Anda di halaman 1dari 27

Teori Tindakan dan Teori Sistem Talcott Parson

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/06/teori-tindakan-dan-teori-sistem-talcott.html

21 Desember 2010

Teori : yaitu dalil (ilmu pasti); ajaran atau paham (pandangan) tentang sesuatu berdasarkan
kekuatan akal (ratio); patokan dasar atau garis-garis dasar sains dan ilmu pengetahuan;
pedoman praktek.
 Teori Tindakan, yaitu individu melakukan suatu tindakan berdasarkan berdasarkan
pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran atas suatu objek stimulus atau situasi
tertentu. Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan
atas sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori Max Weber ini dikembangkan oleh
Talcott Parsons yang menyatakan bahwa aksi/action itu bukan perilaku/behavour. Aksi
merupakan tindakan mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses
mental yang aktif dan kreatif. Talcott Parsons beranggapan bahwa yang utama bukanlah
tindakan individu melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur
perilaku itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan
mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Talcott Parsons juga beranggapan
bahwa tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh system sosial, system budaya dan
system kepribadian dari masing-masing individu tersebut. Talcott Parsons juga melakukan
klasifikasi tentang tipe peranan dalam suatu system sosial yang disebutnya Pattern Variables,
yang didalamnya berisi tentang interaksi yang avektif, berorientasi pada diri sendiri dan
orientasi kelompok.

 Teori Sistem: yaitu, suatu kerangka yang terdiri dari beberapa elemen / sub elemen / sub
system yang saling berinteraksi dan berpengaruh. Konsep system digunakan untuk
menganalisis perilaku dan gejala sosial dengan berbagai system yang lebih luas maupun
dengan sub system yang tercakup di dalamnya. Contohnya adalah interaksi antar keluarga
disebut sebagai system, anak merupakan sus system dan masyarakat merupakan supra
system, selain kaitannya secara vertikal juga dapat dilihat hubungannya secara horizontal suatu
system dengan berbagai system yang sederajat. Dalam pandangan Talcott Parsons,
masyarakat dan suatu organisme hidup merupakan system yang terbuka yang berinteraksi dan
saling mempengaruhi dengan lingkungannya. System kehidupan ini dapat dianalisis melaui dua
dimensi yaitu : interaksi antar bagian-bagian / elemen-elemen yang membentuk system dan
interaksi / pertukaran antar system itu dengan lingkungannya. Talcott Parsons membangun
suatu teori system umum / Grand Theory yang berisi empat unsure utama yang tercakup dalam
segala system kehidupan, yaitu : Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latent Pattern
Maintenance. Talcott Parsons mengemukakan teori sebagai berikut :
Sitem Sosial
Sistem Budaya ==> Individu ==> Perilaku
Sistem Kepribadian
Kerangka Teori Talcott Parson Untuk Memahami Integrasi Sosial

Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, Angkatan III,
NPM. 8399040304

Ditulis oleh Zuryawan Isvandiar Zoebir di/pada 10 Agustus, 2008

Tulisan ini merupakan paper dan merupakan tugas mata kuliah Teori Sosial Klasik yang
diberikan oleh  Dr. Robert M.Z. Lawang

I. Latar Belakang

Pada Tahun 1971 di Lhok Seumawe, Aceh, mulai di rintis pembangunan proyek gas alam cair (LNG),
didahului dengan kegiatan pembebasan tanah-tanah milik penduduk. Kegiatan pembebasan tanah
berlangsung hingga tahun 1975 yang diwarnai adanya ketegangan-ketegangan. Ketegangan itu misalnya,
dalam bentuk penduduk tidak bersedia menyerahkan tanah miliknya walaupun telah disediakan uang
pengganti kerugian, karena beranggapan bahwa tanah pusaka peninggalan orang tua tidak boleh dijual
atau diserahkan kepada orang lain.

Pengukuran tanah berikut pembayarannya berlangsung selama tahun 1974, dan tahun 1975 telah
dimulai pembangunan komplek perumahan, sampai akhirnya pada tahun 1977 telah siap untuk ditempati.
Komplek perumahan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga membuat kesan terjadinya isolasi yang
kian memperlebar jarak sosial. Hingga terjadi ketegangan yang kedua, dalam wujud terjadinya
perbedaan yang mencolok antara pola kehidupan kedua kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam
status sosial ekonominya.

Melalui makalah ini, saya berusaha memahami peristiwa kesenjangan sosial dan ekonomi antara
penduduk sekitar pabrik dengan karyawan pabrik yang bertempat tinggal disekitar pabrik, yang terjadi
saat dibangunnya proyek raksasa gas alam cair pertama di awal masa orde baru, yaitu PT. Arun, Lhok
Seumawe, Aceh.

Peristiwa ini saya anggap menarik oleh karena terjadi di saat-saat awal rezim orde baru mulai
menancapkan kuku-kuku kekuasaannya diseluruh bumi pertiwi, dan menariknya lagi bahwa peristiwa ini
terjadi di Aceh, suatu daerah yang begitu rentan untuk bergolak hingga pada titik tertentu pemerintah
dianggap telah melalaikan kewajibannya atas Aceh, mereka menuntut kemerdekaan. Boleh dikatakan
disini bahwa peristiwa ini adalah babak pertama dari salah urusnya pemerintah dalam melakukan
pembinaan terhadap pemerintah-pemerintah daerah, sehingga boleh dikatakan bahwa pembangunan
pabrik gas arun merupakan test case bagi rezim orde baru dalam rangkaian melakukan perkeliruan-
perkeliruan ditempat dan pada saat lain.

II. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka akan dipergunakan kerangka Talcott Parsons untuk
memahami integrasi sosial di antara masyarakat desa sekitar pabrik LNG dengan karyawan PT. Arun,
penggunaan hubungan sistem-sistem level, kejelasan hubungan antara energy dan informational system
dalam AGIL dan pada akhirnya akan terjawab pertanyaan adakah sistem sosial yang berlaku umum di
Indonesia?

III. Teori Talcott Parsons

Empat persyaratan fungsional fundamantal yang digambarkan dalam skema AGIL menurut Parson
merupakan kerangka untuk menganalisis gerakan-gerakan tahap (phase movements) yang dapat
diramalkan. Keempat persyararatan ini berlaku untuk setiap sistem tindakan apa saja.

Urutannya dimulai dengan munculnya suatu tipe ketegangan, yang merupakan kondisi ketidaksesuaian
antara keadaan suatu sistem sekarang ini dan suatu keadaan yang diinginkan. Ketegangan ini
merangsang penyesuaian (adaptation) dari suatu tujuan tertentu (goal maintenance) serta menggiatkan
semangat dorong yang diarahkan kepada pencapaian tujuan itu. Pencapaian tujuan itu memberikan
kepuasan yang dengan demikian mengatasi ketegangan atau menguranginya.

Tetapi, sebelum suatu tujuan dapat tercapai, maka harus ada suatu tahap penyesuaian terhadap
keadaan genting dari situasi dimana tenaga harus dikerahkan dan alat yang perlu untuk mencapai tujuan
itu harus disiapkan. Selama tahap ini, pemuasan harus ditunda.

Dalam kasus suatu sistem sosial harus paling kurang ada suatu tingkat solidaritas minimal diantara para
anggota sehingga sistem itu dapat bergerak sebagai satu satuan menuju tercapainya tujuan itu.

Jadi tahap pencapaian tujuan secara khas diikuti oleh suatu tekanan pada integrasi (integration)dimana
solidaritas keseluruhan diperkuat, terlepas dari usaha apa saja untuk tercapainya tugas instrumental.

Akhirnya, tahap ini akan diikuti oleh tahap mempertahankan pola tanpa interaksi atau bersifat
laten (laten pattern maintenance).
Sistem sosial sebagai suatu keseluruhan juga terlibat dalam saling tukar dengan lingkungannya.
Lingkungan sistem sosial itu terdiri dari lingkungan fisik, sistem kepribadian, sistem budaya dan
organisme perilaku.

Sistem tindakan ini dilihat sebagai berada dalam suatu hubungan hirarki dan bersifat tumpang tindih.
Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial
dan diinternalisasikan dalam struktur kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan melalui peran-
peran tertentu dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem
tersebut. Organisasi perilaku merupakan energi dasar yang dinyatakan dalam pelaksanaan peran dalam
sistem sosial.

