Anda di halaman 1dari 39

ENTOMOLOGI

PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH


Sarcoptes scabiei dan Demodex sp.

Disusun oleh:
P27834114006 Kholisna Nur Iskadiriana
P27834114007 Berlian Duta Krisna
P27834114008 Nindy Febriana Safitri
P27834114009 Arum Shofya Panca Rahma Romunza
P27834114010 Desyrta Dwi Harwidya

DIV SEMESTER 4
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
2016

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr, Wb.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Penyakit yang Disebabkan oleh Sarcoptes scabiei dan Demodex sp. . Makalah ini
terdiri atas tiga bab yang memuat pendahuluan, isi, dan kesimpulan seputar judul yang
dibahas.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi masukan dan arahan
selama kami menyusun makalah ini. Kamimenyadari masih banyaknya kekurangan
dalam penyusunannya. Untuk itu kami sangat terbuka atas kritik dan saran dari semua
pihak. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak di masa yang akan datang.
Wabillahi taufiq walhidayah, Wassalamualaikum Wr, Wb.

Surabaya, Juni 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
.............................................................................................. i
.............................................................................................. ii

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang
.............................................................................................. 1
1.1.1

Scabies

..............................................................................................

1.1.2

Demodecosis

..................................................................................

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 4


1.2.1

Scabies

1.2.2

Demodecosis

1.3 Tujuan

.............................................................................................. 4
.................................................................................. 4

.......................................................................................................... 4

1.3.1

Scabies

.............................................................................................. 4

1.3.2

Demodecosis

.................................................................................. 5

BAB II Isi
2.1 SCABIES

.......................................................................................................... 6

2.1.1

Definisi Scabies .................................................................................. 6

2.1.2

Epidemiologi Scabies

2.1.3

Etiologi Scabies .................................................................................. 7

2.1.4

Patogenesis Scabies

2.1.5

Penegakan Diagnosis Scabies

2.1.6

Diagnosis Banding

2.1.7

Penatalaksanaan Scabies ...................................................................... 19

...................................................................... 6
...................................................................... 8
...................................................... 10

...................................................................... 18

2.2 DEMODEX PADA ANJING DAN MANUSIA


2.2.1

.............................................. 26

Definisi Demodex Penyebab Penyakit pada


Manusia dan Anjing ............................................................................. 26

2.2.2

Gejala Adanya Demodex pada Manusia dan Anjing

...................... 27

2.2.3

Patogenesis Demodex

2.2.4

Penanganan Penyakit yang Disebabkan Demodex

...................... 30

2.2.5

Pencegahan Penyakit yang Disebabkan Demodex

...................... 32

2.2.6

Prognosis.............................................................................................. 33

...................................................................... 28

BAB III Kesimpulan


3.1 Kesimpulan
3.1.1
3.1.2

.............................................................................................. 34
SCABIES

.................................................................................. 34

DEMODEX PADA ANJING DAN MANUSIA

.................. 35

Daftar Pustaka.......................................................................................................... 36

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Scabies
Penyakit Scabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
kutu yang bernama Sarcoptes scabiei varian hominis (Harahap, 2000). Kutu
tersebut memasuki kulit stratum korneum membentuk kanalikuli atau
terowongan lurus atau berkelok sepanjang 0,6 sampai 1,2 cm. Akibatnya,
penyakit ini menimbulkan rasa gatal yang panas dan perih yang disebabakan
oleh garukan. Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik atau gatal
agogo. Saat ini Badan Dunia menganggap penyakit Scabies sebagai pengganggu

dan perusak kesehatan yang tidak dapat dianggap lagi hanya sekedar
penyakitnya orang miskin karena penyakit Scabies masa kini telah merebak
menjadi penyakit kosmopolit yang menyerang semua tingkat sosial (Agoes,
2009). Menurut Sungkar (2000) mengatakan bahwa penyakit Scabies di seluruh
dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang
belum diketahui sepenuhnya. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan
dewasa, tetapi dapat mengenai semua umur. Penyakit ini telah ditemukan
hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang
bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar
antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia
sekolah dan remaja.
1.1.2

Demodecosis
Canine demodecosis adalah inflamasi akibat serangan parasit Demodex
sp. yang berkaitan dengan status imunodefisiensi sehingga tungau berkembang
secara luar biasa dan menyebabkan furunculosis dan infeksi sekunder bakterial.
Kasus dermatologi menempati urutan kedua terbesar yaitu sekitar 17%
dari seluruh kasus yang ditangani Rumah Sakit Hewan Pendidikan (RSHP),
setelah kasus gastrointestinal. Sedangkan demodekosis umumnya merupakan
kasus pada anjing, sekitar 12% dari keseluruhan kasus dermatologi di RSHP.
Jenis kelamin penderita demodecosis 51% jantan dan 49% betina.
Sedangkan bangsa anjing yang terserang umumnya berbulu pendek 67%,
sedangkan anjing yang berbulu sedang atau panjang 33%.
Sedangkan umur penderita demodekosis umumnya berumur di bawah 1
tahun, yaitu sebesar 58% dan kejadian demodekosis di atas umur 1 tahun
sebesar 42%. Hal ini perlu kewaspadaan pada dokter hewan praktisi maupun
pemilik hewan, karena permulaan kejadian demodekosis seringkali terjadi di
bawah umur 1 tahun. Sebanyak 24% dari keseluruhan kasus berumur di bawah
6 bulan. Bahkan dari catatan, ada yang menderita demodekosis pada umur 2
bulan. Pada umumnya kejadian demodecosis di RSHP merupakan demodekosis
general (Canine Generalized Demodecosis, CGD).
Sementara itu berdasarkan waktu kejadian, berfluktuasi dari bulan ke
bulan, namun berdasarkan rataan jumlah berdasarkan waktu umumnya banyak
kasus demodekosis ditemukan pada bulan Pebruari dan meningkat hingga bulan
April-Mei dan menurun kembali pada akhir tahun. Masih sulit menduga apakah

hal tersebut berkaitan dengan perubahan cuaca di daerah tropis khususnya di


Indonesia, atau munculnya stress pada musim hujan sebelumnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1

Scabies
a. Apakah penyakit Scabies itu?
b. Apa etiologi penyakit Scabies?
c. Berapa lama masa inkubasi dan diagnosis penyakit Scabies?
d. Bagaimana cara penularan, pencegahan dan penanggulangan penyakit
Scabies?

1.2.2

Demodecosis
a. Apakah penyakit Demodecosis dan demodiciosis itu?
b. Apa etiologi penyakit demodecosis?
c. Bagaimana gejala penyakit yang disebabkan demodex pada manusia dan
anjing?
d. Bagaimana patogenesis penyakit demodecosis dan demodiciosis?
e. Bagaimana penanganan dan pencegahan penyakit yang disebabkan
demodex?

1.3 Tujuan
1.3.1

Scabies
a. Untuk mengetahui pengertian penyakit Scabies.
b. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penyebab penyakit Scabies.
c. Untuk menentukan lama masa inkubasi dan diagnosis penyakit Scabies.
d. Untuk mengetahui cara penularan,pencegahan dan penanggulangan
penyakit Scabies.

1.3.2

Demodecosis

a.
b.
c.
d.

Untuk mengetahui pengertian penyakit demodecosis dan demodeciosis.


Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penyebab penyakit demodecosis.
Untuk mengetahui ciri-ciri, gejala, dan patogenesis panyakit demodecosis.
Untuk mengetahui penanganan dan pencegahan penyakit demodecosis.

BAB II
ISI
2.1 SCABIES
2.1.1 Definisi Scabies
Sinonim atau nama lain Scabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan
gatal agogo. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan hasil produknya
(Handoko dkk, 2005).
Scabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi
daerah, semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama

pada daerah yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara
dengan keadaan perekonomian yang kurang. Scabies ditularkan melalui kontak
fisik langsung (skin-to-skin) maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang
dipakai bersama) (Handoko dkk, 2005).
Gejala utama adalah pruritus intensif yang memburuk di malam hari atau
kondisi dimana suhu tubuh meningkat. Lesi kulit yang khas berupa terowongan,
papul, ekskoriasi dan kadang-kadang vesikel. Tungau penyebab Scabies
merupakan parasit obligat yang seluruh siklus hidupnya berlangsung di tubuh
manusia. Tungau tersebut tidak dapat terbang atau meloncat namun merayap
dengan kecepatan 2.5 cm per menit pada kulit yang hangat (Chosidow, 2006)
2.1.2

Epidemiologi Scabies
Scabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.

Daerah endemic Scabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan
Karibia, India, dan Asia Tenggara.
Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia
terjangkit tungau Scabies (Chosidow , 2006). Studi epidemiologi memperlihatkan
bahwa prevalensi Scabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, dan umur. Faktor primer yang berkontribusi
adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat.

2.1.3

Etiologi Scabies
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi

terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei adalah parasit


manusia obligat yang termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima,
superfamili Sarcoptes. Bentuknya lonjong, bagian chepal depan kecil dan bagian
belakang torakoabdominal dengan penonjolan seperti rambut yang keluar dari
dasar kaki (Burns, 2004).
Tungau Scabies mempunyai empat kaki dan diameternya berukuran 0,3
mm. Sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tungau ini tidak dapat
terbang atau melompat dan hanya dapat hidup selama 30 hari di lapisan epidermis
(Mitolin et al, 2008). Scabies betina dewasa berukuran sekitar 0,4 mm dengan luas
0,3 mm, dan jantan dewasa lebih kecil 0,2 mm panjang dengan luas 0,15 mm.
Tubuhnya berwarna putih susu dan ditandai dengan garis melintang yang

bergelombang dan pada permukaan punggung terdapat bulu dan dentikel (Burns,
2004).

Gambar 1. Sarcoptes scabiei


Tungau Scabies memiliki empat pasang kaki pendek, di bagian depan
terdapat dua pasang kaki yang berakhir dengan perpanjangan peduncles dengan
pengisap kecil di bagian ujungnya. Pada tungau betina, terdapat dua pasang kaki
yang berakhir dengan rambut (Satae) sedangkan pada tungau jantan rambut
terdapat pada pasangan kaki ketiga dan peduncles dengan pengisap pada pasangan
kaki keempat (Burns, 2004). Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah
kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati. Tapi
kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali
oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam
stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan
telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai 40-50 telur yang dihasilkankan oleh
setiap tungau betina selama rentang umur 4-6 minggu dan selama itu tungau betina
tidak meninggalkan terowongan. Setelah itu, larva berkaki enam akan muncul dari
telur setelah 3-4 hari dan keluar dari terowongan dengan memotong atapnya. Larva
kemudian menggali terowongan pendek (moulting pockets) di mana mereka
berubah menjadi nimfa. Setelah itu berkembang menjadi tungau jantan dan betina
dewasa. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8 12 hari (Brook, 1995).

Gambar 2. Siklus Hidup Scabies


Tungau Scabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat
terowongannya dan menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus.
Biasanya, pada satu individu terdapat kurang dari 20 tungau di tubuhnya, kecuali
pada Norwegian Scabies dimana individu bisa didiami lebih dari sejuta tungau.
Orang tua dengan infeksi virus immunodefisiensi dan pasien dengan pengobatan
immunosuppresan mempunyai risiko tinggi untuk menderita Norwegian Scabies.
2.1.4

Patogenesis Scabies
Penyakit Scabies ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kutu
Sarcoptes scabei. Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial
ekonomi yang rendah, higiene perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak saniter,
perilaku yang tidak mendukung kesehatan, serta kepadatan penduduk. Penyakit
Scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung.
Yang paling sering adalah kontak langsung dan erat atau dapat pula melalui alat-alat
seperti tempat tidur, handuk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan
melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika
Serikat dilaporkan, bahwa Scabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual
meskipun bukan merupakan akibat utama.
Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan) yang
terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam
terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2 -3 milimeter
sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah

40 atau 50 . Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya.
Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang
mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat
juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk,
jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur
sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 12 hari (Handoko, R, 2001).
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 4 hari, kemudian larva
meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva
berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina akan mati
setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah kopulasi. ( 6
Mulyono, 1986). Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar
selama lebih kurang 7 14 hari. Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan
lembab, contohnya lipatan kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh
kulitnya masih tipis, maka seluruh badan dapat terserang. (Andrianto dan Tang Eng
Tie, 1989).
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau Scabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan
sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan
tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret
tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu
kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika
dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi
sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau.
(Handoko, R, 2001). Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya
memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap
timbulnya gatal. Sarcoptes scabiei melepaskan substansi sebagai respon hubungan
antara tungau dengan keratinosit dan sel-sel langerhans ketika melakukan penetrasi
ke dalam kulit. (Hickz and Elston, 2009).
Hasil
penelitian
sebelumnya

menunjukkan

keterlibatan

reaksi

hipersensitivitas tipe IV dan tipe I (Burns, 2004). Pada reaksi tipe I, pertemuan
antigen tungau dengan Imunoglobulin-E pada sel mast yang berlangsung di
epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan
antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan
gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papulpapul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah

sel limfosit T yang banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang menyerupai
dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau dengan
efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya. Akibat garukan
yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya
infeksi sekunder (Harahab, 2000).
Cara penularan Scabies:
Scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung. Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan mengapa
penyakit ini sering menular ke seluruh anggota keluarga. Penularan secara tidak
langsung dapat melalui penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur.
Bahkan dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antar penderita dengan
orang sakit, namun Scabies bukan manifestasi utama dari penyakit menular seksual
(Walton and Currie, 2007).
2.1.5

Penegakan Diagnosis Scabies


Gambaran Klinis
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran klinis
berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal ada 4 tanda utama atau
cardinal sign pada infestasi Scabies, yaitu (Amirudin, 2003):
1. Pruritus nocturna
Setelah pertama kali terinfeksi dengan tungau Scabies, kelainan kulit seperti
pruritus akan timbul selama 6 hingga 8 minggu. Infeksi yang berulang
menyebabkan ruam dan gatal yang timbul hanya dalam beberapa hari. Gatal
terasa lebih hebat pada malam hari. Hal ini disebabkan karena meningkatnya
aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang
hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah.
2. Sekelompok orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga dalam sebuah
keluarga biasanya mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu pula dalam
sebuah pemukiman yang padat penduduknya, Scabies dapat menular hampir ke
seluruh penduduk. Didalam kelompok mungkin akan ditemukan individu yang
hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh parasit sehingga tidak menimbulkan
keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa/carier bagi individu lain.
3. Adanya terowongan

Kelangsungan

hidup

Sarcoptes

scabiei

sangat

bergantung

kepada

kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa didalam stratum korneum,


oleh karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum
korneum yang relative lebih longgar dan tipis. Lesi yang timbul berupa eritema,
krusta, ekskoriasi papul dan nodul yang sering ditemukan di daerah sela-sela
jari, aspek volar pada pergelangan tangan dan lateral telapak tangan, siku,
aksilar, skrotum, penis, labia dan pada areola wanita. Bila ada infeksi sekunder
ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).

