
April-Mei dan menurun kembali pada akhir tahun. Masih sulit menduga apakah
Scabies
a. Apakah penyakit Scabies itu?
b. Apa etiologi penyakit Scabies?
c. Berapa lama masa inkubasi dan diagnosis penyakit Scabies?
d. Bagaimana cara penularan, pencegahan dan penanggulangan penyakit
Scabies?
1.2.2
Demodecosis
a. Apakah penyakit Demodecosis dan demodiciosis itu?
b. Apa etiologi penyakit demodecosis?
c. Bagaimana gejala penyakit yang disebabkan demodex pada manusia dan
anjing?
d. Bagaimana patogenesis penyakit demodecosis dan demodiciosis?
e. Bagaimana penanganan dan pencegahan penyakit yang disebabkan
demodex?
1.3 Tujuan
1.3.1
Scabies
a. Untuk mengetahui pengertian penyakit Scabies.
b. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penyebab penyakit Scabies.
c. Untuk menentukan lama masa inkubasi dan diagnosis penyakit Scabies.
d. Untuk mengetahui cara penularan,pencegahan dan penanggulangan
penyakit Scabies.
1.3.2
Demodecosis
a.
b.
c.
d.
BAB II
ISI
2.1 SCABIES
2.1.1 Definisi Scabies
Sinonim atau nama lain Scabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan
gatal agogo. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan hasil produknya
(Handoko dkk, 2005).
Scabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi
daerah, semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama
pada daerah yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara
dengan keadaan perekonomian yang kurang. Scabies ditularkan melalui kontak
fisik langsung (skin-to-skin) maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang
dipakai bersama) (Handoko dkk, 2005).
Gejala utama adalah pruritus intensif yang memburuk di malam hari atau
kondisi dimana suhu tubuh meningkat. Lesi kulit yang khas berupa terowongan,
papul, ekskoriasi dan kadang-kadang vesikel. Tungau penyebab Scabies
merupakan parasit obligat yang seluruh siklus hidupnya berlangsung di tubuh
manusia. Tungau tersebut tidak dapat terbang atau meloncat namun merayap
dengan kecepatan 2.5 cm per menit pada kulit yang hangat (Chosidow, 2006)
2.1.2
Epidemiologi Scabies
Scabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Daerah endemic Scabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan
Karibia, India, dan Asia Tenggara.
Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia
terjangkit tungau Scabies (Chosidow , 2006). Studi epidemiologi memperlihatkan
bahwa prevalensi Scabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, dan umur. Faktor primer yang berkontribusi
adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat.
2.1.3
Etiologi Scabies
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
bergelombang dan pada permukaan punggung terdapat bulu dan dentikel (Burns,
2004).
Patogenesis Scabies
Penyakit Scabies ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kutu
Sarcoptes scabei. Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial
ekonomi yang rendah, higiene perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak saniter,
perilaku yang tidak mendukung kesehatan, serta kepadatan penduduk. Penyakit
Scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung.
Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat
seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan
melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika
Serikat dilaporkan, bahwa Scabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual
meskipun bukan merupakan akibat utama.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang
terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam
terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter
sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah
40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya.
Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat
juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk,
jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur
sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 12 hari (Handoko, R, 2001).
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 4 hari, kemudian larva
meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva
berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati
setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi. ( 6
Mulyono, 1986). Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar
selama lebih kurang 7 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan
lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh
kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (Andrianto dan Tang Eng
Tie, 1989).
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau Scabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan
sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan
tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret
tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu
kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika
dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi
sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.
(Handoko, R, 2001). Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya
memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap
timbulnya gatal. Sarcoptes scabiei melepaskan substansi sebagai respon hubungan
antara tungau dengan keratinosit dan sel-sel langerhans ketika melakukan penetrasi
ke dalam kulit. (Hickz and Elston, 2009).
