Anda di halaman 1dari 16

VERBA BAHASA ARAB

Pendahuluan

Dalam tata bahasa tradisional, semua unsur bahasa yang bila dituliskan

merupakan kesatuan-kesatuan kecil dalam kalimat –yang tampak terpisah satu

dengan yang lainnya oleh spasi- disebut kata (Badudu, 1991: 23). Seperti yang

dikatakan Alisyahbana “kata ialah kumpulan bunji atau huruf jang terketjil jang

mengandung pengertian” (kata ialah kumpulan bunyi atau huruf yang terkecil

yang mengandung pengertian) (1962: 36). Martinet memahami kata sebagai

sebuah sintagma otonom yang dibentuk oleh monem yang tak terpisahkan (1987:

120). Sedangkan Bloomfield mendefinisikan kata sebagai satuan bebas terkecil

(Robins, 1992: 228). Hal serupa dikemukakan oleh Ramlan (2001: 33) “Kata

adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain, setiap satu satuan

bebas merupakan kata”. Berkenaan dengan ini Alwasilah menyarankan untuk

menggunakan tiga pendekatan untuk menghampiri status kata; (1) pendekatan

semantik, (2) pendekatan fonologis, dan (3) melihat kata sebagai yang tersendiri

dan tak dapat diuraikan (1990: 108).

Dalam bahasa Arab (selanjutnya disingkat BA), kata dikenal dengan

istilah kalimatun atau lafdzun atau harfun. Kata, dalam BA sering didefinisikan

sebagai ma yantiqu bihi al insaanu mufrodan kaana au murakkaban ‘apa yang

diucapkan oleh seseorang baik secara parsial maupun konstruktif’ (Louis, 1986:

695). El Dahdah mendefinisikan kata sebagai alwahdah al lafdziyyah al-dunya


allati tadullu ‘ala ma’nan. ‘satuan (units) fonologis terkecil yang memiliki

makna. (t.th : 2)

Klasifikasi Kata

Ada beberapa istilah yang digunakan oleh para linguis untuk menamai

klasifikasi kata ini: klasifikasi, penggolongan, penjenisan, dan kelas kata, part of

speech (Ingg.). Dalam BA digunakan istilah jinsun ‘jenis’, dan anwa’ ‘macam-

macam’. Menurut Badudu (1991: 31) para ahli berbeda pendapat mengenai

pembagian kelas kata ini; ada yang membaginya menjadi 4 (Keraf), 6 (STA), 8

(Poedjawijatna dan Zoetmulder), 9 (Zain), 10 (Hadidjaja), dan 13 (Kridalaksana).

Sedangkan Keraf mengatakan:

“ secara garis besar ada dua kubu klasifikasi kata; tradisional dan

modern. Tata bahasa tradisional mengklasifikasikan kata menjadi 10

macam; nomina, verba, adjectiva, pronomina, adverbia, numeralia,

conjunctio, prepositio, articula, dan interjectio. Sedangkan tata bahasa

modern mengklasifikasikan kata menjadi empat kelompok; kata benda,

kata kerja, kata sifat, dan kata tugas (1996; 62– 90).

Dalam TTBI (Alwi dkk, 2000) kata dibagi menjadi verba, adjektiva, adverbia,

nomina, dan kata tugas.

Adanya perbedaan di atas disebabkan oleh perbedaan kriteria yang

digunakan dalam mengklasifikasikan kata itu. Para tatabahasawan tradisional,

misalnya, menggunakan kriteria makna dan fungsi untuk membuat klasifikasi

kata. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasi kelas verba, adjektiva, dan
nomina; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasi preposisi,

konjungsi, adverbia, dan pronomina. Yang disebut verba adalah kata yang

menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut adjektiva adalah kata yang

menyatakan keadaan atau sifat; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang

bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian

kalimat yang satu dengan yang lainnya (lihat Chaer, 1994: 166). Cara lain untuk

mengklasifikasikan kata adalah seperti yang dilakukan para tatabahasawan

struktural yang membuat klasifikasi kelas kata berdasarkan distribusi kata itu

dalam suatu struktur atau konstruksi.

