Anda di halaman 1dari 36

Diskusi "Legitimasi Kekuasaan Pemerintah dan Adat.

"

Pembicara: Amin Ramly, S.Ag.


Tanggal 14 Agustus 2008.
Tempat: Ruang rapat Pusat Studi Kawasan Timur Indonesia
Universitas Kristen Satya Wacana

Susunan Acara:
I. Pengantar moderator: Theo Litaay, SH, LLM.
Memperkenalkan pembicara, Amin Ramly S.Ag yang merupakan dosen di Universitas
Pattimura Ambon dan pada saat ini sedang melanjutkan studi Magister Sosiologi Agama
di UKSW.

II. Presentasi Pembicara: Amin Ramly, S.Ag.


Diskusi dimulai dengan penjelasan mengenai studi kasus dan konsep-konsep adat/tradisi
yang ditemukan dalam penelitian ini, antara lain:
- Petuanan.
- Soa.
- Saniri rajapati.
- Saniri lengkap.
- Saniri besar.
- Marinyo.
- Tabaos.
- Masohi.
- Maanu / maano.
- Badati / Barantang.
- Pela-gandong.
- Muhabet.
- Jojaro-Mongare.
- Sasi.
- Katagorang.
- Maleo.
- Agama adat.
III. Diskusi.
Lihat paper, materi presentasi powerpoint dan prosiding diskusi

IV. Penutup.

1
PAPER PEMBICARA:

LEGITIMASI KEKUASAAN PEMERINTAH DAN ADAT 
(STUDI TENTANG KETAATAN MASYARAKAT DESA TERHADAP PEMERINTAH DAN ADAT )
DI  KEC. SERAM BARAT KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT 

A. Pendahuluan
Kekuasaan adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat dalam
bentuk hidup bersama. Kekuasaan dapat berbentuk hubungan dalam arti ada satu pihak
yang berkuasa dan yang lain dikuasai (diperintah), dengan demikian manusia merupakan
subyek sekaligus obyek dari kekuasaan misalnya; pemerintah membuat suatu undang-
undang (subyek),disamping itu juga dia harus tunduk dan patuh terhadap Undang-
Undang (obyek). Max Weber merumuskan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan
individu dalam hubungan sosial untuk mewujudkan keinginannya di dalam suatu
tindakan komunal meskipun melawan arus tentangan dan resistensi individu lain yang
terlibat dalam tindakan tersebut1.
Sedangkan Foucault, melihat kekuasaan sebagai seluruh tindakan yang menekan
dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga
dengan melalui paksaan dan larangan2. Lebih jauh Foucault mengatakan bahwa
kekuasaan mencakup semua hal dan datang dari mana-mana. Dengan demikian
kekuasaan dapat diartikan, sebagai upaya seseorang ataupun kelompok untuk menguasai
orang lain dalam berbagai bentuk yang karenanya terjadi pertentangan antara keduanya
dimana salah satunya dapat menguasai yang lain sehingga terjadi dominasi pada pihak
lain.
Dalam kaitan dengan legitimasi. Weber, membagi legitimasi atas tiga bentuk,
Pertama; legitimasi tradisional,yaitu; berasal dari tradisi kepercayaan,adat-istiadat yang
berlaku dalam masyarakat. Kedua; legitimasi karismatik, berasal dari individu yang
diakui oleh masyarakat memiliki ciri-ciri khusus yang luar biasa. Ketiga; rasional -legal
berasal dari peraturan normatif secara rasional3.
Bila dikaitkan dengan konteks di Indonesia rumusan Weber ini dapat dijadikan
alat analisa untuk melihat bentuk-bentuk kekuasaan yang ada selama ini. Bagimanapun
pada masa Orde Baru hegemoni kekuasaan pemerintah telah membelenggu kekuatan-
kekuatan lokal yang berbasis pada adat, ikatan keagamaan, solidaritas sosial dan lain
sebagainya. Kekuasaan yang secara sentralistik itu telah jauh melakukan penetrasi dalam
sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat. Legitimasi kekuasaan yang menggunakan

1
Franz Magnis Suseno, Etika politik Prinsip-pronsip moral dasar kenearaan modern, (Jakarta; Gramedia
Pustaka Utama,1987).h.53
2
Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan,cet.2,( Jakarta; Kompas,2004).h.217
3
Dalam beberapa referensi yang penulis baca,ada yang membedakan antara otoritas dan legitimasi dan
adapula yang mengatakan bahwa secera sosiologis antara keduanya adalah sama,sehingga dalam hal ini
sulit untuk membedakannya.

2
kekerasan, penindasan dan dominasi yang begitu kuat baik yang berbentuk fisik maupun
non fisik dalam menjalankan aturan pemerintahan, menyebabkan ketaatan masyarakat
terhadap pemerintah sangat terpaksa, karena di hantui oleh rasa takut terhadap pemegang
kekuasaan. Akibatnya masyarakat cenderung memilih cara lain untuk dijadikan sebagai
sarana legitimasi demi mencapai kebutuhan hidupnya, seperti menghidupkan kembali
ritual-ritual adat istiadat. Atau terkadang masyakrakat cenderung taat kepada seseorang
yang memiliki karismatik karena diakui dapat melindungi hak-hak dan kebutuhannya.
Kondisi ini terjadi akibat dari akumunasi dominasi dan ketidak—percayaan
masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan pemerintah yang cukup lama. Dan telah
merenggut hak-hak masyarakat, sehingga terjadi ketimpangan sosial, kemiskinan,
ketidakadilan, tindakan kriminal, menjadi tontonan menarik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara selama ini.
Kondisi Negara yang demikian inilah menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk
mengembalikan peran dan fungsi pranata- pranata adat itu, karena dipandang efektif
dalam mengatur kehidupan sosial masyarakat, selain itu juga pranata-pranata adat tidak
hanya sebatas pada legitimasi prosedural, tapi kekuatan tradisi dan karisma yang dimiliki
oleh adat dapat menjadi media legitimasi yang saling melengkapi dan melekat dalam
praktek kehidupan sosial masyarakat.
Maksud baik pemerintah dalam memberikan peluang terhadap masyarakat untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang dimilikinya, berpengaruh
langsung terhadap ketaatan masyarakat sebagai warga negara dan ketaatan masyarakat
sebagai komunitas adat. Bagaimanapun Negara memiliki legitimasi untuk menuntut
ketaatan dari warganya demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Dilain pihak masyarakat taat terhadap legitimasi adat, karena diakui nilai-nilai
adat dapat mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik dan dapat memenuhi hajat hidup
mereka.

B. Teori Kekuasaan
Kekuasan yang maknai sebagai upaya seseorang atau kelompok untuk
mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan tujuan dan keinginan orang yang berkuasa,
tidaklah memiliki makna atau definisi tunggal, sebaliknya memiliki makna yang begitu
luas. Dengan pendefinisian terhadap kekuasaan yang begitu luas akan di kemukakan
secara singkat beberapa pemikiran ahli tentang kekuasaan diantaranya; Niccolo
Machiavelli, Thomas Hobbes, Max Weber, Michel Foucault dan Hannah Arendt, tanpa
bermaksud mengabaikan yang lain.
Niccolo Machiavelli (1469-1527)4 filsuf asal Italia yang dikenal karena pemikiran
‘negatif’-nya soal kekuasaan dan politik. Filsuf ini menganggap bahwa kekuasaan
merupakan sesuatu yang harus diraih karena ia tidak datang begitu saja. Kekuasaan
haruslah direnggut lalu dipertahankan, dan dalam mempertahankannya seorang penguasa
harus serentak dicintai dan ditakuti warganya. Demi kekuasaan, katanya, pertimbangan-
pertimbangan moral menjadi tidak relevan. Karenanya, ditakuti oleh segenap warga bagi
sang penguasa adalah yang lebih esensial.

4
Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa”Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik (terj) Judul
asli “II Principe”.Cet. 6, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.2002.h.67-71

3
Dalam Leviathan, Hobbes menyebutkan bahwa secara umum kekuasaan sesseorang
adalah saripati dari segala sarana yang dipakainya untuk meraih tujuan-tujuan di masa
depan.5 Nampaknya Hobbes menganggap kekuasaan sebagai sebuah instrumen yang
operasional dalam pencapaian kehendak-kehendak manusia. Menurutnya terdapat dua
bentuk (formal) kekuasaan, yaitu natural dan artifisial. Kekuasaan natural berdasarkan
pada ciri-ciri istimewa dari tubuh atau pikiran manusia, misalnya pada kekuatan dan
bentuk tubuhnya, kecerdasan pikirannya, keterampilan tangannya, kefasihannya dalam
berbicara, dan juga kemurahan hatinya. Sementara kekuasaan artifisial, mencakup
sarana dan alat-alat untuk meningkatkan kekuasaannya. Hal itu didapatkan entah lewat
ciri-ciri istimewa di atas atau lewat keberuntungan, misalnya kekayaan, nama baik,
kawan-kawan atau pertolongan Tuhan yang tidak nampak.
Selain memandang kekuasaan sebagai hal yang operasional dan formal, Hobbes
juga mendefinisikan kekuasaan secara substansial (material). Menurutnya “hakikat
kekuasaan ibarat rasa lapar: makin lama dia dibiarkan, makin besarlah dia. Kekuasaan
juga dapat dibandingkan dengan jatuhnya benda berat yang bergerak makin cepat, bila
dia makin turun ke bawah”.6
Berbeda dari Machiavelli dan Hobbes, Max Weber (1864-1920) mengaitkan
kekuasaan dengan konsepsinya mengenai tindakan. Setiap tindakan menurutnya bisa
bersifat: pertama, rasional-bertujuan (zweckrational), kedua, rasional-nilai (wertrational),
dan ketiga, bersifat afektif-emosional atau berupa perilaku kebiasaan sebagai ekspresi
dari adat istiadat yang telah tertata.7 Dalam mendefinisikan kekuasaan, Weber
menganggap bahwa kekuasaan merupakan kesempatan individu dalam interaksi sosial
untuk mewujudkan keinginannya di dalam suatu tindakan komunal meskipun melawan
arus tantangan dan resistensi individu lain yang terlibat dalam tindakan tersebut. 8
Sementara itu, Michel Foucault (1926-1984) juga dikenal sebagai filsuf yang
mengkritik pandangan arus utama tentang kekuasaan. Ia tidak memandang kekuasaan
sebagai suatu milik yang bisa dikuasai dan digunakan oleh kelas tertentu untuk
mendominasi dan menindas kelas yang lain, seperti dikatakan Marx. Bukan pula
kemampuan subyektif untuk mempengaruhi dan mendominasi orang lain seperti
pandangan Weber.
Menurut Foucault, “kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada situasi strategis
yang rumit dalam masyarakat tertentu”.9 Dalam hubungan itu, tentu saja ada pihak yang
di atas dan di bawah, di pusat dan di pinggir, di dalam dan di luar. Tetapi ini tidak berarti
kekuasaan terletak di atas, di pusat, dan di dalam. Sebaliknya, kekuasaan menyebar dan
hadir di mana-mana seperti jejaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan ‘merasuki’