Hasil
penelitian
sebelumnya
menunjukkan
keterlibatan
reaksi
hipersensitivitas tipe IV dan tipe I (Burns, 2004). Pada reaksi tipe I, pertemuan
antigen tungau dengan Imunoglobulin-E pada sel mast yang berlangsung di
epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan
antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan
gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papulpapul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah
sel limfosit T yang banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai
dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan
efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan
yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya
infeksi sekunder (Harahab, 2000).
Cara penularan Scabies:
Scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung. Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan mengapa
penyakit ini sering menular ke seluruh anggota keluarga. Penularan secara tidak
langsung dapat melalui penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur.
Bahkan dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antar penderita dengan
orang sakit, namun Scabies bukan manifestasi utama dari penyakit menular seksual
(Walton and Currie, 2007).
2.1.5
Kelangsungan
hidup
Sarcoptes
scabiei
sangat
bergantung
kepada
eritematous
dapat
tersebar
di
badan
sebagai
reaksi
kegagalan
menemukan
tungau
sering
terjadi
namun
tidak
Bentuk Klinis
Selain bentuk Scabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang tidak
khas, meskipun jarang ditemukan. Kelainan ini dapat menimbulkan kesalahan
diagnostik yang dapat berakibat gagalnya pengobatan Bentuk-bentuk Scabies
antara lain (Stephen et al, 2011):
1) Scabies pada orang bersih
Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan jumlah
yang sangat sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur. Namun
bentuk ini seringkali salah diagnosis karena lesi jarang ditemukan dan sulit
mendapatkan terowongan tungau.
xerotik. Pruritus dapat bervariasi dan dapat pula tidak ditemukan pada bentuk
penyakit ini (Amirudin, 2003).
6) Uji tetrasiklin
Pada lesi dioleskan salep tetrasiklin yang akan masuk ke dalam kanalikuli.
Setelah dibersihkan, dengan menggunakan sinar ultraviolet dari lampu Wood,
tetrasiklin tersebut akan memberikan fluoresensi kuning keemasan pada
kanalikuli. Dari berbagai macam pemeriksaan tersebut, pemeriksaan kerokan
kulit merupakan cara yang paling mudah dan hasilnya cukup memuaskan.
Agar pemeriksaan berhasil, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
a. Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papula, kanalikuli) dan
tidak dilakukan pada tempat dengan lesi yang tidak spesifik.
b. Sebaiknya lesi yang akan dikerok diolesi terlebih dahulu dengan
minyak mineral agar tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat
menemukan tungau dalam keadaan hidup dan utuh.
c. Kerokan dilakukan pada lesi di daerah predileksi.
d. Oleh karena tungau terdapat dalam stratum korneum maka kerokan
harus dilakukan di superficial dan menghindari terjadinya perdarahan.
Namun karena sulitnya menemukan tungau maka diagnosis Scabies
harus dipertimbangkan pada setiap penderita yang datang dengan
keluhan gatal yang menetap.
2.1.6
Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya adalah:
1. Urtikaria Akut: erupsi pada papul-papul yang gatal, selalu sistemik.
Penatalaksanaan Scabies
Terdapat beberapa terapi untuk Scabies yang memiliki tingkat efektivitas
yang bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain
umur pasien, biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan factor kegagalan terapi
yang pernah diberikan sebelumnya.
Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh
permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala, dan lebih difokuskan di
daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area
belakang telinga. Pada pasien anak dan Scabies berkrusta, area wajah dan kulit
dapat
menyebabkan
dermatitis
alergi.
Terapi
ini
dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman
digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil.
f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotic
makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotic, diketahui
aktif melawan ekto dan endo parasit. Digunakan secara meluas pada
pengobatan hewan, pada mamalia, pada manusia digunakan untuk
pengobatan penyakit filarial terutama oncocerciasis. Diberikan secara
oral, dosis tunggal, 200 ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk Scabies.
Digunakan pada umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan secara khusus
tentang formulasi ivermectin topikal efektif untuk mengobati Scabies.