Walau kriteria manapun yang digunakan akan selalu menimbulkan

masalah yang cukup ruwet dan sukar diselesaikan, penggolongan kata itu memang

perlu (Chaer, 1994: 169). Oleh sebab itu, beberapa tawaran berikut perlu

diperhatikan.

Alwasilah (1990: 111) menawarkan bahwa pertama-tama, kata itu dibagi

ke dalam dua jenis yaitu (1) content word, dan (2) function word. Kemudian untuk

mengenal jenis yang pertama, ada lima ciri yang harus diperhatikan (1) akhiran

infleksi, (2) akhiran derivasi, (3) tertib kata, (4) tekanan, dan (5) kata-kata fungsi.

Sedangkan Pateda (1988: 81) menyarankan agar memilih antara cara yang

digunakan di Belanda dan cara yang digunakan oleh Ramlan. Dalam TTBI, kata

dibagi menjadi kelompok utama dan kelompok kata tugas. Kelompok kategori

utama terdiri atas verba (V), nomina (N), adjektiva (Adj), adverbia (Adv).

Kelompok kata tugas terdiri atas preposisi (Prep) dan konjungsi (Konj) (Alwi

dkk., 2000).
Dalam BA minimalnya ada tiga pendapat mengenai klasifikasi kata ini

(Al’aqil, 1990: 22). Kelompok pertama mengklasifikasikan kata menjadi empat

jenis/kelompok:

1. ismun ‘nomina’

2. fi’lun ‘verba’

3. harfun ‘partikel’, dan

4. kholifatun ‘nomina verbal’

kelompok kedua membaginya menjadi 7 jenis

1. ismun ‘nomina’

2. sifatun ‘ajektifa’

3. fi’lun ‘verba’

4. dlamir ‘pronomina’

5. khalifatun ‘nomina verbal’

6. dorfun ‘adverbia’

7. adatun ‘partikel’

Klasifikasi yang ketiga dan lebih banyak diikuti orang (terutama di

Indonesia), adalah klasifikasi yang membagi kata dalam BA menjadi tiga jenis:

1. isimun ‘nomina’

2. fi’lun ‘verba’

3. harfun ‘partikel’.

Verba

Bila ketiga klasifikasi kata BA di atas dibandingkan, ternyatpandangan

Robins (1979: 259-261) misalnya, ia mengemukakan konsep tentang verba, yaitu


bahwa penbggolongan kata harus didasarkan pada ciri morfologis dan peerilaku

sintaksis. (lihat Kridalaksana, 1986: 49). Robins tampaknya lebih mnekankan

pada perilaku sintaksisnya. Menurut hemat penulis, pandangan Robins di atas

lebih cenderung melihat sebuah kata dari perilaku sintaksisnya, yaitu sebuah kata

yang menduduki fungsiu predikat. Pandangan robins ini digunaan oleh penulis ,

namun tentrunya tidak dengan cara membabi buta. Kriteria lain digunakan juga

untuk memnambal kekurangan teori ini.

Givon (1984: 64-73) mengemukakan bahwa untuk menentukkan sebuah

kata berkatagori verba atau bukan dapat dilihat dari ciri semantis, morfologis, dan

sintaksis. Menurutnya, secara semantis, verba cenderung untuk mengkode

pengalaman, peristiwa, dan tindakan; secara morfologis ditandai dengan

penambahan afiks; dan secara sintaksis dinyatakan bahwa verba paling umum

menduduki fungsi predikat dalam kalimat. (lihat Juga Alwi at.all, 1998: 87).

Pandangan kedua ini nampaknya lebih lengkap bila dibanding dengan pendapat

pertama tadi. Oleh sebab itu pandangan ini penulis gunakan untuk menentukan

status keverbalan kata dalam BA dari segi morfologi, sintaksis, dan semantik.

Menurut Kridalaksana (1993: 226) verba adalah kata yang biasanya

berfungsi sebagai predikat yang dalam BI ditandai dengan kemungkinan untuk

diawali dengan kata ‘tidak’, dan dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai

ciri morfologis seperti kala, aspek, persona, atau jumlah. Dalam BA verba sering

didefinisikan sebagai ma dalla ‘ala ma’nan fi nafsihi muqtaranin bizamanin.