5
Thomas Hobbes, Leviathan (bagian I pada bab 10), CB Macpherson (ed.), Harmondsworth: Penguin
Books, 1974,h.150; Lihat juga Encyclopedia of Social Theory, h.592.)
6
Ibid
7
Max Weber, “The Nature of Social Action”, dalam WG. Runciman (ed.), Max Weber. Selections in
Translation, terj. E. Matthews, Cambridge: Cambridge University Press, 1980, h.28; Lihat juga Tom
Campbell, Seven Theories of Human Society, Oxford: Oxford University Press, 1981, h.176-8.
8
Max Weber, From Max Weber (terj.) dan diedit oleh HH Gerth dan C Wright Mills), Routledge & Kegan
Paul, 1984, h.180; Bandingkan The Penguin Dictionary of Sociology, Nicholas Abercrombie et.al (eds.)
London: Penguin, edisi ke-3, 1994, h.329; Encyclopedia of Social Theory, h.593; Harpercollins Dictionary
of Sociology, New York: Harpercollins Publishers, 1991, h.378.
9
Lihat Haryatmoko, Etika politik dan kekuasaan, ( Jakarta, PT Kompas Media Nusantara, 2003). h. 115

4
seluruh bidang kehidupan masyarakat modern. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil
dan besar, laki-laki dan perempuan, dalam keluarga, di sekolah, kampus, dsb. Kekuasaan
dilaksanakan dalam tubuh bukan sebagai milik melainkan sebagai strategi yang menyebar
dalam masyarakat modern.
Foucault menentang pendapat bahwa kekuasaan semata-mata bersifat negatif dan
represif (dalam bentuk larangan dan kewajiban) seperti dirumuskan dalam konsepsi
yuridis tentang kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan justru beroperasi secara positif dan
produktif.
Pandangan Foucault yang menilai kekuasaan bukanlah negatif melainkan positif
dan produktif menyiratkan bahwa kekuasaan dapat dirawat dan diefektifkan melalui
pengetahuan, yaitu membentuk citra baik untuk skepentingan pemegang kekuasaan.
Dalam memproduksi citra, tatanan dan normalitas, rezim pengetahuan selalu menindas
pengetahuan yang lain (“minor knowledge”) yang karenanya “pengetahuan marjinal”
tersebut juga sebetulnya memiliki kekuasaan untuk berbalik menindas.
Terakhir, Hannah Arendt (1906-1975). Dengan sudut pandang yang sedikit mirip
dengan Weber, kekuasaan manusia bagi Arendt terkait dengan kemampuannya untuk
melakukan suatu tindakan. Tetapi, berbeda dengan Weber, kemampuan melakukan
tindakan ini bukanlah sebatas bertindak melainkan melakukannya secara tepat.
Arendt mengatakan bahwa, kekuasaan tidak pernah menjadi milik individu, seperti
dikatakan Weber; kekuasaan adalah milik suatu kelompok dan akan tetap dimiliki sejauh
kelompok itu menjaganya bersama. Kata Arendt, saat kita beranggapan bahwa seseorang
tengah berada “dalam kekuasaan,” sesungguhnya ia ditopang dan didayakan oleh
sekelompok orang agar ia bertindak atas nama mereka. Ketika daya topang itu lenyap,
“kekuasaannya” juga ikut lenyap.10 Artinya, kekuasaan yang mantap mesti berdasarkan
pengakuan rela dari mereka yang dikuasai dan bukan pada daya ancam sang penguasa.
Arendt tampaknya secara eksplisit menyatakan bahwa kekuasaan bersifat
impersonal. kekuasaan selalu milik kelompok, organisasi, yang karenanya efek-efek
kekuasaan selalu bersifat sistemik. Tidak ada personalisasi dalam kekuasaan, sebab
kekuasaan selalu mengandalkan topangan orang-orang yang dikuasai atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan dalam beroperasinya kekuasaan itu.
Pandangan Arendt yang menyatakan bahwa kekuasaan dan kekerasan saling
bertolak belakang menunjukkan konsepsi ideal Arendt tentang kekuasaan. Kekuasaan
mesti bersifat positif dan produktif karena kekuasaan lahir dan mengaktual hanya ketika
ia dioperasikan untuk kepentingan bersama. Ia tampak lebih mengarahkan pada
bagaimana aspek-aspek lunak kekuasaan (nilai bersama, shared values) seharusnya
dicapai.
Definisi kekuasaan yang dikemukakan para ahli di atas dapatlah di rumuskan
bahwa, kekuasaan adalah suatu tindakan manusia baik individu maupun kelompok yang
dengan menggunakan berbagai instrumen dalam menopang kekuasaan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Kemudian tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan selalu berada
dalam posisi ambigu, karena untuk mencapai suatu tujuan kekuasaan dapat saja
menimbulkan resistensi atau bahkan penolakan yang dilakukan oleh kelompok yang
dikuasai (kekuasaan bersifat negatif). Tapi kekuasaan dapat bersifat positif dan produktif
bila diarahkan untuk pencapaian kesejahteraan dan keadilan bersama. Dalam kaitan itu,

10
Lihat Hannah Arendt, On Violence, New York: Harcourt, Brace and World, 1970, h.44; Bandingkan
Hannah Arendt, The Human Condition, Chicago/ The University of Chicago Press, 1959). h.2001.

5
suatu kekuasaan yang dijalankan harus memiliki dasar dan instrumen normatif untuk
menilai sah atau tidaknya suatu ketaatan, maka muncullah instrumen yang disebut dengan
legimitimasi.

C. Legitimasi
Legitimasi terkait erat dengan keyakinan moral yang membenarkan hak untuk
dimanfaatkan menuntut ketaatan dan memberi perintah, legitimasi diperoleh bukan dari
penguasa (dari atas - kebawah), melainkan dari masyarakat (dari bawah - keatas).
Sebagai contoh, dimata masyarakat Tibet, Dalai Lama diberikan legitimasi oleh
masyarakat untuk menjadi pemimpin politik mereka, sekaligus sebagai pendeta tertinggi.
Dengan demikian legitimasi menunjukkan berbagai segmen masyarakat luas untuk
meyakini bahwa penguasa memiliki hak untuk berkuasa. Penerimaan keabsahan oleh
masyarakat tersebut, juga dapat menghindarkan penguasa dari mengandalkan kekerasan
fisik dalam mempertahankan kekuasaannya. Legitimasi juga memudahkan bagi para
penguasa untuk membuat berbagai kebijakan dalam situasi yang sulit. Banyak penguasa
yang sulit atau cenderung mengelak untuk membuat kebijakan, karena khawatir terhadap
konsekuensi-konsekuensi bila melakukan kesalahan yang berakibat pada hilangnya
legitimasi masyarakat dan runtuhnya kekuasaannya.
Kajian tentang legitimasi kekuasaan, khususnya mengenai legitimasi Negara. Max
Weber dianggap sebagai teoritikus legitimasi. Konsepnya bahwa kekuasaan dilegitimasi
dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi, atau klaim-klaim kharismatik pemimpin
personal, atau pada prosedur-prosedur rasional- legal, dianggap sebagai sumbangan
terbesar Max Weber terhadap sosiologi politik. Sebagaimana di kemukakan oleh J.
Freund, bahwa;

Tidak ada otoritas yang puas begitu saja atas ketaatan dan kepatuhan yang
hanya muncul berdasarkan common sense, rasa pantas atau penghargaan
belaka; kekuasaan akan selalu berusaha menumbuhkan kepercayaan di
kalangan pengikutnya untuk meyakini legitimasi yang dia miliki, dan ini
ditempuh dengan cara mentransformasikan disiplin-disiplin menjadi sikap
tunduk dan patuh terhadap kebenaran yang dia wakili. Weber menemukan tiga
tipe otoritas yang legitimate11.

