Anda di halaman 1dari 12

PERANAN WANITA SEBELUM HADIRNYA ISLAM

DAN SESUDAH HADIRNYA ISLAM


*Ust. Suherman, S. Ag.*

I. MUKADDIMAH

"Wanita adalah tiang negara. Apabila baik wanitanya maka baiklah negaranya dan bila
rusak wanitanya maka rusaklah negaranya" (Hadits)

Masalah wanita telah lahir sejak pertama kali wanita itu ada di permukaan bumi ini.
Persoalan wanita menjadi persoalan yang persoalan yang penting dan serius sehingga tak
henti-hentinya dibicarakan oleh bangsa-bangsa didunia ini. Perbincangan itu tidak hanya
dilakukan dikalangan wanita itu saja tetapi juga menjadi perbincangan di kalangan pria.
Hal ini adalah wajar karena wanita menjadi pendamping hidup bagi kaum pria.

Dahulu wanita dipandang sangat rendah baik oleh bangsa-bangsa di Timur maupun
Barat, juga menurut pandangan agama yang ada sebelum agama Islam. Hak-hak wanita
tak pernah diberikan, mereka begitu tertindas. Wanita dianggap tak lebih dari sebagai
pengembang keturunan dan menjadi pelayan bagi suaminya bahkan kadang dianggap
hanya untuk pemuas nafsu para pria. Wanita hanya boleh bekerja dalam rumah tangga
suaminya atau bagi yang belum menikah dirumah orang tuanya dipingit.
Pandangan rendah terhadap wanita hingga sekarang belum sepenuhnya hilang meski
tidak serendah pandangan orang zaman dahulu.

Islam yang datangnya belakangan telah mengangkat derajat kaum wanita dan telah
menempatkan kaum wanita secara proporsional dan sesuai dengan fitrah.

II. KONSEP TENTANG WANITA SEBELUM HADIRNYA


ISLAM

1. Wanita dalam Pandangan Bangsa Romawi

Bagi bangsa Yunani wanita adalah makhluk yang rendah gunanya hanya untuk
menambah keturunan dan untuk pengatur rumah tangga. Aristoteles pernah menulis
bahwa pusat segala makhluk adalah laki-laki saja (Thahar, 1982:25) dan jika seseorang
melahirkan anak wanita dianggap sangat jelek, bagaikan seorang laki-laki yang pincang
setengah manusia. Dalam pandangan Aristoteles ini wanita itu bukan manusia yang
sempurna seperti laki-laki, Aristoteles menganggap wanita itu tidak sama dengan laki-
laki dalam segala hal.

Plato pernah menulis "saya bersyukur kepada Dewa-dewa karena delapan berkat" dan
salah satu berkat yang dimaksud oleh plato adalah karena dia dilahirkan bukan sebagai
seorang wanita.
Bangsa Romawi pernah mengadakan kongres tentang wanita sebelum Islam dan
memutuskan bahwa "perempuan itu adalah hewan yang bernajis, kotor, tidak berjiwa den
tidak kekal di akhirat. Mereka dilarang makan daging tidak boleh tertawa. dan bercakap.
Segenap waktunya harus digunakan untuk beribadah kepada Tuhan, berhidmat kepada
laki-laki" (Thahar.1982:25)

Menurut hukum romawi bila seorang wanita melakukan kesalahan mereka mendapat
hukuman yang sangat kejam seperti disiram air panas dan dibakar diatas api yang
menyala-nyala ataupun kaki dan tangannya diikatkan kepada kuda kemudian kudanya
disuruh lari kencang.

Di Perancis dikembangkan suatu kepercayaan bahwa kecelakaan dan kejahatan serta


kesengsaraan di dunia ini berawal dari wanita. Semboyan mereka "carilah kebinasaan itu
kamu akan mendapatkannya pada wanita" (Thahar 1982:25) dahulu dan mungkin sampai
sekarang dibeberapa daerah masih didapati kebiasaan jika seseorang ibu melahirkan anak
laki-laki dia boleh memakan daging yang dibakar dengan anggur dicampur gula tetapi
apabila seseorang ibu melahirkan seorang anak wanita maka makanannya cukup dengan
bubur saja.