Parsons melihat hubungan antara pelbagai sistem tindakan ini berdasarkan kontrol sibernatik (cybernetic
control) yang didasarkan pada arus informasi dari sistem budaya ke sistem sosial, ke sistem kepribadian
dan ke organisasi perilaku.

Energi yang muncul dalam arus tindakan adalah dari arah yang sebaliknya, yang bermula dari organisme
perilaku.

Hubungan antara sistem-sistem tindakan umumnya dan persyaratan-persyaratan fungsional adalah


sebagai berikut :

Sistem Tindakan Persyaratan Fungsional

Sistem budaya Pemeliharaan pola-pola yang laten

Sistem sosial Integrasi

Sistem kepribadian Pencapaian tujuan

Organisme perilaku Adaptasi

Pemeliharan pola-pola yang laten (laten pattern maintenance) dihubungkan dengan sistem budaya,


karena fungsi ini menekankan nilai dan norma budaya yang dilembagakan dalam sistem sosial.

Masalah integrasi berhubungan dengan interelasi antara pelbagai satuan dalam sistem sosial.

Pencapaian tujuan dihubungkan dengan sistem kepribadian dalam arti bahwa tujuan sistem-sistem sosial
mencerminkan titik temu dari tujuan-tujuan individu dan memberikan mereka arah sesuai dengan
orientasi nilai bersama. Hubungan antara pencapaian tujuan dengan sistem kepribadian ini
mencerminkan perspektif Parsons bahwa tindakan selalu diarahkan pada tujuannya.

Kemudian, sifat dari masalah penyesuaian ditentukan sebagian besar oleh sifat-sifat biologis individu
sebagai organisme yang berperilaku dengan persyaratan biologis dasar tertentu yang harus dipenuhi oleh
mereka agar tetap hidup.

IV. Analisis Masalah

Parsons dan teman-temannya pada tahun 1950-an secara bertahap menyusun strategi untuk analisis
fungsional hubungan duaan, kelompok kecil, keluarga, organisasi kompleks dan juga masyarakat
keseluruhan.

Penyempurnaan yang dihasilkan sebagian dari kerjasama Parsons dengan Robert F.


Bales.

Dari hasil analisis proses-proses kelompok kecil diketahui bahwa kelompok yang
diamatinya tersebut selalu melewati serangkaian tahap yang dapat diramalkan.

Masing-masing tipe tindakan dilihat ada hubungannya dengan masalah-masalah


tertentu yang dihadapi kelompok pada waktu itu : masalah orientasi, evaluasi,
pengawasan, keputusan, peredaan ketegangan dan integrasi.

Pelbagai tahap yang dilalui kelompok-kelompok itu selama suatu pertemuan nampaknya
menghasilkan semacam keseimbangan begitu kelompok itu secara berturut-turut
membahas setiap masalah yang dihadapi itu. Jadi, misalnya, pada permulaan suatu
pertemuan para anggota perlu mengembangkan suatu orientasi bersama terhadap satu
sama lain.

Didalam negara yang masyarakatnya bercorak plural society, seperti Indonesia, pengetahuan tentang
interaksi sosial yang terjadi antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya
sangatlah penting. Dengan mengetahui dan memahami perihal kondisi yang dapat menimbulkan serta
mempengaruhi bentuk interaksi sosial tertentu, maka pengetahuan tersebut dapat disumbangkan bagi
usaha pembinaan bangsa dan masyarakat[1].

Menurut Young, interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa
itu tak ada kehidupan sosial[2] .
Dalam kedudukannya sebagai mahluk sosial, manusia cenderung untuk selalu
berhubungan dengan lingkungannya. Terjadinya interaksi sosial selalu didahului oleh
suatu kontrak sosial dan komunikasi[3]

Pada tahun 1973. Di Lhok Seumawe, Aceh Utara, mulai dibangun proyek pencairan gas alam LNG
(Liquid Natural Gas), yang dimulai dioperasikan pada tahun 1978 oleh PT. Arun LNG & Co.

Sebagai bagian dari proyek ini, dibangun pula sebuah komplek perumahan karyawan di atas tanah
kurang lebih seluas 400 Ha, dalam kondisi yang kontras dengan lingkungan masyarakat sekitarnya
dengan struktur dan kebudayaannya yang masih relatif sederhana. Komplek perumahan ini berbentuk
kampus (housing colony). Mereka yang tinggal di komplek perumahan tersebut, berasal dari berbagai
golongan agama, suku bangsa dan daerah dengan tingkat pengetahuan dan kehidupan yang relatif lebih
maju, dibandingkan dengan penduduk setempat.

Beberapa penelitian yang telah pernah dilakukan berkesimpulan bahwa kehidupan dan sistem budaya
orang desa disekitar komplek perumahan tersebut tidak sejalan dengan kondisi kehidupan baru dari
pendatang, mereka terpaksa harus menyesuaikan diri dengan situasi baru terutama dalam hal lapangan
pekerjaan, karena untuk meneruskan pekerjaan lama (bertani, tambak ikan atau nelayan), dirasakan
sudah tidak memungkinkan lagi[4]

Perumahan yang berbentuk colony, selain membuat kesan adanya isolasi, juga menyebabkan terjadinya
jarak sosial. Jadi jelasnya, terdapat perbedaan yang mencolok antara pola kehidupan kedua kelompok
masyarakat tersebut, terutama dalam status sosial ekonominya. Dalam hubungan dengan perbedaan
tersebut, timbul pertanyaan apakah ada, dalam bentuk apa dan faktor apa saja yang mempengaruhi
interaksi sosial antara penduduk komplek perumahan PT. Arun dan penduduk asli di desa sekitarnya.

Pembahasan makalah ini dibatasi dalam mempelajari bentuk interaksi sosial yang terjalin antara
masyarakat komplek perumahan karyawan PT. Arun dan penduduk asli di desa sekitarnya, serta faktor
yang mempengaruhinya.

Interaksi sosial dalam artian umum dimaksudkan sebagai hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antar perorangan, antar kelompok, dan antara perorangan dengan kelompok
manusia[5].

Salemba, 29 Maret 1999


OSI4206 
Teori Sosiologi Modern 
Wagiyo, dkk 
4 sks / modul 1-12: ill.; 21 cm 
ISBN : 979689534X 
DDC : 301 
Copyright (BMP) © Jakarta: Universitas Terbuka, 2007

Tinjauan Mata Kuliah 


Teori sosiologi modern merupakan mata kuliah lanjutan dari teori sosiologi klasik. Seperti halnya mata kuliah
teori sosiologi klasik, mata kuliah ini pun membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangkan
teori-teori sosiologi. Pada bagian awal buku materi pokok mata kuliah ini dibahas tiga paradigma sosiologi,
yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

Tokoh teori fungsionalisme yang dibahas dalam buku materi pokok ini adalah Talcott Parsons dan Robert K.
Merton. Kedua tokoh ini dibahas masing-masing dalam Modul 2 dan 3. Teori fungsionalisme menekankan
pemikirannya pada analogi antara struktur masyarakat dengan organisme biologis, sedangkan tokoh dari teori
konflik dibahas dalam Modul 4 dan 5, pemikiran yang dibahas adalah pemikiran teori konflik dari Ralf
Dahrendorf dan Lewis Coser. Teori konflik lebih menekankan pada pertentangan antarkelas untuk
memperebutkan sumber daya yang langka. Pada Modul 6 dibahas mengenai teori pertukaran sosial dari
George C. Homans dan Peter M. Blau. Teori pertukaran menekankan pada prinsip pertukaran yang terjadi
dalam proses interaksi sosial di masyarakat.

Buku materi pokok mata kuliah teori sosiologi modern ini lebih banyak memfokuskan pembahasan mengenai
teori interaksionisme simbolik. Teori interaksionisme simbolik menekankan pada penggunaan simbol-simbol
dalam interaksi sosial. Teori interaksionisme ini mulai dibahas dalam Modul 7, yang membahas teori dari
William James, Charles Horton Cooley, dan John Dewey. Pada Modul 8 dibahas teori interaksionisme menurut
George Herbet Mead, dan pada Modul 9 dibahas teori interaksionisme simbolik menurut William Issac Thomas
dan Herbert Blumer. Pembahasan teori interaksionisme simbolik diakhiri dengan teori interaksionisme dari
Erving Goffman dan Peter L. Berger.