Gambar 3. Lesi pada pergelangan tangan


Erupsi

eritematous

dapat

tersebar

di

badan

sebagai

reaksi

hipersensitivitas pada antigen tungau. Lesi yang patognomonik adalah


terowongan yang tipis dan kecil seperti benang, berstruktur linear kurang lebih 1
hingga 10 mm, berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan ditemukan
papul atau vesikel yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam
stratum korneum. Terowongan ini terlihat jelas kelihatan di sela-sela jari,
pergelangan tangan dan daerah siku. Namun, terowongan tersebut sukar
ditemukan di awal infeksi karena aktivitas menggaruk pasien yang hebat.

Gambar 4. Tempat-tempat predileksi Scabies


4. Menemukan Sarcoptes scabiei
Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh kemungkinan
besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa maupun skibala dan
ini merupakan hal yang paling diagnostik. Akan tetapi, kriteria yang keempat ini
agak susah ditemukan karena hampir sebagian besar penderita pada umumnya
datang dengan lesi yang sangat variatif dan tidak spesifik. Pada kasus Scabies
yang klasik, jumlah tungau sedikit sehingga diperlukan beberapa lokasi kerokan
kulit. Teknik pemeriksaan ini sangat tergantung pada operator pemeriksaan,
sehingga

kegagalan

menemukan

tungau

sering

terjadi

namun

tidak

menyingkirkan diagnosis Scabies.

Bentuk Klinis
Selain bentuk Scabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang tidak
khas, meskipun jarang ditemukan. Kelainan ini dapat menimbulkan kesalahan
diagnostik yang dapat berakibat gagalnya pengobatan Bentuk-bentuk Scabies
antara lain (Stephen et al, 2011):
1) Scabies pada orang bersih
Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan jumlah
yang sangat sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur. Namun
bentuk ini seringkali salah diagnosis karena lesi jarang ditemukan dan sulit
mendapatkan terowongan tungau.

Gambar 5. Scabies pada orang bersih (Scabies of cultivated)


2) Scabies nodular
Scabies nodular memperlihatkan lesi berupa nodul merah kecoklatan
berukuran 2-20 mm yang gatal. Umumnya terdapat pada daerah yang
tertutup terutama pada genitalia, inguinal dan aksila. Pada nodus yang lama
tungau sukar ditemukan, dan dapat menetap selama beberapa minggu hingga
beberapa bulan walaupun telah mendapat pengobatan anti Scabies.

Gambar 6. Scabies Nodular


3) Scabies incognito
Penggunaan obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan
gejala dan tanda pada penderita apabila penderita mengalami Scabies.
Sehingga penderita dapat memperlihatkan perubahan lesi secara klinis. Akan
tetapi 12 dengan penggunaan steroid, keluhan gatal tidak hilang dan dalam
waktu singkat setelah penghentian penggunaan steroid lesi dapat kambuh
kembali bahkan lebih buruk. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
penurunan respon imun seluler.

Gambar 7. Scabies incognito

4) Scabies yang ditularkan oleh hewan


Sarcoptes scabiei varian canis bisa menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut, misalnya anjing,
kucing dan gembala. Lesi tidak pada daerah predileksi Scabies tipe humanus
tetapi pada daerah yang sering berkontak dengan hewan peliharaan tersebut,
seperti dada, perut, lengan. Masa inkubasi jenis ini lebih pendek dan sembuh
sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih oleh karena
varietas hewan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

Gambar 8. Scabies caninum

5) Scabies Norwegia (Scabies berkrusta)


Kondisi yang jarang ini sangat mudah menular karena tungau berada
dalam jumlah yang banyak dan diperkirakan lebih dari sejuta tungau
berkembang di kulit, sehingga dapat menjadi sumber wabah di tempat
pelayanan kesehatan. Kadar IgE yang tinggi, eosinofil perifer, dan
perkembangan krusta di kulit yang hiperkeratotik dengan skuama dan
penebalan menjadi karakteristik penyakit ini. Plak hiperkeratotik tersebar pada
daerah palmar dan plantar dengan penebalan dan distrofi kuku jari kaki dan
tangan. Lesi tersebut menyebar secara generalisata seperti daerah leher dan
kulit kepala, telinga, bokong, siku, dan lutut. Kulit yang lain biasanya terlihat

xerotik. Pruritus dapat bervariasi dan dapat pula tidak ditemukan pada bentuk
penyakit ini (Amirudin, 2003).

Gambar 9. Scabies norwegian pada plantar


Bentuk ini ditemukan pada penderita yang mengalami gangguan fungsi
imunologik misalnya penderita HIV/AIDS, lepra, penderita infeksi virus
leukemia type 1, pasien yang menggunakan pengobatan imunosupresi,
penderita gangguan neurologik dan retardasi mental.
6) Scabies pada bayi dan anak
Pada anak yang kurang dari dua tahun, infestasi bisa terjadi di wajah dan
kulit kepala sedangkan pada orang dewasa jarang terjadi. Lesi Scabies pada
anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak
tangan, telapak kaki dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo,
ektima, sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di
wajah. Nodul pruritis erithematos keunguan dapat ditemukan pada axilla dan
daerah lateral badan pada anak-anak. Nodul-nodul ini bisa timbul bermingguminggu setelah eradikasi infeksi tungau dilakukan. Vesikel dan bulla bisa
timbul terutama pada telapak tangan dan jari.

Gambar 10. Scabies pada anak


Pemeriksaan penunjang
Bila gejala klinis spesifik, diagnosis Scabies mudah ditegakkan. Tetapi
penderita sering datang dengan lesi yang bervariasi sehingga diagnosis pasti sulit
ditegakkan. Pada umumnya diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan dua dari
empat cardinal sign. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan
tungau dan produknya yaitu :
1) Kerokan kulit
Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau KOH
10% lalu dilakukan kerokan dengan meggunakan scalpel steril yang bertujuan
untuk mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan diletakkan
di gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diperiksa dibawah
mikroskop.
2) Mengambil tungau dengan jarum
Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam
terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya
kemudian dikeluarkan. Bila positif, Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai
16 parasit yang sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi
memerlukan keahlian tinggi.
3) Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test)
Identifikasi terowongan bisa dibantu dengan cara mewarnai daerah lesi dengan
tinta hitam. Papul Scabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30
menit. Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut
akan kelihatan lebih gelap dibandingkan kulit di sekitarnya karena akumulasi
tinta didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbetuk gambaran
kanalikuli yang khas berupa garis menyerupai bentuk zigzag.
4) Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
Diagnosis pasti dapat melalui identifikasi tungau, telur atau skibala secara
mikroskopik. Ini dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan
telunjuk kemudian dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superficial secara
menggunakan pisau dan berhati-hati dalam melakukannya agar tidak berdarah.
Kerokan tersebut diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan minyak
mineral yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop.
5) Biopsi irisan dengan pewarnaan HE