(Alghalayini, t.th: 11) ‘sesuatu (kata) yang memiliki makna inhern dan

mengandung unsur kala (waktu)’. Ma dalla ‘ala hadatsin wa zamanin (Dlaif,


1982: 59) ‘sesuatu (kata) yang mengandung makna aktivitas dan unsur waktu’.

Sedangkan dalam Alfiyah ibn Malik (ulasan Hamdun,1993: 39) verba dideskripsi-

kan melalui pemarkah-pemarkahnya “bi ta fa’alta wa atat wa ya if’ali wa nuni

iqbilanna fi’lun yanjali ‘verba dapat diidentifikasi dengan adanya huruf/fonem ta

yang biasa melekat pada verba fa’alta ‘kamu telah berbuat/ melakukan’ dan atat

‘seorang perempuan telah datang’, dan dengan huruf/fonem ya yang biasa

terdapat pada kata if’ali ‘kerjakanlah! (kamu perempuan), atau dengan nun yang

biasa terdapat pada kata iqbilanna ‘sambutlah’.

Ciri Morfologis Verba

Menurut keraf (1984: 86) untuk mennetukan status suatu kata secara

struktur berkategori verba atau bukan, bisa menggunakan dua cara, yaitu cara

morfologis sebagai prosedur pencalonan, dan cara sintaksis sebagai prosedur

penentuan. Secara morfologis, semua kata dapat dicalonkan sebagai verba apabila

kata-kata tersebut memiliki afiks me, ber, kan,… menurut Keraf kata-kata tersebut

baru dicalonkan sebagai verba, belum menjadi verba. Dari sudut sintaksis kata

dapat dikategorikan sebagai verba apabila dapat diperluas dengan frasa dengan +

kata sifat.

Kridalaksana (1986: 49) mengemukakan bahwa verba dari segi bentuknya

dapat dibedakan seabagai berikut:

1. verba dasar bebas, yaitu verba yang berupa morfem dasar bebas.

Contohnya duduk, makan, mandi.


2. verba turunan, yaitu verba yang telah mengalami afiksasi,

reduplikasi, gabungan proses, atau berupa paduan leksem.

Sebagai bentuk turunan dapat kita jumpai bentuk verba berikut:

1. verba berafiks: ajari, bernyanyi, berhamburan

2. verba bereduplikasi, bangun-bangun, ingat-ingat

3. verba berproses gabung: bernyani-nyanyi, tersenyum-senyum

4. verba paduan leksem: cuci mata, campur tangan, unjuk gigi

Ciri Sintaksis Verba

Berbicara tentang verba dari segi prilaku sintaksisnya, penulis perlu

mengemukakan beberapa pendapat berikut.

Ramlan (1985: 50) mengemukakan bahwa verba adalah kata yang:

1. pada tataran frasa dapat dinegatifkan dengan kata tidak

2. pada tataran klausa cenderung menduduki fungsi predikat, dan

3. kemungkinan dapat diikuti oleh frasa dengan sangat yang befungsi sebgai

keterangan.

Menurut Kridalaksana (1986: 49) sebuah kata dapat dikategorikan sebagai

verba hanya dari perilakunya dalam frase. Yakni dalam hal kemungkinannya

satuan ini didampingi partikel tidak .

Ciri Semantik Verba

Berbicara tentang verba drai perilaku semantisnya berarti melihat verba itu

berdasarkan maknanya. Ciri makna yang dimaksud adalah ciri gramatikal.


Dajasudarma (1993b: 13) menyatakan bahwa makna gramatikal adalah makna

yang menyngkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat

berfungsinya sebuah kata di dalam kalimat. Sesuai dengan pandangan

Djajasudarma, untuk menentukan status kata BA, penulis memepertimbangkan

aspek semantis (makan gramatikal ) ini sebagai akibat berfungsinya sebuah kata

dalam kalimat atau makna yang muncul karena hubungannya dengan kata-kata

lain yang terdapat dalam kalimat itu. Jadi pandangan Djajasudarma penulis

gunakan untuk menentuakan verba dari segi semantis.