Efek samping yang sering adalah kontak dermatitis dan toxicepidermal
necrolysis.
g. Monosulfiran
Tersedia dalam bentuk lotion 25% sebelum digunakan harus
ditambahkan 2-3 bagian air dan digunakan setiap hari selama 2-3 hari.
h. Malathion
Malathion 0,5% adalah insektisida organosfosfat dengan dasar
air digunakan selama 24%. Pemberian berikutnya beberapa hari
kemudian. Namun saat ini tidak lagi direkomendasikan karena
berpotensi memberikan efek samping yang buruk.
c. Penatalaksanaan Scabies berkrusta
Terapi Scabies ini mirip dengan bentuk umum lainnya, meskipun
Scabies berkrusta berespon lebih lambat dan umumnya membutuhkan
beberapa pengobatan dengan skabisid. Kulit yang diobati meliputi
kepala, wajah, kecuali sekitar mata, hidung, mulut dan khusus dibawah
kuku jari tangan dan jari kaki diikuti dengan penggunaan sikat di bagian
bawah ujung kuku. Pengobatan diawali dengan krim permethrin dan jika
dibutuhkan diikuti dengan lindane dan sulfur. Mungkin sangat
membantu bila sebelum terapi dengan skabisid diobati dengan
keratolitik.
d. Penatalaksanaan Scabies nodular
Nodul tidak mengandung tungau namun merupakan hasil dari
reaksi hipersensitivitas terhadap produk tungau. Nodul akan tetap terlihat
dalam beberapa minggu setelah pengobatan. Scabies nodular dapat
h. Komplikasi
Infeksi sekunder pada pasien Scabies merupakan akibat dari
infeksi bakteri atau karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran
klinik yang ada. Erosi merupakan tanda yang paling sering muncul pada
lesi sekunder. Infeksi sekunder dapat ditandai dengan munculnya pustul,
supurasi, dan ulkus. Selain itu dapat muncul eritema, skuama, dan semua
tanda inflamasi lain pada ekzem sebagai respon imun tubuh yang kuat
terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada daerah yang tertutup seperti
bokong, skrotum, inguinal, penis, dan axilla. Infeksi sekunder lokal
sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan biasanya
mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau antibiotic oral,
tergantung tingkat pyodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemia
dapat juga terjadi terutama pada Scabies Norwegian, poststreptococcal
glomerulonephritis bisa terjadi karena Scabies-induced pyodermas yang
disebabkan oleh Streptococcus pyogens.
i. Prognosis
Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa
tahun. Pada individu yang immunocompetent, jumlah tungau akan
berkurang seiring waktu. Infestasi Scabies dapat disembuhkan. Seorang
individu dengan infeksi Scabies, jika diobati dengan benar, memiliki
prognosis yang baik, keluhan gatal dan ekzema akan sembuh.
2.2 DEMODEX PADA ANJING DAN MANUSIA
2.2.1 Definisi Demodex penyebab penyakit pada manusia dan anjing
Demodex adalah parasit kecil yang hidup di dekat folikel rambut
mamalia. Sekitar 65 spesies Demodex diketahui, mereka adalah yang terkecil
di antara arthropoda. Demodex sp. adalah penghuni yang lazim dijumpai di unit
pilosebaseus
manusia.
Infestasi
oleh
Demodex
folliculorum
disebut
kali
pada tahun
1842
oleh
Simon,
sedangkan
Demodex
brevis
dari folikel rambut dan disanalah mereka akan menjadi dewasa dan mengulangi
siklus hidupnya.
2.2.3
Patogenesis Demodex
Dalam jumlah kecil kutu ini tidak menimbulkan dampak berarti, tetapi
dalam jumlah besar akan menimbulkan kerusakan pada jaringan kulit dan
menyebabkan penyakit demodicidosis (penyakit yang disebabkan demodex),
misalnya demodetic acne rosacea (jerawat), blepharitis (infeksi kelopak mata),
kehilangan bulu mata, dll. Demodex juga menyebabkan kerusakan pada
kollagen dan elastin sehingga terjadi penuaan dini. Setelah nutrisi habis,
demodex akan menggerogoti pembuluh dermis sehingga membuat kulit kusam.