6) Uji tetrasiklin
Pada lesi dioleskan salep tetrasiklin yang akan masuk ke dalam kanalikuli.
Setelah dibersihkan, dengan menggunakan sinar ultraviolet dari lampu Wood,
tetrasiklin tersebut akan memberikan fluoresensi kuning keemasan pada
kanalikuli. Dari berbagai macam pemeriksaan tersebut, pemeriksaan kerokan
kulit merupakan cara yang paling mudah dan hasilnya cukup memuaskan.
Agar pemeriksaan berhasil, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
a. Kerokan harus dilakukan pada lesi yang utuh (papula, kanalikuli) dan
tidak dilakukan pada tempat dengan lesi yang tidak spesifik.
b. Sebaiknya lesi yang akan dikerok diolesi terlebih dahulu dengan
minyak mineral agar tungau dan produknya tidak larut, sehingga dapat
menemukan tungau dalam keadaan hidup dan utuh.
c. Kerokan dilakukan pada lesi di daerah predileksi.
d. Oleh karena tungau terdapat dalam stratum korneum maka kerokan
harus dilakukan di superficial dan menghindari terjadinya perdarahan.
Namun karena sulitnya menemukan tungau maka diagnosis Scabies
harus dipertimbangkan pada setiap penderita yang datang dengan
keluhan gatal yang menetap.
2.1.6

Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya adalah:
1. Urtikaria Akut: erupsi pada papul-papul yang gatal, selalu sistemik.

Gambar 11. Urtikaria akut


2. Prurigo, biasanya berupa papul-papul yang gatal, predileksi pada bagian
ekstensor ekstremitas.

Gambar 12. Prurigo nodularis


3. Gigitan serangga, biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya
urtikaria papuler.

Gambar 13. Insects bite

4. Folikulitis berupa pustul miliar dikelilingi daerah yang eritem.

Gambar 14. Folikulitis


2.1.7

Penatalaksanaan Scabies
Terdapat beberapa terapi untuk Scabies yang memiliki tingkat efektivitas
yang bervariasi. Faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan yang antara lain
umur pasien, biaya pengobatan, berat derajat erupsi, dan factor kegagalan terapi
yang pernah diberikan sebelumnya.
Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh
permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala, dan lebih difokuskan di
daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit sekitar kuku, dan area
belakang telinga. Pada pasien anak dan Scabies berkrusta, area wajah dan kulit

kepala juga harus dioleskan skabisid topikal. Pasien harus diinformasikan


bahwa walaupun telah diberikan terapi skabisidal yang adekuat, ruam dan rasa
gatal di kulit dapat tetap menetap hingga 4 minggu. Jika tidak diberikan
penjelasan, pasien akan beranggapan bahwa pengobatan yang diberikan tidak
berhasil dan kemudian akan menggunakan obat anti Scabies secara berlebihan.
Steroid topikal, anti histamin maupun steroid sistemik jangka pendek
dapat diberikan untuk menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak
membaik setelah pemberian terapi skabisid yang lengkap.
a. Penatalaksanaan secara umum
Edukasi pada pasien Scabies :
1. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
2. Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan
pada malam hari sebelum tidur.
3. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
4. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur
dan bila perlu direndam dengan air panas.
5. Jangan ulangi penggunaan skabisid yang berlebihan dalam seminggu
walaupun rasa gatal yang mungkin masih timbul selama beberapa hari.
6. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan
yang sama dan ikut menjaga kebersihan.
b. Penatalaksanaan secara khusus
Pengobatan Scabies harus efektif terhadap tungau dewasa, telur
dan produknya, mudah diaplikasikan, nontoksik, tidak mengiritasi, aman
untuk semua umur, dan terjangkau biayanya. Pengobatan Scabies yang
bervariasi dapat berupa topical maupun oral.
a. Permethrin
Merupakan sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara
mengganggu polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan
dengan natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan
akhirnya terjadi paralise parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama
dalam pengobatan Scabies karena efek toksisitasnya terhadap mamalia
sangat rendah dan kecenderungan keracunan akibat kesalahan dalam
penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit
yang terabsorpsi di kulit dan cepat dimetabolisme yang kemudian
dikeluarkan kembali melalui keringat, sebum, dan juga melalui urin.
Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang diaplikasikan
selama 8- 12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum sembuh

bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu. Permethrin


jarang diberikan pada bayi-bayi yang berumur kurang dari 2 bulan,
wanita hamil dan ibu menyusui. Wanita hamil dapat diberikan dengan
aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam. Efek samping jarang ditemukan,
berupa: rasa terbakar, perih, dan gatal, namun mungkin hal tersebut
dikarenakan kulit yang sebelumnya memang sensitive dan terekskoriasi.
b. Presipitat Sulfur 2-10%
Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan,
sejak 25 M (Hizks, 2009). Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk
salep (2% -10%) dan umumnya salep konsentrasi 6% lebih disukai. Cara
aplikasi salep sangat sederhana, yakni mengoleskan salep setelah mandi
ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam selama tiga hari berturut-turut.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah harganya yang murah dan
mungkin merupakan satu-satunya pilihan di negara yang membutuhkan
terapi massal. Bila kontak dengan jaringan. hidup, preparat ini akan
membentuk hydrogen sulfide dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang
bersifat germicid dan fungicid. Secara umum sulfur bersifat aman bila
digunakan oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif
dalam konsentrasi 2,5% pada bayi. Kerugian pemakaian obat ini adalah
bau tidak enak, mewarnai pakaian dan kadang-kadang menimbulkan
iritasi.
c. Benzyl benzoate
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil
yang merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzil benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau Scabies. Digunakan sebagai 25% emulsi
dengan periode kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda atau anakanak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzil benzoate sangat
efektif bila digunakan dengan baik dan teratur dan secara kosmetik bias
diterima. Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan
dermatitis iritan pada wajah dan skrotum, karena itu penderita harus
diingatkan untuk tidak menggunakan secara berlebihan. Penggunaan
berulang

dapat

menyebabkan

dermatitis

alergi.