Secara semantis, Quirk et.al (1985: 102) mengklasifikasikan verba sebagai

berikut:

1. verba statif,.verba ini ada dua jenis; verba kualitas dan verba keadaan,

2. .verba stance (statis),

3. verba dinamis, terdiri atas: duratif: dan fungtual:

Tadjudin (1993a:225-227; 1993b: 55-57;dan 1993c:64-67) mengemukakan

adanya tiga macam kategori tata bahasa yang berurusan dengan semantik verba,

yaitu aspektualitas, temporalitas, dan modalitas.

1. makana aspektualitas. Makna aspektulitas verba antara lain:

a. keiteratifan, yakni makna yang menyatakan perulangan, berkali-

kali

b. makna kedistributifan, yaknia makna yang selalu memerlukan

lebih darti satu objek


c. makna kekooperatifan, yakni makna aspektualitas yang menunutut

subjek yang banyak secara bersanma-sama melakukan perbuatan yang

sama

d. makna keterminatifan, yakni makan yang menyatakan bahwa apa

yang disebut oleh P benar-benar mencapai tujuan

e. makna keprogresifa, yakni makana aspektualitas yang

menggambarkan situasi keberlangsungannya bersifat sementara.

f. Makna kekontinuatifan, yakni makana menggambarkan situasi

yang keberlangsungannya bersifat tetap.

g. Makna keresultatifan, yakni makana aspektualitas yang terdapat

pada verba pangkal denag nomina yang menyatalkan benda tak bernyawa

dan ber P adjetiva

h. Makan keatenuatifan, yakni makna aspektualitas yang

nmenyatakan kealakadaran atau tidak sungguh-sunggguh.

i. Makna keintensifan, yakni makna aspektuyalitas yang hanya

diikuti satu objek.

Berdasarkan perbedaan makna aspektualitas inhern tersebut, terdapat empat kelas

verba:

(1) verba pungtual (peristiwa), yaitu verba yang menyatakan

peristiwa yang situasi keberlangsungannya bersikap sekejap dan selalu

menggambarkan terejadinya perubahan dari satu ke adaan ke keadaan lain.

Verba ini bersifat dinamis, atelik, nonduratif, nonhomogen. Ciri


morfologis verba ini bahwa apabila dirduplikasikan pada umumunya tidak

garmatikal.

(2) Verba aktivitas 9proses), yaituy situasu dinamis yang berlangsung pada

poros waktu yang berkembang atau terus berlanjut tetapi tidak langgeng.

Verba ini bersifat dinamis, atelik, duratif, nonhomogen. Ciri khas verba ini

adalah apabila direduplikasikan akan melahirkan makna keatenuatifan,

keintensifan, keprogresifan, dan keterminatifan

(3) Verba statis, yatitu verba yang situasi keberlangsungannya sama sepeti

verba aktifitas, tidak tetap, terbatas waktunya, dan keberlangsungannya

memerlukan usaha atau tenbaga. Verba ini bersifat nondinamis, atelik,

duratif, nonhomogen. Ciri morfologis verba ini …………..

(4) Verba statif (keadaan), yakni situasi yang berlangsung

bersifat tetap dan tanpa disertai perubahan atau pergerakan. Verba ini

bersifat nondinamis, atelik, nonduratif, homogen.

2. makna temporalitas yaitu menyatakan kewaktuan.

3. makna modalitas.yaitu makna yang menggambarkan pandangan subjektif

pengujar, mengacu pada sikap pembicara.

Klasifikasi Verba

Verba, dalam BA, biasanya diklasifikasikan sebagai berikut:

1. berdasarkan bunyi yang membentuknya; sahih dan mu’tal (sound and

defectif);
2. berdasarkan proses pembentukannya; mujarrad (dasar/asal= denuned) dan

mazid (turunan/ditambah=augmented);

3. berdasarkan kala; madli, mudlari/ ‘amar ‘lampau dan kini/futur (past and

present);

4. berdasarkan kehadiran O; lazim ‘intransitif’ dan muta’adi ‘transitif’;

5. berdasarkan paradigma infleksional; jamid ‘berinfleksi terbatas’ (inert); dan

mutasharrif ‘berinfleksi penuh’ (variable);

6. berdasarkan kehadiran S; mabni ma’lum ‘aktif’(known) dan mabni majhul

‘pasif’ (ignored)

Verba Berdasarkan Bunyi yang Membentuknya.

