Anda di halaman 1dari 2

Kedudukan Dan Hak Wanita - Bagian 1

Jumat, 19 Mei 06 - oleh : Redaksi

PKS-Kab.Bekasi OnLine : Kedudukan wanita di masyarakat bukanlah suatu masalah yang baru, tapi
juga bukan masalah yang sudah terselesaikan sepenuhnya. Posisi Islam dalam masalah tersebut selama
ini telah disuguhkan kepada khalayak pembaca Barat, dan kemudian disosialisasi ke Timur (masyarakat
Muslim), hampir-hampir dengan tanpa obyektifitas sama sekali. Tulisan ini dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan yang singkat namun otentik dengan pendirian Islam dalam hal kedudukan wanita.
Ajaran-ajaran Islam pada intinya didasarkan pada Al-Qur'an (wahyu Allah) dan Hadits (penjelasan dari
Rasulullah Muhammad saw.). Al-Qur'an dan Hadits, bila dipahami setepatnya dan tanpa pembiasan, akan
merupakan sumber utama yang otentik tentang sesuatu posisi atau pandangan yang dinisbatkan kepada
Islam.

Tulisan ini diawali dengan survei singkat tentang kedudukan wanita dalam masa pra-Islam, yang berkisar
pada pertanyaan-pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana posisi Islam sehubungan dengan kedudukan
wanita di masyarakat? Sampai di mana persamaan atau perbedaan posisi tersebut dengan "semangat
zaman" yang dominan ketika Islam datang? Bagaimana hal ini bila dibandingkan dengan "hak-hak" yang
akhirnya diperoleh kaum wanita dalam dasawarsa-dasawarsa belakangan ini?

Salah satu tujuan utama tulisan ini adalah memberikan penilaian yang adil atas sumbangan Islam
terhadap pengembalian kehormatan kaum wanita dan hak-haknya. Untuk mencapai tujuan ini, mungkin
ada gunanya untuk meninjau kembali dengan singkat bagaimana kaum wanita diperlakukan (pada
umumnya) dalam peradaban-peradaban dan agama-agama sebelumnya, terutama agama-agama yang
mendahului Islam (pra-610 M). Akan tetapi sebagian dari informasi yang dipaparkan di sini menjangkau
penjelasan tentang kedudukan kaum wanita pada abad ke-20, lebih dari tiga belas abad setelah
datangnya Islam.

Wanita-wanita dalam peradaban-peradaban lain.

Dalam menjelaskan kedudukan seorang wanita Hindu, yang memiliki otoritas dalam masalah ini
menyatakan: "Di India perbudakan merupakan prinsip utama. Siang malam wanita dipandang oleh
pelindung-pelindungnya sebagai dalam keadaan ketergantungan, demikian sabda Manu. Hukum
pewarisan adalah agnatis, artinya menurut garis keturunan laki-laki saja, tanpa mengikut-sertakan
perempuan" (The Encyclopaedia Britannica, CD.ROM, 1997). Dalam kitab-kitab suci Hindu, gambaran
seorang istri yang baik adalah sebagai berikut: "Seorang wanita yang pikiran, pembicaraan, dan tubuhnya
selalu dalam penyerahan, akan memperoleh kedudukan yang tinggi di dunia ini, dan di dunia yang akan
datang ia akan menempati tempat tinggal yang sama dengan suaminya".

Di Athena, nasib kaum wanita tidaklah lebih baik dari kaum wanita bangsa India atau Romawi. "Kaum
wanita Athena selamanya adalah kaum rendahan, yang berada dalam kekuasaan kaum laki-laki - ayah,
saudara laki-laki, atau sanak laki-laki tertentu".(Allen, E.A., History of Civilization, hal.444). Persetujuan
dalam hal perkawinannya sendiri pada umumnya tidak dianggap perlu dan "dia diharuskan menurut pada
kemauan orang tuanya, dan menerima suami dan tuannya dari mereka, walaupun suami itu belum pernah
dikenalnya sebelumnya".(Ibid, hal.443).