Terapi

ini

dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui bayi, dan anak-anak


kurang dari 2 tahun. Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam
pengelolaan resistant crusted Scabies. Di negara-negara berkembang

dimana sumber daya yang terbatas, benzil benzoate digunakan dalam


pengelolaan Scabies sebagai alternatif yang lebih murah.
d. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena,
adalah sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP)
tungau. Lindane 23 diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus,
dan selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh tungau dengan
konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang
menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau.
Lindane dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses.
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh
tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau
lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi
setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang menetas
dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa penelitian
menunjukkan penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif.
Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak
menggunakan konsentrasi lain selain 1%. Efek samping lindane antara
lain menyebabkan toksisitas SSP, kejang, dan bahkan kematian pada
anak atau bayi walaupun jarang terjadi.
Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu
sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi,
kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan,
koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat
mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia
aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia.
e. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)
Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim
10% atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.
Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama
lima hari berturutturut setelah mandi dan mengganti pakaian dari leher
ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci setelah aplikasi kedua. Efek
samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka panjang.
Beberapa ahli beranggapan bahwa crotamiton krim ini tidak
memiliki efektivitas yang tinggi terhadap Scabies. Crotamiton 10%

dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman
digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil.
f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip antibiotic
makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai antibiotic, diketahui
aktif melawan ekto dan endo parasit. Digunakan secara meluas pada
pengobatan hewan, pada mamalia, pada manusia digunakan untuk
pengobatan penyakit filarial terutama oncocerciasis. Diberikan secara
oral, dosis tunggal, 200 ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk Scabies.
Digunakan pada umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan secara khusus
tentang formulasi ivermectin topikal efektif untuk mengobati Scabies.
Efek samping yang sering adalah kontak dermatitis dan toxicepidermal
necrolysis.
g. Monosulfiran
Tersedia dalam bentuk lotion 25% sebelum digunakan harus
ditambahkan 2-3 bagian air dan digunakan setiap hari selama 2-3 hari.
h. Malathion
Malathion 0,5% adalah insektisida organosfosfat dengan dasar
air digunakan selama 24%. Pemberian berikutnya beberapa hari
kemudian. Namun saat ini tidak lagi direkomendasikan karena
berpotensi memberikan efek samping yang buruk.
c. Penatalaksanaan Scabies berkrusta
Terapi Scabies ini mirip dengan bentuk umum lainnya, meskipun
Scabies berkrusta berespon lebih lambat dan umumnya membutuhkan
beberapa pengobatan dengan skabisid. Kulit yang diobati meliputi
kepala, wajah, kecuali sekitar mata, hidung, mulut dan khusus dibawah
kuku jari tangan dan jari kaki diikuti dengan penggunaan sikat di bagian
bawah ujung kuku. Pengobatan diawali dengan krim permethrin dan jika
dibutuhkan diikuti dengan lindane dan sulfur. Mungkin sangat
membantu bila sebelum terapi dengan skabisid diobati dengan
keratolitik.
d. Penatalaksanaan Scabies nodular
Nodul tidak mengandung tungau namun merupakan hasil dari
reaksi hipersensitivitas terhadap produk tungau. Nodul akan tetap terlihat
dalam beberapa minggu setelah pengobatan. Scabies nodular dapat

diobati dengan kortikosteroid intralesi atau menggunakan primecrolimus


topikal dua kali sehari. 26 e. Pengobatan terhadap komplikasi.
e. Pengobatan terhadap komplikasi
Pada infeksi bakteri sekunder dapat digunakan antibiotik oral.
f. Pengobatan simptomatik
Obat antipruritus seperti obat anti histamin mungkin mengurangi
gatal yang secara karakeristik menetap selama beberapa minggu setelah
terapi dengan anti skabeis yang adekuat. Pada bayi, aplikasi
hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan aplikasi pelumas
atau emolient pada lesi yang kurang aktif mungkin sangat membantu,
dan pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon 0,1% .
Setelah pengobatan berhasil untuk membunuh tungau Scabies,
masih terdapat gejala pruritus selama 6 minggu sebagai reaksi
eczematous atau masa penyembuhan. Pasien dapat diobati dengan
Emolien dan kortikosteroid topikal, dengan atau tanpa antibiotic topikal
tergantung adanya infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus.
Crotamiton antipruritic topikal sering membantu pada kulit yang gatal.
Keluhan sering ditemukan pada pasien yaitu mengalami gejala
yang berkelanjutan selama 2-6 minggu setelah pengobatan berhasil. Hal
ini karena respon tubuh dari kekebalan terhadap antigen tungau. Jika
gejalanya menetap di luar 2 minggu, itu mungkin karena diagnosis awal
yang tidak sesuai, aplikasi obat yang salah menyebabkan tungau Scabies
tetap ditemukan pada pasien. Kebanyakan kambuh karena reinfeksi dan
tidak diobati.
g. Pencegahan
Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan Scabies,
orang-orang yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus
diterapi dengan topikal skabisid. Terapi pencegahan ini harus diberikan
untuk mencegah penyebaran Scabies karena seseorang mungkin saja
telah mengandung tungau Scabies yang masih dalam periode inkubasi
asimptomatik.
Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei,
bantal, handuk dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus
dicuci bersih dan dikeringkan dengan udara panas karena tungau Scabies
dapat hidup hingga 3 hari diluar kulit, karpet dan kain pelapis lainnya
sehingga harus dibersihkan (vacuum cleaner).

h. Komplikasi
Infeksi sekunder pada pasien Scabies merupakan akibat dari
infeksi bakteri atau karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran
klinik yang ada. Erosi merupakan tanda yang paling sering muncul pada
lesi sekunder. Infeksi sekunder dapat ditandai dengan munculnya pustul,
supurasi, dan ulkus. Selain itu dapat muncul eritema, skuama, dan semua
tanda inflamasi lain pada ekzem sebagai respon imun tubuh yang kuat
terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada daerah yang tertutup seperti
bokong, skrotum, inguinal, penis, dan axilla. Infeksi sekunder lokal
sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan biasanya
mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau antibiotic oral,
tergantung tingkat pyodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemia
dapat juga terjadi terutama pada Scabies Norwegian, poststreptococcal
glomerulonephritis bisa terjadi karena Scabies-induced pyodermas yang
disebabkan oleh Streptococcus pyogens.
i. Prognosis
Jika tidak dirawat, kondisi ini bisa menetap untuk beberapa
tahun. Pada individu yang immunocompetent, jumlah tungau akan
berkurang seiring waktu. Infestasi Scabies dapat disembuhkan. Seorang
individu dengan infeksi Scabies, jika diobati dengan benar, memiliki
prognosis yang baik, keluhan gatal dan ekzema akan sembuh.
2.2 DEMODEX PADA ANJING DAN MANUSIA
2.2.1 Definisi Demodex penyebab penyakit pada manusia dan anjing
Demodex adalah parasit kecil yang hidup di dekat folikel rambut
mamalia. Sekitar 65 spesies Demodex diketahui, mereka adalah yang terkecil
di antara arthropoda. Demodex sp. adalah penghuni yang lazim dijumpai di unit
pilosebaseus

manusia.

Infestasi

oleh

Demodex

folliculorum

disebut

demodisiosis. Dua spesies yang hidup pada manusia telah di identifikasiyaitu


Demodex folliculorum dan Demodex brevis, keduanya sering disebut sebagai
tungau bulumata. Kutu dengan tungau Demodex umum dan biasanya tidak
menyebabkan gejala apapun, meskipun kadang-kadang beberapa penyakit kulit
dapat disebabkan oleh tungau.