Tiga bentuk legitimasi yang di kemukakan Weber;12 pertama Legitimasi


tradisional, yaitu keyakinan dalam suatu masyakarat tradisional, bahwa pihak yang
menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk memerintah,
misalnya kaum bangsawan atau keluarga raja (dinasti) oleh karena itu sudah sepatutnya
apabila pihak itu ditaati. Kedua legitimasi kharismatik, berdasarkan pada perasaan
kagum, hormat, cinta masyarakat terhadap seseorang individu yang sangat mengesankan
sehingga masyarakat dengan sendirinya bersedia untuk mentaatinya; misalnya ketaatan
masyarakat kepada pemimpin spiritual pada masyarakat primitif, atau ketaatan

11
Lihat. Bryan S. Turner, Religion and Social Theory.(London,SAGE publications Ltd. 1991).h.322
12
Budiharjo, Miriam, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta;Dian Rakyat.1998.h.15, dan juga dalam Franz
Magnis, Suseno Etika politik Prinsip-pronsip moral dasar kenegaraan modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka
Utama,1987). h.5

6
masyarakat kepada pemimpin agama. Ketiga, adalah legitimasi Rasional – legal,
berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi kedudukan
seseorang pemimpin. Inilah bentuk legitimasi yang menurut Weber paling ideal pada
masyarakat modern. Oleh karena itu bagi Weber seorang pemimpin negara dalam
menjalankan kekuasaannya harus dilandaskan pada legitimasi rasional legal, yaitu:

Satu keyakinan akan legalitas aturan-aturan dan legalitas hak mengeluarkan


perintah bagi pemegang kekuasaan yang mendapatkannya berdasarkan aturan
pula ( yang lazim disebut otoritas legal )13

Weber menilai bahwa sistem pemerintahan yang didasarkan pada legitimasi


rasional-legal hanya dapat berkembang pada masyarakat modern, sehingga Weber
mengatakan bahwa, bentuk legitimasi lain (tradisional dan kharismatik) adalah bentuk
legitimasi yang menghambat perkembangan sistem hukum rasional dan birokrasi
modern.14
Satu hal yang sangat dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, adalah
keyakinan dan pengakuan terhadap legitimasi itu sendiri. Sebab bisa saja bentuk-bentuk
legitimasi itu sama dalam suatu negara, atau daerah lain (seperti pada wilayah-wilayah
pedesaan). Tapi keyakinan dan pengakuan terhadap legitimasi tersebut akan berbeda
antara satu negara (daerah) dengan negara lain.

D. Keyakinan dan pengakuan terhadap legitimasi


Masyarakat dalam kenyataannya memiliki keyakinan yang berbeda-beda,
merupakan suatu alasan mengapa seseorang atau kelompok taat terhadap perintah.
Keyakinan sebagai bagian dari legitimasi sangat tergantung secara ketat pada keyakinan
mitos yang cenderung bersifat irrasional dan keyakinan ideologi yang berkembang
secara rasional.

a. Keyakinan Mitos sebagai dasar legitimasi


Dalam keyakinan mitos, sering diasumsikan sebagai keyakinan yang kurang jelas,
kurang rasional, dan kurang teliti diolah dalam pikiran,15 definisi yang kurang tepat ini
karena kenyataan bahwa mitos hanya berada pada wilayah tradisional yang diwujudkan
sebagai aksi.
Mitos kurang lebih pelukisan yang bersifat fabel(cerita dongeng) tentang alam,
dunia, manusia dan masyarakat, yang sudah diterima secara kuat ( berarti bahwa mereka
mendapat karakter kebaikan atau kejahatan primer( of primary good on evil).16 Dengan
demikian berlaku untuk memberikan inspirasi kepada kehidupan dari suatu kelompok
sosial. Dosa asal, hilangnya sorga, zaman keemasan, nilai keperawanan, tabu, inces, takut

13
Lihat. Bryan S. Turner, Religion and Social Theory, Op.cit. h.331
14
Ritzer,George dan Goodman,Douglas J, Modern sociological theory,6th Edition, Terj.Triwibowo Budi
santoso “Teori Sosiologi modern”, edisi ke-6” cet.3, Jakarta;Kencana.2005.h.38-9
15
Maurice Duverger, The Study of politics, (terj.),Daniel Dhakidae “Sosiologi politik”.cet.8, (Jakarta; Raja
Grafindo Persada.2000).h.141
16
Ibid.h.142

7
kepada ular, kekuatan dari darah, kerajaan. Ini adalah beberapa contoh tentang keyakinan
pada mitos.

b. Keyakinan ideologi sebagai dasar legitimasi.


Kaum marxis berpendapat bahwa keyakinan masyarakat (mitos) hanya
memainkan peranan sekunder dalam kehidupan politik. Lain halnya dengan ideologi
yang diartikan sebagai kumpulan-kumpulan keyakinan yang rasional dan sistematis.
Ideologi mencoba melukiskan citra dari suatu pemerintahan yang ideal; pemerintahan
yang menyerupai citra ini dianggap sah dan yang tidak sah.
Keyakinan yang disandarkan pada ideologi dalam memberi legitimasi, diyakini
bahwa ideologi dapat mempengaruhi jalannya suatu tindakan. Pengaruh akan lebih besar
ketika keyakinan ideologi lebih kompleks, lebih persis dan sistematis. Dengan demikian
ideologi menjadi basis keyakinan dalam kelompok. Atas dasar inilah Weber sangat yakin
bahwa legitimasi dalam bentuk “rasional-legal” dapat berkembang di dunia barat dengan
pesat sedangkan pada belahan dunia lainnya sulit untuk dikembangkan.17 Bahkan Weber
mengatakan bahwa; ”Bentuk legitimasi yang spesifik dan konsisten hanya bisa bertahan
kalau pewahyuan religius dan kesakralan otoriter tradisional digembosi dan di hilangkan.

E. Legitimasi kekuasaan di Indonesia


Untuk membicarakan bentuk legitimasi kekuasan di Indonesia, perlu memisahkan
kondisi legitimasi kekuasaan masa Orde Baru dan kondisi legitimasi kekuasan pasca
Orde Baru/reformasi, karena keduanya memiliki sejarah yang berbeda.

a. Kondisi legitimasi kekuasaan masa Orde Baru


Pada masa pemerintahan Orde Baru, Luasnya hegemoni kekuasaan pemerintah
yang bersifat sentralistik telah membelenggu kekuatan-kekuatan lokal yang berbasis pada
ikatan keagamaan, solidaritas sosial dan lain sebagainya. Legitimasi kekuasaan yang
menggunakan kekerasan, penindasan dan dominasi yang begitu kuat, baik secara fisik
maupun non fisik dalam menjalankan kekuasaan menyebabkan ketaatan masyarakat
terhadap pemerintah sangat terpaksa, karena di hantui oleh rasa takut terhadap pemegang
kekuasaan.
Luasnya hegemoni kekuasaan Negara terhadap masyarakat, tidak terlepas dari
pilihan ideologi yang dianut oleh penguasanya itu sendiri, yang diwujudkan dalam
pemaknaan pembangunan sebagai domain Negara guna memperjuangkan “kepentingan
nasional” dan demi keutuhan kesatuan Negara. Namun tatanan semacam ini sangat
resisten bahkan terjadi konflik di tingkat masyarakat yang mengakibatkan penderitaan,
ketimpangan sosial, kemiskinan, dan ketidak adilan menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat selama bertahun-tahun.
Prinsip kekuasaan pada masa Orde Baru yang mendudukkan Soeharto sebagai
penguasa tidak terlepas dari keyakinan atas konsep-konsep kekuasaan Jawa.
Bagaimanapun konsep kekuasaan Jawa sangat berpengaruh langsung terhadap

17
George Ritzer dan Douglas J Goodman, Modern sociological theory,6th Edition,…Loc.cit. h.38-9

8
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Menurut Anderson18 ada empat hal yang
menjadi konsep kekuasaan kebudayaan Jawa. Pertama kekuasaan itu konkrit; bahwa
kekuasaan itu bukan teoritis melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan
terwujud dalam setiap aspek dunia alami, pada kayu, batu, awan dan api. Kedua
kekuasaan itu homogen, artinya kekuasaan itu di tangan individu, dan adapun kekuasaan
yang terdapat dalam kelompok adalah identik yang ada dalam tangan individu. Ketiga,
jumlah kekuasaan di alam semesta adalah tetap, dengan demikian kekuasaan tidak
bertambah. Konsep ini berdampak langsung pada terpusatnya kekuasaan pada satu pihak
dan mengharuskan pengurangan kekuasaan di pihak lain, agar kekuasaan itu tetap
(seimbang). Keempat, kekuasaan itu tidak mempersoalkan keabsahan, oleh karena itu
mempertanyakan tentang absah atau tidaknya kekuasaan bukan hal yang penting bagi
kebudayaan Jawa, yang penting kekuasaan itu harus ada.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa kekuatan batin seorang penguasa terpancar
dalam kehidupan masyarakat19. Wibawa penguasa itu bukan sesuatu yang sekedar psikis
atau mistik melainkan ditunjang oleh kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik.
Ia dapat mengatur dan mengorganisasi orang banyak dan memastikan kemampuannya
itu dengan menuntut ketaatan masyarakat dan mengancam dengan “sanksi” nyata
terhadap mereka yang membangkan pada perintah penguasa.20 Kondisi demikian
berimplikasi pada sistem pemerintahan Indonesia sekian puluh tahun yang menyebabkan
masyarakat tidak berdaya. Ketaatan masyarakat sangat terpaksa karena dihantui oleh
sanksi-sanksi yang akan menimpanya bila menolak perintah.
Menarik juga dikemukakan tentang konsep “raja dan kraton” dalam budaya Jawa.
Apabila raja dianggap sebagai pribadi yang memusatkan kekuatan dan kekuasaan, maka
“kraton” merupakan institusi yang sangat penting dalam proses pemusatan kekuasan itu.
Sebab bagi masyarakat Jawa, kraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan
budaya, melainkan juga sebagai “pusat kramat kerajaan”.21 Pandangan ini, terjadi pada
sistem ketatanegaraan di Indonesia bahwa antara pemimpin Negara (Presiden) dan istana
Negara menjadi pusat kendali pemerintahan. Pada saat itu muncul budaya “mohon
petunjuk dari atas”. Kreatifitas dan partisipasi masyarakat sebagai wujud ketaatan
kurang sama sekali. Dari uraian diatas, bila dilihat dengan kacamata teori legitimasi Max
Weber. “Legitimasi Tradisional dan Kharismatik”, sistem kekuasaan pada masa Orde
Baru penyatu dalam diri individu sebagai penguasa.