Pembahasan buku materi pokok ini diakhiri dengan pemikiran postmodernisme dan teori feminisme
kontemporer. Pembahasan postmodernisme terdapat dalam Modul 11, yang membahas mengenai batasan
pemikiran postmodernisme, aspek budaya masyarakat postmodern, dan tokoh-tokoh pemikiran
postmodernisme, sedangkan teori feminisme kontemporer sebagai modul terakhir membahas mengenai teori-
teori sosiologi yang berkaitan dengan masalah gender dan teori-teori feminisme yang berkembang dalam
masyarakat.

MODUL 1: Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya

Kegiatan Belajar 1: Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya 


Rangkuman 
Paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang
menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau asumsi
dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat
rumusan, baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban yang
dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut George Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu (1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa
struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu; (2) paradigma definisi sosial yang menyatakan
bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal
ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap
individu dan pemikirannya; (3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari
individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi
antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.

Paradigma dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya berbagai macam
teori dan metode dalam pendekatannya.

Kegiatan Belajar 2: Pengertian Sosiologi 


Rangkuman 
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam
masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi, aturan-aturan dan lembaga-lembaga, yang
kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh. Dalam hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan
bersama dalam masyarakat, baik yang menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebabmusababnya.
Untuk mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.

Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang
menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther,
meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri
sendiri, adanya Revolusi Industri maupun Revolusi Perancis.

Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang
terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah
mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis.

Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak
awal XVIII berkenaan dengan adanya industrialisasi, urbanisasi, kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan
adanya perubahan-perubahan sosial.

Kegiatan Belajar 3: Pengertian Teori 


Rangkuman 
Teori adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan
bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan
suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara
variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan
bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari
kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.
Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun
operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis
di antara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan
prediksi.

Suatu teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang menyatakan bahwa suatu
teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa
ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma, kerangka pikir, konsep-konsep,
variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi.

Daftar Pustaka

 Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74.
Judul Asli: Sociology: A Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
 Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. Oxford, New York: University Press.
 Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul
asli: Modern Social Theory: from Parsons to Habermas, penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
 Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
 Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376
377. Jakarta: Gramedia.
 Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
 Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
 Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston:
Allyn and Bacon Inc.
 Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli:
Sociological Theory Classical Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
 Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika
Universitas Terbuka.
 Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
 _______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
 Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
 Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, A Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics,
New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Kegiatan Belajar 1: Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons 


Rangkuman 
Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional
dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh
adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile
Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme
Talcott Parsons bersifat kompleks.

Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar
kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan
mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara
fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan
sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.

Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya
kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya
keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott
Parsons.

Kegiatan Belajar 2: Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif 


Rangkuman 
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa
menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu
bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan
nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana
(alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih
tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.

Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di
samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan
dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang
sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan
norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan
alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh
kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta
norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan
oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa
tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana
dikemukakan di atas.

Kegiatan Belajar 3: Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural 


Rangkuman 
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat
itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott
Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis,
baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian
dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.

Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut
berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara
kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner.

Perlu diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan
tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena
adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan
perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori sistem
yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses
perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons
menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.

Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun suatu teori yang besar untuk
mengadakan pendekatan dalam masyarakat, akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik dari
mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu George Homans, Williams Jr., dan Alvin
Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian di muka.

Daftar Pustaka

 Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74.
Judul Asli: Sociology: A Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
 Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
 Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul
asli: Modern Social Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
 Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
 Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376
377. Jakarta: Gramedia.
 Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
 Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
 Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston:
Allyn and Bacon Inc.
 Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli:
Sociological Theory Classical Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
 Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika
Universitas Terbuka.
 Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
 ______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
 Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
 Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics,
New Jersey: Prentice Hall, Inc.

MODUL 3: Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton

Kegiatan Belajar 1: Strategi Dasar Analisis Strukturalisme Fungsional 


Rangkuman 
Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata memiliki perbedaan apabila
dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam
teorinya lebih menekankan pada orientasi subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton
menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku.

Menurut Robert K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang
mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi
objektif dari individu dalam perilaku itu yang tidak dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut
pendapatnya konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang bersifat fungsional
dan ada pula yang bersifat disfungsional.

Anggapan yang demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara pendekatan Robert K. Merton
dengan pendekatan fungsionalisme struktural yang lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf
Menengah yang ia cetuskan tersebut, merupakan pendekatan yang sesuai untuk meneliti hal-hal yang bersifat
kecil atau khusus dan bersifat empiris dalam sosiologi.

Kegiatan Belajar 2: Disfungsi dan Perubahan Sosial 


Rangkuman 
Menurut Robert K. Merton dinyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku
dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi objektif dari individu dalam
perilaku mampu mengarah pada integrasi dan keseimbangan, sedangkan konsekuensi objektif dari individu
dalam perilaku yang bersifat disfungsional akan memperlemah integrasi.

Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau
pertentangan dalam sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling berhadapan antara
konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang
munculnya struktur dari yang bersifat alternatif sebagai substitusi untuk menetralisasi ketegangan.

Perlu diketahui bahwa adanya ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya struktur-struktur baru
tersebut akan berarti bahwa konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan mengakibatkan adanya
perubahan-perubahan sosial. Di samping itu disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya anomie dan masalah
sosial. Kenyataan tersebut juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru, yang pada hakikatnya
menunjukkan adanya perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan dalam masyarakat.

Kegiatan Belajar 3: Kelompok Referensi (Reference Group) 


Rangkuman 
Teori Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi objektif dari individu dalam
berperilaku. Keharusan adanya konsekuensi objektif baik fungsional maupun disfungsional dan harus adanya
konsep-konsep alternatif fungsional dalam pelaksanaan analisisnya, tepat apabila diterapkan pada masyarakat
yang memiliki perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu, Robert K.
Merton mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan sebagai penilaian dirinya dan
pembanding serta menjadi bimbingan moral. Teori Kelompok Referensi (Reference Group Theory) yang terdiri
dari Kelompok Referensi Normatif, Kelompok Referensi Komparatif dan ada bentuk lain, yaitu kelompok
keanggotaan (Membership Reference Group). Kelompok Referensi Normatif, yaitu suatu kelompok yang
menempatkan individu-individu mengambil standar normatif dan standar moral, sedangkan Kelompok
Referensi Komparatif, yaitu kelompok yang memberikan kepada individu-individu suatu kerangka berpikir untuk
menilai posisi sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain. Sementara Kelompok
Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang menempatkan bahwa individu itu sebagai
anggotanya.

Daftar Pustaka

 Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74.
Judul Asli: Sociology: A Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
 Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
 Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul
asli: Modern Social Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
 Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
 Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376
377. Jakarta: Gramedia.
 Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
 Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
 Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston:
Allyn and Bacon Inc.
 Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli:
Sociological Theory Classical Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
 Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika
Universitas Terbuka.
 Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
 _____. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
 Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
 Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics,
New Jersey: Prentice Hall, Inc.

MODUL 4: Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Kegiatan Belajar 1: Pemikiran tentang Otoritas dan Konflik Sosial 


Rangkuman 
Teori Konflik Ralf Dahrendorf tidak bermaksud untuk mengganti teori konsensus. Dasar Teori Konflik
Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang
menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja
tergantung pada sistem tersebut. Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20
telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu,, pada akhir
abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang
dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas
dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah. Hal
yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar pemikiran Karl Marx.

Selain itu, Karl Marx sama sekali tidak membayangkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya akan lahir
serikat buruh dengan segenap mobilitas sosialnya, yang mampu meniadakan revolusi buruh. Perlu diketahui
bahwa dalam suatu perusahaan ada pimpinan dan ada para pekerja yang pada suatu saat dapat saja terjadi
konflik. Akan tetapi dengan adanya pengurus dari organisasi tenaga kerja tersebut untuk mengadakan
perundingan dengan pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari.

Pendekatan Ralf Dahrendorf berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu
dikoordinasi secara imperatif. Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan
sesuatu yang sangat esensial sebagai suatu yang mendasari semua organisasi sosial. Berkenaan dengan hal
tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang
menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka
tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.
Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, perlu
diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Ralf Dahrendorf kepentingan kelas objektif dibagi
atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus
dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup
kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.