Demodex folliculorum dan Demodex brevis

biasanya ditemukan pada manusia. Demodex folliculorum dijelaskan pertama

kali

pada tahun

1842

oleh

Simon,

sedangkan

Demodex

brevis

pada tahun 1963 oleh Akbulatova. Demodex folliculorum ditemukan dalam


folikel rambut, sementara Demodex brevis tinggal di kelenjar sebaceous
terhubung ke folikel rambut. Kedua spesies ini terutama ditemukan di wajah, di
dekat hidung, bulu mata dan alis, dan juga terjadi ditempat lain pada tubuh.
Tungau ini dapat berpenetrasi ke dalam kulit dan masuk ke organ interna
l sehingga menimbulkan respon garanulomatous. Kejadian tungau menyerang
orang cukup tinggi, dari 20% pada orang sekitar usia 20 tahun atau kurang.
Infeksi biasanya bersifat benigna (jinak), walaupun kadang terjadi rontognya
alis mata atau kulit mengalami granuloma. Diduga tungau ini juga berperan
pada terjadi nya acne (jerawat) yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
Demodecosis merupakan salah satu jenis penyakit kulit pada anjing yang
disebabkan oleh parasit tungau (mite) Demodex sp. Parasit ini berukuran sangat
kecil yaitu sekitar 0.2-0.4 mm sehingga hanya dapat dilihat di bawah mikroskop
menggunakan metode skin scrap. Demodex sebenarnya merupakan fauna
normal di tubuh anjing yang hidup pada folikel rambut maupun kelenjar
sebaceous hewan dengan memakan sebum serta debris (runtuhan sel) epidermis.
Peningkatan populasi parasit ini secara berlebihan berdampak pada terjadinya
gangguan pada kulit hewan dan biasa dikenal dengan istilah demodecosis.
Lesi dari penyakit demodecosis ringan umumnya terlihat erytrema di
sekitar wajah, khususnya di daerah sekitar perioral dan periocular. Demodecosis
juga dapat menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan erytrema,
alopecia, dan sisik. Folikel rambut menjadi tertahan oleh tungau dalam jumlah
besar disertai infeksi sekunder dari bakteri yang menyebabkan folikel rambut
ruptur (furunculosis). Apabila infeksi ini berlanjut maka kulit mengalami
peradangan, bereksudat, dan timbul granuloma.

Gambar. Demodex folliculorum

Gambar. Demodex brevis

Gambar. Morfologi Demodex


2.2.2

Siklus Hidup Demodex sp.


Daur hidup Demodex canis berlangsung dalam tubuh inangnya (anjing)
terdiri atas lima tahapan yaitu telur, larva, nimfa (protonimfa, deutonimfa) dan
bentuk dewasa. Telur Demodex canis berbentuk lonjong seperti gelondongan,
kemudian menetas menjadi larva yang mempunyai enam buah kaki yang
berujung dengan cakar. Lalu berubah menjadi protonimfa dan deutonimfa yang
berkaki delapan, kemudian berubah menjadi bentuk dewasa. Perubahan dari
telur sampai dewasa (yang merupakan satu siklus di dalam tubuh inang)
memerlukan waktu antara 18-24 hari. Tungau jantan dapat ditemukan di dekat
permukaan kulit, sedangkan betina yang telah dibuahi meletakan 20-24 butir
telurnya di dalam folikel rambut. Telur akan menetas menjadi larva kemudian
menjadi nimfa, bergerak melewati aliran sebaceus (kelenjar keringat) ke muara

dari folikel rambut dan disanalah mereka akan menjadi dewasa dan mengulangi
siklus hidupnya.

2.2.3

Gejala adanya Demodex pada manusia dan anjing


Gejala Demodecosis biasanya anjing akan merasa kegatalan, kulit merah
meradang, muncul bisul kecil di kulit, bulu rontok, perdarahan. Anjing dengan
bulu yang panjang dan tebal biasanya paling menderita jika terinfeksi penyakit
ini. Parasit ini menyerang semua ras anjing segala umur. Induk yang terinfeksi
dapat menularkannya pada anak saat umur 2 3 hari. Penularannya melalui
melalui kontak langsung, namun ada sifat kebal (resistensi) individual. Jadi
untuk anjing kebal, kecil kemungkinan tertular. Bagian yang pertama kali
diserang adalah kepala terutama sekitar mata, moncong, pipi, telinga dan leher,
badan dan kaki juga akan terserang. Jika semua bagian terserang pertanda sudah
parah, anjing bisa kesakitan dan sulit berjalan. Pada anjing dewasa terjadinya
demodecosis dapat mengindikasikan adanya penyakit dalam yang berdampak
pada gangguan sistem imun hewan, diantaranya kanker, penyakit liver, ginjal
maupun ketidakseimbangan hormonal. Hewan yang sedang dalam terapi
menggunakan obat imunosupresif seperti kortikosteroid juga dapat berpengaruh
pada sistem kekebalan tubuh hewan yang akhirnya dapat memicu timbulnya
demodecosis.

Gambar 1 : Hewan yang terserang penyakit demodecosis


Hewan yang mengalami demodecosis general sebaiknya tidak
digunakan untuk breeding karena cenderung memiliki predisposisi genetik
dengan sensitivitas terhadap demodex yang sama terhadap turunannya. Secara
genetic pula ada beberapa jenis ras anjing yang cenderung lebih sensitive
terhadap resiko demodecosis yaitu diantaranya pada west highland white terrier,
chinese shar pei, scottish terrier,english bulldog, boston terrier, great dane,
doberman pinscher serta alaskan malamute.
2.2.4

Patogenesis Demodex
Dalam jumlah kecil kutu ini tidak menimbulkan dampak berarti, tetapi
dalam jumlah besar akan menimbulkan kerusakan pada jaringan kulit dan
menyebabkan penyakit demodicidosis (penyakit yang disebabkan demodex),
misalnya demodetic acne rosacea (jerawat), blepharitis (infeksi kelopak mata),
kehilangan bulu mata, dll. Demodex juga menyebabkan kerusakan pada
kollagen dan elastin sehingga terjadi penuaan dini. Setelah nutrisi habis,
demodex akan menggerogoti pembuluh dermis sehingga membuat kulit kusam.
Jika dibiarkan terus menerus kulit lambat laun akan mengering dan
menimbulkan kerut.
Jangka waktu hidup demodex adalah 90 hari, setelah itu ia akan mati.
Jika demodex yang mati tersebut tidak dibersihkan semakin lama akan
menumpuk dan menjadi bangkai. Bangkai-bangkai inilah yang membuat kulit
menjadi kasar, kusam dan menurunnya elastisitasnya. Karena kekurangan

nutrisi dalam kulit ini pula membuat kulit menjadi berbintik-bintik hitam atau
flek.
Demodex juga akan menghabisi nutrisi yang dibutuhkan oleh rambut.
Dengan demikian rambut akan mengalami penipisan batang rambut dan menjadi
kusam. Setelah nutrisi dalam akar rambut habis, ia akan memakan dinding
rambut. Lama kelamaan rambut akan mengalami kerontokan. Demodex dapat
berpindah tempat dari inang satu ke inang yang lainnya melalui kontak fisik
ataupun udara. Kutu ini akan sangat mudah menular dalam anggota keluarga,
oleh karena itu sering disebut sebagai parasit keluarga.
Patogenesis penyakit yang berkaitan dengan proliferasi Demodex sp.
hingga saat ini masih belum jelas. Umumnya hewan mempunyai sejumlah kecil
Demodex pada tubuhnya yang tinggal di folikel dan kelenjar sebaseus.
Berkembangnya tungau dan menimbulkan penyakit diduga akibat dari
sistem kekebalan tubuh host. Penelitian menunjukkan pemberian serum
antilimfosit pada anak anjing akan menyebabkan anjing tersebut menderita
demodekosis general. Penelitian in vitro terhadap limfosit blastogenesis
menunjukkan bahwa terjadi respon limfosit abnormal pada anjing pada kasus
Canine General Demodecosis (CGD). Namun, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa supresi respon blastogenesis diinduksi oleh suatu substansi yang
dihasilkan tungau, semacam humoral immunosuppresive factor. Bahan ini akan
menyebabkan supresi respon kekebalan host terhadap tungau sehingga tungau
berkembang biak tanpa dapat dikendalikan oleh host.