Apa yang digambarkan oleh kebudayaan Perancis mengenai wanita menunjukkan betapa
mereka sangat membedakan antara anak laki-laki dengan wanita, mereka mengagungkan
anak laki-laki setinggi-tingginya dan merendahkan wanita sehina-hinanya. Sesungguhnya
kita ketahui bahwa tenaga dan waktu yang dibutuhkan seorang ibu untuk mengandung
tidak ada perbedaan dan juga dengan kasih sayang yang diberikan kepada anaknya tetapi
mengapa harus ada perbedaan ketika dia melahirkan seorang anak wanita

Ungkapan-ungkapan Barat banyak sekali yang menunjukkan betapa rendah dan hinanya
perempuan di mata mereka sebagaimana dikemukakan oleh Murtada Mutahhari Kadang
mereka (Barat) menyatakan mewakili pandangan gereja dan mengatakan. 'Seorang wanita
harus malu karena jadi wanita' dan kadang mereka juga mengatakan 'wanita adalah
makhluk berambut panjang yang berakal pendek' atau ungkapan 'wanita adalah sejenis
binatang liar yang terakhir dijinakkan oleh manusia (laki-laki)'. Menurut mereka 'wanita
adalah mata rantai terakhir antara hewan dan manusia' dan ungkapan-ungkapan lainnya
untuk menghinakan dan merendahkan wanita. (lihat Mutahhari, 1989:99).

Tata cara pernikahan di romawi juga membuat wanita dizhalimi, yaitu : Upacara
pernikahan di pimpin oleh tukang sihir, laki laki membeli perempuan yang akan di
nikahinya, dan tidak boleh mencampuri istri ( Dukhul ) sampai 1 tahun

2. Wanita dalam Pandangan Bangsa Yunani

1. Harus menjaga barang-barang,


2. Tidak boleh keluar rumah,
3. Keadaannya terhina sampai di namakan barang yang kotor,
4. Keadaannya seperti barang dagangan dan di jual di pasar pasar
5. Tidak mendapatkan warits
6. Harus tunduk kepada laki laki

3. Wanita dalam Pandangan Bangsa Persia

Persia juga menghina kaum wanita dengan berbagai cara. Menurut satu riwayat dikala
Mazda yang mengaku dirinya pengganti Zaratustra pada permulaan abad ke-6 di
perintahkannya untuk memberikan hak yang sama rata pada laki-laki untuk memiliki
harta benda, sementara hak wanita disamakannya dengan binatang. Perempuan dalam
pandangan mereka semata-mata disediakan untuk kesenangan lelaki, dan dijadikan
barang dagangan dan perhiasan yang boleh siapapun juga yang suka dan kalau sudah
bosan maka wanita tersebut boleh dibuang atau dibunuh.

4. Wanita dalam Pandangan Agama Diluar Islam

Agama-agama yang ada selain Islam memandang rendah terhadap wanita sebagaimana
yang disebutkan dalam kitab agama yang mereka tulis. Misalnya dalam agama Hindu,
Berahma memandang wanita dengan sangat rendahnya seperti dituliskan oleh Manu yang
dikutip Glen kamarisah Thahar:

Orang kehilangan kehormatan karena perempuan, dan asal permusuhan adalah


perempuan. Perempuan memiliki tabiat menggoda laki-Iaki dan tidak pernah dapat
mandiri. Wanita.tLdak diperkenankan menuruti kehendaknya sendiri tapi harus tunduk
kepada orang tua(yang belum menikah)atau pad a suaminya. Wanita itu sama dengan
budak belian yang punya satu tuan yakni suaminya.(Thahar ,1982:30)

Kita melihat dalam pelaksanaan keagamaan orang hindu bahwa apabila seorang wanita
ditinggal mati oleh suaminya maka harus rela dibakar hidup-hidup sebagai tanda
kesetiaann dan kecintaan seorang istri terhadap suaminya. Betapa menyedihkan nasib
wanita, padahal kalau seorang suami yang ditinggal mati oleh istrinya, tidak disuruh
untuk menyertai isterinya dibakar.