b. Kondisi legitimasi kekuasaan pasca Orde Baru / reformasi


Sebagai Jawaban atas tuntutan reformasi pasca Orde Baru, pemerintah Pusat
kemudian mengeluarkan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25/1999 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, dan diperbaharui pada tahun
2004 dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Memunculkan
kembali inisiatif masyarakat untuk menggali dan menerapkan kembali sistem
pemerintahan yang berbasis pada nilai-nilai adat. Masyarakat yakin bahwa institusi adat
18
Lihat. Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, (Jakarta;
Gramedia.1986).h.24
19
Franz magnis Suseno, Etika Jawa sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa, (Jakarta;
Gramedia,1984).h. 34
20
Koentjaraningrat, Kepemimpinan dan kekuasaan;Tradisional masa kini resmi dan tidak resmi dalam
Miriam Budiharjo, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, (Jakarta; Sinar Harapan.1984).h.128
21
Fachry Ali, Op.cit.h.36

9
mempunyai peranan penting dalam membangun kestabilan sosial. Kekuatan legitimasi
adat dalam kehidupan masyarakat jauh lebih efektif, karena ketaatan masyarakat
terhadap penguasa pemerintahan adat pada kenyataan dan realitasnya bahwa lembaga
adat mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kebijakan penyerahan kekuasaan (kewenangan) dari pusat kepada daerah menurut
Watloly,22 dapat menjawab dua hal; pertama, memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah (juga termasuk lembaga-lembaga adat) untuk mengambil prakarsa
pembangunan sesuai potensi dan kompetensi lokal yang ada. Kedua, diharapkan
menyediakan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk menumbuhkan kegairahan
hidup dalam mengembangkan kapasitas lokalnya lewat pembangunan. Hal ini senada
dengan teori demokrasi Reinhold Niebuhr,23 bahwa suatu masyarakat yang demokratis
harus terbuka dengan kesimbangan kekuasaan atau “cheks and ballances”. Untuk
melawan kekuasaan yang tidak sejiwa dengan kehendak hidup bersama. Tatanan keadilan
harus berbasis pada suatu keseimbangan kekuasaan yang merupakan bentuk kepentingan
individu. Kesejatian demokrasi, adalah bahwa demokrasi merupakan “a method of
finding proximate solutions for insolvable problem”. Demokrasi mengantisipasi hak
individu, melengkapi individu dengan kuasa konstitusi dan politik untuk
mempertahankan dan memelihara tatanan, dan untuk menguji serta memeriksa
kecenderungan masyarakat demi mencapai ketertiban tatanan kehidupan bersama yang
lebih bermarbat. Akan tetapi lembaga-lembaga adat harus ditata sebaik mungkin,
sehingga dapat berpengaruh langsung terhadap ketaatan masyarakat sebagai warga
Negara dan ketataan masyarakat sebagai komunitas adat.

22
Aholiab Watloly, Maluku Baru;Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri,(Yoyakarta; Kanisius, 2005)
.h.278
23
John Chr Ruhulessin, Etika Publik menggali dari tradisi pela di Maluku, (Salatiga; Satya Wacana
University Press.2005).h.200

10
F. Sistem pemerintahan Adat di Negeri Eti Kecamatan Seram Barat

a.Peta Lokasi Penelitian

PETA KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT


LAMPIRAN II
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2003
TANGGAL 18 DESEMBER 2003
Lokasi Penelitian

Keterangan 
+++++++ : Batas Kecamatan
+++++++ : Batas Kabupaten
:Ibu Kota Kecamatan
: Ibu kota Kabupaten

Sumber : Kantor Bupati Seram Bagian Barat UU Nomor : 40 tahun 2003.

Sedangkan Negeri Desa Eti yang menjadi lokasi penelitian terletak pada
perbatasan arah utara dengan Negeri (Desa) Morokau , di sebelah selatan dengan Negeri
Niniari, Sebelah timur berbatasan dengan Desa Lumoli dan di sebelah barat berbatasan
dengan Laut piru.24

b. Sejarah singkat Negeri eti

24
Sumber Wawancara dengan Bapak Tomas Kunuela (48 tahun) (Raja Negeri Eti periode 2003 - sekarang)
pada tanggal 25 Juni 2008

11
Menurut cerita rakyat bahwa penduduk Negeri Eti berasal dari pulau Seram,
yaitu daerah nunusaku. Nunusaku adalah suatu tempat di atas puncak sebuah gunung di
pulau Seram. Di tempat tersebut terdapat sebuah danau yang dianggap sebagai sumber
tiga sungai terkenal di pulau Seram, yaitu sungai Eti, tala dan sapalewa. Di sekitar
wilayah danau itu tumbuh pohon beringin yang bernama nunue. Pohon tersebut
mempunyai tiga akar tunggang yang menjorok kedalam tiga aliran sungai di pulau
Seram. Dari nunusaku penduduk menyebar ke seluruh pulau Seram. Oleh sebab itu,
pulau Seram disebut juga sebagai nusa ina yang berarti pulau ibu25.
Adapun mata pencaharian suku bangsa Seram umumnya bertani, menangkap
ikan dan berburu. Masyarakat Seram masih banyak yang mendiami daerah pedalaman
dan sebagian berada di pesisir pantai, ketiga bentuk pencaharian tersebut adalah lazim
dilakukan. Sebelum agama Kristen dan Islam masuk di pulau Seram, segala bentuk
kegiatan yang berkaitan dengan mata pencaharian erat hubunganya dengan upacara-
upacara adat yang disebut upacara kabasa26. Kabasa adalah seorang tokoh yang dianggap
mempunyai kekuatan gaib. Tokoh tersebut sangat disegani oleh masyarakat karena
dianggap dapat memberikan hasil atau kegagalan dalam mata pencaharian mereka.
Upacara itu dilakukan dalam rumah adat tertentu. Adapun peralatan yang
digunakan dalam upacara antara lain: sebuah piring berisi makanan ( papeda, nasi,
daging rusa atau daging babi), dan sirih pinang serta seperangkat gong. Upacara
dipimpin oleh mauweng (pendeta adat) yang dapat berhubungan dengan kabasa.
Selanjutnya mauweng memberikan makanan berupa sesajen kepada kabasa. Jika
sekiranya mata pencaharian mereka gagal maka melalui upacara tersebut kabasa akan
memberikan petunjuk. Selain upacara yang berkaitan dengan mata pencaharian, upacara
juga dilakukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang mengancam jiwa mereka.
Kemudian bila dilihat dari sistem kekeratan masyarakat Seram, umumnya
bersifat patrilineal, yaitu garis keturunan melalui pihak ayah dimana hak dan kewajiban
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial dan pendidikan anak-anak
dilakukan menurut garis keturunan ayah. Seorang ayah mempunyai peranan penting
dalam keluarga, yaitu sebagai kepala keluarga, pelindung keluarga, bertanggung jawab
atas kebutuhan ekonomi kesejahteraan keluarga, memutuskan sesuatu sesuai kepentingan
keluarga dan menentukan masa depan anak-anak terutama anak laki-laki. Seorang ayah
mempunyai tugas mendidik anak laki-laki dalam berbagai ketrampilan seperti : berburu,
bekerja diladang, dan membuat alat-alat pertanian dan perburuan.
Seorang isteri dalam sistem kekerabatan patrineal di golongkan dalam keluarga
laki-laki. Isteri mempunyai tugas sebagai pendamping suami, merawat anak, mendidik
anak terutama anak perempuan dalam berbagai ketrampilan yang berhubungan dengan
tugas perempuan, seperti ; menenun, memasak, mengasuh adik-adiknya, dan pekerjaan
diladang. Walaupun nampak bahwa setiap anggota keluarga mempunyai tugas dan
tanggung jawabnya yang berbeda, namum dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari,
mereka bekerjasama dan saling mempengaruhi.
Dalam kehidupan beragama, Pada umumnya masyarakat di pulau Seram
memeluk agama yang homogen artinya dalam setiap perkampung masyarakat hanya
menganut salah satu agama, sehingga dalam kehidupan masyarakat sering terdengar

25
Sumber Wawancara dengan Bapak D. Nunuela (83 tahun) (Kepala Adat Negeri Eti), tanggal 28 Jnui
2008.
26
Ibid Wawancara dengan Bapak D. Nunuela (83 tahun).