Dalam BA, deskripsi infleksi verbal didasarkan terutama pada akar

‘triteral’ (Robins, terj. Marjohan, 1995: 140). Ketiga konsonan yang membentuk

verba dasar akan sangat berpengaruh terhadap proses infleksional dan derivasional

kata. Berdasarkan fonem/bunyi yang membentuk sebuah verba BA, verba dibagi

menjadi dua macam; shahih dan mu’tal. Verba shahih adalah verba yang di

dalamnya tidak terdapat bunyi ‘ilat. Seperti kataba ‘menulis’, jalasa ‘duduk’.

Bunyi ilat adalah semi vokal /w/ , /y/, dan vokal /a/ panjang. Sedangkan verba

mu’tal adalah verba yang salah satu bunyi yang membentuknya berupa bunyi

‘ilat. Seperti wa’ada ‘berjanji’, yaisa ‘putus asa’, dan qaala ‘berkata’.

Verba Berdasarkan Proses Pembentukannya


Berdasarkan proses pembentukannya, verba dibagi menjadi dua macam;

asal dan turunan. Dalam BA disebut mujarrad dan mazid.

2 Verba Dasar

Ada beberapa istilah yang dipakai oleh para linguis untuk menyebut verba

ini. Chaer menyebutnya sebagai verba akar (root). Dalam TTBI digunakan istilah

verba asal. Sedangkan Tadjuddin (1993: 3) menyebutnya sebagai verba pangkal/

dasar. Menurut yang terakhir, verba ini ditinjau dari segi aspektualitas inhern

verba, ada empat jenis; (1) verba fungtual (peristiwa); Verba ini menggambarkan

peristiwa dengan situasi keberlangsungannya bersifat sekejap, hanya dalam satu

titik waktu, selalu menggambarkan terjadinya perubahan atau peralihan dari satu

keadaan ke keadaan lain, seperti; pukul, tendang, dan datang. (2) verba aktivitas

(proses). Verba ini menggambarkan proses yang situasi keberlangsungannya

bersifat berlanjut, tetapi tidak langgeng, menggambarkan adanya perubahan atau

pergerakan, seperti; baca, minum, lari. (3) verba statis. Ialah verba yang

menggambarkan situasi berlangsungnya bersifat tetap dan tanpa disertai

perubahan atau gerakan, seperti duduk, dengar, gali. (4) verba statif (keadaan),

yaitu verba yang menggambarkan keadaan dengan situasi keberlangsungannya

bersifat langgeng atau tetap dan tidak menggambarkan adanya perubahan atau

pergerakan, seperti; tahu, kenal, sakit.

Dalam BA, verba asal ini ada yang terdiri dari tiga konsonan, dan ada pula

yang terdiri dari empat konsonan. Verba pertama disebut tsulatsi mujarrad (tri

konsonantal), seperti ktb ‘menulis’, ?kl ‘makan’, dan nzl ‘turun’. Sedangkan yang
kedua disebut ruba’i mujarrad (sadkonsonantal), seperti jlbb ‘berjilbab’ dan

dhrj ‘mengguling-gulingkan’.

Verba Turunan

Verba turunan adalah verba yang dibentuk melalui transposisi, peng-

afiksan, reduplikasi, atau pemajemukan (Alwi dkk., 2000: 101). Menurut

Djajasudarma (1994: 98) verba turunan, selain dapat dibentuk dari bentuk dasar

verba, juga dapat dibentuk dari bentuk dasar nonverba, seperi nomina, adjektiva,

atau numeralia. Berkenaan dengan pendapat Djajasudarma ini, dalam BA terdapat

verba seperti; Yajlisu dari jls ‘duduk’, A’roqa ‘memasuki daerah Irak’ dari

nomina ‘Iraq ‘negara Irak’, dan ‘an’ana ‘mengucapkan kata ‘an (tentang)’ dari

kata tugas ‘an ‘tentang’. Verba terakhir diturunkan dari preposisi.