Dalam pandangan agama Yahudi seorang wanita dijadikan Tuhan dengan mencabut
tulang Nabi Adam, apabila seorang wanita melahirkan anak laki-Iaki dia menjadi najis
selama satu minggu tetapi jika dia melahirkan anak perempuan dia menjadi najis dalam
dua minggu. (Imamat pasal 12:2). Ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan laki-laki
dengan perempuan. Setiap orang yahudi laki-laki dalam sembahyangnya setiap pagi
memujakan "Terpujilah Tuhan yang telah membuatku tidak perempuan"
(Thahar.1982:37) Dan perempuan Yahudi bersembahyang mengucapkan. "Terpujilah
Tuhan Robbul Alamin, bahwa la membuat aku menurut kehendaknya" .

Sementara dalam agama kristen disebutkan dalam perjanjian baru bahwa: "Tetapi aku
suka kamu mengetahui, bahwa kepala tiap laki-laki itu Kristus dan kepala perempuan itu
Laki-laki dan kepala Kristus itu Allah". (Korintus I pasal 11: 3). Diayat lain dinyatakan
agar wanita itu tunduk dan patuh pada suami karena laki-laki yang menjadi suaminya
adalah pemimpin bagi istrinya. Sehingga dalam sidang Jumat wanita dilarang untuk
berbicara kalaupun dia ingin bertanya cukup pada suaminya dirumah, karena wanita tidak
punya hak untuk berbicara dalam sidang jumat.

Dalam agama Kong Hu Chu wanita direndahkan dan laki-laki itu disucikan sebagai tanda
kesucian mereka itu, wanita dilarang duduk bersama-sama dengan mereka untuk
menuntut ilmu.

5. Wanita dalam Pandangan Bangsa Arab Jahiliyah

Wanita dalam pandangan bangsa Arab sebelum datangnya agama Islam sangat hina.
Mereka merasa malu dan terhina apabila isterinya melahirkan anak seorang wanita,
sehingga apabila istri hamil sisuami telah menyediakan sebuah lubang. Apabila anak
yang dilahirkan itu seorang wanita maka akan segera dikubur hidup-hidup agar terlepas
dari rasa malu, Kalaupun anak wanita dibiarkan hidup nasibnya akan sangat buruk,
diperlakukan sebagai budak belian, mengangkut beban yang berat atau paling baik
nasibnya diperlakukan sebagai boneka dipaksa untuk melakukan pelacuran atau dimadu
dengan tidak terbatas (Thahar,1982:23)

Seorang ayah akan tega mengubur anaknya hidup-hidup demi kehormatan suku dan
keluarganya. Jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya maka di harus masuk
kurungan dan dengan memakai pakaian yang buruk.

Dan tidak boleh memakai harum-harumanan sebelum satu tahun dan tidak menerima
warisan, tetapi dapat menjadi warisan sehingga bila seseorang yang wafat meninggalkan
wanita maka saudara tuanya orang yang paling dekat dengannya akan mendapat warisan
untuk memiliki jandanya. Rendahnya martabat wanita ini juga terlihat dengan hakikat
perkawinan mereka yang bersifat possessive. Mereka tidak memberi batasan berapa
jumlah wanita yang boleh dinikahi oleh laki-laki. (Fakih, 1996:51-52) Wanita yang
dicerai juga tidak mempunyai iddah sehingga dapat dirujuk aleh suaminya kapan saja ia
suka.

III. KONSEP TENTANG WANITA DALAM ISLAM

Sesungguhnya Islam menempatkan wanita pada posisi yang tinggi dan sejajar dengan
pria. Namun dalam beberapa hal ada yang harus berbeda, karena pria dan wanita
hakikatnya adalah makhluk yang berbeda. Kesalahan dalam memahami ajaran yang
benar inilah yang menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yang menempatkan
wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah seperti itu?

Suatu hal yang tidak kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita, dari
semula makhluk yang tiada berharga di hadapan “peradaban manusia”, diinjak-injak
kehormatan dan harga dirinya, kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat
yang semestinya dijaga, dihargai, dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta‟ala yang telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Sedikit uraian ke depan, akan memberikan gambaran bagaimana Islam memuliakan kaum
wanita, sejak mereka dilahirkan ke muka bumi, dibesarkan di tengah keluarganya sampai
dewasa beralih ke perwalian suami serta mengambil peran di masyarakat.