12
ucapan, kampung sarani (Kristen) atau kampung salam (Islam). Masyarakat Seram
sebelum masuknya agama Kristen dan Islam mereka pada umumnya menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme(yang lazim mereka sebut sebagai agama hindu)27.
Masyarakat sangat percaya pada kekuatan sakti yang disebut kabasa. Oleh karena itu
sebelum memulai sesuatu kegiatan, masyarakat mengadakan upacara yang disebut
upacara pata mitu yaitu upacara minta izin membuka ladang baru kepada para leluhur.
Upacara ini dipimpin oleh seorang tua adat. Akan tetapi setelah masuknya agama Kristen
dan Islam, kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme berangsur-angsur hilang
meskipun belum seluruhnya.
Seperti yang di kemukakan oleh pendeta willy:

“ Tugas berat yang dilakukan oleh pendeta pada jemaat nehemia Negeri Eti
adalah menghapus berbagai kepercayaan jemaat yang menyimpang dari
ajararan kristen, bahwa kalau katong su percaya kepada tete manis (yesus
kristus) seng usah lai(tidak usah lagi) percaya kepada tete-tete yang
laeng(moyang lain) termasuk tete nene moyang(moyang-moyang leluhur)”28.

c. Lembaga pemerintahan Adat negeri Eti


Pada zaman kuno sebelum datangnya bangsa-bangsa Eropa di Maluku,
umumnya masyarakat Seram berdiam di daerah-daerah pedalaman dan di gunung-gunung
yang letaknya strategis dari ancaman musuh. Pemilihan tempat kediaman tersebut sangat
beralasan karena sering terjadi peperangan antar suku. Penduduk hidup secara
berkelompok dan membentuk masyarakat sosial berdasarkan geneologis. Kelompok-
kelompok sosial yang geneologis tersebut tumbuh dan berkembang menjadi satu struktur
sosial yang nyata dan membutuhkan aturan-aturan hukum sebagai upaya untuk menata
kehidupan sosial di lingkugan mereka. Dengan demikian memberikan inisiatif bagi
mereka untuk membuat perangkat pemerintahan adat yang ditaati oleh semua kelompok
masyarakat yang disebut “Dewan saniri”29.
Dewan saniri adalah institusi sosial lokal yang ada pada sebagian besar Desa di
Maluku. Lembaga pemerintahan Desa yang ada di kecamatan Seram barat, agak
berbeda dengan yang ada di Indonesia, seperti pulau Jawa, Madura, Sumatra dan daerah
lain-lainya. Karena dalam menjalankan aktifitas pemerintahan Desa, ada lembaga yang
secara bersama-sama menjalankan pemerintahan yang memiliki kekuasaan (kewenangan)
dan perannya masing-masing yaitu:
1. Raja, Seorang raja biasanya berasal dari keturunan pertama dari suatu kelompok
masyarakat. Kedudukan tersebut diwariskan secara turun temurun. Pada masa
lampau, putra sulung biasanya dipersiapkan oleh sang ayah sebagai raja, kecuali
jika ia tidak mampu maka tugas ayah sebagai raja untuk mempersiapkan putra
mahkota menggantikan peranannya.

27
Sumber Wawancara dengan Bapak Cande Tuhuteru (86 tahun) (Tokoh adat), pada tanggal 28 Juni 2008.
Ketika penulis menanyakan tentang agama Hindu, beliau mengatakan itu adalah agama Masyarakat Seram,
kurang jelas apakah agama yang dimaksud, adalah agama yang dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu asli
atau hanya untuk memberikan nama agama asli masyarakat seram.
28
Sumber Wawancara dengan Bapak Wilhelmus W Mirpey (38) (Pdt. Gereja Nehemia Negeri Eti), pada
tanggal 30 Juni 2008.
29
Sumber wawancara Bapak Thomas Kunuela( Raja Negeri Eti periode 2003 – sekarang), tanggal 26 Juni
2008.

13
Raja walaupun sekarang harus dipilih tapi dalam kenyataannya masyarakat lebih
mengutamakan seorang raja yang berdasarkan garis keturunan karena secara adat
diyakini berhak untuk menjadi pimpinan mereka.
2. Kepala Soa, Para kepala Soa disamping sebagai pemimpin Soa dalam wilayah
masing-masing, juga secara bergiliran bertugas mewakili raja selama satu bulan
untuk menjalankan tugas-tugas Negeri atas nama raja. Oleh karena itu terkadang
kepala Soa disebut sebagai “kepala jaga bulan”. Salah satu tugas pokok dari kepala
Soa juga adalah penguasaan administrasi tanah yang tujuannya agar tanah tersebut
dapat dikelola secara komunal untuk kepentingan bersama.
3. Kepala kewang, memiliki kewenangan menjaga dan memelihara perbatasan
Negeri, hutan-hutan, kebun-kebun, dan hasil-hasil laut. Karenanya kewang terbagi
dua yaitu kewang darat dan kewang laut. Kewang juga berhak memberi “sasi”30
pada beberapa hasil yang ada di darat maupun di laut demi kepentingan Negeri dan
menjaga dari kepunahan. Jabatan Kewang harus dipilih dari klan-klan atau
mataruma- mataruma (kelompok marga asal) tertentu yang dianggap sebagai
orang-orang yang mendiami Negeri pertama kali ( penduduk asli), sebab
mereka dianggap paling tahu tentang suasana Negeri atau batas-batas petuanan
Negeri. Kepala-kepala kewang diangkat sesuai jumlah Soa yang ada dalam Negeri.
Oleh karena kepala kewang ini juga mengurus Soal-Soal perekonomian Negeri
antara lain dari segala keuntungan hasil denda pelanggaran sasi maka seorang
kepala kewang harus jujur, tegas, disiplin, serta disenangi oleh anak-anak Negeri.
4. Marinyo, berwenang menyampaikan (mengumumkan) perintah-perintah dari
pemerintah Negeri kepada rakyat. Dengan memukul tifa atau gendang sambil
meneriakkan pengumuman yang disebut “tabaos”. Di Negeri Eti terdapat empat
orang marinyo yang bertugas untuk mewakili Soanya masing-masing yaitu:

1. Soa Lekarissa kepala soa-nya bernama Markus Kunuela (73 tahun)


2. Soa Lekamay kepala Soa-nya bernama Daniel Pariela ( 70 tahun)
3. Soa Leuwanae Kepala Soa-nya bernama Johanes Katalane ( 64 tahun)
4. Soa Umimory Kepala Soa-nya bernama Patrias Elly (67 tahun)31

5.Mauweng, adalah tokoh spiritual yang berwenang sebagai penghubung antara


manusia dan kekuatan supra-natural. Mauweng bertindak sebagai pendeta atau
imam adat dan berkewajiban memimpin segala upacara adat. Kadang-kadang
mauweng juga bertindak seperti dukun, dalam tugas-tugasnya senantiasa
berhubungan dengan dunia gaib. Dalam perkembangannya, setelah masuknya
agama Kristen dan Islam posisi mauweng telah digantikan oleh Pendeta atau
Imam.

d. Badan permusyawaratan masyarakat adat Negeri Eti


Diatas telah diuraikan tentang struktur, tugas dan fungsi dari perangkat
pemerintahan adat, maka untuk memudahkan jalannya pemerintahan adat Negeri

30
Sasi adalah salah satu hukum adat yang melarang mengambil hasil-hasil tertentu dalam waktu yang telah
di tentukan seperti; sasi kepala(untuk tanaman) dan sasi lompa (untuk ikan)
31
Sumber Wawancara Thomas Kunuela……. Tanggal, 26 juni 2008

14
terdapat tiga badan permusyawaratan adat yang masing-masing disebut sebagai Saniri,
yaitu: saniri rajapatih, saniri Negeri lengkap, saniri Negeri besar.

1. Badan saniri rajapatih, dianggap sebagai badan eksekutif yang melaksanakan


tugas sehari-hari dan keanggotaannya terdiri dari Raja, kepala Soa, kepala kewang
dan marinyo. Saniri rajapatih dalam prakteknya merupakan unsur terpenting dalam
pemerintahan adat. Semua anggota badan ini dipilih menurut garis keturunan dan
merupakan pimpinan tradisional Negeri yang bersangkutan.
2. Badan saniri lengkap, dapat dianggap sebagai badan legislatif yang mempunyai
tugas membuat aturan (Undang-undang) dan memberikan garis-garis kebijaksanaan
yang akan dilaksanakan oleh saniri rajapatih. Anggota badan saniri lengkap terdiri
dari: semua anggota saniri rajapatih, Kepala adat, Mauweng dan tuan tanah.
3. Badan saniri Besar, dapat dianggap sebagai Badan tertinggi. Badan saniri besar
mengadakan pertemuan di Baileu dan semua masyarakat dimintakan pendapatnya(
dalam prakteknya adalah semua kepala keluarga). Badan ini bertugas memutuskan
perkara-perkara untuk kepentingan kesejahteraan seluruh masyarakat Negeri adat
yang membutuhkan tindakan setiap anggota keluarga. Pada pertemuan ini
penugasan dapat dibuat untuk melaksanakan keputusan yang dibuat oleh saniri
besar itu sendiri. Dewan ini juga dapat dilaksanakan untuk mendengarkan perkara-
perkara tuduhan yang menyangkut pelanggaran hukum adat. Di Negeri Eti pernah
terjadi kasus perselingkuhan ( nama pelaku dirahasiakan), untuk melaksanakan
hukuman bagi pelakunya di lakukan rapat Saniri besar untuk mendengarkan
putusan Saniri Besar dan juga mendengarkan pembelaan dari pelaku. Pada saat itu
dilakukan hukum, yaitu menggunakan Salele dari daun mayang (janur kelapa)
kemudian pelakunya diarak keliling kampung sambil berteriak jangan mengikuti
perbuatan saya32.
Badan saniri besar tersebut bersidang setahun sekali. Akan tetapi sewaktu-
waktu dapat juga bersidang bila keadaan mendesak misalnya ada sengketa tanah atau
peristiwa lain yang menyangkut kepentingan Negeri.
Berdasarkan uraian diatas, sebetulnya pada masyarakat Desa telah memiliki
lembaga Pemerintahan yang efektif untuk menjadi sarana t pembagian legitimasi
kekuasaan di tingkat Negeri/Desa, dengan pembagian kekuasaan yang dilakukan pada
lembaga adat saniri, telah memperkecil ruang bagi munculnya penguasa otoriter dan
penyalahgunaan kekuasaan sewenang-wenang yang dimiliki oleh penguasa. Hal inilah
yang menjadikan ketaatan masyarakat pada lembaga adat terwujud secara sukarela,
karena diyakini dapat membantu masyarakat untuk menyelesaikan berbagai poblem yang
dihadapi dalam kehidupan sosial mereka.