Seorang istri bangsa Romawi, dilukiskan seorang ahli sejarah sebagai berikut: "seorang bayi, warga
rendahan, seorang yang berada di bawah perlindungan seorang wali, seorang yang tak bisa melakukan
sesuatu menurut selera pribadinya sendiri, seorang yang selalu berada di bawah perlindungan dan
perwalian suaminya".(Ibid, 550).

Dalam Encyclopaedia Britannica, kita temukan ringkasan tentang kedudukan kaum wanita dalam
peradaban Romawi: "Dalam hukum Romawi seorang wanita bahkan pada suatu masa sama sekali dalam
suatu ketergantungan. Apabila ia kawin maka ia dan harta miliknya berpindah ke dalam kekuasaan
suaminya.....Istri adalah milik belian suaminya, sebagaimana halnya seorang budak, ia dibeli hanya untuk
kepentingan suaminya saja. Seorang wanita tidak bisa menduduki jabatan sipil atau jabatan-jabatan pada
lembaga masyarakat umum... tidak bisa menjadi saksi, penanggung jawab, guru, ataupun kurator; ia tidak
bisa memungut anak ataupun dipungut menjadi anak, tidak bisa membuat surat wasiat atau kontrak
perjanjian".

Di kalangan suku-suku Skandinavia, kaum wanita berada: "di bawah penguasaan yang terus-menerus,
baik sebelum maupun sesudah kawin. Sampai disusun Code of Christian V pada akhir abad ke-17, yang
menetapkan bahwa apabila seorang wanita kawin tanpa persetujuan guru pribadinya, maka guru tersebut,
kalau ia mau, dapat memperoleh hak untuk mengurus atau memanfaatkan harta milik wanita tersebut
selama wanita itu masih hidup".(The Encyclopaedia Britannica, CD-ROM, 1997).

Menurut English Common Law : "... seluruh tanah milik seorang wanita pada waktu ia kawin akan menjadi
milik suaminya. Suami berhak atas uang sewa dan keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan
perkebunan atau tanah milik istrinya selama kedua suami istri itu masih hidup. Lama kelamaan pengadilan
Inggris menciptakan peraturan untuk melarang suami memindahkan tanah milik istrinya tanpa
persetujuan istrinya; tapi suami masih tetap memegang hak untuk mengurus dan menerima uang yang
dihasilkannya. Mengenai harta pribadi istri, suami berkuasa sepenuhnya. Ia berhak membelanjakannya
dengan cara yang dipandangnya baik".

Baru pada akhir abad ke-19 situasi mulai membaik. "Dengan serangkaian undang-undang yang dimulai
dengan undang-undang Harta Milik Wanita Berkeluarga pada tahun 1870, yang kemudian disempurnakan
pada tahun 1882 dan 1887, wanita-wanita yang kawin memperoleh hak untuk memiliki harta benda dan
mengadakan kontrak-kontrak perjanjian dengan derajat yang sama dengan wanita-wanita yang
belum/tidak kawin, janda-janda dan wanita-wanita yang bercerai". Pada abad ke-19, Sir Henry Maine,
seorang yang memiliki otoritas dalam bidang hukum kuno, menulis: "Tak ada satu masyarakat pun yang
bernaung di bawah lembaga yang bercorak Kristen, yang dapat mengembalikan kebebasan pribadi
wanita-wanita yang berkeluarga, yang pernah diberikan kepada mereka oleh Hukum Romawi
Pertengahan". (David and Vera Mace, Marriage: East and West, hal.81).

Dalam essainya tentang "Penguasaan atas Wanita", John Stuart Mill menulis: "Kepada kita terus menerus
dikatakan peradaban dan agama Kristen telah mengembalikan hak-hak kaum wanita dengan adil; namun
sementara itu sang istri masih tetap merupakan budak suaminya yang sebenarnya; sepanjang yang
menyangkut kewajiban hukum, kedudukan wanita tak lebih dari mereka yang umumnya disebut sebagai
budak". (Ibid, hal.82-83).