Verba Berdasarkan Kala

Verba BA mengandung unsur kala (tense). Ada tiga jenis kala dalam verba

BA; kala lampau, kala kini, dan kala mendatang. Berdasarkan ketiga jenis kala itu,

verba BA dibagi menjadi tiga jenis: madli, mudlari, dan amar. Madli untuk kala

lampau, mudlari untuk kala kini dan mendatang, sedangkan amar selain

mengandung kala mendatang juga mengandung makna/modus perintah/imperatif.

Verba Berdasarkan Kehadiran Objek

Berdasarkan wajib tidaknya sebuah objek muncul dalam sebuah

konstruksi, verba biasanya dibagi menjadi dua macam; transitif dan tak transitif.
Secara tradisional verba transitif adalah verba yang menuntut kehadiran objek

pada sebuah kalimat, sedangkan verba intransitif sebaliknya, tidak menuntut

kehadiran objek.

Ciri verba transitif:

1. adanya N yang berdiri di belakang V yang berfungsi sebagai O dalam kalimat

aktif,

2. kemungkinan O itu berfungsi sebagai S dalam kalimat pasif (Alwi dkk., 2000:

90)

Tiap Verba memiliki makna inhern, namun makna inhern tersebut tidak

terikat dengan wujud verba, juga makna inhern tidak selalu berkaitan dengan

status ketransitifan verba (ibid, 2000: 89)

Verba Berdasarkan Paradigma Infleksional

Sebuah verba dapat dibentuk dari dasar verba atau dari dasar nonverba,

seperti yang diungkapkan Djajasudarma di atas. Ini berarti bahwa sebuah verba

dapat menurunkan verba lain yang statusnya mungkin berbeda dengan status

asalnya.

Berkenaan dengan penurunan verba ini, dalam BA dikenal dua jenis verba;

jamid dan mutasharrif. Verba jamid adalah verba yang tidak diturunkan dari

kelas kata lain dan tidak bisa menurunkan verba lain, seperti ni’ma ‘nikmat’, bi?

sa ‘jelek’, dan saa?a ‘jelek’, sedangkan verba mutasharrif sebaliknya, dapat

diturunkan dari kelas kata lain dan dapat menurunkan verba lain pula, seperti

kataba ‘menulis’, jalasa ‘duduk’, akala ‘makan’ .


Verba Berdasarkan Kehadiran Pelaku

Berdasarkan ada atau tidaknya pelaku sebuah verba dalam sebuah

konstruksi, verba dibagi menjadi dua macam; aktif dan pasif. Verba aktif adalah

verba yang subjeknya berperan sebagai pelaku atau penanggap, sedangkan verba

pasif adalah verba yang subjeknya berperan sebagai penderita, sasaran atau hasil

(Kridalaksana, 1993: 226 & 227).

Dalam BA, verba ini dikenal dengan istilah verba majhul ‘tidak

jelas/diketahui’ dan verba ma’lum ‘jelas/diketahui’, tepatnya mabni lil majhul dan

mabni lil ma’lum. Berkenaan dengan kedua jenis verba ini, Eldahdah dalam

enksiklopedianya menggunakan istilah known verb untuk ma’lum dan ignored

verb untuk majhul. Ia menyebutkan bahwa known verb has agent mentioned with

it. Sedangkan the ignored verb has it agent eliminated and its direct agent

become pro-agent. (tt : 109).

Verba pasif (majhul) dalam BA hanya dapat dibentuk dari bentuk madli

dan mudlari. Dari verba madli aktif dibentuk verba madli majhul dengan pola

berikut:

1. dari bentuk fa’ala, fa’ila, fa’ula diubah menjadi fu’ila

2. dari bentuk qaala diubah menjadi qiila.

Sedangkan dari verba aktif mudlari dibentuk verba pasif mudlari mengikuti pola

berikut:

1. dari bentuk yaf’alu, yaf’ilu, dan yaf’ulu diubah menjadi yuf’alu, dan

2. dari bentuk yuf’ilu diubah menjadi yuf’alu

Anda mungkin juga menyukai