e.Lembaga sosial adat


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Seram pada
umumnya bermata-pencaharian petani dan nelayan dan umumnya dilakukan secara

32
Ibid

15
perorangan33, meskipun demikian dalam mengerjakan kebun atau meramu bahan untuk
menangkap ikan selalu dikerjakan secara bersama-sama seperti pertanian, perikanan,
perkawinan, pembangunan maupun kematian. Bentuk kerjasama itu adalah : Masohi,
maanu, Badati/barantang, ngongare/jojaro dan muhabet.
1. Masohi, yaitu suatu sistem kerjasama yang dilakukan secara spontan dimana
semua beban menjadi resiko bersama. Masohi bukan hanya dilakukan dalam bidang
ekonomi dan mata pencaharian saja tetapi juga meliputi bidang sosial
kemasyarakatan. Sebagai contoh dapat dilihat pada saat seseorang membangunan
rumah, maka seluruh anggota masyarakat turut menyumbangkan tenaga dan
kebutuhan pembangunan rumah dimaksud.
2. Maano/Maanu, adalah salah satu sistem kerjasama dengan pembagian hasil atas
persetujuan bersama. Maano/maanu biasanya dilakukan pada waktu panen,
terutama panen cengkeh. Pemilik cengkeh meminta tolong kepada orang lain untuk
membantu memetik cengkehnya dengan pembagian hasil yang telah disepakati
bersama. Seperti dalam pembagian hasil maano/maanu dalam memetik hasil
cengkeh yaitu, (1 : 2 ).
3..Badati/Barantang, adalah sistem kerjasama untuk meringankan beban salah satu
anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan seseorang yang mengalami
masalah, atau ditimpa bencana seperti badati/barantang untuk membantu seseorang
yang akan merantau, membantu seseorang meringankan biaya pengobatan atau
seseorang yang mau melaksanakan pesta perkawinan, dan lain-lain.
4. Pela, adalah sistem kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat Seram yang
berlainan agama. tujuannya untuk membantu masyarakat sesama pela dalam segala
hal terutama dalam pembangunan rumah ibadah ( Mesjid atau Gereja),
pembangunan rumah adat, dan kegiatan sosial lainnya.
5. Muhabet, adalah bentuk sistem kerjasama yang berhubungan dengan kematian
salah satu anggota keluarga. Membantu membuat peti mati, menggali
kubur,menyiapkan kain kafan dan memberi sumbangan sekadarnya bagi keluarga
yang ditinggalkan.
6. Jojaro- ngongare, adalah sistem kerjasama yang khusus dilakukan oleh muda-
mudi, sama halnya dengan bentuk kerjasama sebelumnya hanya saja kegiatan ini
dipimpin oleh kepala pemuda( ngongare) dan kepala pemudi (jojaro). Bahkan
mereka sangat berperan dalam mengamankan semua kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat.
Dari semua bentuk sistem kerjasama diatas dalam pelaksanaannya kecuali
muhabet senantiasa didahului dengan upacara-upacara adat yang dikenal dengan istilah
“mau-mau”. Pemimpin uparaca mau-mau ini adalah tua-tua adat dalam kelompok
tersebut. Sebagai contoh, bila dilakukan masohi membuat kebun baru atau membuat
jaring untuk menangkap ikan,pembangunan rumah adat maupun kegiatan lainnya baik
untuk kepentingan perorangan maupun untuk kepentingan masyarakat secara
keseluruhan.

33
Negeri Eti umumnya masyarakat memiliki mata pencaharian kombinasi, artinya pada siang hari mereka
menggarap kebun dan pada malam hari mereka melaut untuk menangkap ikan, oleh karena itu masyarakat
eti memiliki dua sarana untuk mengerjakan kedua tipe mata pencaharian dimaksud.

16
G. Aspek-aspek Ketaatan Masyarakat pada Lembaga Adat
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap legitimasi
kekuasaan lembaga adat, yaitu

1. Aspek politik
Secara perlahan-lahan kebiasaan sistem adat dan Negeri dikembalikan seperti
semula. Beberapa Raja mulai dipilih secara demokratis namun kebanyakan posisi
Raja yang berlaku secara turun-temurun nampaknya lebih disukai( sebagai contoh
Negeri Iha yang telah dikemukakan). Dengan perkataan lain, posisi Raja yang
turun-temurun lebih memberikan legitimasi dari pada pemilihan Raja secara
demokratis.
Posisi raja benar-benar ditakuti dan dihormati. Karena masyarakat meyakini
bahwa kekuasaan raja mewakili seluruh kekuasaan para leluhur, dengan demikian
dalam kasus tertentu bila ada indivudu dalam masyarakat yang ingin merebut
kuasaan raja yang bukan berasal dari keturunan raja, maka diyakini akan
mendatangkan kemalangan keluarga tersebut dan akan menimpa masyarakat.34
Namun demikian bukan berarti posisi kekuasaan raja berlaku otoriter dan
sewenang-wenang. Raja juga adalah bagian dari lembaga adat saniri. yang diberi
legitimasi oleh masyarakat untuk memelihara dan menyelenggarakan keamanan dan
kesejahteraan masyarakat adat, ini berarti lembaga adat bertugas mengawasi dan
menjamin pelaksanaan adat, karena hanya dengan cara demikian – menurut
keyakinan – kemurahan dan bantuan arwah para leluhur dapat dipikat dan
kesejahteraan masyarakat dapat terjamin. Raja dianggap sebagai wakil hidup dari
para leluhur, karenanya pemenuhan adat harus diawasi.

2. Aspek Hukum
Dalam konteks penyelesaian sengketa menurut mekanisme informal,
keberadaan institusi lokal dapat menjadi salah satu pintu yang dapat membantu
masyarakat untuk mengakses keadilan. Secara umum, penyelesaian sengketa di
tingkat komunitas di Maluku, kuhususnya di Negeri Eti terkonsentrasi pada posisi
Raja. Lazimnya, Raja yang menjadi penyelesai utama sengketa di tingkat
komunitas. Memang benar, selain Raja, terdapat pula Kepala Soa, Imam dan
Pendeta sebagai pemimpin agama serta Tokoh Adat yang dalam kesehariannya ikut
membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi di komunitas. Namun apabila
kasus tak dapat diselesaikan maka Raja-lah yang akan mengambil keputusan dalam
penyelesaian kasus tersebut.
Penerimaan keputusan Raja dan hukum adat didasarkan pada penghormatan
masyarakat terhadap mereka, Di Negeri Eti keberadaan Raja bahkan dihubungkan
dengan sesuatu yang mistik atau kekuatan supranatural.
Pada saat yang bersamaan, Raja berperan menjadi pendamai pihak yang
bersengketa. Dasar pengambilan keputusan terhadap kasus yang ditangani Raja dan
perangkatnya tidak mengacu kepada suatu sumber tertulis. Raja hanya meng-klaim
bahwa dirinya menerapkan hukum adat. Denda adalah sanksi yang sangat banyak

34
Cooley, Frank L, Altar and Throne in central Moluccan Society, terj. Tim Satya Karya”Mimbar dan
Takhta”, (Jakarta;Pustaka Sinar Harapan.1961).h.228

17
dijatuhkan dalam keputusan akhir penyelesaian sengketa. Denda biasanya cukup
beragam, di Negeri Eti dimana adatnya masih kuat dianut, denda dapat berupa
piring besar dan peralatan serta benda-benda yang berhubungan dengan adat
misalnya kain tenun, manik-manik, kain berang (kain merah), parang dan gong.
Banyaknya denda yang diberikan biasanya tergantung adat setempat yang dianut,
misalnya mereka yang termasuk kelompok Pata Siwa, semua denda akan diberikan
menurut kelipatan 5(lima).35
Masyarakat pada umumnya mempercayai dan mematuhi hasil putusan
penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh perangkat adat/Negeri. Sehingga apabila
kepala suku, perangkat Negeri/Desa dan pemimpin agama memberikan putusan
atas kasus yang dialami, masyarakat pada umumnya mematuhi putusan tersebut.
Mekanisme adat sampai saat ini merupakan pilihan utama dalam penyelesaian
kasus yang terjadi di tingkat masyarakat.

3. Aspek sosial
Aspek sosial yang sangat kuat di negeri Eti adalah Pela. Pela merupakan
lembaga tradisional yang mengharuskan adanya kontak sosial secara teratur antara
dua kelompok masyarakat. Ketika sebuah Negeri muslim membantu kelompok
Kristen anggota pela, atau sebaliknnya. Bantuan ini merupakan pernyataan
komitmen tidak hanya kepada sekutu utama seseorang tetapi juga untuk
kepentingan persaudaraan masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang Muslim dan
Kristen benar-benar sadar akan perbedaan-perbedaan di antara mereka yang
menyentuh latar belakang keagamaan maupun latar belakang historis yang
sungguh-sungguh kelam tentang hubungan antara keduanya. Namun mereka juga
sadar bahwa pela adalah “jembatan” yang mampu untuk menghubungkan keduanya
dengan latar belakang kehadirannya yang paling otentik sebagai manusia.
Aspek penghargaan dan penghormatan terhadap anggota pela sangat kuat
dipegang sebagai nilai yang menyatukan. Hal itu paling nampak dalam interaksi
sosial kemasyarakatan maupun keagamaan. Kesadaran tentang perbedaan agama
tidak dibatasi hanya dalam aspek kognitif masyarakat, namun juga bergerak
kedalam praksis kehidupan masyarakat.
Pengalaman berharga bagi masyarakat Maluku, bahwa selama konflik
berlangsung tidak satupun masyarakat yang diikat dengan pela terlibat konflik. Hal
ini menunjukkan bahwa ketaatan masyarakat terhadap nilai-nilai moral dan ritual
yang ada pada hubungan pela sangat kuat.