Sebelum kita beranjak kepada ajaran-ajaran Qur'an tentang kedudukan kaum wanita, beberapa ajaran
Bibel mungkin bisa dikutip untuk lebih menjelaskan masalah ini, dan dengan demikian memberikan dasar
yang lebih kuat untuk suatu penilaian yang tidak memihak. Dalam hukum Musa, seorang istri dapat
diperoleh dengan cara melakukan betroth. Menjelaskan konsep ini Encyclopaedia Biblica menyatakan :
Mem-betroth seorang istri untuk diri seseorang hanyalah berarti memilikinya dengan membayar uang
pembeliannya; wanita yang di-betroth adalah seorang gadis yang telah dibayar uang pembeliannya. Dari
sudut pandangan hukum, persetujuan gadis tersebut tidaklah diperlukan untuk mengesahkan
perkawinannya. "Persetujuan sang gadis adalah tak perlu dan keperluan untuk itu tak disebutkan di mana
pun dalam hukum tersebut". (Encyclopaedia Biblica, CD-ROM, 1997).

Mengenai hak cerai, kita baca dalam Encyclopaedia Biblica: "Karena wanita adalah milik laki-laki, maka
hak (suami) untuk menceraikannya adalah sesuatu yang sudah semestinya". Hak cerai hanya ada di
tangan laki-laki. "Dalam hukum Musa perceraian adalah hak istimewa suami saja...".

Posisi Gereja Kristen sampai abad-abad terakhir ini tampaknya telah dipengaruhi oleh hukum Musa dan
aliran-aliran yang dominan dalam kebudayaan-kebudayaan zamannya. David dan Vera Mace dalam buku,
Marriage: East and West, hal.80-81, menulis: "Jangan sampai ada orang yang mengira bahwa warisan
Kristen kita bebas dari penilaian-penilaian yang meremehkan wanita seperti itu. Sulit sekali menemukan di
manapun kumpulan rujukan-rujukan yang lebih merendahkan kaum wanita daripada yang dikemukakan
oleh Pemimpin-Pemimpin Gereja yang dulu-dulu.

Lecky, ahli sejarah yang termashur itu, berbicara tentang 'Dorongan-dorongan yang kuat yang mendorong
terbentuknya bagian yang menyolok dan mentertawakan dari tulisan pemimpin-pemimpin ini...wanita
dinyatakan sebagai pintu neraka, sumber dari seluruh kejahatan-kejahatan manusia. Wanita harus merasa
malu, semata-mata mengingat bahwa ia adalah wanita. Wanita harus hidup dalam pertaubatan yang terus
menerus atas kutukan yang diakibatkannya bagi dunia. Wanita harus malu akan pakaiannya, karena itu
adalah kenang-kenangan kejatuhannya. Wanita utama harus merasa malu akan kecantikannya, karena itu
adalah alat iblis yang paling ampuh'.

Salah satu serangan yang paling menusuk perasaan kaum wanita dilakukan oleh mazhab Tertulian:
'Tahukah kamu semua bahwa setiap kamu adalah seorang Hawa? Hukuman Tuhan kepada jenis wanita
berlaku terus di masa sekarang: karena itu kesalahan wanita juga mesti tetap ada. Kamu semua adalah
gerbang syetan: kamu semua adalah pembuka tutup pohon terlarang itu; kamu semua adalah
penyeleweng-penyeleweng pertama dari hukum Tuhan; kamu semua adalah perempuan yang membujuk
lelaki, yang iblis tak cukup berani untuk menyerangnya. Begitu mudah bagi kamu semua merusak citra
Tuhan, yaitu manusia. Akibat pelanggaranmu - yaitu maut - bahkan Anak Tuhan pun harus mati'. Gereja
tidak hanya menguatkan kedudukan rendah kaum wanita, tapi juga merampas hak-hak hukum yang
mereka nikmati sebelumnya".(bersambung ke bagian 2)

Oleh : Ust. Syamsul Balda - Arsip Tim kaderisasi

Anda mungkin juga menyukai