Kegiatan Belajar 2: Intensitas dan Kekerasan 


Rangkuman 
Teori Konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf juga membahas tentang intensitas bagi individu atau
kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat
keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.
Selain itu Teori Konflik Ralf Dahrendorf juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak
yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam
perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat
kejasmanian.

Perlu diketahui bahwa menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat
penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan
bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur. Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena
perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik
yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-
menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu
dibentuk saluran-saluran yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik.

Kegiatan Belajar 3: Pengertian Konflik 


Rangkuman 
Konflik dapat mengakibatkan adanya perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, apabila kondisi-kondisi
tertentu telah dipenuhi. Teori Konflik Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konsekuensi atau fungsi konflik,
yaitu dapat mengakibatkan adanya perubahan sosial, khusus yang berkaitan dengan struktur otoritas. Ada tiga
tipe perubahan struktur, yaitu (1) perubahan keseluruhan personil dalam posisi dominasi; (2) perubahan
sebagian personil dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat
dalam kebijaksanaan kelas yang mendominasi.

Selain itu menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa perubahan struktural itu dapat digolongkan
berdasarkan tingkat ekstremitasnya dan berdasarkan tingkat mendadak atau tidaknya. Dalam hal ini Ralf
Dahrendorf mengakui bahwa teorinya yang menekankan pada konflik dan perubahan sosial merupakan
perspektif kenyataan sosial yang berat sebelah. Hal tersebut karena meskipun Teori Fungsionalisme Struktural
dan Teori Konflik dianggap oleh Ralf Dahrendorf sebagai perspektif valid dalam menghampiri kenyataan sosial,
akan tetapi hanya mencakup sebagian saja dari kenyataan sosial yang seharusnya. Kedua teori tersebut tidak
lengkap apabila digunakan secara terpisah, dan oleh karena itu harus digunakan secara bersama-sama, agar
dapat memperoleh gambaran kenyataan sosial yang lengkap.

Daftar Pustaka

 Alimandan (Peny.). (1985). Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda: 110, 15 39, 43 74.
Judul Asli: Sociology: A Multiple Paradigm Science. George Ritzer. (1980). Boston: Allyn and Bacon.
 Cambell, Tom. (1981). Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.
 Craib, Ian. (I986). Teori-teori Sosial Modern: Dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Rajawali. Judul
asli: Modern Social Theory: from Parsons to Habermas. penerjemah: Paul S Bout dan T. Effendi.
 Kerlinger, Fred, N. (1973). Foundation of Behavioral Research. New York: Holt, Rinehart and Winston.
 Laeyendecker, L. (1983). Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi: 376
377. Jakarta: Gramedia.
 Nasikun. (1988). Sistem Sosial Indonesia, 9 10. Jakarta: Rajawali.
 Poloma, Margaret M. (1984). Sosiologi Kontemporer, 4. Jakarta: Rajawali.
 Ritzer, George. (1975). Sociology: A Multiple Paradigm Science: 2 7, 24 30, 91 92, dan 142. Boston:
Allyn and Bacon Inc.
 Robert, M.Z., Lawang, (Pen). (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I dan II. Judul asli:
Sociological Theory Classical Founders and Contemparary Perspectives. (1981). By Doyle Paul Johnson.
 Robert, M.Z., Lawang. (1986). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika
Universitas Terbuka.
 Sunarto, Kamanto. (1993). Pengantar Sosiologi: 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
 ______. (1993). Pengantar Sosiologi: Buku Panduan Mahasiswa: 15 17, 23 28. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
 Zamroni. (1992). Pengantar Pengembangan Teori Sosial: 13. Yogyakarta: Tiara Wacana.
 Zeitlin, Irving M. (1973). Rethinking Sociology, a Critique of Contemporary Theory. Englewood Clifics,
New Jersey: Prentice Hall, Inc.

MODUL 5: Teori Konflik Lewis A. Coser

Kegiatan Belajar 1: Konflik dan Solidaritas 


Rangkuman 
Semula Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme struktural dan
mengabaikan konflik. Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil
kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya proses-proses yang tidak merupakan
kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada
pemikiran George Simmel. Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-
nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang
persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok dan antarindividu dengan
kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural,
akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok
yang bersangkutan.

Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan
integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian
halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan
mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila
suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan
meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.

Kegiatan Belajar 2: Konflik dan Solidaritas Kelompok 


Rangkuman 
Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la
menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme, ketega

Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa


Bagian II (Habis)
Wawan E. Kuswandoro
http://www.eKuswandoro.co.cc
Tulisan ini membantu penyampaian materi kuliah “Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa”,
mendeskripsikan cara pandang dan bagaimana sosiologi memberikan pemahaman dan analisis
tentang masyarakat kota dan desa, kehidupan sosialnya, hubungan kota dan desa dan kaitannya
dengan pembangunan, gejala dan masalah-masalah kota dan desa termasuk urbanisasi dan urban
bias. Pokok-pokok perkembangan kota dan pembangunan desa dimasukkan dalam lingkup
bahasan yang sesuai dengan kebutuhan penelaahan studi-studi politik dan administrasi. Untuk
mempermudah penyampaian, artikel ini terbagi menjadi 3 bagian. Bagian Iberisi materi Mengenal
Sosiologi Untuk Analisis Masyarakat (I), Konsepsi Tentang Masyarakat (II) dan Mengenal
Paradigma Ilmu Sosial (III). Bagian II berisi materiMasyarakat Kota (I), Masyarakat Desa (II),
Masalah-Masalah Masyarakat Kota dan Desa (III).
1.     Pada Bagian II ini mari kita aplikasikan pemahaman teoretis kita yang telah dicapai pada
Bagian I, untuk memahami dan menganalisis masyarakat kota dan desa beserta masalahnya. Tapi,
dah pada paham belum, materi Bagian I? Kalau lupa, boleh kok buka n baca lagi… Sebagai
pengantar ke pembahasan sosiologi masyarakat kota dan desa, setelah kita memahami pengertian
dan lingkup kajian sosiologi sebagai dasar, saya ajak saudara untuk memahami
pengertiancommunity, yang berasal dari aplikasi metode ekologi sosial. Ekologi sosial, sebagai
studi tentang relasi sub-sosial antar manusia. Yang disebut sebagai sub-sosial masyarakat adalah
keseluruhan relasi yang non-personal antar manusia, yang muncul dari rasa nasib sosial yang sama
yang tak dapat dijelaskan dari interaksi manusia yang disadari. Sama-sama mendiami gedung
rumah susun misalnya, orang masuk  tata non-personal, dan ini diatur oleh mekanisme persaingan
yang merupakan proses dalam kehidupan, yang karena proses ini anggota masyarakat ybs
mendapatkan tempat dan posisinya yang kemudian memunculkan kesatuan fungsional dan
keruangan yang tak disadari oleh ybs. Ekologi sosial sebagai studi tentang daerah-daerah sosial
budaya (culture areas). Ia berfungsi menggambarkan sebaran keruangan dari gejala sosial
sehingga metode ini mengarahkan pada pengarahan dan pemetaan persebaran keruangan dari
gejala-gejala sosial tertentu. Ekologi sosial memandang bahwa relasi antar manusia dan
lingkungannya mengandung 2 aspek yang terpisah:
a.    Relasi manusia sebagai individu dengan lingkungannya.
b.   Relasi manusia sebagai kelompok dengan lingkungannya.
2.     McKenzie menjelaskan bahwa ekologi sosial mengkaji hubungan-hubungan sosial yang
terdapat dalam waktu dan ruang, yang terjadi karena berbagai kekuatan yang terdapat di dalam
lingkungan. Ekologi sosial merupakan bagian dari sosiologi yang
mengutamakan struktur dan fungsi masyarakat manusia di dalam lingkungannya. Dan masyarakat
manusia dalam ekologi sosial disebut community,yaitu kehidupan bersama yang berdasarkan
teritorial. Ini dapat berupa kota, desa, metropol, benua, bahkan dunia (du monde entier).
3. Community (komunitas) dalam pengertian umum, sering diartikan secara sosial ataupun
geografis, namun secara sosiologis memiliki makna dari sisi manusia-nya, bukan kelompok
perumahan, gedung-gedung maupun sebagai tempat. Kehidupan masyarakat tergantung dari
jenis community di mana ia berada. Masyarakat kota maupun masyarakat desa
sebagai community, adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya.
Suatu community memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Berisi kelompok manusia.
b.   Menempati suatu wilayah geografis.
c.    Mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi yang saling tergantung (nah tu.. ingat gak
sama mbah Durakhim eh Durkheim kemarin lalu tu…).
d.   Memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka.
e.    Para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community.
f.     Mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu.
4.     Community dalam ekologi sosial dipandang sebagai struktur yang memiliki unsur-
unsur: populasi (banyaknya manusia), habitat (lingkungan) dan kebutuhan(segala hal yang dikejar
melalui kegiatan hidup). Interaksi antara ke-3 unsur tersebut mendorong berfungsinya struktur
dalam arti perkampungan, kota, desa, daerah dannegeri. Dalam sosiologi, community mirip dengan
tata kehidupan bersama pada tumbuh-tumbuhan dan hewan, yang di dalamnya terdapat bagian
yang terikat olehkesalingtergantungan dan kesalingbersaingan sehingga perjuangannya untuk
kelangsungan hidup di suatu lingkungan tertentu memunculkan spesialisasi tertentu
serta pembagian kegiatan. Akibatnya, community memiliki pola keruangan yang khusus di mana
populasi dan kegiatannya tersebar menurut cara tertentu dan teritorium ybs.
5.     Sosiologi membagi community atas jenis rural (jika anggota masyarakatnya berjumlah relatif
sedikit dan bermata pencarian agraris) dan jenis urban (jika jumlah warganya relatif banyak dan
mata pencarian utama perdagangan dan industri). Sebenarnya klasifikasi seperti ini tak memuaskan
karena terdapat pula ‘desa perdagangan’ dan ‘kota pertambangan’. Karena itu ada klasifikasi lain
yaitu: rural, fringe (pinggiran), town, dan metropolis. Mari kita kembangkan lagi menurut
pengamatan kita…
Masyarakat Kota
6.     Ciri-ciri atau kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city): (1) adanya pembagian kerja dalam
spesialisasi yang jelas; (2) organisasi sosial lebih berdasarkan pekerjaan dan kelas sosial daripada
kekeluargaan; (3) lembaga pemerintahan lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; (4)
adanya sistem perdagangan dan pertukangan; (5) mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi;
(6) berteknologi yang rasional. Makin besar kota, makin tegas ciri-ciri tersebut.
7.     Masyarakat kota merupakan produk dari kekuatan sosial yang bersifat kompleks. Faktor-faktor
yang mendorong perkembangan masyarakat kota:
a.    Pertambahan penduduk kota yang senantiasa mempertinggi kontak sosial.
b.   Indutrialisasi yang menarik banyak tenaga kerja dari daerah pertanian.
c.    Transportasi dan komunikasi yang mendorong kekompakan kehidupan masyarakat kota.
d.   Kesempatan untuk maju dan berhasil lebih banyak tersedia di kota dibandingkan dengan di
desa.
e.    Kota menawarkan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang cukup sebagai sarana kenaikan
jenjang sosial.
f.     Pengisian waktu senggang cukup tersedia, termasuk berbagai hiburan dan olahraga.
8.                         Ciri-ciri/ karakteristik masyarakat KOTA:
a.    Heterogenitas sosial. Kota merupakan “tempat peleburan” (melting pot) bagi aneka ras/ suku/
golongan manusia.
b.   Hubungan sekunder, pengenalam dengan orang lain sebatas pada bidang tertentu.
c.    Kontrol (pengawasan sekunder), orang tak begitu memperhatikan sesamanya, yang penting
tidak mengganggu.
d.   Toleransi sosial, orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan.
e.    Mobilitas sosial, perubahan status sosial.
f.     Ikatan sukarela, cenderung suka beegabung dengan aneka organisasi/ asosiasi.
g.    Individualisasi.
h.   Segregasi keruangan, akibat dari kompetisi terjadilah pola sosial yang berdasarkan persebaran
tempat tinggal sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.
Masyarakat Desa
9.         Ciri-ciri/ karakteristik masyarakat DESA:
a.    Homogenitas sosial lebih tinggi. Masyarakat desa cenderung lebih homogen, baik pola hidup
maupun tingkah laku dan kebudayaannya. Hal ini disebabkan oleh pola piker, pola sikap dan pola
pandang yang sama dari setiap warganya.
b.   Hubungan primer. Pada masyarakat desa, hubungan kekeluargaan lebih menonjol, anggota
masyarakat lebih mengenal antara yang satu dengan yang lain. Mereka lebih mengutamakan
gotong royong.
c.    Kontrol sosial yang ketat. Anggota masyarakat saling mengetahui antara yang satu dengan
yang lain, dengan hubungan yang ketat/ dekat.
d.   Gotong Royong tumbuh dengan baik. Semua masalah kehidupan dilakukan dengan gotong
royong, baik gotong royong murni maupun gotong royong timbal balik.
e.    Ikatan sosial. Setiap anggota masyarakat diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secra
aketat. Anggota masyarakat yang tidak memenuhi norma dan kaidah yang disepakati, akan dihukum
dan dikeluarkan dari ikatan sosial dengan cara mengcilkan / memencilkannya.
f.     Magis relijius tampak lebih kental dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pada masyarakat Jawa,
sering kita jumpai orang Jawa mengadakan “selamatan” untuk meminta rejeki, peruntungan,
perlindungan, dsb.
g.    Pola kehidupan. Masyarakat desa umumnya bermata pencarian di bidang agraris (pertanian,
perkebunan, perikanan, peternakan). Pada umumnya setiap anggota masyarakat hanya mampu
melaksanakan salah satu bidang kehidupan saja. Misalnya petani. Pertanian merupakan satu-
satunya pekerjaan yang harus ditekuni. Jika pertaniantersebut kegiatannya kosong, maka ia
menunggu sampai ada lagi kegiatan di bidang pertanian.
Perbedaan dan Masalah-Masalah Kota dan Desa
10.      Perbedaan masyarakat KOTA dan DESA. Mempelajari suatu masyarakat, berarti
mempelajari struktur sosial. Karenanya, untuk menjelaskan perbedaan dari keduanya, dapat
ditelusuri dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran
komunitas, kepadatan penduduk, homogentitas – heterogenitas, diferensiasi sosial, pelapisan
sosial, mobilitas sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran kehidupan,
solidaritas sosial dannilai atau sistem nilai.
a.    Lingkungan Umum dan Orientasi terhadap Alam. Lokasi geografis desa mendekatkan
masyarakat desa dengan alam dan bekerja menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Berneda
dengan  masyarakat kota yang kehidupannya bebas dari lingkungan alam.
b.   Pekerjaan/ mata pencarian, bersinggungan dengan alam (agraris). Pada masyarakat kota, mata
pencarian cenderung terspesialisasi, dan spesialisasi ini dapat dikembangkan secara hirarkhis/
organisasional.
c.    Ukuran komunitas. Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil daripada komunitas perkotaan.
d.   Kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk di desa lebih rendah daripada di kota.
e.    Homogenitas dan heterogenitas. Homogenitas dalam cirri-ciri sosial dan juga psikologis,
bahasa, adat, dan perilaku sering tampak pada masyarakat perdesaan. Pada masyarakat
perkotaan, lebih heterogen.
f.     Diferensiasi sosial. Keadaan heterogenitas masyarakat kota berimplikasi pada diferensiasi
sosial yang tajam, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kota.
g.    Pelapisan sosial, mengikuti piramida sosial yaitu kelas-kelas tinggi berada pada posisi puncak
piramida.
h.   Mobilitas sosial, berkaitan dengan perpindahan/ pergerakan suatu kelompok sosial ke kelompok
sosial lainnya, termasuk mobilitas kerja dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Di kota lebih
cepat daripada di desa. Misalnya mobilitas karena pindah rumah sewa/ kos, waktu bepergian orang
kota lebih banyak daripada orahg desa, waktu luang di kota lebih sedikit daripada di desa.
i.     Interaksi sosial. Pada masyarakat desa yang jumlah penduduknya lebih sedikit dan mobilitasnya
rendah, maka kontak pribadi antar individu lebih sedikit dibanding dengan masyarakat kota. Dalam
kontak / interaksi sosial berbeda secara kuantitatif dan kualitatif. Pendiduk kota lebih sering kontak,
tetapi cenderung formal, sepintas lalu, dan tidak bersifat pribadi (impersonal) tetapi melalui tugas
atau kepentingan lain.
j.     Pengawasan sosial. Tekanan sosial di desa lebih kuat daripada di kota.
k.   Pola kepemimpinan. Menentukan kepemimpinan di desa cenderung banyak ditentukan oleh
kualitas pribadi dari individu daripada di kota. Meliputi: kesalehan pribadi, kejujuran, pengorbanan,
pengalaman, dsb. Jika ini berlanjut, maka kriteria keturunan pun ikut menentukan.
l.     Standar kehidupan. Berbagai faslitas yang menyenangkan banyak terdapat di kota, sehingga
orientasi dan standar yang dipakai lebih kompleks di kota dibandingkan dengan di desa.
m.  Kesetiakawanan sosial (social solidarity). Pada masyarakat desa didorong oleh rasa kesamaan/
persamaan dalam hal pengalaman, dan tujuan hidup bersama, sedangkan pada masyarakat kota,
kesetiakawanan / solidaritas didorong oleh ketidaksamaan/ perbedaan pembagian kerja,
kesalingtergantungan dan spesialisasi.
n.   Nilai dan sistem nilai. Di kota dan di desa berbeda, dapat diamati dalam kebiasaan, cara, norma
yang berlaku. Misalnya dalam mencari jodoh, peran kepala keluarga sangat besar. Tentang
pendidikan, sistem nilai di masyarakat desa berbeda dengan di kota; di desa cukuplah dengan tamat
SD / SMP, di kota tidak cukup.
11.      Urbanisme dan urbanisasi. Urbanisme, adalah gaya hidup kekotaan dan ini ditentukan oleh
ciri-ciri spasial, sekularisasi, asosiasi sukarela, peranan sosial yang terpisah dan norma-norma yang
serba kabur. Urbanisme melahirkan mentalitas kota, di mana sikap, ide da kepribadian manusianya
berbeda dengan yang berada di pedesaan. Gejala yang di kota berupa disorganisasi pribadi, aneka
kejahatan, korupsi dan kekalutan dalam banyak hal. Urbanisme (gaya hidup kekotaan) memicu
urbanisasi.
12.      Urbanisasi menyangkut proses “pengotaan” (menjadi kota) yang dialami  oleh suatu
kawasan, yang ditandai dengan masuknya penduduk pedesaan ke perkotaan.
Sosiolog Breese menunjuk 3 gejala sosial yang saling berkaitan: urbanisasi, detribalisasi, stabilisasi.
13.      Beberapa contoh permasalahan pada masyarakat kota dan desa;
-      Gejala ruralisasi (pendesaan) kota.
-      Urbanisasi (dan urbanisme di) desa.
-      Mengapa control sosial di desa lebih kuat daripada di kota?
-      Fenomena “buwuhan” pada acara hajatan di desa dan di kota (interaksi sukarela ataukah
interaksi timbale balik?).
-      Kepemimpinan organisasi di kota: adakah pengarug factor keturunan? Ataukah factor
“kelebihan” (kekuatan, pesona) pribadi?
-      Gaya hidup kota dan desa (dengan maraknya media komunikasi: TV, HP, internet, dll):
bagaimana kini?
-      Nilai dan sistem nilai serta persepsi terhadap mandi: di desa, mandi = segar; di kota, mandi =
bersih, higienis. Terhadap makan. Di desa, makan = kenyang. Di kota, makan = kenyang,
refreshing/ istirahat/ pelepas penat à karenanya ada sebutan restoran (rest = istirahat). Makan juga
berarti suasana (banyaknya café di kota yang tidak hanya menjual makanan/ minuman tetapi
menjual suasana). Di desa sekarang banyak café ya… Bisa dijelaskan?
-      Dsb…. Masih banyak fenomena dan permasalahan sosial di sekitar kita, tinggal amati saja.
Gunakan referensi sosiologi (misalnya dalam Diktat I dan II materi perkuliahan ini), dsb, untuk
menjelaskannya.
Bahan Bacaan
1.    Beilharz, Peter, 2003, Teori Teori Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
2.    Coser, Lewis A., 1982, Sociological Theory: A Book of Readings, MacMillan Publishing, Co.,
Inc., USA.
3. Daldjoeni, N., 1997, Seluk Beluk Masyarakat Kota, Alumni Bandung.
4.    Fatchan, A., 2004, Teori-teori Perubahan Sosial, Yayasan Kampusina Surabaya.
5.    Giddens, Anthony, 2004, Sociology: Introductory Readings, Polity, UK.
6.    Haralambos, Michael dan Martin Holborn, 2000, Sociology, Themes and Perspectives, Fifth
Edition, Collins Educational, London.
7.    Kaldor, Mary, 2004, Global Society, Polity, UK.
8.    Kinloch, Graham C., 2005, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Pustaka
Setia Bandung.
9. Leibo, Jefta, 1995, Sosiologi Pedesaan, Andi Offset Yogyakarta.
10.  Ritzer, George, 1996, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc.
11.  Sanderson, Stephen K., 1993, Sosiologi Makro, Rajawali Press Jakarta.
12.  Sukmana, Oman, 2005, Sosiologi dan Politik Ekonomi, UMM Press Malang.
13.  Sztompka, Piötr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Jakarta.
14.  Zaltman, Gerald, 1972, Processes and Phenomena of Social Change, John Willey & Sons, Inc.,
New York.
Filed under: Sosiologi |
Ditandai: Sosiologi, Sosmakodes | Tinggalkan sebuah komentar »

Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa – Lanjutan Bagian  I


Posted on September 17, 2010 by Wawan Kuswandoro

Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa – Lanjutan Bagian I


Wawan E. Kuswandoro
http://www.eKuswandoro.co.cc
3
Mengenal Model/ Paradigma Ilmu Sosial
Setelah mengenal dasar-dasar ilmu sosiologi –sebagaimana telah saya paparkan di atas- beserta
pemahaman dasar tentang masyarakat, interaksi sosial, proses sosial, sekarang mari kita tingkatkan
pemahaman sosiologi kita dengan mengenali paradigma utama ilmu sosial (terutama disiplin ilmu
sosiologi) yang sering digunakan untuk mempelajari dan menganalisis masyarakat. Perlu
diingat: tidak ada paradigma tunggal dalam ilmu sosial (sosiologi). Para pakar mencatat bahwa
sosiologi menggunakan paradigma ganda. Artinya kita bisa menggunakan beberapa paradigma ilmu
social (sosiologi) untuk mempelajari, menjelaskan dan memahami suatu fakta social di antara sekian
banyak paradigma yang diajarkan para pakar sosiologi. Dalam artikel ini kita coba pelajari 3
paradigma sosiologi yang lazim digunakan untuk menganalisa persoalan sosial/ masyarakat,
untuk membantu penjelasan pembahasan mata kuliah Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa (nanti
akan kita lanjutkan pembahasannya di Bagian II pada sekuel artikel saya ini).