Jika dibiarkan terus menerus kulit lambat laun akan mengering dan
menimbulkan kerut.
Jangka waktu hidup demodex adalah 90 hari, setelah itu ia akan mati.
Jika demodex yang mati tersebut tidak dibersihkan semakin lama akan
menumpuk dan menjadi bangkai. Bangkai-bangkai inilah yang membuat kulit
menjadi kasar, kusam dan menurunnya elastisitasnya. Karena kekurangan
nutrisi dalam kulit ini pula membuat kulit menjadi berbintik-bintik hitam atau
flek.
Demodex juga akan menghabisi nutrisi yang dibutuhkan oleh rambut.
Dengan demikian rambut akan mengalami penipisan batang rambut dan menjadi
kusam. Setelah nutrisi dalam akar rambut habis, ia akan memakan dinding
rambut. Lama kelamaan rambut akan mengalami kerontokan. Demodex dapat
berpindah tempat dari inang satu ke inang yang lainnya melalui kontak fisik
ataupun udara. Kutu ini akan sangat mudah menular dalam anggota keluarga,
oleh karena itu sering disebut sebagai parasit keluarga.
Patogenesis penyakit yang berkaitan dengan proliferasi Demodex sp.
hingga saat ini masih belum jelas. Umumnya hewan mempunyai sejumlah kecil
Demodex pada tubuhnya yang tinggal di folikel dan kelenjar sebaseus.
Berkembangnya tungau dan menimbulkan penyakit diduga akibat dari
sistem kekebalan tubuh host. Penelitian menunjukkan pemberian serum
antilimfosit pada anak anjing akan menyebabkan anjing tersebut menderita
demodekosis general. Penelitian in vitro terhadap limfosit blastogenesis
menunjukkan bahwa terjadi respon limfosit abnormal pada anjing pada kasus
Canine General Demodecosis (CGD). Namun, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa supresi respon blastogenesis diinduksi oleh suatu substansi yang
dihasilkan tungau, semacam humoral immunosuppresive factor. Bahan ini akan
menyebabkan supresi respon kekebalan host terhadap tungau sehingga tungau
berkembang biak tanpa dapat dikendalikan oleh host.
Tilley
and
Smith
(2000)
menyatakan
bahwa
penderita
CGD
sehingga
penggunannya
harus
sesuai
petunjuk
dan
maka
hewan
sebaiknya
tidak
diberikan
pengobatan
karena seringkali terjadi infeksi sekunder pada kasus CGD. Untuk itu biasa
digunakan antibiotika baik sistemik maupun topikal. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah nutrisi yang cukup, infeksi/infestasi parasit, khususnya
parasit internal dan gangguan-gangguan yang lain. Kondisi-kondisi tersebut
dapat menjadi pemicu imunosupresi pada anjing dan menjadikan proses
pengobatan menjadi lebih sulit.
Pada anjing betina penderita CGD sebaik disterilisasi. Karena
demodekosis biasanya akan semakin berat pada saat estrus, bunting atau
menyusui. Lebih dari pada itu, karena dugaan kelemahan bersifat menurun,
maka anjing dengan kasus juvenile-onset CGD sebaiknya juga disterilisasi.
Hewan yang mengalami demodecosis general sebaiknya tidak digunakan
untuk breeding karena cenderung memiliki predisposisi genetik dengan
sensitivitas terhadap demodex yang sama terhadap turunannya. Secara genetic
pula ada beberapa jenis ras anjing yang cenderung lebih sensitive terhadap
resiko demodecosis yaitu diantaranya pada west highland white terrier, chinese
shar pei, scottish terrier,english bulldog, boston terrier, great dane, doberman
pinscher serta alaskan malamute.
2.2.6
Prognosis
Meski langkah pengobatan pada kasus demodecosis telah mengalami
kemajuan dan pembaharuan untuk meningkatkan prognosis demodecosis
khususnya CGD, namun masih sulit untuk memprediksi bahwa kasus tersebut
dapat dengan mudah diatasi. Terbukti dari beberapa penelitian bahwa sebagian
CGD menjadi kronis dan timbul resistensi terhadap amitraz.