Gambar 3 : Anjing yang terserang penyakit demodecosis

Tilley

and

Smith

(2000)

menyatakan

bahwa

penderita

CGD

memproduksi IL-2 subnormal dan mempunyai persentase reseptor IL-2 pada


limfosit subnomal. Penelitian lain juga menduga bahwa supresi respon
blastogenesis limfosit juga berdampak pada kejadian secondary bacterial
pyoderma, yang sering menyertai kejadian CGD. Selain itu, para ahli menduga
bahwa terjadi CGD adalah adanya defek pada sel T anjing tersebut dan bersifat
heriditer.
2.2.5

Penanganan Penyakit yang disebabkan Demodex


Demodex sangat sensitive terhadap bahan-bahan yang mengandung
antiseptic seperti sulfur. Akan tetapi bahan-bahan antiseptik ini tidak bisa
menjangkau demodex yang berada di dalam kulit. Ia hanya membasmi demodex
yang berada di lapisan kulit luar. Untuk mengurangi demodex dengan baik perlu
obat yang dapat membunuh demodex dari dalam yakni antibiotic.
Penanganan terhadap demodecosis tergantung dari tingkat keparahan
dan jenis lesi. Treatment terhadap demodec memerlukan waktu yang panjang
dan perlu dimonitor secara berkala selama 4-6 minggu selama pengobatan untuk
memastikan status populasi demodec kembali normal. Pemeriksaan skin scrap
sebaiknya dilakukan dengan interval waktu 2 minggu, dimana bila tidak
ditemukan demodec minimal dalam 2 kali pemeriksaan skin scrap, maka hewan
dapat dikatakan sembuh dan pengobatan dapat dihentikan. Namun demikian
perlu diingat bahwa demodec sebagai fauna normal umumnya tetap memiliki
kemungkinan hidup pada hewan meskipun dalam jumlah kecil dimana kondisi
kesehatan hewan juga turut mempengaruhi respon kesembuhan dan populasi
demodec, karenanya gangguan penyakit ini dapat muncul kembali terutama saat
hewan mengalami immunodefisiensi.
Treatment terhadap demodecosis lokal diantaranya :
1. Pemberian salep yang mengandung 1% rotenone (Goodwinol ointment)
maupun gel benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sehari sekali setiap
hari selama 1-3 minggu.
2. Mandi dengan shampoo yang mengandung benzoyl peroxide secara regular
minimal seminggu sekali.

3. Pemberian amitraz yang telah diencerkan dengan konsentrasi 0.1% pada


area alopecia sehari sekali selama 2 minggu.
Sedangkan treatment terhadap demodecosis general (Canine Generalized
Demodecosis (CGD)) diantaranya :
1. Mandi dengan amitraz dengan konsentrasi 0.025% 2 kali seminggu. Adapun
sebaiknya

sebelum menggunakan amitraz, hewan terlebih dahulu

dimandikan dengan shampoo yang mengandung benzoyl peroxide untuk


mengurangi minyak dan runtuhan sel kulit mati. Sedangkan bagi hewan
berbulu panjang, perlu dicukur terlebih dahulu agar obat lebih mudah
meresap ke dalam kulit.
2. Pemberian ivermectin oral 200 g/kg sehari sekali selama 2-4 minggu.
Sayangnya obat ini kontraindikasi untuk anjing jenis collie, shelties,
australian shepherds, old english sheepdogs maupun hewan yang positif
menderita heartworm karena faktor sensitivitasnya. Efek samping yang
dapat ditimbulkan oleh pemberian ivermectin diantaranya salivasi dan
inkoordinasi

sehingga

penggunannya

harus

sesuai

petunjuk

dan

pengawasan dokter hewan.


3. Pilihan obat lainnya selain ivermectin yaitu doramectin 1% injeksi yang
diaplikasikan selang 2 minggu.
4. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri (pyoderma).
5. Pemberian antihistamin bila terjadi kegatalan karena iritasi demodec pada
kulit hewan.
Perlu diingat karena demodex berhubungan erat dengan kondisi
imunodefisiensi,

maka

hewan

sebaiknya

tidak

diberikan

pengobatan

menggunakan kortikosteroid karena bersifat imunosupresan sehingga dapat


memperparah penyakit demodecosis. Hewan juga memerlukan asupan yang
berkualitas dengan komponen gizi yang seimbang terutama untuk menjaga
kesehatan kulit dan bulunya.
Terapi pada CGD tidak hanya difokuskan pada upaya untuk membunuh
tungau saja. Namun juga untuk mengobati atau mencegah infeksi sekunder,

karena seringkali terjadi infeksi sekunder pada kasus CGD. Untuk itu biasa
digunakan antibiotika baik sistemik maupun topikal. Hal lain yang harus
diperhatikan adalah nutrisi yang cukup, infeksi/infestasi parasit, khususnya
parasit internal dan gangguan-gangguan yang lain. Kondisi-kondisi tersebut
dapat menjadi pemicu imunosupresi pada anjing dan menjadikan proses
pengobatan menjadi lebih sulit.
Pada anjing betina penderita CGD sebaik disterilisasi. Karena
demodekosis biasanya akan semakin berat pada saat estrus, bunting atau
menyusui. Lebih dari pada itu, karena dugaan kelemahan bersifat menurun,
maka anjing dengan kasus juvenile-onset CGD sebaiknya juga disterilisasi.
Hewan yang mengalami demodecosis general sebaiknya tidak digunakan
untuk breeding karena cenderung memiliki predisposisi genetik dengan
sensitivitas terhadap demodex yang sama terhadap turunannya. Secara genetic
pula ada beberapa jenis ras anjing yang cenderung lebih sensitive terhadap
resiko demodecosis yaitu diantaranya pada west highland white terrier, chinese
shar pei, scottish terrier,english bulldog, boston terrier, great dane, doberman
pinscher serta alaskan malamute.

2.2.6

Pencegahan Penyakit yang disebabkan Demodex


Penyakit yang disebabkan demodex tidak mengakibatkan rasa sakit pada
penderita akan tetapi akan menimbulkan rasa rendah diri. Karena bentuk
penampilan fisik yang kurang indah dipandang.
Meski sangat tidak mungkin untuk menghindar dari terjangkitnya
demodex akan tetapi kita bisa mengontrol atau mengurangi jumlah demodex
dalam kulit. Salah satu cara yang paling penting adalah menjaga kebersihan
secara keseluruhan. Baik kulit atau pun tubuh serta lingkungan sekitar kita.
Usahakan selalu membersihkan kulit terutama wajah dan tangan setelah
melakukan aktivitas diluar ruangan.