4. Aspek Mitos
Keyakinan terhadap mitos masih sangat kuat, karena mitos dapat
mempertautkan kehidupan dunia sekarang dengan dunia para leluhurnya. Menurut
watloly, 36.Ada tiga hal yang menjadikan masyarakat adat meyakini adanya sesuatu
yang bersifat mitos, yaitu: pertama, Mitos dapat menyadarkan setiap orang bahwa

35
Pata atau Uli merupakan persekutuan kelompok-kelompok Adat atau kelompok masyarakat. Di pulau
Seram di kenal dengan Pata; ada Pata siwa dan Pata lima. Sedangkan di Kepulauan Kei Maluku tenggara
dikenal Uli; Ursiw dan Urlim.Lihat. Effendi, Ziwar, Hukum Adat Ambon – Lease, (Jakarta; Pradnya
Paramita, 1987).h. 35
36
Aholiab Watloly, Maluku Baru ….h.147

18
ada kekuatan-kekuatan supranatural dalam kehidupan yang padanya manusia harus
taat dan mengabdi. Kedua, Mitos memberi jaminan harapan bagi setiap generasi.
Hal itu nyata, misalnya; dalam wujud tarian adat, nyanyian adat, atau upacara
adat, bertalian dengan kesuburan tanah, perkawinan, atau kesuksesan panen,
berburu, kesuksesan ditanah perantauan, membangun rumah baru, memberi dasar
bagi kerukunan hidup suku, keluarga, dan sebagainya. Ketiga, Mitos dapat
memberi pengetahuan bagi seseorang tentang asal-usul dan kekuatan-kekuatan yang
menguasai dunianya. Yang diwujudkan dalam bentuk cerita tentang kejadian alam
yang diwariskan secara turun temurun sebagai hak adat dan hak masyarakat, serta
terjadinya kuasa supranatural, seperti leluhur, dengan dewa-dewa, atau Sang
Khalik yang membimbing dan mengarahkan kehidupan manusia.

5. Aspek ekonomi.
Aspek ekonomi rakyat yang berjalan dengan pola kerja dan mekanisme sesuai
dengan adat masyarakat sangat membantu taraf hidup masyarakat dan
meningkatkan hubungan yang sangat erat antara kelompok-kelompok masyarakat.
Sebagai contoh budaya “sasi”. Sasi terhadap berbagai sumber daya alam baik yang
ada di darat maupun di laut untuk menghindari kerusakan dan kepunahannya,
merupakan wujud nyata dari upaya masyarakat adat untuk melangsungkan
kebutuhan ekonomi mereka yang menuntut ketaatan masyarakat secara sukarela,
demi melindungi aset yang mereka miliki. Selain itu pula bentuk kehidupan
masyarakat yang berhubungan erat dengan alam sekitarnya, diyakini bahwa bila
hutan dirusak maka hutan tersebut juga dapat marah dan mendatangkan bencana
bagi masyarakat sehingga “sasi” perlu dilakukan demi melindungi kelangsungan
ekonomi masyarakat dan mencegah timbulnya bencana bagi kehidupan mereka.
Dalam kehidupan masyarakat adat Negeri Eti dan Maluku pada umumnya sering
terdengar ungkapan “Potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng dipatah dua,
ale rasa beta rasa” . Ungkapan tersebut tersirat makna bahwa segala kesusahan
harus ditanggung bersama, sebaliknya kesenangan dan kesejahteraan harus
dinikmati bersama pula.

6. Aspek Agama dan moral


Leluhur Negeri Eti sebelum masuknya agama-agama modern, telah hidup tekun
dalam agama aslinya, yaitu agama adat. Mereka sangat hormat, taat, patuh, takut
dan meresa sangat dekat dan menjadi bagian dari pancaran hidup dunia leluhur(tete-
nene moyang), yang mereka sandarkan diri dan kehidupannya kepada kuasa
supranatural. Ciri religius atau agamis masyarakat Negeri Eti dan Maluku umumnya
adalah dalam kehidupan ”Basudara salam-sarane”, yang diandaikan sebagai
pemberian Sang pencipta yang sama dan sederajat dengan sesama manusia lain di
muka bumi. Keyakinan akan adanya surpranatural yang disebut dengan sapaan tete
manis ( Upu lera Atau Upu lanite ) ciri ini, meskipun telah mendapatkan sentuhan
keagamaan modern yaitu agama samawi (Kristen dan Islam), dan mendapat isi
pemaknaan baru atas masuknya agama baru tersebut, namun tidak membawa beban
trumatik bagi pemaknaan agama adat, tetapi makin menunjukkan kematangan dan
keterbukaan dalam memahami ciri religiutas mereka.

19
Pemujaan terhadap leluhur, Tete nene moyang (Upu Lera atau Upu Lanite)
menjadi dasar penting terhadap kehidupan masyarakat Seram. Leluhur merupakan
sumber kebaikan tertinggi yang dari padanya mengalir kebajikan-kebajikan, yang
membingkai tatanan kehidupan bersama masyarakat dalam suatu totalitas yang
harmonis dan utuh.
Inilah beberapa aspek yang menjadikan masyarakat lebih taat dan patuh pada
tatanan adat, karena selain diyakini bahwa tatanan adat dapat mengatasi promblem
kehidupan yang mereka alami, tapi lebih dari itu bahwa ketaatan dan kepatuhan atas
perintah yang diberikan dalam bingkai adat juga merupakan ketaatan terhadap para
leluhur mereka.

H. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, sebetulnya bentuk-bentuk kekuasaan dalam


masyarakat tradisional telah ada jauh sebelum teori-teori kekuasaan modern muncul.
Justru legitimasi yang diberikan kepada seorang pemimpin tradisional jauh lebih efektif
dalam menuntut ketaatan masyarakat. Karena diyakini bahwa seorang pemimpin
tradisional dapat mempertautkan mereka dengan para leluhur dan juga dapat mewujudkan
kesejahteraan hidup masyarakatnya. Karenanya teori Weber yang mengatakan bahwa
Legitimasi kekuasaan Tradisional dan Kharismatik tidak dapat berkembang di dunia
modern sulit untuk diterima. Mungkin saja teori Weber dapat dipakai di Dunia Barat
yang lebih mengutamakan nilai-nilai rasional dan mengabaikan nilai mitos (supranatural).
Tapi di Dunia Timur Legitimasi kekuasan tradisional dan Kharismatik lebih ditaati
daripada legitimasi rasional –legal.
Dalam Kasus di Indonesia kekuasaan Pemerintah mestinya memberi ruang
kepada masyarakat adat untuk menjalankan sistem kekuasaanya berdasarkan nilai-nilai
adat yang dimiliki sepanjang tidak mengancam keutuhan Negara. Masalahnya bila
kekuasaan Pemerintah tidak dapat membedakan mana domain Pemerintah, Agama dan
adat. Sehingga tidak jarang terjadi kesalah pahaman antara pemerintah dan masyarakat
adat akibat kesalahan Pemerintah dalam menjalankan kekuasannya.
Inilah beberapa hal yang dapat saya sampaikan sebagai bahan diskusi dalam
kaitannya dengan legitimasi kekuasaan Pemerintah dan Adat, besar harapan agar
bapak/ibu dapat memberikan saran dan masukkan untuk kesempurnaan penulisan
selanjutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Andrian,Charles F, Political life and social change, terj. Lukman Hakim “Kehidupan
Politik dan perubahan social”,Yogyakarta; Tiara Wacana Yogya.1992.

Andreski,Stanislav, Max Weber on Capitalism, Bureaucracy and religion,


terj.Hartono”Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama”, Yogyakarta;Tiara
wacana.1989

Budiharjo, Miriam, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta;Dian Rakyat.1998.

------------,Miriam, Masalah Kenegaraan, Jakarta;ramedia.1977

Campbell,Tom, Seven theories of Human Society,terj. F. Budi Hardiman” Tujuh Teori


Sosial”,Yogyakarta; Kanisius,1994

Cooley,Frank L, Altar and Throne in central Moluccan Society, terj. Tim Satya
Karya”Mimbar dan Takhta”, Jakarta;Pustaka Sinar Harapan,1961

Duverger,Maurice, The study of politics,terj.,Daniel Dhakidae “Sosiologi Politik”,


Jakarta, Rajawali,2000

Eugene, Donald Smit, Religion And Political Development,An analytic study,terj.


Machnum usein,Jakarta;Rajawali,1985

Effendi, Ziwar, Hukum Adat Ambon – Lease, Jakarta; Pradnya Paramita,1987.

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan,cet.2, Jakarta; Kompas,2004.

Leirissa,R.Z.dkk, Maluku tengah di masa lampau – Gambaran sekilas lewat Arsip Abad
Sembilan Belas, Jakarta; Arsip Nasioal RI.1982.

Mikkelsen, Britha, Metode penelitian partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan,


Jakarta; Yayasan Obor Indonesia. 1999.