Kambuhnya kasus CGD umumnya disebabkan penghentian terapi yang
terlalu dini. Bila kasus kambuh kembali sebelum jangka 3 bulan sejak terapi
dihentikan, ini berarti bahwa lama waktu terapi masih kurang. Bila kasus
kambuh kembali setelah beberapa bulan sejak terapi dihentikan, kemungkinan
masalah ada pada hewan atau anjing dan bukan prosedur terapi yang dilakukan.
Pada kondisi ini biasanya terapi yang dilakukan menjadi lebih sulit.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.1.1 SCABIES
Scabies
adalah penyakit
kulit
yang
disebabkan
oleh sarcoptes
scabiei yang menyebabkan iritasi kulit. Parasit ini menggali parit-parit didalam
epidermis
sehingga
menimbulkan
gatal-gatal
dan
merusak
kulit
2.
1) Pruritus nokturna, yakni gatal pada malam hari. Ini terjadi karena aktivitas
tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas, dan pada saat
hospes dalam keadaan tenang atau tidak beraktivitas.
2) Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok. Misalnya, dalam
sebuah keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga dapat terkena infeksi.
Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,
misalnya asrama atau penjara.
3) Adanya lesi yang khas, berupa terowongan (kurnikulus) pada tempat
predileksi; berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok,
rata-rata
panjang
cm.
Tempat
Pada
ujung
predileksinya
terowongan
adalah
kulit
dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak bagian depan, areola mamae
(wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna pria (pria), dan perut bagian
bawah. Pada bayi, dapat mengenai telapak tangan dan kaki. Ditemukannya
tungau merupakan penentu utama diagnosis.
3.1.2
manusia. Demodex folliculorum dijelaskan pertama kali pada tahun 1842 oleh
Simon,
sedangkan
Demodex
Demodex
folliculorum
brevis
ditemukan
dalam
folikel
rambut,
sementara
yang berada di lapisan kulit luar. Untuk mengurangi demodex dengan baik perlu
obat yang dapat membunuh demodex dari dalam yakni antibiotic.
Demodecosis pada anjing merupakan penyakit peradangan kulit akibat
infeksi parasit Demodex canis dalam jumlah besar. Demodex canis merupakan
tungau yang hidup di folikel rambut dan kelenjar sebaceous. Kasus demodecosis
ini dapat memicu terjadinya furunculosis dan infeksi sekunder oleh bakteri dan
umum terjadi pada anjing berumur 3-6 bulan
Pada anjing dewasa terjadinya demodecosis dapat mengindikasikan
adanya penyakit dalam yang berdampak pada gangguan sistem imun hewan,
diantaranya kanker, penyakit liver, ginjal maupun ketidakseimbangan hormonal.
Hewan yang sedang dalam terapi menggunakan obat imunosupresif seperti
kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang
akhirnya dapat memicu timbulnya demodecosis.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Ridad Agoes, MPH, Djaenudin Natadisastra, dr. Sp. Park.2005.Parasitologi
Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang
file:///C:/Users/User/Downloads/dokumen.tips_makalah-skabies.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33901/5/Chapter%20I.pdf
http://dokumen.tips/download/link/demode-cos-is
http://www.scopemed.org/mnstemps/2/2-1295625758.pdf
http://pietklinik.com/
http://hssv.convio.net/site/DocServer/Demodectic-mange-in-dogs.pdf?docID=909
http://iavduneteriner.com/2009/12/studi-kasus-demodecosis-pada-anjing/print
http://mypeliharaan.blogspot.com/2010/05/perawatan-anjing-yang-terkena.html
Paradis, M. 1999. New Approaches to The Treatment of Canine Demodecosis.
Veterinary Clinics of North America : Small Animal Practice
https://id.scribd.com/doc/90546808/demodex-folliculorum