Selain pengaruh genetik, manajemen stress pada anjing juga berperan


penting terhadap perkembangan demodecosis dan berikut beberapa tips untuk
mengurangi faktor stress pada anjing tersebut, diantaranya :
1. Anjing betina yang mengalami kecenderungan demodecosis general
sebaiknya disteril. Hal ini untuk mengurangi tingkat stress oleh perubahan
hormonal yang dialami saat estrus dan hamil.
2. Pemberian dog food berkualitas baik untuk mengurangi gangguan penyakit
yang disebabkan oleh ketidaksembangan faktor nutrisi.
3. Menjaga kulit hewan bebas dari parasit, untuk mengurangi tingkat stress
karena iritan maupun kerusakan kulit yang dipelopori oleh kutu, caplak,
pinjal maupun jamur.
4. Vaksinasi rutin untuk mengurangi peluang terkena penyakit menular yang
dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh hewan.
Gangguan pada kulit yang disebabkan oleh demodecosis diantaranya
berupa alopecia (kebotakan), kemerahan dan berkerak. Sedangkan pada tahap
lebih lanjut demodecosis general dapat disertai peradangan dan infeksi sekunder
oleh bakteri. Lapisan kulit di daerah yang mengalami demodecosis juga terasa
lebih berminyak saat disentuh. Secara kasat mata memang agak sulit untuk
membedakan gangguan kulit yang disebabkan oleh demodex dengan parasit
seperti Scabies maupun karena faktor penyakit lain, sehingga ada baiknya anda
memeriksakan hewan anda ke dokter hewan bila menemukan kelainan pada
kulit dan bulu anjing anda.
2.2.7

Prognosis
Meski langkah pengobatan pada kasus demodecosis telah mengalami
kemajuan dan pembaharuan untuk meningkatkan prognosis demodecosis
khususnya CGD, namun masih sulit untuk memprediksi bahwa kasus tersebut
dapat dengan mudah diatasi. Terbukti dari beberapa penelitian bahwa sebagian
CGD menjadi kronis dan timbul resistensi terhadap amitraz.
Kambuhnya kasus CGD umumnya disebabkan penghentian terapi yang
terlalu dini. Bila kasus kambuh kembali sebelum jangka 3 bulan sejak terapi
dihentikan, ini berarti bahwa lama waktu terapi masih kurang. Bila kasus
kambuh kembali setelah beberapa bulan sejak terapi dihentikan, kemungkinan

masalah ada pada hewan atau anjing dan bukan prosedur terapi yang dilakukan.
Pada kondisi ini biasanya terapi yang dilakukan menjadi lebih sulit.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.1.1 SCABIES
Scabies

adalah penyakit

kulit

yang

disebabkan

oleh sarcoptes

scabiei yang menyebabkan iritasi kulit. Parasit ini menggali parit-parit didalam
epidermis

sehingga

menimbulkan

gatal-gatal

dan

merusak

kulit

penderita. (Soedarto, 1992).


Penyebab dari Scabies adalah sarcoptes scabiei var homini. Cara
penularan (transmisi) penyakit ini ada dua macam, yaitu secara langsung dan
tidak langsung :
1.

Kontak langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan,


tidur bersama, dan hubungan sekseual.

2.

Kontak tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei,


bantal, dll.
Manifestasi klinis:

1) Pruritus nokturna, yakni gatal pada malam hari. Ini terjadi karena aktivitas
tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas, dan pada saat
hospes dalam keadaan tenang atau tidak beraktivitas.
2) Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok. Misalnya, dalam
sebuah keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga dapat terkena infeksi.
Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,
misalnya asrama atau penjara.
3) Adanya lesi yang khas, berupa terowongan (kurnikulus) pada tempat
predileksi; berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok,

rata-rata

panjang

ditemukan papulatau vesikel.

cm.

Tempat

Pada

ujung

predileksinya

terowongan
adalah

kulit

dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak bagian depan, areola mamae
(wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna pria (pria), dan perut bagian
bawah. Pada bayi, dapat mengenai telapak tangan dan kaki. Ditemukannya
tungau merupakan penentu utama diagnosis.
3.1.2

DEMODEX PADA MANUSIA DAN ANJING


Demodex adalah parasit kecil yang hidup di dekat folikel rambut
mamalia. Sekitar 65 spesies Demodex diketahui, mereka adalah yang terkecil
di antara arthropoda. Kutu dengan tungau Demodex umum dan biasanya tidak
menyebabkan gejala apapun, meskipun kadang-kadang beberapa penyakit kulit
dapat disebabkan oleh tungau atau kutu. Ada dua jenis Demodex yaitu
Demodex folliculorum dan

Demodex brevis biasanya ditemukan pada kulit

manusia. Demodex folliculorum dijelaskan pertama kali pada tahun 1842 oleh
Simon,

sedangkan

Demodex

Demodex

folliculorum

brevis

ditemukan

pada tahun 1963 oleh Akbulatova.

dalam

folikel

rambut,

sementara

Demodex brevis tinggal di kelenjar sebaceous terhubung ke folikel rambut.


Kedua spesies ini terutama ditemukan di wajah, di dekat hidung, bulu mata dan
alis, dan juga terjadi ditempat lain pada tubuh.
Demodex sangat sensitive terhadap bahan-bahan yang mengandung
antiseptic seperti sulfur. Akan tetapi bahan-bahan atiseptik ini tidak bisa
menjangkau demodex yang berada di dalam kulit. Ia hanya membasmi demodex

yang berada di lapisan kulit luar. Untuk mengurangi demodex dengan baik perlu
obat yang dapat membunuh demodex dari dalam yakni antibiotic.
Demodecosis pada anjing merupakan penyakit peradangan kulit akibat
infeksi parasit Demodex canis dalam jumlah besar. Demodex canis merupakan
tungau yang hidup di folikel rambut dan kelenjar sebaceous. Kasus demodecosis
ini dapat memicu terjadinya furunculosis dan infeksi sekunder oleh bakteri dan
umum terjadi pada anjing berumur 3-6 bulan
Pada anjing dewasa terjadinya demodecosis dapat mengindikasikan
adanya penyakit dalam yang berdampak pada gangguan sistem imun hewan,
diantaranya kanker, penyakit liver, ginjal maupun ketidakseimbangan hormonal.
Hewan yang sedang dalam terapi menggunakan obat imunosupresif seperti
kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang
akhirnya dapat memicu timbulnya demodecosis.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Ridad Agoes, MPH, Djaenudin Natadisastra, dr. Sp. Park.2005.Parasitologi
Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang
file:///C:/Users/User/Downloads/dokumen.tips_makalah-skabies.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33901/5/Chapter%20I.pdf
http://dokumen.tips/download/link/demode-cos-is
http://www.scopemed.org/mnstemps/2/2-1295625758.pdf
http://pietklinik.com/
http://hssv.convio.net/site/DocServer/Demodectic-mange-in-dogs.pdf?docID=909
http://iavduneteriner.com/2009/12/studi-kasus-demodecosis-pada-anjing/print
http://mypeliharaan.blogspot.com/2010/05/perawatan-anjing-yang-terkena.html
Paradis, M. 1999. New Approaches to The Treatment of Canine Demodecosis.
Veterinary Clinics of North America : Small Animal Practice
https://id.scribd.com/doc/90546808/demodex-folliculorum

Anda mungkin juga menyukai