1. Paradigma Organik – Struktural Fungsional

Paradigma organic, melihat masyarakat sebagai bagian sistem dari hubungan fungsional,


mengibaratkan sebagai sebuah organisme hidup (organic) dengan meminjam teori hukum alam.
Seperti dijelaskan oleh Emile Durkheim dan Ferdinand Tonnies, yang berpendapat
bahwa masyarakat adalah organisme yang tidak berdiri sendiri, tetapi bergabung dengan
kelompoknya dalam sistem pembagian tugas(ingat konsepsi Durkheim tentang pembagian tugas, di
atas ya…), yang dalam kenyataannya berkaitan dengan jenis-jenis norma/ peraturan sosial yang
mengikat individu pada keadaan sosialnya.
Durkheim mengonseptualisasikan masyarakat dalam hal norma-norma atau jenis-jenis integrasi
sosial yakni cara individu secara sosiologis berhubungan dengan struktur sosial melalui fakta-fakta
sosial (social facts). Salah satu kajian utamanya adalah sifat-sifat solidaritas sosial dari suatu
masyarakat. Durkheim menekankan kajiannya terutama dalam hal memahami gejala sosial (norma-
norma sosial) dan pengaruhnya dala masalah-masalah sosial yang berlawanan dengan penjelasan-
penjelasan yang bersifat psikologis. Dia memandang sosiologi sebagai kajian yang
memfokuskan gejala psikis kolektif dan kewajiban-kewajiban moral terutama dalam hal
memasukkan perilaku individu dalam konteks kelompok.
Dalam mengonseptualisasikan kajiannya tersebut, Durkheim menggunakan asumsi-asumsi:
-      Masyarakat sebagai kesadaran kolektif, mempunyai keberadaan yang independen à suatu
kesatuan yang utuh, terkondisikan melaksanakan dan mempengaruhi struktur normatifnya.
-      Fakta-fakta sosial (norma-norma kolektif) adalah kenyataan, sebagai bukti keberadaan
kekuatan norma-norma dan struktur-struktur lembaga yang saling berhubungan.
-      Kekuatan sosial didasarkan pada pandangan kolektif, yaitu berbagai bentuk kekuasaan yang
bersandar pada struktur normatif dari kelompok tertentu selama kontrol itu diterapkan pada anggota
kelompok melalui norma-norma tersebut.
-      Evolusi fakta atau norma sosial didasarkan pada kebutuhan yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini, gejala sosial menggambarkan kebutuhan sosial sebuah korelasi dari
teori Durkheim yang mendorong para sosiolog untuk mengkaji secara lebih mendalam à struktural
fungsional.
-      Integrasi sosial ditemukan dalam pembagian kerja dalam masyarakat à semakin sama
pembagian kerja dalam masyarakat, maka semakin tinggi tingkat integrasi sosialnya. Memperluas
asumsi ini, Durkheim menghubungkan ukuran populasi dengan kepadatan penduduknya,
pembagian kerja dan integritas sosial à semakin tinggi ukuran populasi, semakin besar tingkat
kepadatan penduduknya, maka berakibat peningkatan dalam hal pembagian kerja dan penurunan
dalam hal solidaritas sosial.
-      Solidaritas sosial, Durkheim membaginya menjadi 2: solidaritas mekanis dansolidaritas
organis (tengok lagi di bagian depan ya…). Pada masyarakat dengan pembagian kerja yang
rendah, budaya tradisional yang homogen, dan bekerjanya norma-norma secara represif (mengikat)
para anggotanya, memiliki kesatuan sosial dalam tingkat yang tinggi, bekerjalah solidaritas mekanis.
Sedangkan solidaritas organis (bersifat lebih maju) bekerja pada masyarakat dengan pembagian
kerja yang kompleks (tidak sama), meningkatnya hubungan kontrak (diikat dengan perjanjian) dan
memiliki tingkat integrasi sosial yang lebih rendah. Dalam hal ini, upaya kontrol individu menjadi
lemah menuju suatu keadaan berkurangnya norma-norma(normless) yang lebih tinggi dalam
masyarakat. Pada tahapan inilah penyimpangan-penyimpangan sosial tingkat tinggi kerap terjadi,
seperti bunuh diri, terjadi karena renggangnya atau melemahnya ikatan-ikatan / perekat antar
individu dan struktur sosial.
-      Kejahatan dan bentuk penyimpangan lain mempunyai fungsi mendorong perubahan dan
perkembangan norma-norma dalam masyarakat.
Pendekatan organik yang kemudian berkembang menjadi struktural-fungsional,berfokus pada cara
yang diberikan oleh sistem sosial dengan menekankan pada masalah-masalah fungsi/ sistem.
Pendekatan organic-struktural fungsional ini menjelaskan konsep masyarakat sebagai satu
kesatuan. Selanjutnya, paradigmastructural-fungsionalisme sebagai landasan teori kontemporer,
menggambarkan penerapan lanjutan paradigma organik, memandang masyarakat sebagai bentuk
yang sistemik saling berhubungan, saling bergantung, berubah, menggambarkan kebutuhan-
kebutuhan sistem atau fungsi yang mendasarinya à pijakan pengembangan teori umum yang
didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat itueksis dan memiliki realitas independen atau memiliki
eksistensi sebagai sistem sosial dengan sifat serupa dengan sistem-sistem lain di alam ini (sistem
alam/ sistem biologi/ fisika).
Struktural fungsionalisme bergerak merespons kebutuhan-kebutuhan, politik, ekonomi dan sosial.
Structural fungsionalisme dipopulerkan oleh Talcott Parsons, dengan menggunakan analogi
organik (organ biologis) dalam memandang masyarakat. Menurutnya, teori fungsional organisasi
masyarakat berdasarkan pada manusia sebagai actor pembuat keputusan (fungsionalisme) yang
dibatasi oleh factor normatif dan situasional (strukturalisme), dan factor-faktor situasiona inilah yang
memperkenalkan kebutuhan-kebutuhan atau fungsi sistem ke dalam pemahaman perilaku sosial.
Karenanya, menurut paham ini, masyarakat memiliki karakteristik universal, yang memungkinkan
dikembangkannya teori yang bisa diterapkan pada semua masyarakat.
Parsons menggunakan asumsi-asumsi:
-      Sistem sosial diasumsikan untuk memunculkan sui generis, yaitu masyarakat memiliki suatu
realitas independen untuk melintasi eksistensi individu sebagai suatu sistem interaksi.
-      Struktur sosial atau sub sistem masyarakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang
mendasarinya (struktur mewakili fungsi). Fungsi-fungsi ini terdiri atasintegrasi (sistem sosial
didasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dengan masyarakatnya melalui integrasi
normatif), pola pertahanan (sistem budaya, nilai-nilai), pencapaian tujuan (sistem kepribadian, basis
pembedaan), dan adaptasi(organisasi perilaku, basis peran dan sistem ekonomi).
-      Sistem sosial, baiknya terdiri atas 4 sub-sistem, yaitu komunitas masyarakat(norma-norma
integratif),  pola pertahanan (nilai-nilai integratif), bentuk atau proses pemerintahan (diterapkan
untuk perolehan tujuan), dan ekonomi (diterapkan untuk adaptif).
-      Lebih jauh, terkait dengan analogi biologi, Parsons berasumsi bahwa focus atau landasan
sentral masyarakat adalah kecenderungan terhadap equilibrium danhomeostatic (keadaan stabil,
setimbang). Proses-proses sentral dalam kecenderungan ini adalah antar hubungan dari ke-4 sub-
sistem aksi: interpenetrasi,internalisasi masyarakat, fenomena budaya ke dalam kepribadian,
daninstitusionalisasi komponen-komponen normatif sebagai struktur konstitutif. Sistem sosial ini
kemudian dipandang sebagai sistem yang berorientasi integrasi danequilibrium yang kuat.
-      Sistem ini tidak dipandang statis à kapasitas yang dimilikinya untuk evolusi yang adaptif. Proses
sentral perubahan evolusi mengandung pembedaan (differentiation)dan pembagian lebih jauh/
spesialisasi struktur fungsional.