Marshal, Catherine dan Cretchen B. Rossman. Desingning Qualitative Research,


Caliornia; Sage Publication,1985.

Ruhulessin, John Chr, Etika Publik menggali dari tradisi pela di Maluku, Salatiga; Satya
Wacana University Press.2005.

Russell,Bertrand, Power; a new social analysis, terj.Hasan Basri”Kekuasaan;sebuah


analisis baru” cet.1,Jakarta; Yayasan Obor Indonesia,1988

21
Ritzer,George dan Goodman,Douglas J, Modern sociological theory,6th Edition,
Terj.Triwibowo Budi santoso “Teori Sosiologi modern,edisi ke-6”
cet.3,Jakarta;Kencana.2005

Sukanto,Suryono, Mengenal tujuh tokoh sosiologi, Jakarta Raja Grafindo Persada,2002


Suseno, Franz Magnis, Etika politik Prinsip-pronsip moral dasar kenegaraan
modern,Jakarta; ramedia Pustaka Utama,1987.

Turner,Bryan S, Religion and social theory, terj.Inyiak Ridwan Muzir “Agama dan teori
sosial” cet. 2, Yogyakarta; IRCisoD.2006

Weber, Max, The Protestant Ethic and The spirit of Capitalism, Terj.TW Utomo”Etika
Protestan dan spirit Kapitalisme.cet.1,Yoyakarta; Pustaka Pelajar Offset.2006

Weber, Max, From Max Weber: Essays in Sociology,terj.Noorkholis “ Max Weber


Sosiologi”,cet.1, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.2006

Weber,Max, Economy and Society,2 Vols, Berkeley,Los Angeles,Ca.,and London.1966

Windhu,Marsana I, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung,


Yogyakarta;Kanisius.1992

Watloly,Aholiab, Maluku Baru;Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri,Yoyakarta;


Kanisius,2005.

Zainuddin,A.Rahman, Kekuasaan dan Negara Pemilikiran politik Ibnu Khaldun, Jakarta


Gramedia Pustaka Utama,1992

22
PRESENTASI POWERPOINT PEMBICARA:

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Diskusi:
1 Marthen Ndoen:
- Menarik. Untuk bicara kepemimpinan tradisional, tapi saya kira Suharto bukan pemimpin yang
karismatik, karena Suharto menggunakan militer. Pemimpin yang karismatik itu seperti imam Khomeini,
atau presiden Sukarno.
- Biasanya adat bisa hancur karena pertambahan penduduk, survival strategy dan pendidikan yang
membuat semakin sekuler. Bagaimana keadaan di sana?
- Untuk teoretisasi dengan Weber, pak Amin masih membandingkan mal (ukuran) Weber dengan realitas
dan menarik kesimpulan. Perlu berhati-hati dengan metode begini karena ini cara Barat yang melihat
bahwa kita tidak rasional. Padahal ada rasionalitas yang tidak dimengerti oleh Barat. Banyak orang Barat
sekarang mencari kehidupan asketis. Pak Amin perlu mencari dan mengangkat reason di balik pandangan
mereka, perlu dikaji berdasarkan kacamata orang Seram.

1.1 Amin Ramly:


Fachry Ali menunjuk keyakinan Suharto pada budaya Jawa yang sangat kuat, dimana antara raja dan
keraton tidak bisa dipisahkan, terlepas dari militer. Selain itu, kekuasaan Jawa tidak tersebar dan tidak
dipertanyakan sah atau tidak.

1.1.1 Marthen Ndoen:


Setuju dengan pendapat Fachry, yang mengganggu saya jika dia dikatakan sebagai karismatik. Suharto dari
tentara, tidak pernah dapatkan pulung. Kalau Sukarno memang karismatik.

2 Amin Ramly:
Di wilayah tersebut pendidikan masih sangat kurang, terutama sebagai kabupaten baru. Sedangkan di
negeri Eti sendiri, banyak warganya yang cukup maju sebagai politisi dan dosen, tapi mereka masih sangat
patuh termasuk kepada Sasi. Mitos masih sangat banyak, tidak rasional tapi terjadi secara fakta.

3 Wilson Therik:
- Sharing pengalaman. Strukturnya mirip Rote, Negeri disebut Nusak dan Raja disebut Manek. Fungsi-
fungsi lain serupa, termasuk aturan perkawinan, batas tanah dan pembagian air. Di Rote juga orang takut
pada Raja/Manek daripada camat. Mirip-mirip dengan yang ada.
- Mengenai Sasi. Pengalaman di Seri (Nusaniwe, Ambon), pohon kelapa dipasangi papan pengumuman
Sasi dan tanda salib. Yang melanggar ternyata mengalami masalah. Apa masalah yang dikaji/tujuan yang
mau dicapai dari temuan-temuan lapangan yang banyak ini?

3.1 Amin Ramly:


- Masalahnya, pemerintah sebagai penguasa negara menuntut ketaatan terhadap kekuasaan. Di sisi lain adat
juga demikian. Bagaimana agar bisa seimbang tanpa disintegrasi? Itu masalahnya, mungkin ini terkait cara
pemerintahan. Ada tiga tungku yang tidak bisa dipisah: Pemerintah, Agama, dan Adat.
- Tidak bisa dicampur-adukan dalam saling mengalahkan. Kalau melaksanakan adat tidak bisa disebut
kafir. Pemerintah juga tidak bisa mendominasi semua hal. Ketiga domain harus muncul dengan mendukung
kreatifitas rakyat.

34
3.1.1 Wilson Therik:
Nusak dibubarkan pemerintah tahun 1962. Kabupaten Rote Ndao dibentuk tahun 2002. Tapi masyarakat
lebih taat kepada struktur adat. Akibatnya pemerintah aktifkan lagi manileo-manileo, supaya musrenbang
dan lain-lain bisa berjalan lancar.

Amin Ramly:
- Dalam Musrenbang tahun 2006, semua Latupati kecamatan Seram Barat diundang untuk ikut serta.
- Menurut Perda Provinsi Maluku No 14/2005, semua masyarakat adat dikembalikan ke posisi semula.

4 Marthen Ndoen:
Pada level kesadaran, kasus di Rote terjadi alienasi terhadap adat. Dengan 32 tahun Orde Baru, apakah ini
juga muncul karena romantisme semata? Di Rote, hancurnya adat terjadi karena sumber kekuasaan
berpindah ke pendidikan. Orang muncul bukan karena gelar atau struktur adat tetapi karena pendidikan.
Di Seram, tampaknya tidak demikian dan Orde Baru tidak berhasil menghancurkan adat di sana. Yang
masalah justru adalah agama, yang menggusur adat. Ini sama dengan sejarah dunia.

4.1 Yesaya Sandang:


Menyambung komentar pak Marthen, secara riel bagaimana korelasi antara pemerintah daerah dengan
adat?

4.1.1 Amin Ramly:


Ada hubungan saling mempengaruhi seperti kasus Musrenbang tadi. Seperti juga kasus pelantikan Raja
Luhu, sebelum pelantikan oleh Bupati didahului dengan pelantikan secara adat.

5 Marthen Ndoen:
Agama itu mengalienasi karena bukan bagian dari masyarakat lokal, berbeda dengan adat, tapi masalahnya
tidak bisa ditolak. Yang perlu diidentifikasi juga adalah kapan kesadaran agama lebih kuat daripada adat.

5.1 Amin Ramly:


Ada dinamika kekuatan melalui hubungan Pela. Memang ada perbedaan pada kelompok-kelompok.

5.1.1 Marthen Ndoen:


Pela itu merupakan cara masyarakat lokal mengelola perbedaan. Itu kearifan lokal untuk melawan
hegemoni agama.

Amin Ramly:
Ada kawan pendeta yang bertabrakan dengan masyarakat adat, soal kapan perkawinan itu sah (sesudah
terjadi secara adat atau setelah upacara pemberkatan secara agama). Ini masalah apalagi karena agama
memperkenalkan konsep zinah sehingga yang sebelumnya secara adat tidak bermasalah bisa menjadi
masalah secara agama.
Padahal adat sudah ada sebelum adanya agama. Melanggar adat juga dipandang tabu.

6 Yesaya Sandang:
Legitimasi kan terkait dengan negara. Dalam konteks kewarganegaraan, sejauh mana disebut warga negara
yang baik dan warga adat yang baik?

35
6.1 Amin Ramly:
Bisa dilihat pada soal KTP (kartu tanda penduduk), masyarakat mendukung kebijakan ini. Masyarakat juga
sadar bahwa mereka berada di bawah kekuasaan negara. Dalam pembangunan Baileo (rumah pertemuan
adat) juga ada bantuan dari pemerintah. Sepanjang pemerintah tidak masuk domain adat maka tidak ada
masalah. Dalam pemilu juga mereka berpartisipasi, selama negara tidak campur tangan dalam pemilihan
Raja. Sekarang dengan Perda Provinsi No 14/2005 memberikan ruang yang luas untuk itu.

6.1.1 Marthen Ndoen:


Perda itu bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap hegemoni budaya dari luar.

7 Amin Ramly:
Saya juga ingin bertanya kepada pak Marthen dan rekan-rekan semua. Bagaimana melepaskan diri dari
pengaruh grand theory?

7.1 Marthen Ndoen:


- Grand theory tidak apa-apa. Bisa juga gunakan teori-teori James Scott.
- Jika kita baca dalam perspektif sejarah Maluku, masyarakat Maluku mengalami stigmatisasi pusat, seperti
RMS dan lain-lain. Tapi masyarakat ini sudah menyumbang banyak sekali kepada negara Indonesia
melalui pengembangan kebudayaan, khususnya kesenian.

36

Anda mungkin juga menyukai