1. Wanita Pada Masa Kanak-kanak

Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan


anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan.
Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk
berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar
pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah SAW memberikan anjuran
dalam sabda-Nya:

َُ َ ِ‫بزَٗزَ ْ٘ ِي َحزَّٔ رَ ْجلُ َغب َجب َء َْْٗ َم ا ْلقَِ٘ب َه ِخ أًََب َُُّ َْ ( َّ َ َّن أَ َ بث‬
ِ ‫) َه ْي عَب َل َج‬

“Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh
maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti
dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas
bin Malik ra)

„Aisyah ra berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua


putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka
kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu
dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian
wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah SAW,
kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

ِ ٌَّ‫د ِث َ ْٖ ٍءء َ َحْ عَيَ ِلَ ْ٘ ِِ َّي ُ َّي لََُ ِظ ْزسًرا ِهيَ ال‬
‫بز‬ ِ ‫َه ِي ا ْثزُلِ َٖ ِه ْي َُ ِر ٍِ ا ْلجٌََب‬

“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik
kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api
neraka.” (HR. ِ Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636)

Kata Al-Imam An-Nawawi ra dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah SAW
menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak
perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana Allah SWT berfirman tentang
kebiasaan orang-orang jahiliah:

َٔ‫ازٓ ِهيَ ا ْلقَْْ ِم َّ ِ َذا ثُ ِّ َس أَ َح ُدُُ ْن ِثبْألُ ًْث‬


َ َْ َ‫ َٗز‬.‫ِه ْي ظُْْ ِء َهب ثُ ِّ َس ِث َِ أَُٗ ْو ِع ُ َُ َعلَٔ ُُْْ ٍءى أَ ْم َٗ ُد ُّسظَُ َ َّ َّجْ َُُِ ُهع َْْ ًّر ا َُُّ َْ َ ِ ْ٘ ٌمن‬
َ‫ة أَ َ ظب َ َء َهب َٗ ْ ُ ُوْْ ى‬ ِ ‫ِٖ الزُّس َسا‬

“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak
perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada
anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka.
(Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395)

Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi
nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta
warisan.

2. Dalam Masalah Pernikahan

Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak
calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa
hadits di bawah ini menjadi bukti:

Rasulullah SAW bersabda:

َّٔ‫ قَبلُْْ ا َ رُ ٌْ َ ُح اْألَِّٗ ُن َحز‬. َ‫رُ ْعزَ ْ َه َس َّ َ رُ ٌْ َ ُح ا ْل ِج ْ ُس َحزَّٔ رُ ْعزَ ْ َذى‬: ‫ذ‬
َ ُ ‫ أَ ْى رَ ْع‬:‫ِ َّ َ ْ٘ َ ِ ْذًَُِبا قَب َل‬ ‫َٗب َزظُْْ َل‬

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai


pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para
sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya
adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no.
3458 dari Abu Hurairah ra)

„Aisyah ra berkata:

‫َ ْوزَُِب‬ ‫ ِز َ بَُب‬:‫ قب َ َل‬.ٖ ِ َ‫ ِ َّى ا ْل ِج ْ َس رَ ْعز‬،ِ ‫َٗب َزظُْْ َل‬

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai
izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu
(untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137)

Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah ra mengabarkan, ayahnya menikahkannya


dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia
adukan perkaranya kepada Nabi SAW, hingga akhirnya beliau membatalkan
pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5138)

Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari ra dalam kitab Shahih-nya: Bab
Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan
itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri
Ja‟far2 merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus
orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar,
„Abdurrahman dan Majma‟, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata,
“Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya
dalam keadaan ia tidak suka, Nabi SAW menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-
Bukhari no. 6969)

Buraidah ibnul Hushaib ra mengabarkan:

ٔ
َّ ‫َ ل‬ ْ ‫ ِ َّى أَثِٖ َش َّّ َجٌِٖ ا ْثيَ َجب َء‬:‫ذ‬
ِّٖ ‫د َزَبحٌم ِلَٔ الٌَّ ِج‬ ْ َ‫ َ َ َ َ اْألَ ْه َس ُ َعلَ ْ٘ َِ َّ َظلَّ َن َقبَل‬:‫ قَب َل‬.ََُ‫ أَ ِ ْ٘ َِ لَِ٘سْ َ َ ثِٖ َ ِع ْ٘ َعز‬،‫ِلَ َِْ٘ب‬
‫د‬ُ ْ ‫ َّلَ ِ ْي أَ َز‬،ٖ‫د َهب َ ٌَ َ أَ ِث‬ ُ ‫ قَ ْد أَ َج ْص‬:‫ذ‬
ْ َ‫ْط ِل ثَب ِء ِهيَ اْألَ ْه ِس َ ْٖ ٌمء َقَبل‬
َ َ٘‫أَ ْى رَ ْ لَ َن الٌِّ َعب ُء أَ ْى ل‬

“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
dalam rangka mengadu, „Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk
menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut‟, ujarnya.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya (apakah
meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, „Aku
membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa
ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini‟.”
(HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Al-Jami’ush Shahih
(3/64), “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)

Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita karena Allah SWT menjadikan wanita
sebagai penenang bagi suaminya dan Allah SWT menjadikan kehidupan suami istri
ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. Maka bagaimana akan terwujud makna yang
tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dalam
keadaan tidak suka? Lalu bila demikian keadaannya, sampai kapan pernikahan itu akan
bertahan dengan tenang dan tenteram?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan
seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izinnya sebagaimana hal ini
diperintahkan oleh Nabi SAW. Apabila si wanita tidak suka, maka ia tidak boleh dipaksa
untuk menikah. Dikecualikan dalam hal ini, bila si wanita masih kecil, karena boleh bagi
ayahnya menikahkan gadis kecilnya tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yang telah
berstatus janda dan sudah baligh maka tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya, sama
saja baik yang menikahkannya itu ayahnya atau yang lainnya. Demikian menurut
kesepakatan kaum muslimin.”

Ibnu Taimiyyah ra melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yang akan
dinikahkan, apakah izinnya itu wajib hukumnya atau mustahab (sunnah). Yang benar
dalam hal ini adalah izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita untuk bertakwa
kepada Allah SWT dalam memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan si wanita, dan
hendaknya si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak.
Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi
si wali.” (Majmu’ Fatawa, 32/39-40)
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar
memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si
wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.

‫َ ُدقَبرِ ِِ َّي ًِ ْ لَخًر َإ ِ ْى ِط ْجيَ لَ ُ ْن ع َْي َ ْٖ ٍءء ِه ٌَُْ ًَ ْفعًرب َ ُلُْْ ٍُ ٌَُِ ْ٘ئًرب َه ِس ْٗئًرب‬ ‫َّآرُْا الٌِّ َعب َء‬

“Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati
sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

Al-Imam Al-Qurthubi ra berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar


kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat,
kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang
tuan menikahkan budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib adanya
mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/17)

3. Sebagai Seorang Ibu

Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang
ibu. Allah SWT mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya,
ayah dan ibu. Allah SWT titahkan hal ini dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah
hanya kepada-Nya:

َّ ِ ‫رَ ٌْ َِسْ ُُ َوب ا ْل ِ َج َس أَ َح ُدُُ َوب أَّْ ِ َُُ َوب َ َ رَقُ ْ لَُِ َوب أ ُ ٍّف َّ َ َِّٗبٍُ َّ ِثب ْل َْا ِل َد ْٗ ِي ِحْ َعبًًرب ِ َّهب َٗ ْجلُ َغ َّي ِع ٌْ َد َ َّ َق َ ٔ َزثُّس َ أَ َّ رَ ْ جُدُّا‬
‫ َّا ْ فِضْ لَُِ َوب‬.‫َزثََّ٘بًِٖ َ ِغْ٘سًرا َجٌَب َح ال ُّسر ِّل ِهيَ السَّحْ َو ِخ َّقُ ْ َزةِّ ازْ َح ْوُِ َوب َ َوب َّقُ ْ لَُِ َوب قَْْ ًر َ ِس ْٗ ًروب‬

“Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya
dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari
keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan „ah‟ dan jangan membentak
keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, “Wahai
Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan
mendidikku sewaktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24)

Allah SWT juga berfirman:

َِ ْٗ ‫صبلَُُ ثَ َثُْْ ىَ َ ِْسًرا ِحْ َعبًًرب َح َولَ ْزَُ أ ُ ُّسهَُ ُسْ ًُرب َّ َّ َ َ ْزَُ ُسْ ًُرب َّ َح ْولَُُ َّ َّ َّ ٌَْ٘ب اْ ِ ًْعَبىَ ثِ َْالِ َد‬
َ ِ َّ

“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah
payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf:
15)

Ketika shahabat yang mulia, Abdullah bin Mas‟ud ra bertanya kepada Rasulullah SAW:
‫ ثُ َّن ِثسُّس ا ْل َْا ِل َد ْٗ ِي‬:‫ ثُ َّن إَُّٔسا قَب َل‬:‫ قَب َل‬.‫ص َحُ َعلَٔ َّ ْق ِزَِب‬
َّ ‫ ال‬:‫ِا قَب َل‬ َٔ‫ٕ ا ْل َ َو ِ أَ َحتُّس ِل‬
‫…أَ ُّس‬

“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya
„Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua
orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)

Kata Abu Hurairah ra, seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-,
“Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW:

ِ ٌَّ‫ َه ْي أَ َح ُّس ال‬،ِ


‫بض‬ ‫ أ ُ ُّسه َ َٗب َزظُْْ َل‬:‫ ثُ َّن َه ْيا قَب َل‬:‫ قَب َل‬. َ ‫ أ ُ ُّسه‬:‫ثِ ُ ع ِْي َ َ بثَزِٖا قَب َل‬. ‫ ثُ َّن َه ْيا‬:‫ قَب َل‬. َ ‫ أ ُ ُّسه‬:‫ ثُ َّن َه ْيا قَب َل‬:‫قَب َل‬
‫ ثُ َّن‬:‫أَثُْْ َ قَب َل‬

“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat
baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi.
“Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.”
“Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR.
Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah
dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang
merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang bersendiri
merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti dalam hal mendidik
baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal
sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz. (Fathul Bari, 10/493)

Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana


ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabda beliau:

ِ ‫َ َح َّس َم َعلَ ْ٘ ُ ْن ُعقُْْ َ اْألُ َّهَِب‬


‫د‬ ‫… ِ َّى‬

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR.
Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Al-Hafizh menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena
perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada
ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan
peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan,
kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.” (Fathul Bari,
5/86)

Sampai pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang
anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr ra.
Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat
terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah SAW. Aku pun bertanya kepada
Rasulullah SAW: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik
kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab,
“Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 5979)

4. Sebagai Istri

Allah SWT memerintahkan seorang suami agar bergaul dengan istrinya dengan cara yang
baik.

ِ ُّْ‫َّعَب ِ سُّْ ُ َُّي ِثب ْل َو ْ س‬

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa`: 19)

Asy-Syaikh „Abdurrahman bin Nashir As-Sa‟di berkata, “Ayat Allah SWT ‫َّعَب ِ سُّْ ُ َُّي‬
ِ ُّْ‫ ِثب ْل َو ْ س‬meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya
seorang suami mempergauli istrinya dengan cara yang ma‟ruf, menemani, dan menyertai
(hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak
menyakitinya), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya.
Termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian, dan semisalnya. Dan tentunya
pemenuhannya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir
Rahman, hal. 172)

Rasulullah SAW bersabda kepada para suami:

ِ ‫َ رَ ْ ِسثُْا ِ َهب َء‬

“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”

„Umar ibnul Khaththab radhiyallahu „anhu datang mengadu, “Wahai Rasulullah, para
istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu, Rasulullah SAW
memberi keringanan untuk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu
datanglah para wanita dalam jumlah yang banyak menemui istri-istri Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam untuk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar
pengaduan tersebut, Rasulullah SAWbersabda:

‫بز ُ ْن‬ ُ َ َ٘‫ل‬


ِ َ٘ ِ ‫ْط أّلَئِ َ ِث‬

“Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no.
2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Beliau juga pernah bersabda:

‫ َّ ِ َ٘ب ُز ُ ْن ِ َ٘ب ُز ُ ْن ِلٌَ َعب ِا ِِ ْن‬،‫أَ ْ َو ُ ال ُو ْ ِه ٌِ ْ٘يَ ِ ْٗ َوبًًرب أَحْ َعٌُُِ ْن ُ لُقًرب‬

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara
mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR.
Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/336-337)

Banyak hak yang diberikan Islam kepada istri, seperti suami dituntut untuk bergaul
dengan baik terhadap istrinya, ia berhak memperoleh nafkah, pengajaran, penjagaan dan
perlindungan, yang ini semua tidak didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.

5. Sebagai Anggota Masyarakat

Sebagai anggota masyarakat, wanita memiliki peran untuk mewujudkan masyarakat yang
sejalan dengan kehendak Allah SWT. Tuntutan peranan yang sama antara pria dan wanita
dijelaskan Allah dalam Surah Ali Imran ayat 104 :"Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang ma'ruf dan
mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung."

Peranan wanita sebagai anggota masyarakat yang ditujukan kepada laki-laki dan wanita
ini patut ditunaikan secara bersamaan karena itulah satu cara yang lebih effektif untuk
mewujudkan masyarakat yang islami. Hal ini bukan hanya dari kaum pria tapi juga kaum
wanita dengan menjadi contoh teladan pribadi mulia dan mengajarkan perkara-perkara
yang berkaitan dengan wanita/keluarga serta penyampaian risalah Al Islam itu sendiri.

Dalam hal ini kita mendapatkan keteladanannya ─ salah satunya ─ Aisyah Ummul
Mukminin r.a. merupakan seorang cendekiawan yang telah meriwayatkan lebih dari 5
ribu buah hadits, dan hanya Abu Hurairah r.a. yang melebihinya. Beliau sering dirujuk
oleh sahabat-sahabat Rasulullah SAW dan kaum Muslimin dan Muslimah pada
umumnya. Analisanya tepat dan fikirannya tajam serta terkenal dengan riwayatnya yang
sahih dan jujur mengenai sunnah Rasulullah SAW.

IV. KESIMPULAN

Dengan uraian tadi jelaslah bagi kita semua bahwa memiliki peran yang sangat mulia dan
agung sesuai dengan fitrah kewanitaannya. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
membatasi peran mereka hanya muncul dari pemahaman yang kurang tepat dari sebagian
kaum muslimin. Tapi pada saat yang sama, pendapat kaum feminis yang menyatakan
kesetaraan jender tanpa memperhatikan fitrah kewanitaannya maka hal itu hanya akan
menyebabkan kehancuran peradaban manusia di muka bumi.

Renungan terakhir dari Al Qur'an, Surah Al Baqarah : 208 :"Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh yang nyata bagimu."

Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap
kaum wanita; lalu apa lagi yang ingin diteriakkan oleh kalangan feminis yang katanya
memperjuangkan hak wanita, padahal sebenarnya ingin mencampakkan wanita kembali
ke lembah kehinaan, terpuruk dan terinjak-injak kembali??
Maroji :

1. Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan terjemah ( Bandung, Syaamil )

2. Abdul Qowi Rasyid, Adhwa‟u „ala al – Nudzum al - Islamiyyah ( Cairo )

3. Muhammad Rasyid Ridha, Hukukul Al - Mar‟ah Al – Muslimah ( Cairo, Mathba‟ah Al –


Manar )

4. Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari

5. Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Cetakan Perytama 1997, Gema Insani Press

6. Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah, Cetakan
Kedua, 1996, Risalah Gusti

7. Al Insan, Jurnal Kajian Islam No. 3, Vol. 2, 2006 Wanita dan Keluarga Citra Sebuah
Peradaban

8. Web Site phpBB Creating Communities, Forum eKPKM Bincang-bincang Mahasiswa


Malaysia

Disampaikan dalam Acara Talk Show “Kedudukan Wanita Sebelum dan Sesudah Islam” di
Masjid Raya Cipaganti, tgl 20 April 2008

Anda mungkin juga menyukai