1. Paradigma Konflik – Radikal

Paradigma konflik radikal, lebih memandang konflik (bukan integrasi) sebagai poros sistem sosial.
Mengapa demikian? Argumentasinya adalah, bahwa masyarakat terdiri atas individu-
individu (ingat?) yang secara alamiah berjuang untuk mendapatkan kebutuhan mereka. Artinya,
terdapat gerak dinamis dari sistem masyarakat ini seperti gerak/ proses evolusi dan pertentangan
secara terus-menerus. Proses pertentangan secara terus-menerus (bergerak, dinamis) inilah yang
“membesarkan” suatu masyarakat, mengikuti hukum dialektika materialismesebagaimana
diperkenalkan oleh Karl Marx. Kemudian, untuk menjelaskan masyarakat industry modern,
pendekatan Marxisme ini melahirkan Teori Konflik Modern. Di sini kita mengenal teori pertentangan
kelompok dan teori konflik elit milikRalph Dahrendorf.
Teori konflik Karl Marx tersebut, setidaknya memiliki peluang untuk merevisi apa yang
dikemukakan Emile Durkheim dalam Teori Struktural Fungsional-nya (tengok Durkheim di atas
ya…). Marx, untuk telaah makroskopik[1] memandang bahwamasyarakat cenderung membutuhkan
pertentangan agar tercipta harmoni baru. Berbeda dengan Durkheim yang lebih melihat masyarakat
sebagai media terciptanya keseimbangan, pendekatan konflik dapat dibagi dua, pertama,
sebagaimana dikemukakan Karl Marx, bahwa masyarakat  terbelah menjadi dua kelas dilihat
dari kepemilikan alat produksi (property), yakni kelas kapitalis/ pemilik modal dan kelas buruh/
pekerja. Menurut Marx, masyarakat kemudian terintegrasi lantaran adanya struktur kelas yang
dominan yang menggunakan Negara dan hukum sebagai alatnya. Sementara itu, yang kedua,
sebagaimana yang dikemukakan Ralf Dahrendorf, yang melihat masyarakat terdiri atas dua kelas
berdasarkankepemilikan wewenang (authority) ialah kelas penguasa (dominasi) dan kelas yang
dikuasai (subjeksi). Bagi Dahrendorf, masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan
dominan yang menguasai masyarakat[2]. Menyusul  atas apa yang telah dipahami sepeninggal
Marx, banyak teori turunan konflik yang berupaya untuk mengembangkannya dalam arti
memberikan tambahan penjelasan atas fenomena konflik. Salah satu tokohnya adalah Randall
Collins[3], yang mencoba lebih integratif di antara pendekatan makro dan mikro. Lebih detail,
Collins menegaskan bahwa teori konflik mengindikasikan adanya pengorganisasian kelompok
masyarakat (society), perilaku orang-orang dan kelompoknya[4].  Collins menawarkan pemahaman
betapa konflik sangat mungkin didekati pada levelinteraksionisme simbolik
mikro dan etnometodologi. Tidaklah mengherankan kemudian muncul tokoh lain seperti Goffman,
Garfinkel, Sacks dan Scelgloff. Bagi mereka, atas sumbangan Collins, konflik tidak harus menjadi
ideologis, bukan masalah baik buruk,  tetapi konflik dipandang sebagai pusat dari kehidupan sosial.
Pendekatan Collins  terkait konflik lebih difokuskan pada individu, salah satunya karena akar kajian
Collins adalah fenomenologi dan etnometodologi. Teori konflik, lebih jauh menurutnya, tidak akan
bekerja tanpa analisis sosial. Dalam term ini, teori konflik harus menerima penemuan riset empiris.
Intinya, teori konflik Collins dekat pada stratifikasi sosial, yang dalam telaahnya hendak memadukan
gagasan Marxian dengan teori struktural fungsional.
Ringkasnya, paradigma konflik radikal ini melihat bahwa masyarakat merupakan sistem kompetisi
kekuatan yang menyusun perjuangan individu-individu dalam memenuhi kebutuhan fisiknya, yaitu
dengan menggunakan pandangan alamiah sebagai penjelasan sistemnya. Pendekatan ini sama
dengan structural-fungsional dalam hal konsep  kemasyarakatannya sebagai sistem makro, namun
menekankan pada konflik sebagai titik tekan proses sosial.

1. Paradigma Perilaku dan Psikologi Sosial


Paradigma ini melihat masyarakat sebagai “surat perintah” yang besar secara individual daripada
sebuah sistem yang menggarisbawahi problem-problem fungsional. Tradisi perilaku sosial juga
mencakup penjelasan secara alamiah dan sosial. Max Weber dan George Herbert Mead,
contohnya, mempelajari individu sebagai produk sosial yang menitikberatkan pengertian dan proses
perialku sosial dan interaksi sosial. Di sisi lain, Georg Simmel dan William Sumner menggunakan
asumsi insting atau harapan untuk menjelaskan kumpulan evolusi dan struktur sosial.
Perbedaannya dengan teori psikologi sosial modern, adalah bahwa paradigma perilaku ini
memfokuskan lingkungan sosial dan hubungan antara individu dan lingkungannya melalui
sosialisasi ekspresi perannya, saling berinteraksi dan ungkapan realitas pribadinya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat perbandingan ketiga model/ paradigma tersebut pada tabel di
bawah ini:
Organik – Struktural- Perilaku dan Psikologi
Paradigma Konflik – Radikal
Fungsional Sosial

Tujuan Mengembangkan teori Mengembangkan teori Memahami individu


umum tentang masyarakat umum tentang masyarakat adalah hasil dari
menggunakan pendekatan menggunakan pendekatan masyarakat.
sistemik sistemik

Pandangan 1.   Masyarakat adalah 1. Masyarakat adalah 1.  Masyarakat adalah


sebuah sistem fungsional bagian dari sistem sebuah “surat perintah”
yang bagian-bagiannya persaingan & individu yang besar.
selalu berhubungan. pertentangan.
2.  Perlunya nilai dan
2.   Perlunya aturan sosial. 2. Perlunya aturan-aturan harapan.
3.   Perlunya pembagian sosial. 3.  Individu adalah
kerja. 3. Perlunya industrialiasi produk sosial.
4.   Perlunya dasar-dasar & birokratisasi. 4.  Perlunya sosialisasi
masalah sosial. 4. Perlunya dasar sebagai proses dasar.
kebutuhan fisik.
Pendekatan 1.   Menerapkan hukum- 1. Menerapkan 1. Menerapkan naluri &
hukum alamiah pada pertentangan alami dalam harapam dalam
masyarakat. masyarakat. masyarakat.

2.   Menerapkan 2. Menerapkan 2. Menerapkan manusia


pembagian kerja pada industrialiasi & sosial yang alami dalam
masyarakat. birokratisasi dalam masyarakat.
3.   Menerapkan masalah- masyarakat. 3. Menerapkan proses
masalah sosial pada 3. Menerapkan sosialiasi pada
masyarakat. kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
4.   Menggunakan alasan fisik pada masyarakat. 4. Menggunakan alasan
alamiah/ sistemik sebagai 4. Menggunakan alasan alamiah maupun
pembuktian. alamiah maupun sistemik sistemik dalam
dalam pembuktian. pembuktian.
Walaupun terdapat perbedaan pada ketiga paradigma tersebut, setidaknya ada 2 point penting yang
umum: konseptualisasi tatanan dan perubahan sosial; danmencakup jenis penjelasan
secara naturalistik dan sistemik.
Untuk pendalaman sosiologi kita masih bisa mempelajari lebih lanjut paradigma ilmu sosial ini
dengan mengikuti klasifikasi sistemik paradigma ilmu sosial yang diramu dari para teoretisi ilmu
sosial. Ketiga pendekatan/ paradigma di atas sebenarnya dipertajam pada perspektif teoritis/
paradigma positivis/ post-positivist,konstruksionisme (interpretative) dan critical theory. Tetapi untuk
keperluan mata kuliah ini, kita gunakan structural-fungsional atau konflik radikal atau perilaku pada
klasifikasi di atas. Klasifikasi dan penjelasan paradigma positivis/ post-positivist,konstruksionisme
(interpretative) dan critical theory lazim dipergunakan pada jenjang yang lebih tinggi.[]
…bersambung ke Bagian II
Bahan Bacaan
1.    Beilharz, Peter, 2003, Teori Teori Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
2.    Coser, Lewis A., 1982, Sociological Theory: A Book of Readings, MacMillan Publishing, Co.,
Inc., USA.
3.    Daldjoeni, N., 1997, Seluk Beluk Masyarakat Kota, Alumni Bandung.
4.    Fatchan, A., 2004, Teori-teori Perubahan Sosial, Yayasan Kampusina Surabaya.
5.    Giddens, Anthony, 2004, Sociology: Introductory Readings, Polity, UK.
6.    Haralambos, Michael dan Martin Holborn, 2000, Sociology, Themes and Perspectives, Fifth
Edition, Collins Educational, London.
7.    Kaldor, Mary, 2004, Global Society, Polity, UK.
8.    Kinloch, Graham C., 2005, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Pustaka
Setia Bandung.
9.    Leibo, Jefta, 1995, Sosiologi Pedesaan, Andi Offset Yogyakarta.
10. Ritzer, George, 1996, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc.
11. Sanderson, Stephen K., 1993, Sosiologi Makro, Rajawali Press Jakarta.
12. Sukmana, Oman, 2005, Sosiologi dan Politik Ekonomi, UMM Press Malang.
13. Sztompka, Piötr, 2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Jakarta.
14. Zaltman, Gerald, 1972, Processes and Phenomena of Social Change, John Willey & Sons, Inc.,
New York.

Anda mungkin juga menyukai